1. Cut Nyak Dhien Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja’ Dhien) lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848. Wafat pada tanggal 6 November 1908 di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat. Cut Nyak Dhien adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1948. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Oleh sebab itu, ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Lalu ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar. Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak cantik. Ia memperoleh pendidikan
pada bidang agama dan
rumah tangga (memasak,
melayani suami, dan yang
menyangkut kehidupan
sehari-hari). Banyak laki-
laki yang suka pada Cut
Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia
12
tahun,
ia
sudah
dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka dikaruniai satu anak laki-laki. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
1|MI Al-Islamiyyah
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dianugerahi anak yang diberi nama Cut Bambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama suaminya itu bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dhien saat itu sudah tua serta memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, ia dibuang ke Sumedang lalu meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Payuh, Sumedang. 2. Pangeran Antasari Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797. Serta meninggal di pada tanggal 11 Oktober 1862 di Bayan Begok, HindiaBelanda. Ia adalah Sultan Banjar, pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin di hadapan
2|MI Al-Islamiyyah
para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati. Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti Hadjah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata. Pangeran Antasari memiliki 3 putra dan 8 putri. Ia mempunyai adik perempuan bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan
Sultan
Muda
Abdurrahman bin Sultan
Adam tetapi meninggal
lebih
melahirkan
calon
pewaris
Banjar
diberi
nama Rakhmatillah.
yang
Pangeran Antasari sebagai pemimpin Suku
tidak Banjar,
dulu
setelah kesultanan
hanya
dianggap
beliau
juga
merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai, dan beberapa suku lainnya yang terdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito. Setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya).
3|MI Al-Islamiyyah
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah kerajaan Banjar, dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pertempuran semakin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya pasukan Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh. Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia kurang lebih 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh
putranya
yang bernama
Muhammad Seman. Setelah terkubur selama kurang lebih 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut, dan
4|MI Al-Islamiyyah
beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin. 3. Pattimura Pattimura atau Thomas Matulessy lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun. Pattimura juga dikenal dengan sebutan Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. Ayah Pattimura bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Matulessy. Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarir dalam militer sebagai mantan sersan militer Inggris. Kata ‘Maluku’ berasal dari bahasa Arab Al-Mulk atau Al-Malik yang berarti tanah raja-raja, mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan di Maluku. Pada tahun 1816 pihak
Inggris
menyerahkan
kekuasaannya kepada pihak
Belanda dan kemudian
Belanda
kebijakan
menetapkan
politik
monopoli, pajak atas tanah
(landrente), pemindahan
penduduk
Hongi (Hongi Tochten),
serta
pelayaran
serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan korps Ambon dengan Gubernur. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan
5|MI Al-Islamiyyah
yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Maka pada waktu itu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817. Raja Patih, Para Kapitan, Tetua adat, dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman serta memiliki sifat-sifat ksatria. Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi, dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan Laksamana Buykes. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil, dan Jasirah Hatawano di pulau Ambon. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia. 4. Sisingamangaraja Sisingamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dan meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun. Ia adalah seorang raja di negeri
6|MI Al-Islamiyyah
Toba, Sumatera Utara. Pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Soposurung, Belige pada tahun 1953. Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuahon, selain itu ia juga disebut raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) modal
Belanda asing
yang
dalam
mengamankan
beroperasi
di
Hindia-
Belanda, dan tidak
mau
Korte
(perjanjian pendek) di
Verklaring
Sumatera Toba,
terutama dimana
menandatangani
Kesultanan
Aceh
dan
kerajaan ini membuka
hubungan dagang dengan negara-negara Eropa. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Sisingamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat
7|MI Al-Islamiyyah
kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nonmensen. Kemudian beserta penginjil Nonmensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan. Antara tahun 1883-1884,
Sisingamangaraja
XII
berhasil
melakukan
konsolidasi
pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda di antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884. Sisingamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertotonkan kepada masyarakat Toba. Kemudian makamnya dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953 dibangun oleh pemerintah, keluarga, dan masyarakat.
8|MI Al-Islamiyyah
5. Dewi Sartika Raden Dewi Sartika lahir di Bandung 4 Desember 1883 – meninggal di Tasikmalaya 11 September 1947 pada umur 62 tahun. Ia adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1966. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya asisten residen berkebangsaan Belanda. Sedari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan sama. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari pernikahannya itu ia memiliki putra bernama R. Atot, yang
9|MI Al-Islamiyyah
merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal-bakal dari Persib Bandung. Suami Dewi Sartika memiliki visi dan citacita sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, ia mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, menjahit, memasak, membaca, menulis, dan sebagainya. Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martanagara pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (sekolah perempuan) pertama seHindia-Belanda.
Tenaga
pengajarnya
Dewi Sartika dibantu dua
saudara
Poerwa dan Nyi. Oewid.
Murid-murid
pertamanya terdiri dari 20
orang,
ruangan
kabupaten
pendopo
Setahun kemudian, 1905,
tiga
orang:
misannya,
Ny.
angkatan menggunakan Bandung.
sekolahnya menambah kelas
sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Pada bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang berumur 25 tahun, kemudian berganti nama menjadi ‘Sakola Raden Dewi’. Atas jasanya dalam bidang ini, ia dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara
10 | M I A l - I s l a m i y y a h
pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jl. Karang Anyar, Kabupaten Bandung. 6. Pangeran Diponegoro Pangeran Dipagenara, juga sering dieja Diponegoro lahir di Yogyakarta 11 November 1785 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun. Ia adalah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa tahun 1825-1830 melawan pemerintah HindiaBelanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia. Dipanegara adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanla permaisuri. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengekploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Dipanegara
11 | M I A l - I s l a m i y y a h
menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat ‘perang sabil’ yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara, sampai pada dengan
akhirnya tahun
1830.
pengerahan
Dipanegara ditangkap Pertempuran
terbuka
pasukan
infantri,
kaveleri, dan artileri
di kedua belah pihak
berlangsung
sengit.
dengan
Jalur-jalur
logistik dibangun dari
satu
wilayah
menyokong keperluan
lain
untuk
wilayah
ke
perang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
12 | M I A l - I s l a m i y y a h
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah tidak terlalu luas sepeti Jawa Tengah dan sebagaian Jawa Timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (geurilia warfare). Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psywar) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran. Tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Jendral De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. 7. Silas Papare Silas Papare lahir di Serui, Papua 18 Desember 1918 dan meninggal di Serui, Papua 7 Maret 1973 pada umur 54 tahun. Ia adalah seorang pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah Indonesia. Beliau
13 | M I A l - I s l a m i y y a h
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun 1935 dan bekerja
sebagai
pegawai
sangat
gigih
dalam
memperjuangkan
kemerdekaan
Papua
sehingga
berurusan
aparat
keamanan Belanda dalam
memerangi
dengan
kolinialisme
pemerintah Belanda. Ia
Belanda
beliau
dan
sering
pada
akhirnya beliau dipenjarakan di Jayapura karena memeranguhi Batalyon Papua untuk memberontak. Semasa menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya tersebut semakin menambah keyakinan beliau bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya beliau mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya beliau kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun kemudian ia melarikan diri ke Yogyakarta. 8. Raden Adjeng Kartini Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati
14 | M I A l - I s l a m i y y a h
Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari
sisi
ayahnya,
silsilah
Kartini
dapat
dilacak
hingga
Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana
di
Mayong.
Peraturan
kolonial
waktu
mengharuskan
seorang
bupati
beristerikan
seorang bangsawan. Karena
Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi,
maka ayahnya menikah
lagi dengan Raden Adjeng
Woerjan
keturunan langsung Raja
M.A.
itu
(Moerjam),
Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak
15 | M I A l - I s l a m i y y a h
Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan
pribumi, karena ia
melihat bahwa
perempuan pribumi
berada
status sosial yang
rendah. Kartini
pada
banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi
16 | M I A l - I s l a m i y y a h
wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Semuanya
Oleh orangtuanya, dengan
bupati
berbahasa Belanda. Kartini disuruh menikah Rembang,
K.R.M.
Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, yang
sudah pernah memiliki
tiga
istri.
Kartini
menikah pada tanggal
12
November
1903.
Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah
17 | M I A l - I s l a m i y y a h
surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara. Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan sikap
dan
adanya pemikiran
berkorespondensi.
Pada
tahapan atau perubahan Kartini buku
selama versi
tersebut, Armijn Pane juga
menciutkan
surat Kartini
Kartini.
Hanya
terdapat
dalam
"Habis
Gelap
baru jumlah
87
surat Terbitlah
Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
18 | M I A l - I s l a m i y y a h
9. Bung Tomo Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.dan batak Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.
19 | M I A l - I s l a m i y y a h
Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus. Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia Sutomo
pernah
menjadi
sukses.
Kemudian
dengan
sejumlah kelompok
politik dan sosial. Ketika
ia terpilih pada 1944
untuk
menjadi
Gerakan
Baru
yang
jurnalis
yang
bergabung
seorang
anggota disponsori
pun
yang
seorang ia
Rakyat
Jepang, hampir tak mengenal
dia.
Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat
20 | M I A l - I s l a m i y y a h
penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggeris yang mendarat untuk melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi. Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya. Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.
21 | M I A l - I s l a m i y y a h
10. Ir. Soekarno Dr. (HC) Ir. Soekarno. ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya. Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya—berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat—menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang
Istimewa
MPRS
pada
tahun
yang
sama
dan
Soeharto
menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia. Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya. Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun
22 | M I A l - I s l a m i y y a h
namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik". Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan tetap
ejaan
penjajah (Belanda). Ia
menggunakan
nama Soekarno dalam
tanda tangannya karena
tanda
adalah
tangan
yang tercantum dalam
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia
Teks yang
tanda
tidak
mudah
tangan
tersebut
boleh
diubah, selain itu tidak
untuk
mengubah tanda tangan
setelah berumur 50 tahun. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno. Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
23 | M I A l - I s l a m i y y a h
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto. Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921, bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921, setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno
24 | M I A l - I s l a m i y y a h
dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya. Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa". Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang. Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasangagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa AsiaAfrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia),
25 | M I A l - I s l a m i y y a h
Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K. Fellinger
dari
Fakultas
Kedokteran
Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional. Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik. Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil
26 | M I A l - I s l a m i y y a h
Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopa. Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970. Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
27 | M I A l - I s l a m i y y a h