TUGAS AGAMA ISLAM MAKALAH TENTANG MEMERDEKAKAN HAMBA SAHAYA
Oleh :
Sahla Rizqiyah
Jalum
: XIII – B
NIM
: 16.096
Dosen Pembimbing
: Kusnan S,Ag
UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR AKADEMI GIZI SURABAYA 2016 – 2017 KATA PENGANTAR
1
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan tugas makalah Agama. Makalah tentang Memerdekakan Hamba Sahaya ini disusun untuk melengkapi tugas Agama. Pengembangan dan penyusunan materi diberikan secara urut. Penyajian materi didesain untuk memperkuat pemahaman konsep tentang Makalah tentang Memerdekakan Hamba Sahaya dengan penjelasan yang cukup jelas. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penyusun hadapi. Namun penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala tersebut dapat teratasi. Segala kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan penyusun demi penyempurnaan tugas makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca dan bermanfaat bagi pendidik serta rekan-rekan dalam mengembangkan ilmu Agama.
Surabaya, 16 Oktober 2016
Sahla Rizqiyah.
DAFTAR ISI 2
Kata Pengantar ............................................................................................................................. i Daftar Isi ...................................................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1 B. Tujuan .............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah munculnya perbudakan ........................................................................................ 2 B. Dalil disyariatkan memerdekakan budak .......................................................................... 2 C. Keutamaan memerdekakan budak .................................................................................... 3 D. Hikmah disyariatkan memerdekakan budak ..................................................................... 3 E. Rukun memerdekakan budak ............................................................................................ 3 F. Syarat memerdekakan budak ............................................................................................ 3 G. Shigat atau lafaz untuk memerdekakan ............................................................................ 4 H. Di antara hukum-hukum yang terkait dengan ‘itq ............................................................ 4 I. Tadbir ................................................................................................................................ 5 J. Di antara hukum tentang tadbir......................................................................................... 5 K. Mukatabah......................................................................................................................... 5 L. Hukum mukatabah ............................................................................................................ 6 M. Di antara hukum-hukum mukatabah ................................................................................. 6 N. Bermuamalah dengan baik kepada budak......................................................................... 7 O. Upaya Islam Untuk Memerdekakan Budak ...................................................................... 8
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 10 B. Saran ................................................................................................................................. 10 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 11
3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ta’rif (definisi) ‘itq (memerdekakan budak) ‘Itq secara bahasa artinya merdeka dan bebas. Secara syara’, itq artinya membebaskan budak dari perbudakan dan menyingkirkan kepemilikan terhadapnya serta menetapkan kebebasan baginya. Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah "kebebasan," yang dengannya dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, paksaan, kediktatoran dan penjajahan. Selain itu juga bisa menjadikan manusia sebagai pemimpin dalam kehidupan ini, tetapi pada saat yang sama ia juga sebagai hamba Allah. Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir, kebebasan berpolitik, kebebasan madaniyah (bertempat tinggal) dan segala bentuk kebebasan yang hakiki dalam kebenaran . Yang kita maksud dengan kebebasan agama adalah kebebasan dalam beraqidah (berkeyakinan) dan kebebasan melakukan ibadah. Maka tidak diterima keislaman seseorang di saat ia dipaksa untuk meninggalkan agama yang ia cintai dan ia peluk, atau dipaksa untuk memeluk agama yang tidak ia sukai."ash-nash Al Qur'an secara terang-terangan melarang tindakan seperti itu, sebagaimana tersebut dalam ayat Makkiyah: "Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (Yunus: 99) Atau sebagaimana disebutkan di dalam ayat-ayat Madaniyah sebagai berikut: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat." (Al Baqarah: 256) Siapa saja dari orang-orang di luar Islam yang berada dalam tanggung jawab kaum Muslimin maka dia telah mendapat hak seperti kaum Muslimin secara umum, dengan beberapa pengecualian yang ditentukan oleh agama. Maka tidak wajib baginya segala sesuatu yang diwajibkan kepada kaum Muslimin, dan tidak terlarang baginya sesuatu yang diharamkan kepada kaum Muslimin. Dengan beberapa pembatasan tertentu sesuai syari'at Islam. Ada sebagian manusia yang menulis pada zaman ini, ia mengatakan bahwa sesungguhnya warisan Khasanah Arab dan Islam tidak mengenal adanya kebebasan dengan pemahaman modern sebagaimana yang kita dapatkan dari barat, tepatnya setelah revolusi Perancis. Akan tetapi Islam hanya mengenal makna kemerdekaan (kebebasan) itu dalam arti sekedar tidak memperbudak saja, hingga orang yang merdeka adalah orang yang bukan budak. Dan kemerdekaan itu adalah kebalikan dari perbudakan dan penghambaan. Maka sangat memprihatinkan ketika kita mempercayai adanya kebebasan atau menyerukan kebebasan dengan mengacu pada Perancis, padahal sebelumnya kita tidak mengenalnya! Saya sungguh heran ketika mereka mengatakan seperti itu padahal mereka mengaku atau diakui sebagai intelektual atau ilmuwan. B. Tujuan 1. Mengetahui fiqih tentang memrdekakan hamba sahaya.
4
BAB II PEMBAHASAN P. Sejarah munculnya perbudakan Perbudakan sudah dikenal di tengah-tengah manusia sejak ribuan tahun yang silam, bahkan telah ada pada bangsa-bangsa kuno di dunia, seperti Mesir, Cina, India, Yunani, dan Romawi, dan telah disebut-sebut dalam kitab-kitab samawi, seperti Taurat dan Injil. Hajar misalnya, ibu dari Isma’il bin Ibrahim, ia adalah budak yang dihadiahkan Raja Mesir kepada Sarah istri Ibrahim, kemudian Sarah menghadiahkannya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Perbudakan terjadi karena beberapa sebab, di antaranya adalah: 1. Peperangan Yakni ketika sebuah kaum memerangi kaum yang lain, lalu kaum itu kalah, maka istri dan anakanak mereka menjadi budak. 2. Kemiskinan Dahulu banyak orang yang menjual anak-anaknya menjadi budak karena keadaannya yang fakir. Bahkan di zaman sekarang pun ada yang melakukan hal seperti ini. 3.
Penculikan dan pembajakan Pernah terjadi ketika orang-orang Eropa singgah di Afrika, lalu orang-orang Eropa menculik orang-orang Afrika dan menjualnya ke pasar perdagangan budak di Eropa, lalu mereka memakan hasilnya. Agama Islam sebagai agama yang benar, tidak membolehkan semua sebab ini kecuali satu sebab saja, yaitu yang terjadi karena peperangan. Yang demikian sebagai bentuk kasih sayang kepada manusia, karena kebanyakan mereka yang menang dalam peperangan biasanya karena sifat balas dendamnya yang tinggi, membuat mereka tega membunuh wanita dan anakanak, maka agama Islam mengizinkan para pemeluknya untuk menjadikan wanita dan anak-anak itu sebagai budak untuk menjaga kehidupan mereka sekaligus untuk menyiapkan kemerdekaan bagi mereka nantinya dengan menetapkan berbagai jalan untuk memerdekakannya. Dengan demikian, budak hanya berlaku dalam perang yang disyari’atkan yang terjadi antara kaum muslim dengan musuh mereka; orang-orang kafir, dan dibatalkan perbudakan selain itu. Jika seorang bertanya, “Mengapa agama Islam tidak membuat ketetapan bahwa budak itu harus dimerdekakan?” Jawab, “Sesungguhnya Islam datang ketika budak-budak sudah di tangan manusia, maka tidak pantas bagi syariat Allah yang adil ini yang tujuannya untuk menjaga jiwa, kehormatan, dan harta manusia langsung menetapkan agar mereka melepaskan hartanya dari mereka. Di samping itu, karena budak-budak itu, terutama yang wanita dan anak-anak, atau bahkan dari kalangan laki-laki dewasa ada yang tidak sanggup menanggung dirinya karena kesulitannya dari bekerja dan ketidaktahuannya terhadap bentuk-bentuk pekerjaan. Oleh karena itu, dengan tetapnya ia sebagai budak, dimana dirinya ditanggung oleh tuannya, diberi makan dan pakaian lebih baik daripada dimerdekakan dalam keadaan dirinya kesusahan.” Q. Dalil disyariatkan memerdekakan budak Dalil disyariatkan memerdekakan budak ada dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’. Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “(Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya.” (Terj. QS. An Nisaa’: 92)
5
ير َر َقبَة ُ فَتَحْ ِر
Dalam As Sunnah disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أ َ ْعتَقَ ه،ً« َم ْن أ َ ْعتَقَ َرقَبَةً ُم ْس ِل َمة » َحتهى فَ ْر َجهُ بِفَ ْر ِج ِه،عض ًْوا ِمنَ النها ِر ْ ع ُ ُض ٍو ِم ْنه ُ َّللاُ بِ ُك ِل “Barang siapa yang memerdekakan budak yang muslim, maka Allah akan membebaskan setiap anggota badannya satu persatu dari neraka, sampai kemaluannya (dihindarkan dari neraka) karena membebaskan farjinya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga menjadikan memerdekakan budak sebagai kaffarat terhadap pembunuhan, kaffarat terhadap jima’ di bulan Ramadhan, dan kaffarat terhadap sumpah. Umat Islam juga telah sepakat tentang keabsahan memerdekakan budak dan bahwa hal tersebut termasuk ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. R. Keutamaan memerdekakan budak Memerdekakan budak termasuk ibadah yang utama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, فَكُّ َرقَبَ ٍة-ُ َو َما أَد َْراكَ َما ْالعَقَبَة-َفَ ََل ا ْقت َ َح َم ْالعَقَبَة “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.–Tahukah kamu apa jalan yang mendaki lagi sukar itu?–(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,”(Terj. QS. Al Balad: 1113) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عض ًْوا ِم ْنه ْ ع ُ ُض ٍو ِم ْنه ُ يُجْ ِزي ُك ُّل،ار ٍ أَيُّ َما ا ْم ِر ِ َكانَ فَكَا َكهُ ِمنَ النه، أ َ ْعتَقَ ا ْم َرأ ً ُم ْس ِل ًما،ئ ُم ْس ِل ٍم “Siapa saja seorang muslim yang memerdekan seorang muslim, maka hal itu akan membebaskan dirinya dari neraka, dimana masing-masing anggota badan (yang dimerdekakannya) memerdekakan anggota badannya (si pembebasnya).” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani) Nash-nash yang menerangkan keutamaan membebaskan budak sangat banyak sekali. Dan akan disebutkan sebagiannya pada pembahasan “Upaya Islam Untuk Memerdekakan Budak,” insya Allah. Dan perlu diketahui, bahwa memerdekakan budak laki-laki lebih utama daripada budak wanita, dan budak yang paling mahal dan berharga di sisi pemiliknya lebih utama dimerdekakan daripada yang di bawahnya. S. Hikmah disyariatkan memerdekakan budak Disyariatkan memerdekakan budak karena tujuan yang mulia dan hikmah yang dalam, di antaranya: membebaskan seorang manusia dari penderitaan sebagai budak, membuatnya memiliki dirinya sendiri, serta memberikan kebebasan bertindak padanya untuk manfaat dirinya. T. Rukun memerdekakan budak Rukun memerdekakan budak ada tiga: a) mu’tiq (orang yang memerdekakan) b) mu’taq (orang yang dimerdekakan) c) shighat (lafaz yang digunakan untuk memerdekakan) U. Syarat memerdekakan budak Untuk sahnya memerdekakan budak disyaratkan beberapa syarat berikut: a. Orang yang memerdekakan harus orang yang boleh tindakannya, yaitu orang yang baligh, berakal, cerdas, dan memilih sendiri. Oleh karena itu, tidak sah memerdekakan dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang dungu, dan orang yang dipaksa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, َ َو َع ِن النهائِ ِم َحتهى يَ ْست َ ْي ِق، َب َعلَى َع ْق ِل ِه َحتهى يَفِيق صبِي ِ َحتهى يَحْ تَ ِلم َو َع ِن ال ه،ظ ِ ون ْال َم ْغلُو ِ ُ َع ِن ْال َمجْ ن،ٍُرفِ َع ْالقَلَ ُم َع ْن ث َ ََلثَة “Diangkat pena dari tiga orang; orang gila yang hilang akalnya sampai sadar, orang yang tidur sampai ia bangun, dan anak kecil hingga baligh.” (HR. Para Pemilik kitab sunan) Demikian juga tidak sah pemerdekaan dari orang yang dipaksa sebagaimana tindakannya yang lain juga tidak sah.
6
b.
Ia memiliki orang yang hendak dimerdekakan itu. Oleh karena itu, tidak sah pemerdekaan dari orang yang tidak memilikinya. c. Orang yang dimerdekakan tidak terikat dengan hak yang lazim (mesti) yang menghalanginya dimerdekakan, seperti berhutang atau melakukan jinayat (tindak kejahatan), sehingga tidak sah dimerdekakan sampai ia melunasi hutangnya atau membayarkan diyat jinayatnya. d. Pemerdekaan harus menggunakan lafaz yang tegas atau lafaz sindiran yang menduduki posisinya (tegas), dan tidak cukup hanya sekedar diniatkan. V. Shigat atau lafaz untuk memerdekakan Shighat atau lafaz untuk memerdekakan ada dua macam: a. Sharih (tegas), yaitu yang menggunakan lafaz ‘tq (memerdekakan) atau tahrir (membebaskan), atau tasrif (yang terbentuk) dari keduanya. Contoh:“Engkau merdeka, engkau bebas, engkau dimerdekakan, engkau dimerdekakan, atau aku bebaskan engkau.” b. Kinayah (sindiran), yaitu seperti mengatakan, “Pergilah ke mana saja yang engkau kehendaki,” atau, “tidak ada jalan lagi bagiku terhadap dirimu,” atau, “tidak ada lagi kekuasaan bagiku terhadap dirimu,” atau, “asingkanlah dirimu,” atau, “menjauhlah kamu dariku,” atau, “aku akan membiarkanmu,” dsb. Kalimat sindiran ini tidak menjadi ‘itq (memerdekakan) kecuali jika orang yang mengucapkan berniat memerdekakan budak. W. Di antara hukum-hukum yang terkait dengan ‘itq 1. 2.
Boleh berserikat (bersekutu) terhadap seorang budak laki-laki atau perempuan, yakni dengan dimiliki lebih dari seorang. Jika seseorang memerdekakan bagiannya pada budak yang dimiliki bersama, maka telah merdeka bagiannya itu dari budak tersebut.
Adapun bagian sekutunya, jika orang yang memerdekakan itu kaya, maka ia hendaknya memerdekakan bagian milik sekutunya terhadap budak itu, dan dinilaikan bagian milik sekutunya, kemudian dibayarkan kepadanya. Tetapi jika orang yang memerdekakan itu kurang mampu, maka ia tidak memerdekakan bagian sekutunya, dan seorang budak yang bekerja sendiri untuk memperoleh harta senilai bagian sekutu ini, lalu ia memerdekakan dirinya setelah membayarnya, sehingga ia seperti mukatab. Dalil masalah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: َ فَأ َ ْع، فَ َكانَ لَهُ َما ٌل َي ْبلُ ُغ ثَ َمنَ ال َع ْب ِد قُ ِو َم ال َع ْبد ُ َعلَ ْي ِه ِقي َمةَ َعدْ ٍل،ٍَم ْن أ َ ْعتَقَ ِش ْر ًكا لَهُ ِفي َع ْبد ُ طى ،ُ َو َعتَقَ َعلَ ْي ِه ال َع ْبد،ص ُه ْم َ ص َ ش َركَا َءهُ ِح ََوإِ هَّل فَقَدْ َعتَقَ ِم ْنهُ َما َعتَق “Barang siapa yang memerdekakan bagiannya pada seorang budak, sedangkan ia memiliki harta yang cukup untuk membayarkan harga budak (sisanya), maka budak itu dijumlahkan nilainya yang adil (tidak kurang dan tidak lebih), lalu ia berikan para sekutunya bagian mereka, dan menjadi merdekalah budak itu. Jika tidak memiliki, maka budak itu merdeka sesuai yang telah dimerdekakan.” (HR. Bukhari dan Muslim) ق ُ َ فَ َخَل، ٍصا – فِي َم ْملُوك ً َصيبًا – أَ ْو َش ِقي ِ « َم ْن أ َ ْعتَقَ ن ٍ ي ِب ِه َغي َْر َم ْشقُو َ فَا ْست ُ ْس ِع، َو ِإ هَّل قُ ِو َم َعلَ ْي ِه، إِ ْن َكانَ لَهُ َما ٌل،صهُ َعلَ ْي ِه فِي َما ِل ِه »َعلَ ْي ِه “Barang siapa yang memerdekakan bagiannya pada seorang budak, maka pemerdekaannya dibebankan pada hartanya jika ia memiliki harta. Jika tidak, maka dijumlahkan nilainya, lalu budak itu diminta bekerja untuk memerdakan dirinya tanpa menyusahkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Zhahir hadits tersebut, bahwa hal itu dikembalikan kepada pilihan budak. 3.
Orang yang memerdekakan mewarisi semua harta orang yang ia merdekakan, tidak sebaliknya. Hal itu, karena orang yang dimerdekakan, wala'(kewarisan)nya untuk orang yang memerdekakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wala’ itu untuk orang yang memerdekakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
7
َْال َوَّلَ ُء ِل َم ْن أ َ ْعتَق
Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan wala’ seperti nasab, Beliau bersabda, ب ِ س َ ْال َوَّلَ ُء لُحْ َمةٌ َكلُحْ َم ِة النه “Wala’ adalah sepotong daging seperti sepotong daging nasab.” (HR. Syafi’i dalam Al Umm (1232), Hakim (4/241), dan ia menshahihkannya, Baihaqi (10/292), dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7157) 4.
Barang siapa yang memukul budaknya secara zalim, atau memukulnya dengan pukulan yang sangat keras. Seperti membuat tulang patah, membuat darah mengalir, atau meninggalkan bekas., atau mencincangnya, atau memotong anggota badannya, dan sebagainya, maka hendaknya ia memerdekakannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ َ أ َ ْو ل،غ ََل ًما لَهُ َحدًّا لَ ْم يَأْتِ ِه ُ ب ُارتَهُ أ َ ْن يُ ْعتِقَه َ ض َر َ َم ْن َ فَإ ِ هن َكفه،ُط َمه “Barang siapa yang memukul budaknya terhadap perbuatan yang tidak dilakukannya atau menamparnya, maka kaffaratnya adalah dengan memerdekakannya.” (HR. Muslim) Adapun jika pukulannya ringan dan hanya sebagai pelajaran (ta’dib) saja, maka tidak mengapa. 5.
Seorang budak menjadi merdeka ketika dimiliki oleh kerabatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, »« َم ْن َملَكَ ذَا َر ِح ٍم َمحْ َر ٍم فَ ُه َو ُحر “Barang siapa yang memiliki budak yang merupakan kerabatnya, maka budak itu menjadi merdeka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani) X. Tadbir Tadbir artinya menggantungkan merdekanya budak dengan kematian tuannya. Dikatakan, الر ُج ُل َع ْبدَهُ تَدْبِي ًْرا دَب َهر ه Artinya: Seseorang membebaskan budaknya setelah matinya. Mudabbar adalah budak yang mendapat tadbir. Disebut demikian, karena budak tersebut menjadi merdeka ketika tuannya telah meninggal. Tadbir hukumnya boleh dan sah berdasarkan kesepakatan ulama. Dasarnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada salah seorang dari kaum Anshar yang memerdekakan budaknya setelah wafatnya, padahal ia tidak mempunyai harta selainnya, maka sampailah berita itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Siapakah yang mau membelinya dariku?” Lalu Nu’aim bin Abdullah membelinya dengan harga 800 dirham, kemudian Beliau menyerahkan uang itu kepadanya. (HR. Bukhari dan Muslim) Y. Di antara hukum tentang tadbir: 1.
Boleh menjual budak mudabbar secara mutlak karena suatu keperluan, dan para Ahli Ilmu membolehkan menjualnya secara mutlak karena suatu keperluan atau lainnya berdasarkan hadits Jabir di atas. 2. Budak mudabbar merdeka dari bagian harta yang berjumlah 1/3, bukan seluruhnya, karena hukumnya seperti wasiat, dan keduanya tidak diberlakukan kecuali setelah mati. 3. Bagi tuannya boleh menghibahkannya, karena hibah seperti jaul-beli. 4. Dibolehkan bagi tuan menjima’i budak mudabbarnya yang wanita, karena itu adalah budak miliknya. Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa.” (Terj. QS. Al Mu’minun: 6) Z. Mukatabah Mukatabah secara syara’ artinya pemerdekaan yang dilakukan seorang budak terhadap dirinya dari tuannya dengan membayarkan harta yang dibayar secara cicilan. Mukatabah disebut juga kitabah, karena tuannya menulis antara dirinya dengan budaknya sebuah tulisan yang disepakati bersama. Budak yang hendak memerdekakan dirinya dengan menyerahkan harta kepada tuannya disebut mukatab.
8
AA.
Hukum mukatabah
Mukatabah hukumnya boleh dan dianjurkan apabila seorang budak ingin memerdekakan dirinya, dimana ia adalah seorang yang jujur dalam tindakannya itu, siap bekerja, dan sanggup membayarkan cicilan yang disyaratkan tuannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, ْ َاب ِم هما َملَك َت أَ ْي َمانُ ُك ْم فَكَاتِبُو ُه ْم إِ ْن َع ِل ْمت ُ ْم فِي ِه ْم َخي ًْرا َوآتُوهُم ِمن هما ِل ه َّللاِ الهذِي آت َا ُك ْم َ َوالهذِينَ يَ ْبتَغُونَ ْال ِكت “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu . Untuk mempercepat lunasnya Perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya, atau tuannya mengurangi beban cicilan].” (Terj. QS. An Nuur: 33) BB.
Di antara hukum-hukum mukatabah
1. Seorang budak baik laki-laki maupun perempuan menjadi merdeka ketika telah membayarkan cicilan yang telah disepakati dengan tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 2. »ي َعلَ ْي ِه ِم ْن ُمكَات َ َبتِ ِه د ِْر َه ٌم َ « ْال ُمكَاتَبُ َع ْبدٌ َما َب ِق “Seorang budak mukatab adalah tetap sebagai budak ketika masih berhutang satu dirham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani) Mafhum hadits ini adalah bahwa ketika seorang budak telah pembayarannya, maka ia tidak lagi sebagai budak, bahkan menjadi merdeka. 2. 3.
4.
menunaikan
Seorang budak belum merdeka sampai ia melunasi semua kitabah(cicilan)nya. Wala’ mukatab diberikan kepada tuannya apabila ia (budak) telah membayarkan cicilannya, berdasarkan hadits “Al Walaa liman a’taqa,” (artinya: wala’ itu diberikan untuk orang yang memerdekakan). Hendaknya tuannya mengurangi sedikit cicilan yang dibebankan kepada budaknya, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (Terj. QS. An Nuur: 33). Ibnu Abbas berkata tentang ayat ini, “Kurangilan cicilan mereka.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi 10/330, dan lihat Al Mughni 10/342)
Dan bagi tuannya diberikan pilihan dalam hal cara mengurangi, bisa dengan mengurangi langsung, atau mengambil cicilannya lalu menyerahkan kembali cicilan itu kepadanya. 5. Bayaran yang dibebankan kepada budak dilakukan secara cicilan, baik dua kali atau lebih. Dengan syarat waktu pembayarannya jelas dan jelas pula jumlah bayarannya. 6. Bagi budak mukatab tidak boleh menikah sampai diizinkan tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, » فَ ُه َو َعاه ٌِر،«أَ ُّي َما َع ْب ٍد تَزَ هو َج ِبغَي ِْر ِإذْ ِن َم َوا ِلي ِه “Siapa saja budak yang menikah tanpa izin tuannya, mka ia pezina.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani) Demikian pula tidak boleh menjadi menjadi gundik kecuali dengan izinnya. 7.
Diperbolehkan menjual mukatab, dan kitabah itu masih tersisa di tangan pembelinya. Jika budak itu telah membayarkan cicilannya, maka menjadi merdekalah budak itu, dan wala’nya menjadi milik pembelinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah dalam kisah Barirah, َاِ ْشت َِر ْي َها َوأ َ ْعتِ ِق ْي َها … فَإِ هن ْال َوَّلَ َء ِل َم ْن أ َ ْعتَق “Belilah ia (Barirah) dan merdekakanlah…dst. Sesungguhnya wala’ itu untuk yang memerdekakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
9
CC.
Bermuamalah dengan baik kepada budak
Sebelum kedatangan Islam, budak-budak banyak dihinakan dan direndahkan, bahkan disiksa. Budak-budak itu dijadikan alat untuk mencapai tujuan mereka, dan sebagian dari budakbudak itu ada yang disiksa, baik dengan dibuat kelaparan, dipukul, dibebani dengan beban yang tidak sanggup dipikulnya, ada pula yang diseterika, dan ada pula yang dipotong anggota badannya. Islam memuliakan budak dan memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka serta menyayangi mereka, dan tidak menjadikan mereka berada dalam kerendahan dan kehinaan, berikut di antara dalilnya: Pertama, Allah Subhaanahu wa Ta’aala mewasiatkan berbuat baik kepada budak, firmanNya: ب َ َوا ْعبُد ُواْ َّللاَ َوَّلَ ت ُ ْش ِر ُكواْ بِ ِه ِ ُار ْال ُجن َ سانًا َوبِذِي ْالقُ ْربَى َو ْاليَت َا َمى َو ْال َم َ ْش ْيئًا َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِح ِ ار ذِي ْالقُ ْربَى َو ْال َج ِ ين َو ْال َج ِ سا ِك َ ْ سبِي ِل َو َما َملَك ورا ب َواب ِْن ال ه ِ ص َوال ه ً َت أ ْي َمانُ ُك ْم ِإ هن َّللاَ َّلَ ي ُِحبُّ َمن َكانَ ُم ْخت َاَّلً فَ ُخ ِ ب بِال َجن ِ اح “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu.Berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (An NIsaa’: 36) Kedua, dalam hadits Ali radhiyallahu ‘anhu disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ْ اتهقُوا للاَ فِ ْي َما َملَك َت أ َ ْي َمانُ ُك ْم “Bertakwalah kepada Allah dalam masalah budak yang kalian miliki.” (HR. Bukhari dalam Al Adab, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 106) Ketiga, Islam melarang memanggil budak dengan panggilan yang menunjukkan penghinaan dan penghambaannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ْ َ أ، َق َربهك َو ْليَقُ ْل، َو ََّل َيقُ ْل أَ َحدُ ُك ْم َع ْبدِي أَ َمتِي،ي َ َو ْليَقُ ْل، َو ََّل يَقُ ْل أ َ َحد ُ ُك ْم َربِي، َض ْئ َربهك ِ َو، َط ِع ْم َربهك ِ ََّل يَقُ ْل أ َ َحد ُ ُك ُم ا ْس َ سيِدِي َم ْو ََّل ُ َاي فَت َاتِي غ ََل ِمي َ فَت “Janganlah salah seorang di antara kamu berkata, “Berilah minum gustimu, berilah makan gustimu, atau wudhukanlah gustimu.” Dan janganlah salah seorang di antara kamu berkata, “Gustiku,” tetapi katakanlah, “Tuanku atau maulaku.” Dan janganlah salah seorang di antara kamu berkata, “hambaku yang putera” atau “hambaku yang puteri,” tetapi katakanlah, “Pemudaku, Pemudiku,” serta “Anakku.” (HR. Muslim) Keempat, Islam memerintahkan seorang budak ikut makan seperti yang dimakan tuannya serta memakai pakaian seperti yang dipakai tuannya. Disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ْ فَ ْلي،ِ فَ َم ْن َكانَ أ َ ُخوهُ تَحْ تَ يَ ِده،َّللاُ ت َحْ تَ أ َ ْيدِي ُك ْم َج َعلَ ُه ُم ه،ِإ ْخ َوانُ ُك ْم َخ َولُ ُك ْم ، َوَّلَ تُك َِلفُو ُه ْم َما يَ ْغ ِلبُ ُه ْم،س ُ َ َو ْلي ُْل ِب ْسهُ ِم هما َي ْلب،ُُط ِع ْمهُ ِم هما يَأ ْ ُكل »فَإ ِ ْن َكله ْفت ُ ُمو ُه ْم فَأ َ ِعينُو ُه ْم “Para pelayanmu adalah saudara kamu, Allah menjadikan mereka di bawahmu. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawahnya, maka hendaknya ia memberinya makan seperti yang dimakannya, memberikan pakaian seperti yang dipakainya serta tidak membebani mereka dengan beban yang tidak sanggup mereka pikul, dan jika kalian membebani, maka bantulah.” (HR. Bukhari) Kelima, Islam melarang menzalimi mereka serta menyakiti mereka. Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َ ََم ْن ل ُارتُهُ أ َ ْن يُ ْع ِتقَه َ أ َ ْو،ُط َم َم ْملُو َكه َ فَ َكفه،ُض َر َبه “Barang siapa yang menampar budaknya atau memukulnya, maka kaffaratnya adalah dengan memerdekakannya.” (HR. Muslim)
10
Abu Mas’ud Al Anshariy berkata: ُ ُُك ْنتُ أ َض ِْرب ُ َف ْالتَفَتُّ فَإِذَا ه َُو َر، » َ هلَلُ أ َ ْقدَ ُر َعلَيْكَ ِم ْنكَ َع َل ْي ِه،ٍ أ َبَا َم ْسعُود، «ا ْعلَ ْم:ص ْوتًا ِسو ُل للا َ َ ف،غ ََل ًما ِلي َ س ِم ْعتُ ِم ْن خ َْل ِفي ْ َ َ ه َ َ َ ْ َ َ ُ ْ ْ ه ه َ َ َ َ ْ َ ُت »ار ُ يَا َر: فقل،سل َم ُ أ ْو «ل َم هستكَ الن، »ار ُ «أ َما ل ْو ل ْم تفعَل للف َحتكَ الن:َ فقال،ِ ه َُو ُحر ِل َوجْ ِه للا،ِسو َل للا َ صلهى للاُ َعلَ ْي ِه َو َ “Saya pernah memukul budak saya, tiba-tiba saya mendengar suara dari belakang, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, bahwa Allah lebih berkuasa terhadap dirimu daripada kekuasaan kamu terhadap budak ini.” Maka aku menoleh, ternyata orang itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, dia menjadi merdeka karena (saya) mengharap wajah Allah.” Maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya, jika kamu tidak melakukan hal itu, niscaya dirimu dihanguskan api neraka,” atau bersabda, “disentuh api neraka.” (HR. Muslim) Keenam, hakim diberikan hak untuk menetapkan ketetapan “memerdekakan” apabila telah jelas berita bahwa si budak diperlakukan secara kasar. Ketujuh, Islam mengajak tuannya untuk mengajarkan agama dan mengajarkan adab kepada mereka. DD.
Upaya Islam Untuk Memerdekakan Budak
Islam telah membuka pintu pembebasan serta menerangkan jalan-jalan untuk membebaskannya dari perbudakan serta menggunakan berbagai sarana untuk membebaskan mereka dari perbudakan. Pertama, membebaskan budak merupakan jalan menuju rahmat Allah dan surga-Nya, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman: )13( ) فَكُّ َرقَبَ ٍة12( ُ) َو َما أَد َْراكَ َما ْالعَقَبَة11( َفَ ََل ا ْقت َ َح َم ْالعَقَبَة “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.— Tahukah kamu apa jalan yang mendaki lagi sukar itu?— (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,”(Terj. QS. Al Balad: 1113) Kedua, dalam hadits Al Barra’ yang diriwayatkan oleh Ath Thayalsiy disebutkan: ْ ص ْرتَ فِي ْال ُخ ْطبَ ِة لَقَد سو َل ه ُ يَا َر:َسله َم فَقَال « َلئِ ْن قَ ه:َ أ َ ْخبِ ْرنِي بِ َع َم ٍل يُد ِْخلُنِي ْال َجنهةَ قَال،َِّللا َ صلهى للاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِ َجا َء أَع َْرابِي إِلَى النهبِي سو َل ه الرقَبَ ِة ُ يَا َر:َالرقَبَةَ» قَال س َم ِة أ َ ْن ت ُ ْف ِردَ ِب َها َوفَكُّ ه س َمةَ َوفُكه ه ه َ ِعتْ ُق النه، « ََّل:َس َوا ٌء؟ قَال َ أَ َو َما ُه َما،َِّللا َ ق النه ِ ِ أ َ ْعت،َعرضْتَ ْال َمسْأَلَة ْ ْ ْ ْ ْ ه َ ه ُ َ َ َ َ ُ ُ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ » َق الظ ْمآن وف َوالف ْي ُء َعلى ذِي ه ُ َوال ِمن َحة ال َوك،أ َ ْن تعِينَ فِي ث َمنِ َها ِ «فأط ِع ِم ال َجائِ َع َوا ْس:َ ف َمن ل ْم ي ُِطق ذلِكَ ؟ قال:َالر ِح ِم الظا ِل ِم» قال ْ »سانَكَ ِإ هَّل ِم ْن َخي ٍْر ِ « ُم ْر بِ ْال َم ْع ُر:َ فَإ ِ ْن لَ ْم أَ ْست َِط ْع؟ قَال:َقَال « َف ُك ه:َ فَ َم ْن لَ ْم ي ُِط ْق ذَاكَ ؟ قَال،َوف َوا ْنهَ َع ِن ال ُم ْنك َِر» قَال َ ف ِل “Pernah datang seorang Arab baduwi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku amalan yang memasukkanku ke surga?” Beliau menjawab, “Jika engkau memendekkan khutbah, maka engkau telah menghadapkan kepada permasalahan.Merdekakanlah jiwa dan lepaskan budak.” Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah keduanya sama saja.” Beliau menjawab, “TIdak, memerdekakan jiwa adalah kamu sendiri yang memerdekakannya, sedangkan melepaskan budak adalah kamu membantu (dengan harta) harganya. Berikanlah susu dari hewan yang banyak susunya, dan berbuat baiklah kepada kerabat yang zalim.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak mampu?” Beliau menjawab, “Berilah makan orang yang lapar dan berilah minum orang yang haus.” Ia bertanya lagi, “Jika saya tidak mampu?” Beliau menjawab, “Suruhlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah kemungkaran.” Ia bertanya lagi, “Jika ia tidak mampu?” Beliau menjawab, “Jagalah lisanmu kecuali untuk yang baik.” (Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3976) Ketiga, Memerdekakan budak termasuk kaffarat dalam pembunuhan khatha’ (tidak sengaja), Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” (Terj. QS. An NIsaa’: 92) Keempat, memerdekakan budak juga sebagai kaffarat dalam sumpah yang dilanggar. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.” (Terj. QS. Al Maa’idah: 89)
11
Kelima, memerdekakan budak termasuk kaffarat Zhihar. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” (Terj. QS. Al Mujaadilah: 3) Keenam, Islam menjadikan termasuk tempat penyaluran zakat adalah untuk membelikan budak dan untuk memerdekakan mereka, lihat surat At Taubah: 60. Ketujuh, Islam memerintahkan diberlakukan mukaatabah, yakni mengadakan perjanjian antara tuan dengan budaknya agar budaknya merdeka dengan membayar sejumlah harta. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka. Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang budak boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurutnya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal., jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. “ (Terj. QS. An Nuur: 33) Kedelapan, ketika seseorang bernadzar untuk memerdekakan budak, maka ia wajib memenuhi nadzarnya ketika keinginannya tercapai.
12
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjelasan di atas tampak jelas bagi kita, bahwa Islam mempersempit perbudakan, memperlakukan mereka dengan perlakuan yang baik, membuka lebar-lebar pintu memerdekakan, serta membuka ruang yang lebar agar mereka dapat lepas dari perbudakan, bahkan Islam mengulurkan tangannya untuk para budak agar mereka dapat lepas dari perbudakan. B. Saran Sebagai seorang muslim kita harus mengikuti ajaran yang sudah ada. Termasuk memerdekakan hamba sahaya. Kita harus saling menghargai sesama manusia tanpa membedakan ras dan status.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://mizanuladyan.wordpress.com/2012/09/03/ Fiqhul Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama) Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza’iriy), Al Maktabatusy Syamilah
http://media.isnet.org/kmi/islam/Qardhawi/Masyarakat/Kebebasan.html Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh) oleh Dr. Yusuf Qardhawi
14