-
Lisbet Priani Simatupang Reni Ester Pertiwi Harefa Chinty Indria Mentari Mutia Vriona Ade Maenkar Tya Andriani Mardiyah Syafitri Elfina Rehngenana Elsya Rahayu Falen Putri Ani Cindy Lofina Bina Primadana Simanjuntak Hilna Indira Nikita Nasution Widad Ulfa Pulungan
183202199 183202201 183202183 183202167 183202133 183202139 183202205 183202145 183202141 183202144 183202209 183202121 183202168 183202156
A. Defenisi Pelanggaran Kode Etik dan Displin Apoteker Indonesia dalam Tataran Praktis di Komunitas Kesadaran masyarakat terhadap perkembangan pelayanan kesehatan yang semakin bervariasi dan hubungan antara pasien dengan pemberi pelayanan kesehatan yang tidak hanya cukup diatur dalam kaidah-kaidah moral saja melalui kode etik atau etika profesi dan disiplin oleh pemberi pelayanan kesehatan, maka mulai dirasakan perlunya pengaturan dengan kaidah-kaidah yang lebih memaksa secara normatif sebagai usaha untuk memberikan kesempatan kepada pasien mempertahankan hak dan mendapatkan perlindungan hukum. Interaksi antara pemberi pelayanan dan penerima pelayanan kesehatan akan terjadi dalam suatu hubungan hukum, maka fungsi hukum dalam melindungi kepentingan manusia akan berorientasi pada tanggung jawab, kewajiban dan risiko. Dasar pertanggungjawaban terhadap tindakan yang dilakukan oleh apoteker sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan yang meliputi pelanggaran dan pertangungjawaban secara etik, disiplin dan secara hukum. Pelanggaran Kode Etik Profesi merupakan penyimpangan terhadap norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, kode etik profesi akan mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat. Kode etik profesi akan bisa dijadikan sebagai acuan dasar dan sekaligus alat kontrol internal bagi anggota profesi, disamping juga sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat dari perbuatan perbuatan yang tidak profesional. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran kode etik profesi, antara lain: a. Tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dari masyarakat. b. Organisasi profesi tidak dilengkapi dengan sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan. c. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi. d. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya. e. Tidak adanya kesadaran etis pada moralitas diantara para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya.
Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup 2 (dua) kasus utama, yaitu : a. Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilainilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi. b. Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan
kualitas
keahlian
yang
sulit
atau
kurang
dapat
dipertanggungjawabkan menurut standar maupun kriteria professional. Malpraktik etik oleh apoteker apabila apoteker melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika apoteker yang dituangkan dalam Kode Etik Apoteker Indonesia dan juga melanggar sumpah/janji apoteker yang merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk apoteker, beberapa contoh dapat dikatakan apoteker melanggar etik apabila : 1. Tidak mematuhi dan mengamalkan kode etik apoteker 2. Tidak mentaati sumpah/janji apoteker 3. Tidak menjaga martabat dan tradisi luhur jabatan apoteker 4. Tidak mengikuti perkembangan Iptek dan Per UU 5. Melakukan pelanggaran hukum. Secara umum bentuk pelanggaran etik (ethic malpraktice) dibagi 2 (dua) yaitu: a. Pelanggaran etik murni 1) Menyalahgunakan kemampuan profesionalnya untuk kepentingan orang lain 2) Manyampaikan ketidakpercayaannya terhadap pelayanan yang diberikan teman sejawatnya di hadapan pasien. 3) Tidak pernah mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan pada umumnya dan bidang kefarmasian pada khususnya 4) Apoteker tidak mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya secara terusmenerus.
b. Pelanggaran etikolegal 1) Apoteker memberikan pelayanan kefarmasian di bawah standar. 2) Menerbitkan copy resep palsu. Dalam pedoman penilaian pelanggaran etik apoteker, pemberian sanksi akan dikelompokkan berdasarkan kriteria pelanggaran etik yaitu: a) Ignorant (tidak tahu) b) Kelalaian (alpa) c) Kurang Perhatian d) Kurang terampil e) Sengaja Pelanggaran etik belum tentu pelangaran hukum, jika apoteker melanggar etik maka akan diputuskan oleh MEDAI (Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia) sanksi yang diberikan biasanya sanksi administratif, bukan hukuman badan atau penjara, bahkan sanksinya berupa sanksi moral. Peraturan yang digunakan dasar oleh MEDAI untuk memberi keputusan ada tidaknya pelanggaran etik yaitu Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah/janji apoteker.
B. Jenis Pelangaran Kode Etik dan Displin Apoteker di Apotek Beberapa jenis pelanggaran apoteker yang terjadi di apotek adalah:
Apoteker terlibat dalam penyaluran dan penyimpanan obat palsu atau gelap (narkotika/psikotropika).
Apoteker tidak berada di apotek pada jam praktek sehingga tidak dapat melayani dan memberikan informasi tentang obat kepada pasien.
Apoteker menyimpan dan menjual obat yang sudah kadaluarsa ataupun obat yang telah rusak
Apoteker bekerja sama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada pihak yang tidak benar
Salinan resep tidak ditandatangani oleh apoteker
Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain
C. Kasus-kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh Apoteker di Apotek adalah: 1. Berdasarkan informasi Polres A telah dilakukan pemeriksaan terhadap apotekapotek di Kabupaten A dan pada salah satu apotek ditemukan penjualan tablet carnophen secara bebas dikalangan remaja rata-rata 12 box/bulan dan Trihexyphenidyl sebanyak 7 box/bulan, dan penjualan tanpa resep Ephedrine tablet rata-rata 3 kaleng @1000 tablet serta penjualan tanpa resep diazepam 5 mg tablet sebanyak 30 tablet. - Pembahasan pelanggaran kode etik :
Pasal 3
Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. PEMBAHASAN : Dari kasus diatas, apoteker tidak menjalankan profesinya sesuai kompetensi apoteker indonesia karena apoteker menjual obat-obatan secara bebas, dimana yang seharusnya sebagai seorang apoteker hanya dapat memberikan obat-obat tertentu (obat-obatan yang tergolong keras) penjualannya harus berdasarkan resep dokter.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. PEMBAHASAN: Dari kasus diatas, apoteker dapat dikatakan mencari keuntungan diri semata. Dengan menjual obat-obatan bebas, apoteker mendapatkan keuntungan diri sendiri (keuntungan dari penjualan obat bebas), sedangkan tidak memperdulikan bahaya obat yang akan dialami oleh pasien (terkhusus kalangan remaja yang mengonsumsi). Sebaiknya sebagai seorang apoteker harus menjunjung tinggi perikemanusiaan tanpa mencari keuntungan semata.
2. Apotek surya, berada di sebuah kota di pinggir kota wisata, buka hanya sore hari jam 16.00 sd 21.00, tetapi pasiennya sangat ramai, jumlah resep yang di layani rata-
rata perhari 75 lembar, apotek tsb memiliki 1 apoteker 2 AA dan 2 pekarya. Ketika penyerahan obat mereka tidak sempat memberikan informasi yg cukup, karena banyaknya pasien yg di layani, apotekernya datang tiap hari pada jam 19.00, karena pegawai dinas kesehatan setempat. Bagaimana kajian saudara terhadap kasus tersebut diatas, di tinjau dari sisi sumpah profesi, etika farmasi dan peraturan dan perundang undangan yang berlaku? - PEMBAHASAN:
SUMPAH APOTEKER
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan 4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian PEMBAHASAN: Pada kasus tersebut Apoteker melanggar Sumpah Profesi terutama pada point 1 dan 4, karena Apoteker tersebut tidak menjalanakan tugas dengan sebaik-baiknya, Apoteker datang terlambat dan tidak memberikan informasi kepada pasien sehingga penggunaan obat oleh pasien tidak dilakukan dengan baik, hak pasien juga tidak dipenuhi, akibatnya MESO tidak terlaksana, sehingga
memungkinkan
terjadinya
pelanggaran
pada
kepentingan
perikemanusiaan.
KODE ETIK APOTEKER
Pasal 1 Sumpah/janji apoteker,setiap apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah apoteker PEMBAHASAN Apoteker dalam kasus diatas telah melanggar kode etik apoteker - Pasal 1 yang menyatakan bahwa apoteker harus menjunjung tinggi,menghayati dan mengamalkan sumpah apoteker, sedangkan pada pembahasan sebelumnya apoteker tersebut telah melanggar sumpah apoteker yaitu tidak menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya,apoteker datang terlambat dan tidak memberikan asuhan kefarmasian kepada pasien -.Pasal 3 Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya
PEMBAHASAN: Dari kasus diatas, apoteker tidak menjalankan profesinya sesuai kompetensi apoteker Indonesia karena apoteker tersebut tidak memberikan informasi obat dan konseling kepada pasien, dimana apoteker berkewajiban untuk memberikan informasi obat dan konseling kepada pasien. -.Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya PEMBAHASAN : Dari kasus di atas Apoteker tidak memberikan informasi kepada pasien, sehingga Apoteker secara jelas melanggar Pasal 7 Kode Etik Apoteker. Pelanggaran yang dilakukan oleh Apoteker jelas menunjukkan bahwa Apoteker tidak mengutamakan dan tidak berpegang teguh pada Prinsip Kemanusiaan. Dampak dari kurangnya informasi penggunaan obat dapat menyebabkan efek yang merugikan bagi pasien. -.Pasal 9 Seorang apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani PEMBAHASAN: Pada kasus tersebut, seorang apoteker tidak menjalankan kode etik pasal 7 dengan baik. Menurut pasal 7, seorang apoteker harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani, namun apoteker tersebut tidak memberikan informasi yang cukup kepada pasien. Sehingga dapat merugikan pasien. -.Pasal 15 Setiap apoteker bersungguh –sungguh menghayati dan mengamalkan kode etik apoteker indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang apoteker baik dengan sengaj maupun tidak sengaja melanggar atau tidak mematuhi kode etik apoteker indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sangsi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan YME
PP 51 TAHUN 2009 TTG PEKERJAAN KEFARMASIAN
-.Pasal 3 Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan
-.Pasal 21 (2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker PEMBAHASAN: Pada kasus tersebut Apoteker datang pada jam 19.00, sedangkan apotek dibuka pada jam 16.00, yang memungkinkan pelayanan resep dari jam 16.00 sampai jam 19.00 tidak dilakukan oleh apoteker. Hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 21 PP 51 tersebut diatas. Tidak disampaikannya informasi obat kepada pasien menyebabkan berbagai efek yang merugikan bagi pasien seperti tidak membaiknya kondisi pasien, penyakit bertambah parah, timbul efek samping yang dapat membahayakan keselamatan
D. Jenis Pelanggaran Kode Etik dan Displin Apoteker di Rumah Sakit Beberapa jenis pelanggaran apoteker yang terjadi di di rumah sakit adalah :
Apoteker membuat suatu obat yang isinya campuran dari beberapa obat (oplosan)
Apoteker rumah sakit mengganti resep dengan obat lain yang harganya lebih mahal
Apoteker rumah sakit melakukan kebohongan kapada pasien
Apoteker rumah sakit hanya mempertimbangkan keseimbangan stok obat tanpa mempedulikan kondisi pasien.
Apoteker rumah sakit ada kemungkinan melakukan kesalahan pembelian obat l lain sehingga stok berlebih bahkan mendekati expied date atau kemungkinan mempunyai kerja sama dengan produsennya.
E. Kasus Pelanggaran Kode Etik dan Displin Apoteker di Rumah Sakit 1. Seorang pasien mendapat resep obat paracetamol generik, tetapi karena obat paracetamol merek dagang Y jumlahnya digudang masih banyak dan kecenderungan medekati tahun ED, maka obat paracetamol generik di dalam resep diganti dengan obat Y yang kandungannya sama. Harga obat Y lebih mahal dibandingkan obat generik, tetapi dengan informasi ke pasien bahwa efek obat Y lebih cepat maka pasien menerimanya. - Identifikasi Masalah 1. Apoteker RS mengganti resep dengan obat Y yang harganya lebih mahal
2. Apoteker RS melakukan kebohongan kapada pasien 3. Apoteker RS ada kemungkinan melakukan kesalahan pembelian obat Y sehingga stok berlebih bahkan mendekati ED atau kemungkinan mempunyai kerja sama dengan produsennya. 4. Apoteker RS hanya mempertimbangkan keseimbangan stok obat tanpa mempedulikan kondisi pasien. - Dasar Hukum yang digunakan Apoteker tersebut (Peraturan Perundangan 51/2009) 1. Pasal 24 Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien Diskusi : Berdasarkan pasal tersebut maka apoteker tersebut tidak salah, tetapi menjadi salah karena landasan dasar yang digunakan dalam mengganti obat bukan karena stok kosong tapi karena jumlah obat Y berlebih digudang dan mendekati waktu ED serta ada kemungkinan kerja sama antara apoteker dengan produsen obat tersebut. -.Solusi dari Kasus Apoteker tidak seharusnya melakukan kebohongan kepada pasien dengan mengganti obat dalam resep dengan alasan efek obat lebih cepat, padahal hanya karena stok obat pengganti berlebih dan mendekati ED. Masalah tersebut harusnya dilakukan investigasi terkait penyebab jumlah obat yang masih banyak digudang dan melaporkannya dalam rapat Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
2. Kasus Berikut contoh pelanggaran etika profesi apoteker di Rumah Sakit : Pak Anton mendapatkan resep dari Poliklinik Anak Rumah Sakit “Amanah” untuk putranya yang berusia 8 tahun, Amoxicillin Dry syrup, menurut petugas yang menyerahkan obat tersebut syrup ini habis dalam 4 hari dan harus diminum terus selama 4 hari 3xsehari 1 sendok obat (5ml), tetapi ternyata setelah 2 hari penyakitnya malah tambah parah sehingga harus opname.
- Permasalahan Pada kasus diatas apoteker belum memenuhi hak pasien karena belum memberikan infomasi yang jelas dan benar mengenai obat yang diberikan atau diresepkan oleh dokter dari cara pemakaian, penyimpanan, efek samping dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penggunaan obat yang dikonsumsi sehingga memberi efek yang fatal atau buruk karena pasien tidak mendapatkan kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan obat (produk). -.Kajian Pelanggaran Etika oleh Apoteker Pelanggaran-pelanggaran
yang
terkait
mengenai
Apoteker
yang
tidak
memberikan informasi yang jelas kepada pasien adalah : 1. Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 7 : “Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya”. Pasal 9 : “Seorang Apoteker melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insane”. 2. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Yang menyatakan bahwa : Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. 3. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen a)
Pasal 4a Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b)
Pasal 7bKewajiban pelaku usaha adala : Memberikan informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. 4. SK Menkes RI No 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah SakitTujuan pelayanan farmasi ialah :
Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupundalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia
Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasiandan etik profesi
Melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai obat
Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan
Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan.
-.Solusi Dalam pencegahan pelanggaran kode etik apoteker tersebut diperlukan strategi antara lain: - Adanya kebijakan tentang pelayanan farmasi klinis dari pemerintah maupun pimpinanrumah sakit bersangkutan - Adanya dalam praktek KIE dalam pelayanan dfarmasi di rumah sakit. - Adanya
kegiatan
riset
dan
pengembangan
yang
dilaksanakan serta
pendidikan dan pelatihan - Adanya auditing sebagai proses umpan balik untuk perbaikan dan memberi jaminankualitas yang dikehendaki - Mempertinggi kemampuan untuk memberdayakan farmasi rumah sakit - Kepentingan dan tujuan kegiatan farmasi klinis harus dimengerti dan disepakati oleh petugas-petugas kesehatan - Menjalin hubungan baik antara profesi medis dan farmasi
F. Jenis pelanggaran kode etik dan disiplin apoteker di industri dan tempat praktis apoteker lainnya DI INDUSTRI: 1. Klaim, saling mengklaim suatu produk ialah melanggar etika. 2. Kebohongan publik dengan menginfokan tentang khasiat suatu obat yang tidak benar. 3. Persaingan tidak sehat antar industri farmasi.
DI APOTEK: 1.
Dokter menulis resep dengan kode, dan resep tersebut hanya bisa ditebus di apotek yang ditunjuk dokter.
2.
PSA menjual psikotropika dan pada saat membuat laporan bekerja sama dengan dokter untuk membuatkan resep.
3.
Krim malam, krim pagi buatan apotek sendiri, tidak diketahui formulanya.
DI PUSKESMAS ATAU KLINIK: 1.
Yang menyerahkan obat kepada pasien bukan apoteker, melainkan bidan, mantri, perawat, karena puskesmas tidak memiliki apoteker.
G. Kasus Pelanggaran Kode Etik dan Displin Apoteker di Industri dan Tempat Praktis Apoteker lainnya 1. “Apoteker A menjadi penanggungjawab apotek B yang sekaligus sebagai PSA. Suatu saat ia mendapatkan tawaran untuk menjadi penanggungjawab PBF C dan ia menerima tawaran tersebut. Tanpa melepas status sebagai APA, ia menjadi penanggungjawab PBF C. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan (PBF C), apoteker A melakukan kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit-rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek, pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap ada pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi”. Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut. Yang pertama adalah masalah penanggung jawab, dimana Apoteker A menjadi APA di Apotek B dan juga sekaligus menjadi PJ di Pedagang Besar Farmasi C. Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek & PBF, dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal.
Pembahasan Pelanggaran Pertama Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), yang mana merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai salah
seorang
tenaga
kefarmasian
yaitu
apoteker. Disamping STRA, apoteker juga harus memiliki izin lain ketika hendak melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA), diperlukan apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA), wajib dimiliki ketika melakukan
praktek di fasilitas produksi ataupun distribusi / penyaluran
kefarmasian. Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF, sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes 889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat saja. Pembahasan Pelanggaran Kedua Masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF, saya persingkat saja. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU 5/99. Pasal tersebut melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil dari pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat. Ada perjanjian antara apotek dan pbf berupa fee bagi apoteker, dimana apotek dan pbf merupakan bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila
keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal15 ayat (3).
SOLUSI Gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disini hanya melaporkan selengkapnya setau kita saja, dan akan dijamin kerahasiaannya. Selanjutnya KPPU akan menindaklanjuti laporan kita, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan penyelidikan tindakan pidana. Jadi daripada melaporkan sendiri kepolisi yang belum tentu kita benar dan takutnya malah dituntut balik, lebih baik ke KPPU aja karena semuanya mereka yang urus. Pelanggaran integrasi vertikal ini bisa dikenakan denda minimal 25 milyar
2. Praktek Monopoli dibidang Farmasi. Sebagai seorang yang berkecimpung didunia kesehatan terutama seorang ahli farmasi, maka banyak sekali pilihan dunia kerja yang bisa kita pilih dan tekuni. Alam kasus ini, Indra yang bekerja di apotek “AA” sebagai APA (apoteker Pengelola Apotek” dan hanya datang ke apotek AA satu kali seminggu untuk memeriksa dan mengkontrol apotek tersebut. Namun di sisi lain, Indra juga menjadi Penanggung Jawab (PJ) pada Pedagang Besar Farmasi C. Sedangkan ,diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk bekerja di dua tempat yang berbeda , hanya untuk satu tempat dan satu profesi saja. Yang kedua adalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF (Pedagang Besar Farmasi), dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama yang diwakili oleh Indra agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal. Dari sini, dapat ditemukan titik pelanggaran yang dilakukan. Namun tentunya akan terasa tidak akurat bila kita menyimpulkan hal tersebut sebagai sebuah pelanggaran tanpa adanya dasar.
-.Jenis Pelanggaran yang dilakukan Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut, berikut permasalahan yang dilakukan : 1. Yang pertama adalah masalah penanggung jawab, dimana Apoteker A menjadi APA (Apoteker Pengelola Apotik) di Apotek B dan juga sekaligus menjadi PJ (Penanggung Jawab) di Pedagang Besar Farmasi C. 2. Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF (Pedagang Besar Farmasi), dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal. -.Dasar Hukum Pelanggaran Dalam Studi kasus yang pertama perbuatan yang dilakukan oleh apoteker merupakan pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes No.889 Tahun 2011, Pasal 14 UU No.5 Tahun 1999, Pasal 15 ayat (3). a. Pasal 18 Permenkes 889/2011 Berikut ini ringkasan dari peraturan tersebut: Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker; Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi berupa: Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRK) yang dikeluarkan oleh Komite Farmasi Nasional (KFN). Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. STRK dan STRKTT berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan.
Persyaratan untuk memiliki STRK meliputi: -
memiliki ijazah Apoteker;
-
memiliki sertifikat kompetensi profesi;
-
memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
-
memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan
-
membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Persyaratan untuk memiliki STRKTT: -
memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
-
memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
-
memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
-
membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.
Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti sosial harus memiliki STRA Khusus yang dikeluarkan KFN dan berlaku selama 1 Tahun. Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Surat izin yang dimaksud berupa: -
Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
-
Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA)
-
Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK)
Peraturan ini juga mengatur tentang Komite Farmasi Nasional (KFN). KFN adalah lembaga yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk meningkatkan mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. Peraturan Menteri ini mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 184/Menkes/Per/II/1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin
Kerja Apoteker dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 679/Menkes/SK/V/2003 tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker. Keduanya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 3 Mei 2011. a. Pasal 14 UU 5/99 Pasal 14 UU nomor 5 tahun 1999 mengenai integrasi vertikal berisi : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
b. Pasal 15 ayat 3 Ketentuan Pasal 15 Ayat 3 mengatur suatu perjanjian mengenai persyaratan tertentu, yang mengikat pembeli supaya dia bisa memasok barang atau jasa dari produsen dengan pemberian harga atau potongan harga yaitu melalui suatu perjanjian eksklusif. -.Pembahasan Pelanggaran Pertama Pelanggaran yang pertama yaitu mengenai penanggung jawab. Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), yang mana merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai salah seorang tenaga kefarmasian yaitu Apoteker. Disamping STRA, apoteker juga harus memiliki izin lain ketika hendak melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA), diperlukan apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA), wajib dimiliki ketika melakukan praktek di fasilitas produksi ataupun distribusi / penyaluran kefarmasian. Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF, sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes
889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat saja. Bukan boleh memiliki SIPA dan SIKA untuk satu tempat kerja. Berbeda maknanya kalau begitu. -.Pembahasan Pelanggaran Kedua Jadi untuk masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU No. 5 tahun 1999. Pasal tersebut melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil dari pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat. Sebenarnya untuk sebuah kasus yang melibatkan sebuah perjanjian, kita harus menyimak benar-benar isi dari perjanjian tersebut. Tapi disini kita bisa berpatokan pada suatu kenyataan yang kita ketahui, yaitu ada perjanjian antara Apotek dan PBF berupa fee bagi apoteker, dimana Apotek dan PBF merupakan bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal 15 ayat (3). Untuk solusinya sebaiknya gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disini kita hanya melaporkan selengkapnya hal yang kita tahu saja, dan akan dijamin kerahasiaannya. Selanjutnya KPPU akan menindaklanjuti laporan kita, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan
penyelidikan tindakan pidana. Jadi daripada melaporkan kepolisi yang belum tentu kebenarannya lebih baik laporkan terlebih dahulu ke KPPU agar tidak terjadi tuntutan balik karena salah paham. Pelanggaran integrasi vertikal ini bisa dikenakan denda minimal 25 milyar rupiah. 3. Pemerintah telah menetapkan harga jual obat adalah 1-3 kali harga obat generiknya. Seorang apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di suatu industri farmasi mendapati bahwa harga bahan baku glibenclamid naik sehingga setelah diproduksi menjadi tablet glibenklamid juga harga tinggi. Bila mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik mengalami kerugian. Diketahui bahwa pabrik farmasi yang memproduksi tablet glibenclamid hanya oleh beberapa pabrik farmasi. Dari kasus diatas, tindakan yang sebaiknya dilakukan apoteker yaitu : Tetap memproduksi tablet glibenclamide karena sangat diperlukan oleh masyarakat. Tapi melakukan subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto saja. Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan tambahan yang lebih murah tapi tidak mengubah kualitas. Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi) dengan pemerintah terkait regulasi.
Bentuk pelanggaran profesi apoteker menurut SK PO-004 tentang pedoman disiplin apoteker Indonesia antara lain sebagai berikut : 1. Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten. Penjelasan: Melakukan Praktek kefarmasian tidak dengan standar praktek Profesi/standar kompetensi yang benar,sehingga berpotensi menimbulkan/mengakibatkan kerusakan,kerugian pasien atau masyarakat. 2. Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa kehadirannya, ataupun tanpa apoteker pengganti dan atau apoteker pendamping yang sah. 3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu dan atau tenaga-tenaga lainnya yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Membuat keputusan profesional yang tidak berpihak kepada kepentingan pasien atau masyarakat. 5. Tidak memberikan informasi yang sesuai, relevan dan “up to date” dengan cara yang mudah dimengerti oleh pasien/masyarakat, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan dan atau kerugian pasien. 6. Tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan standar prosedur operasional sebagai pedoman kerja bagi seluruh personil di sarana pekerjaan atau pelayanan kefarmasian, sesuai dengan kewenangannya. 7. Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin „mutu‟, ‟keamanan‟, dan ‟khasiat atau manfaat‟ kepada pasien. 8. Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat dan/atau bahan baku obat, tanpa prosedur yang berlaku, sehingga berpotensi menimbulkan tidak terjaminnya mutu, khasiat obat. 9. Tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian kepada pasien. 10. Melakukan penataan, penyimpanan obat tidak sesuai standar, sehingga berpotensi menimbulkan penurunan kualitas obat.
Sanksi Displin Apoteker : Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah: Pemberian peringatan tertulis Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker; dan/atau Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker.