Referat penyakit pada Sistem Respirasi
Oleh: Alya Maharani Putri G1A117103
Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi 2018
1
INFARK PARU BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Respirasi yaitu suatu peristiwa ketika tubuh kekurangan oksigen (O2) dan kemudian oksigen yang berada di luar tubuh akan dihirup (inspirasi) melalui organ pernapasan. Pada keadaan tertentu tubuh kelebihan karbon dioksida (CO2), maka tubuh berusaha untuk mengeluarkan kelebihan tersebut dengan menghembuskan napas (ekspirasi) sehingga terjadi suatu keseimbangan antara O2 dan CO2 di dalam tubuh. Sistem respirasi terbagi menjadi dua yaitu sistem respirasi atas yang terdiri dari hidung dan faring dimana farng terbagi menjadi orofaring, nasofaring, fan laringofaring. Selanjutnya pernafasan atas dari laring, trakea, brrpnkus dan paru (pulmo). Sistem respirasi berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam paru. Udara akan masuk ke saluran pernapasan kemudian akan terjadi pertukaran atau perfusi di dalam alveolus dimana oksigen akan terikat dalam hemoglobin kemudian akan disebarkan keseluruh tubuh untuk membantu proses metabbolisme dalam menghasilkan energi selain itu. Fungsi bernapas sendiri yaitu mengambil O2 dari luara ke dalam tubuh, beredar dalam darah selanjutnya terjadi proses pembakaran dalam sel atau jaringan, mengeluarkan CO2 yang terjadi dari sisa hasil pembakaran dibawa oleh darah yang berasal dari sel yang selanjutnya dikeluarkan kembali, membantu menyeimbangkan asam dan basa tubuh, sebagai resonansi atau membantu dalam pembentukan bunyi atau suara.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi paru-paru Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan) Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paruparu kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiaptiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. 2.2 Infark Paru A. Definisi Infark paru adalah kematian jaringan paru karena tersumbatnya arteri pulmonalis atau cabangnya oleh suatu embolus. Sebenarnya infark dan emboli merupakan 2 hal yang tak dapat dipisahkan. Infark paru merupakan penyakit dengan gambaran emboli paru yang disertai gejala utama berupa nyeri pleuritik dan hemoptisis. Dalam kamus kedokteran dorland pulmonary infarction merupakan nekrosis terlokalisasi pada jaringan paru yang disebabkan oleh sumbatan aliran darah arteri, paling sering akibat emboli pulmonal. Manifesatsi klinis bervariasi dari nyeri dada subklinis hingga pleuritik, dispnea, hemoptisis, dan takikardia.
3
Sekitar 10% pasien menderita emboli paru dapat mengalami infark paru dimanapun insidennya relatif konstan dengan jumlah 117 kasus per 100.000 orang per tahun. Kejadian trombo emboli vena meningkat pada usia lebih dari 60 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Hampir 25% pasien dengan emboli paru dan infark paru mengalami kematian mendadak. B. Etiologi 1.
Emboli Emboli dalam tubuh terutama berasal dari thrombus vena, paling sering pada vena
profunda di tungkai atau di panggul. Jika fragmen thrombus vena ini terlepas dan terbawa aliran darah, maka fragmen tersebut akan masuk ke vena cava dan kemudian ke jantung kanan. Fragmen ini tidak tersangkut selama dalam perjalanan karena pembuluh dan ruangan jantung berukuran besar. Darah akan meninggalkan ventrikel kanan dan mengalir ke cabang utama arteria pulmonalis, kemudian ke cabang arteria pulmonalis kanan dan kiri, untuk selanjutnya ke cabangcabang pembuluh darah yang lebih kecil. Karena keadaan anatomis ini, emboli yang berasal dari thrombus vena biasanya berakhir sebagai emboli arteria pulmonalis.Jika fragmen thrombus yang sangat besar menjadi embolus, maka sebagian besar suplai arteria pulmonalis dapat tersumbat dengan mendadak.Hal ini dapat menimbulkan kematian mendadak.Sebaliknya, emboli arteria pulmonalis yang lebih kecil dapat tanpa gejala, atau dapat mengakibatkan perdarahan sekunder pada paru karena kerusakan vascular atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dari paru.Emboli paru dengan berbagai ukuran dapat ditemukan pada sejumlah besar pasien yang meninggal setelah beberapa lama berbaring di tempat tidur; kadang-kadang emboli paru mempercepat kematian pasien, kadang-kadang hanya bersifat kebetulan. Penyebaran emboli kecil paru yang berlangsung lama dapat menimbulkan penyumbatan pada pembuluh darah paru sehingga timbul pembebanan yang berlebihan dan kegagalan jantung kanan. Infark paru biasanya merupakan kelanjutan dari emboli paru, di mana terjadi nekrosis pada sebagian jaringan parenkim paru akibat tersumbatnya aliran darah yang menuju jaringan paru tersebut oleh tromboemboli. Oleh karena jaringan parenkim paru memperoleh aliran darah dari 2 jenis peredaran darah (cabang-cabang arteri pulmonalis dan cabang arteri bronkialis), maka emboli paru jarang berlanjut menjadi infark paru. aJaringan parenkim paru diperdarahi oleh 2 peredaran darah, sehingga hanya sebagian kecil pasien dengan emboli paru berlanjut menjadi infark paru. Infark paru banyak terjadi pada
4
keadaan infeksi dan gagal jantung kiri, tetapi banyak pula pasien infark paru tanpa didahului dengan infeksi, penyakit jantung, ataupun penyakit paru . Perlu diingat bahwa paru tidak hanya mendapatkan oksigen dari arteri pulmonalis, tetapi juga arteri bronkialis dan secara langsung dari udara di alveolus. Jika sirkulasi bronkus normal dan ventilasi dipertahankan secara adekuat, maka penurunan aliran darah yang terjadi tidak menyebabkan nekrosis jaringan. Kejadian infark paru akibat tromboembolus paru terjadi hanya pada sekitar 10% kasus. Infark paru dapat terjadi jika terdapat gangguan fungsi jantung atau sirkulasi bronkus, atau jika bagian paru yang beresiko kurang mendapat ventilasi akibat penyakit dasarnya. 2. Vaskulitis dan emboli septik Vaskulitis yang terjadi di arteri bronkialis lama-lama akan menyebabkan trombus karena peradangannya akan timbul proses penyembuhan yang dapat menyebabkan trombosis dimana trombosis akan terlepas dan menyumbat pembuluh darah bronkial dan menyebabkan infark. Sedangkan pada kasus emboli septik sering terjadi karena mikroorganisme yang dapat menyebabkan nekrosis inflamasi. 3. Kanker paru Kejadian infark paru terkadang dikaitkan pula dengan kanker paru. Kanker paru dapat mengakibatkan infark paru jika terjadi metastase sel kanker ke arteri dan vena pulmonal sehingga terjadi obstruksi. Sebuah kasus infark paru pernah dilaporkan di Tokyo yang setelah dianalisis penyebabnya adalah adenosquamous cell carcinoma paru-paru kanan. Kanker ini mengakibatkan infark paru multipel di lobus superior dan medial dekstra. C. Patofisiologi Infark Paru Gambaran mikroskopis infark paru menunjukkan adanya nekrosis koagulasi pada dinding alveoli dan alveoli penuh dengan eritrosit serta sedikit reaksi inflamasi. Pada infark paru yang terjadi tidak lengkap, timbul ekstravasasi eritrosit ke dalam alveoli tanpa adanya nekrosis. Embolus yang tersangkut di arteri paru berukuran sedang atau kecil. Dengan sirkulasi dan aliran arteri bronkialis yang adekuat, vitalitas parenkim paru dapat dipertahankan, tetapi rongga alveoli mungkin terisi oleh darah sehingga terjadi perdarahan paru akibat kerusakan iskemik pada sel endotel. Ketika terjadi iskemik ringan pada jaringan paru akan mengakibatkan terjadinya dilatasi kapiler, arteriol, dan venula. Selain itu juga terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dengan kebocoran cairan dan eritrosit. Hal ini terjadi karena sel endotel pembuluh darah sangat peka
5
terhadap hipoksemia. Perdarahan paru yang terjadi menyerupai infark paru, tetapi struktur jaringan paru dipertahankan dan arsitektur sebelumnya kembali lagi setelah resorbsi darah. Perdarahan paru yang disebabkan oleh infark paru dapat bersifat multipel dan banyak ditemukan di lobus bawah, terutama paru kanan. Infark paru biasanya terletak pada jaringan paru perifer, cenderung berbentuk kerucut (wedge-shaped). Daerah ini berwarna gelap dan merah coklat dengan batas yang tegas. Pada infark paru, jaringan nekrosis selalu hemoragis dan struktur paru asli rusak atau tidak ada. Pada perjalanannya, warna infark paru berubah dari merah gelap menjadi coklat bila eritrosit rusak dan pigmen hemosiderin difagositosis makrofag. Kemudian warnanya berubah menjadi keabu-abuan bila terjadi fibrosis dan infark paru berubah menjadi jaringan parut. Retraksi daerah fibrotik ini menyebabkan cekungan pada permukaan pleura. Jika keadaan kardiovaskular kurang, seperti yang terjadi pada gagal jantung kongestif, akan terjadi infark. Ukuran infark bervariasi dari yang sulit dilihat hingga mengenai sebagian besar lobus. Biasanya infark berbentuk baji dengan dasar di permukaan pleura dan puncak mengarah ke hilus paru. Permukaan pleura di sekitarnya sering ditutupi oleh eksudat fibrinosa. Jika dapat diidentifikasi, pembuluh yang tersumbat biasanya ditemukan di dekat apeks daerah yang infark. Pada infark paru, hemoptisis timbul setelah 12 jam terjadinya emboli dan sesudah 24 jam daerah infark berbatas tegas dengan daerah paru yang sehat karena adanya konsolidasi perdarahan dan
atelektasis.
Selanjutnya
sel-sel
septum intraalveoli
mengalami
nekrosis
dengan
pembengkakan dan menghilangnya struktur histologis. Dua minggu kemudian terjadi perubahan yang ditandai dengan adanya penetrasi kapiler-kapiler baru dari daerah paru yang sehat ke arah paru yang terkena infark. Perdarahan secara perlahan-lahan mulai terserap dan jaringan yang nekrosis diganti dengan jaringan ikat, yang selanjutnya berubah menjadi jaringan parut (fibrosis). Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya jaringan parut bergantung pada luasnya infark. Semakin luas infark, maka semakin lama terjadinya jaringan parut. Timbulnya infark pada emboli paru tergantung pada tiga hal yaitu ukuran massa emboli, ukuran arteri yang tersumbat, dan keadaan dari sirkulasi umum dan sirkulasi paru. Emboli kecil mengenai arteri yang lebih perifer dan pada sirkulasi kardiovaskular adekuat, arteri bronkialis dapat mencukupi vitalitas dari parenkim paru, akan tetapi ruangan alveoli sering penuh dengan darah yang menyebabkan perdarahan paru. Bila sirkulasi kardiovaskular tidak adekuat, seperti pada penyakit bendungan jantung, maka penyumbatan arteri paru menyebabkan infark. Lebih dari 95% embolus paru berasal dari trombus di vena dalam tungkai bawah, biasanya berasal dari vena poplitea dan vena besar di atasnya. Banyak material atau substansi yang dapat membentuk emboli
6
yang nantinya menuju ke sirkulasi paru. Termasuk didalamnya adalah lemak, tumor, emboli septik, udara, cairan amnion, dan benda asing lainnya. Kejadian infark paru terkadang dikaitkan pula dengan kanker paru. Akan tetapi, kejadiannya jauh lebih jarang jika dibandingkan dengan infark akibat emboli paru. Kanker paru dapat mengakibatkan infark paru jika terjadi metastase sel kanker ke arteri dan vena pulmonal sehingga terjadi obstruksi. Sebuah kasus infark paru pernah dilaporkan di Tokyo yang setelah dianalisis penyebabnya adalah adenosquamous cell carcinoma paru-paru kanan. Kanker ini mengakibatkan infark paru multipel di lobus superior dan medial dekstra.
Trombus vena dalam tungkai bawah
Penyebab non-embolus: vaskulitis, infeksi angioinvasif, penyakit sickle-cell, embolisme tumor, pulmonary torsion,dll.
Trombus ikut aliran darah ke jantung
Trombus masuk ke dalam peredaran darah paru
Penyumbatan di arteri pulmonalis dan/atau arteri bronkialis
Emboli Paru
INFARK PARU
d i p e n g a r u h i
1. Ukuran massa emboli
2. Ukuran arteri yang tersumbat 3. Keadaan sirkulasi umum dan sirkulasi paru
Aliran darah ke parenkim paru terganggu
7
D. Gejala Infark Paru 1. Nyeri pleuritik. Dirasakan di dinding dada daerah paru yang terkena atau menjalar sampai ke daerah bahu ipsilateral. Nyeri pleuritik tadi menyebabkan pergerakan dada daerah yang terkena menjadi berkurang sehingga pasien merasakan sesak. Penyebab nyeri pleuritik yaitu karena persarafan pleura sama dengan paru-paru yaitu nervus vagus kemudian perdarahan paru berasal dari bronkialis. 2. Hemoptosis Hemoptosis disebabkan oleh dua hal yaitu yang pertama jika infark mengenai perdarahan bronkialis, paru akan mengalami kerusakan diantaranya terjadi kerusakan endotel kolaps alveolis dan proses perfusi tidak terjadi yang menyebabkan darah ke alveoli dan terjadi hemoptosis selain itu jika terjadi infark karena emboli yang berasal dari pulmonalis darah yang akan mengalami pertukaran akan menjadi menumpuk/ terbendung sampai ke alveoli yang menyebabkan refleks batuk yang mengeluarkan darah. 3. Sesak napas mendadak Terjadi karena infark yang menyumbat pembuluh darah secara tiba-tiba dan perfusi di paru menjadi turun. 4. Takipneu Diakibatkan karena adanya nyeri pleuritk yang menyebabkan pernapasan ditahan supaya nyeri pleura bisa di tekan. 5. Atelektasis Disebabkan karena infark yang menyebabkan iskemia yang selanjutnya menyebabkan kerusakan endotel dan surfaktan yang kemudian menyebakan paru menjadi kolaps
E. Pemeriksaan penunjang 1. Foto Rontgen Toraks Tanda utama infark paru adalah nekrosis koagulasi parenkim paru di daerah perdarahan. Kelainan patologis ini secara radiologis tampak sebagai infiltrat, dan berlangsung kira-kira 1 minggu kemudian menyembuh, dan akhirnya meninggalkan garis-garis fibrosis (scar). Apabila infark yang terjadi tidak lengkap, secara radiologis akan tampak sebagai infiltrat yang akan
8
menyembuh dalam waktu 2-4 hari, tanpa meninggalkan sisa garis-garis fibrosis pada gambaran radiologis.
2. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan sputum ditemukannya eritrosit karena gagal terjadinya pertukaran di alveoli dan karena iskemia surfaktan hilang sehingga darah merembes ke alveoli yang kolaps, laju endap darah yang meningkat pada penderita yang emboli karena stasis atau hiperkoagulan, leukosit yang meningkat pada area infark disebabkan karena ketika terjadinya infark darah yang terperangkap akan mengalami hemolisis oleh makrofag.
F. Tata Laksana a.
Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien
Perbaiki oksigen untuk pasien yang sesak karena infark paru
Meberikan cairan infus untuk mempertahankan kestabilan keluaran ventrikel kanan dan aliran darah pulmonal.
Melakukan intubasi atau memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan napas bagian atas atau
9
trakhea pada pasien dengan atelektasis dan tanda eksudat dalam paruparu. b.
Pengobatan atas dasar indikasi khusus
Karena ini merupakan keadaan gawat darurat ada indikasi untuk pemberian obat vasopressor
Obat inotropik
Antiaritmia untuk jantung jika infark luas.
Digtalis untuk meningkatkan kontraksi jantung supaya tidak terjadi sesak.
c.
Pengobatan utama untuk infark paru
Pemberian antikoagulan a. Heparin adalah obat yang sering digunakan intravena secara terusmenerus
untuk
mengencerkan
darah
sehingga
kecendrungan
penggumpalan darah menurun dari sebelumnya. Biasanya hanya diberikan di rumah sakit. Setelah pemberian heparin dihentikan, mekanisme pembekuan darah alami ke kekuatan aslinya (biasanya dalam waktu enam jam setelah obat dihentikan). Heparin juga dapat diberikan melalui suntikan dibawah kulit (subkutan) untuk tindakan pengenceran yang berkelanjutan. Heparin 50 mg IM/IV, tiap 4 jam per hari b. Warfarin efektif pada pemberian oran dan harganya terjangkau. Yang harus diingat selama menggunakan warfarin adalah terjadinya perdarahan, oleh karena itu pengawasan masa protrombin harus dilakukan 1-1,5 kali dari pengawasan yang normal. Warfarin harus terus diberikan sampai didapat tidak ada kekambuhan lagi. Dalam praktek paling sedikit pemakaian warfarin adalah selam 4 bulan.
Pengobatan trombolik yang berfungsi untuk melarutkan trombus yang sudah terbentuk. Agar efektif harus diberikan sedini mungkin.
G. Komplikasi 1. Peningkatan kerja jantung
10
Terjadi pada pasien infark paru dengan hipoksia jaringan yang berkepanjangan sehingga paru mengompensasi dengan meningkatkan frekuensi jantung untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Hal ini bisa menyebabkan disritmia. 2. Perdarahan paru disebabkan karena terjadinya infark menyebabkan vasodilatasi kapiler dan darah masuk ke interstitial. 3. Hipertensi paru Disebabkan karena paru yang mengalami emboli menyebabkan darah terkumpul dan pembuluh darah menjadi semakin teregang. H. Prognosis Prognosisnya baik jika emboli cepat ditangani atau jika terjadi gajela langsung dapat ditangan oleh dokter dan pengontrolan terhadap emboli rutin dilakukan untuk mencegah terjadinya infark paru namun infark paru jarang terdeteksi. Pasien dengan infark paru biasanya akan terdeteksi ketika sudah meninggal.
\
11
BAB III PENUTUP Kesimpulan Infark paru adalah kematian jaringan paru karena tersumbatnya arteri pulmonalis atau arteri bronkialis oleh suatu embolus. Dimana gejalanya berupa takipneu, sesak secara tiba-tiba, nyeri pleuritik, hemoptosis, dan pada pemeriksaan fisik terjadi perubahan seperti paru yang menjadi pekak atau kadang hipersonor. Untuk pemeriksaan penunjangnya dapat dilakukan pemeriksaan foto thorax dan pemeriksaan lab. Penatalaksanaan ada Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien dan pengobatan utama untuk infar paru. Komplikasi dari infark paru adalah Peningkatan kerja jantung, Perdarahan paru dan Hipertensi paru.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ali Nafiah. 2007.reposity.usu.ac.id/bitstream/123456789/3845/1/09E00735.pdf (akses 27-112014)
2.
Price, Sylvia A & Lorraine M.Wilson.2012.PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.1 edisi 6.Jakarta:EGC
3.
Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI : Jakarta.
4.
Tabrani Rab. 2013. Ilmi Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media
12
EMBOLI PARU BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1 Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus.2,3 Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus pertahun dengan angka mencapai 15% yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih merupaan problema yang menakutkan dan satu penyebab emergensi kardiovaskuler yang tersering. Laporan lain menyebutkan bahwa emboli paru secara langsung menyebabkan 100.000 kematian dan menjadi faktor kontribusi kematian oleh penyakitpenyakit lainnya. Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (venous thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis. Diagnosis suatu emboli paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, D-Dimer Test, pencitraan ventilasi-perfusi
(ventilation-perfussion
scanning), CT Angiografi torak dengan kontras, angiografi paru, Magnetic Resonance Angiography, duplex ultrasound ekstremitas dan ekokardiografi transtorakal. Penatalaksanaan khusus emboli paru dapat berupa pemberian antikoagulasi, trombolitik atau embolektomi baik dengan intervensi kateteriosasi maupun dengan pembedahan. Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1 Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus.2,3 Antara 60% - 90% penyebab emboli paru berasal dari vena ektremitas bawah dan pelvis.4 Munculan klinik sangat bervariasi, bisa menyebabkan kematian mendadak, tergantung ukuran emboli dan kondisi klinik dasar pasien.2,4 Emboli paru ditemukan lebih dari 60% dari hasil diotopsi dan juga sering terjadi misdiagnosis.2
13
Zvezdin dkk melakukan penelitian mengenai analisis post mortem penyebab kematian dini pada pasien yang dirawat dengan penyakit paru obstruktif kronik. Penelitian ini mendapatkan 20,9% penyebab kematian karena tromboemboli paru. 6 Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya emboli paru, seperti faktor herediter ( seperti defisiensi protein C, defisiensi protein S dll ) dan faktor yang didapat (seperti umur > 40 tahun, perokok, keganasan dll).4 Menegakkan diagnosis emboli paru merupakan sebuah tantangan yang sulit. Tanda klinis yang muncul seperti dispnea atau nyeri dada tidak spesifik dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain seperti infark miokard atau pneumonia. Banyak pasien dengan penyakit tromboemboli mempunyai gejala tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi jika disertai penyakit gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).4,7 Dalam menegakkan diagnosis emboli paru memerlukan keterampilan mengintegrasikan data klinis dan laboratorium serta kebijakan penilaian tentang perlu atau tidak dilakukan tindakan diagnosis invasif.1 Sensitifitas dan spesifisitas manifestasi klinis emboli paru masih rendah dan tidak ada uji klinis yang sederhana.8 Konfirmasi diagnosis dengan tes objektif hanya sekitar 20% pasien. Emboli paru bahkan bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur diagnosis yang dilakukan untuk tujuan lain. 9 Dengan latar belakang diatas maka dalam referat ini akan dibahas bagaimana prosedur diagnosis dan penatalaksanaan emboli paru.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 apa definisi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan pencegahan dari emboli paru? 1.2.2 bagaimana pemeriksaan radiologi pada emboli paru?
1.3 Tujuan Penulisan Referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan pencegahan dari emboli paru serta pemeriksaan radiologi pada emboli paru.
1.4 Manfaat Penulisan Agar dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang definisi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan pencegahan dari emboli paru serta pemeriksaan radiologi pada emboli paru.
14
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1 Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus.2,3
2.2 Patofisiologi Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu: 1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah 2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability) 3. Statis vena6,11 Trauma lokal pada pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada dinding pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagubilitas darah dapat disebabkan oleh terapi obat-obat tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone replacement theraphy dan steroid. Di samping itu masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu thrombosis. Sementara statis vena dapat terjadi akibat immobilisasi yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli sebelumnya.11 Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti aliran system vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan membentuk saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru tersumbat karenanya. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan melepaskan senyawa-senyawa vasokontriktor seperti serotonin, refleks vasokontriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan menimbulkan hipertensi arteri pulmonalis. Peningkatan arteri pulmonalis yang tiba-tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan dengan onsekuensi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan yang pada gilirannya akan menimbulkan septum interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolic. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri maka curah jantung sistemik
15
(systemic cardiac output) akan menurun yang akan mengurangi perfusi koroner dan menyebakan iskemia miokard. Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru massif akan menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel kanan meningkat yang selanjutnya menimbulkan iskemia dan kardiogenik shock. Siklus ini dapat menimbulkan infark ventrikel kanan, kolap sirkulasi dan kematian.6,11 Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut: 1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi, neuropulmoral, atau baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis 2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari dampak obstruksi vaskuler dab hipoksemia karena hipoventilasi alveolar, rendahnya unit ventilasi-perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga gangguan transfer karbonmonoksida 3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor 4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokontriksi 5. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan paru dan hilangnya surfaktan3,11
Gambar 2.1 patofisiologi emboli paru dan infark pada paru11
2.3 Gejala dan Tanda Gejala yang sering dijumpai adalah sulit bernafas, nyeri dada yang memburuk saat bernafas, batuk dan hemoptisis, dan palpitasi. Tanda klinis yang ditemukan berupa hipoksia, stenosis, pleural 16
friction rub, takipnea, dan takikardia. Dispnoe merupakan gejala yang paling sering muncul, dan takipnue adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya dispneu berat, sinkop, atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura.11 EP yang tidak diobati dapat menimbulkan kolaps, kegagalan kerdiovaskuler, dan mati mendadak. Emboli paru perlu dicurigai pada penderita hipotensi jika: 1. Adanya bukti thrombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru 2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti distensi vena leher, gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada, takikardia, atau takipneu 3. Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor pulmonal., iskemia ventrikel kanan.11 Berikut adalah 6 sindroma klinis emboli paru akut dengan gambarannya menurut Goldhaber 1. Emboli paru massif Presentasi klinis : sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik persisten; khas >50 % obstruksi pada vaskular paru. Dapat dijumpai disfungsi ventrikel kanan. 2. Emboli paru sedang sampai besar (submasif) Presentasi Klinis : Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas >30 persen defek pada perfungsi scan paru dengan tanda-tanda difsungsi ventrikel kanan 3. Emboli Paru Kecil sampai sedang Presentasi Klinis :Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertasi tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan 4. Infark Paru (Pulmonary Infarction) Presentasi Klinis : nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural friction rub, atau bukti adanya konsolidasi paru, khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan 5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism) Presentasi Klinis : kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan. 6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic Embolism) Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan amnion. Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.11
2.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang emboli paru mencakup:3,11,12,13,14,15 1. Foto Toraks 17
Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks adalah tanda spesifik emboli paru. Pada foto thoraks pasien dengan emboli paru dapat ditemukan gambaran normal sebanyak 14 %, dan dengan kelainan laian yaitu atelektasis 68%, efusi pleura 48%, gambaran opak basal paru(Hampton’s Hump sign) 35%, elevasi diafragma 24%, pelebaran arteri pulmonal 15%, westermark’s sign 7%, cardiomegaly 7% dan edema paru 5 %. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lainya khususnya pneumothorax.
2. Analisa Gas Darah Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting akibat ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2
dapat normal atau sedikit menurun disebabkan oleh keadaan
hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensivitas dan spesifitas analisa gas darah untuk penunjang diagnostic emboli paru relative rendah.
3. D-dimer Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh proses fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Pemeriksaan ini merupakan skrinning yang bermanfaat dengan sentivitas yang tinggi (94%) namun kurang spesifitas (45%). D-Dimer dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti recent MCI. Spesifitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli paru meningkat bila ratio D-dimer / Fibrinogen > 1000 Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru.
4. Elektrokardiogram (EKG) Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama pada kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat terjadi perubahan EKG antara lain : -
Pola S1Q3T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disetai gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan
-
P Pulmonal
-
Right bundle branch block yang baru
-
Right ventricular stin idengan T iinverted di lead V1 sampai V4
18
Gambar 2.6 Gambaran EKG pada pria 33 tahun dengan emboli paru pada cabang utama kiri arteri pulmonalis yang telah di konfirmasi dengan CT scan thoraks11
5. Scanning Ventilasi-Perfusi Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus alergi konntras, insufisiensi ginjal, atau kehamilan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya mismatch antara ventilasi dan perfusi paru. Pada paru yang normal, bahan tersebut akan terdistribusi ke seluruh lapangan paru. Hal ini menunjukan ventilasi yang normal. Hal ini di bandingkan dengan perfusi, pada emboli paru akan didaptkan bahwa bahan kontras yang diinjeksikan intra vena tidak akan Nampak pada bagian distal dari emboli akibat oklusi. Prosedur pemeriksaan: a.
Pencitraan Perfusi
Pencitraan perfusi dilakukan dengan penempatan radiofarmaka yang ditangkap oleh kapilerkapiler paru. Radiofarmaka disuntikan melalui intra vena. Radiofarmaka yang digunakan adalah Technetium 99m (Tc-99m) yang dilabel dengan nama Macroaggregates Human Serum Albumin (MAA). Pencitraan perfusi digunakan untuk mendeteksi embolisasi pada paru. Hampir semua radiofarmaka dapat diserap oleh tubuh dan mampu menggambarkan kelainan lebih jelas dibandingkan jenis pemeriksaan kedokteran nuklir lainnya. Meninggalkan sisa radioaktivitas paling kecil setelah pemeriksaan. Pengambilan gambar dilakukan sebanyak enam kali : anterior, posterior, lateral kanan dan kiri, RPO dan LPO. 1. Persiapan Pasien Tidak ada persiapan khusus. 19
2.. Radiofarmaka Dan Dosis Radio farmaka yang digunakan adalah Tc 99m-MAA.Volume yang tepat digunakan sebagai standart dosis. Dosis standart orang dewasa harus mengandung 400 000 counts partikel dan aktifitasnya 70200MBq. Dosis ini dikurangi sesuai dengan tubuh/berat badannya. Volume bisa bervariasi dari satu botol dengan yang lain dan petunjuk pembuat harus dibaca dengan teliti. Pasien yang memiliki hipertensi paru dan kelainan jantung, dosisnya harus dikurangi 50%. Botol yang berlabel MAA harus disimpan pada suhu 2-80 . 3. Posisi Pasien Pasien berdiri atau duduk menempel kamera. Pasien yang tidak dapat berdiri atau duduk dapat dengan posisi supine pada meja pemeriksaan dan camera atau posisi pasien ditempatkan untuk merekam masingmasing gambaran yang tepat. 4. Teknik Pemeriksaan 1)
Teknik injeksi adalah sebagai berikut
a)
Kocok botol sebelum mengambil radiofarmaka. Radiofarmaka seharusnya tidak ditarik dalam
suntikan untuk beberap waktu sehingga pertikelnya bergerak ke ujung suntikan. Juga menjauhkan suntikan dari tutup plastik. b)
Gunakan jarum 21G untuk mengambil dan menyuntikkan radiofarmaka.
c)
Pasien diposisikan supine untuk injeksi agar memastikan distribusi partikel melewati kedua paru.
d)
Balikkan suntikan yang berisi MAA beberapa menit untuk mencampur. Masukkan jarum ke
intravena tarik darah kebelakang ke dalam ruang hampa dari spuit hanya untuk memeriksa bahwa venepuncture dan suntikan secara perlahan dengan pasien bernafas secara normal. e) 2)
Pancarkan spuit 3 kali. Gambar harus diambil segera setelah injeksi.
3) Radiograf dada selalu diminta untuk laporan. Jika radiograf tidak ada harus ada scan. b. 1.
Pencitraan Ventilasi
Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan pasien 2. Radiofarmaka Dan Dosis 170 MBq Xe 133 dalam 6 liter udara 3. Peralatan Gamma kamera dipastikan dengan koimator general purpose 4. Posisi Pasien 20
Pemeriksaan dengan posisi duduk dengan punggung dekat atau menempel gamma kamera hanya posisi posterior yang direkam. 4. Teknik Pemeriksaan 1) Pastikan camera multiformater dan komputer diatur. Pilih window 20% dan pusatkan ini pada 81 keV dari Xe 133. 2) Posis pasien termasuk keseluruhan lapangan paru. 3) Jelaskan prosedur kepada pasien. Pakaikan face mask dan mulai pemeriksaan.saat pasien sudah mengerti apa ang diharapkan, suntikkan Xe 133 ke dalam dan menahan nafas selama mungkin 4) Pasien bernafas secara normal ke dalam sistem dan rekam gambaran equilibrium pada film sebaik komputer selama 300 000 counts. Intensitas kamera harus dikurangi untuk gambaran ini.
6. Multislice Pulmonary Computed Tomography scanning Tes ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan dapat dilakukan pada penderita yang tidak dapat menjalani pemeriksaan scanning ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer dan dapat mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai ke cabang segmentalnya.
Gambar 2.9 Gambaran CT Scan pada emboli paru 7. Pulmonary Scintigraphy Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu teknik yang cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Deficit perfusi dapat dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan masalah paru seperti efusi atau kollapsn paru. Untuk menambah
21
spesifitasnya, teknik ini selalu dikombinasi dengan Ventilation scan dengan menggunakan radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan non perfusi tapi adanya zona ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun juga pada penderita dengan penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostic pemeriksaan ini manjadi menurun.
8. Angiografi paru Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik emboli paru. Namun teknik ini merupaan penyelidikan invasif yang cukup berisiko terutama pada penderita yang sudah kritis. karenanya saat ini peran angiografi paru sudah digantikan oleh multislice CT scan yang memiliki akurasi yang sama.
Gambar 2.10 Gambaran Angiografi
Fungsi pemeriksaan angiografi: Mendeteksi aneurysma pembuluh darah aorta. Keuntungan dari Angiography : - Kateter angiography dapat menampilkan gambar pembuluh darah secara detil, jelas dan akurat. - Tidak seperti CT Angiography atau MR Angiography, menggunakan kateter yang memungkinkan untuk mengkombinasikan diagnosa dan tindakan dalam satu prosedur, misalnya : menemukan daerah penyempitan arteri diikuti dengan angioplasty dan penempatan stent. - Kateter angiography dapat menampilkan gambaran pembuluh darah secara detil yang tidak bisa dihasilkan oleh prosedur noninvasive.
22
9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA) Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan CT angiografi, bahkan dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan gangguan ginjal. Namun alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena adanya bahan metal seperti infuse peralatan bantun nafas,dll.
10. Duplex Ultrasound Ekstremitas Merupakan pencitraan non invasive pada kasus dengan sangkaan thrombosis vena dalam yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relative mudah dan akurat. Ultrasound bermanfaat pada sangkaan emboli paru yang kuat dengan skor Wells >7. Tabel 2.1. Sistem skoring Wells dan Genewa untuk menilai kemungkinan Emboli Paru __________________________________________________________ Skor Wells Poin Skor Genewa Poin Adanya riwayat VTE 1,5 Adanya riwayat VTE 2 Denyut jantung > 1,5 Denyut jantung 1 100x/mnt >100x/mnt Setelah tindakan bedah 1,5 Setelah tindakan bedah 3 atau imobilisasi Gejala DVT 3 Umur (th) 60-79 1 ≥80 2 Alternative diagnosis 3 PaCO2 <36 mmHg 2 lain sedikit Hemoptisis 1 PaO2 <48,7 mmHg 4 48,7-59,9 mmHg 3 60-71,2 mmHg 2 71,3 – 82,4 mmHg 1 Keganasan 36 – 38,9 1 Atelektasis 1 Elevasi diafragma 1 *Venous Thromboemboli **Deep Venous Thromboemboli Penilaian berdasarkan sistem skor Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah: 1.
Jika poin < 2 : kemungkinan klinik rendah
2.
Jika poin 2 - 5 : Kemungkinan klinik sedang
3.
Jika poin > 6 : kemungkinan klinik tinggi Penilaian berdasarkan sistem skor Genewa, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah :
1.
Jika poin 0 - 4 : kemungkinan klinik rendah
2.
Jika poin 5 - 8 : kemungkinan klinik sedang
3.
Jika poin ≥ 9 : kemungkinan klinik tinggi 23
Pemilihan sistem skor ini tergantung dari klinisi dan ketersediaan fasilitas pendukung diagnosis. 11. Ekokardiografi Ekokardiografi transtoralak muncul sebagai alat diagnostic non invasive yang berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut menunjukkanpergerakan dinding segmental abnormal yang spesifik yang sering disebut sebagai tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai pergerakan apeks ventrikel kanan yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda tidak langsung dari beban ventrikel kanan yang berlebihan. Rasio pengukuran ventrikel kanan disbanding ventrikel kiri ≥ 1 pada pengambilan gambar apical four chamber. Pada teknik pengambilan gambar parastenal short axis akan terlihat septum interventrikuler menjadi datar dan menyebabkan gambaran ekokardiografi D shape ventrikel kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan adalah regugitrasi tricuspid dengan kecepatan ≥ 2,6m/detik dan dilatasi vena kava inferior.
Gambar 2.11 Gambaran Echokardiografi 12. Biomarker jantung Troponin T (Trop T) adalah marker jantung yang sangat sensitive dan spesifik untuk suatu nekrosis sel miokard. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit peningkatan kadar Trop T dibandingkan dengan peningkatan yang cukup tinggi pada kasus sindroma kororner akut (nilai abnormal terendah 0,030,1 ng/ml). Kadar Trop T berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan, dimana iskemi miokard terjadi akibat gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dari ventrikel kanan sehingga terjadi pelepasan Trop T ke dalam sirkulasi tanpa adanya penyakit jantung koroner. Natriuretic peptide merupakan suatu marker yang berguna untuk diagnostic dan prognostic gagal jantung kongestif. Peregangan sel miosit jantung akan merangsang sintesa dan sekresi BNP. Pro BNP dalam miosit ventrikel yang masih normal tidak disimpan dalam jumlah yang besar. Peningkatan kadar BNP dan Pro BNP berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan pada pasien dengan emboli paru. Kadarn BNP ≥ 50 pg/ml; memberikan nilai prognostic emboli paru yang buruk. 24
2.5 Diagnosa Banding Diagnose banding emboli paru secara klinis yaitu: a. Pneumonia b. Asma bronchiale c. Penyakit paru obstruktif menahun eksaserbasi d. Edema paru e. Pneumothoraks f.
Tension Pneumothoraks
25
26
2.6 Diagnosis Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan pencegahannya. Pendekatan diagnostic non invasive, khususnya pemeriksaan D-dimer, ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), CT-scan dan ultrosonografi vena saat ini semakin meningkatan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli paru. Bagaimanapun juga, di samping adanya kemajuan teknologi diagnosis, ternyata emboli paru yang besar selalu tidak terdiagnosis dan hanya dijumpai saat autopsi
2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus.1 Tatalaksana yang umum antara lain: 1. Tirah baring di ruang intensif 2. Pemberian oksigen 2-4 l/menit 3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan 4. Pemantauan tekanan darah 5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg, bila tidak ditoleransi gunakan 20-30 mmHg) Tatalaksana khusus antara lain: 1. Trombolitik : diindikasikan untuk emboli paru massif dan sub massif Sediaan yang diberikan: -
Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam
-
rt-PA (alteplase) 100 mg intravena dalam 2 jam
-
Urokinase 4400/kg/jam dalam 12 jam
-
Dilanjutkan dengan unfractionated heparin/low molecular weight heparin selama 5 hari
2. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif 3. Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non massif / non sub massif 4. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi pendarahan 5. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi / trombolitik pada emboli paru massif dan sub massif 6. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan tranfusi emboli paru berulang meskipun telah menggunakan antikoagulan jangka panjang
Penggunaan trombolitik pada emboli paru masih menjadi perdebatan karena masih sedikitnya uji klinis. Namun ada suatu konsesus yang merekomendasikan penggunaanya pada kasus emboli paru massif tetapi kontroversi timbul dikarenakan kebanyakan penderita yang akan di trombolitik memiliki disfungsi ventrikel kanan yang berat. Food and Drug Administration (FDA) telah merekomendasian penggunaan t-PA (alteplase) 100 mg diberikan perinfus selama 2 jam pada kasus emboli paru massif.17,18 27
Dari data The International Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER) menunjukkan bahwa fibrinolitik tidak menurunkan angka kematian atau kekambuhan emboli paru pada 90 hari. Sementara pada emboli paru submassif, The Management Strategies and Prognosis of Pulmonary Embolism-3 Trial (MAPPET-3) menunjukkan bahwa terjadi penurunan penggunaan terapi ekskalasi diantara penderita yang mendapat alteplase.17 Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik, maka embolektomi akan menjadi pilihan terapi. Indikasi embolektomi secara pembedahan lainnya mencakup emboli paradoks (paradoxical emboli), emboli yang menetap pada jantung kanan (persistent right heart thrombi), ketidakseimbangan hemodinamik atau respiratorik yang memerlukan resusitasi kardiopulmoner.17,18 Embolektomi pulmoner dengan teknik kateterisasi (catheter-based pulmonary embolectomy) saat ini berkembang menjadi terapi primer pilihan pada emboli paru akut. Teknik ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan merupakan kontraindikasi. Pada umumnya, embolektomi dengan kateterisasi akan berhasil jika dilakukan pada fresh thrombus dalam kurun waktu 5 hari sejak ditemukan gejala.17 Pemberian antikoagulan merupakan komponen utama dalam penatalaksanaan emboli paru. Low-moleculer weight heparin (LMWH) seperti enoxaparin nyata-nyata memberikan efek yang aman dan efektif dibandingkan dengan unfractionated heparin intravena. Keuntungan LMWH dibandingkan dengan heparin antara lain LMWH memiliki dosis yang lebih sesuai dan cukup respons, tidak perlu monitoring, tidak memerlukan penyesuaian dosis, insidensi trombositopenia lebih kecil, tidak dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan dapat dilakukan pasien sendiri di rumah sehingga memperpendek masa rawatan.17,18 Antagonis vitamin K oral seperti walfarin masih tetap menjadi pilihan sebagai antikoagulan oral pada kasus-kasus tromboemboli vena dengan target INR (International Normalized Ratio) 2,0 sampai 3,0. Penggunaan optimal antikoagulan bergantung pada risiko terjadinya kekambuhan tromboemboli. Beberapa studi merekomendasikan penggunaan antikoagulasi tanpa bata waktu pada tromboemboli idiopatik.17 Saat ini telah berkrmbang teknik filter vena cava inferior (Inferior Vena Cava Filter) yang prosedurnya dilakukan melalui vena jugularis interna atau vena femoralis yang dengan panduan flouroskopi dimasukkan sampai ke vena cava inferior. Indikasi pemasanagan ini adalah: a. Penderita dengan risiko tinggi thrombosis vena dalam proksimal yang mana antikoagulasi merupakan kontra indikasi b. Tromboemboli vena yang rekuren walaupun dengan antikoagulasi c. Tomboemboli vena rekuren ronis dengan hipertensi pulmonal d. Dilakukan secara simultan bersamaan dengan operasi embolektomi atau endarterectomy17
28
2.8 Pencegahan Pencegahan emboli paru menjadi salah satu hal penting dikarenakan kelainan ini sulit dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita yang dirawat seharusnya dilakukan stratifikasi risiko emboli paru dan bila perlu mendapatkan terapi profilaksis.16 Pencegahan non farmakologis yang dapat dilakukan adalah penggunaan graduated-compression stockings, suatu alat yang memberikan kompresi berkala dan filter vena cava inferior atau kombinasi keduanya.16 Disamping itu regimen farmakologis profilaksis lainnya diberikan seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 2.2. Regimens profilaks pada tromboemboli Regimens for Venous Thromboembolism Prophylaxis Condition Prophylaxis General surgery Unfractionated heparin 5000 units SC TID or Enoxaparin 40 mg SC QD or Dalteparin 2500 or 5000 units SC QD Orthopedic surgery Warfarin (target INR 2.0 to 3.0) or Enoxaparin 30 mg SC BID or Enoxaparin 40 mg SC QD or Dalteparin 2500 or 5000 units SC QD or Fondaparinux 2.5 mg SC QD Neurosurgery Unfractionated heparin 5000 units SC BID or Enoxaparin 40 mg SC QD and Graduated compression stockings/intermittent pneumatic compression. Consider surveillance lower extremity ultrasonography Oncologic surgery Enoxaparin 40 mg SC QD Thoracic surgery Unfractioneated heparin 5000 units SC TID and Graduated compression stockings/intermittent pneumatic compression Medical patients Unfractioneated heparin 5000 units SC TID or Enoxaparin 40 mg SC QD or Dalteparin 5000 units SC QD or Fondaparinux 2.5 mg SC QD (not FDA approved) or Graduated compression stockings/intermittent pneumatic compression for patients with contraindications to anticoagulation Consider combination pharmacological and mechanical prophylaxis for very high risk patients Consider surveillance lower extremity ultrasonography for intensive care unit patients SC (subcutaneous), TID (3 times daily) QD (daily), BID (twice daily)
29
BAB 3 PENUTUP Emboli merupakan salah satu masalah kesehatan dengan insidensi yang masih tinggi dan angka mortalitasnya cukup signifikan. Deteksi dan stratifikasi risiko merupakan langkah awal dalam diagnosis dan tatalaksana suatu emboli paru sehingga dapat menrunkan angka morbiditas dan mortalitas. Dalam pendiagnosaan emboli paru dapat di tegakan dengan pemeriksaan radiologi rontgen thoraks, Scanning Ventilasi-Perfusi, Spiral Pulmonary Computed Tomography scanning, Pulmonary Scintigraphy, angiografi paru, dan Magnetic Resonance Angiografi (MRA). Pemberian antikoagulan, baik low-molecular weigth heparin, unfractinated heparin dan oral antikoagulan lain seperti warfarin masih cukup efektif dalam terapi khusus emboli paru.
30
DAFTAR PUSTAKA 1. Kusmana D, dkk. Standar Pelayanan Medik RS. Jantung Pembuluh Darah Harapan Kita.Edisi ke-2. Jakarta. 2003.h 209-11 2. Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute Pulmonary Embolism: Part II: Risk stratification, treatment, and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838 3. Sunu I.Emboli Paru: Pencegahan dan Tata Laksana Optimal Pasien Rawat Inap.Dalam: Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend Course on Cardiology, common soils in atherosclerosis: The base for prevention and intervention Jakarta.2006.h.9-18 4. Piazza G, Goldhabber SZ. Acute Pulmonary Embolism: Part I:Epidemiology and Diagnosis. Circulation 2006;114:28-32 5. Sobieszczyk P, dkk. Acute Pulmonary Embolism: Don’t ignore the platelet. Circulation 2002;106:1748-1749 6. Fedullo PF: Pulmonary Embolism. Dalam:Robert AO, Valentin F,R.Wayne A, penyunting. The Heart Manual of Cardiologi. Edisi ke-11. Boston:McGraw Hill, 2005.h.351-2 7. Myerson SG, dkk: Pulmonary Embolism.Dalam: Saul GM, Robin PC, Andrew RJ, penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi ke-1. Oxford University press, 2006.h.190-194 8. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein thrombosis. Circulation 2002;106:1436-1438 9. Julian GD: Disorders of the lungs and pulmonary circulation. Dalam: Desmond GJ, Cowan JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi ke-8. Edinburgh: Churchill livingstone,2000.h.181-7 10. Grubb NR, Newby DE: Pulmonary embolism. Dalam: Neil RG, David EN, penyunting. Cardiology. Edisi ke-1. Edinburgh: Churchill livingstone,2000.h.181-7 11. Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald. Penyunting. Braunwald’s heart disease, a textbook of cardiovascular medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier saunders,2005.h.1789-06 12. Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CAMJ 2003;168:183-194 13. Palareti G, dkk. Predictive value of D-dimer Test for recurrent venous thromboembolism after anticoagulation withdrawl in subjects with a previous idiopathic event and in carriers of congenital thrombophilia. Circulation 2003;108:313-18 14. Fedullo PF, dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N Engl J Med 2003;349:1247-56 15. Goldhaber SZ. Pulmonary embolism.N Engl J Med 1998;339:93-03 16. Janata K. Managing pulmonary embolism. BMJ 2003;326:1341-1342 17. Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism: Part II: Treatment and prophylaxis. Circulation 2006;114:42-47 18. Turpie GG, dkk. ABC of antithrombotic Therapy, venous thromboembolism: treatment strategies. BMJ 2002;325:948-50\ 31
TRAKEITIS BAB I PENDAHULUAN
Trakea adalah tabung yang dapat bergerak dengan panjang kurang lebih 5 inci (13cm) dan berdiameter 1 inci (2,5cm). Trakea mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam di dalam balokbalok kartilago hialin yang berbentuk huruf U yang mempertahankan lumen trakea tetap terbuka. Ujung posterior kartilago yang bebas dihubungkan oleh otot polos yang disebut otot trachealis.(6) Salah satu gangguan yang dapat terjadi pada trakea adalah trakeitis. Trakeitis adalah suatu infeksi/peradangan yang disebabakan oleh bakteri yang ditandai dengan obstruksi jalan napas, sepsis, dan bahkan dapat terjadi kematian. Trakeitis paling sering terjadi pada anak usia 3 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak usia 8 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin yang jelas pada insidens atau keparahannya Penyebab trakeitis antara lain Staphylococcus, Streptococcus, dan Streptococcus pneumoniae, ditandai dengan demam tinggi, stridor, dan gejala obstruksi jalan napas bagian atas.(2) Pengobatan dapat dilakukan dengan terapi antimikroba, bronkoskopi, lavage, dan intubasi(2).
32
BAB II TRAKEITIS
I.
DEFINISI Trakeitis adalah suatu infeksi/peradangan disebabkan oleh bakteri yang menyebabkan
obstruksi jalan napas, sepsis, dan kematian. Obstruksi jalan napas yang jelas di laringotrakea sangat berbeda dengan penyakit paru obstruktif menahun. Obstruksi laringotrakea ditandai dengan meningkatkan usaha ventilasi untuk mempertahankan batas normal ventilasi alveolus sampai terjadi kelelahan. Hal ini terjadi pada obstruksi akut atau kronis. Pada pasien yang lelah, kematian terjadi dalam beberapa menit atau jam setelah usaha ventilasi maksimal tidak dapat mempertahankan ventilasi alveolus yang normal. Jadi obstruksi saluran napas bagian atas harus dipikirkan, jika pemakaian bronkodilator tidak dapat mengatasi obstruksi jalan napas.(3) Trakeitis paling sering terjadi pada anak usia 3 tahun, tetapi dapat terjadi pula pada anak berusia 8 tahun. Timbulnya penyakit yang tak diketahui secara pasti. Tidak ada perbedaan jenis kelamin yang jelas pada insidens atau keparahannya. Klasifikasi lesi obstruktif laring dan trakea (1) A. Perkembangan 1. Anomali vaskuler -
kompresi arkus aorta atau cabang-cabangnya
-
hemangioma subglotis
-
angioma trakea
2. Malformasi Kongenital
33
-
stenosis glottis dan subglotis
-
selaput hipoplasia
-
kista dan tumor
B. Infeksi 1. Bayi dan anak -
croup
-
epiglottis
-
trakeobronkitis
-
oedem laring
-
spasme laring
-
difteri
2. Dewasa -
laringitis akut
-
epiglotitis
-
tuberculosis
-
jamur
-
mediastinitis
C. Trauma -
striktur pasca intubasi
-
polip
-
fraktur laring
-
pemisahan laringotrakea
-
trauma tumpul dari luar
-
benda asing
D. Paralisis pita suara bilateral neurogenik 1. Pasca bedah -
pascabedah tiroid dan paratiroid
-
pascabedah ekstensif fosa S.S.P. 34
-
bedah ekstensif mediastinum
2. Pasca trauma -
intubasi lama
-
subluksasi aritenoid
3. Pasca inflamasi -
difteri
-
tuberkulosis
4. Idiopatik (tersering) E. Neoplasma 1. Jinak -
papilomatosis skuamosa
-
fibroma
-
polip inflamasi
2. Ganas -
karsinoma sel skuamosa laring dan trakea (tersering)
-
adenokarsinoma
-
karsinoma mukoepidermoid
-
limfoma
-
sarkoma-leiomiosarkoma, kondroma
-
karsinoma tiroid invasiv
-
metastasis karsinoma
F. Mekanik -
obesitas
-
sindrom Pickwickian
-
sindrom apnea saat tidur
-
makrognatia
1. Kompresi eksterna -
lesi leher-goiter, limfoma 35
-
lesi mediastinum-goiter substernal
-
timoma
-
penyakit limfoproliferatif
-
metastasis karsinoma
-
tuberkulosis
2. Obstruksi sekret -
sekresi laring dan trakea
-
trakeitis sika
-
bronkiolitis
-
bronkitis
-
bronkiektasis
-
sindrom silia tak bergerak (sindrom Kartagener)
G. Etiologi tidak diketahui
II.
-
trakeopati osteoplastik
-
polikondritis berulang
-
amiloid
-
trakeomalasi
-
laringomalasi
ETIOLOGI Trakeitis bakteri, suatu infeksi akut saluran pernapasan atas, tidak melibatkan epiglotis,
tetapi seperti epiglotitis dan croup, trakeitis bakteri mampu menyebabakan obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa. S. aureus adalah patogen yang paling lazim diisolasi. Virus parainfluenza tipe 1, Moraxell catarrhalis, dan H. influenzae telah terlibat dalam infeksi ini. Kebanyakan penderita berumur kurang dari 3 tahun, walaupun anak yang lebih tua kadang-kadang telah terkena. Tidak ada perbedaan jenis kelamin yang jelas pada insidens atau keparahannya. Trakeitis bakteri biasanya pasca infeksi virus pernapasan yang jelas (terutama laringotrakeitis). Trakeitis mungkin merupakan komplikasi bakteri penyakit virus, bukannya penyakit bakteri primer. Wujud yang mengancam jiwa ini mungkin setidak-tidaknya, selazim epiglotitis. 36
III.
MANIFESTASI KLINIK Khasnya pada anak timbul batuk keras dan kasar, tampak sebagai bagian dari
laringotrakeobronkitis. Demam tinggi dan “toksisitas” dengan kegawatan pernapasan dapat terjadi segera atau sesudah beberapa hari dari perbaikan yang tampak(3). Pengobatan yang biasa digunakan untuk croup (misalnya, kabut, cairan intravena, epinefrin rasemik aerosolisasi) tidak efektif. Pada trakeitis dapat juga terjadi odinofagi. Intubasi atau trakeostomi biasanya diperlukan. Patologi utama yang tampak adalah pembengkakan mukosa pada setinggi kartilago krikoid, yang dikomplikasi oleh sekresi purulen, kental banyak sekali. Pengisapan sekresi ini, walaupun kadang-kadang memberikan pelegaan sementara, biasanya tidak cukup menghindarkan perlunya jalan napas buatan.
IV.
DIAGNOSIS Diagnosis didasarkan pada bukti adanya penyakit saluran pernapasan atas bakteri, yang
meliputi leukositosis sedang dengan banyak bentuk batang, demam tinggi, dan sekresi jalan napas purulen dan tidak adanya tanda-tanda klasik epiglotitis.(3)
V.
PENGOBATAN Terapi antimikroba yang tepat, yang biasanya meliputi agen antistafilokokus, harus
diberikan pada setiap penderita dengan croup yang perjalanannya memberi kesan trakeitis bakteri sekunder. Bila didiagnosis trakeitis bakteri dengan laringoskopi langsung atau sangat dicurigai atas dasar klinis, jalan napas buatan biasanya terindikasi. Penambahan oksigen mungkin diperlukan. Pada trakeitis dapat juga dilakukan bronkoskopi, lavage, dan intubasi. Pada bronkoskopi memungkinkan dokter memeriksa bagian dalam trakea, percabangannya yang dinamakan carina, dan bronkus principalis.(6)
37
VI.
KOMPLIKASI Roentgenogram dada sering menunjukkan bercak infiltrate dan dapat menampakkan
kepadatan lokal. Penyempitan subglotis dan kolom udara trakea yang terobek-robek kasar seringkali dapat diperlihatkan secara rontgenografi. Jika manajemen saluran udara tidak optimal, dapat terjadi henti kardiorespirasi. Sindrom syok toksik telah dihubungkan dengan trakeitis.(3)
VII.
PROGNOSIS Prognosis untuk kebanyakan penderita sangat baik. Kebanyakan penderita menjadi afebris
dalam 2-3 hari pemberian antimikroba yang tepat, tetapi rawat-inap yang lama di rumah sakit mungkin diperlukan. Dengan berkurangnya edema mukosa dan sekresi purulen, ekstubasi dapat diselesaikan dengan aman, dan penderita dapat diamati secara cermat sementara terapi antibiotik dan oksigen diteruskan. Rata-rata lama rawat-inap12 hari pada satu seri.(3)
38
BAB III KESIMPULAN Trakea adalah tabung yang dapat bergerak dengan panjang kurang lebih 5 inci (13cm) dan berdiameter 1 inci (2,5cm). Trakea mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam di dalam balokbalok kartilago hialin yang berbentuk huruf U yang mempertahankan lumen trakea tetap terbuka. Salah satu gangguan yang dapat terjadi pada trakea adalah trakeitis. Penyebab trakeitis antara lain Staphylococcus, Streptococcus, dan Streptococcus pneumoniae, ditandai dengan demam tinggi, stridor, dan gejala obstruksi jalan napas bagian atas. Diagnosis didasarkan pada bukti adanya penyakit saluran pernapasan atas bakteri, yang meliputi leukositosis sedang dengan banyak bentuk batang, demem tinggi, dan sekresi jalan napas purulen dan tidak adanya tanda-tanda klasik epiglotitis. Pengobatan
meliputi
agen
antistafilokokus,
,bronkoskopi,
lavage,
dan
intubasi.
Penyempitan subglotis dan kolom udara trakea yang terobek-robek kasar seringkali dapat diperlihatkan secara rontgenografi. Jika manajemen saluran udara tidak optimal, dapat terjadi henti kardiorespirasi. Trakeitis dapat menyebabkan sindrom syok toksik. Prognosis untuk kebanyakan penderita sangat baik. Kebanyakan penderita menjadi afebris dalam 2-3 hari setelah pemberian antimikroba yang tepat.
39
PNEUMOKONIOSIS BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bidang kedokteran Okupasi dan Industri erat kaitannya dengan peran bidang kedokteran yang berfokus pada kesehatan para pekerja di lingkungan pekerjaannya, diantaranya bertujuan agar pekerja memperoleh ‘derajat setinggi-tingginya’ , baik secara, fisik, mental maupun sosial. Ini bisa berarti bahwa sedapat mungkin para pekerja mendapatkan kelayakan yang memuaskan di lingkungan pekerjaannya. Jadi, bukan berarti pekerja hanya sebagai bagian dari sistem produksi semata tanpa diperhatikan kesejahteraan dan kesehatannya, namun lebih dari itu pekerja juga diperhatikan masalah kesejahteraan khususnya kenyamanan dan kesehatan di lingkungan kerjanya. Kedokteran Okupasi juga melingkupi usaha-usaha strategis baik preventif dan kuratif, menangani penyakit-penyakit yang mungkin terjadi diakibatkan lingkungan pekerjaan yang memiliki potensi berbahaya, mengancam keselamatan jiwa dan raga pekerja. Keselamatan jiwa dan raga meliputi keselamatan hidup pekerja dilingkungan pekerjaan & kesehatan pekerja. Dalam prakteknya, para ahli kedokteran okupasi melakukan pengukuran/ pengujian / analisa tertentu sehingga dapat melakukan koreksi pada lingkungan pekerja, maupun memberikan saran terbaik untuk lingkungan pekerja yang lebih kondisif, sehat, aman dan nyaman. Perkembangan Industri di Indonesia memiliki dampak positif dan negatif. Kemajuan perekonomian dan meningkatnya taraf hidup masyarakat di sekitar perindustrian merupakan salah satu dampak positif, namun dampak negatif yang ditimbulkan untuk beberapa jenis industri tertentu justru mengkhawatirkan, karena mengancam kesehatan dan lingkungan, diantaranya pencemaran udara ataupun proses pengolahan bahan baku tertentu yang berpotensi bahaya seperti debu batu bara, semen, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas-gas beracun, dan lainnya. Tergantung jenis paparan yg terhisap, berbagai penyakit paru dapat timbul pada seseorang/pekerja. Pengetahuan tentang dampak debu-debu berbahaya terhadap paru, penting untuk dapat mengenali kelaianan/ gejala yang mungkin terjadi serta jika memungkinkan dapat dilakukan usaha pencegahan.
B. Maksud dan Tujuan Untuk mengkaji tentang debu-debu berbahaya pada pekerja di lingkungan pekerja sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan langkah-langkah yang tepat serta mengenali gejala-gejala awal akibat debu-debu berbahaya tersebut, sehingga tindakan kuratif yang lebih dini dapat diusahakan.
40
BAB II PEMBAHASAN
Saluran pernapasan pada manusia berhubungan dengan udara yang dihirup. Udara yang dihirup tentu berasal dari lingkungan sekitar manusia berada. Udara juga membawa partikel-partikel kecil (debu) yang mungkin memiliki potensi berbahaya. Dalam hal ini pekerja dengan lingkungan pekerjaan yang berdebu, baik debu yang berbahaya dan tidak berbahaya, berikut ini akan dikaji karakteristik debu. Debu Industri yang terdapat di udara dibagi 2, yaitu partikel debu yang hanya sementara berada di udara (deposit particulate matter) dan debu yang tetap berterbangan bersama udara dan tidak mudah mengendap (Suspended particulate matter). Sedang partikel yang dapat dihirup manusia berukuran atara 0,1 hingga 10 mikron. Debu dengan ukuran 5-10 mikron bila terhirup akan tertahan dalam saluran napas bagian atas. Untuk debu ukuran 3-5 mikron akan tertimbun dalam saluran napas bagian tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron (debu respirable) adalah yang paling berbahaya karena dapat tertahan dan tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli. Debu < 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu dengan ukuran 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli, bila membentur alveoli dapat tertimbun juga. Meskipun batas debu respirable adalah 5 mikron, namun debu ukuran 5-10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk dalam alveoli. Debu berukuran > 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel/mmᶟ udara. Bila jumlahnya 1.000 partikel/mmᶟ udara, maka 10%-nya akan tertimbun dalam paru. Debu yang non-fibrogenik (tidak menimbulkan reaksi jaringan paru) contohnya debu besi, kapur, timah. Debu –debu ini dulunya dianggap tidak merusak paru, di sebut juga debu inert. Namun akhir-akhir ini diketahui bahwa tidak ada debu yang benar-benar inert. Dalama jumlah banyak semua debu bersifat merangsang dan menimbulkan reaksi walau ringan. Reaksi itu dapat berupa produksi lendir yang berlebih, bila terus menerus berlangsung dapat terjadi hiperplasia kelenjar mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan ikat retikulin. Penyakit ini disebut pneumokoniosis non-kolagen. Sedang debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga terbentuk fibrosis (jaringan parut). Penyakit ini disebut Pneumokoniosis kolagen. Termasuk debu fibrogenik adalah debu silika bebasm debu batu bara, dan asbes. Debu-debu yang masuk ke dalam saluran pernapasan menyebabkan timbulnya reaksi pertahanan non-spesifik, antara lain batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos disekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan bronkus. Keadaan ini terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak & mekanisme pengeluaran tidak sempurna, dapat menyebabkan obstruksi saluran napas, sehingga resistensi jalan napas meningkat. Sedangkan apabila partikel debu masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul, lalu dengan sistem limfatika terjadi proses fagositosis debu oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas lagi terjadi autolisis lagi, keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada 41
pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial. Akibat fibrosis, paru menjadi kaku sehingga dapat menyebabkan gangguan pengembangan paru, kelaianan fungsi paru yang restriktif. Penyakit paru yang dapat timbul karena debu selain tergantung dari sifat-sifat debu, juga jenis debu, lama paparan dan kepekaan individu. Pneumokoniosis biasanya timbul setelah paparan bertahun-tahun. Apabila kadar debu tinggi / kadar silika bebas tinggi dapat terjadi silikosis akut yang menimbulkan manifestasi setelah terpapar 6 bulan. Dalam masa paparan yang sama, kelainan yang timbul pada pekerja yang berbeda, dampaknya bisa berbeda pula. Hal ini karena perbedaan kepekaan tubuh antar para pekerja. Beberapa penyakit akibat debu antara lain adalah asma kerja, bronkitis industri, pneumokoniosis batubara, silikosis, asbestosis dan kanker paru. Penyakit paru yang disebabkan oleh debu- debu berbahaya disebut Pneumokoniosis. Nama dari setiap pneumokoniosis tergantung dari debu yang memapar pekerja. Berikut tabel yang menjelaskannya :
Jenis Coal Worker Pneumokoniosis (CWP)
Etiologi Batu Bara
Silikosis
Silika
Asbestosis
Asbes
Siderosis Berryliosis
Besi Berilium
Diagnosis Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan tanda yang mirip dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu dilingkungan kerja. Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti meliputi riwayat pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, karena penyakit biasanya baru timbul setelah paparan yang cukup lama. Anamnesis mengenai riwayat pekerjaan yang akurat dan rinci sangat diperlukan, apabila penderita sering berganti tempat kerja. Berbagai faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan lingkungan perlu diketahui secara rinci. Karena menunjang penegakan diagnosa penyakit paru yang mungkin diakibatkan oleh pekerjaan / lingkungan pekerjaan.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis dan menilai kerusakan paru akibat debu adalah Pemeriksaan Radiologis dan Pemeriksaan Faal Paru dengan Spirometri. Pemeriksaan foto thorax sangat berguna untuk melihat kelainan yang 42
ditimbulkan oleh debu pada Pneumokoniosis. Klasifikasi Standar menurut ILO dipakai untuk menilai kelainan yang timbul. Pembacaan foto Thorax pneumokoniosis perlu dibandingkan dengan foto standar untuk menentukan klasifikasi kelainan. Kualitas foto harus baik atau dapat diterima untuk dapat menginterpretasikan kelainan paru lewat foto Rontgen. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa digunakan untuk keperluan penegakan diagnosis adalah CT Scan, BronchoAlveolar Lavage (BAL), Biopsi.
Pemeriksaan Faal Paru Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitif dan bersifat reprodusibel serta digunakan secara luas adalah Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru dan Volume Ekspirasi Paksa pada detik pertama. Selain berguna untuk menunjang diagnosis juga perlu untuk melihat laju penyakit, efektivitas pengobatan dan menilai prognosis. Pemeriksaan sebelum seseorang bekerja dan pemeriksaan berkala setelah bekerja dapat mengidentifikasi penyakit dan perkembangannya, pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala. Pemeriksaan faal paru lain yang lebih sensitif untuk mendeteksi kelainan di saluran napas kecil adalah pemeriksaan Flow Volume Curve dan Volume of Isoflow. Pengukuran kapasitas difusi paru (DLCO) sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan di interstisial, tetapi pemeriksaan ini rumit dan memerlukan peralatan yang lebih canggih, dan tidak dianjurkan digunakan secara rutin. Pekerja yang pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan kelainan, kemudian menderita kelainan setelah bekerja dan penyakitnya terus berlanjut, dianjurkan untuk menukar pekerjaannya. Ini bisa berarti beralih pekerjaan, atau pindah pada bagian/divisi yang lain di dalam komunitas para pekerja.
Pneumokoniosis Pekerja Tambang Batu Bara Penyakit terjadi akibat penumpukan debu batubara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama , biasanya setelah pekerja terpapar > 10 tahun. Berdasarkan gambaran foto Thorax dibedakan atas bentuk simple dan complicated. Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP) terjadi karena inhalasi debu batubara saja. Gejalanya hampir tidak ada, dan bila paparan tidak berlanjut maka penyakit ini tidak akan memburuk. Penyakit ini dapat berkembang menjadi bentuk complicated. Kelainan foto thorax pada simple CWP berupa perselubungan halus bentuk lingkar, perselubungan dapat terjadi di bagian mana saja pada lapangan paru, yang paling sering di lobus atas. Sering ditemukan perselubungan bentuk p dan q. Pemeriksaan Faal Paru biasanya tidak menunjukkan kelainan. Nilai VEP₁ dapat sedikit menurun sedangkan kapasitas difusi biasanya normal. Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis Masif Progresif (PMF) ditandai adanya daerah fibrosis yang luas hampir selalu terdapat di lobus atas. Fibrosis biasanya terjadi karena satu atau lebih faktor berikut : 1. Terdapat silika bebas dalam debu batubara. 43
2. Konsentrasi debu yang sangat tinggi. 3. Infeksi Mycobacterium tuberculosis atau atipik 4. Imunologi penderita buruk. Pada daerah fibrosis dapat timbul kavitas dan ini bisa menyebabkan pneumotoraks; foto thorax pada PMF sering mirip tuberkulosis, tetapi sering ditemukan bentuk campuran karena terjadi emfisema. Tidak ada korelasi antara kelainan faal paru dan luasnya lesi pada foto thorax. Gejala awal biasanya tidak khas. Batuk dan sputum menjadi lebih sering, dahak berwarna hitam (melanoptisis). Kerusakan yang luas menimbulkan sesak napas yang makin bertambah, pada stadium lanjut terjadi kor hipertensi pulmonal, gagal ventrikel kanan dan gagal napas. Penelitian pada pekerja tambang batubara di Tanjung Enim tahun 1988 menemukan bahwa dari 1735 pekerja ditemukan 20 orang / 1,15% , foto thoraxnya menunjukkan gambaran pneumokoniosis. Silikosis Penyakit ini terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung kristalin silikon dioksida atau silika bebas. Pada berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan silika, penyakit silikosis ini dapat terjadi , seperti pada pekerja : 1. Pekerja tambang logam dan batubara 2. Penggali terowongan untuk membuat jalan 3. Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan 4. Pembuat keramik dan batubara 5. Penuangan besi dan baja 6. Industri yang memakai silika sebagai bahan, misalnya pabrik amplas & gelas 7. Pembuat gigi enamel 8. Pabrik semen Usaha untuk menegakkan diagnosis silikosis secara dini sangat penting, oleh karena penyakit dapat terus berlanjut meskipun paparan telah dihindari. Pada penderita silikosis, insidensi tuberkulosis lebih tinggi dari populasi umum. Secara klinis terdapat 3 bentuk silikosis, yakni silikosis akut, silikosis kronik, silikosis terakselerasi. *Silikosis Akut* Penyakit dapat timbul dalam beberapa minggu, bila pekerja terpapar dengan konsentrasi sangat tinggi. Perjalanan penyakit sangat khas, yaitu gejala sesak napas yang progresif, demam, batuk dan penurunan berat badan setelah paparan silika konsentrasi tinggi dalam waktu relatif singkat. Lama paparan silika berkisar antara beberapa minggu hingga 4 atau 5 44
tahun. Kelainan Faal paru yang timbul adalah restriksi berat dan hipoksemia disertai penurunan kapasitas difusi. *Silikosis Kronik* Kelainan pada penyakit ini mirip dengan pneumokoniosis pekerja tambang batubara, yakni terdapat nodul yang biasanya dominan di lobus atas. Bentuk silikosis kronik paling sering ditemukan, terjadi setelah paparan 20 hingga 45 tahun oleh kadar debu yang relatif rendah. Pada stadium simple, nodul di paru biasanya kecil dan tanpa gejala/ minimal. Walaupun paparan tidak ada lagi, namun kelainan paru dapat menjadi progresif sehingga terjadi fibrosis yang masif. Pada silikosis kronik yang sederhana, foto Thorax menunjukkan nodul terutama di lobus atas dan mungkin disertai kalsifikasi. Pada bentuk lanjut terdapat massa yang besar yang tampak seperti sayap malaikat (angel’s wing). Sering terjadi reaksi pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar hilus biasanya membesar dan membentuk bayangan egg shell calcification. Jika fibrosis masif progresif terjadi, volume paru berkurang dan bronkus mengalami distorsi. Faal paru menunjukkan gangguan restriksi, obstruksi atau campuran. Kapasitas difusi dan komplian menurun. Timbulnya gejala sesak napas, biasanya disertai batuk dan produksi sputum. Sesak pada awalnya terjadi saat aktivitas, kemudian pada waktu istirahat dan akhirnya timbul gagal kardiorespirasi. Di pabrik semen daerah cibinong (1987) dari 176 pekerja yang diteliti ditemukan silikosis sebanyak 1,13% dan diduga silikosis 1,7%. Pada tahun 1991 penelitian pada 200 pekerja pabrik semen ditemukan dugaan silikosis sebanyak 7%. Perbedaan angka yang didapat, diduga karena perbedaan kualitas foto thorax, dan kadar silika bebas dalam debu yang memapari pekerja. *Silikosis Terakselerasi* Bentuk kelainan ini serupa dengan silikosis kronik, hanya saja perjalanan penyakit lebih cepat dari biasanya, menjadi fibrosis masif, sering terjadi infeksi mikobakterium tipikal / atipik. Setelah paparan 10 tahun sering terjadi hipoksemia yang berakhir dengan gagal napas.
Asbestosis Penyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbulkan pneumokoniosis yang ditandai dengan fibrosis paru. Paparan dapat terjadi di daerah industri dan tambang, atau daerah yang udaranya terpolusi debu asbes. Pekerja yang dapat terkena asbestosis adalah pekerja tambang, penggilingan, trransportasi, pedagang, pekerja kapal dan pekerja penghancur asbes. Pada stadium awal mungkin tidak ada gejala meskipun foto Thorax menunjukka gambaran asbestosis / penebalan pleura. Gejala utama adalah sesak napas yang pada awalnya terjadi pada waktu aktivitas. Pada stadium akhir gejala yang umum adalah sesak napas pada saat istirahat, batuk, dan penurunan berat badan. Sesak napas terus memburuk meskipun penderita dijauhkan dari paparan asbes, 15 tahun sesudah awal penyakit biasanya terjadi kor pulmonal dan kematian. Penderita sering mengalami infeksi saluran napas, keganasan pada bronkus, gastrointestinal dan pleura sering menjadi penyebab kematian.
45
Pada stadium awal, pemeriksaan fisik tidak banyak menunjukkan kelainan, akibat fibrosis difus dapat terdengar ronki basah di lobus bawah bagian posterior. Bunyi ini makin jelas bila terjadi bronkiektasis (penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik) akibat distorsi paru yang luas karena fibrosis. Jari tabuh (Clubbing finger) sering ditemukan pada penderita asbestosis. Perubahan pada foto Thorax lebih jelas pada bagian tengah dan bawah paru, dapat berupa bercak difus atau bintik-bintik putih, bayangan jantung sering menjadi kabur. Diafragma dapat meninggi pada stadium lanjut larena paru yang mengecil. Penebalan pleura biasanya terjadi bilateral, terlihat di daerah tengah dan bawah terutama bila timbul kalsifikasi. Bila proses lanjut, terlihat gambaran sarang tawon di lobus bawah. Mungkin ditemukan keganasan bronkus atau Mesothelioma ( Kanker pleura ). Berbeda dengan pneumokoniosis batubara dan silikosis yang penderitanya dapat mempunyai gejala sesak napas tanpa kelainan foto Thorax. Pemeriksaan faal paru menunjukkan kelainan restriksi meskipun tidak ada gejala ,pada sebagian penderita terdapat kelainan obstruksi. Kapasitas difusi dan komplians paru menurun, pada tahap lanjut terjadi hipoksemia. Biopsi paru mungkin perlu pada kasus tertentu untuk menegakkan diagnosis. Biopsi paru transbronkial hendaknya dilakukan untuk mendapatkan jaringan paru. Pemeriksaan bronkoskopi juga berguna menyingkirkan atau mengkonfirmasi adanya karsinoma bronkus yang dapat terjadi bersamaan dengan kejadian asbestosis.
Pengobatan dan Pencegahan Tidak ada pengobatan spesifik dan efektif pada penyakit paru yang disebabkan oleh debu industri. Penyakit biasanya memberi gejala bila kelainan telah lanjut. Pengobatan umumnya bersifat simtomatis, yaitu hanya mengobati gejala saja. Obat-obat yang diberikan bersifat suportif. Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri.
46
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Debu industri di tempat kerja dapat menimbulkan kelainan dan penyakit paru. Berbagai faktor berperan pada mekanisme timbulnya penyakit, diantaranya adalah jenis, konsentrasi , sifat kimia debu, lama paparan dan faktor individu pekerja. Timbulnya penyakit seperti pneumokoniosis ini terjadi karena paparan debu batubara yang lama > 10 tahun. Sehingga berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit / mengurangi laju penyakit akibat kerja. Juga perlu diketahui apakah pada suatu industri / tempat kerja ada zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan pada paru. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang berterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi, pekerja diharuskan memakai alat pelindung. Pemeriksaan Faal Paru dan Radiologis sebelum seorang menjadi pekerja dan pemeriksaan secara berkala untuk mendeteksi secara dini kelainan-kelainan yang timbul. Bila pekerja telah menderita penyakit akibat debu, berpindah ke tempat yang tidak ada paparan debu mungkin dapat mengurangi laju penyakit. Dengan kata lain menghindari faktor pencetus penyakit. Pekerja yang merokok hendaknya mengurangi konsumsi rokok sedikit-demi sedikit, terutama bila bekerja di tempat-tempat yang beresiko terjadi penyakit bronkitis industri dan kanker paru, karena konsumsi rokok dapat meninggikan resiko timbulnya penyakit. Pengobatan penyakit paru akibat debu industri hanya bersifat simtomatis (mengurangi gejala) dan suportif. Sehingga usaha pencegahan merupakan langkah penatalaksanaan yang penting.
DAFTAR PUSTAKA
-
Kuliah Kedokteran Okupasi dan Industri
-
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.pdf/14 DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.html
-
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/29bae5b3c08395cf20b0562ac209b1996ea04 507.pdf
47