Tugas Geografi

  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Geografi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,656
  • Pages: 10
ASAL - USUL KOTA MENURUT SEJARAHNYA A. MEDAN

Kampung kecil, dalam masa lebih kurang 80 tahun dengan pesat berkembang menjadi kota, yang dewasa ini kita kenal sebagai kota Medan, berada di suatu tanah datar atau MEDAN, di tempat Sungai Babura bertemu dengan Sungai Deli, yang waktu itu dikenal sebagai “Medan Putri”, tidak jauh dari Jalan Putri Hijau sekarang.Menurut Tengku Lukman Sinar, SH dalam bukunya “Riwayat Hamparan Perak” yang terbit tahun 1971, yang mendirikan kampung Medan adalah Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak (Dua Belas Kota) dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli.John Anderson, seorang pegawai Pemerintah Inggeris yang berkedudukan di Penang, pernah berkunjung ke Medan tahun 1823. Dalam bukunya bernama “Mission to the Eastcoast of Sumatera”, edisi Edinburg tahun 1826, Medan masih merupakan satu kampung kecil yang berpenduduk sekitar 200 orang. Di pinggir sungai sampai ke tembok Mesjid kampung Medan, ada dilihatnya susunan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar yang menurut dugaannya berasal dari Candi Hindu di Jawa.Menurut legenda, dizaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli Lama kira-kira 10 km dari kampung Medan, di Deli Tua sekarang seorang putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan puteri itu tersohor kemana-mana, mulai dari Aceh sampai ke ujung utara Pulau Jawa.Sultan Aceh jatuh cinta pada puteri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua saudara laki-laki Putri Hijau.

Sultan Aceh sangat marah karena penolakannya itu dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara kesultanan Aceh dan kesulatanan Deli.Menurut legenda yang tersebut di atas, dengan mempergunakan kekuatan gaib, seorang dari saudara Putri Hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan yang seorang lagi sebagai sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.Kesultanan Deli Lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa, Putera mahkota yang menjelma menjadi meriam itu, meledak bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo, kira-kira 5 km dari Kabanjahe.Pangeran yang seorang lagi yang telah berubah menjadi seekor ular naga itu, mengundurkan diri melalui satu saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli disatu tempat yang berdekatan dengan Jalan Putri Hijau sekarang. Arus sungai membawanya ke Selat Malaka dari tempat ia meneruskan perjalanannya yang terakhir di ujung Jambo Aye dekat Lok Seumawe, Aceh.Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh.Ketika kapal sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permohonan tuan Putri itu dikabulkan.Tetapi, baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembus angin ribut yang maha dahsyat disusul oleh gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dengan menggunakan rahangnya yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.Legenda ini sampai sekarang masih terkenal dikalangan orang-orang Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan benteng dari Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa meriam, penjelmaan abang Putri Hijau, dapat dilihat di halaman Isatana Maymoon, Medan. Kota Medan di Provinsi Sumatera Utara memiliki sekitar 600-an bangunan bersejarah berusia rata-rata lebih dari 100 tahun yang berdiri seiring sejarah perjalanan kota ini. Bangunan-bangunan bersejarah tersebut tinggalan kolonial Belanda tersebut terkait dengan aktivitas perkebunan tembakau Deli yang produknya sangat terkenal di dunia pada masanya. Berkat estetika arsitekturalnya, Kota Medan dahulu dikenal sebagai sebuah kota dengan citra Parijs van Sumatra. Dalam perkembangan pembangunan Kota Medan selanjutnya, khususnya masa Orde Baru dan orde reformasi yang menetapkan desentralisasi melalui otonomi daerah di tingkat kota/kabupaten dengan semangat pendapatan asli daerah (PAD)-nya, banyak bangunan bersejarah yang dihancurkan dan digantikan oleh bangunan baru dengan fungsi baru pula. Fungsi menjadi utama dan bentuk bangunan yang mengikuti fungsinya (form-followsfunction). Hal ini disebabkan oleh lokasi bangunan bersejarah tersebut berada di tempat yang strategis dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Upaya perlindungan terhadap bangunan bersejarah di Kota Medan sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan dengan menerbitkan Perda Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah, Arsitektur, Kepurbakalaan, serta Penghijauan dalam Daerah Kota Medan. Namun, Perda hanya mencantumkan 42 bangunan yang dilindungi. Ironisnya, tiga di antaranya sudah dihancurkan. Sementara puluhan bangunan bersejarah yang tidak dilindungi oleh Perda juga sudah dihancurkan. Misalnya adalah eks Mega Eltra (2002), eks Bank Modern (2004), dan Kompleks Perkantoran Perusahaan Perkebunan Sipef (2004).

Sebagai reaksinya, masyarakat melakukan perlawanan dengan dukungan masyarakat sipil dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, khususnya BWS, sehingga terjadi perang posisi pemerintah melawan perang manuver masyarakat. Dalam perlawanannya, masyarakat mengusung isu-isu pelestarian lewat konservasi dan pengembangan pariwisata yang selama ini diabaikan oleh pemerintah. Dalam konteks makro, peran kebudayaan pada masyarakat global ditandai dengan lahirnya kekuatan masyarakat sipil yang dikenal dengan peristiwa Battle of Seattle pada tahun 1999 (Perlas, 2000). Kondisi sosial manusia kini ditentukan oleh tiga pilar di mana peran serta masyarakat sebagai pemilik kebudayaan harus diwujudkan. Kota Medan secara keseluruhan merupakan kawasan (pari)wisata kota berbasis bangunan bersejarah. Kawasan-kawasan yang dibangun oleh pemeirntah kolonial Belanda diisi oleh bangunan-bangunan bersejarah yang berfungsi sebagai penanda kawasan. Namun, dewasa ini fungsi kawasan beserta bangunannya sudah banyak yang berubah. Spesifikasinya yang berbasis bangunan bersejarah justru mengalami pengabaian di balik gencarnya diskursus modernitas pembangunan. Proses modernisasi Kota Medan melalui pembangunan yang kapitalistik menyebabkan Kota Medan mengalami komodifikasi yang mengancam pusaka budaya dan pengembangan pariwisata. Sebagaimana dikatakan oleh Barker (2004: 408), komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas dan komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar. Sementara kapitalisme melanggengkan hegemoni.

B. TEBING TINGGI

Kota Tebing Tinggi adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sumatra Utara. Jarak dari Kota Medan ±80 km. Umumnya transportasi darat saja yang dapat digunakan untuk dapat menuju kota tersebut jika bertolak dari Kota Medan. Luas wilayahnya 31 km² dan penduduk berjumlah 125.000 jiwa. Lokasi dan Keadaan Geografis Menurut Data Badan Informasi dan Komunikasi Sumatera Utara, Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan kota dari 29 Kabupaten / Kota di Sumatera Utara berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan (Ibukota Provinsi Sumatera Utara) serta terletak pada lintas utama Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah Sumatera melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Parapat, Balige, dan Siborong – Borong. Kota Tebing tinggi terletak di antara 30.16° - 30.22° Lintang Utara dan 99.07° - 99.011° Bujur Timur Kira - kira seratus tiga puluh enam (136) tahun yang lalu Kota Tebing Tinggi sudah didiami suku bangsa Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari arsip lama, dimana dalam catatan tersebut dinyatakan Tebing Tinggi telah menjadi tempat permukiman, tepatnya pada tahun 1864. Dari cerita - cerita rakyat yang dikisahkan dari orang - orang tua, dari sebuah Bandar si Simalungun berangkatlah seorang tua yang bergelar Datuk Bandar Kajum, meninggalkan kampung halamannya yang diikuti oleh beberapa penggawa dan inang pengasuhnya melalui Kerajaan Pajang menuju Asahan. Dalam perjalanan ini tibalah di sebuah desa yang pertama dikunjunginya yang bernama Desa Tanjung Marulak yang sekarang manjadi Perkebunan PNP 3 Kebun Rambutan. Setelah beberapa tahun Datuk Bandar Kajum tinggal di Desa Tanjung Marulak, dikarenakan kelihaian Kolonialis Belanda dengan politik pecah belahnya maka timbul sengketa dengan Kerajaan Raya, yang berdekatan dengan Kerajaan Padang yang terletak disebelah selatan, dan sengketa ini akhirnya meluas menjadi perang saudara. Untuk mempertahankan serangan ini Datuk Bandar Kajum berhasil mencari tempat di sebuah dataran tinggi di tepi Sungai Padang, disinilah dia membangun kampung yang dipagari dengan benteng - benteng pertahanan. Kampung inilah yang disebut sekarang Kampung Tebing Tinggi Lama. Kampung tersebut kemudian berkembang menjadi tempat permukiman sebagai asal usul Kota Tebing Tinggi. Pada tahun 1887 oleh Pemerintah Hindia Belanda, Tebing Tinggi ditetapkan sebagai Kota Pemerintahan dimana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang berlokasi di sekitar Kota Tebing Tinggi ( hinterland ). Menjelang persiapan Tebing Tinggi menjadi Kota Otonom, maka dalam melaksanakan roda pemerintahannya pada tahun 1904 didirikan sebuah Badan Pemerintahan yang bernama Plaatselijkke Fonds oleh Cultuur Soematra Timoer. Dalam Perundang - undangan yang berlaku pada Desentralisasiewet yang ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1903 ( yang untuk selanjutnya dapat disebut Daerah Otonom Kota Kecil Tebing Tinggi oleh Pemerintah Hindia Belanda, Pemerintah Kota Tebing Tinggi ditetapkan sebagai Daerah Otonom dengan sistem Disentralisasi ). Pada tahun 1910 sebelum dilaksanakannya ZelfBestuur Padang ( Kerajaan Padang ) maka telah dibuat titik " Pole Growth " yaitu Pusat perkembangan Kota sebagai jarak ukur antara Kota Tebing Tinggi dengan kota - kota disekitarnya. Patok Pole Growth tersebut terletak di tengah - tengah Taman Bunga di lokasi Rumah Sakit Umum Herna

Tebing Tinggi. Untuk menunjang jalannya roda pemerintahan maka diadakan kutipan kutipan berupa Cukai Pekan, Iuran Penerangan dan lain - lain yang pada saat itu dapat berjalan dengan baik. Pada masa Kota Tebing Tinggi menjadi Kota Otonom maka untuk melaksanakan Pemerintahan selanjutnya dibentuk Badan Gementeraad Tebing Tinggi, yang beranggotakan 9 orang dengan komposisi 5 orang bangsa Eropa, 3 orang bumiputra dan 1 orang bangsa timur asing. Hal ini didasarkan kepada Akte Perjanjian Pemerintah Belanda dengan Sultan Deli, bahwa dalam lingkungan zelfbestuur didudukan orang asing Eropa yang disamakan ditambah dengan orang - orang timur asing. Dengan adanya perbedaan golongan penduduk dalam penguasaan tanah, juga terdapat perbedaan hak yang mengaturnya. Untuk melaksanakan pengkutipan yang disebut setoran Retribusi dan Pajak Daerah, diangkatlah pada waktu itu Penghulu Pekan. Tugas Penghulu Pekan ini juga termasuk menyampaikan perintah - perintah atau kewajiban - kewajiban kepada rakyat kota. Selanjutnya Kota Tebing Tinggi sebagai Kota Otonom dapat juga dibaca dari tulisan J.J Mendelaar dalam " Nota Bertrefende Degemente Tebing Tinggi " yang dibuat sekitar bulan Juli 1930. Dalam salah satu bab dalam tulisan tersebut dinyatakan setelah beberapa tahun dalam keadaan vakum mengenai perluasan pelaksanaan desentralisasi maka pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Desentralisasiewet berdirilah Gemente Tebing Tinggi dengan Sterling Ordanitie Van Statblaad yang berlaku sejak 1 Juli 1917. . MAKA TANGGAL 1 JULI MERUPAKAN HARI JADI KOTA TEBING TINGGI . Pada masa pendudukan Jepang pelaksanaan pemerintahan di Tebing Tinggi tidak lagi dilaksanakan oleh Dewan Kota yang bernama Gementeeraad. Oleh Pemerintah Jepang digantikan dengan nama Dewan gementee Kota Tebing Tinggi. Menjelang Proklamasi ( masih pada masa pendudukan Jepang ) pemerintahan di Kota Tebing Tinggi tidak berjalan dengan baik. Pada tanggal 20 Nopember 1945, Dewan Kota disusun kembali dalam formasi keanggotaannya sudah mengalami banyak kemajuan, para anggota Dewan Kota terdiri dari pemuka masyarakat dan anggota Komite Nasional Daerah. Dewan Kota ini juga tidak berjalan lama karena pada tanggal 13 Desember 1945 terjadi pertempuran dengan militer Jepang dan sampai sekarang terkenal dengan Peristiwa Berdarah 13 Desember 1945 yang diperingati oleh seluruh masyarakat Kota Tebing Tinggi setiap tahunnya. Kemudian pada tanggal 17 Mei 1946 oleh Gubernur Sumatera Utara diterbitkan suatu Keputusan Nomor 103 tentang Pembentukan Dewan Kota Tebing Tinggi yang disempurnakan kembali dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat, walaupun pada masa itu Ketua Dewan dirangkap oleh Bupati Deli Serdang. Ketika masa Agresi Pertama Belanda yang dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947 Dewan Kota Tebing Tinggi dibekukan, demikian pula pada masa berdirinya Negara Sumatera Timur, Kota Tebing Tinggi tidak mempunyai Dewan Kota untuk melaksanakan tugas pemerintahannya. Peraturan Pemerintah Kota pada masa Republik Indonesia Serikat, Dewan Kota dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950 namun dalam proses pelaksanaannya Panitia Pemilihan belum sempat melaksanakan tugasnya Peraturan Pemerintah tersebut telah dibatalkan.

Menurut Undang - undang Nomor 1 Tahun 1957 pemerintahan di daerah Kota Tebing Tinggi menganut azas otonomi daerah yang seluas - luasnya dan dalam Undang - undang tersebut Daerah Kota Tebing Tinggi berhak mempunyai DPRD yang diambil dari hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Dapat dilihat berdasarkan Undang - undang Daerurat 1956 DPRD Peralihan Kota Tebing Tinggi hanya mempunyai 10 orang anggota. Setelah dikeluarkannya Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok Pemerintahan Di daerah, pelaksanaan pemerintahan di Kota Tebing Tinggi sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan pada masa sebelumnya dimana pemerintah daerah telah mempunyai perangkat yang cukup baik. Sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam melaksanakan dan menjalankan roda pemerintahannya ternyata banyak mengalami hambatan oleh karena keterbatasan yang dialami daerah dalam mendukung pengadaan fasilitas - fasilitas yang dibutuhkan. Pada tahun 1980 Presiden Republik Indonesia menganugerahkan tanda kehormatan " Prasamya Purna Karya Nugraha " kepada Kotamadya Tingkat II Tebing Tinggi sebagai penghargaan tertinggi atas hasil kerja yang telah dicapai dalam pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun Kedua yang dinilai telah memberikan kontribusi dalam pembangunan Negara Republik Indonesia

C. JAKARTA

Oleh A.Heuken (Dalam rangka menyambut ultah Jakarta ke 470) Awal mula berdirinya beberapa kerajaan dan kota besar di bumi ini diliputi mitos. Kekosongan data sejarah diisi dengan cerita legendaris. Demikian halnya dengan Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Remus, kakak-beradik yang dibesarkan oleh seekor serigala. Demikian juga diceritakan tentang negeri Matahari Terbit yang dikaitkan dengan keturunan dewi matahari, yang sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang. Menimbulkan polemik Rupanya mitos semacam ini meliputi pula asal usul atau lahirnya Kota Jakarta, ibu kota tertua dari semua negara di Asia Tenggara, walaupun belum begitu tua jika dibandingkan dengan kota seperti Kyoto dan Thang-Long atau Hanoi umpamanya. Kalau demikian, atas dasar apa warga Jakarta merayakan hari jadinya yang ke-470 pada tahun ini? Sejarawan Abdurrachman Suryomomihardjo mengomentari keputusan Walikota Jakarta Sudiro (1953 - 1958) tentang hari jadi Jakarta sebagai "kemenangan Sudiro" yang berlandaskan "kemenangan Fatahillah" yang pastinya tidak kita ketahui. Pada tahun '50-an perdebatan tentang asal usul Jakarta memuncak dalam perang pena dua mahaguru, yaitu Dr. Soekanto dan Dr. Hussein Djajadiningrat. Polemik ini pun sudah menjadi sejarah yang dilupakan oleh sebagian besar penghuni Jakarta, yang dibuai terus dengan karangankarangan resmi yang menampakkan asal usul ibu kota dengan begitu gamblang. Namun

belum begitu lama Dr. Slametmulyana masih berpegang pada tesis bahwa nama Ja(ya)karta diturunkan dari nama adipatinya yang ketiga, yaitu Pangeran Jayawikarta, yang membela kotanya terhadap J.P. Coen, pendiri Batavia (1619), namun dikalahkan oleh saingannya dari Banten. Di balik berbagai teori yang kurang pasti ini apa yang pasti? Apa yang terbukti? Pertama, dokumen-dokumen tertua menyebutkan suatu permukiman di mulut Ciliwung bukan dengan nama Ja(ya)karta, melainkan Sunda Calapa. Dokumen tertua yang menyebut nama ini adalah Summa Oriental karangan Tome Pires, yang memuat laporan kunjungannya dari tahun 1512/15. Apakah Ma Huan, penulis laporan pelayaran armada Laksamana ZhengHo, yang kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad XV, mengenal Chia liupa (atau Calapa) belum dapat dipastikan kebenarannya. Direbut pasukan Cirebon Sebutan Sunda Calapa dipakai terus sampai pertengahan abad XVI (misalnya oleh A. Nunez, Lyro do pesos Ymdia, 1554) dan dimuat pada peta-peta Asia sampai awal abad XVII. Nama Ja(ya)karta untuk pertama kalinya disebutkan dalam suatu dokumen tertulis, yang berasal dari sekitar tahun 1553, yakni dalam karangan sejarawan Barros, yang berjudul Da Asia: Pulau Sunda adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka, (Cimanuk) Chiamo di ujung pulau ini, Xacatara dengan nama lain (Karawang) Caravam, (Xacatara por outro nome Caravam), (Tangerang) Tangaram, (Cigede) Cheguide, (Pontang) Pontang dan (Banten) Bintam. Inilah tempattempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra .... (Barros, Da Asia decada IV, liv. 1, Cap XII, hlm. 77) . Jao de Barros (1496 1570) bekerja di Casa da India (1532 -1568) di Lisabon, tempat segala laporan dari Asia diterima dan diarsipkan. Meskipun karangannya tentang Asia Tenggara dari tahun 1553 menunjukkan keadaan yang sedikit lebih tua, kita tidak tahu persisnya dari tahun berapa. Karena itu nama Ja(ya)karta (dalam segala ejaannya) tidak terdokumentasi sebelum tahun 1550. Dokumen Indonesia pertama yang memakai sebutan "Jakarta" tidak mungkin berasal dari sebelum tahun 1602. Dokumen ini merupakan suatu "piagam" dari Banten, yang ditemukan van der Tuuk (1870). Meski demikian, nama Sunda Calapa tetap dipergunakan juga sampai akhir abad XVI, bahkan dalam berita pelayaran Belanda dari akhir abad itu. Walaupun tidak dapat diketahui dari sumber sezaman, kapan pelabuhan di mulut S. Ciliwung itu berganti nama dan mungkin juga penduduknya, bisa dipastikan dari berbagai sumber Portugis (misalnya J. de Barros, F.L. Castaheda, G. Correa), yaitu pada akhir tahun 1526 atau awal 1527. Sunda Calapa direbut dari kekuasaan kerajaan Hindu Sunda oleh pasukan Islam dari Cirebon. Awak kapal Portugis yang dipimpin D. de Coelho dan terdampar di Pantai Sunda Calapa dibunuh dan dipukul mundur oleh penguasa baru . Maka, 470 tahun yang lalu pasti terjadi perubahan besar di daerah yang sekarang disebut "Kota". Sunda Calapa (sampai 1526/27) maupun Jayakarta (1527 - 1619) terletak di sebelah selatan suatu garis yang dibentuk oleh rel kereta api dan jalan tol baru sedikit di sebelah utara Hotel Omni Batavia sekarang. Maka pasukan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati sebagai sekutu (atau bawahan?) Kesultanan Demak mendarat di pantai yang terbentang kurang lebih pada garis tersebut. Mungkin juga ia menyerang Sunda Calapa melewati daratan dari arah Marunda. Hal ini agak sulit, karena pada zaman itu daerah antara Marunda dan Kota masih penuh hutan lebat serta rawa-rawa yang banyak buayanya. Mitos, legenda, atau hanya cerita? Masalah siapa yang memimpin tentara koalisi Cirebon-Demak-Banten melawan raja Pajajaran belum terpecahkan dengan tuntas. Rupanya hal ini tidak mungkin terungkap, karena dokumen sejarah dari masa itu tidak ada, baik yang berbentuk tulisan maupun benda sejarah. Nilai sejarah cerita Purwaka Tjaruban Nagari, yang pengarangnya menyebut diri

Pangeran Aria Tjarbon masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Naskah dari sekitar tahun 1720 ini telah beredar sejak awal abad XIX di luar lingkungan Keraton Cirebon. Belum ada edisi kritis dari naskah penting ini, apalagi mengenai kitab sumbernya, yang disebutkan pada halaman terakhir yakni naskah Negarakertabumi. Purwaka Tjaruban Nagari bukan dokumen dari zaman Jakarta didirikan, maka pengetahuan tentang sumbernya penting. Selain itu naskah ini penuh cerita ajaib dan bagian-bagian yang memperlihatkan kepentingan pihak Cirebon pada waktu itu. Atas dasar yang secara halus dapat disebut ketidakpastian itu dibangun suatu sejarah tentang tokoh "pendiri" Jakarta, yaitu Fatahillah. Keberadaan dan peran penting seseorang yang muncul dalam aneka sumber sejarah sebagai Tagaril, Fadilah Khan, Falatehan atau Fatahillah, tak dapat disangsikan. Namun identitas dan kegiatan tokoh dari Pasai (Sumatra Utara) itu belum jelas betul. Karangan dan seminar sejarawan Indonesia dan luar negeri masih tetap bergumul tentang siapakah Fatahillah, orang Gujarat keturunan Arab itu. Mengingat keadaan sumber-sumber sejarah yang sulit ditemukan, bahkan harus dikatakan hampir nihil, maka pada awal berdirinya Kota yang dinamai Jayakarta itu akan tetap diliputi kabut, sehingga mitos dengan leluasa dapat berkembang, dipelihara, bahkan diresmikan. Nasib ini memang bukan hanya khas Jakarta. Memang sejarah yang kritis kadang kala menyajikan kejadian historis sebagai peristiwa yang bercorak agak biasa, sedangkan mitos, legenda, dan cerita dengan leluasa dapat membakar imajinasi dan semangat. Tetapi ini bukan maksud sejarah yang ingin mengenal kenyataan dan menafsirkannya. Apakah menginjak abad XXI ini orang akan puas dengan mitos ataukah mereka ingin mengetahui kebenaran? Kapankah akan terbit sejarah Jakarta yang kritis? Apakah sudah waktunya? Sudah mungkinkah dengan mengingat nasib aneka buku kritis yang muncul akhir-akhir ini? Jakarta yang merayakan hari ulang tahun ke-470 sepantasnya memiliki kajian sejarahnya, yang realistis serta ilmiah. Walaupun masa awal dan sejarah berikutnya akan tampak agak biasa, sejarah seperti ini diperlukan untuk membangun suatu rasa memiliki warga kota pada pergantian abad ini yang tidak lama lagi akan berlangsung. Mitos dan legenda tetap berfungsi, namun tidak memadai sebagai landasan pembangunan masa depan suatu masyarakat yang peduli pada nasib kotanya dan peninggalan-peninggalan sejarahnya.

ASAL - USUL KOTA MENURUT PERTAMBANGANNYA A. SANGATTA Kota Sangatta adalah ibukota Kabupaten Kutai Timur, kota yang mempunyai slogan “Kota Tercinta”. Meski kecil dan jauh dari kota-kota lain di Kaltim, tapi kota ini tetap menyenangkan terutama bagi yang suka menyendiri.. he he he… Kota terdekat adalah Bontang yang berjarak 60km jalur darat atau sekitar 1 jam perjalanan. Penduduk kota ini umumnya adalah kaum pendatang yang berasal dari Jawa, Sulawesi, Ambon, Flores dll. Sementara masyarakat lokal Sangatta sendiri nampaknya kurangdominan. Masyarakat Sangatta umumnya bekerja sebagai petani kebun, sebagian sebagai karyawan terutama perusahaan-perusahaan tambang dan kontraktornya. Selain itu sektor perdagangan juga ramai terutama yang berkaitan dengan sembako, untuk yang bergerak dibidang sandang kurang berkembang karena umumnya masayarakat Sangatta lebih memilih keluar kota untuk berbelanja sandang. Banyak orang bilang bahwa kota ini adalah kota tambang, artinya bila hasil tambang di daerah ini habis, maka kota ini akan sama halnya dengan kota mati. Namun demikian melihat pesatnya perkembangan kota Sangatta, minimal selama 3 tahun terakhir yang saya amati, kota ini akan tetap bisa eksis meski tambang sudah tidak beroperasi lagi disini. Usaha yang lumayan ulet oleh pemerintah daerah Kutai Timur menunjukkan suatu kesungguhan komitmen untuk membangun, dan menjadikan kota ini tidak tergantung pada sektor pertambangan saja. Sangatta memang terlalu kecil untuk ukuran sebuah kota jika dibandingkan kota-kota yang ada di Jawa, namun demikian kota ini merupakan tujuan untuk mengadu nasib masyarakat dari kota lain di Kalimantan Timur, bahkan dari luar pulau. Konon, Upah Minimum Regional di kota ini lebih besar dari Upah Minimum Propinsi Kalimantan Timur, mungkin ini yang menjadi daya tarik tersenidiri bagi masyarakat dari kota lain di Kaltim seperti Samarinda, Bontang atau Balikpapan untuk untuk mengais rizki di kota kecil ini. Pembangunan yang terus dilakukan, dari membuka hutan belantara menjadi sebuah desa kecil dan sekarang lebih menyerupai kota ini banyak mendapat dukungan baik dari pemerintah Kalimantan Timur sendiri maupun dari para investor yang beroperasi di Wilayah Sangatta dan sekitarnya. Sektor wisata juga tidak ketinggalan mendapat perhatian, Taman Nasional Kutai, Teluk Lombok, Pantai Sekrat menjadi andalan utama. Kota Sangatta sendiri dikenal ada 3 kelompok daerah, yaitu: Sangatta Lama, Sangtta Sebrang dan Sangatta Baru. Dari namanya, saya sendiri cenderung mendefinisikan Sangatta Lama

sebagai Sangatta yang pertama kali muncul dan dihuni oleh penduduk asli, kawasan tepi selatan kota Sangatta sekarang. Sangatta Sebrang adalah kawasan yang berseberangan dengan Sangatta Lama, tumbuh dan perkembang karena proyek ekplorasi migas oleh Pertamina. Sedangkan Kawasan Sangatta Baru adalah kawasan Sangatta bagian utara, biasanya disebut kawasan Swarga Bara. Sangatta baru tumbuh dan berkembang dipicu karena keberadaan tambang PT. KPC sejak awal tahun 1980-an. Seriring dengan pesatnya perkembangan kota Sangatta, Bengalon yang teletak 60km dari Sangatta juga mengalami kemajuan pesat dalam 2 tahun terakhir. Bengalon sendiri dulunya adalah sebuah kecamatan yang terpencil di Kabupaten Kutai Timur, namun sekarang akses menuju Bengalon sudah sedemikian bagus sehingga hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mencapainya dari Sangatta. Bicara mengenai Bengalon, rupanya perkembangan desa kecil ini karena adanya aktivitas penambangan batubara milik KPC yang dilakukan oleh PT. Darma Henwa (Henry Walker Eltin) yang dimulai sejak awal 2006. Rencana proyek selama 10 tahun ini membawa dampak positf bagi warga disekitar Bengalon.

Related Documents

Tugas Geografi
May 2020 9
Tugas Geografi
July 2020 12
Tugas Geografi Cuaca.doc
November 2019 18
Tugas Geografi Cuaca.doc
November 2019 19