HEPATITIS C
Disusun Oleh: INDAH PERMATA SARI 1102012124
Pembimbing : Mayor CKM Dr. Mario B.P Tambunan Sp.PD, FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RS TK. II. MOH. RIDWAN MEURAKSA JAKARTA AGUSTUS 2018
BAB I PENDAHULUAN
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang organ hati. Hepatitis viral akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya.1 Hampir semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus meliputi virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV).1 Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah terinfeksi virus ini.2 Di Indonesia belum terdapat laporan resmi mengenai infeksi VHC, namun menurut laporan lembaga tranfusi darah didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi populasi umum di Jakarta, prevalensi VHC sekitar 4%.1 Prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara 0.5% - 3.37%. Sedangkan prevalensi antiHCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15.5% - 46.4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A (39.8% - 68.3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6.4% - 25.9%).3 Pada umumnya transmisi terbanyak berhubungan dengan tranfusi darah dan tindakan medis seperti endoskopi, perawatan gigi, dialisis maupun operasi. Selain itu, VHC juga dapat ditransmisikan melalui luka tusukan jarum. Pada umumnya, genotipe yang ditemukan di Indonesia adalah genotipe 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotipe 2 dan 3. Prevalensi yang tinggi didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien dialisis (70%). Infeksi VHC juga dihubungkan dengan status ekonomi yang rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual yang berisiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan sangat jarang terjadi, biasanya dikaitkan dengan ibu yang menderita HIV karena jumlah VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi.1,2,3
2
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR
2.1.
Anatomi Hepar Hati merupakan organ intestinal terbesar dengan berat berkisar antara 1.2
– 1.8 kg atau kurang lebih sekitar 25% berat badan orang dewasa. Organ hati menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.4
Gambar 1. Anatomi hepar Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000 - 100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Terdapat juga ruang-ruang sinusosid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatica. Sinusoid dibatasi
oleh
sel
fagositik
atau
sel
kuffer
yang
merupakan
sistem
retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di dalam hati.4,5 3
Gambar 2. Gambaran mikroskopis jaringan hepar 2.2.
Fisiologi Hepar
Gambar 3. Fungsi hepar Hepar merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh yang merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hepar yaitu :6
4
a) Fungsi hepar sebagai metabolisme karbohidrat Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan satu sama lain.Hepar mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hepar kemudian hepar akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen menjadi glukosa disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hepar merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hepar mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu pyruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).
b) Fungsi hepar sebagai metabolisme lemak Hepar tidak hanya membentuk / mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)
Pembentukan cholesterol
Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hepar merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi cholesterol. Di mana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid
c) Fungsi hepar sebagai metabolisme protein Hepar mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi, hepar juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan proses transaminasi, hepar memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hepar merupakan satu-satunya organ yang membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi
5
urea. Urea merupakan end product metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di dalam hepar, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang. β – globulin hanya dibentuk di dalam hepar. Albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000
d) Fungsi hepar sehubungan dengan pembekuan darah Hepar merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.
e) Fungsi hepar sebagai metabolisme vitamin Semua vitamin disimpan di dalam hepar khususnya vitamin A, D, E, K
f) Fungsi hepar sebagai detoksikasi Hepar adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat racun, obat over dosis.
g) Fungsi hepar sebagai fagositosis dan imunitas Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin sebagai immune livers mechanism.
h) Fungsi hemodinamik Hepar menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hepar yang normal ± 1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hepar. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh
6
persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock. Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.6
Tabel 1. Fungsi Hati 6 Metabolisme
Sintesis
Ekskresi Endokrin Imunologi
Lain-lain
Karbohidrat Apolipoprotein Asam lemak Asam amino transminasi dan deaminasi Simpanan vitamin larut dalam lemak Obat-obatan dan konjugasinya Urea Albumin Faktor pembekuan Komplemen C3 dan C4 Feritin dan transferin Protein C reaktif Haptoglobin α-1antitripsin α2-makroglobulin seruloplasmin Sintesis empedu Metabolit obat Sintesis 25-hidroksilase vitamin D Perkembangan limfosit B fetus Pembuangan kompleks imun sirkulasi Pembuangan limfosit T CD8 teraktivasi Fagositosis dan presentasi antigen Produksi lipopolysaccharide-binding protein Pelepasan sitokin, seperti TNF-α, interferon Transport immunoglobulin A Kemampuan untuk regenerasi sel-sel hati Pengaturan angiogenesis
7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
Definisi Hepatitis merupakan istilah medis yang menunjukkan adanya inflamasi
pada hepar (hati) yang disebabkan oleh berbagai agen infeksius seperti virus, bakteri, jamur maupun parasit dan agen-agen non-infeksius lainnya seperti alkohol, obat-obatan, penyakit autoimun dan penyakit metabolik.1,3 Penyebab hepatitis adalah virus. Hepatitis virus ada berbagai macam jenisnya yaitu Hepatitis virus A (HAV), Hepatitis Virus B (HBV), Hepatitis Virus C (VHC), Hepatitis Virus D (HDV) dan Hepatitis Virus E (HEV).3,7 Diagnosis hepatitis virus akut ditegakkan apabila inflamasi pada hati akibat virus hepatitis berlangsung selama kurang dari 6 bulan dan dikatakan hepatitis virus kronis apabila kondisi hepatitis menetap bertahan selama lebih dari 6 bulan.3 3.2.
Epidemiologi World Health Organization (WHO) melaporkan lebih kurang 170 juta jiwa
di seluruh dunia terinfeksi secara kronik oleh hepatitis C (Hepatitis C Virus = HCV).2 Prevalensi global infeksi HCV adalah 2.9%.2 Menurut data WHO, angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi secara geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5.3% di Afrika.2 Prevalensi HCV di Indonesia sangat bervariasi, dikarenakan geografis negara Indonesia yang sangat luas. Hasil pemeriksaan pendahulu anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya adalah antara 3.1% - 4%. Dengan bantuan Namru-2 dimana dimungkinkan untuk pengguna reagen anti-HCV generasi kedua dan juga bantuan unit PUTD Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota besar menunjukkan prevalensi yang lebih kecil 0.5 – 3.37% dibandingkan data yang sebelumnya.1 Berdasarkan data Surveilans Nasional Hepatitis C Direktorat Jenderal PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang dilakukan pada Oktober 8
2007 – September 2009, diperkirakan 1-2% populasi Indonesia atau sekitar 3,4 juta orang telah terinfeksi VHC.1 . 3.3.
Etiologi Virus hepatitis C adalah virus RNA berkapsul dengan diameter 50-60 nm
yang mengandung RNA rantai tunggal yang dapat diproses secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus. Genom VHC digolongkan ke dalam Flavivirus bersama-sama dengan virus hepatitis G, Yellow fever dan virus dengue. Virus ini umumnya masuk kedalam darah melalui transfusi atau kegiatankegiatan yang memungkinkan bagi virus untuk langsung masuk ke sirkulasi darah.7 Struktur gen VHC adalah sebuah RNA untai tunggal, positif sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan pada masing-masing ujung 5’ dan 3’. Translasi protein VHC dilakukan di ribosom sel hati yang akan mulai membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik (internal ribosom entry site atau IRES) yang terdapat di region 5’ UTR.8,9 Satu ORF akan menghasilkan satu poliprotein yang terdiri dari 3011 asam amino. Asam-asam amino yang dihasilkan ORF ini akan diproses oleh peptidase sel hati untuk protein-protein structural VHC (dari core envelope region) dan protease-protease yang dikode oleh VHC untuk protein-protein regulator dari region non-struktural (NS region). Sampai saat ini telah dikenal 3 macam protein structural (core, E1 dan E2) maupun 7 protein non-struktural (regulator) yaitu: NS2, NS3, p7, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b. 8,9 Table 2. Fungsi Protein-protein VHC 9 Protein VHC a. Protein core
b. sE2 (hypervariable
Fungsi Membungkus RNA VHC untai tunggal positif di reticulum endoplasma. Menimbulkan kerusakan sel hati atau fungsi penekanan imunoregulasi dan apoptosis sel hati yang terinfeksi VHC. Mentranslasikan CD81 sebagai reseptor virus untuk infeksi ke dalam sel.
9
c. d. e. f.
region (HVRI Memuat sequence yang identik dengan tempat fosforilasi protein kinase interferon (PKR) yang member kerentanan dan HVR2) VHC terhadap terapi interferon. Menghasilkan protease NS2,3 dan 4A Menghasilkan helikase NS3 Menghasilkan RNA-dependent RNA Polymerase NS5B Menghasilkan protein p7 sebagai saluran ion di membrane NS2 dan E selular
Pada umumnya cara penularan VHC adalah melalui jalur parenteral sama seperti HBV, yaitu : 2,7
Penularan horizontal : yaitu penularan VHC yang terjadi terutama melalui cara parenteral, yaitu tranfusi darah atau transfusi komponen produk darah lainnya, prosedur hemodialisa dan
penyuntikan obat-obatan secara
intravena.
Penularan vertikal : yaitu penularan dari ibu yang menderita VHC kepada bayinya sebelum persalinan atau saat persalinan atau sesaat setelah persalinan.
Gambar 4. Model virus hepatitis C pada manusia Kecepatan replikasi VHC sangat tinggi, melebihi HIV (Human Immunodefficiency Virus) maupun HBV. Virus ini berreplikasi melalui RNAdependent RNA polimerase yang akan menghasilkan salinan RNA virus tanpa mekanisme proof-reading (mekanisme yang akan menghancurkan salinan nukleotida yang tidak persis sama dengan aslinya). Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya banyak salinan-salinan RNA VHC yang sedikit berbeda namun masih 10
berhubungan satu sama lain pada pasien yang disebut quasispecies.8 Sekarang ini ada sekurang-kurangnya enam tipe utama VHC (disebut genotipe) dan lebih dari 50 subtipenya. Hal ini yang menjadi alasan mengapa tubuh tidak mampu melawan virus secara efektif dan studi-studi yang ada saat ini belum dapat membuat vaksin yang efektif melawan VHC.9 Perlu diketahui bahwa genotipe VHC tidak menentukan seberapa parah dan seberapa cepat progresivitas penyakit Hepatitis C, namun ada genotipe tertentu yang mungkin tidak merespon pengobatan sebaik genotipe yang lain sehingga tatalaksana pada genotype tersebut mungkin menjadi lebih lama dan memakan biaya tambahan.10 Genotipe 1a dan 1b adalah genotipe yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, diikuti oleh genotipe 2 dan 3.2 Genotipe lain tampaknya tidak pernah ditemukan di negara-negara pada kedua kawasan tersebut, tapi banyak ditemukan di negara atau kawasan lain, misalnya genotipe 4 banyak ditemukan di Mesir, genotipe 5 di Afrika Selatan sedangkan genotipe 6 di Asia Tenggara.2 Di Indonesia, genotipe yang paling sering ditemukan adalah genotipe 1 (sekitar 60-65%), diikuti oleh genotipe 2 dan 3. Genotipe 4-6 lebih jarang ditemukan.1,3 Pengetahuan mengenai genotipe sangat penting karena dapat dipakai untuk memprediksi respon penyakit terhadap pengobatan antiviral (sustained virological response = SVR) dan menentukan lamanya durasi pengobatan.10 Genotipe 2 dan 3 adalah genotipe yang telah diketahui memiliki respon lebih baik dalam pengobatan antiviral bila dibandingkan genotipe 1. Genotipe tidak akan berubah selama masa infeksi (course of infection) sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulangan terhadap genotipe VHC, ditambah lagi derajat beratnya penyakit hepatitis C tidak berhubungan dengan genotipe virus.11
3.4.
Patofisiologi VHC adalah salah satu tipe virus yang menyerang hati dan
menggunakannya sebagai tempat berkembang biak. Berkembangbiaknya virus ini akan memancing sistem kekebalan tubuh untuk melakukan perlawanan. Reaksi serangan ini dapat berakibat fatal pada hati, seperti terjadinya peradangan, atau terbentuknya jaringan parut (fibrosis) pada hati. Jaringan parut (fibrosis) tidak 11
mempunyai fungsi seperti jaringan sel hati normal bahkan menggantikan jaringan normal dalam proses pembentukannya. Contoh jaringan parut yang biasa kita kenal adalah keloid yang terbentuk pada beberapa orang yang mengalami luka pada kulit mereka.12 Semakin banyak jaringan hati yang normal yang menjadi jaringan parut, maka terjadi kemunduran fungsi hati dalam melakukan metabolisme tubuh dan pembentukan zat-zat penting seperti hormon dan protein. Jika infeksi VHC dibiarkan berlanjut tanpa terapi yang tepat yang bertujuan untuk menyembuhkan, maka dapat terjadi kerusakan jaringan hati permanen seperti sirosis (pengerasan hati karena jaringan parut yang terlampau banyak). Saat seseorang mengalami sirosis, berarti sebagian besar organ hatinya telah rusak dan tidak bisa berfungsi lagi dengan normal yang pada akhirnya dapat menjadi gagal hati atau berkembang menjadi kanker hati yang fatal.12 VHC hanya bisa berkembang biak di dalam sel hepatosit, sehingga ketika VHC masuk ke dalam sirkulasi darah, maka virus ini akan segera mencari tergetnya yaitu sel hepatosit dan kemungkinan juga sel limfosit B. Karakteristik ini menyebabkan peneliti kesulitan untuk membiakkan VHC pada kultur, sehingga kendala ini cukup memperlambat berkembangnya penelitan mengenai VHC. Meskipun demikian, peneliti telah berhasil mengemukakan daur hidup VHC di dalam sel hepatosit, seprti yang dijelaskan dalam gambar di bawah ini.1,3,7
12
Gambar 5. Siklus hidup virus hepatitis C Melalui gambar skematis di atas, siklus hidup VHC digambarkan secara alur skematis sebagai berikut : 1,3,7 1) VHC masuk ke dalam sel hepatosit dengan berikatan dengan reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan sel CD8 adalah suatu VHC binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya virus ke dalam sel. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar sel hepatosit. 2) Setelah berikatan dengan reseptornya, VHC kemudian mengaktivasi proses endositosis sel hepatosit sehingga VHC berhasil masuk ke sel haptosit dalam bentuk vakuol. Di dalam sitoplasma sel hepatosit, selubung VHC (nukleokapsid) kemudian larut sehingga RNA virus keluar (virus uncoating) dan selanjutnya mengambil alih peran dari ribosom sel hepatosit dalam memproduksi bahan-bahan yang diperlukan untuk proses replikasi sejumlah besar VHC baru. 3) VHC dapat membuat sel hepatosit memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme
13
sintesis protein sel hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berkembang biak. 4) RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi poliprotein secara masal (proses translasi). 5) Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis yaitu protein struktural dan regulator. Protein regulator berfungsi mensintesis kopi RNA VHC yang asli. 6) Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali) untuk menghasilkan materi-materi pembentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif kemudian bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang merupakan kopi identik materi genetik virus. 7) Proses ini berlangsung terus-menerus dan memberi kesempatan terjadinya mutasi genetik guna menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe VHC. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang kemudian akan membentuk nukleokapsid dan inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus baru. 8) Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah menembus membran sel hepatosit. Prognosis dan derajat keparahan dari infeksi VHC bergantung pada genotipe virus, jumlah virus dan faktor perlawanan dari sel host.3
3.5.
Manifestasi Klinis Gejala hepatitis C bisa berbeda-beda pada setiap orang. Dalam sejumlah
kasus, penderita bahkan tidak menyadari bahwa dirinya telah mengidap hepatitis C hingga bertahun-tahun. Terlepas dari ada tidaknya gejala yang muncul, proses kerusakan hati akan tetap terjadi hingga hati mengalami kerusakan permanen seperti sirosis.1,3 Manifestasi klinis hepatitis C secara garis besar, dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu hepatitis virus akut dan hepatitis virus kronis, namun diluar itu terdapat hepatitis C fulminan dan stadium lanjut dari hepatitis kronis yaitu sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler.1,3,7
14
a. Hepatitis Virus Akut Umumnya infeksi akut VHC hanya menunjukkan sedikit gejala atau bahkan sama sekali tidak memberikan gejala. Hanya 20-30% pasien yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut dalam 7 – 8 minggu setelah terjadinya paparan (berkisar 2 – 26 minggu).1,3 Infeksi virus hepatitis C terbagi ke dalam 3 fase, yaitu fase prodormal, fase ikterik dan fase konvalesen.2,3 Pada fase prodormal, onset terjadi pada hari 1-14, namun rata-rata timbul pada hari 5-7 setelah paparan. Keluhan yang sering ditemui yaitu malaise, fatigue, mual dan muntah, kehilangan selera makan, demam subfebris, gejala-gejala mirip flu dan kebanyakan pasien mengeluh adanya nyeri pada perut kanan atas. Pada fase ikterik, gejala yang sering ditimbulkan yaitu warna kuning pada mukosa sklera pada tahap awal, kemudian berlanjut menjadi kekuningan pada kulit. Durasi ikterik bervariasi, biasanya antara 4 hari sampai beberapa bulan, namun rata-rata 2-3 minggu. Warna urin menjadi lebih gelap seperti air teh, warna feses berubah menjadi seperti warna dempul (pucat). Selama fase ini, separuh dari pasien menunjukkan gejala gatal-gatal. Pada fase konvalesen, kebanyakan gejala-gejala tersebut di atas menghilang (resolve), ikterik tidak ditemukan lagi, warna kulit, urin dan feses kembali ke warna semula. Nafsu makan meningkat, begitu juga dengan berat badannya. Umumnya secara klinik gejala VHC akut lebih ringan daripada hepatitis virus akut lainnya. Masa inkubasi VHC terletak antara HAV dengan HBV, yaitu sekitar 2 – 26 minggu, dengan rata-rata 8 minggu. Pada pasien hepatitis virus akut, anti VHC ditemukan positif pada 75.5% pasien pasca-transfusi, 35% pada hepatitis akut sporadik dan hanya 2.4% yang positif pada HBV. Sebagian besar pasien yang terserang VHC akut akan menjurus menjadi hepatitis virus kronis.10
15
RNA milik VHC dapat terdeteksi sebelum gejala klinis muncul, namun dalam 6 bulan pertama tingkat viremia biasanya dorman dan tidak terdeteksi walaupun pasien sedang dalam infeksi yang persisten. Gejala awal penyakit bergantung dari usia pasien saat terjadinya paparan, sistem imun pasien, riwayat penyakit hati sebelumnya dan tingkat inokulasi virus.3,7 Dalam serum pasien, kadar enzim hati seperti alanin aminotransferase (ALT) meningkat 10 kali lebih tinggi dari normal dan akan menurun pada fase selanjutnya. Pada pasien VHC persisten didapatkan kadar enzim ALT yang naik turun (fluktuatif). Serum bilirubin juga dapat meningkat dalam beberapa minggu setelah gejala pertama muncul, namun kadarnya akan kembali normal. Secara garis besar, angka mortalitas pada infeksi akut tergolong rendah.8
b. Hepatitis virus kronis
Gambar 6. Sirosis hati dan hepatoma Infeksi VHC akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan gejala apapun meski proses kerusakan hati masih terusmenerus berlangsung. Adapun kriteria dari hepatitis kronis adalah kenaikan kadar transaminase serum lebih dari 2 kali nilai normal, yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya VHC setelah terjadinya hepatitis kronis sangat jarang terjadi.10
16
Durasi waktu yang diperlukan untuk progresivitas berbagai tahapan hepatitis sangat bervariasi. Diperlukan waktu sekitar 20 – 30 tahun untuk terjadinya sirosis hati, yang seringkali ditemui pada 15 – 20% pasien hepatitis C kronik.10 Progresivitas penyakit hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor resiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat infeksi terjadi dan kadar CD4 yang sangat rendah.1,3,7 Bila telah terjadi sirosis hati, maka risiko terjadinya karsinoma hepatoselular adalah sekitar 1 – 4% per tahun. Karsinoma hepatoseluler bisa saja terjadi meski tanpa diawali sirosis hati, namun hal ini jarang terjadi.1,3,7
3.6.
Diagnosis Diagnosis hepatitis virus C ditegakkan berdasarkan uji serologis untuk
memeriksa antibodi terhadap antigen VHC dan uji deteksi RNA virus VHC.2,7 a) Uji serologi
Gambar 7. Uji serologi hepatitis C Uji serologi yang dilakukan bertujuan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen VHC. Sekali saja pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil uji serologi akan tetap positif, namun kadar antibodi anti-VHC akan menurun secara bertahap seiring dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami resolusi spontan.2,7,8 Antibodi terhadap VHC dideteksi dengan metode enzyme immunoassay yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi k-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein struktural-
17
struktural VHC yang dapat mendeteksi keberadaan antibodi anti-VHC dalam waktu 4-10 minggu pasca infeksi VHC. Antibodi anti-VHC masih tetap dapat terdeteksi selama pengobatan antiviral maupun setelahnya tanpa memandang respon terapi terhadap antiviral, sehingga pemeriksaan anti-VHC tidak perlu dilakukan kembali bila sudah pernah dilakukan sebelumnya.7,8 Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblot assay, RIBA) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif. Penggunaan RIBA hanya direkomendasikan di populasi low-risk seperti pada bank darah. Sayangnya, dengan hadirnya metode enzyme immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka konfirmasi denga RIBA menjadi kurang diperlukan.8,11 b) Pemeriksaan RNA virus VHC
Gambar 8. Uji RNA virus HVC VHC RNA dapat terdeteksi dan diukur dengan teknik amplifikasi termasuk reverse transcription polymerase chain reation (RT-PCR). Genotipe VHC dapat dinilai dengan analisis phylogenetic dari rantai nukleotida atau deteksi mutasi point spesifik subtipe pada RT-PCR amplifikasi RNA. VHC RNA dideteksi dalam waktu 2 minggu pasca infeksi dan juga digunakan untuk mengkonfirmasi adanya infeksi akut. Meskipun demikian, pemeriksaan RNA VHC secara rutin tidak dianjurkan karena standarisasi uji tersebut masih rendah.11
18
c) Biopsi Hati
Gambar 9. Biopsi hepar Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal pasien dengan infeksi VHC kronik. Biopsi hati berguna untuk menentukan derajat beratnya penyakit (tingkat fibrosis hati) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi hati. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab hati yang lain, seperti fatty liver alkoholik, fatty liver non-alkoholik, hepatitis autoimun, hepatitis imbas obat atau kelainan hati akibat overload besi.8,11
3.7.
Tatalaksana Penegakkan diagnosis dini dan pengobatan awal sangatlah penting
terhadap kesembuhan pasien. Studi terhadap diagnosis dini dan terapi awal infeksi VHC menunjukkan terdapat perbaikan signifikan dari sel-sel hati dan fungsi hati pasien hepatitis C. Tujuan pengobatan hepatitis C adalah untuk menghilangkan virus dari tubuh pasien sedini mungkin agar progresivitas penyakit dapat dicegah.1,2,10 Penggunaan terapi interferon (dikenal dengan IFN, ada IFN-α dan IFN-β) dengan dosis 6-10 juta unit selama 6 bulan terhadap pasien VHC akut mampu merangsang normalisasi enzim SGPT hati dan hilangnya RNA VHC pada sekitar 50% pasien. Dosis terapi IFN-α yang tiga kali seminggu memberikan outcome
19
yang sama dengan terapi pegylated IFN-α (peg-IFN-α) selama 24 minggu, berupa peningkatan angka rata-rata SVR pada pasien VHC akut.8 Terapi dengan peg-IFN-α lebih diutamakan dibandingkan terapi IFN-α konvensional maupun terapi ribavirin. Pengkombinasian ribavirin dengan IFN-α atau peg-IFN-α tidak memperlihatkan peningkatan yang signifikan dari rata-rata SVR. VHC genotipe 2, 3 dan 4 mampu merespon pengobatan antiviral lebih baik dibanding VHC genotipe 1 sehingga durasi pengobatan antiviral pada genotipe ini bisa lebih dipersingkat menjadi 12 minggu dengan peg-IFN-α. Terapi IFN profilaksis tidak dianjurkan pada trauma tusuk karena pada dasarnya angka infeksi VHC tergolong rendah.10 Pada infeksi VHC akut, pengobatan antiviral sebainya ditunda selama 816 minggu, tujuannya adalah untuk melihat adanya penyembuhan spontan, terutama pada pasien yang menunjukkan manifestasi klinis. Pada infeksi akut VHC genotipe 1, terapi antiviral diberikan selama 24 minggu, sedangkan pada genotipe 2 dan 3, terapi diberikan selama 12 minggu.10 Tatalaksana pada infeksi VHC kronik bertujuan untuk mencegah progresivitas penyakit hati seperti sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler (HCC). Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada kondisi ini adalah usia pasien, jenis kelamin, genotipe VHC, jumlah virus dalam tubuh, dan ada atau tidaknya fibrosis hati terutama fibrosis stadium 3 dan 4. Pada pasien dengan stadium fibrosis F0 (tidak ditemukan fibrosis) dan F1 (fibrosis hati minimal) tidak memerlukan terapi antiviral kecuali bila pasien tersebut mempunyai gejala klinis yang berat atau bila hasil biopsi hatinya sedang dalam stadium lanjut atau pada orang-orang yang sangat berharap untuk diobati.3,11 Untuk semua pasien tersebut, mereka harus diberi informed consent mengenai : 3 Perjalanan
penyakitnya,
terutama
tentang
kemungkinan
terjadinya
komplikasi pada hati. Efektivitas atau kemanjuran dari pengobatan yang tersedia saat ini Biaya pengobatan yang harus dikeluarkan Efek samping merugikan dari pengobatan 20
Pemakaian kontrasepsi berkelanjutan setelah administrasi terapi ribavirin. Berdasarkan penelitian trial and eror, diperoleh bahwa angka SVR paling tinggi dicapai dengan terapi kombinasi peg-IFN-α dan ribavirin oral setiap harinya satu kali seminggu selama 1 tahun.8,11 Tatalaksana VHC kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila genotip VHC adalah genotip 1 dan 4, maka terapi perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotip 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu (tabel 2).8 Tabel 2. Rejimen Pengobatan Hepatitis C berbasis Interferon dan Ribavirin
a) Interferon Alfa
Gambar 10. Interferon alfa
21
Merupakan suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya. Interferon bekerja dengan mengganggu replikasi virus. Interferon alfa sintetis (dengan nama merek seperti Intron-A®, Roferon-A®) adalah pengobatan standar untuk HCV dan HBV. Dosis IFN-α konvensional yaitu 3 juta unit diberikan subkutan setiap 2 - 3 kali seminggu. Efek anti-proliferasi yang dimiliki interferon juga menyebabkan senyawa ini dapat digunakan untuk mengatasi tumor seperti melanoma dan Sarkoma Kaposi. Penggunaan interferon pengobatan memang dibatasi karena adanya efek samping berupa demam, malaise, kelelahan, dan nyeri otot. Selain itu, interferon juga bersifat toksik terhadap hati, ginjal, sumsum tulang, dan jantung.8,10 b) Pegylated Interferon Alfa (Peg-IFN-α) Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut "polyethylene glycol (PEG)" dengan molekul IFN-α. Modifikasi dari terapi IFN-α ini lebih bertahan lama di dalam tubuh dan beberapa hasil studi menunjukkan bahwa efektivitas kombinasi kedua terapi ini mencapai angka rata-rata SVR lebih tinggi dibanding terapi IFN-α konvensional pada pasien VHC kronis.8,10
Gambar 11. Peg-Interferon alfa Peg-IFN diberikan setiap minggu dengan dosis 1.5 µg/kgBB/kali (untuk Peg-IFN 12 KD) atau 180 µg (untuk Peg-IFN 40 KD).8,10 Hati-hati pemberian IFN pada kondisi-kondisi berikut ini: 1,3,8
Neutropenia (jumlah neutrofil < 1500 sel/uL)
22
Trombositopenia (jumlah trombosit < 85.000 sel/uL)
Transplantasi organ
Penyakit autoimunitas
Ditemukannya autoantibodi tiroid
Umur lebih dari 70 tahun
Efek samping yang sering dijumpai pada terapi IFN adalah pansitopenia, ganguan fungsi tiroid, gangguan depresi, iritabilitas, gangguan fungsi kognitif dan memori, gangguan penglihatan, cepat lelah, nyeri otot, sakit kepala, mual dan muntah, anoreksia dan penurunan berat badan, demam subfebris, iritasi kulit, insomnia, pendengaran berkurang, tinitus, fibrosis interstitial dan alopesia.3,8,10 c) Ribavirin Obat antiviral ini paling sering dikombinasikan bersama IFN-α untuk pengobatan VHC kronis. Terapi dengan ribavirin tunggal saja tidak efektif melawan VHC, namun bila ribavirin dikombinasi dengan IFN-α, hasilnya akan lebih efektif dibandingkan terapi IFN-α tunggal.8,10
Gambar 12. Ribavirin Dosis terapi kombinasi IFN plus ribavirin bervariasi tergantung pada berat badan : 10
BB < 50 kg
: 800 mg setiap hari
BB 50 – 70 kg
: 1000 mg setiap hari,
23
BB > 70 kg
: 1200 setiap hari dibagi dalam 2 x pemberian
Efek samping yang berkaitan dengan terapi ribavirin yaitu anemia hemolitik, cepat lelah, gatal-gatal, ruam, batuk, radang tenggorokan, asam urat dan malformasi kongenital. Merupakan hal yang sangat penting bagi pasien pengguna ribavirin untuk memperketat penggunaaan kontrasepsi selama pengobatan dan setelah 6 bulan setelah pengobatan ribavirin selesai.1,7,10 Kombinasi peg-interferon dengan ribavirin mampu mencapai angka kesembuhan sebesar 50-70% terhadap SVR. Namun, angka ini akan lebih rendah lagi apabila penderita terinfeksi VHC genotip 1, yang justru lebih banyak ditemukan di Indonesia.1 Angka kesembuhan hepatitis C di Indonesia diperkirakan kurang dari 20%, sehingga dilakukan studi mengenai faktorfaktor penyebab rendahnya angka kesembuhan tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa selain karena banyaknya jenis VHC genotip 1 yang menginfeksi pasien, ternyata banyak juga pasien yang menghentikan rejimen pengobatannya dengan alasan timbulnya berbagai efek samping dari rejimen antiviral (interferon, ribavirin). Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi para peneliti dan klinisi untuk merancang suatu terapi yang lebih efektif terhadap semua genotip VHC dan dengan efek samping yang minimal.1,3 Respon Terapi 1. Respons Virologi Suatu SVR (sustained virological response), respons virology menetap) diartikans sebagi tidak terdeteksinya HCV RNA dalam serum seorang pasien menggunakan metode pemeriksaan dengan sensitivitas hingga 100 kopi/ml (50 IU/ml) DI 6 bulan setelah terapi selesai. SVR adalah suatu endpoint yang paling dapat dipercaya dalam mengevaluai suatu terapi.8,10 Selain SVR, dikenal juga beberapa pola respon HCV RNA selama terapi maupun 6 bulan pasca terapi yaitu null response, partial virologic response, virologic breakthrough dan relapse.8,10
Null response diartikan sebagai gagalnya
pasien untuk mencapai
turunnya kadar HCV RNA yang berarti selama terapi.
24
Partial virologic response adalah suatu keadaan dimana seorang mengalami penurunan muatan virus >2 log dari nilai baseline tetapi HCV RNA tetap terdeteksi di minggu ke-24 terapi.
Virologic breakthrough adalah terdeteksinya kembali HCV RNA pada pasien yang kadar HCV RNA nya telah negative selama masa terapi.
Relapse diartikan sebagai munculnya kembali HCV RNA pada pasien yang kadar HCV RNA nya telah negatif setelah selesai terapi.
2. Respon non-virologi Turunnya kadar SGPT hingga rentang normal diakhir masa terapi atau seterusnya hingga 6 bulan pasca terapi terus dievaluasi. 3. Respon histologi Secara konvensional diartikan sebagai turunnya nilai inflamasi atau nilai total sebesar 2 point atau lebih dibanding hasil biopsi sebelum terapi atau turunnya nilai fibrosis sebesar 1 point dibanding hasil biopsi sebelum terapi. Tabel 3. Respon terapi antiviral terhadap hepatitis C 8 Singkatan
Deskripsi
Defining HCV RNA level
LVL
Low viral load
< 400.000 IU/mL
HVL
High viral load
>400.000 IU/mL
RVR
Rapid viral response
Tidak terdeteksi
Waktu
Setelah
4
minggu
terapi eRVR
EVR
Extended rapid viral
Tidak terdeteksi; menggunakan
Pada minggu ke 4 dan
response
tiga terapi dengan telaprevir
minggu ke 12
Early viral response
Tidak terdeteksi (<50 IU/mL)
Setelah
12
minggu
12
minggu
terapi NR
LVR
Null response
Late viral response
Lebih dari 2 log 10 penurunan
Setelah
(IU/mL) dari tingkat baseline
terapi
Lebih dari 2 log 10 penurunan
Terdeteksi setelah 12 minggu terapi
DVR
Delayed response
viral
Lebih dari 2 log 10 penurunan
Tidak setelah
terdeteksi 24
minggu
terapi
25
EOTR, ETR,
End-of-treatment
or ETVR
(viral) response
SVR
Sustained
viral
Tidak terdeteksi
Pada akhir terapi
Tidak terdeteksi
24
response
minggu
setelah
selesai terapi Tidak terdeteksi
Diakhir terapi
Relapse
Relapse
Diulang kemunculan
Setelah akhir terapi
PR
Partial response or
Lebih dari 2 log 10 penurunan
Pada 12 minggu terapi;
partialnonresponse
dari baseline
terdeteksi pada minggu 24.
Breakthrough
BT
Diulang kemunculan
Setiap
saat
pengobatan
selama setelah
respon virus.
Gambar 13. Pola Respon Virus dengan Terapi Penginterferon/Ribavirin (PEGIFN/RBV)8
3.8.
Komplikasi Infeksi hepatitis C yang terus berlangsung selama bertahun-tahun dan tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan hati yang berakibat fatal. Komplikasi-komplikasi tersebut meliputi sirosis, kanker hati, serta gagal hati.1,2,11 Jaringan parut pada hati atau sirosis merupakan komplikasi yang berkembang dalam waktu 20 tahun setelah pertama terinfeksi. Konsumsi minuman beralkohol dan mengidap diabetes tipe 2 serta infeksi hepatitis jenis 26
lain juga dapat meningkatkan risiko seseorang untuk menderita sirosis. Gejala-gejala sirosis meliputi kelelahan, mual, tidak nasfu makan, perut bagian atas kanan (lokasi organ hati) terasa nyeri, sakit kuning, serta gatalgatal yang hebat.1,3 Sirosis yang parah dapat menyebabkan gagal hati dan kanker hati. Gejala yang mengindikasikan gagal hati meliputi urine berwarna gelap, tinja yang cair dan berwarna pucat, rambut rontok, sering mengalami mimisan dan gusi berdarah, serta muntah darah. Sementara kanker hati memiliki gejala seperti mual, muntah, sakit kuning, perut membesar dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.1,3
Gambar 14. Perjalanan penyakit hepatitis C Sirosis dan gagal hati hanya bisa disembuhkan dengan prosedur transplantasi hati. Penanganan dengan obat-obatan hanya bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah sirosis bertambah parah. Sementara kanker hati pada umumnya sulit disembuhkan. Penanganan dengan kemoterapi digunakan untuk memperlambat penyebaran kanker.7,8
3.9.
Pencegahan Hepatitis C belum bisa dicegah dengan vaksinasi. Tetapi ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menurunkan risiko penularan, misalnya berhenti atau tidak menggunakan obat-obatan terlarang.2,10,11 Tidak berbagi penggunaan barang-barang pribadi yang berpotensi terkontaminasi darah (seperti gunting kuku dan sikat gigi) juga bisa dilakukan sebagai pencegahan.1,2,3,8 27
Gambar 15. Pencegahan infeksi HCV Meski penyakit ini jarang menular melalui hubungan seks, penggunaan alat pengaman seperti kondom dapat menghindari dari hepatitis C. Terutama jika terjadi kontak dengan darah, misalnya seks anal atau darah menstruasi. Penderita hepatitis C juga lebih berisiko untuk terkena hepatitis jenis lain. Dokter akan menganjurkan untuk vaksinasi agar mencegah infeksi hepatitis A dan B.1,2,8,10
3.10.
Prognosis Respons terhadap pengobatan berbeda-beda berdasarkan genotipenya.
Respons berlanjut terjadi pada kira-kira 40-50% orang dengan HCV genotipe 1 yang menjalani pengobatan selama 48 minggu. Respons berlanjut terjadi pada 70-80% dari pasien dengan HCV genotipe 2 dan 3 yang menjalani pengobatan selama 24 minggu. Respon berlanjut terdapat pada kira-kira 65% dari pasien dengan genotipe 4 yang menjalani pengobatan selama 48 minggu.8,13 Bukti pengobatan pada penyakit dengan genotipe 6 masih sangat sedikit saat ini, dan bukti yang ada adalah pengobatan selama 48 minggu dengan dosis yang sama seperti dosis yang diberikan kepada pasien penyakit genotipe 1.13
28
BAB IV KESIMPULAN
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal yang dapat diproses secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai. Virus hepatitis C adalah suatu virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Terdapat 6 genotipe HCV dan lebih dari 50 subtipe. Infeksi HCV sangat jarang. terdiagnosis pada saat infeksi akut. Manifestasi klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu. Pada kasus infeksi ditemukan gejala jaundice, malaise dan nausea. Infeksi berkembang menjadi kronik pada sebagian besar penderita dan infeksi kronik biasanya tidak menunjukkan gejala. Faktor-faktor yang terkait erat dengan terjadinya infeksi HCV adalah pengguna narkoba suntik dan transfuse darah dll. Pemeriksaan laboratorium untuk hepatitis C adalah anti-HCV dan HCV RNA kunatitatif. Terapi untuk hepatitis C dengan menggunakan interferon pegilasi . interferon pegilasi memiliki 2 jenis yaitu interferon α-2b pegilasi dan interferon α-2a. serta perbedaan pengobatan HCV genotipe 1 samapai genotipe 6. Serta pada pengobatan hepatitis akut dengan menggunakan monoterapi yang SVR 90%. SVR digunakan untuk membantu dalam mendefinisikan bagaimana respons seorang pasien terhadap antivirus. Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HCV. Jadi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan skrining data pemeriksaan terhadap darah dan organ donor dan mempromosikan perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan pekerja kesehatan untuk mengurangi penggunaan berlebihan obatobatan suntik dan penggunaan cara penyuntikan yang aman, serta konseling untuk menurunkan risiko IDU dan praktek seksual.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, Waspodo AS, Siregar L, et al. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis C di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia; 2014. 2. World Health Organization. Hepatitis C: fact sheet. Available at http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs164/en/. Updated: October 2017; Accessed: 16 Agustus 2018. 3. Sulaiman A (2011). Hepatitis C. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi I. Editor: Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer S. Pusat Penerbitan Divisi Hepatologi Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 211-235. 4. Sloane E, Widyastuti P, editor. Anatomi dan fisisologi untuk pemula. Jakarta: EGC, 2003.h.184-9. 5. Eroschenko Victor P (2010). Atlas histologi di fiore dengan korelasi fungsional. Edisi ke-11. Jakarta: EGC, h.333-8. 6. Sherwood L (2012). Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 7. Thomas DL (2013). Hepatitis C Virus. In: Oxford Textbook of Medicine 4th Edition. Editors: Warrel DA, Cox TM, Firth JD, Benz AJ. Oxford Press. United State. 8. Dhawan VK (2018). Hepatitis C. Tersedia secara online pada website : https://emedicine.medscape.com/article/177792-overview#a7 (Diakses pada tanggal 17 Agustus 2018). 9. Kim A. Hepatitis C virus. Ann Intern Med. 2016 Sep 6. 165 (5):ITC33-ITC48 10. American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)/Infectious Diseases Society of America (IDSA). Testing, evaluate, monitor. Overview of cost, reimbursement, and cost-effectiveness considerations for hepatitis C treatment regimens. Available at https://www.hcvguidelines.org/evaluate/cost. Updated: September 21, 2017; Accessed: 16 Agustus 2018. 11. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Testing for HCV infection: an update of guidance for clinicians and laboratorians. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2013 May 10. 62 (18):362-5. 12. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis. Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2012. 13. Emmanuel B, Shardell MD, Tracy L, Kottilil S, El-Kamary SS. Racial disparity in all-cause mortality among hepatitis C virus-infected individuals in a general US population, NHANES III. J Viral Hepat. 2017 May. 24 (5):380-8.