BAB 1 PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Menurut Wibisono, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
B. RUMUSAN MASALAH Adapun rumusan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah : 1. Menjelaskan apa itu Konsep Aksiologi ? 2. Menjelaskan ilmu bebas nilai dan terikat nilai 3. Menjelaskan tujuan dan fungsi ilmu dalam perspektif islam 4. Menjelaskan integrasi ilmu sebuah landasan filosofis nilai kegunaan ilmu : ilmu dan moral 1|Page
C. TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah : 1. Agar kita mengetahui apa itu Konsep Aksiologi. 2. Agar kita dapat menjelaskan bebas nilai dan terikat nilai 3. Agar kita dapat menjelaskan tujuan dan fungsi ilmu dalam perspektif islam 5. Agar kita dapat menjelaskan tentang integrasi ilmu sebuah landasan filosofis nilai kegunaan ilmu : ilmu dan moral
2|Page
BAB II PEMBAHASAN
A. KAITAN ILMU DENGAN NILAI-NILAI Di dunia modern ini, ilmu sangatlah mendominasi. dipandang dari segi masa depan, ilmu dianggap sebagai sumber nasihat tentang perilaku. Dalam pandangan Habermas, jelas sekali bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam, manusia dan manusia, manusia dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu itu terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja terlepas dari nilai. Tanggungjawab ilmu pengetahuan dan tekhnologi menyangkut tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di masa-masa lalu. Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Kaitan ilmu terhadap nilai-nilai membuatnya tak terpisahkan dengan nilai. 1. ILMU BEBAS NILAI Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktro eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri. Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
3|Page
a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural, dan social. b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di sisni menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri. c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal. Dalam pandanang ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkadang hal tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air condition, yang ternyata berpengaruh pada pemanasan global dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulakan pada lingkungan sekitar. Dalam ilmu bebas nilai tujuan dari ilimu itu untuk ilmu. Dengan bebas nilai kita maksudkan suatu tuntutan dengan mengajukan kepada setiap kegiatan ilmiah atas dasar hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Orang yang mendukung bebas nilai ilmu pengetahuan akan melakukan kegiatan ilmiah berdasarkan nilai yang khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Karena kebenaran dijunjung tinggi sebagai nilai, maka kebenaran itu dikejar secara murni dan semua nilai lain dikesampingkan. 2. ILMU TERIKAT NILAI Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya. 4|Page
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen Habermas berpendapat bahwa ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu selau ada kepentingan-kepentingan. Dia juga membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan masing-masing; a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya. b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama, karena tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuana ini adalah pemahaman makna. c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.
5|Page
B. TUJUAN DAN FUNGSI ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad adalah “iqra'” atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra’ inilah, umat Islam diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami, mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan dilandasi “bismi rabbik”, dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluasluasnya (Achmadi, 2005:33) Ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya.Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau kemudahan-kemudahan pada material duniawi. Solusi yang diberikan Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai 6|Page
dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau ilmuwan. Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur’an agar tidak bebas nilai. Nilai dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu dan kehendak Allah. Melakukan yg wajib adalah diperintah oleh Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. Adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas
baginya
balasan
yang
buruk
Seorang ilmuwan muslim tidak hanya diharapkan berkata benar, namun juga baik, indah dan bernilai, misalnya jika seorang ilmuwan sekuler berkata bahwa untuk bebas dari penyakit kelamin harus memakai kondom jika berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan muslim berkata bahwa berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam. Contoh lain dari kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan istri yang
tidak
dapat
memberi
anak,
sistem
perang
atau
jihad
yang
tidak
berperikemanusiaan, menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan lainnya. Prinsip-prinsip semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim berangkat dari membaca Al Qur’an dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (13041377), Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).
7|Page
C. INTEGRASI ILMU SEBUAH LANDASAN FILOSOFIS NILAI KEGUNAAN ILMU : ILMU DAN MORAL
Perkembangan ilmu tidak pernah terlepas dari ketersinggungannya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu, sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral
para penggunanya. Peledakan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan sebuah contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada zamannya. Pada dasarnya masalah moral,
tidak
bisa
dilepaskan
dari
tekad
manusia
untuk
menemukan
dan
mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu seringkali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu. Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei adalah beberapa contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana ilmu harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal tersebut bersumber dari pernyataan-pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama). Karena berbagai sebab diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otono- mi dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan. Setelah pertarungan i-deologis selama kurun waktu 250 tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan kebebas-an dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat dogmatik. Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam ben-tuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai peme-cahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan mema-hami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, 8|Page
tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral. Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa peng- gunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan. Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat netral dan terbebas dari ber- bagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah meneliti dan menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain akan menggunakan pengetahuan tersebut atau tidak, atau digunakan untuk tujuan yang baik atau tidak. Kelompok lainnya memandang bahwa netralitas ilmu hanya pada proses penemuan ilmu saja, dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan penelitian, seorang ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini mendasarkan pemandangannya pada beberapa hal, yakni: 1. Sejarah telah membuktikan bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perang yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan. 2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui akibatakibat yang mungkin terjadi serta pemecahan-pemecahannya, bila terjadi penyalahgunaan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka kelompok kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia. Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat 9|Page
bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seseorang ilmuan yang memiliki landasan moral yang kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuwan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu (bodoh). Kita berharap semoga hal ini bisa disadari oleh para ilmuwan, pihak pemerintah, dan pendidik agar dalam proses transformasi ilmu pengetahuan tetap mengindahkan aspek moral. Karena ketangguhan suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh ketangguhkan ilmu pengetahuan tapi juga oleh ketangguhan moral warga.
10 | P a g e
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Kesimpulan dari makalah ini adalah : 1. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. 2. Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama seklai dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktro eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri. 3. Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya. 4. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praktisnya atau kemudahan-kemudahan pada material duniawi. 5. Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. 11 | P a g e
B. SARAN
Sebelumnya kami penyusun makalah ini mohon ma’af apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata-kata, dan makalah kami pun di sini masih belum sempurna, untuk itu sekiranya apabila masih di rasa pembaca masih belum cukup bahasan-bahasan di dalam makalah ini di sarankan untuk mencari sumber referensi dari buku-buku atau sumber-sumber yang semacamnya.
12 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
https://hidayatullahahmad.wordpress.com/2013/03/17/makalah-filsafat-ilmu-aksiologi/ https://istighfarahmq.wordpress.com/.../makalah-ilmu-bebas-nilai-atau-ilmu-tidak-beb... https://pamungkasbirawa.wordpress.com/2011/01/30/ilmu-terikat-nilai/ https://abdwahidhoriz.wordpress.com/.../aksiologi-dalam-perspektif-islam-dan-umum-...
https://ilmufilsafat.wordpress.com/2012/05/21/hubungan-ilmu-dan-moral/
13 | P a g e