Tugas Gadar 1 Fix.docx

  • Uploaded by: Vero Wenigaty
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Gadar 1 Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,359
  • Pages: 37
LUKA DAN MANAJEMEN CEDERA DALAM KONDISI KGD DAN STABILISASI, MOBILISASI, DAN TRANSPORTASI

KELOMPOK V ADRI DEWI

R011181712

BULKIS WULANDARI

R011181731

HAIRUN R.

R011181733

VERONIKA L WENIGATY

R011181724

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN F A K U L T A S KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019

1. LUKA A. Definisi Luka adalah terganggunya (disruption) integritas normal dari kulit dan jaringan di bawahnya yang terjadi secara tiba-tiba atau disengaja, tertutup atau terbuka, bersih atau terkontaminasi, superfisial atau dalam. (Koiner dan Taylan). Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan. (R. Sjamsu Hidayat, 1997) B. JenisLuka Kita dapat membagi luka dalam berbagai cara yaitu : 1. Dalam hal ini kita dapat melihat dari segi rusak-tidaknya jaringan yang ada pada permukaan yaitu: a. Luka tertutup Luka tertutup adalah luka dimana jaringan yang ada pada permukaan tidak rusak. Misalnya keseleo atau terkilir b. Luka terbuka Luka terbuka adalah luka yang dimana kulit atau jaringan selaput lendir rusak. c. luka berdasarkan sebab terjadinya terdiri dari : 1. Luka abrasi Luka abrasi terjadi jika permukaan kulit bergesekan dengan permukaan yang keras seperti kerikil, aspal atau benda asing lainnya. 2. Abses Luka abses terjadi ketika nanah tidak dapat keluar dari kulit. Infeksi dapat timbul dari dari inokulasi karena gigitan serangga atau sengatan, luka tusuk, folikel rambut yang terinfeksi, atau luka yang telah didtutup tanpa drainase yang sempurna. 3. Avulsi

Luka avulsi dapat menyebabkan kulit terkupas dan terpisah dari jaringan di bawahnya. Kulit yang terkupas dapat mengganggu aliran darah ke area tersebut dan dapat menyebabkan kematian jaringan lebih lanjut. Avulsi dapat terjadi pada area distal atau area proximal. Avulsi yang terjadi pada area proximal umumnya memiliki sirkulasi yang lebih baik. Akan tetapi, jika tepi luka tampak abu-abu atau kehitaman, kemungkinan aliran darah ke bagian tersebut mengalami gangguan. Sebuah avulsi disebut degloving jika kulit terpisah seluruhnya dengan jaringan di bawahnya. Degloving biasanya terjadi pada tangan atau kaki. Namun, kejadian degloving pada kulit kepala dapat terjadi. 4. Luka Memar Luka memar terjadi karena adanya trauma tumpul yang menyebabkan extravasase darah ke dalam jaringan

subcutan. Sehingga permukaan kulit

akan tampak berwarna hitam dan biru. 5. Subungual Hematoma Luka ini terjadi saat jari mendapat tekanan langsung yang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah sehingga darah terkumpul di bawah kuku dan kuku akan tampak hitam atau biru. 6. Luka Insisi dan Laserasi Luka insisi timbul jika jaringan teriris benda tajam, misalnya pisau bedah, pisau dapur, tepi logam atau kaca. Lain halnya dengan luka laserasi. Luka laserasi timbul karena adanya benturan benda tumpul yang menyebabkan jaringan robek atau hancur. 7. Luka Tusuk Luka tusuk terjadi saat benda tajam menembus kulit. Peluru/misil, paku, kaca, dan pin merupakan penyebab luka tusuk yang umum. 8. Ulkus -

Luka Tekan Luka tekan adalah kerusakan kulit dan jaringan di bawahnya yang disebabkan oleh penekanan antara tonjolan tulang dan permukaan eksternal.

-

Ulkus Vena

Ulkus vena terjadi pada kulit dan jaringan lainnya pada kaki. Penyebabnya adalah ketidakcukupan aliran vena kronis, umur dan mobilitas yang terbatas. -

Ulkus Kaki Diabetik Ulkus kaki diabetik terjadi karena adanya gangguan saraf pada sebagian besar penderita diabetes dan menyebabkan kehilangan sensasi nyeri terhadap cedera. Jika tidak sembuh, luka ini bisa berujung dengan tindakan amputasi.

9. Luka Gigitan Semua luka gigit karena hewan atau manusia bisa menyebabkan bakteri masuk ke dalam luka sehingga bisa mengakibatkan infeksi. Pasien dengan luka gigitan biasanya membutuhkan profilaksis infeksi seperti hepatitis atau rabies. Misallnya luka gigitan anjing dan gigitan kucing. 10. Luka bakar Luka bakar disebabkan karena permukaan kulit terpajan dengan panas, zat kimia, listrik dan radiasi, juga karena inhalasi panas atau asap. d. Luka berdasarkan waktu penyembuhan meliputi : a. Luka akut : Luka akut: luka yang sifatnya tiba-tiba dan tidak dapat dicegah. Sembuh dalam waktu 2-3 minggu atau sesuai dengan konsep penyembuha yang telah disepakati. b. Luka kronik: luka yang sifatnya lambat laun, luka akut yang tidak tertangani dengan baik sehingga gagal atau terlambat mencapai proses penyembuhan. Biasanya disebabkan oleh faktor eksogen dan endogen. C. Penyembuhan luka Penyembuhan luka terjadi segera setelah cedera. Vasodilatasi menyebabkan kemerahan dan edema di bawah lapisan epitel yang meningkatkan perpindahan sel epitel dalam waktu 24 jam ke area cedera. Setelah itu fibrin, selanjutnya kolagen alkan menempel pada area cedera. Epitelisasi menutup luka dalam waktu 48 sampai 72 jam jika tepi luka pada area cedera utuh dan tidak ada infeksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuha luka adalah: - Status gizi buruk - Gangguan aliran darah

- Obat-obatan - Luka di kaki atau jemari kaki - Usia - Kadar oksigen jaringan rendah D. Pengkajian luka Pengkajian menyeluruh terhadap luka dan kondisi di sekitar luka. a. Apakah terjadi penurunan fungsi pada anggota gerak pasien akibat sepsis, infeksi dan alergi? b. Apa yang menyebabkan cedera? Bagaimana mekanisme cedera? c. Kapan cedera terjadi? Di mana pasien pada saat itu? d. Di mana lokasi luka? Bagaimana kondisi lkulit dan jaringan sekitarnya? e. Apakah fungsi motorik, sensorik dan perfusi pada distal luka baik? f. Apakah tepi luka utuh? g. Amati warna luka h. Berapa usia dan apa pekerjaan pasien? i. Evaluasi semua luka terkait adanya benda asing E. Penatalaksanaan Kedaruratan a. Jepit atau cukur rambut di sekitar luka (kecuali bulu mata) hanya jika perlu (hal ini dilakukan bila diantisipasi bahwa rambut akan mengganggu penutupan luka). b. Bersihkan sekeliling luka dengan zat yang diresepkan. Jangan sampai cairan pembersih masuk ke luka; ini dapat mencederai jaringan terpajan. c. Area luka diinfiltrasi dengan anestetik intradermal local melalui marjin luka atau dengan blok regional (pasien dengan cedera jaringan lunak biasanya merasa nyeri local pada daerah yang luka). d. Bantu dokter pada saat membersihkan luka dan melakukan debridement pada luka. e. Irigasi dengan perlahan dan gunakan cairan isotonik steril untuk membuang kotoran di permukaan. f. Buang jaringan mati dan benda asing lain. Materi ini merusak kemampuan luka untuk melawan infeksi. g. Klem dan ikat pembuluh kecil yang mengalami perdarahan, atau lakukan hemostasi dengan jahitan.

h. Jahit luka (biasanya dilakukan oleh dokter) jika penutupan utama diindikasikan. Jahitan bergantung pada keadaan luka, waktu selama cedera berlangsung, derajat kontaminasi, dan vaskularisasi jaringan. i. Lemak subkutan disatukan dengan kendur menggunakan sedikit jahitan untuk menutup ruang mati. j. Lapisan subkutikular kemudian ditutup. j. Epidermis ditutup; jahitan ditempatkan dekat tepi luka dengan tepi kulit diratakan dengan hati-hati untuk meningkatkan penyembuhan optimal. k. Strip steril dari plester mikrofor dapat digunakan untuk luka luka superficial bersih tertutup. l. Pasang balutan non-adesif untuk melindungi luka. (balutan dapat bertindak sebagai bebat dan sebagai pengingat bagi pasien bahwa cedera masih ada). m. Pelambatan penutupan primer: -

Dapat digunakan kasa lapisan tipis (untuk menjamin drainase dan mencegah pengumpulan eksudat) ditutup dengan balutan oklusif. Pilihan lain adalah graft kulit ketebalan sebagian dari kulit kradaver atau xenograft babi karena ini merangsang funsi epitel.

-

Bebat luka dalam posisi istirahat untuk mencegah gerakan.

-

Luka ditutup (dengan menggunakan anestesi local) ketika tidak ada tanda supurasi.

-

Berikan

pengobatan

antimicrobial

sesuai

ketentuan.

(penggunaan

antibiotic bergantung pada factor bagaimana terjadinya cedera, umur luka, dan adanya potensi infeksi-tanah). -

Imobilisasi daerah luka jika terkontaminasi; tinggikan daerah luka untuk membatasi akumulasi cairan dalam ruang interstitial luka.

-

Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan, berdasarkan kondisi luka dan status imunisasi pasien.

-

Informasikan pasien untuk menghubungi dokter atau ke klinik bila ada nyeri tiba-tiba atau menetap, demam atau menggigil, perdarahan, pembengkakan cepat, bau tidak sedap, drainase, atau kemerahan disekitar luka.

F. Manajemen luka berdasarkan tipe luka a. Abrasi

Intervensi terapeutik meliputi: o Berikan penahan nyeri menggunakan anastesi topikal atau parenteral sebelum membersihkan luka, terutama pada luka yang luas atau terdapat benda asing yang masuk. o Bersihkan luka dengan irigasi dan gosok dengan lembut o Hilangkan semua benda asing o Berikan salep antibiotik dan balutan steril. b. Abses Intervensi terapeutik meliputi: o Berikan premedikasi analgetik o Suntikan anastesi lokal di sekitar abses untuk mengurangi nyeri o Gunakan pisau bedah untuk membuat sayatan pada kulit yang meregang untuk mengeringkan abses. Alirkan pus dan tekan tepi luka untuk mengeluarkan sisa nanah o Rawat rongga abses dengan kasa yang telah diberikan iodin. c. Avulsi Intervensi terapeutik meliputi: o Bersihakan, irigasi dan lakukan debridement jaringan mati o Hindari penggunaan lidocaine dan epinephrine karena bersifat vasokontriksi yang akan mengganggu suplai darah ke area luka o Kulit avulsi yang mengkerut atau terlipat dapat ditarik agar menutup seluruh luka dan kemudia dapat dijahit kembali kecuali ada kontraindikasi. d. Luka memar o Pemberian es, elevasia dan abalgesia sistemik menggunakan obat-obatan non steroid, antiinflamatory (NSAID). o Tidak diperluka balutan e. Subungual hematoma Intervensi terapeutik meliputi: o Perawatan awal dengan memberikan konpres dingin, elevasi dan analgesia untuk meminimalkan nyeri o Lakukan pemeriksaan radiografi jari untuk mengetahui ada tidaknya fraktur pada jari o Jika kuku utuh, perlu dibuat lubang di atas hematoma.

o Jika kuku terlepas, maka hematom dapat langsung di hilangkan tanpa pembuatan lubang. f. Luka insisi dan lasereasi Intervensi terapeutik meliputi: o Tentukan usia luka. o Anestesi luka. o Bersihkan luka dengan menggunakan irigasi. o Eksplorasi luka untuk mendeteksi adanya kerusakan pada tulang atau struktur lain. o Hilangkan semua benda asing. o Potong jaringan nekrotik. o Dekatkan antara tepi luka. Pertimbangkan metode penutupan luka. o Berikan balutan steril. g. Luka tusuk Intervensi terapeutik meliputi: o Pemeriksaan foto polos untuk semua luka tusuk yang terinfeksi dan yang dicurigai terdapat benda asing yang tertinggal. o Periksa lubang masuk luka dan eksplor luka untuk mencari kontaminan. o Lakukan irigasi dan bersihkan luka tusuk tanpa kontaminasi yang terjadi kurang dari 6 jam. o Penggunaan rutin antibiotik profilaksis tidak dianjurkan untuk luka tusuk sederhana pada individu sehat. o Semua luka tusuk dianggap rawan tetanus sehingga memerlukan vaksinasi profilaksis pada pasien dengan imunisasi tidak adekuat. o Amati komplikasi seperti selulitis, pembentukan abses, infeksi sendi atau osteomyelitis. h.

Luka ulkus o Ulkus vena Intervensi terapeutik meliputi:  Elevasi kaki.  Tingkatkan mobilisasi.  Tingakatkan nutrisi.

 Longgarkan pakaian yang berada di atas balut kompresi.  Balut kompresi 4 lapis (menggunakan balutan ini membutuhkan keahlian dan perlu dirujuk ke perawat atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi melakukan tindakan ini). o Ulkus kaki diabetik Intervensi terapeutik meliputi:  Identifikasi jaringan nekrotik abaru atau jaringan yang tidak sehat untuk dilakukan debridement.  Dokumentasi derajat neuropati dan mekanisme trauma.  Berikan antibiotik dan observasi ketat terhadap tanda-tanda infeksi pada luka,  Lakukan perawatan luka yang sesuai, penggunaan alas kaki yang sesuai, serta lakukan pengkajian luka.  Gunakan alat pelindung kaki saat berjalan seperti sendal atau sepatu.  Kontrol gula darah dapat mempercepat penyambuhan. i. Luka gigitan Intervensi terapeutik meliputi: o Dokumentasikan kondisi sekitar luka, tanda-tanda infeksi, penyebab gigitan, jumlah gigitan, tipe luka, lokasi dan kedalaman. o Kaji adanya kerusakan pada tulang, otot, tendon dan saraf. o Irigasi dan bersihkan luka untuk meminimalkan kontaminasi. o Pemberian profilaksis sesuai jenis gigitan jika diperlukan. 11. MANAJEMEN CEDERA DALAM KONDISI KEGAWATDARURATAN 1. Defenisi Cedera Kepala Proses dimana terjadi trauma lansung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak Gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul,trauma tajam (baticaca, 2008) 2. Patofisiologi 

Pukulan lansung

Dapat menyebabkankerusakan otak pada sisi pukulan atau pada sisi yang berlawananan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury) 

Rotasi (deselerasi) Fleksi,ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid) rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan dalam substansi putih otak dan batang otak menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.



Tabrakan



Peluru

3. Gambaran Klinis  Riwayat trauma langsung pada kepala atau deselerasi  Sakit kepala  Mual-muntah  Frekuensi nadi menurun  Peningkatan tekanan darah menunjukan edema serebral  Ketidaksimetrisan pupil atau refleks cahaya yang abnormal menunjukan perdarahan intrkranial 4.

Klasifikasi Cedera Kepala Cedera kepala dapat dibagi menjadi 3 kelompok 1.

2.

3.

Cedera kepala ringan a.

GCS > 13

b.

Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak

c.

Tidak memerlukan tindakan operasi

d.

Lama dirawat di rumah sakit < 48 jam

Cedera kepala sedang a.

GCS 9-13

b.

Ditemukan kelainan pada CT Scan otak

c.

Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial

d.

Dirawat dirumah sakit setidaknya 48 jam

Cedera Kepala Berat

a.

Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma nilai GCS < 9

b.

Hematome epidural

c.

Hemathome subdural

d.

Kontusio

e.

Perdarahan subaraknhoid

5. Pemeriksaan fisik pasien cedera kepala 1. Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan glasgow coma scale Pemeriksaan GCS oleh petugas kesehatan yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara mendetail tingkat kesadaran dengan tepat dan cara yang konsisten, GCS dihitung dari respon buka mata, respon verbal dan motorik pada pasien cedera kepala sebagai satu set ransangan sudah terstandar. 2. Pemeriksaan saraf kranial Selain mengkaji GCS, perawat juga harus mengkaji respon pupil dengan menggunakan sebuah penerangan dan cahaya yang terfokus. Petunjuk dalam pengkajian pupil tercantum dibawah ini : a) Pada kondisi normal pupil akan mengalami kontriksi ketika terekspos cahaya secara langsung b) Cahaya yang disorotkan pada satu pupil memyebabkan pupil lainya berkontriksi c) Tunggu minimal 10 detik diantara pengkajian salah satu mata untuk meeminimalkan respon konsensual d) Suatu pupil dilatasi menetap (pupil yang tidak berespon terhadap cahaya mengindikasikan keterlibatan saraf kranial ketiga dan kemungkinan herniaasi transtentorial e) Kedua pupil dilatasi menetap mengindikasikan cedera Brainstem berat dan kemungkinan kematian otak f) Pitosis (kelopak mata jatuh) mengindikasikan kerusakan saraf kranial

3. Foto polos kepala 4. CT Scan kepala adalah standar baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial, semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT Scan, sedangkan pasien dengan GCS 15, CT Scan hanya dilakukan dengan indikasi tertentu seperti : a) Nyeri kepala hebat

b) Adanya tanda-tanda fraktur basil cranial c) Adanya riwayat cedera yang berat d) Muntah lebih dari 1 kali e) Penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadara atau amnesia f) Kejang g) Riwayat gangguan vaskular atau menggunakan obat-obat antikoagulan h) Rasa baal pada tubuh gangguan keseimbangan berjalan 5. MRI adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT Scan kelainan yang tidak tampak pada CT Scan dapat dilihat oleh MRI, namun dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT Scan sehingga tidak sesuai dengan keadaan gawatdarurat 6. PET dan SPECT adalah Positron Emission Tomography dan single Photon Emission computer Tomography (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT Scan dan MRI dan pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan namun spesifitas pertemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan

7. Penatalaksanaan 1.

Survey Primer (Primary Survey) a.

Jalan napas: memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi,

daerah tulang

servikal harus di imobilisasi dalam posisi netral dengan menggunakan stiffnec collar, head Block dan diikSat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal b.

Pernapasan : pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot tambahan pernapasan

c.

Defisit Neurologis status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran,

ukuran

dan

reaksi

pupil,

tingkat

kesadaran

dapat

diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan neurologis yang berat seperti anak dengan GCS ≤ 8 harus di intubasi d.

Kontrol pemaparan/lingkungan

Semua pakian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat, anakanak sering datang dengan keadaadaan hipotermia ringan, sehingga pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan hingga 39 C)

2.

Survey Sekunder Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera, bila telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis selain itu pemakaian penyangga leher di indikasikan jika :

7.Manajemen pasien dengan cedera kepala 1. Airway a) Intubasi oral pasien dengan skor GCS 8 atau kurangh b) Pasang selang gastric oral untuk mendekompresi abdomen 2. Breathing a) Pertahankan Pao2 lebih dari 100 mmhg dan saturasi oksigen lebih dari 95% b) Pertahankan eukapnia (PaCO2 35-38 mmhg, karbondioksida merupakan vasodilator potensial dan akan menurunkan tekanan perfusi serebral c) Hindari hiperfentilasi walaupun terdapat tanda herniasi d) Pertimbangkan blokade neuromuscular untuk pasien yang mengalami kesulitan ventilasi 3. Circulation a) Pertahankan normovolemi. Jaga MAP antara 70-90 mmhg. Hipotensi harus dihindari karena berhubungan dengan penigkatan mortilitas pasien dengan cedera otak berat b) Pertahankan tekanan perfusi serebral lebih dari 70 mmHg (kateter tekanan intrakranial diperlukan untuk pemamntauan tekanan perfusi serebral) c) Kembalikan volume sesuai dengan kebutuhan dengan cairan isotonik dan produk darah d) Pasang kateter urine dengan mempertahankan haluaran urine 0,5 mg/kg/jam e) Jaga osmolalitas serum kurang dari 320 mOsm 4. Disability

a) Lakukan dan dokumentasikan pemeriksaan neurologi secara serial. Proses cedera sekunder dapat berkembang setiap jam, melalui pemeriksaan serial, perubahan kecil status mental dapat diobservasi. Intervensi dilakukan untuk mencegah perburukan lebih lanjut b) Dilatasi pupil unilateral merupakan salah satu dari tanda pertama herniasi yang akan segera terjadi 5. Pengurangan tekanan intrakranial a) Sediakan sedasi dan anlgesi b) Infus manitol 0,25-1 gram /kg secara bolus intermiten pada pasien dengan tanda herniasi akan terjadi segera atau penurunan skor GCS yang tidak berhubungan dengan penyebab ekstrakranial c) Pertahankan kepala netral posisi midline ( dagu dan umbilikus sejajar) d) Jaga kepala pasien elevasi 30 derajad kecuali dikontraindikasikan pada cedera spinal e) Lepaskan cervical collar secepatnya setelah dipastikan oleh dokter. Leher kaku menunjukan peningkatan tekanan intrakranial f) Minimalkan stimulasi eksternal dengan menjaga lampu dan meminimalkan kebisingan dan membatasi pengunjung g) Pertimbangkan pemberian medikasi nyeri dan sedasi sebelum melakukan suction h) Pertimbangkan blokade neuromuscular untuk pasien dengan peningkatan intrakranial yang tidak berespon terhadap pengobatan. 111.

STABILISASI,

MOBILISASI

DAN

TRANSPORTASI

KEGAWAT

DARURATAN 1.

Stabilisasi Stabilisasi pada pasien trauma paling baik dilaksanakan dengan cara pendekatan tim yang sudah mendapat pelatihan khusus.Staf unit gawat darurat harus mengetahui cara merawat pasien dengan trauma. Kematian pada pasien dengan trauma harus memiliki pola distribusi modal : 1. Puncak morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit pada saat injury. Beberapa pasien dapat terselamatkan karena melihat adanya tingkat keparahan cedera

2. Puncak morbiditas kedua bisa terjadi dalam hitungan menit atau jam setelah kejadian trauma. Adanya hematom intrakranial atau perdarahan yang tidak terkontrol dapat menimbulkan kematian pada periode ini. Perawatan yang diterima setelah satu jam pertama setelah cedera(golden period) sangatlah penting untuk kelangsungan hidup pada pasien trauma. 3. Puncak morbiditas ketiga dapat terjadisetelah beberapa hari atau beberapa minggu setelah trauma. Kematian ini terjadi bisa dikarenakan oleh adanya sepsis, kegagalan multi organ, atau komplikasi pernafasan. Jika pasien dapat bertahan hidup pada tingkat morbiditas pertama, bantuan dipastikan harus tiba tepat waktu. Untuk dapat meminimalkan kematian di puncak trimodal kedua sangatlah diperlukan sistem pra- rumah sakit yang responsif yang dapat mentransportasikan pasien dengan cepat, dengan memberikan tindakan stabilisasi pada penghentian dan membawa pasien kefasilitas yang lebih tepat yang mampu memberikan perawatn yang dibutuhkan, akan lebih baik lagi apabila dilakukan dalam “Golden Period”. The American College Of Surgeons seperti sistem trauma dibanyak negara lainnya telah mengembangkan sistem klasifikasi trauma yang membantu personil pra rumah sakit dalam menentukan fasilitas mana yang paling siap untuk menerima pasien tersebut. Dalam mengstabilisasi pasien trauma haruslah kita ketahui bagaiman pendekatan dan penanganan yang harus dilakukan, diantaranya : 1. Airway (diberikan dengan pertimbangan pada pasien dengan cedera tulang cervikal) 2. Breathing 3. Circulation/ sirkulasi 4. Exposure/ paparan dari pasien dan kontrol lingkungan 5. Full set vital sign/ tanda vital lengkap, data tambahan yang berfokus, dan kehadiran keluarga 6. Give comport measure/ berikan tindakan kenyamanan 7. History and head to toe assesment / riwayat dan penilaian head to toe 8. Inspect the posterior surface/ periksa bagian posterior

Penilaian Awal pasien trauma dibagi menjadi dua tahap yaitu: 1. Penilaian primer Kondisi yang berpotensi mengancam jiwa dan dapat ditangani dengan melalui evaluasi berurutan yaitu : 1. Airway : jalan nafas yang adekuat diperlukan untuk pernafasan dan sirkulasi, oleh karena itu penilaian dan perlindungan jalan nafas selalu penting 2. Breathing : untuk dapat bernafas secara efektif pasien harus mampu melakukan pertukaran gas di sepanjang jalan nafas. 3. Circulation : pertukaran gas yang berhungan erat dengan pernafasan d 4. Pat berjalan baik apabila sistem peredaran darah dapat mengedarkan gas tersebut. 5. Disability : perubahan besar dalam fungsi neurologis menunjukkan trauma neurologis yang signifikan 2. Penilaian sekunder Penilaian sekunder bukan merupakan pemeriksaan akhir , tindakan ini merupakan tindakan menyeluruh dari seluruh tubuh pasien secara cepat dari kepala sampai kaki. Berbeda dengan penilaian primer, temuan yang dicatat pada penilaian sekunder tidak segera di tangani. Temuan tersebut didokumentasikan

dan

kemudian

di

prioritaskan

untuk

penanganan

selanjutnya. Jika pasien mengalami masalah jalan nafas, pernafasan atau masalah sirkulasi pada saat dilakukan pemeriksaan sekunder, lakukan kembali penilaian primer dan lakukan penanganan sesuai indikasi. 2. Transportasi Pada umumnya dalam evakuasi korban gawat darurat transportasi dapat dilaksanakan melalui: 1. Darat Dengan ambulance 2. Udara Dengan helicopter atau pesawat terbang 3. Laut Dengan kapal laut untuk mengangkat korban gawat darurat

Prinsip evakuasi Korban diangkat oleh tiga orang atau three men lift, hal ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang terlatih. Artinya jika memungkinkan, lakukan pengangkatan korban dengan 3 orang yang terlatih untuk melakukan pengangkatan pada bagian: 1. Kepala & bahu 2. Pinggang 3. Ekstremitasi bawah Prinsip selama transportasi Selama evakuasi maka perlu diperhatikan implementasi prinsip-prinsip dibawah ini yaitu: 1. Monitoring A-B-C 2. Monitoring tanda-tanda vital 3. Monitoring kesadaran 4. Monitoring sekitar luka 5. Harus disertai personal & peralatan yang memadai 6. Pencatatan selama transportasi 7. Pemberian 02-tetap berlangsung 8. Pemberian cairan tetap berlangsung Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengangkat korban gawat darurat Kita perlu memperhatikan beberapa hal dalam mengangkat korban gawat darurat. Situasi ini perlu kita waspadai agar tidak dapat korban berikutnya serta tidak ada lagi penambahan luka baru pada korban. 1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita. 2. Nilailah beban yang akan diangkat secara bersama, dan bila merasa tidak mampu, jangan paksakan. Selalu komunikasi secara teratur dengan pasangan kita. 3. Ke-dua berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya. 4. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat. Punggung harus selalu dijaga lurus. 5. Tangan yang dipegang menghadap di depan. 6. Jarak antara kedua tangan yang memegang ( misalnya tandu ) minimal 30 cm. 7. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa, jarak maksimal tangan kita ke tubuh kita adalah 50 cm. 8. Jangan memutar tubuh saat mengangkat. 9. Hal-hal tersebut juga berlaku saat menarik atau mendorong korban gawat darurat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengangkat korban gawat darurat Pemindahan korban gawat darurat dapat secara emergensi dan non emergensi. Pemindahan korban gawat darurat dalam keadaan emergensi contohnya adalah: 1. Ada api, atau bahaya api, atau ledakan. 2. Ketidak-mampuan menjaga korban gawat darurat terhadap bahaya lain pada TKP ( benda jatuh dsb ). 3. Usaha mencapai korban gawat darurat lain, yang lebih urgen. 4. Ingin RJP korban gawat darurat, yang tidak mungkin dilakukan ditempat tersebut. Apapun cara pemindahan korban gawat darurat non emergensi, selalu ingat kemungkinan patah tulang leher ( servikal ) bila korban gawat darurat trauma. Pemindahan emergensi 1.

Tarikan Baju

Kedua tangan korban gawat darurat harus diikat untuk mencegah naik kea rah kepala waktu baju ditarik. Bila tidak sempat, masukkan kedua tangan dalam celananya sendiri. 2.

Tarik Selimut

Korban gawat darurat ditaruh dalam selimut, yang kemudian ditarik. 3.

Tarikan Lengan

Dari belakang korban gawat darurat, kedua lengan paramedic masuk di bawah ketiak korban gawat darurat, memegang kedua lengan bawah korban gawat darurat. 4.

Ekstrikasi Cepat

Dilakukan pada korban gawat darurat dalam kendaraan yang harus dikeluarkan secara cepat.

Pemindahan Non-Emergensi Dalam keadaan ini dapat dilakukan urutan pekerjaan normal, seperti control TKP, survai lingkungan, dan stabilisasi kendaraan. 1.

Pengangkatan dan pemindahan secara langsung

Oleh 2 atau 3 petugas. Harus diingat bahwa cara ini tidak boleh dilakukan bila ada kemungkinan fraktur servikal. Prinsip pengangkatan tetap harus dipindahkan. 2.

Pemindahan dan pengangakatan memakai serprei

Sering dilakukan di rumah sakit. Tidak boleh dilakukan bila ada dugaan fraktur servikal. Perlengkapan Untuk Memindahkan Korban Gawat Darurat. Beberapa perlengkapan untuk memindahkan korban gawat darurat seperti brangkar (wheeled stretcher), tandu sekop (scoop stretcher, orthopaedic stretcher), Long Spine Board, serta Short Spine Board dan KED (Kendrick Extrication Device). Berikut ini penjelasan perlengkapan tersebut. Brangkar (wheeled stercher) Hal-hal yang harus diperhatikan: 1. korban gawat darurat selalu diselimuti. 2. Kepada korban gawat darurat/keluarga selalu diterangkan tujuan perjalanan. 3. Korban gawat darurat sedapat-mungkin selalu dilakukan “strapping” (fikasi) sebelum pemindahan. 4. Brangkar berjalan dengak kaki korban gawat darurat di depan, kepala di belakang, supaya korban gawat darurat dapat melihat arah perjalan brangkar. Posisi ini dibalik bila akan naik tangga (jarang terjadi). Sewaktu dalam ambulan menjadi terbalik, kepala di depan (dekat pengemudi) supaya paramedic dapat bekerja (bila perlu intubasi dsb). Pada wanita in-partu, posisi dalam ambulan boleh dibalik , supaya paramedic dapat membantu pertus.

5. Jangan sekali-kali meninggalkan korban gawat darurat sendiri diatas brangkar. Korban gawat darurat mungkin berusaha membalik, yang berakibat berbakinya brangkar. 6. Selalu berjalan hati-hati.

Tandu sekop (scoop stretcher, orthopaedic stretcher) Alat yang sangat bermanfaat untuk pemindahan korban gawat darurat. Bila ada dugaan fraktur servikal, maka alat yang akan dipilih adalah LSB (Long Spine Board). Harus diingat bahwa tandu sekop bukan alat transportasi, dan hanya alat pemindahan. Waktu proses pengangkatan sebaiknya 4 petugas, masing-masing satu pada sisi tandu sekop, karena kemungkinan akan melengkung (alat ini mahal harganya, karena terbuat dari logam khusus).

Long Spine Board Sebenarnya bukan alat pemindahan, tetapi alat fiksasi, sekali korban gawat darurat di fiksasi atas LSB ini, tidak akan diturunkan lagi, sampai terbukti tidak ada fraktur servikal, karena itu harus terbuat dari bahan yang tidak mengganggu pemeriksaan ronsen. Pemindahan korban gawat darurat keatas LSB memerlukan teknik khusus yaitu memakai “log roll”. Setelah korban gawat darurat diatas LSB lalu dilakukan “strapping”, lalu LSB diletakkan diatas stretcher.

Short Spine Board dan KED (Kendrick Extrication Device) Short spine board dan KED sebenarnya lebih merupakan alat ekstrikasi. Setelah selesai ekstrikasi, tetap korban gawat darurat diletakkan pada alat pemindahan yang lain.

Permasalahan Dalam Evaluasi Evaluasi korban gawat darurat dapat dilakukan melalui darat, udara, ataupun laut atau sungai. Melalui darat dan laut tidak terlalu banyak masalah hanya waktu lebih lama. Melalui udara mempunyai masalah tersendiri yang harus dikuasai oleh tim kesehatan yang melakukannya. Sebelum melakukan evakuasi harus diperhatikan: kemungkinan korban harus dirujuk dan cara transportasinya. Korban-korban yang biasanya harus dirujuk adalah: 1. Bayi premature dengan komplikasi dengan memerlukan fasilitas (NICU). 2. Korban hamil dengan resiko tinggi. 3. Infak miokard, terutama yang tidak stabil, COPD keracunan obat, syok septic dengan korban HD. 4. Korban trauma dengan kelainan neurologic, luka bakar >30%. 5. Korban psikiatri dapat ditolak dipenerbangan. Pada transportasi melalui udara hal yang dapat timbul diudara akibat perbedaan tekanan udara adalah hipoksia. Hipoksia dapat terjadi karena kadar oksigen menurun dalam darah, khususnya pada korban dengan COPD, odema paru, pneumoni dan emboli paru.

Di udara akan terjadi penurunan kemampuan darah mentransportasi oksigen kejaringan tubuh. Sehingga beberapa korban gawat darurat yang mengalami anemia dan keracunan karbon monoksida, akan mengalami penurunan kadar oksigen di dalam sel selama transportasi udara. Menurunnya suplai O2 ke jaringan akan memacu terjadinya syok dan nyeri. Pada korban karena luka bakar “Frostbite” akan terjadi penurunan perfusi oksigen di dalam jaringan. Pada saat bersamaan terjadi pula penurunan kemampuan sel mempergunakan o2, khususnya pada korban keracunan sianida, mabuk alcohol, dan penggunaan bahan hitotostik lain.

3. Mobilisasi Pada pasien injury teknik mobilisasi dapat dilakukan dengan cara : Memindahkan pasien dari brangkar ketempat tidur atau dari brangkar ketempat tidur.tindakan ini dilakukan oleh perawat dengan jumlah perawat 1-3 perawat, tindakan ini tidak bisa dilakukan oleh satu orang perawat. Pada pasien- pasien yang mengalami patah cedera kebanyakan penolong atau perawat tidak tau cara mengangkat dan memindahkan pasien.hal-hal harus diketahui saat akan melakukan pemindahan pasien antara lain : 

Kemampuan diri dengan patner kerja harus sama, bila tidak mampu jangan dipaksakan



Posisi kaki perlu diperhatikan



Saat mengangkat pasien posisi tubuh harus sedikit membungkuk



Posisi tubuh harus dekat dengan pasien yang mau ditolong

TujuanMobilisasi a. Mempertahankanfungsitubuh b. Membantupernapasanlebihbaik c. Memperlancaralirandarah d. Memperlancareliminasi BAB/BAK Mengembalikan aktifitas normal setidak-tidaknya dapat mencukupi kebutuhan seharihari

12. MANAJEMEN CEDERA DALAM KONDISI KEGAWATDARURATAN 6. Defenisi Cedera Kepala Proses dimana terjadi trauma lansung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak Gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul,trauma tajam (baticaca, 2008) 7. Patofisiologi 

Pukulan lansung Dapat menyebabkankerusakan otak pada sisi pukulan atau pada sisi yang berlawananan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury)



Rotasi (deselerasi) Fleksi,ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid) rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan dalam substansi putih otak dan batang otak menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.



Tabrakan



Peluru

8. Gambaran Klinis  Riwayat trauma langsung pada kepala atau deselerasi  Sakit kepala

 Mual-muntah  Frekuensi nadi menurun  Peningkatan tekanan darah menunjukan edema serebral  Ketidaksimetrisan pupil atau refleks cahaya yang abnormal menunjukan perdarahan intrkranial 9.

Klasifikasi Cedera Kepala Cedera kepala dapat dibagi menjadi 3 kelompok 4.

5.

6.

10.

Cedera kepala ringan e.

GCS > 13

f.

Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak

g.

Tidak memerlukan tindakan operasi

h.

Lama dirawat di rumah sakit < 48 jam

Cedera kepala sedang e.

GCS 9-13

f.

Ditemukan kelainan pada CT Scan otak

g.

Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial

h.

Dirawat dirumah sakit setidaknya 48 jam

Cedera Kepala Berat f.

Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma nilai GCS < 9

g.

Hematome epidural

h.

Hemathome subdural

i.

Kontusio

j.

Perdarahan subaraknhoid

Pemeriksaan fisik pasien cedera kepala 8. Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan glasgow coma scale Pemeriksaan GCS oleh petugas kesehatan yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara mendetail tingkat kesadaran dengan tepat dan cara yang konsisten, GCS dihitung dari respon buka mata, respon verbal dan motorik pada pasien cedera kepala sebagai satu set ransangan sudah terstandar. 9. Pemeriksaan saraf kranial Selain mengkaji GCS, perawat juga harus mengkaji respon pupil dengan menggunakan sebuah penerangan dan cahaya yang terfokus. Petunjuk dalam pengkajian pupil tercantum dibawah ini :

g) Pada kondisi normal pupil akan mengalami kontriksi ketika terekspos cahaya secara langsung h) Cahaya yang disorotkan pada satu pupil memyebabkan pupil lainya berkontriksi i) Tunggu minimal 10 detik diantara pengkajian salah satu mata untuk meeminimalkan respon konsensual j) Suatu pupil dilatasi menetap (pupil yang tidak berespon terhadap cahaya mengindikasikan keterlibatan saraf kranial ketiga dan kemungkinan herniaasi transtentorial k) Kedua pupil dilatasi menetap mengindikasikan cedera Brainstem berat dan kemungkinan kematian otak l) Pitosis (kelopak mata jatuh) mengindikasikan kerusakan saraf kranial

10. Foto polos kepala 11. CT Scan kepala adalah standar baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial, semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT Scan, sedangkan pasien dengan GCS 15, CT Scan hanya dilakukan dengan indikasi tertentu seperti : i) Nyeri kepala hebat j) Adanya tanda-tanda fraktur basil cranial k) Adanya riwayat cedera yang berat l) Muntah lebih dari 1 kali m) Penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadara atau amnesia n) Kejang o) Riwayat gangguan vaskular atau menggunakan obat-obat antikoagulan p) Rasa baal pada tubuh gangguan keseimbangan berjalan 12.

MRI adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT Scan

kelainan yang tidak tampak pada CT Scan dapat dilihat oleh MRI, namun dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT Scan sehingga tidak sesuai dengan keadaan gawatdarurat 13.

PET dan SPECT adalah Positron Emission Tomography dan single Photon Emission

computer Tomography (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT Scan dan MRI dan pemeriksaan neurologis tidak

memperlihatkan kerusakan namun spesifitas pertemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan

14.

Penatalaksanaan 3.

Survey Primer (Primary Survey) e.

Jalan napas: memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi,

daerah tulang

servikal harus di imobilisasi dalam posisi netral dengan menggunakan stiffnec collar, head Block dan diikSat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal f.

Pernapasan : pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot tambahan pernapasan

g.

Defisit Neurologis status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran,

ukuran

dan

reaksi

pupil,

tingkat

kesadaran

dapat

diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan neurologis yang berat seperti anak dengan GCS ≤ 8 harus di intubasi h.

Kontrol pemaparan/lingkungan Semua pakian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat, anakanak sering datang dengan keadaadaan hipotermia ringan, sehingga pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan hingga 39 C)

4.

Survey Sekunder Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera, bila telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis selain itu pemakaian penyangga leher di indikasikan jika :

7. Manajemen pasien dengan cedera kepala 6. Airway c) Intubasi oral pasien dengan skor GCS 8 atau kurangh d) Pasang selang gastric oral untuk mendekompresi abdomen

7. Breathing e) Pertahankan Pao2 lebih dari 100 mmhg dan saturasi oksigen lebih dari 95% f) Pertahankan eukapnia (PaCO2 35-38 mmhg, karbondioksida merupakan vasodilator potensial dan akan menurunkan tekanan perfusi serebral g) Hindari hiperfentilasi walaupun terdapat tanda herniasi h) Pertimbangkan blokade neuromuscular untuk pasien yang mengalami kesulitan ventilasi 8. Circulation f) Pertahankan normovolemi. Jaga MAP antara 70-90 mmhg. Hipotensi harus dihindari karena berhubungan dengan penigkatan mortilitas pasien dengan cedera otak berat g) Pertahankan tekanan perfusi serebral lebih dari 70 mmHg (kateter tekanan intrakranial diperlukan untuk pemamntauan tekanan perfusi serebral) h) Kembalikan volume sesuai dengan kebutuhan dengan cairan isotonik dan produk darah i) Pasang kateter urine dengan mempertahankan haluaran urine 0,5 mg/kg/jam j) Jaga osmolalitas serum kurang dari 320 mOsm 9. Disability c) Lakukan dan dokumentasikan pemeriksaan neurologi secara serial. Proses cedera sekunder dapat berkembang setiap jam, melalui pemeriksaan serial, perubahan kecil status mental dapat diobservasi. Intervensi dilakukan untuk mencegah perburukan lebih lanjut d) Dilatasi pupil unilateral merupakan salah satu dari tanda pertama herniasi yang akan segera terjadi 10. Pengurangan tekanan intrakranial i) Sediakan sedasi dan anlgesi j) Infus manitol 0,25-1 gram /kg secara bolus intermiten pada pasien dengan tanda herniasi akan terjadi segera atau penurunan skor GCS yang tidak berhubungan dengan penyebab ekstrakranial k) Pertahankan kepala netral posisi midline ( dagu dan umbilikus sejajar) l) Jaga kepala pasien elevasi 30 derajad kecuali dikontraindikasikan pada cedera spinal m) Lepaskan cervical collar secepatnya setelah dipastikan oleh dokter. Leher kaku menunjukan peningkatan tekanan intrakranial

n) Minimalkan stimulasi eksternal dengan menjaga lampu dan meminimalkan kebisingan dan membatasi pengunjung o) Pertimbangkan pemberian medikasi nyeri dan sedasi sebelum melakukan suction p) Pertimbangkan blokade neuromuscular untuk pasien dengan peningkatan intrakranial yang tidak berespon terhadap pengobatan. 111.

STABILISASI,

MOBILISASI

DAN

TRANSPORTASI

KEGAWAT

DARURATAN 3.

Stabilisasi Stabilisasi pada pasien trauma paling baik dilaksanakan dengan cara pendekatan tim yang sudah mendapat pelatihan khusus.Staf unit gawat darurat harus mengetahui cara merawat pasien dengan trauma. Kematian pada pasien dengan trauma harus memiliki pola distribusi modal : 4. Puncak morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit pada saat injury. Beberapa pasien dapat terselamatkan karena melihat adanya tingkat keparahan cedera 5. Puncak morbiditas kedua bisa terjadi dalam hitungan menit atau jam setelah kejadian trauma. Adanya hematom intrakranial atau perdarahan yang tidak terkontrol dapat menimbulkan kematian pada periode ini. Perawatan yang diterima setelah satu jam pertama setelah cedera(golden period) sangatlah penting untuk kelangsungan hidup pada pasien trauma. 6. Puncak morbiditas ketiga dapat terjadisetelah beberapa hari atau beberapa minggu setelah trauma. Kematian ini terjadi bisa dikarenakan oleh adanya sepsis, kegagalan multi organ, atau komplikasi pernafasan. Jika pasien dapat bertahan hidup pada tingkat morbiditas pertama, bantuan dipastikan harus tiba tepat waktu. Untuk dapat meminimalkan kematian di puncak trimodal kedua sangatlah diperlukan sistem pra- rumah sakit yang responsif yang dapat mentransportasikan pasien dengan cepat, dengan memberikan tindakan stabilisasi pada penghentian dan membawa pasien kefasilitas yang lebih tepat yang mampu memberikan perawatn yang dibutuhkan, akan lebih baik lagi apabila dilakukan dalam “Golden Period”.

The American College Of Surgeons seperti sistem trauma dibanyak negara lainnya telah mengembangkan sistem klasifikasi trauma yang membantu personil pra rumah sakit dalam menentukan fasilitas mana yang paling siap untuk menerima pasien tersebut. Dalam mengstabilisasi pasien trauma haruslah kita ketahui bagaiman pendekatan dan penanganan yang harus dilakukan, diantaranya : 9. Airway (diberikan dengan pertimbangan pada pasien dengan cedera tulang cervikal) 10. Breathing 11. Circulation/ sirkulasi 12. Exposure/ paparan dari pasien dan kontrol lingkungan 13. Full set vital sign/ tanda vital lengkap, data tambahan yang berfokus, dan kehadiran keluarga 14. Give comport measure/ berikan tindakan kenyamanan 15. History and head to toe assesment / riwayat dan penilaian head to toe 16. Inspect the posterior surface/ periksa bagian posterior Penilaian Awal pasien trauma dibagi menjadi dua tahap yaitu: 3. Penilaian primer Kondisi yang berpotensi mengancam jiwa dan dapat ditangani dengan melalui evaluasi berurutan yaitu : 6. Airway : jalan nafas yang adekuat diperlukan untuk pernafasan dan sirkulasi, oleh karena itu penilaian dan perlindungan jalan nafas selalu penting 7. Breathing : untuk dapat bernafas secara efektif pasien harus mampu melakukan pertukaran gas di sepanjang jalan nafas. 8. Circulation : pertukaran gas yang berhungan erat dengan pernafasan d 9. Pat berjalan baik apabila sistem peredaran darah dapat mengedarkan gas tersebut. 10. Disability : perubahan besar dalam fungsi neurologis menunjukkan trauma neurologis yang signifikan 4. Penilaian sekunder Penilaian sekunder bukan merupakan pemeriksaan akhir , tindakan ini merupakan tindakan menyeluruh dari seluruh tubuh pasien secara cepat dari

kepala sampai kaki. Berbeda dengan penilaian primer, temuan yang dicatat pada penilaian sekunder tidak segera di tangani. Temuan tersebut didokumentasikan

dan

kemudian

di

prioritaskan

untuk

penanganan

selanjutnya. Jika pasien mengalami masalah jalan nafas, pernafasan atau masalah sirkulasi pada saat dilakukan pemeriksaan sekunder, lakukan kembali penilaian primer dan lakukan penanganan sesuai indikasi. 4. Transportasi Pada umumnya dalam evakuasi korban gawat darurat transportasi dapat dilaksanakan melalui: 4. Darat Dengan ambulance 5. Udara Dengan helicopter atau pesawat terbang 6. Laut Dengan kapal laut untuk mengangkat korban gawat darurat Prinsip evakuasi Korban diangkat oleh tiga orang atau three men lift, hal ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang terlatih. Artinya jika memungkinkan, lakukan pengangkatan korban dengan 3 orang yang terlatih untuk melakukan pengangkatan pada bagian: 4. Kepala & bahu 5. Pinggang 6. Ekstremitasi bawah Prinsip selama transportasi Selama evakuasi maka perlu diperhatikan implementasi prinsip-prinsip dibawah ini yaitu: 9. Monitoring A-B-C 10. Monitoring tanda-tanda vital 11. Monitoring kesadaran 12. Monitoring sekitar luka 13. Harus disertai personal & peralatan yang memadai 14. Pencatatan selama transportasi 15. Pemberian 02-tetap berlangsung 16. Pemberian cairan tetap berlangsung Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengangkat korban gawat darurat

Kita perlu memperhatikan beberapa hal dalam mengangkat korban gawat darurat. Situasi ini perlu kita waspadai agar tidak dapat korban berikutnya serta tidak ada lagi penambahan luka baru pada korban. 10. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita. 11. Nilailah beban yang akan diangkat secara bersama, dan bila merasa tidak mampu, jangan paksakan. Selalu komunikasi secara teratur dengan pasangan kita. 12. Ke-dua berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya. 13. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat. Punggung harus selalu dijaga lurus. 14. Tangan yang dipegang menghadap di depan. 15. Jarak antara kedua tangan yang memegang ( misalnya tandu ) minimal 30 cm. 16. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa, jarak maksimal tangan kita ke tubuh kita adalah 50 cm. 17. Jangan memutar tubuh saat mengangkat. 18. Hal-hal tersebut juga berlaku saat menarik atau mendorong korban gawat darurat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengangkat korban gawat darurat Pemindahan korban gawat darurat dapat secara emergensi dan non emergensi. Pemindahan korban gawat darurat dalam keadaan emergensi contohnya adalah: 5. Ada api, atau bahaya api, atau ledakan. 6. Ketidak-mampuan menjaga korban gawat darurat terhadap bahaya lain pada TKP ( benda jatuh dsb ). 7. Usaha mencapai korban gawat darurat lain, yang lebih urgen. 8. Ingin RJP korban gawat darurat, yang tidak mungkin dilakukan ditempat tersebut. Apapun cara pemindahan korban gawat darurat non emergensi, selalu ingat kemungkinan patah tulang leher ( servikal ) bila korban gawat darurat trauma. Pemindahan emergensi 5.

Tarikan Baju

Kedua tangan korban gawat darurat harus diikat untuk mencegah naik kea rah kepala waktu baju ditarik. Bila tidak sempat, masukkan kedua tangan dalam celananya sendiri. 6.

Tarik Selimut

Korban gawat darurat ditaruh dalam selimut, yang kemudian ditarik. 7.

Tarikan Lengan

Dari belakang korban gawat darurat, kedua lengan paramedic masuk di bawah ketiak korban gawat darurat, memegang kedua lengan bawah korban gawat darurat.

8.

Ekstrikasi Cepat

Dilakukan pada korban gawat darurat dalam kendaraan yang harus dikeluarkan secara cepat. Pemindahan Non-Emergensi Dalam keadaan ini dapat dilakukan urutan pekerjaan normal, seperti control TKP, survai lingkungan, dan stabilisasi kendaraan. 4.

Pengangkatan dan pemindahan secara langsung

Oleh 2 atau 3 petugas. Harus diingat bahwa cara ini tidak boleh dilakukan bila ada kemungkinan fraktur servikal. Prinsip pengangkatan tetap harus dipindahkan. 5.

Pemindahan dan pengangakatan memakai serprei

Sering dilakukan di rumah sakit. Tidak boleh dilakukan bila ada dugaan fraktur servikal. Perlengkapan Untuk Memindahkan Korban Gawat Darurat. Beberapa perlengkapan untuk memindahkan korban gawat darurat seperti brangkar (wheeled stretcher), tandu sekop (scoop stretcher, orthopaedic stretcher), Long Spine Board, serta Short Spine Board dan KED (Kendrick Extrication Device). Berikut ini penjelasan perlengkapan tersebut. Brangkar (wheeled stercher) Hal-hal yang harus diperhatikan: 7. korban gawat darurat selalu diselimuti. 8. Kepada korban gawat darurat/keluarga selalu diterangkan tujuan perjalanan. 9. Korban gawat darurat sedapat-mungkin selalu dilakukan “strapping” (fikasi) sebelum pemindahan. 10. Brangkar berjalan dengak kaki korban gawat darurat di depan, kepala di belakang, supaya korban gawat darurat dapat melihat arah perjalan brangkar. Posisi ini dibalik bila akan naik tangga (jarang terjadi). Sewaktu dalam ambulan menjadi terbalik, kepala di depan (dekat pengemudi) supaya paramedic dapat bekerja (bila perlu intubasi dsb). Pada wanita in-partu, posisi dalam ambulan boleh dibalik , supaya paramedic dapat membantu pertus. 11. Jangan sekali-kali meninggalkan korban gawat darurat sendiri diatas brangkar. Korban gawat darurat mungkin berusaha membalik, yang berakibat berbakinya brangkar. 12. Selalu berjalan hati-hati.

Tandu sekop (scoop stretcher, orthopaedic stretcher) Alat yang sangat bermanfaat untuk pemindahan korban gawat darurat. Bila ada dugaan fraktur servikal, maka alat yang akan dipilih adalah LSB (Long Spine Board). Harus diingat bahwa tandu sekop bukan alat transportasi, dan hanya alat pemindahan. Waktu proses pengangkatan sebaiknya 4 petugas, masing-masing satu pada sisi tandu sekop, karena kemungkinan akan melengkung (alat ini mahal harganya, karena terbuat dari logam khusus). Long Spine Board Sebenarnya bukan alat pemindahan, tetapi alat fiksasi, sekali korban gawat darurat di fiksasi atas LSB ini, tidak akan diturunkan lagi, sampai terbukti tidak ada fraktur servikal, karena itu harus terbuat dari bahan yang tidak mengganggu pemeriksaan ronsen. Pemindahan korban gawat darurat keatas LSB memerlukan teknik khusus yaitu memakai “log roll”. Setelah korban gawat darurat diatas LSB lalu dilakukan “strapping”, lalu LSB diletakkan diatas stretcher. Short Spine Board dan KED (Kendrick Extrication Device) Short spine board dan KED sebenarnya lebih merupakan alat ekstrikasi. Setelah selesai ekstrikasi, tetap korban gawat darurat diletakkan pada alat pemindahan yang lain. Permasalahan Dalam Evaluasi Evaluasi korban gawat darurat dapat dilakukan melalui darat, udara, ataupun laut atau sungai. Melalui darat dan laut tidak terlalu banyak masalah hanya waktu lebih lama. Melalui udara mempunyai masalah tersendiri yang harus dikuasai oleh tim kesehatan yang melakukannya. Sebelum melakukan evakuasi harus diperhatikan: kemungkinan korban harus dirujuk dan cara transportasinya. Korban-korban yang biasanya harus dirujuk adalah: 6. Bayi premature dengan komplikasi dengan memerlukan fasilitas (NICU). 7. Korban hamil dengan resiko tinggi. 8. Infak miokard, terutama yang tidak stabil, COPD keracunan obat, syok septic dengan korban HD. 9. Korban trauma dengan kelainan neurologic, luka bakar >30%. 10. Korban psikiatri dapat ditolak dipenerbangan.

Pada transportasi melalui udara hal yang dapat timbul diudara akibat perbedaan tekanan udara adalah hipoksia. Hipoksia dapat terjadi karena kadar oksigen menurun dalam darah, khususnya pada korban dengan COPD, odema paru, pneumoni dan emboli paru. Di udara akan terjadi penurunan kemampuan darah mentransportasi oksigen kejaringan tubuh. Sehingga beberapa korban gawat darurat yang mengalami anemia dan keracunan karbon monoksida, akan mengalami penurunan kadar oksigen di dalam sel selama transportasi udara. Menurunnya suplai O2 ke jaringan akan memacu terjadinya syok dan nyeri. Pada korban karena luka bakar “Frostbite” akan terjadi penurunan perfusi oksigen di dalam jaringan. Pada saat bersamaan terjadi pula penurunan kemampuan sel mempergunakan o2, khususnya pada korban keracunan sianida, mabuk alcohol, dan penggunaan bahan hitotostik lain. 6. Mobilisasi Pada pasien injury teknik mobilisasi dapat dilakukan dengan cara : a. Memindahkan pasien dari brangkar ketempat tidur atau dari brangkar ketempat tidur. tindakan ini dilakukan oleh perawat dengan jumlah perawat 13 perawat, tindakan ini tidak bisa dilakukan oleh satu orang perawat. Pada pasien- pasien yang mengalami patah cedera kebanyakan penolong atau perawat tidak tau cara mengangkat dan memindahkan pasien.hal-hal harus diketahui saat akan melakukan pemindahan pasien antara lain : 

Kemampuan diri dengan patner kerja harus sama, bila tidak mampu jangan dipaksakan



Posisi kaki perlu diperhatikan



Saat mengangkat pasien posisi tubuh harus sedikit membungkuk



Posisi tubuh harus dekat dengan pasien yang mau ditolong

DAFTAR PUSTAKA Kurniati Amelia, dkk. 2013. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Singapore : Elseiver Bunner & Suddart, 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ns. Hutabarat RY, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Bogor : In Media Baticaca,F. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan system persarafan. Jakarta:Salemba Medika Dewanto,G, dkk. 2009. Diagnosa dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Tarng, Y., & Lin, Y. L. F. H. H. (2015). Stabilisasi bedah dari beberapa patah tulang rusuk menggunakan titanium paku elastis dalam trauma dada tumpul dengan kegagalan pernafasan akut. https://doi.org/10.1007/s00464-015-4207-9

Related Documents


More Documents from "Wahyuningsih"