A. DEFINISI SINDROM METABOLIK Sindrom metabolik (sering disebut juga sindrom X, atau insulin resistant syndrome) merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang pengidap obesitas telah memiliki tiga dari lima faktor risiko (Arisman,2011). Kelima faktor risiko ini dapat dilihat pada tabel : Tabel.1 Kriteria Sindrom Metabolik Kriteria NCEP/ATP III1
Kriteria WHO2
Tiga dari kriteria sindrom
Dislipidemia(DM tipe II, gula darah puasa
metabolik berikut
terganggu, TGT (Toleransi glukosa terganggu), atau resistensi insulin) plus 2 kriteria sindrom metabolik berikut
Lingkaran perut lebih dari >88 cm
BMI >30 dan atau rasio pinggang pinggul > 0,9
(wanita), dan >102 cm (pria)
(pria), >0,85 (wanita)
Tigliserida ≥150 mg/dl
Trigliserida ≥ 150 mg/dl
HDL <40mg/dl (pria), <50mg/dl
HDL <35mg/dl (pria), <39mg/dl (wanita)
(wanita) Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg
Tekanan darah ≥140/90 mmHg
Gula darah puasa ≥110 mg/dl
Mikroalbuminuria (ekskresi albumin urin >20µg/menit), dan rasio albumin/ kreatinin ≥30 mg/g
Sindrom metabolik merupakan kondisi yang diakibatkan kelainan metabolik yang meliputi: 1.
Obesitas sentral Terjadi karena berkurangnya aktifitas fisik dan perubahan pola makan. Peningkatan jumlah lemak yang disimpan dalam rongga perut sentral obesitas sering terdeteksi dengan mengukur lingkar perut dan membandingkannya dengan keliling pinggul. Juga disebut obesitas intra abdomen atau mendalam. Besar lingkar pinggang pada remaja berkaitan erat dengan kemungkinan menderita penyalit DM type II dan penyakit komplikasi dari sindom metabolisme ( hipertensi, kolesterol
tinggi, serangan jantung, stoke, kerusakan hati dan ginjal). Mereka yang beresiko tinggi adalah yang berada di atas presentil 90 dari semua usia dan jenis kelamin. 2.
Dislipidemia aterogenik Kadar trigliserid meningkat dan kadar kolesterol HDL rendah. Triasilgliserol atau trigliserid merupakan bentuk asam lemak cadangan utama dan merupakam ester dari alkohol gliserol dengan asam lemak. Trigliserid adalah sebagai zat energi. Lemak disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserid. Apabila sel membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak serta melepasnya ke dalam pembuluh darah. HDL membantu menghilangkan timbunan lemak dalam pembuluh darah. Semakin banyak kadar HDL dalam darah semakin baik untuk jantung. Kadar kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan resiko terjadinya serangan jantung hingga stroke. Meskipun belum sepenuhnya dimengerti, perkembangan displidemia pada penyandang DM diyakini berlatar resistensi insulin ( Betteridge DJ, 2000 ). Resistensi insulin dalam jaringan lemak menyebabkan peningkatan produksi dan pelepasan asam lemak, yang akan merangsang produksi trigliserida serta VLDL jika asam lemak ini terperangkap di dalam hati. Partikel trigliserida dan VLDL menempati posisi ikatan tempat lipase bekerja, menyebabkan enzim ini tidak lagi mampu membersihkan lemak. Akibatnya waktu paruh trigliserida dalam plasma memanjang ( Reusch JE, 2002 ).
3.
Tekanan Darah Meningkat (Hipertensi) Tekanan darah adalah tekanan yang membantu aliran darah ke pembuluh darah. Tekanan darah tinggi adalah kondisi ketika tekanan darah di arteri terlalu tinggi. Tekanan darah tinggi akan merusak pembuluh darah. Jika tekanan darah tinggi berlangsung dalam jangka waktu yang lama, pembuluh darah akan menebal dan menjadi kurang fleksibel. Hal ini disebut arterosklesrosis dan dapat mempengaruhi arteri yang memberikan darah ke jantung.
4.
Resistensi insulin Suatu keadaan dimana ambilan glukosa yang distimulasioleh insulin di berbagai jaringan seperti liver, jaringan lemak, otot skeletal berkurang (tidak dapat
menggunakan insulin secara efisien) sehingga mengakibatkan kadar glukosa dalam darah meningkat. Kadar glukosa yang tinggi dalam waktu lama dapat menyebabkan disfungsi endotel dan akhirnya dapat mempercepat proses arterosklesrotik. Untuk kadar insulin yang lebih banyak daripada normal untuk mempertahankan keadaaan normoglikemi. Faktor-faktor yang terbukti berpengaruh pada resistensi insulin ini, meliputi : a.
Faktor genetik
b.
Penggunaan karbohidrat dan gula secara berlebihan
c.
Penggunaan asam lemak jenuh yang berlebihan, sementara lemak esensial terlalu sedikit
d.
Ketidakseimbangan antara kalsium dan magnesium
e.
Penggunaan stimulan dan obat tertentu
f.
Stress
Asupan pangan berlebihan
GENETIK
Ketidakaktifan fisik
Resistensi Insulin 1
hiperinsulinemia
Komplikasi makrovaskular
ADIPOGENESIS, BERAT BADAN BERLEBIH OBESITAS
2
hiperinsulinemia hiperglikemia DM tipe II Komplikasi makro/mikro Stress, kerusakan pankreas vaskular
Gambar 1.2 Diagram Alir Keterjadian Sindrom Metabolik. ( Arisman. 2011 ) Bukti campur tangan komponen genetik diperoleh berdasarkan hasil kajian keluarga yang menunjukkan bahwa sindrom metabolik sangat mungkin dimiliki seorang pengidap obesitas jika orang tuanya merupakan penyandang diabetes, hipertensi, atau keduanya. Prevalensi kembar monozigot, dalam menampakan komponen sindrom ini, lebih tinggi ketimbang kembar dizigot. Karbohidrat adalah penyumbang kelimpahan
insulin, terutama akibat penggunaan refined sugar secara berlebihan dalam jangka panjang. Kelimpahan asam lemak jenuh, khususnya ketidak selarasan perbandingan antara asam-asam lemak bebas (omega 3 dan omega 6 ), mengakibatkan ketidaknormalan membran sel pada akhirnya menghambat masuknya molekul glukosa kedalam sel. Magnesium ialah mineral yang banyak berperan dalam berbagai kegiatan metabolik, seperti relaksasi otot dan syaraf, pencernaan lemak, aktivitas normal kelenjar tiroid, penurunan kadar kolesterol, dan lain-lain. Terkikisnya magnesium langsung memicu kontraksi pembuluh darah, mengakiatkan peninggian tekanan darah serta perangsangan sistem syaraf secara berlebihan.( Arisman. 2011 ) Keadaan metabolik yang bertalian resistensi insulin :
Resistensi leptin
Dislipidemia
Kadar lipoprotein meningkat
Homosistein meningkat
Trigliserida tinggi
Sistem transpor glukosa otot lurik (GLUT-4) terganggu
Hiperkortisolisme
Tekanan darah meningkat
Kadar GH rendah (Kelly, Gregory S. 2000)
Magnesium juga merupakan komponen penting dalam pembentukan insulin, disamping insulin itu sendiri berperan aktif dalam proses uptake mineral ini ke dalam sel. Resistensi insulin mengurangi penyerapan magnesium, yang ikut memicu hiperaktivitas sel yang pada gilirannya kelak akan menambah beban resistensi insulin. Kelebihan glukosa dalam darah menyebabkan pertambahan uptake calsium ke dalam sel. Pertambahan uptake calsium yang diikuti pengurangan uptake magnesium akan mengganggu keseimbangan calsium magnesium. Dampak dari dominasi ion calsium ialah perangsangan sel secara berlebihan (overstimulation) oleh calsium mengakibatkan hipersensitifitas sel.( Arisman. 2011 )
B. EPIDEMIOLOGI SINDROM METABOLIK Konsep dari Sindrom Metabolik telah ada sejak ±80 tahun yang lalu, pada tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan gout. Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan berbagai faktor resiko: dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara bersamaan dikenal sebagai multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskuler dan disebut dengan sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom resistensi insulin. Dan kemudian NCEP-ATP III menamakan dengan istilah Sindrom Metabolik. Konsep Sindrom Metabolik ini telah banyak diterima secara Internasional. Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third National Health and Nutrition Examination Survey. prevalensi sindrom metabolik (dengan menggunakan kriteria NCEPATP III) bervariasi dari 16% pada laki-laki kulit hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi Sindrom Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai berat badan lebih atau gemuk, diperkirakan Sindrom Metabolik melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit kardiovaskular. Sindrom metabolik juga merupakan prediktor kuat untuk terjadinya DM tipe 2 dikemudian hari. C. ETIOLOGI Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik) mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin dan
dislipidemia.
Para
peneliti
juga
mendapatkan
bahwa
ketidakseimbangan
aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan infark miokard. D. PATOFISIOLOGI Pada usia lanjut pathogenesis terjadinya hipertensi usia lanjut sedikit berbeda dengan yang terjadi pada dewasa muda. Factor yang berperan pada usia lanjut terutama adalah : 1.
Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua. Hal ini menyebabkan suatu sirkulasi vitiosus : hipertensi-glomerulo-sklerosis-hipertensi yang berlangsung terus menerus.
2.
Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Makin lanjutnya usia makin sensitive terhadap peningktan atau penurunan kadar natrium.
3.
Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan mengakibatkan hipertensi sistolik saja.
4.
Perubahan ateromatous akibat proses menua menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokinin dan substansi kimiawi lain yang kemudian menyebabkan resorbsi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sclerosis pembuluh darah perifer dan keadaan lain yang berakibat pada kenaikan tekanan darah. Menurut Prof. Reavan dan DeFronzo (1992) ternyata memang ada resistensi insulin
perifer yang menandai DM-2 pada kelompok ini. Menurunnya toleransi glukosa pada usia lanjut ini berhubungan dengan berkurangnya sensitivitas sel perifer terhadap efek insulin (resistensi insulin). Ada juga factor sekunder yaitu perubahan pola hidup dan timbulnya penyakit lain. Keduanya memang sama-sama ditandai dengan hiperglikemi, namun dampak komplikasinya berbeda. Insulin merupakan hormon anabolik tubuh yang prinsipil, yang mengatur perkembangan dan pertumbuhan yang sesuai dan juga sebagai maintenance dari sistem homeostasis glukosa di seluruh tubuh. Hormon insulin disekresi oleh sel β pulau Langerhan dari organ pankreas. Insulin berperan dalam menurunkan kadar gula darah melalui beberapa cara; 1).supressi hepatic glucose output (melalui penurunan gluconeogenesis dan glycogenolysis), 2). merangsang penyimpanan terutama ke otot dan jaringan lemak melalui glucose transporter yaitu Glucose Transporter -4 (GLUT-4).
Reseptor insulin terdistribusi secara luas di sistem sarap pusat, terutama di daerah hipotalamus dan pituitary. Pada eksperimen hewan percobaan, gangguan gen reseptor insulin di system saraf pusat memperlihatkan suatu keadaan kebutuhan asupan makanan yang meningkat pada hewan tersebut sehingga menginduksi keadaan obesitas dan re sisten insulin. Aksi Insulin di sistem saraf pusat memberikan negative feedback bagi inhibisi postprandial dari asupan makanan dan berperan sebagai pusat pengaturan berat badan. Insulin juga mempunyai efek anti apoptosis, hal ini didukung oleh studi eksperimen pada binatang percobaan dimana dengan penam bahan insulin pada cairan reperfusi berhubungan dengan pengurangan ukuran miokard infark sekitar 50%. Sedangkan studi pada manusia, pemberian infus insulin dosis rendah dengan heparin dan agen trombolitik menunjukkan efek kardioprotektif. Efek anti inflamasi juga terdapat pada insulin hal ini didukung oleh eksperimen pada binatang percobaan bahwa pemberian insulin menunjukkan pengurangan mediator-mediat or inflamasi (IL- β, IL-6, macrophage migration inhibitor factor [MIF], TNF – α), dan expression of proinflammatory transcription factors CEBP (C enhancer binding protein) dan cytokines. Kemampuan insulin dalam efek antioksidan didukung dengan kemampuannya untuk menekan reactive oxygen species (ROS). Patogenesis sindrom metabolik masih tidak jelas, tetapi kelainan dasarnya adalah resistensi insulin. Resistensi insulin didefinisikan sebagai suat u kondisi dijumpainya produksi insulin yang normal namun telah terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin, sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel Beta. Resistensi insulin ini sering mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan mempunyai kontribusi dalam perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi. Dan resistensi insulin dijumpai pada sebagian besar pasien dengan Sindrom Metabolik. Resistensi Insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang menentukan terjadinya disfungsi endotel. Resistensi Insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric Oxide (NO) yang dihasilkan oleh sel-sel endotel, sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi endotel melalui beberapa cara seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan sel-sel endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan biava ilabilitas NO atau melalui efek proinflamasi pada sel-sel otot polos vaskuler. Disfungsi endotel ini berhubungan dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit kardiovaskuler (Barnet, 2004). Proses-proses seluler yang penting yang berkenaan dengan disfungsi endotel ini dapat dilihat pada gambar-1. Menurut Kuusisto (1993) pada keadaan hiperinsuli nemia insulin dapat ditemukan pada otak, berperan sebagai neuromodulator yang menghambat aktifitas sinap. Reseptor-reseptor insulin telah ditemukan pada daerah hipotalamus dan hipokampus. Dipercaya bahwa insulin yang ada berasal dari plasma dan berakses ke otak pada daerah circumventricular yang merupakan daerah yang sedikit mengandung sawar darah otak.
Insulin juga bertransportasi melewati sawar darah ot ak melalui reseptor spesifik dan masuk ke jaringan syaraf secara langsung atau masuk melalui cairan serebrospinal. Pada beberapa studi ditemukan bahwa dalam keadaan hiperinsulinemia, insulin dapat mengurangi aktifitas kolinergik yang bersifat reversibel pada kultur neuron striatum dan dapat mempercepat turnover dari monoamin di otak. Sebagaimana diketahui bahwa neuron-neuron kolinergik banyak yang rusak pada demensia atau penyakit Alzheimer. Fakta-fakta tersebut menjelaskan bahwa insulin dapat mengganggu fungsi kognitif melalui penghambatan aktifitas sinap secara langsung, penurunan aktifitas kolinergik ataupun melalui keterlibatan metabolism monoamin di otak. Faktor-faktor resiko untuk gangguan fungsi kognitif seperti demensia vaskuler adalah umumnya sama dengan faktor resiko untuk stroke yaitu hipertensi, diabetes, hiperlipidemi, merokok, aritmia jantung. Pengobatan medis untuk demensia vaskuler ini ditujukan sebagai kontrol terhadap berbagai keadaan seperti hipertensi, diabetes, hiperlipidemia yang dapat menyebabkan infark. Hubungan antara kolesterol dengan fungsi kognitif telah banyak diteliti, dan hasilnya banyak yang saling bertentangan. Reitz, dkk (2005) melakukan studi terhadap 1147 lanjut usia yang sehat tanpa demensia ataupun gangguan kognitif, didapati hasilnya tidak ada hubungan yang bermakna antara kolesterol total, HDL dan LDL dengan gangguan fungsi kognitif. Launer, dkk (2001) menyatakan bahwa hubungan antara kadar lipid diusia paruh baya terhadap resiko terjadinya gangguan kognitif dibuktikan dengan autopsi dengan hasilnya bahwa kadar kolesterol total yang rendah di usia paruh baya dihubungkan dengan jumlah neuritik yang lebih sedikit, adanya plak amyloid dan neurofibrillary tangels.
E. PREVALENSI
Berdasarkan data prevalensi pada tabel diatas, menunjukkan bahwa The global prevalence of first obesity, kemudian metabolic syndrome (MetS) dan diabetes, telah meningkat sejak abad middle of the twentieth. F. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PREVALENSI METABOLIK SINDROM DAN VARIASI POPULASI
1. Usia Dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional ketiga (NHANES III) yang dilakukan di Amerika Serikat (AS), prevalensi sindrom metabolik (didefinisikan dengan menggunakan kriteria NCEP) meningkat dari 6,7% di antara peserta yang berusia 20-29 tahun menjadi 43,5% untuk usia 60–69 tahun dan 42,0% untuk peserta berusia 70 tahun atau lebih (Ford, Giles, & Dietz 2002). Penelitian HUNT 2 Norwegia melaporkan bahwa prevalensi sindrom metabolik yang didefinisikan IDF meningkat pada pria dari 11,0% pada usia 20-29 tahun menjadi 47,2% pada wanita berusia 80-89 tahun dan pada wanita dari 9,2% menjadi 64,4% untuk usia yang sama. kelompok (Hildrum et al. 2007). 2. Seks Sebagai obesitas sentral adalah salah satu faktor yang termasuk dalam definisi sindrom metabolik dan, untuk indeks massa tubuh yang diberikan, obesitas sentral lebih sering terjadi pada pria, mungkin diharapkan bahwa prevalensi sindrom metabolik akan lebih tinggi pada pria daripada wanita. 3. Etnis Beberapa kelompok etnis memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk obesitas sentral daripada yang lain: misalnya, prevalensi obesitas sentral lebih tinggi di antara orang Asia Selatan daripada orang Eropa dan lebih tinggi di antara orang Eropa daripada AfroKaribia. Fitur lain dari sindrom metabolik menunjukkan pola yang berbeda berdasarkan etnisitas, misalnya, prevalensi hipertensi lebih tinggi di kalangan Afro-Karibia daripada kelompok etnis lain. Di antara populasi Asia, prevalensi sindrom metabolik yang didefinisikan menggunakan kriteria standar umumnya lebih rendah daripada di antara populasi Eropa. Ketika kriteria lingkar pinggang dimodifikasi ke titik potong yang lebih rendah yang dianggap sesuai untuk populasi Asia, prevalensi sindrom metabolik meningkat dan menjadi lebih mirip dengan (untuk populasi Asia Tenggara, misalnya dari Korea) atau lebih tinggi dari (untuk penduduk Asia selatan , misalnya orang Indian perkotaan) daripada untuk populasi Eropa. 4. Diet dan aktivitas fisik Efek utama dari tingkat aktivitas fisik dan kebugaran dan diet pada prevalensi sindrom metabolik setidaknya sebagian dimediasi melalui efeknya pada distribusi lemak dan obesitas. 5. Berat lahir Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah dikaitkan dengan prevalensi sindrom metabolik yang lebih tinggi dalam kehidupan dewasa (untuk ulasan lihat Hales & Ozanne 2003; Nobili et al. 2008).
Pengaruh berat badan lahir rendah pada peningkatan risiko sindrom metabolik tampaknya secara khusus ditandai ketika dikaitkan dengan obesitas pada masa dewasa (Yarbrough et al. 1998). 6. Faktor genetik Setiap komponen sindrom metabolik ditentukan oleh interaksi gen-lingkungan yang kompleks.Komponen pasti dari sindrom metabolik mungkin lebih kuat dipengaruhi oleh lingkungan dan lainnya oleh warisan genetika. 7. Alkohol Konsumsi alkohol dikaitkan dengan peningkatan kadar HDL-kolesterol, meningkatkan tingkat TG dan meningkatkan tekanan darah dan karena itu memiliki efek yang berbeda pada berbagai aspek sindrom metabolik (Yoon et al. 2004; Vernay et al. 2004) Analisis meta dari tujuh studi observasional tentang hubungan antara konsumsi alkohol dan sindrom metabolik menunjukkan bahwa konsumsi alkohol kurang dari 20g / hari di antara wanita, dan kurang dari 40g / hari di antara pria dikaitkan dengan prevalensi sindrom metabolik yang lebih rendah. dari kalangan orang-orang yang tergolong peminum alkohol (Alkerwi et al. 2009). 8. Co-morbiditas Di antara orang dengan diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung koroner, prevalensi sindrom metabolik jauh lebih tinggi daripada di antara populasi umum. prevalensi sindrom metabolik adalah antara 76 dan 92% dalam berbagai populasi orang dengan diabetes (Relimpio et al. 2004; Ilanne-Parikka et al. 2004; Bruno et al. 2004; Ogbera 2010).
DAFTAR PUSTAKA Vega GL. Obesity, the metabolic syndrome, and cardiovascular disease. Am Heart J 2001;142:1108-16. Reaven GM. Banting lecture 1988. Role of insulin resistance in human disease. Diabetes 1988;37:1595-607. Lamarche B, Tchernof A, Mauriege P, Cantin B, Dagenais GR,Lupien PJ, et al. Fasting insulin and apolipoprotein B levels and low-density lipoprotein particle size as risk factors for ischemic heart disease. JAMA 1998;279:1955-61. Ford ES, Giles WH. A comparison of the prevalence of the metabolic syndrome using two proposed definitions. Diabetes Care 2003;26:575-81. Ford ES, Giles WH, Dietz WH. Prevalence of the metabolic syndrome among U.S. adults: findings from the Third National Health and Nutrition Examination Survey. JAMA 2002;287:356-9. Alberti KG, Zimmet PZ. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its complications. Part 1: diagnosis and classification of diabetes mellitus, provisional report of a WHO consultation. Diabet Med 1998;15:539-53. Eckel RH, Krauss RM. American Heart Association call to action: obesity as a major risk factor for coronary heart disease. AHA Nutrition Committee. Circulation 1998;97:2099-100. Grundy SM, Brewer HB Jr, Cleeman JI, Smith SC Jr, Lenfant C, for The American Heart Association/ National Heart, Lung, and Blood Institute. Definition of metabolic syndrome: Report of the National Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association conference on scientific issues related to definition. Circulation 2004; 109:433-8. Bjorntorp P. Heart and soul: stress and the metabolic syndrome. Scand Cardiovasc J 2001;35:172-7. Lopez-Candales A. Metabolic syndrome X: a comprehensive review of the pathophysiology and recommended therapy. J Med 2001;32:283-300. Hark L, Deen D Jr. Taking a nutrition history: a practical approach for family physicians. Am Fam Physician 1999;59:1521-8,1531-2. Deen D. Metabolic Syndrome : Time of Action. Am Fam Physician