BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, dunia kedokteran pun terus menerus
berkembang.
Kemajuan
teknologi
yang
terus
berkembang
mengharuskan para dokter terus menjawab tantangan-tantangan tersebut. Dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut, para dokter tidak boleh meninggalkan aspek-aspek penting seperti kode etik kedokteran, agama, dan hukum. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah aspek sosial budaya, mengingat Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan dalam kehidupan sosial budayanya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang sangat besar. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan rasa, karsa dan daya cipta yang dimiliki. Salah satu bidang iptek yang berkembang pesat dewasa ini adalah teknologi reproduksi. Teknologi reproduksi adalah ilmu reproduksi atau ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk menghasilkan suatu produk (keturunan). Salah satu teknologi reproduksi yang telah banyak dikembangkan adalah inseminasi buatan. Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination yang berarti memasukkan cairan semen (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin pria (spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi atau penampungan semen. Berdasarkan pengertian di atas, maka definisi tentang inseminasi buatan adalah memasukkan atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin wanita dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alami. Namun
1
perkembangan lebih lanjut dari inseminasi buatan tidak hanya mencangkup memasukkan semen ke dalam saluran reproduksi wanita, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan sperma, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan, dan penentuan hasil inseminasi pada manusia dan hewan. Adapun tujuan dari inseminasi buatan adalah sebagai suatu cara untuk mendapatkan keturunan bagi pasutri yang belum mendapat keturunan.
B. Tujuan Penulisan · Menentukan, menyatakan, dan menganalisis segi etika dalam kebijakan kesehatan. · Mengidentifikasi kasus relevan dan perundangan menyangkut segi dan pilihan etika. · Menganalisis secara sistematik dan mempertahankan pilihan etik dalam pengobatan setiap individu pasien. C Manfaat Penulisan Sebagai sarana pembelajaran mengenai suatu kasus kedokteran ditinjau dari segi sosial-budaya, agama, hukum, dan kode etik kedokteran.
2
BAB II ISI A. Kasus Sebagai contoh kasus: Di Colorado Amerika Serikat pasangan Jack dan Lisa melakukan program inseminasi, bukan semata-mata untuk mendapatkan keturunan tetapi karena memerlukan donor bagi putrinya Molly yang berusia 6 tahun yang menderita penyakit fanconi anemia, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh tidak berfungsinya sumsum tulang belakang sebagai penghasil darah. Jika dibiarkan akan menyebabkan penyakit leukemia. Satu-satunya pengobatan adalah melakukan pencangkokan sumsum tulang dari saudara sekandung, tetapi masalahnya Molly anak tunggal. Yang dimaksud inseminasi disini diterapkan untuk mendapatkan anak yang bebas dari penyakit fanconi anemia agar dapat diambil darahnya sehingga diharapkan akan dapat merangsang sumsum tulang belakang Molly untuk memproduksi darah.
B. Sumber Pusat Pelayanan Pengajaran dan Multimedia Universitas Kristen Satya Wacana. Oleh: Evi Puspita Sari, Esti Cahya Wirastri, Yusmeida Ciptami, Susanna Puspitarini.
3
BAB III PEMBAHASAN A. Teori yang Mendukung Masalah Pengertian Telah kita ketahui pada latar belakang tadi bahwa Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination yang berarti memasukkan cairan semen (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin pria (spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi atau penampungan semen. Berdasarkan pengertian di atas, maka definisi tentang inseminasi buatan adalah memasukkan atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin wanita dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alami. Namun perkembangan lebih lanjut dari inseminasi buatan tidak hanya mencangkup memasukkan semen ke dalam saluran reproduksi wanita, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan sperma, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan, dan penentuan hasil inseminasi pada manusia dan hewan. Adapun tujuan dari inseminasi buatan adalah sebagai suatu cara untuk mendapatkan keturunan bagi pasutri yang belum mendapat keturunan. Pertimbangan tindakan Hadirnya seorang anak merupakan tanda dari cinta kasih pasangan suami istri, tetapi tidak semua pasangan dapat melakukan proses reproduksi secara
4
normal. Sebagian kecil diantaranya memiliki berbagai kendala yang tidak memungkinkan mereka untuk memiliki keturunan. Inseminasi buatan pertama kali dilakukan pada manusia dengan menggunakan sperma dari suami telah dilakukan secara intravagina pada tahun 1700 di Inggris. Sophia Kleegman dari Amerika Serikat adalah salah satu perintis yang menggunakan inseminasi buatan dengan sperma suami ataupun sperma donor untuk kasus infertilitas. Pada wanita kendala ini dapat berupa hipofungsi ovarium, gangguan pada saluran reproduksi dan rendahnya kadar progesterone. Sedangkan pada pria berupa abnormalitas spermatozoa kriptorkhid, azoospermia dan rendahnya kadar testosterone. Selain untuk memperoleh keturunan, faktor kesehatan juga merupakan fokus utama penerapan teknologi reproduksi. Teknik Inseminasi 1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination) Teknik IUI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan melalui leher rahim hingga ke lubang uterine (rahim). 2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination) Teknik DIPI telah dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke peritoneal (rongga peritoneum). Teknik IUI dan DIPI dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut bivalve speculum, yaitu suatu alat yang berbentuk seperti selang dan mempunyai 2 cabang,
dimana
salah
satu
ujungnya
sebagai
tempat
untuk
memasukkan/menyalurkan sperma dan ujung yang lain dimasukkan ke dalam saluran leher rahim untuk teknik IUI, sedangkan untuk teknik DIPI dimasukkan ke dalam peritoneal. Jumlah sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih
5
sebanyak 0,5–2 ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, orang yang mendapatkan perlakuan inseminasi tersebut harus dalam posisi terlentang selama 10–15 menit. Sumber Sperma Ada 2 jenis sumber sperma yaitu: 1. Dari sperma suami Inseminasi yang menggunakan air mani suami hanya boleh dilakukan jika jumlah spermanya rendah atau suami mengidap suatu penyakit. Tingkat keberhasilan AIH hanya berkisar 10-20 %. Sebab-sebab utama kegagalan AIH adalah jumlah sperma suami kurang banyak atau bentuk dan pergerakannya tidak normal. 2. Sperma penderma Inseminasi ini dilakukan jika suami tidak bisa memproduksi sperma atau azoospermia atau pihak suami mengidap penyakit kongenital yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Penderma sperma harus melakukan tes kesehatan terlebih dahulu seperti tipe darah, golongan darah, latar belakang status physikologi, tes IQ, penyakit keturunan, dan bebas dari infeksi penyakit menular. Tingkat keberhasilan Inseminasi AID adalah 60-70 %. Penyiapan sperma Sperma dikumpulkan dengan cara marturbasi, kemudian dimasukkan ke dalam wadah steril setelah 2-4 hari tidak melakukan hubungan seksual. Setelah dicairkan dan dilakukan analisa awal sperma, teknik “Swim-up” standar atau “Gradient Percoll” digunakan untuk persiapan penggunaan larutan garam seimbang Earle atau Medi. Cult IVF medium, keduanya dilengkapi dengan
6
serum
albumin
manusia.
Dalam
teknik
Swim-up,
sampel
sperma
disentrifugekan sebanyak 400 g selama 15 menit. Supernatannya dibuang, pellet dipisahkan dalam 2,5 ml medium, kemudian disentrifuge lagi. Sesudah memisahkan supernatannya, dengan hati-hati pellet dilapisi dengan medium dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37º C. Sesudah diinkubasi, lapisan media yang berisi sperma motile dikumpulkan dengan hati-hati dan digunakan untuk inseminasi. Pada teknik Percoll, sperma dilapiskan pada Gradient Percoll yang berisi media Medi. Cult dan disentrifugekan sebanyak 500 g selama 20 menit. 90 % dari pellet kemudian dipisahkan dalam 6 ml media dan disentrifugekan lagi sebanyak 500 g selama 10 menit. Pellet sperma kemudian dipisahkan dalam 0,5 atau 1 ml medium dan digunakan untuk inseminasi. Analisis Kualitas Sperma Pemeriksaan
Laboratorium
Analisis
Sperma
dilakukan
untuk
mengetahui kualitas sperma, sehingga bisa diperoleh kualitas sperma yang benar-benar baik. Penetapan kualitas ekstern di dasarkan pada hasil evaluasi sampel yang sama yang dievaluasi di beberapa laboratorium, dengan tahapantahapan: Pengambilan sampel, Penilaian Makroskopik, Penialain Mikroskopis, Uji Biokimia, Uji Imunologi, Uji mikrobiologi, Otomatisasi, Prosedur ART, Simpan Beku Sperma. Resiko Injeksi Sperma Dalam pembuahan normal, antara 50.000-100.000 sel sperma, berlomba membuahi 1 sel telur. Dalam pembuahan normal, berlaku teori seleksi alamiah dari Charles Darwin, dimana sel yang paling kuat dan sehat adalah yang menang. Sementara dalam inseminasi buatan, sel sperma pemenang dipilih oleh dokter atau petugas labolatorium. Jadi bukan dengan sistem seleksi alamiah. Di
7
bawah mikroskop, para petugas labolatorium dapat memisahkan mana sel sperma yang kelihatannya sehat dan tidak sehat. Akan tetapi, kerusakan genetika umumnya tidak kelihatan dari luar. Dengan cara itu, resiko kerusakan sel sperma yang secara genetik tidak sehat, menjadi cukup besar. Belakangan ini, selain faktor sel sperma yang secara genetik tidak sehat, para ahli juga menduga prosedur inseminasi memainkan peranan yang menentukan. Kesalahan pada saat injeksi sperma, merupakan salah satu faktor kerusakan genetika. Secara alamiah, sperma yang sudah dilengkapi enzim bernama akrosom berfungsi sebagai pengebor lapisan pelindung sel telur. Dalam proses pembuahan secara alamiah, hanya kepala dan ekor sperma yang masuk ke dalam inti sel telur. Sementara dalam proses inseminasi buatan, dengan injeksi sperma, enzim akrosom yang ada di bagian kepala sperma juga ikut masuk ke dalam sel telur. Selama enzim akrosom belum terurai, maka pembuahan akan terhambat. Selain itu prosedur injeksi sperma memiliko resiko melukai bagian dalam sel telur, yang berfungsi pada pembelahan sel dan pembagian kromosom. Keuntungan dan Kerugian yang muncul dari Tindakan Keuntungan: sebagai suatu cara untuk mendapatkan keturunan bagi pasutri yang belum mendapat keturunan. Kerugian: Bayi dari hasil inseminasi buatan dapat memiliki resiko cacat bawaan lebih besar daripada dibandingkan pada bayi normal. Penyebab dari munculnya cacat bawaan adalah kesalahan prosedur injeksi sperma ke dalam sel telur. Hal ini bisa terjadi karena satu sel sperma yang dipilih untuk digunakan pada inseminasi buatan belum tentu sehat, dengan cara ini resiko mendapatkan sel sperma yang secara genetik tidak sehat menjadi cukup besar. Cacat bawaan yang paling sering
8
muncul antara lain bibir sumbing, down sindrom, terbukanya kanal tulang belakang, kegagalan jantung, ginjal, dan kelenjar pankreas. B. Penjelasan Mengapa Kasus Termasuk Menjadi Masalah Bioetik Seperti diketahui kemampuan berpikir dan bernalar membuat manusia menemukan berbagai pengetahuan baru. Pengetahuan itu kemudian digunakan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, sering pula teknologi yang kita hasilkan itu memberikan efek samping yang memberikan dampak negatif. Oleh sebab itu ada beberapa orang yang pro dan kontra terhadap teknologi tersebut. Dari pendapat yang pro dan kontra, memunculkan masalah etis, diantaranya: A. Bagaimana Inseminasi buatan dapat dibenarkan? Inseminasi buatan dapat dibenarkan atau diijinkan bila dilakukan dengan alasan kesehatan dan pengobatan atau untuk meningkatkan nilai genetik, sehingga menghasilkan manusia yang lebih berkualitas. Dan yang lebih penting dilakukan oleh pasangan yang sah. Hal ini di kemukakan oleh sebagian pakar agama baik dari Islam, Kristen maupun Yahudi, karena dapat membantu pasangan suami istri yang tidak bisa memperoleh keturunan, jika kedua belah pihak setuju untuk melakukan inseminasi. Tetapi ada juga yang mempersoalkan tentang inseminasi buatan ini, bahwasanya anak yang diperoleh dengan cara inseminasi sebenarnya bukanlah anak dari dari suami istri itu sendiri, melainkan dari orang lain yang identitasnya biasanya disembunyikan. Karena itu juga muncul problem hukum tentang ayah yang benar dari anak tersebut dan problem physikologis dalam diri anak di kemudian hari bila ingin tahu tentang ayahnya yang sebenarnya. Selain itu persoalan tentang bagaimana cara mendapatkan sperma, apakah boleh digunakan masturbasi? Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk inseminasi buatan, ternyata juga menimbulkan masalah
9
karena terlalu mahal, sekitar 11 juta. Apakah tidak lebih baik bila biaya tersebut digunakan untuk didermakan kepada panti asuhan sebelum mereka mengangkat seorang anak dari panti asuhan tersebut? B. Benar-Salahkah Inseminasi Buatan? Segi Agama Dalam hukum Islam tidak menerima cara pengobatan ini dan tidak boleh menerima anak yang dilahirkan sebagai anak yang sah, apalagi jika anak yang dilakukan perempuan karena nantinya akan mempersoalkan siapa walinya jika anak tersebut menikah. Bolehkah “ayah” yaitu suami yang memiliki gangguan reproduksi dapat diterima sebagai walinya? Selain masalah agama juga muncul soal hukum dalam pembagian harat. Bolehkah anak yang dilahirkan AID mewarisi harta “ayah” juga dalam hal lain-lain yang berkaitan dengan pewarisan. Di negara barat, yang mana inseminasi benih penderma dilakukan dengan giatnya, mereka atasi masalah Undang-Undang dengan menjalani proses “adopsi” secara sah. Tetapi kedudukan di negara Indonesia masih belum jelas. Alasan lain dari sekelompok agamawan menolak teknologi reproduksi ini karena mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut sama artinya bertentangan dengan ajaran Tuhan yang merupakan Sang Pencipta. Allah adalah kreator terbaik. Manusia dapat saja melakukan campur tangan dalam pekerjaannya termasuk pada awal perkembangan embrio untuk meningkatkan kesehatan atau untuk meningkatkan ruang terjadinya kehamilan, namun perlu diingat Allah adalah Sang pemberi hidup.
Segi Sosial
10
Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan masyarakat, terutama bila sperma yang digunakan berasal dari bank sperma atau sel sperma yang digunakan berasal dari pendonor, akibatnya status anak menjadi tidak jelas. Selain itu juga, di kemudian hari mungkin saja terjadi perkawinan antar keluarga dekat tanpa di sengaja, misalnya antar anak dengan bapak atau dengan ibu atau bisa saja antar saudara sehingga besar kemungkinan akan lahir generasi cacat akibat inbreeding. Lain halnya dengan kasus seorang janda yang ditinggal mati suaminya, dan dia ingin mempunyai anak dari sperma beku suaminya. Hal ini dianggap etis karena sperma yang digunakan berasal dari suaminya sendiri sehingga tidak menimbulkan masalah sosial, karena status anak yang dilahirkan merupakan anak kandung sendiri. Kasus lainnya adalah seorang wanita ingin mempunyai anak dengan inseminasi tetapi tanpa menikah, dengan alasan ingin mempunyai keturunan dari seseorang yang diidolakannya seperti artis dan tokoh terkenal. Kasus tersebut akan menimbulkan sikap tidak etis, karena sperma yang diperoleh sama halnya dari sperma pendonor, sehingga akan menyebabkan persoalan dalam masyarakat seperti status anak yang tidak jelas. Selain itu juga akan ada pandangan negatif kepada wanita itu sendiri dari masyarakat sekitar, karena telah mempunyai anak tanpa menikah dan belum bersuami. Segi Hukum Dilihat dari segi hukum pendonor sperma melanggar hukum. Contoh kasus pada bulan Juni 2002, pengadilan di Stockholm, Swedia menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang mengaku sebagai pendonor sperma kepada pasangan lesbian yang akhirnya bercerai. Dan diberi sanksi untuk memberi tunjangan terhadap 3 orang anak hasil inseminasi spermanya, sebesar 2,5 juta perbulan. Dalam kasus ini akan timbul sikap etis dan tidak etis. Sikap etis timbul dilihat dari sikap pendonor sperma yang telah memberikan spermanya
11
kepada pasangan lesbian, karena berusaha untuk membantu pasangan tersebut untuk mempunyai anak. Sedangkan sikap tidak etis muncul dari pasangan lesbian yang bercerai, karena telah menuntut pertanggungjawaban kepada pendonor sperma yang mengaku sebagai ayahnya untuk memberikan tunjangan hidup bagi ke-3 anak hasil inseminasi spermanya. . C. Solusi untuk Perawat dari Masalah Bioetik yang di ambil Konsekuensi dari adanya “gap” kesenjangan, seperti yang disampaikan di atas sebelumnya tadi, akan memperdalam dilemma, sebagai benturan etik dan hukum pada proses reproduksi buatan/inseminasi buatan yang akan semakin kompleks pula. Sekali lagi kompleksitas ini disebabkan semakin dinamisnya pengertian dan makna pergeseran nilai, norma, dan keyakinan yang tumbuh, yang tumbuh terus di masyarakat, masyarakat ilmiah dan masyarakat awam.. semakin majemuknya cara berpikir dan cara pandang dari masingmasing tingkat masyarakat tersebut. Di satu pihak ilmu dan penelitian teknologi susah dibendung, dipihak lain perangkat norma, nilai, dan keyakinan yang dibuat atas keputusan masyarakat sebagai the user, sebagai pengguna dari kemajuan ilmu dan teknologi itu sendiri. “Gap” atau kesenjangan inilah yang perlu mendapat perhatian, sehingga di perlukan kajian dan pendekatan yang terus menerus di antara pakar dalam bentuk dan sifatnya yang ‘multi’, ‘inter’, ‘lintas’, dan ‘cross’ disiplin ilmu. Ilmu Kedokteran, Ilmu Kesehatan Reproduksi, Ilmu Reproduksi Manusia, tidak mungkin dapat berdiri sendiri saat ini, tidak mungkin dapat berjalan sendiri saat ini, didalam menghadapi kompleksitas masalah yang di hadapinya saat ini. Berkaitan dengan perannya yang semakin besar, semestinya profesi perawat juga harus mengetahui tanggung jawabnya dilihat dari aspek hukum. Pelajaran hukum wajib diberikan pada program D3 Keperawatan dan diberikan
12
pada program S1. Para perawat hendaknya perlu tahu sedikit banyak tentang hukum kedokteran atau hukum kesehatan, misalkan tentang bioetik standar profesi kedokteran, rekam medik, dan etika kedokteran D. Undang-Undang yang Berhubungan dengan inseminasi buatan (Reproduksi buatan) di Indonesia Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 16 yang menyebutkan antara lain: (1) Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan. (2) Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; c. pada sarana kesehatan tertentu. (3) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Keputusan Mentri Kesehatan No.72/ Menkes/ Per/ II / 1999 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan tentang: Ketentuan Umum, Perizinan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
13
Selanjutnya, atas keputusan Menkes RI tersebut di atas, di buat Pelayanan Bayi tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Umum dan Swasta, Departemen Kesehatan RI yang menyatakan bahwa: 1. Pelayanan Teknologi Buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sel sperma suami-istri yang bersangkutan. 2. Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan infertelitas, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan. 3. Embrio yang dapat dipindahkan satu waktu ke dalam rahim isteri tidak lebih dari tiga; boleh dipindahkan empat embrio pada keadaan: a) rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir. b) pasangan suami-isteri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur reproduksi yang gagal atau c) isteri berumur lebih dari 35 tahun. 4.Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun. 5. Dilarang melakukan jual beli embrio, ova, dan spermatozoa. 6.Dilarang menghasilkan embrio manusia hanya semata-mata penelitian. Penelitian sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dilakukan kalau tujuan penelitiannya telah dirumuskan dengan sangat jelas. 7. Dilarang penelitian terhadap terhadap atau dengan embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal infertilitas.
14
8. Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia tidak boleh dibiak in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-hari penyimpanan dalam suhu sangat rendah/simpan beku) 9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau dengan menggunakan embrio, ova dan atau spermatozoa manusia tanpa izin khusus dari siapa sel telur atau spermatozoa itu diperoleh. 10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies kecuali apabila fertilisasi transspesies itu diakui sebagai cara untuk mengengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fertilisasi transspesies harus segera diakhiri pertumbuhannya pada tahap dua sel. Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit di dalam buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Namun, di dalam addendum 1, di dalam buku tersebut tentang penjelasan khusus untuk beberapa pasal dari revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, april 2002, dijelaskan tentang klonasi/cloning, sebagai adopsi dari hasil keputusan Muktamar XXIII IDI 1997, tentang klonasi (Cloning), yang pada hakekatnya: menolak dilakukan klonasi pada manusia, karena upaya itu mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, dstnya; menghimbau para ilmuan khususnya kedokteran, agar tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia. Mendorong ilmuan untuk tetap memanfaatkan bio-teknologi klonasi pada: 1. Sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan melalui al: pembuatan zat anti atau antigen monoclonal, yang dapat digunakan dalam banyak bidang kedokteran baik aspek diagnostic maupun aspek pengobatan. 2. Pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan diaplikasikannya konasi organ manusia untuk dirinya sendiri.
15
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dengan demikian maka inseminasi buatan harus berlandaskan nilai etika tertentu, karena bagaimanapun juga perkembangan dalam dunia bioteknologi
16
tidak lepas dari tanggung jawab manusia sebagai agen moral dan subjek moral. Etika diperlukan untuk menentukan arah perkembangan bioteknologi serta perkembangannya secara teknis, sehingga tujuan yang menyimpang dan merugikan bagi kemanusiaan dapat dihindarkan. Dan yang penting perlu diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi. B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA Anttila, L., Penttila, TA, & Suikkari, AM. Successful pregnancy after in vitro fertilization and transmyometrial embryo transfer in a pacient with congenital atresia of cervix: case report. Hum reprod 1999, 14; 1647-1649. Barciulli, F, Ricci, G, Levi D`Ancona, R, et all., 1990. Our experience with direct intraperitoneal insemination (DIPI) as a treatment for infertile couples. Acta Eur Fertill. 21:251-256.
17
Ben Rhouma, K, Ben Marzouk, A, Rihani, M, & Bakir, M., 1994. Direct intraperitoneal insemination and controlled ovarian hyperstimulation in subfertile couples.
J Assist Repro Genet. 11:189-192.
Beno, E. 1988. Bioteknologi Dan Bioetika. Kanisius. Jakarta. Hadiwardoyo, A. P. 1990. Moral dan masalahnya. Kanisius. Yogyakarta. Misao, R, Itoh, M, Nakanishi, Y,& Tamaya, T., 1997. Direct intraperitoneal insemination in ovarian hyperstimulation cycles included with gonadoptropinreleasing hormone agonist. Clin Exp Obstet Gynecol. 24:133-134. Shannon, T. A. 1995. Pengantar Bioetika.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sills, E. S., and Gianpiero, D. P. (2002). Intrauterine pregnancy following low-dose gonadotropin ovulation induction and direct intraperitoneal insemination for severe cervical stenosis. BMC Pregnancy childbirth. 2; 9-12. Wanandi, S. I. 2000. SOBOTTA Atlas Anatomi Manusia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Tiemessen, CH, Bots, RS, peters, MF, & Evers, JL: Direct intraperitoneal insemination compared to intrauterine insemination in supperovulation cycles: a randomized cross-over study. Gynecol Obstet Invest. 44; 149-152. Verkuyl, J. 1984. Etika Kristen Seksuil. BPK Gunung Mulia. Jakarta
18