Nama : Annisa Izmi Yolanda Pohan Kelas : Akuntansi-A NPM : 1212017016
1. Apa bedanya tugas dan kewenangan BI dan OJK 2. Apa yang menjadi acuan prinsip akuntansi bagi perusahaan a. jika skala usaha hanya regional/satu tempat (UMKM) b. ada dibeberapa kota dalam negeri c.Skala usahanya sudah Go Internasional/ada di beberapa kota di beberapa negara 3. Apa yang menjadi dasar bank Syariah untuk menghitung perbedaan Margin berdasarkan jangka waktu Jawab : 1. Perbedaan BI dan OJK
Sehingga, dari paparan di atas dapat kita simpulkan benang merah perbedaan BI dan OJK sebagai berikut :
BI akan berfokus pada menjaga kestabilan nilai rupiah, sedangkan OJK berfokus pada pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan di Indonesia. BI mengatur Perbankan secara makro melalui berbagai peraturan BI, SE (Surat Edaran) dan Undang-Undang yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kestabilan moneter. OJK akan mengatur Perbankan secara langsung (mikro) melalui kegiatan pengawasan, peraturan OJK, SE dan Undang-undang yang berdampak terhadap Perbankan. Nasabah yang mengalami keluhan terhadap pelayanan terkait industri keuangan dapat melaporkannya ke OJK, bukan ke BI. Termasuk keluhan terhadap pelayanan Bank, Leasing, Pasar Modal, hingga Investasi Bodong. Karena salah satu tugas utama OJK adalah melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 2. Acuan Akuntansi a. Skala usaha hanya regional/ satu tempat menggunakan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntansi Publik (SAK-ETAP) digunakan untuk entitas yang akuntabilitas publiknya tidak signifikan dan laporan keuangannya hanya untuk tujuan umum bagi pengguna eksternal. ETAP merupakan hasil penyederhanaan standar akuntansi IFRS yang meliputi tidak adanya laporan laba/rugi komprehensif, penilaian untuk aset tetap, aset tidak berwujud, dan properti investasi setelah tanggal perolehan hanya menggunakan harga perolehan, tidak ada pilihan menggunakan nilai revaluasi atau nilai wajar, serta tidak ada pengakuan liabilitas dan aset pajak tangguhan karena beban pajak diakui sebesar jumlah pajak menurut ketentuan pajak. b. Sedangkan skala usaha yang sudah mempunyai cabang di beberapa kota menggunakan PSAK sebagai acuan akuntansi untuk laporan keuangan merea PSAK adalah nama lain sari SAK (Standar Akuntansi Keuangan) yang diterapkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI)
pada Tahun 2012 lalu. Standar ini digunakan untuk badan atau bisnis yang memiliki akuntabilitas publik, yaitu badan yang terdaftar atau masih dalam proses pendaftaran di pasar modal seperti perusahaan publik, asuransi, perbankan, BUMN, ataupun perusahaan dana pension c. Konsekuensi dari interaksi transnasional ini adalah diperlukannya suatu standarisasi atau aturan umum yang dapat dipakai/dipraktekkan di seluruh dunia. Akuntansi tidak terlepas dari efek globalisasi sehingga perusahaan menggunakan IFRS untuk melaksanakan program harmonisasi dan adaptasi standar akuntansi internasional dalam rangka pengembangan standard akuntansinya, penggunaan IFRS sendiri ditentukan karena Indonesia merupakan anggota IFAC (Internatinal Federation of Accountants) yang menjadikan IFRS sebagai standar akuntansi mereka.Perhitungan penentuan Margin Murabahah. Dalam praktik,
3. Penetapan nilai Margin ialah penetapan keuntungan dari harga jual sejumlah tertentu dengan
mempertimbangkan keuntungan yang akan diambil, biaya biaya yang ditanggung termasuk mencegah timbulnya wanprstasi atau kemacetan jangka waktu pengembalian, oleh karena itu Perhitungan penentuan Margin Murabahah. Dalam praktik, perbankan, biasanya margin di hitung dengan menggunakan metode anuitas, makin lama jangka waktu maka makin besar margin yang dikenakan pada nasabah. Dalam diskusi ekonomi syariah, pembolehan konsep tersebut dikarenakan konsep anuitas digunakan sebagai dasar perhitungan margin. Besarnya pendapatan margin yang diakui tergantung pada alternatif pendekatan yang digunakan.Bila bank menggunakaan pendekatan proporsional, maka besarnya margin setiap bulan adalah sama, sedangkan bila menggunakan tabel anuitas, maka margin pada bulan pertama akan lebih besar disbanding dengan bulan kedua dan seterusnya.Dalam bukunya Adiwarman Karim (2014), saya dapati bahwa DSN MUI telah menerbitkan fatwa mengenai penetapan margin keuntungan dalam pembiayaan murabahah di bank syariah. Dalam fatwa DSN MUI Nomor 84 diketahui bahwa ada dua jenis metode perhitungan margin keuntungan pembiayaan murabahah yang dilakukan dengan mengangsur. Berikut bunyi fatwanya: “Pengakuan keuntungan al-tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) dalam bisnis yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah, boleh dilakukan secara proposional (thariqah al-hisab ‘ala kamil al-mablagh/thariqah mubasyirah) dan secara anuitas (thariqah al-hisab altanazuliyyah/thariqah al-tanaqishiyyah) selama sesuai dengan urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan lembaga keuangan syariah.” Dalam menetapkan atau memperhitungkan besaran margin itu sendiri tidak tidak diatur secara spesifik dalam al-Quran dan sunnah. Dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuha, juz V, hlm. 3939 ditegaskan bahwa: “Metode pengakuan keuntungan dalam akad murabahah tidak diatur dalam dalil khusus baik berupa ayat al-Quran maupun sunnah; karenanya metode pengakuan keuntungan murabahah termasuk maskut anha (tidak diatur dalam fiqih), sehingga dalilnya dikembalikan pada prinsip/pokok sebagai hukum aslah dalam muamalat, yaitu boleh (mubah) sepanjang ada dalil syari’i yang melarang, serta sejalan dengan maslahat dan urf (kebiasaan) yang sah”.Hal tersebut berlaku pula untuk penetapan tingkat margin keuntungan, dalam artian bahwa penjual boleh menetapkan berapapun tingkat margin keuntungannya asalkan tidak bertentangan dengan yang biasa ditetapkan oleh pedagang lain (kebiasaan/urf masyarakat).
Begitupun dengan bank syariah, bank boleh menetapkan berapapun tingkat margin keuntungan dari hasil penjualan murabahah asalkan sesuai dengan yang biasa berlaku di kalangan lembaga keuangan syariah pada umumnya. Dengan kata lain, tidak ada batasan dalam mengambil keuntungan penjualan (murabahah). Di samping berdasarkan urf, penetapan tingkat margin keuntungan juga berdasarkan pada hadis Rasulullah. Beberapa hadis Rasulullah menunjukan bolehnya mengambil laba atau profit margin hingga 100% dari modal. Di antaranya ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (no. 3129) yang menceritakan Zubeir bin Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi SAW yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah ‘Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan kali lipat dari harga belinya.5 Jadi, tidak ada ukuran khusus mengenai tingkat atau besaran margin keuntungan yang bisa dijadikan referensi bagi para penjual dan bank syariah. Berdasarkan kutipan di atas, ukuran umum untuk menetapkan tingkat margin keuntungan ialah urf dan maslahat. Selama tingkat margin keuntungan sesuai dengan urf (kebiasaan) dan tidak mendzalimi salah satu pihak atau tidak menimbulkan madharat (kerusakan) maka tingkat margin keuntungan tersebut masih dianggap sah menurut Syariah.