TEKNOLOGI BIOPROSES PEMBUATAN BIOETANOL DARI UBI KAYU MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae
OLEH: Adilah R. Gani Grace Natalie Catherine Siti Nur Halimah Yasmin Nabilah
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bioproses adalah proses, aplikasi, cara, teknik yang menggunakan organisme maupun bagiannya misal cell enzim kloroplas untuk menghasilkan produk tertentu. Bioproses bekerja pada garis batas antara biologi dan ilmu teknik untuk “Membawa Teknik ke Kehidupan” melalui konversi materi biologi menjadi bentuk lain yang diperlukan oleh umat manusia.. Aplikasi dari teknik bioproses diantaranya adalah produksi bahan bakar nabati, produksi bahan material berbasis biologi (biomaterials), perancangan dan pengoperasian sistem fermentasi, perancangan dan pengoperasian pengolahan limbah, pengembangan sistem pemrosesan pangan, aplikasi dan pengujian teknologi pemisahan produk, perancangan instrumentasi untuk memantau dan mengendalikan proses biologi, dan berbagai aplikasi lainnya. ( Setiadi,2007) Tema yang kami ambil adalah pembuatan bioetanol dari tumbuhtumbuhan dengan menggunakan jamur Saccharomyces Cereviceae. Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang mengandung komponen pati atau selulosa. Kedua komponen ini merupakan homopolimer dari glukosa. Bietanol dapat dipergunakan sebagai salah satu energi alternatif pensubsitusi bensin yang ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yaitu saccharine material, starchy material dan lignocellulose material (Pandey, 2009). Saccharine material dapat langsung difermentasi untuk menghasilkan etanol. Starchy material perlu dilakukan hidrolisis terlebih dahulu sebelum difermentasi. Lignocellulose material perlu dilakukan pretreatment untuk mendegradasi strukturnya yang kompleks. Produksi bioetanol terdiri dari beberapa proses, yaitu pretreatment, hidrolisis dan fermentasi.
Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2007), proyeksi konsumsi etanol untuk mensubsitusi 5 % premium (E5) di Indonesia dari tahun 2007 – 2010 ditargetkan sekitar 5 % dan tahun 2011 - 2015 ditargetkan sekitar 10 % atau sekitar 2,78 juta kL dari total konsumsi. Berbagai jenis sumber bahan baku bioetanol terdapat di Indonesia, seperti ubi kayu, sagu, ubi jalar dan tetes tebu. Ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol mempunyai kelebihan yaitu dapat tumbuh pada lahan yang kurang subur, mempunyai daya tahan tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur masa panennya. Perkembangan produksi ubi kayu di Indonesia mengalami peningkatan sekitar 23 % (16 ton menjadi 20 ton) dari tahun 2000 - 2008 (Deptan 2008 dalam ). Ubi kayu mempunyai kadar karbohidrat sekitar 32 – 35 % yang sebagian besar adalah pati yaitu sekitar 83,8%. Komponenkomponen lain ubi kayu terdiri dari air, protein, lemak, serat dan abu. Serat pada ubi kayu tersusun dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan protein. Konversi bahan baku pati ubi kayu menjadi bioetanol menghasilkan rendemen sekitar 16, 67 %, ini berarti setiap pengolahan 1 ton ubi kayu akan menghasilkan 166,7 liter bioetanol (Nurdyastuti 2005). Rendemen yang dihasilkan pada proses pembuatan bioetanol dari ubi kayu sangat tergantung pada kemampuan proses hidrolisis komponen-komponen ubi kayu terutama pati menjadi glukosa, selanjutnya tinggi rendahnya kandungan glukosa hasil hidrolisis akan mempengaruhi proses fermentasi dalam pembentukan etanol. Penggunaan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol selama ini lebih banyak hanya memanfaatkan kandungan patinya, sedangkan komponen-komponen biomassa seperti selulosa dan hemiselulosa yang juga mempunyai potensi menghasilkan bioetanol belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan dalam proses hidrolisisnya hanya menggunakan enzim-enzim amilolitik yang hanya mampu menghidrolisis fraksi pati (Artana 2009).
Saat ini terdapat beberapa teknologi proses produksi bioetanol yang telah dikembangkan seperti proses hidrolisis dan fermentasi secara bertahap, proses sakarifikasi fermentasi secara simultan dan proses hidrolisis kofermentasi (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Arnata et al. (2009) melaporkan bahwa dengan penggunaan teknik ko-kultur Trichoderma viride, Aspergillus niger dan S. cerevisiae pada proses fermentasi tepung ubi kayu mampu menghasilkan konsentrasi bioetanol 7,41 % (b/v) atau meningkat 19,56 % jika dibandingkan dengan proses fermentasi menggunakan monokultur S. cerevisiae. Pada produksi dengan menggunakan proses sakarifikasi fermentasi simultan mampu menghasilkan bioetanol dengan konsentrasi 5,32 %(b/v) (Bambang dan Arnata, 2010) Untuk produksi bioetanol berbahan baku pati, penggunaan amilolitik yeast yang mampu memproduksi enzim-enzim hidrolase dalam proses likuifikasi dan sakarifikasi larutan pati untuk menghasilkan glukosa secara langsung memberikan salah satu alternatif produksi yang lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan enzimenzim amilolitik komersial yang harganya sangat mahal. Ragi tape dapat menjadi alternatif starter amilolitik yang dapat dipergunakan dalam proses hidrolisis dan fermentasi untuk produksi bioetanol. 1.2. Tujuan 1. Mengetahui proses pembuatan bioetanol dari tumbuh-tumbuhan dengan menggunakan jamur Saccharomyces Cereviceae 2. Memenuhi tugas mata kuliah dasar-dasar bioproses 1.3. RU
II.
PEMBAHASAN Adanya potensi amilolitik dari ragi tape memungkinkan dilakukan proses hidrolisis pati tanpa menggunakan enzim amilolitik komersial khususnya amiloglukosidase. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka pengembangan teknik fermentasi secara ko-kultur dapat menjadi alternatif untuk memproduksi bioetanol dengan harapan dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang dihasilkan jika dibandingkan dengan penggunaan teknik fermentasi monokultur. Dengan teknik kokultur ragi tape dan S. cerevisiae, mikrobamikroba amilolitik yang terdapat pada ragi tape terlebih dahulu akan menghidrolisis pati menjadi glukosa dan glukosa yang terbentuk selanjutnya akan dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk menghasilkan bioetanol. Dengan kata lain, kondisi yang diharapkan dengan teknik ko-kultur ini adalah adanya sinergisme antara konsorsium mikroba ragi tape dengan S. cerevisiae dalam menghidrolisis dan memfermentasi. Dengan adanya harapan terjadinya sinergisme ini, maka permasalahan yang muncul adalah bagaimana teknik kokultur (waktu pencampuran) yang tepat antara ragi tape dengan S. cerevisiae sehingga pati yang dipergunakan sebagai substrat pada tahap awal bisa terhidrolisis secara optimal, selanjutnya. Waktu pencampuran merupakan salah satu faktor kritis yang mempengaruhi sinergisme konsorsium mikroba dalam teknik ko-kultur. Faktor tersebut berpengaruh langsung terhadap laju hidrolisis dan pertumbuhan mikroorganisme. Laju hidrolisis akan berpengaruh terhadap konsentrasi substrat (glukosa) yang dihasilkan oleh ragi tape, selanjutnya konsentrasi substrat akan mempengaruhi biosintesis glukosa menjadi etanol oleh S. cerevisiae. Konsentrasi substrat yang terlalu tinggi dapat menjadi faktor AGROINTEK Volume 7, No.1 Maret 2013 23 penghambat kinerja enzim-enzim hidrolitik, penghambat pertumbuhan ragi dan bahkan dapat menyebabkan inaktifnya sel ragi. Sebaliknya, konsentrasi yang terlalu rendah menjadi faktor pembatas yang menyebabkan sel ragi kekurangan
substrat untuk metabolisme pertumbuhan sel. Jika faktor diatas dapat dikendalikan, maka akan dapat meningkatkan produk yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan alternatif teknologi bioproses pembuatan bioetanol dari ubi kayu dengan menggunakan teknik kokultur ragi tape dan S. cerevisiae yang menghasilkan konsentrasi etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses produksi tanpa ko-kultur.