BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit peningkatan tekanan darah di atas nilai normal. Menurut American Society of Hypertension (ASH), hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan. Komplikasi yang dapat terjadi akibat hipertensi adalah penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjal kronik, dan retinopati. Penyebab terjadinya hipertensi sampai saat ini belum dapat dipastikan, namun dampak dari hipertensi mengakibatkan morbiditas yang memerlukan penanganan serius, dan mortalitas yang cukup tinggi sehingga hipertensi disebut sebagai “the silent killer”. Beberapa faktor yang diketahui menyebabkan terjadinya hipertensi terdiri dari faktor penyebab yang dapat dimodifikasi (diet, obesitas,
merokok,
dan penyakit DM) dan faktor penyebab yang tidak dapat
dimodifikasi (usia, ras, jenis kelamin dan genetik). (Bianti Nuraini, 2015) Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg. (Depkes RI, 2006). Klasifikasi tekanan darah oleh Chobanian dkk. (2004) untuk pasien dewasa (usia ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis adalah sebagai berikut.
Table 1.1 Klasifikasi Hipertensi Sumber: Chobanian dkk, 2004
Pasien yang menderita hipertensi, kemungkinan besar juga dapat mengalami krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu kelainan klinis ditandai dengan 1
tekanan darah yang sangat tinggi yaitu tekanan sistolik >180 mmHg atau tekanan distolik >120 mmHg yang kemungkinan dapat menimbulkan atau tanda telah terjadi kerusakan organ. Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi yaitu tekanan darah meningkat ekstrim disertai kerusakan organ akut yang progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi yaitu tingginya tekanan darah tanpa adanya kerusakan organ yang progresif sehingga tekanan darah diturunkan dalam waktu beberapa jam hingga hari pada nilai tekanan darah tingkat I (DEPKES RI, 2006).
1.1.1 Insidensi dan Prevalensi Insiden hipertensi mulai terjadi seiring bertambahnya usia. Pada populasi umum, pria lebih banyak yang menderita penyakit ini dari pada wanita (pria 39 % dan wanita 31 %). Prevalensi hipertensi primer pada wanita sebesar 22%- 39% yang dimulai dari umur 50 sampai lebih dari 80 tahun,sedangkan pada wanita berumur kurang dari 85 tahun prevlensinya sebesar 22 % dan meningkat sampai 52 % pada wanita berumur lebih dari 85 tahun. Sekitar 60 % lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Lansia adalah periode dimana organ-organ di dalm tubuh telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu (Dalimartha, 2008). Penyakit hipertensi telah membunuh 9,4 juta warga didunia setiap tahunnya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang yang semakin bertambah banyak. Pada tahun 2025 mendatang diperkirakan sekitar 29 % warga dunia menderita hipertensi. Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara berkembang. Data Global Status Report on Noncomunicable Diseases 2010 dari WHO menyebutkan 40 % negara ekonomi berkembang memiiki penderita hipertensi, sedangkan megara maju hanya 35 % . Kawasan Afrika memegang posisi puncak penderita hipertensi sebanyak 46 %, sementara kawasan Amerika menempati posisi terakhir dengan 35 %.Di kawasan Asia Tenggara 36 % orang dewasa menderita hipertensi
2
Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5 %. Prevalensi didapat melalui pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8 %, tertinggi di Bangka Belitung 30,9 %, di ikuti Kalimantan Selatan 30,8 %, Kalimantan Timur 29,6 %, dan Jawa Barat 29,4 %, dan yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 %, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5 %. Jadi ada 0,1 % yang minum obat sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar 0,7 %. Jadi prevalensi hipertensi di indonesia sebesar 26,5 % (25,8 % + 0,7 %) (RISKESDAS, 2013) Prevalensi kasus hipertensi di Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 67,57 % lebih rendah di banding tahun 2011 sebesar 72,13 %. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, kasus tertinggi hipertensi esensial sebanyak 554.771 kasus (DEPKES RI, 2012). Prevalensi kasus hipertensi di Kab. Semarang pada tahun 2011 sebesar 42,4 %. Data kasus hipertensi dari tahun 2007 sebesar 48,3 %, mengalami penurunan di tahun 2008 sebesar 42,9 %, kemudian mengalami kenaikan di tahun 2009 sebesar 44,9 %, dan naik kembali pada tahun 2010 sebesar 46,8 % (DEPKES RI, 2011) Diet hipertensi bagi lansia bertujuan untuk membantu menurunkan tekanan darah dan mempertahankannya menuju normal. Disamping itu, diet juga ditujukan untuk menurunkan faktor risiko lain seperti berat badan yang berlebih, tingginya kadar lemak kolesterol dan asam urat dalam darah. Mengatur menu makanan sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk menghindari dan membatasi makanan yang dapat meningkatkan kadar kolesterol darah serta meningkatkan tekanan darah, sehingga penderita tidak mengalami stroke atau serangan jantung (Pudiastuti, 2013). Pengaturan diet untuk mengatasi masalah khususnya tekanan darah tinggi menjadi sangat penting dan efektif bagi lansia. Pengaturan diet yang tepat bagi lansia yang mengalami tekanan darah tinggi dapat dilakukan dengan empat cara. Cara pertama adalah diet rendah garam, yang terdiri dari diet ringan (konsumsi garam 3,757,5 gram per hari), diet menengah (konsumsi garam 1,25-3,75 gram per hari), diet berat (konsumsi garam ≤ 1,25 gram per hari). Cara kedua adalah dengan diet rendah kolesterol dan lemak terbatas. Cara ketiga adalah dengan diet tinggi serat. Dan cara yang keempat adalah dengan diet rendah energi, terutama bagi lansia yang mengalami kegemukan (Rudianto, 2013). Dampak penyakit hipertensi berkembang dari tahun ke tahun dan menghasilkan banyak komplikasi. Hipertensi merupakan faktor risiko utama pada penyakit jantung, 3
otak , ginjal, dan vaskuler (pembuluh darah) dengan komplikasi berupa serangan jantung (infark miokart), stroke (serangan otak), gagal ginjal dan penyakit vaskuler perifer. Akibat tekanan darah tinggi yang berlanjut terus menerus maka jantung bekerja lebih berat , hingga otot jantung membesar. Kerja jantung yang meningkat menyebabkan pembesaran yang dapat berlanjut menjadi gagal (heart failure). Selain itu, tekanan darah tinggi juga berpengaruh terhadap pembuluh darah koroner di jantung
berupa
terbentuknya
plak
(timbunan)
aterosklerosis
yang
dapat
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah dan mengahasilkan serangan jantung (DEPKES RI, 2014). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk dapat menurunkan tekanan darah tinggi diantaranya adalah cukup dengan berolahraga rutin 30 menit dalam 2-3 kali seminggu dengan melakukan olahraga yang sesuai dengan kemampuan tubuh dan kondisi tubuh. Mengkonsumsi pisang karena banyak mengandung kalium yang dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi asupan garam, berhenti merokok, menurunkan berat badan, hindari minuman beralkohol, mengelola stres dengan baik dengan melakukan relaksasi aroma terapi atau dengan mengisi hiburan yang menenangkan pikiran, serta batasi konsumsi minuman yang mengandung kafein dengan dosis dan takaran teratur untuk kopi dan teh cukup 1 cangkir = 100 ml setiap hari ketika pagi hari
1.1.2 Peran Perawat dan Implikasi pada Praktik Keperawatan Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronik yang dewasa ini semakin merebak baik di kalangan menengah ke bawah hingga menengah ke atas. Penyakit ini merupakan salah satu faktor terjadinya penyakit jantung koroner, gagal ginjal, maupun penyakit cerebrovaskular yang akan menjadikan seseorang mengalami penurunan kualitas hidup. Melihat urgensi dari masalah yang ada maka perlu adanya peran perawat dalam promosi kesehatan untuk masalah hipertensi agar tidak berkembang kepada komplikasi penyakit. Pelayanan keperawatan merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan. Pelayanan keperawatan diberikan kepada individu, kelompok maupun masyarakat sesuai dengan standar asuhan keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan adalah uraian pernyataan tingkat kinerja yang diinginkan, sehingga kualitas struktur, proses dan hasil dapat dinilai. Standar asuhan keperawatan berarti pernyataan kualitas yang didinginkan dan dapat dinilai pemberian asuhan keperawatan terhadap pasien. 4
Hubungan antara kualitas dan standar menjadi dua hal yang saling terkait erat, karena melalui standar dapat dikuantifikasi sebagai bukti pelayanan meningkat dan memburuk (Wilkinson, 2006). Pelayanan keperawatan profesional (professional nursing service) adalah suatu rangkaian upaya melaksanakan sistem pemberian asuhan keperawatan kepada masyarakat sesuai dengan kaidah-kaidah profesi keperawatan. Dalam pemberian pelayanan, perawat secara terintegrasi memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif, efektif dan efisien. Selain itu dalam pemberian asuhan keperawatan perawat juga memiliki sifat saling bergantung yang artinya bahwa sistem pemberian pelayanan memerlukan dan saling melengkapi dengan sistem pemberian pelayanan kesehatan yang lain (Kusnanto, 2004). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Pelayanan keperawatan yang profesional adalah praktek keperawatan yang dilandasi oleh nilai-nilai profesional yaitu mempunyai nilai otonomi dalam pekerjaannya, bertanggungjawab dan bertanggung gugat, pengambilan keputusan yang mandiri, kolaborasi dengan disiplin lain, pemberian pembelaan dan memfasilitasi kepentingan klien. Peran perawat dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan oleh individu sesuai dengan status sosialnya. Peran perawat yang utama adalah sebagai pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti. 1. Pelaksana layanan keperawatan (care provider) Perawat memberikan layanan berupa asuhan keperawatan secara langsung kepada
klien
(individu,
keluarga,
maupun
komunitas)
sesuai
dengan
kewenangannya. Asuhan keperawatan ini merupakan bantuan yang diberikan kepada klien karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan untuk dapat melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri dalam peranannya sebagai care provider, perawat bertugas untuk: 1) Memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi klien 2) Melindungi hak dan kewajiban klien agar tetap terlaksana dengan seimbang. 3) Memfasilitasi klien dengan anggota tim kesehatan lainnya 4) Berusaha mengembalikan kesehatan klien 5) Peran sebagai care provider merupakan peran yang sangat penting. Baik/tidaknya kualitas layanan profesi keperawatan dirasakan langsung oleh klien. Ilmu dan teori dalam keperawatan harus diwujudkan dalam aktivitas pelayanan nyata kepada klien agar klien mendapatkan kepuasan. Ini merupakan langkah 5
promosi yang sangat efektif dan murah dalam upaya membentuk citra perawat yang baik. 2. Pengelola (manager) Perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola layanan keperawatan di semua tatanan layanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dan sebagainya) maupun tatanan pendidikan yang berada dalam tanggung jawabnya sesuai dengan konsep manajemen keperawatan. Fungsi manajerial keperawatan yang harus dijalankan perawat antara lain planning, organizing, actuating, staffing, directing, dan controlling. Fungsi manajerial tersebut dilaksanakan di tiap tingkatan manajemen, baik first level manager, middle manager, maupun top manager. Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan peran manager dengan baik, seorang perawat harus memiliki keterampilan managerial yang meliputi technical skill, human skill, dan conceptual skill. Human skill mencakup kemampuan untuk bekerjasama, memahami, dan memotivasi orang lain, baik individu maupun kelompok. Dengan kata lain, human skill adalah keterampilan yang terkait dengan kepemimpinan dan hubungan antar manusia. Conceptual skill mencakup kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi secara keseluruhan dan kemampuan menilai apakah kegiatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan organisasi atau tidak. Keterampilan ini juga meliputi kemampuan untuk mengoordinasikan dan mengintegrasikan semua kepentingan dan aktivitas organisasi. Jadi, conceptual skill berhubungan dengan kemampuan dan keterampilan berpikir. 3.
Pendidik dalam keperawatan Sebagai pendidik, perawat berperan mendidik individu, keluarga, masyarakat, serta tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya. Perawat bertugas memberikan pendidikan kesehatan kepada klien sebagai upaya menciptakan perilaku individu/masyarakat yang kondusif bagi kesehatan. Pendidikan kesehatan tidak semata ditujukan untuk membangun kesadaran diri dengan pengetahuan kesehatan. Lebih dari itu, pendidikan kesehatan bertujuan untuk membangun perilaku kesehatan individu dan masyarakat. Kesehatan bukan sekedar untuk diketahui dan disikapi, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
6
4.
Peneliti dan pengembang ilmu keperawatan Sebagai sesuah profesi dan cabeng ilmu pengetahuan, keperawatan harus terus melakukan upaya pengembangan diri, salah satunya dengan riset keperawatan. Riset keperawatan akan menambah dasar pengetahuan ilmiah keperawatan dan meningkatkan praktik keperawatan bagi klien. Menurut Patricia dan Arthur (2002) praktik berdasarkan riset merupakan hal yang harus dipenuhi (esensial) jika profesi keperawatan
ingin
menjalankan
kewajibannya
pada
masyarakat
dalam
memberikan perawatan yang efektif dan efisien (Asmadi, 2014) Bila mengacu pada undang-undang Republik Indonesia tentang praktik keperawataan, pada pasal 31 dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, peran perawat ada dua yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan dan sebagai pendidik klien. Pelayanan Keperawatan menurut UU keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Hal tersebut menggambarkan bahwa pelayanan keperawatan merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien dan memberikan asuhan sesuai dengan kebutuhan pasien baik kebutuhan biopsikososio spiritual. Pelayanan keperawatan diharapkan dapat diberikan secara komprehensif, efektif dan efisien semata-mata untuk kesembuhan pasien. Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat mandiri menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (DEPKES RI, 2007). Terdapat tiga strategi dalam promosi kesehatan antara lain advokasi, dukungan sosial dan pemberdayaan. Melalui strategi promosi kesehatan yang mumpuni diharapkan suatu promosi kesehatan dapat secara efektif dan komprehensif dirasakan oleh masyarakat. Setiap tahun, tekanan darah tinggi menyumbang kematian hampir 9,4 juta orang akibat penyakit jantung dan stroke, dan jika digabungkan, kedua penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Hal ini menjadi masalah besar bagi perawat dalam upaya peningkatan peningkatan derajad kesehatan masyarakat 7
karena kasus hipertensi yang terjadi sekarang, bukan hanya terjadi dikalangan menengah ke atas tetapi sudah merambah ke semua kalangan masyarakat. Maka dari itu, perlu adanya upaya promosi kesehatan dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan melibatkan partisipasi langsung dari masyarakat. Terlepas dari upaya tenaga kesehatan salah satunya perawat, kebijakan pemerintah merupakan salah satu dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya promosi kesehatan. Melalui kebijakan-kebijakan yang sudah diatur, diharapkan mampu membantu perawat dalam pendekatan kepada masyarakat. Berikut ini merupakan bagan skema bagan strategi komprehensif kehatan Masyarakat dalam Pengendalian Hipertensi.
Tabel 1.1 Skema Strategi Komperehensif Kesehatan Masyarakat Dalam Pengendalian Hipertensi Sumber : Pedoman Teknis Temuan dan Tata laksana Hipertensi 2006
8
Target dari promosi kesehatan pada hipertensi meliputi keluarga, individu, maupun kader kesehatan. Strategi promosi kesehatan yang Peran perawat dalam upaya promosi kesehatan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 1) Promotif Pada tingkat promotif yang menjadi sasaran adalah kelompok orang yang sehat, sehingga dengan upaya ini dapat meningkatkan kesehatannya. Pada kasus hipertensi pendekatan perawat bertujuan untuk menurunkan resiko penyakit terhadap populasi dan mengoptimalkan kondisi lingkungan dan sosial dalam menunjang kesehatan. Dalam tahap ini perawat melalui strategi promosi kesehatan yang tepat merangkul masyarakat dalam upaya mendeteksi lebih dini adanya resiko penyakit hipertensi pada masyarakat yang sehat. Puskesmas merupakan pelayanan kesehatan strata pertama yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam memperoleh informasi dan edukasi tentang kesehatan khususnya tentang hipertensi. Pada tahap ini perawat membuka diri dengan cara melakukan penyuluhan/pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat tentang penyakit hipertensi baik tentang penyebab hipertensi sampai dengan dampak yang terjadi pada orang yang menderita hipertensi. Hal ini dilakukan perawat sebagai program dari puskesmas dengan kunjungan rumah maupun membuka konseling secara langsung. 2) Preventif Upaya preventif adalah upaya promosi kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit.Pada tahap ini yang menjadi fokus utama adalah kelompok orang yang sehat dan kelompok yang bersiko tinggi. Tujuan dari tahap ini yaitu mencegah agar seseorang tidak jatuh sakit. Pada penanganan hipertensi yang dapat dilakukan oleh perawat yaitu melakukan pengendalian faktor resiko pada populasi dengan penanggulangan merokok, peningkatan gizi seimbang dan peningkatan aktivitas. Dalam tahap ini pada kasus hipertensi perawat akan menyoroti keluarga yang memiliki resiko atau sudah menderita hipertensi. Perawat akan melakukan kunjungan rumah berperan sebagai konselor akan memberikan edukasi tentang bagaimana pencegahan penyakit hipertensi terutama difokuskan pada keluarga dengan riwayat hipertensi agar tidak menurun pada anggota keluarga lainnya. Perawat akan memotivasi individu, kelompok dan masyarakat dengan mendorong meraka untuk menjaga pola hidup sehat dan olahraga secara teratur. Dalam tahapan ini perawat juga dapat merangkul tokoh9
tokoh masyarakat setempat untuk dapat mempengaruhi dan menggugah masyarakat tentang pentingnya menyadari arti kesehatan. Tokoh-tokoh masyarakat akan dilibatkan dalam upaya preventif dan bergabung dalam upaya cerdas meningkatkan kesehatan dikalangan tempat tinggalnya. 3) Kuratif Upaya kuratif adalah upaya promosi kesehatan yang ditujukan untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah melalui pengobatan.
Pengobatan
merupakan tindakan yang dilakukan oleh dokter. Peran perawat yang dapat mendukung proses pengobatan ini antara lain : a. Pentingnya minum obat dan kontrol rutin. Seseorang yang telah didiagnosa menderita hipertensi ada yang tidak patuh akan minum obat secara terus menerus. Keadaan tersebut dapat memicu ketidakstabilan tekanan darah. Dari gambaran tersebut perawat berperan sebagai care giver. Apabila dalam lingkup perawat komunitas perawat dapat melakukan kunjungan keluarga untuk melakukan pengkajian keluhan dan tentunya monitoring tekanan darah. Apabila dalam kondisi yang dinilai beresiko perawat dapat melakukan rujukan ke rumah sakit terdekat. Selain itu perawat bekerja sama dengan keluarga untuk menjadi pendukung dari pasien agar melakukan kontrol rutin dan mengkonsumsi obat secara teratur. Pengetahuan akan pentingnya minum obat perlu diberikan kepada pasien juga keluarga sebagai pengawas minum obat. b. Pentingnya air putih dan konsumsi nutrisi untuk hipertensi. Perawat dapat melakukan rujukan kepada dokter atau ahli gizi dalam hal konsumsi nutrisi. Konsumsi air putih diharapkan membantu fungsi penyaringan ginjal sehingga tidak jatuh pada kondisi gagal ginjal karena pasien mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. c. Penggunaan Tanaman obat Keluarga. Berbagai macam tanaman obat herbal yang berguna untuk menurunkan hipertensi misalnya sledri mentimun, blimbing, dll dapat diedukasikan kepada pasien sebagai pengganti. Perawat dalam hal ini dapat berperan sebagai konselor bagi pasien mengenai pilihan obat dan alternatif obat tradisional yang dapat digunakan. d. Perawat juga berperan sebagai care giver. Dewasa ini banyak terapi komplementer yang berkembang sehingga dapat melengkapi pengobatan yang diberikan oleh dokter. Contoh terapi misalnya accupuntur, calming technique, hypnoterapi, dll. 10
4) Upaya Rehabilitatif Upaya
promosi
kesehatan
untuk
memelihara
dan
memulihkan
kondisi/mencegah kecacatan. Menurut bagan tata laksana hipertensi, pada upaya rehabilitatif mengembangkan manajemen rehabibitasi pada kasus hipertensi dengan melibatkan unsur organisasi profesi dan pengelola program di berbagai tatanan pelayanan. Peran perawat pada tingkat rehabilitatif ini antara lain : 1) Pada hipertensi terjadi gangguan elastisitas pembuluh darah. Untuk mengembalikan fungsi tersebut dapat dilakukan dengan cara olah raga secara rutin. Perawat dalam hal ini dapat bekerjasama dengan kader kesehatan untuk penyelenggaraan olah raga. Misalnya senam. 2) Bekerjasama dengan LSM untuk mendirikan suatu wadah untuk penderita hipertensi. Dalam upaya rehabilitasi di suatu perkumpulan disitu para penderita dapat saling bertukar pengalaman sehingga menambah wawasan dari para penderita. Perawat dalam hal ini dapat berperan sebagai fasilitator apabila ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Suatu area yang menjadi perhatian perawat yang berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan pada keluarga adalah yang berhubungan dengan diet untuk mencegah terjadinya tekanan darah tinggi dan yang berhubungan dengan pembatasan diet berlebih untuk menghindari hipertensi, justru dapat menimbulkan asupan nutrisi pada lansia tidak adekuat. Perawat perlu memainkan perannya sebagai health educator dan counselor agar lansia dapat mengendalikan terjadinya hipertensi melalui pengaturan diet, tanpa harus mengalami kekurangan gizi, karena hipertensi apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif harus diterapkan dengan didukung penerapan teknologi kesehatan secara tepat oleh petugas kesehatan dan didukung oleh peran aktif keluarga. Perawat juga berperan sebagai fasilitator bagi keluarga untuk dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan serta membantu mengajarkan kepada keluaraga untuk mencegah agar tidak terjadi penyakit hipertensi. Peran keluarga lebih di fokuskan untuk menjalankan lima tugas keluarga yaitu mengenal masalah kesehatan, memutuskan tindakan keperawatan yang tepat, merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan yang sehat, memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada.
11
BAB II ISI
2.1 Definisi Hipertensi Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Yogiantoro M, 2006). Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobaniam, 2003). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005). Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi komplikasi (Chobanian dkk., 2004). Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering kali disebut sebagai 12
pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani, dkk, 2004) Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah (Kurniawan, 2002). Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang ditandai oleh meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang terjangkit penyakit ini biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke, dan penyakit jantung (Rusdi dan Nurlaela, 2009). Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥140 mm Hg (tekanan sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) menurut Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII, 2003 (Novian, 2013). Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan menurunkan tekanan darah (Ronny et al, 2010). Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008).
13
2.2 Etiologi Hipertensi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal. 2.2.1 Hipertensi esensial Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti: 1. Genetic Faktor genetik dapat menyebabkan seseorang mengalami hipertensi. Efeknya tidak secara langsung namun melalui tingkat sensitifitas terhadap garam atau NaCl. Berdasarkan penelitian eksperimental, diketahui bahwa respons tekanan darah manusia terhadap garam diturunkan secara genetik. Maksudnya adalah bahwa seseorang bisa saja mudah mengalami tekanan darah bila mengkonsumsi makanan atau minuman yang banyak mengandung garam atau tidak sama sekali. Ada 3 faktor yang bisa menjelaskan hal ini, yaitu: 1)
Kemampuan seseorang untuk mengeluarkan natrium(yang diperoleh dari garam)
2)
Hormon yang mengatur pengeluaran natrium
3)
Tingkat sensitifitas tekanan darah terhadap garam bervariasi tiap orang Hal ini sering disebutkan sebagai salt sensitifity atau sensitifitas garam,
dan kondisi ini diturunkan. Semakin rendah kemampuan tubuh kita untuk membuang natrium maka akan semakin banyak natrium yang terkumpul didalam darah kita. maka akan semakin meningkatkan tekanan darah.
2. Lingkungan Hubungan antara
lingkungan dengan
kejadian
penyakit hipertensi
terkadang tidakdapat dijelaskan secara langsung. Karena umumnya pengaruh lingkungan terhadap hipertensitidak bersifat langsung. Faktor lingkungan seperti lingkungan sosial, ekonomi, budayameningkatkan risiko hipertensi dengan mempengaruhi perilaku yang kemudian membentukgaya hidup sekelompok masyarakat. Gaya hidup atau perilaku yang dipengaruhi olehlingkungan seperti
14
kebiasaan dalam konsumsi makanan tertentu, merokok, konsumsi alkohol,kurang aktifitas fisik. 3. Hiperaktifitas Sistem Saraf Simpatis Sistem saraf simpatik milik sistem saraf otonom bersama dengan sistem saraf parasimpatis. Saraf simpatik dimulai dari tulang belakang berjalan menuju bagian tengah tulang belakang pada tanduk lateral. Ini berasal di segmen pertama toraks tulang belakang dan meluas ke segmen lumbal ketiga. Sistem saraf dianggap memiliki arus keluar torakolumbalis karena sel-sel saraf ini berasal dari daerah lumbar dan thoraks. Fungsi utama dari sistem saraf adalah mobilisasi sistem saraf tubuh akibat perkelahian atau respon penerbangan. Hal ini dilakukan dengan mediasi respon stres hormon dan saraf. Sistem saraf terus aktif untuk menjaga stabilitas, suhu, dan pH tubuh. Terutama, sistem saraf melawan sistem saraf parasimpatis. Sistem ini juga membantu dalam mengendalikan organ-organ internal tubuh seperti mata, jantung, paru-paru, pembuluh darah, kelenjar keringat, sistem pencernaan, ginjal, dan penis. Pelebaran pupil, berikan rating dan kekuatan kontraksi, pelebaran bronkiolus, penyempitan pembuluh darah, aktivasi sekresi keringat, penghambatan gerak peristaltik, promosi sekresi renin, dan promosi ejakulasi pada pria semua dibantu oleh sistem saraf. Karena pesan melalui sistem ini bergerak dalam aliran dua arah, baik pesan aferen dan eferen membantu dalam berbagai fungsi tubuh seperti percepatan detak jantung, pelebaran bagian bronkial untuk memberikan oksigen yang meningkat, penurunan pergerakan usus besar, piloereksi, dan keringat . Hal ini juga membantu dalam merasakan sensasi seperti dingin, panas nyeri, dan. Respon stres dari sistem ini juga dikenal sebagai respon sympathoadrenal sejak serat preganglionik dari sistem saraf mengaktifkan sekresi adrenalin dan noradrenalin yang biasa disebut epinefrin dan norepinefrin. Karena akhir serat di bagian medullar dari kelenjar adrenal, itu mengeluarkan asetilkolin yang juga membantu dalam aktivasi. Kadang-kadang ini sistem saraf dipengaruhi oleh berbagai penyebab. Beberapa penyebab adalah penyakit seperti penyakit parkinson dan penyakit alzheimer yang disebabkan oleh kerugian yang terjadi pada sistem transmisi dengan degenerasi saraf simpatik, gangguan autoimun, konsumsi alkohol yang berlebihan, cedera otak traumatis, infeksi otak selain infeksi sumsum tulang belakang seperti meningitis dan ensefalitis, cacat struktural seperti cacat lahir, masalah sistem kekebalan tubuh, tumor jinak atau ganas otak, dan stroke akibat 15
gangguan pasokan darah ke otak. Gejala yang umum dari gangguan SNS yang melantur berbicara, kehilangan kekuatan otot, hipertensi, sakit kepala, kehilangan memori, kejang, tremor, penyakit kardiovaskular, disfungsi ereksi, masalah pernapasan, dan gangguan menelan. Gangguan utama dari sistem saraf simpatik adalah sympathicotonia, fibromyalgia, sakit sindrom kompleks regional atau sindrom distrofi refleks simpatis, neuropati diabetes, dan penyakit Parkinson. Sympathicotonia adalah suatu kondisi dimana sistem saraf dirangsang menyebabkan hipertensi, merinding, dan spasme pembuluh darah. 4. Sistem Renin Angiotensin Banyak faktor yang menyebabkan kenaikan tekanan darah secara kumulatif dipengaruhi oleh Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS), yang akhirnya berpengaruh terhadap tekanan darah arteri. Namun obat-obat antihipertensi secara khusus dapat mengontrol komponen RAAS tersebut secara selektif. RAAS merupakan sistem endogen yang kompleks yang terlibat dalam regulasi komponen di dalam tekanan darah arteri, dimana aktivasi paling utama dipengaruhi oleh organ ginjal yang berfungsi sebagai sistem ekskresi dan regulasi cairan yang ada di dalam tubuh. RAAS berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan elektrolit baik secara intraselular maupun ekstraselular, seperti Na, K, dan cairan tubuh lainnya. Oleh karena itu, sistem ini secara signifikan mempengaruhi aktivitas pembuluh darah dan sistem saraf simpatik serta dapat mempengaruhi kontributor pengaturan homeostasis di dalam tekanan darah. Renin merupakan suatu enzim yang tersimpan dalam sel juxtaglomerular, yang terletak di bagian arteriol aferen pada ginjal. Pelepasan renin dari ginjal dimodulasi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal seperti tekanan perfusi renal, katekolamin dan angiotensin II, serta faktor eksternal berupa komponen cairan tubuh seperti kurangnya filtrasi Na yang mencapai makula densa yang merupakan tubulus yang mempunyai sel-sel termodifikasi, ion Cl pada cairan ekstraselular, dan cairan intraselular berupa ion K. Aparatus sel juxtaglomerular di dalam ginjal berperan sebagai baroreseptor. Ketika terjadi penurunan aliran darah dan tekanan arteri pada ginjal maka sel juxtaglomerular akan merasakan rangsangan tersebut dan menstimulasi proses sekresi renin dari ginjal. Selain itu penurunan jumlah ion Na dan Cl melalui tubulus distal juga akan menstimulasi proses pelepasan enzim renin dari ginjal. Di dalam 16
cairan intraselular seperti K dan Ca ketika mengalami penurunan maka akan mempengaruhi sistem homeostasis tubuh dan terdeteksi oleh sel juxtaglomerular yang memicu pelepasan renin. Kemudian adanya rangsangan di dalam saraf simpatis oleh katekolamin juga dapat mempercepat pelepasan renin. Enzim renin akan mengkatalisis angiotensinogen menjadi angiotensin I dalam darah, dimana 4 asam amino dari angiotensinogen akan dipecah sehingga terbentuk angiotensin I di dalam darah. Kemudian ACE akan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II ketika mengikat reseptor yang lebih spesifik dimana terdapat 2 reseptor spesifik di dalam tubuh manusia yaitu subtipe AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terletak di bagian otak, ginjal, miokardium, vaskulatur periferal, dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 bekerja dengan mempengaruhi respon-respon yang sangat vital bagi fungsi sistem kardiovaskular dan ginjal. Sedangkan reseptor AT2 terletak di bagian jaringan adrenal medular, rahim, dan otak. Rangsangan dari reseptor AT2 tidak akan mempengaruhi regulasi pada tekanan darah. Akan tetapi jika reseptor AT1 yang bekerja maka akan melepaskan 2 asam amino dari angiotensin I ke angiotensin II, dimana angiotensin II ini menjadi pemicu kenaikan tekanan darah di dalam tubuh. Angiotensin II dapat menyebabkan vasokontriksi dan dapat merangsang pelepasan katekolamin dari medula adrenal sehingga terjadi aktivasi dari saraf simpatik, kemudian angiotensin II juga merangsang korteks adrenal untuk mensekresi aldosteron akibatnya terjadi penyerapan kembali cairan-cairan yang ada di dalam tubuh seperti Na dan air sehingga manifestasi dari aldosteron ini yaitu terjadi peningkatan volume plasma, resistensi periferal total (TPR), dan akhirnya menyebabkan kenaikan tekanan darah di dalam tubuh. Jaringan perifer akan menghasilkan angiotensin peptida secara lokal yang dapat mempengaruhi aktivitas biologis seperti peningkatan resistensi pembuluh darah. Selain itu angiotensin juga diproduksi oleh jaringan lokal yang dapat menstimulasi regulator humoral dan pertumbuhan sistem endotelium yang diturunkan untuk menstimulasi metabolisme dan pertumbuhan otot polos vaskular. Sintesa dari angiotensin peptida dapat memicu peningkatan resistensi pembuluh darah dalam bentuk renin plasma yang rendah pada hipertensi essensial. Secara keseluruhan RAAS merupakan faktor penting dalam regulasi tekanan darah arteri, oleh karena itu pengelolaan terhadap organ ginjal sangat penting dalam regulasi cairan dan sistem ekskresi untuk menjaga sistem homeostasis tubuh agar tidak terjadi pelepasan enzim renin, dan angiotensin I di dalam tubuh pun tidak akan 17
terkonversi menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang merupakan faktor utama dari penyakit hipertensi, dan aktivitas sistem saraf simpatik pun akan diimbangi dengan peranan asetilkolin oleh saraf parasimpatis. 5. Defek Dalam Ekskresi Na Ketika terdapat hormon natriuretik di dalam sistem membran maka akan menghambat Na dan K ATPase dan melawan gradien transport Na yang melewati seluruh membran sel. Ketidakmampuan ginjal untuk mengeliminasi Na dapat menyebabkan retensi Na sehingga terjadi peningkatan volume darah. Selain itu hormon natriuretik juga dapat mempengaruhi penghambatan transport aktif pengeluaran ion Na yang terletak di bagian arteriolar sel otot polos sehingga terjadi depolarisasi dimana peningkatan permeabilitas membran terhadap Na dan konsentrasi Na di dalam cairan intraselular meningkat yang akhirnya dapat meningkatkan denyut nadi dan peningkatan tekanan darah arteri. Sehingga diperlukan suatu pengaturan aktivitas Natriuretic Peptide (NP) di dalam tubuh manusia, dimana aktivasi dari reseptor NPR A dan NPR B akan menyebabkan vasorelaksasi dari otot vaskular sehingga akan terjadi vasodilatasi. 6. Peningkatan Na Dan Ca Intraseluler Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum normal adalah 136 sampai 145 mEg / L, Natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut dan keseimbangan asam basa tubuh serta berperan dalam transfusi saraf dan kontraksi otot. Perpindahan air diantara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh kekuatan osmotik. Osmosis adalah perpindahan air menembus membran semipermiabel ke arah yang mempunyai konsentrasi partikel tak berdifusinya lebih tinggi. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler dan kalium dengan zat – zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat – zat terlarut yang tidak dapat menembus dan sangat berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran. Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi terutama di usus halus.1 Mekanisme penngaturan keseimbangan volume pertama – tama tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat volume cairan ekstraseluler umumnya berubah – ubah sesuai dengan sirkulasi efektifnya dan berbanding secara proporsional dengan natrium tubuh total. Natrium 18
diabsorpsi secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke ginjal, disini natrium disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan Na yang jumlahnya mencapai 90-99 % dari yang dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormon aldosteron yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar Na darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk mengasorpsi Na kembali. Jumlah Na dalam urin tinggi bila konsumsi tinggi dan rendah bila konsumsi rendah. Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang secara genetik sensitif terhadap natrium, misalnya seperti: orang Afrika-Amerika, lansia, dan orang hipertensi atau diabetes. Asosiasi jantung Amerika menganjurkan setiap orang untuk membatasi asupan garam tidak lebih dari 6 gram per hari.23 Pada populasi dengan asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan meningkatnya usia, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan. Hubungan antara retriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum jelas. Namun berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan tekanan darah ketika asupan garam ditambah. 7. Dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti: 1) Obesitas Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih
tinggi
dari
penderita
hipertensi
yang
tidak
obesitas.
Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas lebih banyak terjadi pada orang dengan gaya hidup pasif (kurang olahraga). Jika makanan yang di konsumsi lebih banyak mengandung kolesterol dapat menimbulkan penimbunan lemak di sepanjang pembuluh darah. Akibatnya aliran darah menjadi kurang lancar. Orang yang memiliki kelebihan lemak (hiperlipidemia), berpotensi mengalami penyumbatan darah sehingga suplai oksigen dan zat makanan kedalam tubuh terganggu. Penyempitan dan sumbatan oleh lemak ini memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi agar dapat memasok kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya, tekanan darah meningkat, maka terjadilah hipertensi.
19
2) Alcohol Gangguan mekanisme pompa natrium (yang mengatur jumlah cairan tubuh), factor rennin-angiotensin-aldosteron (hormone-hormon) yang mengatur tekanan darah. Alkohol juga memiliki efek yang hampir sama dengan karbonmonoksida, yaitu dapat meningkatkan keasaman darah. Darah menjadi lebih kental dan jantung dipaksa untuk memompa darah lebih kuat agar darah yang sampai ke jaringan jumlahnya mencukupi. 3) Merokok Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok, masuk kedalam aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Rokok mengandung ribuan zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan tubuh, antara lain nikotin, tar dan karbonmonoksida. Tar merupakan zat yang dapat meningkatkan kekentalan darah. Nikotin dapat memacu pengeluaran zat catecholamine tubuh seperti hormon adrenalin. Hormon tersebut dapat memacu jantung untuk memacu jantung untuk berdetak lebuh kencang, akibatnya volume darah meningkat dan jantung menjadi cepat lelah. Karbonmonoksida (CO) dapat meningkatkan keasaman sel darah. Akibatnya, darah menjadi lebih kental dan menempel di dinding pembuluh darah. Hal tersebut memaksa jantung memompa darah lebih kuat lagi dan lambat laun tekanan darah pun akan meningkat. 4)
Polisitemia Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal pada sumsum tulang terdapat pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan pertumbuhan dan pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi abnormal masih belum diketahui. Progenitor sel darah penderita menunjukkan respon yang abnormal terhadap faktor pertumbuhan. Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi oleh jumlah eritropoetin. Kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan DNA yang dikenal dengan mutasi. Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus kinase2) yang memproduksi protein penting yang berperan dalam produksi darah. Pada keadan normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah 20
terjadi ikatan, terjadi fosforilasi pada protein JAK. Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi, kemudian memfosforilasi domain reseptor di sitoplasma. Akibatnya,
terjadi
aktivasi
signal transducers and activators
of
transcription (STAT). Molekul STAT masuk ke inti sel (nucleus), lalu mengikat secara spesifik sekuens regulasi sehingga terjadi aktivasi atau inhibisi proses trasnkripsi dari hematopoietic growth factor. Pada penderita PV, terjadi mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617 dimana terjadi pergantian valin menjadi fenilalanin (V617F), dikenal dengan nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan aksi autoinhibitor JH2 tertekan sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol. Oleh karena itu,
proses
eritropoiesis
dapat
berlangsung
tanpa
atau
hanya
sedikit hematopoetic growth factor. Terjadi peningkatan produksi semua macam sel, termasuk sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Volume dan viskositas darah meningkat. Penderita cenderung mengalami thrombosis dan pendarahan dan menyebabkan gangguan mekanisme homeostatis yang disebabkan oleh peningkatan sel darah merah dan tingginya jumlah platelet. Thrombosis dapat terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke, pembuluh vena, arteri retinal atau sindrom BuddChiari. Fungsi platelet penderita PV menjadi tidak normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Peningkatan pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia, peningkatan resiko pirai dan batu ginjal. Polisitemia ini merupakan salah satu faktor terjadinya hipertensi dimana pembuluh darah sebagai sarana transportasi menjadi penuh atau sesak karena produksi sel darah yang berlebihan. Ibarat jalan raya, arus lalu lintas tidak lancar. Sel-sel darah terpaksa berjalan pelan, yang lebih berat lagi dapat meyebabkan macet. Kemacetan tentu sering di jalan yang kecil, begitu juga darah sering macet/ menyumbat pembuluh darah kecil seperti di pembuluh darah jantung sehingga dapat menimbulkan penyakit jantung koroner dan stroke. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000).
21
2.2.2 Hipertensi Sekunder Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti: 1. Estrogen Wanita dalam masa menopause ditemukan memiliki tekanan darah sistolik lebih besar daripada pria dengan BMI dan umur yang sama. Sedangkan tekanan darah sistolik meningkat 5mm/Hg dalam lima tahun. Kenaikan tekanan darah sistolik menunjukkan adanya penurunan penyesuaian arteri. Hubungan antara tekanan darah dan terapi penggantian hormon (HRT) ditemukan yakni mereka yang menggunakan terapi pergantian hormon memiliki tekanan darah yang sedikit lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan HRT. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara hormon yang diproduksi oleh ovarium dengan tekanan darah wanita. Hal ini yang kemudian diteliti sebagai penyebab hipertensi pada wanita menopause. Penelitian tentang penyakit hipertensi pada wanita menopause dan hubungannya dengan hormon pada wanita ini juga mengungkapkan peranan dan bagaimana hormon dapat mempengaruhi tekanan darah. Menopause dihubungkan dengan pengurangan pada estradiol dan penurunan perbandingan rasio estrogen dan testosteron. Hal ini mengakibatkan disfungsi endothelial dan menambah BMI yang menyebabkan kenaikan pada aktivasi saraf simpatetik yang kerap kali terjadi pada wanita yang mengalami menopause. Aktivasi saraf simpatetik ini akan mengeluarkan stimulan renin dan angiotensin II. Disfungsi endhotelial ini akhirnya meningkatkan kesensitifan terhadap garam dan kenaikan endhotelin. Tidak hanya itu, kenaikan angiotensin and endhotelin dapat menyebabkan stres oksidatif yang akhirnya berujung pada hipertensi atau darah tinggi. 2. Penyakit ginjal Hipertensi menyebabkan kerusakan pada arteri, yang merupakan salah satu komponen penting pada ginjal. Darah yang akan disaring oleh ginjal dialirkan melalui pembuluh darah yang berada di sekitar ginjal, dan banyak sekali darah yang mengalir di pembuluh darah ini. Seiring berjalannya waktu, kalau hipertensi tidak terkontrol, maka akan menyebabkan arteri di sekitar ginjal ini menyempit,
22
melemah, dan mengeras. Kerusakan pada arteri ini menghambat darah yang diperlukan oleh jaringan pada ginjal. Kerusakan pada arteri nefron mengakibatkan darah tidak tersaring dengan baik. Seperti tadi sudah disebutkan, ginjal terdiri dari berjuta-juta nefron yang berfungsi sebagai unit penyaringan pada ginjal. Nefron ini menerima suplai darah melalui pembuluh darah terkecil (kapiler yang berbentuk seperti rambut kecil) di tubuh Anda. Kalau arteri ini rusak, maka nefron tidak menerima oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan. Hingga akhirnya, ginjal kehilangan kemampuannya untuk menyaring darah dan mengatur cairan, hormon, asam, dan garam di tubuh Anda. Kerusakan pada ginjal mengakibatkan terganggunya pengaturan tekanan darah. Ginjal yang sehat biasanya memproduksi hormon yang dapat membantu tubuh mengatur tekanan darah. Kerusakan pada ginjal dan tekanan darah yang tidak terkontrol masing-masing menyebabkan dampak negatif satu sama lain. Dengan arteri yang mengalami gangguan dan berhenti berfungsi, maka ginjal akan mengalami gagal ginjal. Proses ini dapat terjadi bertahun-tahun. Tetapi untungnya, penyakit ini dapat dicegah. 3. Hipertensi Vaskular Renal Hipertensi renal, atau yang juga disebut hipertensi renovaskular adalah kenaikan tekanan darah yang disebabkan oleh penyakit ginjal. Hipertensi ini biasanya dapat dikendalikan dengan obat tekanan darah. Beberapa orang dengan hipertensi renal dapat dibantu dengan angioplasty, stenting, atau operasi pada pembuluh darah ginjal.Hipertensi renal disebabkan oleh penyempitan di arteri yang mengantar darah ke ginjal. Satu atau kedua arteri ginjal mungkin menyempit. Kondisi ini disebut dengan renal artery stenosis.Ketika ginjal menerima aliran darah yang rendah, ginjal akan bertindak seolah-olah aliran darah yang rendah tersebut akibat dehidrasi. Jadi ginjal merespon dengan melepaskan hormon yang menstimulasi tubuh untuk mempertahankan natrium dan air. Kemudian pembuluh darah terisi cairan tambahan, dan tekanan darah meningkat.Penyempitan pada satu atau kedua arteri ginjal paling sering disebabkan oleh aterosklerosis, atau pengerasan arteri. Prosesnya sama dengan proses yang menyebabkan banyak serangan jantung dan stroke.Penyebab kurang umum dari penyempitan arteri ginjal adalah displasia fibromuskular, yaitu kondisi dimana struktur arteri ginjal berkembang abnormal dengan alasan yang belum jelas
23
4. Hiperaldosteronisme primer Hiperaldosteronisme
(Hyperaldosteronism)
juga
dikenal
sebagai
aldosteronisme, hipersekresi aldosteron mineralokortikoid oleh korteks adrenal menyebabkan absorpsi natrium dan air secara berlebihan dan ekskresi kalium oleh ginjal secara berlebihan. Insidensi Hiperaldosteronisme primer tiga kali lebih tinggi pada wanita daripada pria dan paling tinggi antara usia 30 dan 50 tahun. 4. Sindrom cushing Sindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat badan yang cepat terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon face), penumpukan lemak pada leher bagian belakang (buffalo hump), hiperhidrosis (berkeringat berlebihan), striae pada abdomen, penipisan kulit, hirsutisme, hipertensi, penurunan libido, gangguan menstruasi, dan lain-lain. Kelainan ini disebabkan oleh kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit ini dijelaskan oleh Harvey Cushing pada 1932. Secara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol tersebut dapat berbeda-beda.
Tabel 2.1 prevalensi chusing syndrome Sumber : Manual of Nephrology
Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol adalah penyebab terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya sindrom Cushing disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut juga Sindrom Cushing iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma atau 24
reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab eksogen lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan. Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan ACTH-independent (kelainan terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di atas. 5. Feokromositoma Feokromositoma, suatu penyebab hipertensi sekunder yang jarang, merupakan tumor medullar adrenal atau tumor rantai simpatis (paraganglioma) yang melepaskan katekolamin dalam jumlah besar (epinefrin, norepinefrin, dan dopamine)secara terus-menerus atau dengan jangka waktu. Feokromositoma menyerang 0.1% hingga 0.5% penderita hipertensi dan dapat menyebabkan akibat yang fatal bila tidak terdiagnosis atau diobati. Feokromositoma dapat menyerang laki-laki dan perempuan dalam perbandingan yang sama dan mempunyai insiden puncak antara usia 30 dan 50 tahun. Sekitar 90% tumor ini berasal dari sel kromafin medulla adrenalis, dan 10% sisanya dari ekstraadrenal yang terletak di area retroperitoneal (organ Zuckerkandl), ganglion mesenterika dan seliaka, dan kandung kemih. Pasien dengan neoplasia endokrin multiple (MEN II), telah meningkatkan sekresi katekolamin dengan manifestasi klinis feokromositoma akibat hyperplasia medulla adrenal bilateral. Didalam tubuh, glikogen dipecah menjadi glukosa dan lemak diubah menjadi asam lemak. Tetapi karena pelepasan katekolamin secara terus menerus dan peningkatan glykogenolisis dan lipolisis. Menyebabkan aktivitas metabolik meningkat (BB menurun) dan darah menjadi kental. Aliran darah ke otak lambat menyebabkan lemas dan mengantuk Beberapa penderita memiliki penyakit keturunan yang disebut sindroma endokrin multipel, yang menyebabkan mereka peka terhadap tumor dari berbagai kelenjar
endokrin
(misalnya
kelenjar
tiroid,
paratiroid
dan
adrenal).
Feokromositoma juga bisa terjadi pada penderita penyakit von Hippel-Lindau, dimana pembuluh darah tumbuh secara abnormal dan membentuk tumor jinak (hemangioma);
dan
pada
penderita
penyakit
von
Recklinghausen
(neurofibromatosis, pertumbuhan tumor berdaging pada saraf). Feokromositoma
25
biasanya jinak (pada 95% kasus), namun dapat bersifat ganas dengan metastasis yang jauh. 6. Koarktasio Aorta Mekanisme pasti terjadinya koarktasio aorta belum dapat dimengerti sepenuhnya. Hipotesis yang paling sering dikaitkan dengan kelainan ini adalah teori hemodinamik dan jaringan duktus ektopik. Pada teori hemodinamik, aliran preduktal yang abnormal atau sudut abnormal antara duktus dan aorta dengan peningkatan aliran duktus right to left dan penurunan aliran isthmus berpotensi dalam perkembangan koarktasio. Penutupan spontan duktus arteriosus postnatal mendukung perkembangan obstruksi aorta. Insiden tinggi dari koarktasio aorta yang disertai kelainan jantung kongenital dan penurunan aliran aorta intrauterin juga termasuk dalam teori hemodinamik. Adanya perluasan abnormal dari jaringan duktus ke dalam aorta (jaringan duktal ektopik) juga dihubungkan dengan pembentukan koarktasio aorta, juga yang disertai penutupan duktus. Teori ini tidak dapat menjelaskan derajat hipoplasia dari isthmus dan arkus aorta yang dikaitkan dengan koarktasio aorta. Stenosis ini dapat sempit sekali sehingga menimbulkan gangguan sirkulasi pada aorta. Aorta dan juga sinus aorta melebar. Di bawah stenosis terjadi juga pelebaran yang disebut sebagai dilatasi poststenostik. Bendungan tidak saja terjadi di aorta asendens, melainkan juga di arteri subklavia, arteria mammaria, arteri vertebralis, arteri aksilaris, dan juga arteri interkostalis. Pelebaran arteri interkostalis ini menyebabkan tekanan – tekanan pada tepi bawah dari kosta – kosta, sehingga tepi ini tidak rata dan berubah sebagai gigi gergaji (rib knotching). Koarktasio aorta menentukan afterload yang signifikan dari ventrikel kiri yang menyebabkan peningkatan tekanan dinding jantung dan hipertrofi ventrikuler kompensatoar. Curah jantung terbentuk secara tiba – tiba yang terjadi mengikuti penutupan duktus arteriosus pada neonatus dengan koarktasio berat. Pada bayi – bayi yang mengalami hal ini, congestive heart failura (CHF) dan syok bisa terjadi. Konstriksi yang cepat dari duktus arteriosus menghasilkan obstruksi aorta berat secara tiba – tiba. Selama duktus konstriksi, afterload ventrikel kiri meningkat dengan cepat yang menghasilkan peningkatan tekanan ventrikel kiri (sistolik dan diastolik). Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri yang bisa membuka foramen ovale sehingga terjadi left-to-right shunt dan dilatasi atrium kanan serta ventrikel kanan. Apabila foramen ovale tidak terbuka, tekanan arteri 26
dan vena pulmonalis akan meningkat sehingga terjadi dilatasi ventrikel kanan. Kardiomegali dapat dilihat dari pemeriksaan foto thoraks dan hipertrofi ventrikel kanan dapat dilihat pada EKG dan ekokardiografi. Afterload ventrikel kiri juga meningkat secara bertahap yang menyebabkan terbentuknya pembuluh darah kolateral pada anak – anak dengan koarktasio berat. Pada anak – anak biasanya asimptomatik hingga gejala – gejala hipertensi dan komplikasi lain timbul. Kelainan jantung kongenital lain juga berperan terhadap terjadinya koarktasio aorta, misalnya ventricular septal defect (VSD), stenosis aorta yang bisa meningkatkan afterload ventrikel kiri. 7. Hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan Penyebab hipertensi dalam masa kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Sepertiga dari kematian ibu disebabkan penyakit hipertensi dalam kehamilan ini. Penyakit ini juga merupakan penyebab dari kelahiran mati karena kelahiran prematur (sebelum waktunya). Pada ibu, hipertensi dalam kehamilan dapat mengakibatkan kompliksi berupa gagal jantung, kejang-kejang, penurunan fungsi ginjal, gangguan penglihatan dpendarahan. Pada bayi, dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan, risiko plasenta terlepas dari dinding rahim dan kekurangan oksigen selama persalinan berlangsung. Setelah persalinan, tekanan darah biasanya akan berangsur-angsur menurun sampai normal. Gejala-gejala yang timbul pun akan berangsur hilang. Inilah yang membedakan hipertensi dalam kehamilan dengan penyakit hipertensi yang memang telah diderita sebelumnya. Tetapi pada sebagian kecil kasus, hipertensi dalam kehamilan ini bisa menetap. Ini bisa terjadi karena pengobatan yang kurang akurat. Penyebab hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan vaskular yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada masa nifas. Golongan penyakit ini ditandai dengan hipertensi dan sering disertai proteinuri, edema, kejang, koma atau gejala-gejala lain. Penyebab hipertensi ini cukup sering dijumpai dan masih merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Di Amerika Serikat, misalnya 1/3 dari kematian ibu disebabkan oleh penyakit ini. Di RS. dr. Hasan Sadikin terdapat 5,8% kasus preeklampsi dan 0,6% eklampsi pada periode 1991-1994. Hipertensi dalam 27
kehamilan juga menjadi penyebab yang penting dari kelahiran mati dan kematian perinatal. 1) Penyebab hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan komplikasi seperti : a. Kehamilan yang menyebabkan hipertensi yang timbul sebagai akibat kehamilan dan akan menghilang pada masa nifas, seperti : a) Hipertensi tanpa proteinuri atau edema b) Preeklampsi dengan atau tanpa proteinuri dan edema yaitu preeklampsi ringan preeklampsi berat. c) Eklampsi yaitu kejang disertai atau tanpa proteinuri dan edema. 2)
Macam – macam hipertensi dalam kehamilan a. Hipertensi secara kebetulan Hipertensi kronis yang mendahului kehamilan dan menetap pada masa nifas. b. Kehamilan yang memperburuk hipertensi Hipertensi yang sudah tejradi diperburuk dengan adanya kehamilan yaitu hipertensi yang diperberat pereeklampsi dan eklampsi. c. Hipertensi sementara (transient hypertension) Hipertensi yang timbul setelah trisemester kedua dan ditandai kenaikan tekanan darah ringan tanpa mengganggu kehamilan. Hipertensi ini akan menghilang setelah persalinan, tetapi dapat berulang pada kehhamilan berikutnya. d. dan lain – lain (Schrier, 2000)
2.3 Faktor Resiko Hipertensi Hipertensi sebagaimana kita ketahui di pemaparan diatas adalah salah satu kondisi yang paling banyak kita temui di lingkungan kita. Hipertensi sendiri pada dasarnya dapat menjangkit seluruh lapisan masyarakat secaara luas. Namun disini akan disebutkan beberapa faktor yang sangat berpengaruh atau biasa disebut faktor resiko yang sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi tersebut 2.3.1 Umur Walaupun seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya hipertensi dapat menyerang siapa saja dalam rentang usia berapa saja, namun kita tidak boleh menafikkan bahwa hipertensi memang sangat berkaitan dengan umur. Dengan bertambahnya uur, resiko 28
hipertensi meningkat. Hal ini berhubungan dengan semakin bertambahnya usia seseorang, maka semakin menurun juga kemampuan sel dalam menjalankan fungsifungsinya atau bahkan bisa sampai tahap degenerasi sel. Pada kasus hipertensi sendiri yang berhubungan dengan sirkulasi tubuh, maka masalah utamanya berada di pembuluh darah. Dengan semakin bertambahnya umur, maka elastisitas dan kelenturan dari pembuluh darah, terutama di pembuluh arteri, pembuluh yang tidak elastis bisa menyebabkan terjadinya hipertensi. Meskipun bisa menjangkit semua umur, namun rentang usia tersering adalah orang yang berumur 35 tahun atau lebih. Pada dasarnya sah-sah saja bahwa tekanan darah bertambah seiring bertambahnya umurr. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah, serta perubahan hormon. Namun, tekanan darah yang naik tersebut akan semakin beresiko jika disertai dengan faktor-faktor resiko hipertensi yang lain.. 2.3.2 Jenis kelamin Tanpa disadari, ternyata ada perbedaan terkait jenis kelamin pada kasus hipertensi. Bila ditinjau dari perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Hingga usia 55 tahun lebih banyak ditemukan pada pria. Namun setelah siklus menstruasi pada wanita (menopause) yang biasanya terjadi pada wanita berusia 50 tahun ke atas, tekanan darah pada wanita terus meningkat, hingga usia 75 tahun keatas, kasus hipertensi lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria. Hal tersebut terjadi karena pengaruh hormon esterogen pada wanita. 2.3.3 Etnis Penelitian yang melibatkan sejumlah orang dalam jumlah besar pernah dilakukan. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa orang berkulit hitam (pada penelitian ini melibatkan orang keturunan Afrika atau Afro-Karibia) memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih (orang Kaukasia). Pada orang berkulit hitam didapatkan kesimpulan bahwa orang Afrika lebih sensitif terhadap garam dalam pola makan, diperkirakan berkaitan dengan dengan sistem reninangiotensin. Orang berkulit hitam memiliki kadar renin lebih rendah (Dr Ananya Mandal, MD, 2011). 2.3.4 Hereditas Hereditas disini berkaitan dengan faktor kekerabatan atau faktor keturunan yang sebagaimana sudah diketahui secara umum bahwasanya kasus hipertensi juga dipengaruhi faktor keturunan. Riwayat keluarga yang menderita hipertensi, 29
mempertinggi risiko terutama pada hipertensi primer. Resiko terjadinya hipertensi meningkat 2 sampai 5 kali lipat terhadap keluarga yang memiliki riwayat penyakit hipertensi maupun penyakit jantung. Tekanan darah anak akan lebih mendekati tekanan darah orang tuanya apabila keduanya memiliki hubungan darah. Keadaan ini disebabkan karena pada dasarnya orang tua menurunkan gen kepada anaknya dimana organ-organ yang dimiliki keduanya juga mirip, hal ini mengakibatkan bentuk fisiologis dari organ sendiri itupun juga mirip yang mau tidak mau juga mempengaruhi kesamaan fungsi keduanya juga. Selain itu faktor lingkungan yang sama seperti makanan yang sama, pola hidup yang sama juga berperan besar dalam menentukan tekanan darah. 2.3.5 Stress Psikologis Stress sendiri juga merupakan sesuatu yang hendaknya dikurangi juga. Hubungan stress dengan hipertensi diduga berkaitan dengan respon saraf simpatis, dimana cara kerja saraf simpatis sendiri adalah dengan cara vasokontriksi sehingga menimbulkan gejala hipertensi. Hubungan stress secara jelasnya dimulai dari terjadinya stress atau ketegangan jiwa ( rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) yang merangsang kelenjar anak ginjal untuk melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat sehingga aliran darah meningkat. Jika stress terjadi terus menerus, tubuh secara otomatis akan mengkompensasi masalah, sehingga lama kelamaan akan muncul hipertensi atau maag. 2.3.6 Pola makan 1. Mengonsumsi garam dan lemak yang tinggi Sudah banyak diketahui secara umum bahwasanya pola makan yang salah selalu menjadi faktor resiko pada setiap penyakit yang ada. Dimulai dari penyakit yang tidak seberapa beresiko terhadap nyawa sampai penyakit yang sangat berbahaya. Pada kasus hipertensi sendiri pola makan sangat memiliki andil yang besar, terutama makanan yang bergaram dan berlemak pengaruh asupan garam sendiri terhadap timbulnya hipertensi adalah melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, serta tekanan darah. Kandungan garam yang tinggi dalam tubuh dapat mengganggu kerja ginjal, garam harus dikeluarkan oleh ginjal, tetapi karena natrium sifatnya mengikat banyak air, makin tinggi garam membuat volume
30
meningkat. Volume semakin tinggi namun lebar pembuluh darah tetap, maka alirannya jadi deras. (Ferdy, 2011). Untuk lemak sendiri, lebih ditekankan pada Lemak trans (atau lemak jenuh yang biasa ditemukan pada makanan yang diproses, misalnya biskuit dan margarin) dan lemak jenuh (biasa ditemukan pada mentega, cake, pastry, produk daging, dan krim). Kedua lemak ini terbukti bisa meningkatkan kadar kolesterol. Sedangkan kolesterol sendiri, jika kadar kolesterol tinggi, maka dapat terjadi pengendapan di pembuluh darah, bahkan jika terjadi pengendapan yang terlalu banyak, bisa menyebabkan penyumbatan peredaran darah. Dengan jalan yang semakin sempit dan volume darah yang tetap, maka bisa menyebabkan hipertensi. 2. Jarang mengonsumsi sayur dan buah Masyarakat modern kini sebagian besar memiliki pola hidup yang tidak sehat. Masyarakat lebih menyukai makanan-makanan yang berdaging daripada makanan-makanan organik seperti sayur dan buah. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwasanya vegetarian mempunyai tekanan darah lebih rendah dibanding dengan pemakan daging, dan diet vegeterian pada penderita hipertensi dapat menurunkan tekanan darah (Gregg Fonarow, 2014) 2.3.7 Gaya hidup 1. Olahraga tidak teratur Olahraga mempuntyai banyak kesitimewaan, seperti sudah diketahui secara luas bahwasanya olahraga mempunyai banyak manfaat, seperti kebugaran jasmani, dan menyehatkan tubuh. Terkait hipertensi sendiri, penting sekali bahwa pasien yang terdiagnosa hipertensi harus banyak melakukan olahraga. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor lain diatas seperti obesitas dan penumpukan kolesterol. Olahraga yg teratur dapat menyebabkan kerja jantung lebih efisien. Salah satu hasil latihan fisik yang teratu adalah pelebaran pembuluh darah, ibarat seperti aliran sungai semakin lebar jalan aliran sungai, maka aliran air juga menjadi tenang atau tidak terlalu deras, sebaliknya apabila jalan aliran sungai mengecil, maka aliran sungai akan semakin deras. Begitu pun sama halnya dengan pembuluh darah, apabila pembuluh darah semakin lebar maka aliran darah juga tidak begitu deras, dan hal tersebut dapat dicapai dengan olahraga yang teratur.
31
Selain itu, olahraga yang teratur juga bisa menurunkan berat badan dan mengurangi penumpukan lemak dan kolesterol tubuh, sehingga bisa mengurangi faktor resiko obesitas serta endapan dalam pembuluh darah. 2. Kebiasaan merokok Rokok adalah sumber berbagai macam penyakit. Bahan-bahan dasarnya, zat-zat yang terkandung di dalamnya, serta banyak faktor yang menyebabkan merokok menjadi sesuatu yang bisa dianggap racun yang berbahaya bagi tubuh. Di Indonesia sendiri rokok menjadi komoditas besar yang susah untuk dihentikan. Akibatnya masih banyak sekali masyarakat dari berbagai lapisan yang menjadi perokok aktif, dan kebanyakan dari mereka merokok dari usia masih belia. Perokok di Indonesia kebanyakan merokok sudah sejak lama, biasanya sejak masih berumur remaja. Selain dari lamanya kebiasaan merokok, resiko terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok. Zat-zat yang kimia beracun yang terkandung di dalamnya juga sangat berpengaruh, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap dan masuk ke tubuh. Dari jalur ventilasi sendiri, asap rokok mampu merusak lapisan mukus dan silia yang menyaring udara. Asap yang sudah melewati jalan ventilasi dan masuk ke paru-paru yang selanjutnya terjadi pertukaran O2 dan CO2. Zat zat seperti nikotin dan karbon monoksida yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan menyebabkan proses atherosklerosis dan hipertensi. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segera setelah isapan pertama. Hanya dalam beberapa detik saja nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan lebih tinggi. Setelah merokok 2 batang rokok saja sudah mampu meningkatkan tekanan sistolik maupun diastolik sebesar 10 mmHg. Tekanan darah ini akan tetap tinggi sampai 30 menit setelah subjek berhenti merokok. Namun pada perokok berat, tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari. 3. Mengonsumsi alkohol Alkohol sejatinya adalah minuman yang dilarang keras, terutama di negara Indonesia karena pada kenyataannya lebih banyak sisi negatifnya daripada sisi 32
positifnya. Seperti banyak diketahui bahwa konsumsi alkohol dapat merusak organorgan dalam tubuh. Mengonsumsi tiga gelas atau lebih minuman beralkohol perhari meningkatkan resiko mendapat hipertensi sebesar dua kali. Bagaimana alkohol meningkatkan tekanan darah masih belum jelas. Namun dari pemaparan diatas bahwasanya sudah menjadi kenyataan bahwa minum minuman beralkohol secara berlebihan akan merusak jantung dan organ-organ lain. 4. Obesitas Obesitas sendiri pada dasarnya bukan faktor resiko yang berdiri sendiri. Obesitas disebabkan oleh banyak hal diatas, seperti pola makan tidak sehat, kurang olahraga dan lain sebagainya. Obesitas meningkatkan resiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar masa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Berat badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal (Sugiharto, 2007). 2.4 Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi hipertensi dibagi menjadi banyak golongan diantaranya Klasifikasi
Tekanan darah
Tekanan darah
sistolik (mmHg)
diastolic (mmHg)
Normal
< 120
Dan
< 80
Prehipertensi
120 – 139
Atau
80 – 89
Hipertensi Stage 1
140 – 159
Atau
90 – 99
Hipertensi Stage 2
≥ 160
Atau
≥ 120
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun Sumber: JNC VII
Klasifikasi tekanan darah pada individu dengan usia 18 tahun lebih oleh JNC VII dikategorikan kedalam 4 kelompok yaitu normal dimana tekanan darah berada di kisaran angka normal 120/80 mmhg, prehipertensi sendiri bukan dikatakan penyakit hanya saja individu yang memiliki tekanan darah yang cenderung akan naik maka digolongkan pada 33
prehipertensi. Hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2 dimana semua pasien yang ditahap ini hrus diberikan terapi obat. Ada pula krisis hipertensi dimana tekanan darah seseorang sudah sangat tinggi (> 180/120 mmHg) yang kemungkinan akan menimbulkan atau sudah terjadi gangguan pada organ target, krisis hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. Pada hipertensi urgensi tekanan darahnya sangat tinggi tetapi tidak terjadi kerusakan pada organ target. Dengan demikian tekanan darah akan diturunkan 1 tingkat dengan obat antihipertensi oral dalam waktu beberapa jam hingga hari. Untuk hipertensi emergency adalah peningkatan tekanan darah yang ekstrim dengan disertai kerusakan organ target dan tekanan darahnya harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah agar organ yang sudah rusak tidak bertambah parah (Rampengan, 2007) Ada golongan hipertensi yang termasuk dalam hipertensi krisis antara lain (Asnelia, 2014) : 1. Hipertensi Refrakter, merupakan hipertensi yang diakibatkan oleh respon pengobatan yang tidak memuaskan dengan nilai tekanan darah mencapai lebih dari 200/110 mmHg 2. Hipertensi Akselerasi, peningkatan tekanan darah diastolic mencapai lebih dari 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. 3. Hipertensi Maligna, kelanjutan dari hipertensi akselerasi dengan tekanan darah > 120-130 nnHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, meningkatnya tekanan intracranial, kerusakan cepat di vascular, gagal ginjal akut. Hipertensi maligna ini biasanya diderita oleh klien dengan riwayat hipertensi sekunder ataupun esensial. 4. Hipertensi Enselopati, merupakan kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat dan penurunan kesadaran. Menurut WHO, tekanan sistolik dan diastolic pada setiap individu berbeda-beda, kemudian disepakati bahwa hasil pengukuran tekana darah yang sama atau lebih besar dari 140/90 mmHg adalah khas untuk hipertensi. Klasifikasi tekanan
Tekanan darah
Tekanan darah
darah
sistolik (mmHg)
diastolic (mmHg)
Optimal
< 120
Dan
< 80
Normal
< 130
Dan
< 85
34
Normal tinggi/ pra
130 – 139
Atau
85 – 89
Hipertensi Deraja 1
140 – 159
Atau
90 – 99
Hipertensi Derajat II
160 – 179
Atau
100 – 109
Hipertensi Derajat III
≥ 180
Atau
≥ 110
hipertensi
Tabel 2.3 Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah Sumber: International Society of Hypertension (ISH) For Recently Updated WHO tahun 2003.
Tekanan darah sistolik
Tekanan darah diastolic
(mmHg)
(mmHg)
Optimal
< 120
< 80
Normal
120 – 129
80 – 84
Normal Tinggi
130 – 139
85 – 89
Tingkat 1 (Mild)
140 – 159
90 – 99
Tingkat 2 (Moderate)
160 – 179
100 – 109
Tingkat 3 (Severe)
≥ 180
≥ 110
≥ 140
< 90
Klasifikasi
Hipertensi Tekanan Sistolik terisolasi
Tabel 2.4 Klasifikasi Tekanan Darah Sumber: ESH (European Society of Hypertension)
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan : 1. Hipertensi Primer atau Esensial Hipertensi primer atau esensial ini adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (Gunawan, 2001). Hampir dari 95% kasus hipertensi terjadi tanpa diketahui secara pasti penyebabnya, peneliti mengemukakan bahwa adanya stressor atau stress yang menyebabkan hipertensi primer ini tetapi ada banyak faktor yang juga dapat mempengaruhi tekana darah. Peneliti juga berpendapat bahwa individu yang memiliki keluarga dengan riwayat hipertensi beresiko juga untuk memiliki penyakit yang serupa. Biasanya hipertensi primer ini muncul ketika individu berusia 25-35 tahun. 2. Hipertensi Sekunder atau Renal Hipertensi sekunder ini merupakan penyakit hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain (Gunawan, 2001). Terjadi pada 5-10 kasus hipertensi total, penyebabnyapun diketahui speerti hipertensi terjadi akibat gangguan hormonal, 35
penyakit jantung, diabetes, penyakit ginjal, penyakit pembuluh darah, atau berhubungan dengan kehamilan. Hipertensi sekunder ini dapat diderita oleh individu dengan usia sangat muda tanpa disertai dengan riwayat keluarga hipertensi. penyebab lain yang mampu menyebabkan hipertensi hipertensi sekunder adalah penggunaan hormone
estrogen,
hiperaldosteronisme
primer
dan
sindroma
cushing,
feokromositoma, koarktasio aorta, kehamilan, dan penggunaan obat-obatan. Adapula klasifikasi hipertensi menurut Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia Klasifikasi tekanan
Tekanan darah
Tekanan darah
darah
sistolik (mmHg)
diastolic (mmHg)
Normal
< 120
Dan
< 80
Pre Hipertensi
120 - 139
Atau
80 – 89
Hipertensi Tahap 1
140 – 159
Atau
90 – 99
Hipertensi Tahap 2
≥ 160
Atau
≥ 100
≥ 140
Dan
< 90
Hipertensi Sistol Terisolasi
Tabel 2.5 Klasifikasi Hipertensi Sumber: Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia.
Hipertensi juga dapat dikelompokkan pada 3 golongan yaitu : 1. Hipertensi Sistolik Hipertensi ini hanya terjadi pada tekanan sistolik saja tanpa disertai dengan kenaikan tekanan pada diastoliknya dan pada umumnya hipertensi sistolik ini ditemukan pada individu dengan usia lanjut. 2. Hipertensi Diastolik Hipertensi diastolic juga hanya mengalami kenaikan tekanan pada diastolic saja. Berbeda dengan hipertensi sistolik, hipertensi diastolic biasa ditemukan pada kelompok umur anak-anak dan dewasa muda. hipertensi diastolic ini terjadi karena adanya penyempitan pada pembuluh darah kecil yang tidak normal sehingga akan memperbesar tekanan aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastolic.
36
3. Hipertensi Campuran Untuk hipertensi campuran ini terdapat kenaikan pada kedua-duanya, yaitu kenaikan pada tekanan sistolik dan diastolic. Berikut adalah klasifikasi hipertensi pada anak-anak dan dewasa : Kelompok Umur
Normal (mmHg)
Hipertensi (mmHg)
< 2 tahun
< 104/70
> 112/74
3 – 5 tahun
< 108/70
> 116/76
6 – 9 tahun
114/74
122/78
10 – 12 tahun
122/78
> 126/82
13 – 15 tahun
130/80
> 136/86
16 – 18 tahun
136/84
> 140/90
20 – 45 tahun
120-125/75-80
135/90
45 – 65 tahun
135-140/85
140-160/990-95
> 60 tahun
150/85
160/90 (borderline)
Tabel 2.6 Klasifikasi Hipertensi pada Anak dan Dewasa Sumber: Battegay, dkk.,2005
2.5 Patofisiologi Hipertensi Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah pada manusia lebih tinggi dari kisaran normal. Banyak orang yang menganggap bahwa gejala awal hipertensi bukanlah sesuatu yang membahayakan sehingga mereka akan pergi ke tenaga kesehatan ketika sudah muncul komplikasi atau gejala lebih lanjut. Tekanan darah sendiri dipengaruhi oleh stroke volume (isi sekuncup) dan total tahanan perifer, sehingga jika terjadi gangguan pada salah satu faktor yang mempengaruhi tersebut dan tidak terkompensasi dengan baik bisa dipastikan bahwa aka nada kenaikan tekanan darah. Tekanan darah tinggi atau hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada mekanisme di dalam tubuh seperti sistem rennin-angiotensin, sistem saraf simpatis, autoregulasi, dan hormone antidiuretic. Hipertensi bisa terjadi akibat penumpukan lemak/plak (atherosklerosis) yang ada di pembuluh darah arteri dimana terjadi sejak individu masih anak-anak. Jika semasa hidup pola makan dan aktifitas tidak dijaga dengan baik, maka pengumpulan plak yang berada di bawah lapisan endotel pembuluh darah akan terus bertambah hingga akan mempersempit lumen pembuluh darah dan mengurangi elastisitasnya. Akibatnya aliran
37
darah akan tidak sepenuhnya terdistribusi dan kebutuhan akan O2 ke jaringan-jaringan berkurang. Keterbatasan kebutuhan O2 ini akan merespon otak untuk memerintahkan jantung memompa lebih lagi agar kebutuhan O2 terpenuhi. Dari akibat jantung yang bekerja keras itu pula dapat mengakibatkan ventrikel kiri membesar (hipertrofi). Selain itu pada lapisan endotel pembuluh darah dapat menghasilkan oksida nitrit (NO) dan peptida endothelium sebagai vasoaktif lokal yang berfungsi untuk mengatur tonus pembuluh darah (mediator vasodilatasi pembuluh darah) dan mengatur struktur pembuluh darah. Jika dari lapisan endotel pembuluh darah mengalami disfungsi sebagai contoh akibat pecahnya plak pada pembuluh darah dan mengakibatkan proses pembekuan darah disana maka fungsi endotel yang seharusnya bisa memvasodilatasikan pembuluh darah yang terdapat obstruksi tersebut menjadi tidak bisa, dan tekanan darah sirkulasi menjadi lebih tinggi. Selain penumpukan plak oleh lemak di pembuluh darah akibat pola makan tidak sehat, obesitas juga turut menyebabkan penimbunan lemak di pembuluh darah. Dari kebiasaan pola makan yang tidak sehat, kebiasaan merokok juga bisa menyebabkan masalah kesehatan, salah satunya adalah tekanan darah tinggi. Hal ini diakibatkan oleh zat yang terkandung dalam tembakau berupa nikotin. Ketika seseorang merokok dimana hasil pembakaran tembakau yang berupa nikotin akan dengan diserap oleh pembuluh darah kecil yang berada di paru-paru yang kemudian akan disirkulasikan ke seluruh tubuh oleh darah. Dengan cepat zat tersebut sampai di otak dan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin. Epinefrin sendiri bekerja sebagai vasokonstriktor pada pembuluh darah. Ketika pembuluh darah di otak mulai menyempit, jantung dengan otomatis meningkatkan kerja pompanya agar organ target tidak mengalami kekurangan asupan O2 sehingga tekanan sirkulasi menjadi meningkat. Jika jantung memompa kuat dan pembuluh darah otak bervasokonstriksi dengan kuat, maka komplikasi yang terjadi dapat berupa pecahnya pembuluh darah otak yang akan menyebabkan stroke. Selain dapat mempersempit pembuluh darah, kebiasaan merokok juga dapat mempercepat pembetukan arterosklerosis. Kemudian hipertensi akibat mekanisme pelepasan renin oleh ginjal. Pelepasan renin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tekanan perfusi renal, katekolamin, angiotensin II, dan komponen cairan tubuh (kurangnya filtrasi Na dan, jumlah ion Cl pada cairan ekstraselular, dan ion K pada cairan intraselular). Saat tubuh mengalami penurunan Na, Cl, K, Ca, aliran darah,
tekanan arteri pada ginjal maka sel
juxtaglomerular akan memulai proses sekresi renin dari ginjal. Enzim renin ini akan 38
mengkatalisasi angiotensinogen dimana 4 asam aminonya akan dipecah sehingga membentuk angiotensin I. angiotensin I ini akan dirubah menjadi angiotensin II oleh ACE ketika sudah berikatan dengan reseptor spesifiknyana yaitu AT1 (terletak di otak, miokardium, ginjal, vaskulatur peripheral, dan kelenjar adrenalin). Ketika angiotensin I sudah diubah menjadi angiotensin II maka akan terjadi vasokonstriksi pada pembuluh darah. Selain pembuluh darah akan vasokonstriksi, angiotensin II akan merangsang pelepasan katekolamin dari medulla adrenal sehingga terjadi aktivasi dari sistem saraf simpatik yang akan meningkatkan denyut jantung. Selain membuat vasokonstriksi, meningkatkan denyut jantung, angiotensin II juga mampu merangsang korteks adrenal untuk mensekresi aldosteron yang bisa menyebabkan penyerapan kembali cairan-cairan dalam tubuh sehingga akan terjadi peningkatan volume plasma dan retensi peripheral total, mekanisme tersebut akan meningkatkan tekanan darah pada sirkulasi (Anggraini, 2008). Individu dengan hiperinsulinemia juga bisa mengalami hipertensi. Dengan adanya peningkatan insulin dalam tubuh juga akan berakibat pada peningkatan retensi natrium oleh ginjal dan aktivasi dari sistem saraf simpatik. Ginjal berperan penting dalam mengontrol tekanan darah, yakni dari sistem reninangiotensin tersebut, dari sistem tersebut ginjal mampu mempengaruhi tahanan perifer dan juga homeostasis natrium. Ginjal juga menghasilkan beberapa zat vasodepressor atau antihipertensi yang mampu melawan efek yang dihasilkan oleh angiotensin. Ketika volume darah berkurang, laju filtrasi glomelurus menurun sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium oleh tubulus proksimal. Natrium akan ditahan dan kemudian volume darah akan meningkat (Kumar, et al, 2007) Selain terbentuknya angiotensin II, ada beberapa mekanisme yang dilakukan oleh ginjal dalam mempengaruhi tekanan darah dalam sirkulasi. Mekanisme yang pertama adalah mensekresi hormone ADH (antidiuretik) yang dikeluarkan oleh hipotalamus untuk mengatur osmollitas serta jumlah urin dan menstimulus rasa haus. Jika hormone ADH ini meningkat maka urin yang dikeluarkan sedikit dan menyebabkan kepekatan pada urin. Untuk mengencerkan urin yang pekat tersebu cairan ekstraselular akan meningkat dengan cara menarik menarik cairan dari intraselular. Sehingga dampaknya adalah volume darah meningkat dan berujung pada peningkatan tekanan darah pada tubuh. Peningkatan volume plasma yang berkepanjangan akan menyebabkan peningkatan cardiac output pula yang berkepanjangan pula, hal tersebut akan mengakibatkan gangguan pda ginjal dalam menangani air dan juga garam atau bisa dikarenakan oleh 39
konsumsi garam yang berlebihan (karena sifat garam yang retensi terhadap air). Peningkatan volume plasma ini akan menyebabkan peningkatan volume diastolic dan berakhir pada peningkatan isi volume sekuncup. Peningkatan preload ini bisanya juga ada kaitanya dengan perubahan tekanan sistolik (Amir, 2002). Faktor resiko usia juga mampu mempengaruhi tekanan darah pada tubuh. Pada usia dibawah 55 tahun, jumlah laki-laki penderita hipertensi lebih mendominasi daripada perempuan. Sedangkan pada usia 55 tahun keatas jumlah hipertensi pada laki-laki dan perempuan cenderung sama, hal tersebut karena wanita sudah memasuki masa menapouse dan sudah tidak dapat memproduksi hormone estrogen dalam tubuh dimana hormone tersebut bisa menjaga keelastisitasan dari pembuluh darah. Ketika sudah lanjut usia pembuluh darah sudah kehilangan elastisitasnya sehingga tidak bisa menyesuaikan diameternya saat jantung bekerja keras untuk memompa darah. Dengan tekanan yang tinggi dan diameter pembuluh darah yang tetap maka bisa menyebabkan aliran darah bertekanan tinggi pada sirkulasi. Dari beberapa faktor yang mampu meningkatkan tekanan darah, juga mampu menimbulkan beberapa komplikasi. Pada kasus aterosklerosis plak yang sudah meninggi sewaktu-waktu bisa rupture akibat terlalu sering bergesekan dengan sel darah merah. Akibatnya aka nada pendarahan di pembuluh darah dan proses pembekuan akan berlangsung. Darah yang membeku tersebut bisa juga sewaktu-waktu lepas dan dapat menyumbat di beberapa pembuluh darah kecil. Saat bekuan darah tersebut menyumbat di pembuluh darah yang lebih kecil, asupan O2 pada organ target akan berkurang, dan organ target tersebut bisa mengalami iskemia dan jika sumbatan tersebut tidak segera diatasi maka bisa terjadi infark. Jika terjadi di pembuluh darah kecil kearah ginjal dapat menyebabkan fungsi ginjal tidak optimal atau ginjal akan mengalami kekurangan nutrisi berupa O2. Jika gumpalan darah tersebut menyumbat di pembuluh darah otak, akan menyebabkan iskemia pada otak dan menyebabkan penderita pusing. Pada kasus lain ketika pembuluh darah tidak elastic lagi, hal tersebut juga akan menghambat distribusi darah dan O2 ke jaringan. Saat jantung bekerja lebih dalam memompa darah dan pembuluh darah juga cukup kuat berkontriksi, maka yang terjadi adalah pembuluh darah tidak mampu menahan tekanan aliran darah yang kuat yang menyebabkan pembuluh darah akan pecah. Jika terjadi di pembuluh darah otak akan menyebabkan stroke pada penderitanya. Beberapa peneliti juga mengungkapkan bahwa stress juga mampu berhubungan dengan perubahan tekanan darah. Dimana pada saat seseorang menghapadi sebuah 40
stressor pada otak akan menstimulus hipotalamus untuk mengaktifkan sistem saraf simpatik yang mengakibatkan denyut jantung lebih cepat dan membuat tekanan pada aliran sirkulasi menjadi meningkat.
2.5.1 Pathways Hipertensi Pola makan tidak sehat
Kebiasaan merokok
Asupan Na meningkat
Makanan berlemak
Nikotin masuk ke dalam otak
Terjadi retensi Na di ginjal
Penumpukan lemak di pembuluh darah arteri (dibawah Obesitas
Merangsan g pelepasan
Rennin mengkatalis 4 asam amino dari angiotensinogen
Akumulasi penumpuk an lemak (plak)
41
Perubahan homeostasis tubuh Terdekteksi oleh juxtaglomerular
Menstimulus pelepasan rennin dari
Penumpukan lemak membesar dan
Terjadi penurunan K dan Ca pada cairan
Jika di otak, asupan O2 ke
Memperse mpit Aliran darah dan asupan O2 ke
Pusing
Merangsang jantung
Metabo lism Penimbunan asam laktat Kelelaha nnn
Pembuluh darah di otak pecah Stroke
Menjadi Angitensis I (dalam darah) Angiotensi n II Mengikat Pelepasan reseptor kotekolamin T1 dan (dari T2 (T1 spesifik Mengaktifkan saraf simpatis Vasoko Tah. Meningka nstriksi Perifer tkan denyut Aliran darah sirkulasi
Mensekresi aldosteron Penyerapa n kembali cairan dalam Peningkata n volume plasma dan resistensi
Tekanan arteri pulmonalis di paru meningkat
Terjadi penyempitan di pembuluh darah ginjal
Hipertensi pulmonal
Ginjal kekurangan asupan O2
Beban kerja ventrikel kanan meningkat
Kerja ginjal tidak efektif
Gagal ginjal
Merangsa ng korteks
Hipertrofi ventrikel kanan
42
Gagal ventrikel kanan
2.6 Manifestasi Klinis Hipertensi Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung. Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik. 2.6.1 Tanda klinis pada hipertensi berikut dapat terjadi: 1. Hasil pengukuran tekanan darah yang menunjukan kenaikan pada dua kali pengukuran secara berurutan sesudah dilakukan pemeriksaan pendahuluan 2. Nyeri kepala oksipital (yang semakin parah pada saat bangun di pagi hari karena terjadi peningkatan tekanan intrakranial) 3. Nausea, dan vomitus 4. Epistaksis, pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang kronis. Hal ini menyebabkan epistaksis berisiko terjadi terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior. Prinsip penatalaksanaan epistaksis dengan hipertensi secara umum sama dengan kasus epistaksis lainnya. Penanganan epistaksis dimulai dengan melakukan anamnesis yang ringkas dan tepat, serta pemeriksaan fisik, bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis. Hubungan hipertensi dengan terjadinya epistaksis masih belum jelas. Perubahan endotel pembuluh darah arteri pada kasus hipertensi menjadi dasar adanya hubungan antara epistaksis dengan hipertensi. Terdapat bukti sementara bahwa ada hubungan antara hipertrofi ventrikel kiri dan epistaksis dengan hipertensi yang berlangsung lama. 5. Bruits (bising pembuluh darah atau bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi ketika darah melewati pembuluh arteri yang mengalami penyempitan. Bruits dapat terdengar di daerah aorta abdominalis, arteri karotis, arteri renalis, arteri brachialis
43
arteri femoralis dan arteri tiroidea); bising pembuluh darah ini disebabkan oleh stenosis atau aneurisma 6. Perasaan pening, bingung, dan keletihan yang disebabkan oleh penurunan perfusi darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah 7. Pengelihatan yang kabur akibat kerusakan retina. Tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh darah di retina, menyebabkan retinopati hipertensi. Kondisi ini dapat menyebabkan pendarahan di mata, pengelihatan kabur dan kehilangan lengkap visi. Retinopati hipertensif adalah kelainan-kelainan retina dan pembuluh darah retina atau vaskular retina akibat tekanan darah tinggi. Retinopati hipertensif dideteksi dengan menggunakan oftalmoskop direk. Retinopati hipertensif adalah salah satu dari beberapa tanda dari kerusakan organ akibat hipertensi. Adanya atau ditemukannya retinopati hipertensif yang merupakan salah satu kerusakan organ target dan terdapatnya keadaan tekanan darah prehipertensi, hipertensi stadium I dan II, dapat diindikasikan untuk memulai terapi awal dengan anti hipertensi dan juga melakukan modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah yaitu antara lain dengan menurunkan berat badan, diet rendah natrium, melakukan aktivitas fisik yang bersifat aerobik dan mengurangi konsumsi alkohol. 8. Nokturia, adalah buang air kecil yang luar biasa sering di malam hari, menyebabkan pasien terbangun beberapa kali di malam hari untuk buang air kecil. Nokturia disebabkan oleh sejumlah penyebab mulai dari sekadar terlalu banyak minum di malam hari sampai kondisi serius seperti hilangnya fungsi ginjal. Ginjal yang mendapat perfusi yang tidak adekuat oleh jantung yang tidak sehat selama sehari mungkin akhirnya menerima perfusi yang cukup selama istirahat pada malam hari sehingga meningkatkan haluarannya. Jika pasien mengonsumsi diuretik, perawat juga mengevaluasi frekuensi kemih yang berhubungan dengan waktu konsumsi diuretik pada siang hari. 9. Edema yang disebabkan oleh peningkatan tekanan kapiler Jika terdapat hipertensi sekunder, tanda dan gejala dapat berhubungan dengan keadaan yang menyebabkannya. Sebagai contoh, sindrom Cushing yang dapat menyebabkan obesitas batang tubuh dan striae berwarna kebiruan sedangkan pasien feokromositoma bisa mengalami sakit kepala, mual, muntah, palpitasi, pucat, dan perspirasi yang sangat banyak. 44
2.6.2 Klasifikasi hasil pengukuran tekanan darah Pada tahun 1997, National Institutes of Health mempublikasikan suatu metode hasil revisi untuk mengklasifikasi tekanan darah berdasarkan stadiumnya. Kategori sebelumnya- ringan, sedang, berat dan sangat berat- masing masing diganti dengan stasium satu hingga empat. Penggantian kategori ini sebagian dilakukan karena istilah “ringan” dan “sedang” yang lama tidak berhasil menyampaikan dampak sebenarnya tekanan darah tinggi pada risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Kategori yang sudah direvisi ini didasarkan pada hasil rata rata dua kali pengukuran atau lebih pada kunjungan terpisah sesudah pemeriksaan skrining pendahuluan. Klasifikasi kategori tersebut di terapkan pada dewasa berusia 18 tahun atau lebih dan belum menggunakan obat obatan antihipertensi serta belum mengalami sakit yang akut (jika hasil pengukuran tekanan sistolik dan diastolic tergolong kedalah kategori yang berbeda, gunakan hasil pengukuran tertinggi untuk mengklasifikasi hasil pengukuran tersebut. Sebagai contoh, hasil pengukuran 160/92 mmHg harus diklasifikasikan sebagai stadium 2) Tekanan darah optimal sehubungan dengan risiko kardiovaskuler adalah tekanan diastolic dibawah 80 mmHg. Hipertensi sistolik tersendiri (isolated systolic hypertension) merupakan keadaan hipertensi dengan tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih, dan tekanan diastolic dibawah 90 mmHg. Disamping klasifikasi stadium hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah rata-rata, dokter harus pula memperhatikan penyakit pada target organ dan faktor risiko tambahan. Sebagai contoh, seorang pasien diabetes dan hipertrofi ventrikel kiri dengan tekanan darah 144/98 mmHg harus diklasifikasikan sebagai “hipertensi stadium 1 disertai penyakit pada target organ (hipertrofi ventrikel kiri) dan faktor risiko utama lain (diabetes).” Informasi tambahan ini sangat penting untuk memberi gambaran sebenarnya tentang kesehatan kardiovaskuler pasien.
Kategori
Sistolik
Diastolik
Optimal
< 120 mmHg
Dan
< 80 mmHg
Normal
< 130 mmHg
Dan
< 85 mmHg
Normal tinggi
130 hingga 139 mmHg
Atau
85 hingga 89 mmHg
45
Hipertensi Stadium I
140 hingga 159 mmHg
Atau
90 hingga 99 mmHg
Stadium II
160 hingga 179 mmHg
Atau
100 hingga 109 mmHg
Stadium III
≥180 mmHg
Atau
≥ 110 hingga 119 mmHg
Tabel 2.7 klasifikasi stadium hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah rata-rata Sumber: Hipertensi Tekanan Darah Tinggi. Yogyakarta : Kanisius
2.7 Pemeriksaan Diagnostik 2.7.1 Evaluasi hipertensi pada pasien hipertensi perlu dilakukan terlebih dahulu bertujuan untuk: 1. Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan. 2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah. 3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. 2.7.2 Anamnesis meliputi: 1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah 2. Indikasi adanya hipertensi sekunder 1) Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal 2) Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat obat analgesik dan obat/bahan lain. 3) Episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma) 4) Episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme) 3. Faktor-faktor risiko 1) Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien 2) Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya 3) Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya 4) Kebiasaan merokok 5) Pola makan 46
6) Kegemukan, intensitas olahraga 7) Kepribadian 4. Gejala kerusakan organ 1) Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic attack, defisit sensoris atau motoris 2) Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria 3) Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki 4) Arteri perifer : ekstremitas dingin 5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
2.7.3 Pemeriksaan yang membantu menegakan diagnosis hipertensi: 1. Pengukuran tekanan darah secara serial dapat membantu (lihat Klasifikasi hasil pengukuran tekanan darah) 2. Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urin pasien untuk tujuan diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum. Urinalisis dapat memperlihatkan protein, sendimen, sel darah merah atau sel darah putih yang menunjukan kemungkinan penyakit renal; keberadaan katekolamin dalam urin yang berkaitan dengan feokromositoma; atau keberadaan glukosa dalam urine, yang menunjukan diabetes. 3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum yang memberi kesan penyakit ginjal atau
keadaan
hipokalemia
yang
menunjukan
disfungsi
adrenal
(hiperaldosteronisme primer). Berikut pemeriksaan untuk mengetahui fungsi ginjal: 1) Ureum (Blood Urea Nitrogen) Protein diserap tubuh melalui makanan seperti telur, ikan dan daging, sisanya yang tidak terserap merupakan sampah yang disebut ureum yang mengandung nitrogen. Apabila ginjal bekerja dengan baik, ureum tersebut akan dibuang bersama urin, namun apabila ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik ureum akan tinggal di dalam darah. Untuk itu BUN tes dilakukan untuk mengukur kadar ureum dalam darah dan mengetahui performa ginjal dalam melaksanakan tugasnya membersihkan darah. Hasil Normal : angka 5 s/d 25 mg/dl
47
2) Kreatinin adalah sampah dari sisa – sisa metabolisme yang dilakukan oleh aktivitas otot. Sama dengan ureum, kreatinin akan menumpuk dalam darah apabila ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya untuk menyaring serta membuangnya bersama urin. Hasil Normal: 0.5 s/d 1.5 mg/dl untuk pria dewasa0.5 s/d 1.3 mg/dl untuk wanita dewasa 3) Glumerolus Filtration RateGFR merupakan cara terbaik untuk mengetahui seberapa baik fungsi ginjal dalam menjalankan tugasnya. Dari penghitungan GFR dapat diketahui pada stadium berapa kerusakan ginjal seseorang. Informasi yang dibutuhkan untuk menghitung GFR adalah hasil serum kreatinin, usia dan berat badan. 4) Pemeriksaan profil lipid a. Kolesterol Kolesterol adalah suatu zat lemak yang beredar di dalam darah, diproduksi oleh hati dan sangat diperlukan oleh tubuh. Tetapi kolesterol berlebih akan menimbulkan masalah, terutama pada pembuluh darah jantung dan otak. Tujuan: Penentuan secara kuantitatif kolesterol dalam serum dan plasma. Kolesterol total <200 mg/dl
Optimal
200-239 mg/dl
Borderline
≥240 mg/dl
Tinggi Tabel 2.8 Klasifikasi Kolesterol Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
48
b. HDL Kolesterol (High Density Lipoprotein) Tujuan: Penentuan secara kuantitatif HDL kolesterol dalam serum dan plasma. Kolesterol HDL <40
Rendah
≥60
Tinggi
Tabel 2.9 Klasifikasi HDL Kolestrol Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC HDL bersifat menangkap kolesterol yang sedang dalam keadaan bebas di pembuluh darah untuk kemudiannya terbawa ke dalam hati untuk diproses lebih lanjut. Oleh karenanya HDL disebut sebagai kolesterol yang baik. c. LDL Kolesterol (Low Density Lipoprotein) Tujuan: Penentuan secara kuantitatif LDL kolesterol dalam serum dan plasma. Kolesterol LDL <100
Optimal
100-129
Mendekati optimal
130-159
Borderline
160-189
Tinggi
≥190
Sangat tinggi Tabel 2.9 Klasifikasi LDL Kolestrol Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
49
Jika pembuluh darah tersumbat oleh timbunan lemak tersebut, maka dampak lebih jauhnya diantaranya adalah stroke, serangan jantung, dan lainnya yang mengarah fatal kepada tubuh manusia. Oleh karena itu LDL dikenal sebagai sebutan kolesterol jahat. d. Trigliserida Tujuan: Untuk penentuan secara kuantitatif trigliserida dalam serum dan plasma. Trigliserida <150
Optimal
150-199
Borderline
200-499
Tinggi
≥500
Sangat tinggi
Tabel 2.9 Klasifikasi Trigliserida Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Untuk mengetahui keadaan pembuluh darah dan jantung 5) Pemeriksaan glukosa puasa. Kadar glukosa darah pada waktu puasa atau di singkat glukosa darah puasa di tujukan untuk : a. Tes saring diabetes melitus, karena tidak adanya atau defisiensi insulin,maka kadar glukosa meninggi. b. Memonitor terapi diabetes melitus. Nilai rujukan : 70 – 100 mg/dl Abnormal
: >140 mg/dl atau >126 mg/dl
Menunjukan peninggian nilai ambang yang perlu dikonfirmasi dengan tes glukosa 2 jam post pradial atau tes toleransi glukosa oral. Bila nilai >200 mg/dl, maka diagnosis adalah diabetes melitus. Meninggi juga pada pankreatitis, post infrak miocard, sindrom cushing, akromegali. Menurun pada
hiperinsulinisme,
myxoederma,
hipopituitarisme. 50
insufisiensi
adrenal,
dan
c. Pemeriksaan darah lengkap (complete blood count/blood panel) adalah jenis pemeriksan yang dapat memberikan informasi tentang sel-sel darah pada pasien. Pemeriksaan Hitung darah lengkap ini digunakan sebagai tes skrining yang luas untuk memeriksa gangguan seperti anemia, adanya infeksi serta banyak penyakit lainnya. Sel-sel yang beredar di dalam aliran darah dapat dibagi menjadi tiga macam jenis, yaitu sel darah putih (leucosit), sel darah merah (eritrosit) dan platelet (trombosit). Bila Tinggi atau rendahnya hasil penghitungan mungkin menunjukkan adanya berbagai macam kelainan, jenis penyakit atau status kesehatan pasien. 6) Hitung darah lengkap terdiri dari beberapa panel pemeriksaan, yaitu : a. Hitung leukosit / white blood cell count (WBC). Pemeriksaan Hitung leukosit adalah jumlah leukosit per milimeterkubik atau mikroliter darah. b. Hitung jenis leukosit / differential cell count. Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai jenis leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, masing-masing dengan fungsi tersendiri dalam melindungi tubuh dari infeksi. Jenis dari Sel-sel tersebut adalah limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, serta basofil. c. Hitung erytrosit / red blood cell count (RBC) Hitung eritrosit adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik atau mikroliter darah. d. Jumlah Kadar hemoglobin (Hb) Hemoglobin merupakan protein yang berfungsi sebagai pembawa oksigen dalam darah. e. Kadar Hematokrit (Hct/Hmt) Hematokrit merupakan persentase erytrosit dalam volume tertentu darah. f. Mean corpuscular volume (MCV) adalah ukuran atau volume rata-rata eritroit. MCV meningkat jika erytrosit lebih besar dari biasanya (makrositik), Misalnya pada penderita anemia karena kekurangan vitamin B12. Menurunnya kadar MCV ini jika erytrosit lebih kecil dari biasanya (mikrositik) seperti pada anemia karena kekurangan zat besi. g. Mean corpuscular hemoglobin (MCH) adalah jumlah rata-rata hemoglobin dalam erytrosit. Erytrosit yang lebih besar (makrositik) cenderung memiliki MCH yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika pada erytrosit yang lebih kecil (mikrositik) akan memiliki nilai MCH yang lebih rendah.
51
h. Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) adalah perhitungan rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam erytrosit. MCHC menurun (hipokromia) dijumpai pada kondisi di mana hemoglobin abnormal diencerkan di dalam erytrosit, seperti pada anemia dan kekurangan zat besi dalam thalasemia. Adanya Peningkatan MCHC (hiperkromia) terdapat pada kondisi di mana hemoglobin abnormal terkonsentrasi di dalam erytrosit, seperti pada pasien yang mengalami luka bakar dan sferositosis bawaan. i. Red cell distribution width (RDW) adalah variasi ukuran erytrosit. Pada beberapa kasus anemia, seperti anemia pernisiosa, variasi dalam ukuran erytrosit
(anisositosis)
bersama
dengan
variasi
dalam
bentuk
(poikilositosis) dapat menyebabkan peningkatan RDW. j. Hitung trombosit / platelet count adalah jumlah trombosit/platelet per milimeterkubik atau mikroliter darah. k. Mean platelet volume (MPV) adalah ukuran rata-rata trombosit dalam darah. Trombosit baru lebih besar, dan peningkatan MPV terjadi ketika terjadi peningkatan jumlah platelet yang sedang diproduksi. Sebaliknya adanya penurunan MPV merupakan indikasi penurunan jumlah trombosit (trombositopenia). l. Platelet distribution width (PDW) merupakan indikasi variasi ukuran trombosit yang dapat menjadi tanda pelepasan platelet aktif. m. Pemeriksaan darah lengkap Umumnya telah menggunakan mesin penghitung otomatis yang disebut hematology analyzer. Pemeriksaan dengan menggunakan mesin penghitung otomatis dapat memberikan hasil yang cepat. Akan tetapi analyzer memiliki keterbatasan ketika terdapat sel yang abnormal, seperti banyak dijumpainya sel-sel yang belum matang pada leukemia, adanya infeksi bakterial, sepsis dan lain sebagainya. Atau, ketika jumlah sel sangat tinggi sehingga analyzer tidak dapat menghitungnya. Untuk keadaan seperti ini, pemeriksaan manual sangat diperlukan. n. Penghitungan Darah Manual Keuntungan dari penghitungan manual adalah bahwa karena mesin penghitung otomatis tidak dapat diandalkan dalam menghitung sel abnormal. Untuk itu diperlukan pemeriksaan manual terhadap apusan 52
darah. Dilakukan Pemeriksaan secara mikroskopik akan memberikan informasi mengenai leukosit-leukosit yang abnormal dan variasi bentuk erytrosit. Pemeriksaan manual juga dapat memberikan informasi mengenai adanya jenis sel lain yang biasanya tidak dijumpai dalam darah tepi, misalnya pada sel plasma. Selain itu adanya trombosit yang menggerombol (clumps) yang dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit pada pemeriksaan, otomatis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan apusan darah.
Pemeriksaan manual menjadi pilihan untuk dilakukan dalam kasus jumlah sel yang sangat tinggi dimana analyzer tidak mampu menghitungnya. Pemeriksaan manual ini darah diencerkan dulu dengan tingkat pengenceran yang lebih tinggi. Hitung darah lengkap lengkap dapat mengungkapkan penyebab hipertensi yang lain, seperti polisitemia atau anemia o. Urografi ekskretorik Urografi ekskretorik dapat mengungkapkan atrofi renal, menunjukan penyakit renal yang kronis. Ginjal yang satu lebih besar daripada yang lain memberikan kesan penyakit renal unilateral. Urografi Intravena (Ekskretori Urogram atau intravenous pyelogram). Pemeriksaan urografi intravena yang juga dikenal dengan nama intravenous pyelogaram (IVP) memungkinkan visualisasi ginjal ureter dan kandung kemih. Media kontras radiopaque disuntikan secara intravena dan kemudian dibersihkan dari dalam darah serta dipekatkan oleh ginjal. Tebal nefrotomogram dapat dilaksanakan sebagai bagian dari pemeriksaan untuk melihat berbagai lapisan ginjal serta struktur difus dalam setiap lapisan dan untuk membedakan massa atau lesi yang padat dari kista didalam ginjal atau trakrus urinarius. Pemeriksaaan IVP dilaksanakan sebagai bagian dari pengkajian pendahuluan terhadap semua masalah urologi yang dicurigai, khususnya dalam menegakan diagnose lesi pada ginjal dan ureter. Pemeriksaan ini juga memberikan perkiraan kasar terhadap fungsi ginjal. Sesudah media kontras (sodium diatrisoat atau meglumin diatrisoat)
53
disuntikan secara intravena, pembuatan foto rontgen yang multiple dan seril yang dilakukan untuk melihat struktur drainase.
Gambar 2.1 foto rontgen PAP Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Jika pasien mempunyai riwayat alergi, penyuntikan intradermal media kontras dengan dosis untuk tes alergi dapat dillakukan. Apabila tidak terjadi reaksi kulit dalam waktu 15 menit, media kontras dengan dosis untuk tes alergi yang reguler dapat diberikan secara intravena. Meskipun jarang dijumpai reaksi anafilaksis dapat saja terjadi sebagai mana halnya pada pemberian intravena setiap obat. p. Elektrokardiografi dapat memperlihatkan hipertrofi ventrikel kiri atau iskemia. EKG
standar merekam impulslistrik yang melalui jantung. Pada
pasien yang mengalami konduksi normal , impuls listrik pertama untuk setiap siklus jantung berasal dari sinus dan menyebar ke jantung yang istirahat melalui sistem konduksi tertentu-saluran dalam atrium, nodus AV, berkas his dan berkas kanan dan kiri. Saat sistem konduksi mentransmisikan impuls, implus menyebar keseluruh otot jantung dan memberikan stimulus untuk kontraksi atrium dan ventrikel. Perubahan potensial listrik dalam sel sistem konduksi tertentu sebagai impuls adalah 54
sangat kecil dan tidak dapat diukur dengan elektroda diluar tubuh. Namun perubahan potensial listrik sel otot jantung menimbulkan sinyal listrik yang dapat direkan dari permukaan tubuh sebagaimana yang terjadi pada EKG. Impuls yang berasal dari daerah lain selain nodus sinus atau impuls yang dicegah agar tidak menghantarkan sistem konduksi karena penyakit atau gangguan obat atas permintaan pada muatan listrik otot jantung. EKG dapat digunakan untuk merekan pola atau bentuk konduksi impuls yang abnormal. Sehingga dokter memiliki rekaman pola abnormal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi aritmia. Selain itu, rekaman EKG abnormal mungkin akibat penyakit sel otot jantung. Contohnya pada pasien yang menderita hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy), impuls dihantarkan oleh masa sel otot yang lebih besar dari ventrikel kiri yang menghasilkan sinyal listrik yang lebih besar dari normal. Berlawanan dengan ini impuls tidak dapat dihantarkan oleh sel otot jantung karena kerusakan yang irreversible , seperti pada infark miokard, dan tidak ada sinyal listrik yang ada pada sel yang mengalami infark pada ventrikel kiri.
q. Foto rontgen toraks dapat memperlihatkan kardiomegali.
Gambar 2.2 foto rontgen Toraks Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
r. Pemeriksaan echocardiography kemungkinan bisa mendeteksi dilatasi atrium sinistra, hipertrofi ventricular sinistra dan disfungsi sistolik atau 55
diastolik ventricular sinistra dibanding dengan pemeriksaan EKG (electrocardiography). Indikasi utama terutama untuk evalusia kerusakan organ pada pasien dengan tekanan darah tinggi borderline. Keberadaan hipertrofi ventrikel sinistra membutuhkan terapi antihipertensi meskipun tekanan darah normal atau borderline hipertensi. Pada orang dengan usia lebih dari sama dengan 50 tahun, the 2010 Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI) guideline pada diagnosis dan pengobatan hipertensi mengindikasikan bahwa tekanan darah sistolik menjadi faktor utama untuk menentukan, mengevaluasi dan mengobati hipertensi.
Gambar 2.3 foto EKG Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
s. Ambulatory blood pressure monitoring Ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) digunakan untuk monitor tekanan darah harian dan nokturnal, menyediakan informasi seperti persentase pembacaan tekanan darah, load tekanan darah secara umum dan rentang tekanan darah ketika tidur. Secara umum, pembacaan tekanan darah memang lebih rendah dibanding saat berkunjung ke dokter dan bisa memberikan korelasi lebih baik terkait kerusakan organ target. Biasanya terjadi penurunan tekanan darah sebesar 10-20% saat malam. Jika tidak terdapat penurunan tekanan darah maka risiko terjadi serangan kardiovaskuler lebih tinggi. Pasien dengan tekanan darah 24 jam lebih dari 135/85
mm
Hg
menunjukkan
kardiovaskuler hampir dua kali lipat. 56
kemungkinan
terjadi
serangan
Indikasi ABPM termasuk tekanan darah yang labil; perbedaan tekanan darah saat di dalam dan di luar ruang dokter dan kontrol tekanan darah yang jelek. ABPM ini juga bisa digunakan untuk menyingkirkan sindrom yang disebut white-coat hypertension, dimana hasil pengukuran tekanan darah pasien berbeda sangat jauh antara saat di rumah dengan di rumah sakit.
Gambar 2.4 alat ABPM Sumber: Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
2.8 Tata Laksana Hipertensi 2.8.1 Non Farmakologis Melakukan pola hidup sehat sudah banyak terbukti menurunkan tekanan darah, dan secara umum, bisa sangat berguna untuk menurunkan resiko permasalahan kardiovaskular. Untuk pasien dengan hipertensi derajat 1, tanpa adanya faktor resiko kardiovaskula lain, maka strategi pola hidup sehat adalah penatalaksanaan tahap awal, dan setidak-tidaknya harus dilakukan selama 4-6 bulan. Namun, bila setelah dilakukan upaya-upaya tersebut tetapi tidak tercapai penurunan tekanan darah sesuai yang diharapkan atau yang malah didapatkan faktor resiko kardiovaskular yang lainnya, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
57
Masyarakat sendiri, perlahan-lahan sudah mulai memiliki kepedulian tersendiri terhadap pola hidup yang sehat. Pola hidup sehat yang berkembang di masyarakat adalah karena sudah terlalu banyak kondisi-kondisi atau korban yang berjatuhan terkait kondisi tersebut. Berikut diantaranya pola hidup sehat yang dianjurkan. 1. Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia. 2. Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari 3. Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya. 4. Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah. 5. Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok. 2.8.2 Terapi farmakologi Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami perkembangan yang berarti, walaupun sudah dilakukan program pola hidup sehat selama >6 buka dan pasien hipertensi dengan derajat >2. Dalam penerapannya sendiri, beberapa prinsip terapi farmakologi, sangat 58
penting sekali untuk memperhatikan hal-hal berikut demi menjaga kepatuhan dan meminimalisasikan efek samping nya, diantaranya adalah : 1. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal 2. Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya 3.
Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4.
Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5.
Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013
59
Gambar 2.5 patofisiologi hipertensi Sumber : International Society of Hypertension 2013
2.8.3 Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah Tujuan utama penatalaksanaan hipertensi sendiri pada pasien dngan penyakit jantung dan pembuluh darah adalah bertujuan untuk mencegah kematian, infark miokard, stroke, pengurangan frekuensi dan durasi iskemi miokard serta memperbaiki tanda gejala. Target standar tekanan darah yang direkomendasikan oleh berbagai studi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung dan pembuluh darah adalah dengan tekanan darah sistolik sebesar < 140 mmHg dan atau tekanan diastolik darah sebesar < 90 mmHG
60
Seperti halnya penatalaksanaan hipertensi pada pasien yang tidak disertai dengan penyakit jantung koroner, terapi non farmakologisnya sama secara keseluruhan, semuanya juga sangat berdampak positif/ perbedaannya adalah pada terapi farmakologinya, khususnya pada rekomendasi obatnya. 1. Penyakit jantung koroner 1) Angina Pektoris Stabil a. Betablocker Obat yang biasa dipilih pertama kali dalam tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung koroner adalah betablocker, terutama yang menyebabkan angina, dikarenakan efekn utamanya sebagai inotropik dan kronoropok negatif, cara kerjanya disini adalah dengan menurunkan frekuensi denyut jantung, maka selanjutnya akan terjadi pengisian diastolik untuk perfusi koroner yang memanjang. Selain itu betablocker juga memiliki fungsi terhadap ginjal. Renin di ginjal akan dilepaskan, dimana renin tersebut akan menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker yang banyak di rekomendasikan adalah betablocker cardioselektif (Beta 1) karena tidak memiliki aktifitas simpatometik intrinsikal b. Calcium channel blocker (CCB) CCB sendiri lebih merupakan obat yang lebih sering digunakan sebagai obat tambahan setelah optimalisasi dosis betablocker bila terjadi hal-hal sebagai berikut : a) Tekanan darah tetap tinggi setelah dilakukan pengobatan pertama b) Angine persisten c) Adanya kontraindikasi absolut pemberian dari betabloker
Cara kerja CCB sendiri pada dasarnya adalah d engan cara mengurangi kebutuhan oksigen miokard dan menurunskan resistensi perifer sehingga tekanan darah bisa menurun. CCB juga meningkatkan suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi koroner. Walaupun pada dasarnya CCB berguna sebagai obat penatalaksanaan angina, namun sampai sekarang belum ada rekomendasi yg menyatakan bahwa CCB berperan terhadap pencegahan kejadian kardiovaskuler pada pasien dengan penyakit koroner 61
c. ACE Inhibitor (ACEi) Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai diabetes mellitus dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri merupakan pilihan utama dengan rekommendasi penuh dari semua guidelines yang telah dipublikasi. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian kardiovaskular. Pada pasien hipertensi usia lanjut ( > 65 tahun ), pemberian ACEi juga direkomendasikan , khususnya setelah dipublikasikannya 2 studi besar yaitu ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir menyatakan bahwa pada pasien hipertensi pria berusia lanjut, ACEi memperbaiki hasil akhir kardiovaskular bila dibandingkan dengan pemberian diuretic, walaupun kedua obat memiliki penurunan tekanan darah yang sama. d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB) Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi. Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi. e. Diuretik Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti yang telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, seperti Veterans Administrations Studies, MRC dan SHEP. f. Nitrat Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalakana angina yang belum terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adkuat pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Tetapi sampai saat ini tidak ada yang mengatakan penggunaan nitrat dalam tatalaksana hipertensi, selain dikombinasikan dengan hidralazin pada kasus-kasus tertentu.
62
Rekomendasi 1. Pasien dengan hipertensi dan angina pectoris stabil harus diberikan obatobatan yang meliputi : a. Betablocker, pada pasien dengan riwayat infark miokard b. ACEi / ARBs, bila terdapat disfungsi ventrikel kiri dan atau diabetes mellitus c. Dan diuretic golongan tiazid bila diperlukan 2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi terhadap pemberian betablocker, maka dapat diberikan CCB golongan non-dihidropiridin ( verapamil atau diltiazem ), tetapi tidak dianjurkan bila terdapat disfungsi ventrikel kiri 3. Bila angina atau hipertensi tetap tidak terkontrol, CCB kerja panjang golongan dihidropiridin dapat ditambahkan pada obat-obat dasar yaitu betablocker, ACEi / ARBs dan diuretic tiazid. Pemberian kombinasi betabloker dengan CCB non dihidropiridin, harus dilakukan secara berhatihati pada pasien penyakit jantung koroner simptomatik dengan hipertensi, karena dapat menimbulkan gagal jantung dan bradikardi yang signifikan. 4. Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga < 130/ 80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah harus diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan darah diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada perburukan iskemia miokard. 5. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana angina dan pencegahan kejadian kardiovaskular, kecuali pada krisis hipertensi, karena dapat menyebabkan stroke perdarahan Tabel 2.10 rekomendasi sumber : The Journal of Clinical Hypertension, 2013
1) Angina pectoris tidak stabil / Infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NST) Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus dihindari penurunan tekanan darah yang terlalu cepat terutama tekanan diastolik, karena hal ini dapat mengakibatkan penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai oksigen, sehingga akan memperberat keadaan iskemia. Tatalaksana awal meliputi tirah baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen, nitrogliserin dan bila angina terus berlanjut dengan pemdapat diberikan
63
morfin sulfat. Perlu diingat bahwa pemberian nirat selama angka panjang tidak direkomendasikan oleh berbagai guidelines sampai saat ini. a. Hipertensi berat dan edema pulmonal akut Pasien dengan kondisi hipertensi berat dengan edema pulmonal akut dapat disertai juga dengan peningkatan biomarker enzim jantung, sehingga jatuh dalam kelompok sindromakoroner akut. Terapi awal
yang
direkomendasikan pada pasien dengan kondisi ini meliputi furosemide, ACEi dan nitrogliserin (IV) dan selanjutnya dapat ditambahkan obat lain dibawah pengawasan yang ketat. Bila presentasi utama pasien adalah iskemia atau takikardia, maka dianjurkan untuk pemberian betabocker dan nitroglycerin (IV). Tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin, dengan monitor ketat pada kondisi iskemia dan serebral (25% dari Mean aterial Pressurepada 1 jam I, dan bertahap selama 24 jam mencapai target tekanan darah sistolik yang diinginkan.
Rekomendasi 1. Pada pasien angina pectoris tidak stabil atau IMA-NST, terapi awal untuk hipertensi setelah nitrat adalah betablocker, terutama golongan cardioselektive yang tidak memiliki efek simpatomimetik intrinsic. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, pemberian betablocker dapat ditunda sampai kondisi stabil. Pada pasien dengan kondisi gagal jantung, diuretic merupakan terapi awal hipertensi.
64
2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi pemberian betablocker, maka dapat diberikan CCB golongan non dihidropiridin (verapamil, diltiazem), tetapi tidak dianjurkan pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri. Bila tekanan darah atau angina belum terkontrol dengan pemberian betablocker, maka dapat ditambahkan CCB golongan dihidropiridin kerja panjang. Diuretik tiazid juga dapat ditambahkan untuk mengontrol tekanan darah. 3. Pada pasien dengan hemodinamik yang stabil, dengan : a. riwayat infark sebelumnya b. hipertensi yang belum terkontrol c. gangguan fungsi ventrikrel kiri atau gagal jantung d. diabetes mellitus maka harus diberikan ACEi atau ARB 4. Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga < 130/ 80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah harus diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan darah diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada perburukan iskemia miokard. 5. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner akut. Begitupula dengan pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol, yang menggunakan antiplatelet atau antikoagulan, TD harus diturunkan untuk mencegah perdarahan. Table 2.11 rekomendasi tatalaksana Sumber : Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014 b. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-ST) Seperti pada IMA-NST, dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Rekomendasi 1.
Pada pasien IMA-ST, prinsip utama tatalaksana hipertensi adalah seperti pada pasien dengan angina pectoris tidak stabil / IMA-NST, dengan ada beberapa pengecualian. Terapi awal hipertensi pada pasien dengan hemodinamik stabil adalah betablocker cardioselective, setelah pemberian nitrat. Tetapi, bila pasien mengalami gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil, maka pemberian betablocker harus ditunda, sampai kondisi pasien menjadi stabil. Dalam kondisi ini, maka diuretic dapat diberikan untuk tatalaksana gagal jantung atau hipertensi 65
2.
3.
ACEi atau ARB harus diberikan pada sedini mungkin pada pasien IMA-ST dengan hipertensi, terutama pada infark anterior, terdapat disfungsi venrikel kiri, gagal jantung atau diabetes mellitus. ACEi telah terbukti sangat menguntungkan pada pasien dengan infark luas, atau riwayat infark sebelumnya. Gagal jantung dan takikardia. ACEi dan ARB tidak boleh diberikan secara bersamaan, karena akan meningkatkan kejadian efek samping. Aldosterone antagonist dapat diberikan pada pasien dengan IMA-ST dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung; dan dapat memberikan efek tambahan penurunan tekanan darah. Nilai kalium darah harus dimonitor dengan ketat. Pemberian obat ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan kadar kreatinin dan kalium darah yang tinggi ( kreatinin ≥ 2 mg/dL, atau K ≥ 5 mEq/dL)
4.
CCB tidak menurunkan angka mortalitas pada IMA-ST akut dan dapat meningkatkan mortalitas pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri dan atau edema paru. CCB golongan dihidropriridin kerja panjang dapat diberikan pada pasien yang intoleran terhadap betablocker, angina yang persisten dengan betablocker yang optimal atau sebagai terapi tambahan untuk mengontrol tekanan darah. CCB golongan nondihidropiridin dapat diberikan untuk terapi pada pasien dengan takikardia supraventrikular tetapi sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan aritmia bradikardia atau gangguan fungsi ventrikel kiri
5.
Seperti juga pada pasien dengan dengan Angina pectoris tidak stabil/ IMANST, Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga < 130/ 80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah harus diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan darah diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada perburukan iskemia miokard.
6.
Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner akut. Begitupula dengan pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol, yang menggunakan antiplatelet atau antikoagulan, TD harus diturunkan untuk mencegah perdarahan.
Table 2.12 rekomendasi tatalaksana Sumber : Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014 2. Gagal Jantung Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung. Penggunaan obat-obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan yang sangat besar dalam pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan usia lanjut. Hal ini telah banyak diteliti pada penggunaan diuretic, betablocker, ACEi dan ARB, dimana penggunaan CCB paling sedikit memberikan keuntungan dalam pencegahan gagal jantung. 66
Walaupun riwayat hipertensi merupakan hal yang sangat sering terjadi pada gagal jantung, namun tekanan darah yang tinggi sering tidak ditemukan lagi pada saat sudah terjadi disfungsi venrikrel kiri. Pada pasien dengan kondisi seperti ini, telah banyak terdapat bukti dari berbagai penelitian yang mendukung pemberian betablocker, ACEi, ARB dan MRA (mineralocaoticoid receptor antagonist), dimana pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk memperbaiki stimulasi simpatis dan sitim renin angiotensin yang berlebihan terhadap jantung, daripada penurunan tekanan darah. Hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien gagal jantung dengan fungsi fraksi ejeksi yang masih baik daripada yang dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. 3. Fibrilasi Atrial Atrial fibrilasi merupakan kondisi yang juga sering dijumpai pada hipertensi baik di Eropa maupun di Amerika. Pada pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial harus dinilai kemungkinan terjadinya tromboemboli dengan sistim scoring yang telah dijabarkan pada guidelines ESC, dan sebagian dari pasien tersebut harus mendapatkan terapi antikoagulan, kecuali bila terdapat kontraindikasi. Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, ternyata memiliki laju ventrikel yang cepat. Hal ini mendasari rekomendasi pemberian betblocker atau CCB golongan non dihidropiridin pada kelompok pasien ini. fibrilasi atrial pada pasien hipertensi menjadi sangat penting. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa pemberian ARBs dan betablocker merupakan terapi pilihan untuk pencegahan fibrilasi atrial pada pasien hipertensi terutama yan sudah memiliki gangguan organ jantung. 4. Hipertrofi Ventrikel Kiri Guidelines ESH yang diterbitkan pada tahun 2009, telah menjabarkan bahwa hipertrofi ventrikel kiri terutama tipe konsentrik, berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar 20%. Beberapa studi juga menyatakan bahwa dengan penurunan tekanan darah berhubungang erat dengan perbaikan hipertrofi ventrikel kiri. Banyak studi komparatif yang menyimpulkan bahwa pemberian ACEi, ARBs dan CCB lebih memiliki efek tersebut bila dibandingkan dengan betablocker.
67
Rekomendasi pada penyakit jantung non coroner 1. Pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, target tekanan darah sistolik adalah < 140 mmHg 2. Diuretik, betablocker, ACEi, ARBs dan atau MRA merupakan obat yang direkomendasikan pada pasien hipertensi dengan gagal jantung untuk menurunkan mortalitas dan rehospitalisasi
3. Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik, belum ada data yang menyatakan obat antihipertensi per se atau obat tertentu yang jelas manfaatnya. Akan tetapi tekanan darah sistolik perlu untuk diturunkan hingga < 140 mmHg. Pengobatan yang bertujuan untuk memperbaiki gejala (diuretic untuk kongesti, betablocker untuk menurunkan laju nadi, dll) harus tetap diutamakan 4. Pemberian ACEi atau ARBs ( dan betablocker dan MRA, bila terdapat gagal jantung) harus dipertimbangkan sebagai terapi antihipertensi pada pasien dengan risiko terjadinya fibrilasi atrial atau yang berulang 5. Semua pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri direkomendasikan untuk mendapat terapi antihipertensi 6. Pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, perlu dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan obat yang terbukti dapat mengurangi hipertrofi ventrikel kiri, seperti ACEi, ARBs dan CCB Tabel 2.13 Rekomendasi pada Penyakit Non Koroner Sumber: Sumber : Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pada pasien dengan penyakit arteri perifer, mengontrol tekanan darah merupakan hal yang lebih penting daripada memikirkan pilihan obat antihipertensi yang terbaik pada kelompok pasien ini. Sampai saat ini banyak yang berpendapat bahwa penggunaan betablocker dapat memperburuk kondisi klaudikasio. Tetapi hal ini tidak terbukti pada 2 studi metanalisis yang menyatakan bahwa betabloker tidak terbukti berhubungan dengan eksaserbasi gejala klaudikasio pada pasien iskemia tungkai akut ringan hingga sedang.
68
Rekomendasi 1. Pada aterosklerosis karotis, perlu dipertimbangkan pemberian ACEi dan CCB, karena telah terbukti bahwa kedua obat ini dapat memperlambatkan proses aterosklerosis dibandingkan dengan betablocker dan diuretic 2. Pada pasien dengan pulse wave velocity > 1o m/det, perlu dipertimbangkan pemberian semua antihipertensi, sehingga tercapai target tekanan darah sistolik < 140 mmHg yang menetap. 3. Direkomendasikan untuk memberikan antihipertensi pada pasien penyakit arteri perifer, dengan target tekanan darah sistolik < 140 mmHg, karena memiliki risiko tinggi terjadinya infark miokard, stroke, gagal jantung atau kematian kardiovaskular 4. Walaupun memerlukan pengawasan lebih lanjut, pemberian betablocker dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit arteri perifer, karena obat ini tidak terbukti berhubungan dengan eksaserbasi gejala penyakit ini Tabel 2.14 Rekomendasi Sumber: Sumber : Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014
2.9 Komplikasi Hipertensi Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya. organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lainlain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).
69
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah: (Lumbantobing, 2008) 1. Jantung 1) Hipertrofi Ventrikel Kiri Pada penelitian yang dilakukan Efendi (2003), dari 36 penderita hipertensi terdapat lebih dari 50% sudah mempunyai komplikasi hipertrofi ventrikel kiri dari pemeriksaan ekokardiografi. Jenis hipertrofi yang terbanyak adalah konsentris (90%), sedangkan sisanya adalah hipertrofi tipe eksentris (10%). Penelitian sebelumnnya, Savage et al., dalam skala penting yang lebih luas mendapatkan lebih kurang 50% HVK dari 243 penderita hipertensi ringan dan sedang. Sedangkan Campus et al., dari 61 penderita hipertensi melaporkan sebanyak 52% hipertrofi konsentris dan 26 % tipe hipertrofi eksentris dan lainnya tipe ireguler. Di Medan, Haroen et al. (1990) mendapatkan 76% dengan hipertrofi tipe konsentris dan 20 % dengan hipertrofi eksentris dan sisanya tipe ireguler dari 50 penderita hipertensi ringan dan sedang (Efendi, 2003). Jantung yang mendapatkan tambahan beban hemodinamik akan mengalami kompensasi melalui proses: mekanisme kompensasi Frank Starling, meningkatkan massa otot jantung dan aktifasi mekanisme neurohormonal baik
sistem
simpatismaupun melalui hormon renin angiotensin (Efendi, 2003). Akan tetapi, menurut Alfakih et al. (2004) dalam Kaplan (2006), hipertrofi jantung dalam respon terhadap beban tambahan tidak merupakan patologis pada tiga keadaan: maturasi pada bayi dan anak, kehamilan, dan latihan yang berat. HVK pada hipertensi sebenarnya merupakan fenomena yang kompleks, dimana tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik seperti : beban tekanan, volume, denyut jantung yang berlebihan dan peningkatan kontraktilitas
dan
tahanan perifer, tetapi juga faktor non hemodinamik seperti usia, kelamin, ras, obesitas, aktifitas fisik, kadar elektrolit dan hormonal (Efendi, 2003). HVK dimulai dengan peningkatan kontraktilitas miokard yang dipengaruhi oleh sistem saraf adrenergik sebagai respond neurohumoral, kemudian diikuti dengan peningkatan aliran darah balik vena karena vasokonstriksi di pembuluh darah perifer dan retensi cairan oleh ginjal. Bertambahnya volume darah dalam vaskuler akan meningkatkan beban kerja jantung, kontraksi otot jantung akan 70
menurun karena suplai aliran darah yang menurun dari aliran koroner akibat arteriosklerosis dan berkurangnya cadangan aliran pembuluh darah koroner. Proses perubahan di atas terjadi secara simultan dalam perjalanan penyakit hipertensi dalam mewujudkan terjadinya payah jantung. Pada hipertensi ringan curah jantung mulai meningkat, frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas bertambah
sedangkan tahanan perifer masih normal. Peningkatan curah jantung oleh proses autoregulasi ini, yang menurut Lumbantobing (2008), berkaitan dengan overaktivitas simpatis, akan menimbulkan peningkatan tonus pembuluh darah perifer (Efendi, 2003), yang dalam Lumbantobing (2008), terjadi sebagai usaha kompensasi untuk mencegah agar peningkatan tekanan (karena curah jantung yang meningkat tadi) tidak disebarluaskan ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan dapat mengganggu homeostasis sel secara substansial. Bila berlangsung lama maka konstriksi otot polos pembuluh darah perifer ini akan menginduksi perubahan struktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriol yang akan mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang irreversibel (Lumbantobing, 2008) sehingga pada akhirnya kerja jantung menjadi bertambah berat. Supaya volume sekuncup tetap stabil, peningkatan beban tekan ini akan meningkatkan tegangan dinding (stres dinding). Sehingga untuk mengurangi tegangan dinding ini, sesuai dengan Persamaan Laplace, terjadi peningkatan ketebalan dinding jantung sebagai kompensasi yang dikenal dengan hipertrofi konsentris yang ditandai dengan sintesis sarkomer-sarkomer baru yang berjalan sejajar dengan sarkomer lama yang menyebabkan peningkatan tebal dinding tanpa adanya dilatasi ruang untuk membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. Ciri hipertrofi konsentris ini berupa penebalan dinding otot jantung, pertambahan massa jantung, volume akhir-diastol masih normal atau sedikit meningkat, dan rasio massa terhadap volume meningkat. Hipertrofi konsentris ini akan berlanjut dengan hipertrofi eksentrik sebagai respon terhadap beban volume yang ditandai dengan sintesis sarkomer-sarkomer baru secara seri dengan sarkomer lama yang membuat radius ruang ventrikel membesar. Ciri hipertrofi eksentrik ini berupa penambahan massa dan volume jantung tetapi ketebalan dinding tidak berubah (Efendi, 2003). 1) angina atau infark miokardium 2) gagal jantung
71
Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi kronis. Pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala gejala gagal jantung namun dapat juga bersifat asimtomatis (tanpa gejala). Prevalensi (gagal jantung) disfungsi diastolik asimtomatis pada pasien hipertensi tanpa disertai hipertrofi ventrikel kiri adalah sebanyak 33%. Peningkatan tekanan afterload kronik dan hipertrofi ventrikel kiri dapat mempengaruhi fase relaksasi dan pengisian diastolik ventrikel. Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang disertai hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan afterload penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi sistolik asimtomatis biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Setelah beberapa lama, hipertrofi ventrikel kiri gagal mengkompensasi peningkatan tekanan darah sehingga lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output.
Lama kelamaan fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun.
Penurunan ini mengaktifkan sistem neurohormonal dan renin angiontensin, sehingga meretensi garam dan air dan meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang akhirnya malah memperburuk keadaan dan menyebabkan disfungsi sistolik Apoptosis (kematian sel terprogram yang dirangsang oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan stimulus dan inhibitornya) diduga memainkan peranan penting dalam peralihan fase “terkompensasi” menjadi fase “dekompensasi”. Peningkatan mendadak tekanan darah dapat menyebabkan edema paru tanpa adanya perubahan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum dilatasi ventrikel kiri (asimtomatik atau simtomatik) dapat memperburuk keadaan dan meningkatkan risiko kematian. Disfungsi ventrikel kiri serta dilatasi septal dapat menyebabkan penebalan ventrikel kanan 2. Otak Troke atau transient ishemic attack 3. Penyakit ginjal kronis 4. Komplikasi Hipertensi Pada Ginjal Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus
akan
mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Pengurangan massa ginjal akan mengakibatkan nefron yang masih hidup akan melakukan kompensasi 72
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Proses maladaptasi ini berlangsung singkat sehingga terjadi peningkatan LFG mendadak yang akhirnya mengalami penurunan. Hiperfiltrasi yang terjadi juga akibat peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal. Kerusakan progresif nefron akan terjadi dan berlangsung lama (kronik). Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik. (Lumbantobing, 2008) 1) Definisi Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronis adalah suatu keadaan dimana ginjal secara bertahap dan progresif kehilangan fungsi nefronnya. Penurunan fungsi ginjal ini bersifat kronis dan irreversibel.Berbagai penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik. Gejala-gejala klinis yang serius seringkali tidak muncul sampai jumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70-75 persen di bawah normal. Hal ini disebabkan karena nerfron yang tersisa masih dapat melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut. Sayangnya keadaan ini justru menyebabkan nefron yang tersisa akan lebih mudah rusak sehingga mempercepat kehilangan nefron. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: a. Kelainan patologik Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan b. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal Keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama dengan atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit dibuat berdasarkan LFG yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
73
*) pada perempuan dikalikan 0.85 Derajat Penjelasan LFG 1. Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ LFG >90 2. Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan LFG 60-89 3. Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang LFG 30-59 4. Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat LFG 15-29 5. Gagal ginjal LFG <15 2) Etiologi PGK National Kidney Foundation
(NKF) tahun 2011 menyebutkan bahwa dua
penyebab utama penyakit ginjal kronis adalah diabetes dan hipertensi. Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi yang tidak terkendali dapat menjadi penyebab utama serangan jantung, stroke dan penyakit ginjal kronis. Sebaliknya penyakit ginjal kronis juga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. 3) Penyebab Utama PGK di Amerika Serikat (1995-1999) a. Diabetes Melitus 44% a) Tipe 1 (7%) b) Tipe 2 (37%) b. Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27% c. Glomerulonefritis 10% d. Nefritis interstitialis 4% e. Kista dan penyakit bawaan lain 3% f. Penyakit sistemik (misal, lupus dan vasculitis) 2% g. Neoplasma 2% h. Tidak diketahui 4% i. Penyakit lain 4% 74
4) Patofisiologi PGK Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Jika terdapat kerusakan nefron, ginjal mempunyai kemampuan kompensasi untuk mempertahankan LFG dengan cara meningkatkan daya filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut dari nefron yang tersisa. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi secara struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat yang selanjutnya diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan akhirnya terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Kemungkinan mekanisme progresi gagal ginjal di antaranya akibat peningkatan tekanan glomerulus (akibat peningkatan tekanan darah sistemik, atau kontriksi arteriolar eferen akibat peningkatan kadar angiotensin II), kebocoran protein glomerulus, kelainan lipid. Stadium yang paling dini, dimana gejala-gejala klinis yang serius, seringkali tidak muncul. Secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
75
Derajat Penjelasan
LFG
Komplikasi
(ml/mnt) 1
Kerusakan ginjal dengan LFG >90 normal
2
3
Kerusakan
ginjal
dengan 60-89
-Tekanan
darah
penurunan LFG ringan
meningkat
Keruskan ginjal 30-59 dengan 30-59
-Hiperfosfatemia
penurunan LFG sedang
-Hipokalsemia
mulai
-Anemia -Hiperparatiroid -Hipertensi -Hiperhomosistinemia 4
Kerusakan ginjal 15-29 dengan 15-29
-Malnutrisi
penurunan LFG berat
-Asidosis metabolik -Cenderung hiperkalemia -dislipidemia
5
Gagal ginjal
<15
-Gagal jantung -Uremis
Tabel 2.15 Tabel Komplikasi Kerusakan Pada Ginjal Sumber: Sumber: ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006;
1639 Komplikasi penyakit ginjal kronik disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya diekskresi oleh ginjal, serta produksi eritopoietin dan vitamin D yang tidak adekuat oleh ginjal. Banyak komplikasi yang timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal, seperti: 1. Anemia akibat produksi eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal 2. Hipertensi yang diakibatkan oleh : a. Retensi natrium b. Peningkatan system RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan regional c. Aktivitas saraf simpatis meningkat karena kerusakan ginjal 76
d. Hiperparatiroid sekunder e. Pemberian eritropoetin 3. Komplikasi kulit berupa gatal yang dapat disebabkan oleh deposit kalsium fosfat pada jaringan 4. Perikarditis dapat terjadi akibat kadar ureum dan fosfat yang tinggi 5. Kardiomiopati dilatasi atau hipertrofi ventrikel kiri akibat hipervolemia 6. Komplikasi neurologis dan psikiatrik dapat terjadi akibat uremia 7. Gangguan imunologis 8. Penyakit Arteri Perifer Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka, sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah pembuluh pada keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis, dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. Namun demikian, secara klinis PAP merupakan gangguan pada arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah. PAP dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur ataupun fungsi dari pembuluh darah.PAP sering kali merupakan bagian dari proses penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel. Adanya PAP pada satu arteri menjadi prediktor kuat adanya PAP pada arteri lainnya, termasuk pada pembuluh darah koroner, karotis dan serebral. Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit, sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit. Pasien dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan metabolik, sehingga memunculkan gejala klaudikasio. 77
Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di malam hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau jari kaki. Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP. Faktor risiko klasik PAP adalah usia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus, dan merokok. (Lumbantobing, 2008) 1) Hipertensi dan PAP Hampir setiap studi menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara hipertensi dan PAP, dan sebanyak 50% sampai 92% dari pasien dengan PAP memiliki riwayat hipertensi.Pada laki-laki dan wanita dengan hipertensi, risiko terjadinya klaudikasio juga meningkat 2,5 hingga 4 kali lipat. Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP), dalam studinya menyatakan, 5,5% dari peserta memiliki ankle brachial index (ABI) di bawah 0.90. Secara kumulatif, studi yang sudah ada telah menggaris bawahi tingginya prevalensi PAP pada pasien dengan hipertensi. Hipertensi menyebabkan perubahan yang kompleks dalam struktur dinding arteri. Pada penderita hipertensi, fungsi endotel mengalami gangguan, jaringan elastin pada dinding arteri digantikan oleh jaringan kolagen, dan terdapat hipertrofi medial. Semua faktor ini berkontribusi terhadap penurunan komplians vaskular. Hipertensi menyebabkan terjadinya proses aterosklerosis yang lebih agresif yang terjadi di seluruh sirkulasi, dan merupakan faktor risiko penyakit serebrovaskular dan penyakit koroner. Hipertensi juga diakui sebagai faktor risiko utama untuk terjadinya PAP. Mekanisme hipertensi menyebabkan PAP belum sepenuhnya dimengerti. Hipertensi dapat mempengaruhi kejadian PAP melalui perannya dalam proses terjadinya aterosklerosis. Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis melalui berbagai mekanisme, antara lain disfungsi sel endotel, inflamasi, penurunan kadar NO dan abnormalitas faktor hemostasis yang dimediasi oleh peningkatan Angiotensin-II (ANG-II) serta Endothelin-1 (ET-1).
78
Tekanan darah yang tinggi menyebabkan arteri berdilatasi dan teregang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan cedera pada endotel. Disfungsi endotel menyebabkan abnormalitas tonus otot polos pembuluh darah, proliferasi sel otot polos pembuluh darah, gangguan koagulasi dan fibrinolisis serta inflamasi persisten. Hipertensi terkait dengan ketidak-imbangan hemostasis. Pasien dengan hipertensi memiliki kadar fibrinogen, plasminogen activator inhibitor-1 (PAi1), tissue plasminogen activator (TPA), fibrinogen dan trombomodulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normotensi. Oleh karena itu pasien dengan hipertensi lebih rentan terhadap proses aterotrombotik. Mekanisme gangguan hemostasis pada hipertensi belum sepenuhnya dimengerti. Namun demikian, ini diduga disebabkan oleh shear stress, disfungsi endotel dan aktivitas Ang-II. Ang-II menstimulasi ekspresi berlebihan dari PAi-1 yang menyebabkan gangguan fibrinolisis. Pada hipertensi, kadar dan aktivitas Ang- II serta ET-1 meningkat. Ang-II menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, sekresi aldosteron, fibrosis, proliferasi selular, pembentukan superoksida, inflamasi dan trombosis. Ang-II menstimulasi konversi NADPH/NADH di endotel, sel otot polos dan adventisia pembuluh darah menjadi ROS. Peningkatan ROS mengakibatkan disfungsi endotel, proliferasi dan inflamasi.ROS menyebabkan hambatan sintesis dan peningkatan degradasi NO yang dibutuhkan untuk vasodilatasi dan relaksasi dinding pembuluh darah. Reaksi ROS dan NO akan membentuk ONOO- yang merupakan metabolit toksik terhadap endotel. Ang-II memicu upregulasi ET-1, molekul adesi, nuclear factor-κB (NF-κB) dan mediator pro-inflamasi lainnya. ET-1 juga memicu vasokonstriksi, proliferasi, inflamasi, pembentukan ROS dan aktivasi trombosit yang ikut menyumbang dalam proses aterosklerosis. (Lumbantobing, 2008) 9. Retinopati Retinopati Hipertensi (hypertensive retinopathy) adalah kerusakan pada retina akibat tekanan darah tinggi.Retinopati Hipertensi adalah kelainan-kelainan retina dan pembuluh darah retina akibat tekanan darah tinggi. Kelainan pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerose pembuluh darah.Kelainan pembuluh 79
darah ini dapat mengakibatkan kelainan pada retina
yaitu retinopati
hipertensi.Retinopati hipertensi dapat berupa perdarahan atau eksudat retina yang pada daerah makula dapat memberikan gambaran seperti bintang (star figure). Sejak tahun 1990, beberapa penelitian epidemiologi telah dilakukan pada sekelompok populasi penduduk yang menunjukkan gejala retinopati hipertensi dan didapatkan bahwa kelainan ini banyak ditemukan pada usia 40 tahun ke atas. 1) Etiologi Ketika tekanan darah menjadi tinggi, seperti pada Hipertensi, retina menjadi rusak. Bahkan Hipertensi ringan bisa merusak pembuluh darah retinal jika tidak segera diobati dalam setahun. Hipertensi merusak pembuluh darah kecil pada retina, menyebabkan dinding retina menebal dan dengan demikian mempersempit pembuluh darah terbuka dan mengurangi suplai darah menuju retina. Potongan kecil pada retina bisa menjadi rusak karena suplai darah tidak tercukupi. Sebagaimana perkembangan Retinopati Hipertensi (Hypertensive retinopathy), darah bisa bocor ke dalam retina. Perubahan ini menyebabkan kehilangan penglihatan secara bertahap, terutama jika mempengaruhi macula, bagian tengah retina. 2) Klasifikasi Retinopati Hipertensi Klasifikasi Retinopati hipertensi menurut Scheie, sebagai berikut : (1) Stadium I : terdapat penciutan setempat pada pembuluh darah kecil. (2) Stadium 2 : penciutan pembuluh darah arteri menyeluruh, dengan penciutan setempat sampai seperti benang, pembuluh darah arteri tegang, membentuk cabang keras. (3) Stadium 3 : lanjutan stadium 2, dengan eksudat Cotton, dengan perdarahan yang terjadi akibat diastole di atas 120 mmHg, kadang-kadang terdapat keluhan berkurangnya penglihatan. (4) Stadium 4 : seperti stadium 3 dengan edema pupil dengan eksudat star figure, disertai keluhan penglihatan menurun dengan tekanan diastole kira-kira 150 mmHg.
80
10. Angina atau infark miokard 1) Definisi a. Infark Myokard Akut (IMA) adalah suatu keadaan nekrosis miokard yang akibat aliran darah ke otot jantung terganggu (Hudack & Galo 1996). b. Infark Miocard Akut adalah kematian jaringan miokard diakibatkan oleh kerusakan aliran darah koroner miokard (oenyempitan atau sumbatan arteri koroner diakibatkan oleh aterosklerosis atau penurunan aliran darah akibat syok atau perdarahan (Carpenito L.J. , 2000). c. Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. (Brunner & Sudarth, 2002) d. Infark miokard akut atau sering juga disebut akut miokard infark adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu.( Suyono, 1999) Hipertensi sistemik menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load yang pada akhirnya meningkatan kebutuhan oksigen jantung. Berawal dari proses aterosklerosis yang merupakan factor etiologi utama yang mendasari terjadinya penyakit jantung koroner. Terbentuknya plaque dari aterosklerosis menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah arteri, bila plaque ini pecah dan berdarah menyebabkan thrombosis dan obstruksi arteri koroner. Obstruksi pembuluh darah lebih dari 75% akan meningkatkan kematian (30 – 40%). Penyempitan atau obstruksi total pembuluh arteri koroner akan mempengaruhi perfusi koroner. Suplai oksigen yang kurang atau tidak ada menyebabkan iskemia miokard. Pada iskemia memaksa miokardium mengubah metabolisme bersifat anaerob dimana asam laktat yang dihasilkan tertimbun di sel-sel miokard akan menstimuli ujung saraf dan menimbulkan rasa nyeri dada, serta kadar pH sel akan berkurang/asidosis. Iskemia miokard yang berlangsung lama lebih dari 35 – 45 menit menyebabkan kerusakan sel-sel miokard yang irreversible dan nekrosis. Pada keadaan demikian fungsi ventrikel terganggu, kekuatan kontraksi berkurang, penurunan stroke volume dan fraksi ejeksi serta gangguan irama jantung. Hal ini akan mengubah hemodinamika. Mekanisme kompensasi output cardial dan perfusi yang mungkin meliputi stimulasi simpatik berupa peningkatan heart rate, vasokontriksi, hipertrofi ventrikel. 81
Proses terjadinya infark miokard terbagi dalam tiga zona, yaitu zona nekrotik, injury dan iskemia. Zona injury dan iskemia berpotensial dapat pulih kembali tergantung pada kemampuan jaringan sekitar iskemia membentuk sirkulasi kolateral untuk reperfusi cepat. Luasnya infark tergantung pada pembuluh darah arteri yang tersumbat. Miokard infark paling sering mengenai ventrikel kiri. Dan area yang terkena dapat seluruh otot jantung (infark transmural) atau hanya mengenai sebagian dalam lapisan miokard (infark sub endokardial) 1) Manifestasi klinis: Tidak semua serangan mulai secara tiba-tiba disertai nyeri yang sangat parah seperti yang sering kita lihat pada tayangan TV atau sinema. Tanda dan gejala dari serangan jantung tiap orang tidak sama. Banyak serangan jantung berjalan lambat sebagai nyeri ringan atau perasaan tidak nyaman. Bahkan beberapa orang tanpa gejala sedikitpun (dinamakan silent heart attack) Akan tetapi pada umumnya serangan AMI ini ditandai oleh beberapa hal berikut: a. Nyeri Dada Mayoritas pasien AMI (90%) datang dengan keluhan nyeri dada. Perbedaan dengan nyeri pada angina adalah nyer pada AMI lebih panjang yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut. Meskipun AMI memiliki ciri nyeri yang khas yaitu menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan dengan neuropathy. b. Sesak Nafas Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hipervenntilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: a) Lokasi : substernal, retrosternal, dan precordial b) Sifat nyeri : seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau ditindih barang berat. 82
c) Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang bawah gigi, punggung/interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan. d) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat dan responsif terhadap nitrat. e) Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan f) Gejala yang menyertai dapat berupa mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas. c. Gejala Gastrointestinal Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan d. Gejala Lain Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstrimitas) 11. Stroke Perdarahan pada stroke hemoragik biasanya disebabkan oleh aneurisma (arteri yang melebar) yang pecah atau karena suatu penyakit.Penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh adalah penyebab tersering perdarahan intraserebrum. Penyakit semacam ini adalah hipertensi (peningkatan tekanan darah) (Feigin, 2006). Hipertensi merupakan faktor risiko stroke paling penting yang dapat dimodifikasi baik bagi laki-laki ataupun wanita. Hipertensi dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya stroke sekitar dua sampai empat kali (Suroto, 2004). Penurunan 10 sampai 12 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan 5 sampai 6 mmHg untuk tekanan darah diastolik dapat menurunkan 38% angka kejadian stroke (Struijs dkk, 2005). 2.10 Pencegahan Hipertensi Haruslah diakui sangat sulit untuk mendeteksi dan mengobati penderitahipertensi secara adekuat, harga obat-obat antihipertensi tidaklah murah, obat-obat baru amat mahal, dan mempunyai banyak efek samping. Untuk alas an inilah pengobatan hipertensi memang penting tetapi tidak lengkap tanpa dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan faktor resiko penyakit kardiovaskuler akibat hipertensi. Pencegahan sebenarnya merupakan bagian dari epngobatan hipertensi karena mampu memutus mata rantai penatalaksanaan hipertensi dan komplikasinya. Pencegahan 83
hipertensi dilakukan melalui dua pendekatan : i) intervensi untuk menurunkan tekanan darah di populasi dengan tujuan menggeser distribusi tekanan darah kea rah yang lebih rendah. Penurunan TDS sebanyak 2 mmHg di populasi mampu menurunkan kematian akibat stroke, PJK, dan sebab-sebab lain masing-masing sebesar 6%, 4% dan 3%. Penurunan TDS 3 mmHg ternyata dapat menurunkan kematian masing-masing sebesar 8%, 5% dan 4%. strategi penurunan tekanan darah ditujukan pada mereka yang mempunyai kecenderungan meningginya tekanan darah, kelompok masyarakat ini termasuk mereka yang mengalami tekanan darah normal dalam kisaran yang tinggi (TDS 130-139 mmHg atau TDD 85-89 mmHg), riwayat keluarga ada yang menderita hipertensi, obsitas, tidak aktif secara fisik, atau banyak minum alcohol dan garam.( Sudoya, 2006) Berbagai cara yang terbukti mampu untuk mencegah terjadinya hipertensi, yaitu pengendalian berat badan, pengurangan asupan natrium kloride, aktifitas alcohol, pengendalian stress, suplementasi fish oil dan serat The 5-year primary prevention of hypertension meneliti berbagai faktor intervensi terdiri dari pengurangan kalori, asupan natrium kloride dan alcohol serta peningkatan aktifitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan penurunan berat badan sebesar 5,9 pounds berkaitan dengan penurunan TDS dan TDD sebesar 1,3 mmHg dan 1,2 mmHg. Penelitian yang mengikut sertakan sebanyak 47.000 individu menunjukan perbedaan asupan sodium sebanyak 100 mmo1/hari berhubungan dengan perbedaan TDS sebesar 5 mmHg pada usia 15-19 tahun dan 10 mmHg pada usia 60-69 tahun. Meningginya TDS dan TDD, meningkatnya sirkulasi kadar kateholamin, cortisol, vasopressin, endorphins, andaldosterone, dan penurunan ekskresi sodium di urine merupakan respons dari rangsangan stress yang akut. Intervensi pemnegdalian stress seperti relaksasi, meditasi dan biofeedback mampu mencegah dan mengobati hipertensi. .( Sudoya, 2006) 2.10.1 Pengobatan Farmakologi Keputusan untuk memberikan pengobatan farmakologik mempertimbangkan beberapa factor, yaitu derajat kenaikan TD, adanya kerusakan organ target, dan adanya penyakit kardiovaskuler Tujuan pengobatan adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dengan memelihara tekanan darah sistolik di bawah 140 mmHg, tekanan diastolic dibawah 90 mmHg disamping mencegah resiko penyakit kardiovaskuler lainnya. 84
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada penggunaan obat anti hipertensi, yaitu : 1. Saat mulai pengobatan gunakanlah dosis yang kecil 2. Bila efek tidak memuaskan tambahkan obat untuk kombinasi 3. Pergunakan obat long acting dengan dosis tunggal yang dapat mencakup efek selama 24 jam. Terdapat enam golongan utama obat untuk hipertensi baik untuk pengobatan pemulaan maupun pemeliharaan yang dapat di lihat pada Tabel di bawah ini. Class of drug Compelling indications Diuretika
Possible
Compelling
indications
cobtraindications contraindications
Gagal jantung Diabetes
Possible
Gout
Dislipidemia
Penderita
Laki laki aktif
lansia
seksual
Hipertensi sistolik Beta-Bloker
Agina
Gagal jantung
Asma
dan Dislipidemia
Pasca infark
Kehamilan
penyakit
Miokard
Diabetes
obstruktif kronis
paru Atlit dan penyakit
takhiaritmia
Blok jantung
Angitesnsin-
Gagal jantung
Kehamilan
Converting
Disfungsi
stenosis
(ACE)
ventrikel kiri
renal bilateral
inhibitors
Pasca infark
Hiperkalamia
vakuler perifer
arteri
miokard Diabetik nefropati Kalsium
Angina
antagonis
pasien lansia vaskuler hipertensi
Penyakit
Blok jantung
Gagal kongesif
perifer
sistolik Alfa bloker
Hipertrofi
Intoleransi
prostat
glukosa
85
Hipertensi
jantung
Dyslipidemia Angiotensin
Timbul efek Gagal jantung
Kehamilan
II
samping bila
stenosis
Antagonist
gunakan obat
renalis bilateral
lain,
arteri
contoh
ACE inhibitor batuk Tabel 2.16 Tabel golongan utama obat untuk hipertensi baik untuk pengobatan pemulaan Sumber: ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006; 1639
Ternyata terdapat empat jenis obat yang paling banyak digunakan, yaitu diuretika beta-blocker, kalcium antagonis, dan ACE inhibitor. Penelitian klinik secara random menunjukkan tidak terdapat perbedaan efek antara keempat obat anti hipertensi dalam menurunkan tekanan darah, kualitas hidup, dan regresi massa ventrikel kiri. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, dibandingkan dengan plasebo ternyata pada pasien lansia diuterika lebih efektif untuk menurunkan risiko terjadinya stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, dan kematian, dan betabloker mencegah terjadinya stroke, gagal jantung kongestif tetapi kurang efektif untuk mencegah penyakit jantung koroner. Penelitian ini menunjukkan bahwa diuertika, beta- bloker, dan kalsium antagonis lebih efektif untuk mencegah stroke dibandingkan plasebo. Menarik perhatian adalah penelitian double-blind randomized multicenter trial yang bertujuan membandingkan efektifitas dan tolerability dari hidroklorotiazide, atenolol, nitrendipine, dan enapril pada penderita hipertensi esensial (tekanan darah diastolik 95–120 mm Hg). Sebanyak 868 pasien hipertensi esensial dengan usia berkisar antara 21–70 tahun, awalnya diberikan 12,5 mg hidroklorotiazide, 25 mg atenolol, 10 mg nitrendipine, 25 mg enapril dengan dosis sekali sehari selama 4 minggu. Bila setelah 4 minggu tekanan darah diastolik tidak menurun sampai < 90 mmHg, maka dosis dinaikkan menjadi 25 mg, 50 mg, 20, dan 10 mg dengan dosis sekali sehari. Ternyata tidak terbukti adanya keunggulan efektifitas atau tolerability dari obat antihipertensi yang baru (kalsium antagonis dan ACE inhibitors). Kedua Jenis obat banyak digunakan sebagai pengobatan first chioce, ternyata keduanya menurunkan 86
morbiditas dan mortalitas sama efektifnya seperti diuretika dan beta-bloker. Respons penderita terhadap pengobatan sangat tergantung pada usia penderita, probabilitas ini merefleksikan peran dominan dari sistem renin terhadap blood pressure regulation. Pada pasien usia muda konsentrasi renin relatif lebih tinggi dan sangat responsif terdapat pengobatan untuk menekan sistem renin seperti ACE inhibitors, angiotensin receptor blockers (A) dan beta bloker (B). Pada pasien lansia konsentrasi renin relatif rendah dan sangat responsif terhadap pengobatan dengan kalsium antagonis (C) dan diuretika (D). Sasaran pengobatan hipertensi adalah TD 140/85 dan kurang dari 50% pasien yang dapat mencapai sasaran tersebut dengan satu obat
(monoterapi).
Kombinasi terbaik yang mempnyai efek komplementer terhadap sistem renin adalah satu obat dari (A atau B) ditambah satu obat dari (C atau D). Bila TD berhasil stabil dalam satu tahun atau lebih, maka pemeriksaan berkala dilakukan selang waktu 3–6 bulan. Namun bila terjadi resistensi hipertensi yaitu TD tidak dapat diturunkan di bawah 140/90 walaupun sudah diberikan pengobatan yang adekuat, tepat, dengan kombinasi 3 macam obat termasuk diuretik dengan dosis maksimal, maka penderita tersebut harus di rujuk dan dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya kausa sekunder. Beberapa penyakit dapat merupakan penyebab sekunder hipertensi misalkan pheochromocytoma, polycystic kidney, coarctatio aorta,sindroma Cushing, hipokalemia (primary aldosteronism), hyperkalsemia (hyper parathyroidism) dan hipertensi genetik. Salah satu penyebab lain yang dapat menimbulkan resistensi hipertensi adalah pengobatan dengan diuretik yang tidak adekuat. Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan alpha blocker, atau spiroronolactone (angiotensin blocker). Jarang penderita yang memerlukan minoxidil, vasodilator yang paling kuat. .(Sudoya, 2006)
2.10.2 Jenis Obat Hipertensi Hipertensi merupakan faktor resiko untuk banyak kasus koroner. Namun demikian, tekanan darah dapat diturunkan melalui terapi yang tepat, sehingga menurunkan resiko strok, kejadian koroner, gagal jantung dan ginjal. Patogenesis hipertensi melibatkan banyak faktor. Termasuk diantaranya peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer, vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi. Ginjal juga berperan pada regulasi tekanan darah melalui kontrol sodium dan ekskresi air, dan sekresi renin, yang mempengaruhi tekanan vaskular dan ketidakseimbangan elektrolit. Mekanisme neuronal seperti sistem saraf simpatis dan 87
sistem endokrin juga terlibat pada regulasi tekanan darah. Oleh karena itu, sistem‐ sistem tersebut merupakan target untuk terapi obat untuk menurunkan tekanan darah. Tekanan darah target. Tekanan darah sistolik (SBP) optimal adalah < 140 mmHg dan tekanan darah diastolik (DBP) optimal adalah < 85 mmHg. Untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular aterosklerosis , diabetes atau gagal ginjal kronik target SBP menjadi 130 mmHg dan DBP <80 mmhg. Seberapapun tingkat kegawatan hipertensi, semua pasien harus mendapat nasehat/anjuran yang berkaitan dengan pengaturan gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah. Termasuk nasehat untuk berhenti merokok, menurunkan berat badan, melakukan olah raga, mengurangi asupan alkohol dan diet. Golongan obat Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II (misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alpha‐ blocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi. . (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2006) 1. Diuretik Tiazid Diuretik tiazid Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. a. Efek samping diuretic Efek samping Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia,
hipo‐ 88
natriemi,
dan
hipomagnesiemi.
Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia, sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan. 2. Beta Blocker Beta-blocker Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system rennin‐ angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hati‐ hati. Beta‐ blocker yang non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐ 2. Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya 89
saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptor‐ alfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena rebound. a. Efek samping beta blocker Efek samping Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta‐bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tanga‐kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena beta‐blocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk “memberi peringatan“ jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan beta‐ blocker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Beta‐ blockers non‐selektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL. . (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2006) 3. ACE Inhibitor ACE inhibitor Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang 90
mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEii harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah. 4. Antagonis Angiotensin II Antagonis Angiotensin II Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu. a. Efek samping ACEi dan AIIRA Efek samping ACEi dan AIIRA Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.
91
5.CCB Calcium channel blocker Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐ sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati. a. Efek samping CCB Efek samping Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro‐intestinal, termasuk konstipasi. . (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2006) 6. Alpha Blocker Alpha-blocker Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten. a. Efek samping Alpha Blocker Efek samping Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat. 7. Golongan Antihipertensi Golongan lain Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerj a sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran 92
simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah. a. Efek samping Golongan Antihipertensi Efek samping Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai untuk pasien wanita. . (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2006)
2.10.3 Pertimbangan Khusus Pada Pemberian Obat Hipertensi 1. Kehamilan Obat kerja sentral mempunyai profil SSP yang buruk. Namun, metildopa digunakan pada kehamilan, karena data keamanannnya sedangkan beta‐blocker digunakan pada trimester ketiga. Labetolol intravena hanya digunakan pada keadaan krisis hipertensi. Sediaan nifedipin lepas lambat juga dapat digunakan tetapi tidak dilisensi. 2. Etnik Diuretik tiazid dan CCB dihidropiridin lebih efektif daripada beta‐blocker untuk psien Afro‐ Karibia. ACEi dan AIIRA meningkatkan resiko stroke pada pasien golongan etnik tersebut sehingga tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama. 3. Lanjut usia Pedoman NICE yang baru mengemukakan bahwa diuretik tiazid atau CCB dihidropiridin merupakan terapi lini pertama untuk pasien lanjut usia. Namun, harus diperhatikan fungsi ginjal selama terapi dengan tiazid karena pasien lanjut usia lebih beresiko mengalami gangguan ginjal. Pasien yang lebih dari 80 tahun dapat diberi terapi seperti pasien usia > 55 tahun. 4. Diabetes Pasien diabetes memerlukan kombinasi antihipertensi untuk dapat mencapai target tekanan darah optimal. ACEi merupaka terapi awal pilihan karena dapat mencegah progresi ikroalbumiuria ke nefropati. Pasien dengan nefropati diabet
93
harus mendapat ACEi atau AIIRA untuk meminimalkan resiko kerusakan ginjal yang lebih lanjut, bahkan jika tekanan darahnya normal. 5. Penyakit ginjal ACEi dapat menurunkan atau menghilangkan filtrasi glomerular dan menyebabkan
kegagalan
ginjal
progresif
berat.
Oleh
karena
itu
dikoktraindikasikan pada pasien stenosis arteri ginjal bilateral. Namun, ACEi tidak memberikan efek samping pada fungsi ginjal pada pasien dengan stenosis arteri ginjal unilateral. CCB dihidropiridin dapat ditambahkan jika diperlukan penurunan tekana darah lebih jauh, sedangkan diuretik tiazid tidak efektif. 6. Hipertensi sistolik Hipertensi sistolik saja (isolated systolic hypertension, ISH) didefinisikan sebagai SBP lebih dari 160 mmHg dengan DBP kurang dari 90 mmHg. Pasien dengan ISH mendapat terapi yang sama sepeti pasien dengan peningkatan SBP dan DBP karena ISH juga beresiko komplikasi yang sama. CCB dihidropiridin digunakan sebagai terapi untuk ISH pada pasien lanjut usia, terutama jika diuretik tiazid dikontraindikasikan. 7. Hipertensi cepat (accelerated hypertension) Accelerated hypertension atau hipertensi yang sangat berat, didefinisikan sebagai DBP lebih dari 140 mmHg, memerlukan tindakan medis segera. Beta‐ blocker seperti atenolol atau labetolol atau CCB dihidropiridin diindikasikan untuk kondisi ini. DBP harus diturunkan menjadi 100‐110 mmHg selama 24 jam pertama. Tekanan darah harus diturunkan lagi selama 2‐3 hari berikutnya menggunakan kombinasi diuretik, vasodilator dan ACEi, jika diperlukan. Jika terapi intravena diperlukan maka yang dianjurkan adalah sodium nitroprusid atau gliseril trinitrat. 8. Farmasis Kardiologi Farmasis kardiologi Sebagai anggota tim multidisiplin, farmasis mempunyai peran penting pada terapi hiperttensi. Untuk membantu kesesuaian dan menjamin kepatuhan regimen pengobatan farmasis dapat memberikan informasi mengenai manfaat dan efek samping obat sehingga pasien dapat mengambil keputusan (informed decision) menegnai terapi mereka. Informasi ini meliputi mengapa obat diperlukan dan rsiko jika tidak menggunakannya. Secara praktis, pemberian obat seakkli sehari juga akan memingkatkan kepatuhan.
94
Obat lain yang juga dikonsumsi oleh psien juga harus diperhitungkan. Penggunaan
bersama
obat
golongan
NSAID/AINS,
pil
kontrasepsi,
glukokortikoid dan simpatomimetik dapat meningkatkan tekanan darah. Obat‐ obat ini, beberapa dapat dibeli bebas, harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah tinggi. Harus diingat bahwa pasien mungkin juga menderita penyakit lain/ko‐morbid. Farmasis dapat memberikan nasehat dan me‐review penyakit penyerta untuk menjamin bahwa terapi yang diberikan sudah yang paling tepat. Untuk mengurangi biaya, farmasis juga dapat menganjurkan untuk menggunakan selalu obat generik jika tersedia. (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2006)
95
Tekanan Darah Awal Sistolik >/ = 220 mmHg
Komplikasi *
Tindakan
Tidak
Segera Terapi
Tidak
Konfirmasi
Diastolic >/= 160 mmHg Sistolik 180-219 mmHg
dalam
jika
1-2
Atau
minggu
keadaan
Diastolik110-119 mmHg
ternyata bertahan berikan terapi
Sistolik 160-179 mmHg
Ya
Konfirmasi
dalam
jika
1-2
Atau
minggu
keadaan
Diastolik 100-109 mmHg
ternyata bertahan berikan terapi
Sistolik 160-179 mmHg
Tidak
Berikan
nasehat
untuk
Atau
gaya hidup, cek lagi tiap
Diastolik 100-109 mmHg
mingu
dan
obati
jika
keadaan bertahan selama 4-12 minggu Sistolik 140-159 mmHg
Ya
Konfirmasi
dalam
12
Atau
minggu dan jika kedadaan
Diastolic 90-99 mmHg
ternyata bertahan berikan terapi
Sistolik 140-159 mmHg
Tidak
Berikan
nasehat
untuk
Atau
gaya hidup, cek lagi tiap
Diastolic 90-99 mmHg
mingu
dan
obati
jika
keadaan bertahan selama 4-12 minggu *Komplikasi kardiovaskular, kerusakan organ target atau diabetes Table 2.16 Target tekanan darah untuk terapi farmakologis Sumber : Hypertension Research 2004
96
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi. Etiologi dari hipertensi terbagi menjadi 2 yang pertama hipertensi essensial atau hipertensi idiopatik, yaitu hipertensi yang belum diketahui sebabnya dan biasanya terjadi karena adanya factor internal dan yang kedua yaitu hipertensi sekunder, hipertensi yang kebanyakan disebabkan oleh factor-faktor eksternal dan hipertensi sekunder ini baru terdeteksi pada sekita 5% penderita hipertensi sedangkan lainnya diketahui masuk ke kategori hipertensi essensial atau hipertensi idopatik. (Bakri et all, 2008) Hipertensi sendiri memang tidak bisa diobati, namun bisa dicegah. Untuk pencegahannya sendiri, mungkin cukup dengan menghindari beberapa hal yang menjadi faktor resiko seperti pola makan yang tidak sehat terutama makanan yang mengandung terlalu banyak garam dan lemak serta kolesterol serta jarang mengonsumsi buah gaya hidup yang tidak sehat seperti mengonsumsi rokok dan alkohol ditambah olahraga yang tidak teratur, dan akhirnya menjadi obesitas juga merupakan salah satu penyebab obesitas. Stress psikologi juga terkadang menjadi penyebab hipertensi, oleh karena itu kita juga perlu menjaga ketenangan pikiran. (Bakri et all, 2008) Namun tidak hanya itu, untuk faktor resiko yang tidak bisa diubah seperti umur, jenis kelamin, etnis, hereditas juga merupakan sesuatu yang menambah resiko terjadinya hipertensi, oleh karena itu seyognyanya diikuti oleh pola hidup yang sehat agar tidak menjadi hipertensi. Dari beberapa faktor resiko hipertensi, mampu menyebabkan beberapa keluhan seperti pusing dan kelelahan serta menimbulkan komplikasi pada penderitanya seperti stroke, gagal ginjal dan iskemia pada organ target. WHO menyebutkan bahwa tekanan darah normal pada setiap individu berbedabeda. Secara umum, klasifikasi tekanan darah digolongankan menjadi 4, yakni normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2 (JNC VII). WHO 97
mengklasifikasikan tekanan darah menjadi 6 golongan, yaitu optimal, normal, normal tinggi/pra hipertensi, hipertensi derajat 1. hipertensi derajat 2, dan hipertensi derajat 3. ESH (European Society of Hypertension) menggolongkan tekanan darah menjadi 7 kelompok, yaitu optimal, normal, normal tinggi, tingkat 1 (mild), tingkat 2 (moderate), tingkat 3 (severe), dan hipertensi tekanan sistolik terisolasi. Di Indonesia, Perhimpunan Hipertensi Indonesia juga memiliki klasifikasi tekanan darah dari hasil konsesus menjadi 5 kelompok, yaitu normal, pre hipertensi, hipertensi tahap 1, hipertensi tahap 2, hipertensi sistol terisolasi. Dilihat dari penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu hipertensi primer atau esensial (hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya) dan hipertensi sekunder atau renal (hipertensi yang diketahui penyebabnya). Krisis hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah mengalami kenaikan ekstrim yang kemungkinan akan mengakibatkan atau sudah terjadi kerusakan pada organ target. Hipertensi krisis dibagi menjadi 4 golongan, yakni hipertensi refrakter, hipertensi akselerasi, hipertensi maligna, dan hipertensi enselopati. (Bakri et all, 2008) Hipertensi dapat diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang berada di dalam tubuh seperti. Dengan kebiasaan gaya hidup yang tidak sehat seperti tidak mengatur pola makan dan kebiasaan merokok akan menimbulkan proses penumpukan plak, perubahan struktur, dan penyempitan pada pembuluh darah. Pelepasan renin yang akan ngubah angiotensin I menjadi angiotensin II akan berdampak pada penyempitan dan peningkatan denyut jantung dimana hal tersebut akan meningkatkan beban kerja jatung sehingga aliran dalam sirkulasi tinggi. Stimulasi seksresi aldosteron akan berakibat berkurangnya eksresi NaCl dengan cara mereabsorbsinya dari tubulus ginjal. Dengan tingginya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraselular dan kemudian akan berakibat pada naiknya volume dan tekanan darah. Untuk manifestasi yang dapat di jadikan penanda hipertensi sebagai berikut : 1. Hasil pengukuran tekanan darah yang menunjukan kenaikan pada dua kali pengukuran secara berurutan sesudah dilakukan pemeriksaan pendahuluan 2. Nyeri kepala oksipital (yang semakin parah pada saat bangun di pagi harikarena terjadi peningkatan tekanan intracranial) 3. nausea, dan vomitus dapat pula terjadi 4. Epistaksis yang mungkin terjadi karena kelainan vaskuler akibat hipertensi
98
5. Bruits (bising pembuluh darah yang dapat terdengar di daerah aorta abdominalis atau arteri karotis, arteri renalis, dan femoralis); bising pembuluh darah ini disebabkan oleh stenosis atau aneurisma 6. Perasaan pening, bingung, dan keletihan yang disebabkan oleh penurunan perfusi darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah 7. Pengelihatan yang kabur akibat kerusakan retina 8. Nokturia yang disebabkan oleh peningkatan aliran darah ke ginjal dan peningkatan filtrasi oleh glomerulus 9. Edema yang disebabkan oleh peningkatan tekanan kapiler Pemeriksaan diagnostic pada hipertensi dapat dilihat pada pengukuran tekanan darah secara serial dapat membantu (lihat Klasifikasi hasil pengukuran tekanan darah). Urinalisis dapat memperlihatkan protein, sendimen, sel darah merah atau sel darah putih yang menunjukan kemungkinan penyakit renal, keberadaan katekolamin dalam urin yang berkaitan dengan feokromositoma; atau keberadaan glukosa dalam urine, yang menunjukan diabetes. (Bakri et all, 2008) Pemeriksaan laboratorium dapan mengungkapkan kenaikan kadar ureum dan kreatinin serum yang memberi kesan penyakit ginjal atau keadaan hipokalemia yang menunjukan disfungsi adrenal (hiperaldosteronisme primer), pemeriksaan profil lipid dan pemeriksaan glukosa. Hitung darah lengkap lengkap dapat mengungkapkan penyebab hipertensi yang lain, seperti polisitemia atau anemia. Urografi ekskretorik dapat mengungkapkan atrofi renal, menunjukan penyakit renal yang kronis. Ginjal yang satu lebih besar daripada yang lain memberikan kesan penyakit renal unilateral. Elektrokardiografi dapat memperlihatkan hipertrofi ventrikel kiri atau iskemia. Foto rontgen toraks dapat memperlihatkan kardiomegali, ekokardiogram. Kemudian secara umum penatalaksanaan hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu Non Farmakologis dan Farmakologis. Penatalaksanaan non-farmakologis sendiri seperti biasa adalah penetalaksanaan selain obat, dilakukan dengan mengubah pola hidup menjadi lebih sehat. Untuk penatalaksanaan farmakologis sendiri terdiri dari berbagai pengobatan yang dibedakan berdasarkan kegunaannya masing-masing. Selanjutnya sangatlah sulit untuk menjamin bahwa semua pasien hipertensi sudah terdeteksi dan diberikan pengobatan secara adekuat. Banyak obat-obatan untuk hipertensi yang harganya cukup mahal dan tidak mungkin terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Pencegahan merupakan faktor penting untuk mencegah terjadinya
99
komplikasi dan kematian. Pengobatan bersifat individualistis dan sepanjang masa dengan tetap memperhatikan perubahan gaya hidup. (Bakri et all, 2008)
100