Tugas Bu Arianti Ppok.docx

  • Uploaded by: asfira
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Bu Arianti Ppok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,345
  • Pages: 8
NAMA: ASFIRA NIKEN FITRIAWANDA NIM : 20170320005 Definisi dan klasifikasi PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli

Epidemiologi Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan.6 Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%). Etiologi dan Faktor Resiko PPOK 1. Merokok Merokok sampai sekarang merupakan etiologi utama terjadinya PPOK. Hubungan inipun berkaitan langsung dengan jumlah rokok yang dihisap. Studi menunjukkan adanya perbaikan fungsi respirasi pada perokok yang berhenti merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini juga berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun Hal yang dapat membantu penilaian faktor resiko merokok pada PPOK antara lain : A. Riwayat merokok, dibagi atas :  Perokok aktif  Perokok pasif  Bekas perokok

B.

Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :  Ringan : 0-200  Sedang : 200-600  Berat : >600 2. Riwayat Pekerjaan Pada pekerja tambang, misalnya tambang batu bara, PPOK dapat terjadi disebabkan adanya inhalasi debu dari bahan tambang yang terakumulasi didalam paru dan dapat merusak jaringan paru. Respon inflamasi terhadap bahan asing inipun mengakibatkan terjadinya PPOK 3. Hiperresponsi Jalan Napas Meskipun dianggap faktor resiko, hal ini semakin jarang diadaptasi karena sulit membedakannya dengan asma. Faktor resiko ini pertama sekali diajukan oleh Orie pada 1961 yang menganggap bahwa adanya hiperresponsi dan eosinofilia merupakan faktor penyebab terjadinya PPOK sehingga adanya riwayat alergi dan asma menjadi faktor resiko PPOK. 4. Riwayat Infeksi Saluran Napas Bawah Berulang Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk perkembangan dan progresifitas PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK. Hal ini pertama diungkapkan oleh Fletcher dalam studi selama 8 tahun di Inggris pada tahun 1976, yang menjelaskan bahwa infeksi akut bronkopulmonar dapat menyebabkan penurunan fungsi paru dalam jangka pendek dan merupakan faktor penting dalam terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK 5. Defisiensi Antitripsin Alfa – 1 Alfa-1-antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru. Jika konsentrasi plasma alfa-1-antitripsin dibawah dari 1g/liter maka resiko berkemabangnya emfisema akan meningkat drastic dan menjadi PPOK. Defisiensi a1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk terjadinya PPOK. Hal ini pertama sekali dikemukakan oleh Laurell dan Eriksen pada 1963 6. Polusi udara Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil industri dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada kaum wanita di beberapa negara

Perjalanan faktor resiko hingga menjadi PPOK Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar salurannafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai beratsakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebasmempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4,tumuor necrosis factor (TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive oxygen species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akanmerusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapatkeseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil 9 akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap rokok.

Sign symptom Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut. a. Batuk kronik Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari. b. Berdahak kronik Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur. c. Sesak napas Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Skala Sesak 0 1 2 3 4

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga Berjalan lebih lambat karena merasa sesak Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit Sesak bila mandi atau berpakaian

Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan rutin 1. Faal paru • Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % o VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% • Uji bronkodilator o

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

o

Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil 2. Darah rutin Hb, Ht, leukosit 3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran : o Hiperinflasi o Hiperlusen o Ruang retrosternal melebar o Diafragma mendatar o Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance) Pada bronkitis kronik : • Normal • Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut : • Berhenti Merokok • Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi aktivitas. • Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien. • Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal • Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari berjalan harus diberikan rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari. Terapi farmakologi A. Bronkodilator Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.  β2Agonist (short-acting dan long-acting) Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu

4-6 jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala (Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1 , sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini  Antikolinergik Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut. B. Methylxanthine Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia. C. Kortikosteroid Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 D. Phosphodiesterase-4 inhibitor Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala. Terapi Farmakologis Lain • Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia > 65 tahun • Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin. • Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan eksaserbasi • Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.

• Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator) • Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan. • Vasodilator Terapi non farmakologis lain 1. Rehabilitasi 2. Konseling nutrisi 3. Edukasi Terapi Lain 1. Terapi Oksigen 2. Ventilatory Support 3. Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS), Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation, Bullectom Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 1. Gagal napas  Gagal napas kronik  Gagal napas akut pada gagal napas kronik 2. Infeksi berulang 3. Kor pulmonal Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :  Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2  Bronkodilator adekuat  Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur  Antioksidan  Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :    

Sesak napas dengan atau tanpa sianosis Sputum bertambah dan purulen Demam Kesadaran menurun

Infeksi berulang Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Kor pulmonal : Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan Masalah keperawatan – NOC – NIC Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2012) adalah : a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan. b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli. c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah. d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.

Diagnosa keperawatan a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.

NOC Status pernafasan Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jan status pernafasan baik dengan kriteria hasil: 1. Frekuensi pernafasan (16-24x/mnt) 2. Irama pernafasan reguler 3. Suara auskultasi nafas vesikuler (tidak ada suara tambahan 4. Kepatenan jalan nafas 5. Pencapaian tingkat insensif spirometri 6. Tes faal paru baik

NIC 1.

2. 3.

4.

5.

Monitor pernafasan Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas Monitor suara tambahan nafas seperti mengi Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadinya penurunan atau tidaknya ventilasi dan keberadaan suara nafas tambahan Monitor hasil pemeruksaan ventilasi mekanik, catat peningkatan inspirasiekspirasi dan volume tidal Monitor nilai fungsi paru, terutama kapasitas vital paru, volume inspirasi maksimal, volume ekpirasi maksimal selama 1 detik (FEV1) dan FEV/FVC sesuai data yang tersedia

6. Monitor hasil foto toraks

Related Documents


More Documents from ""