TRIASE CANADA (CTAS)
A. PENDAHULUAN Perkembangan triase modern tak lepas dari pengembangan sistim layanan gawat darurat. Kehidupan yang semakin kompleks menyebabkan terjadi revolusi sistem triase baik di luar rumah sakit maupun dalam rumah sakit. Kata triase berasal dari bahasa perancis trier, yang artinya menyusun atau memilah. Kata ini pada awalnya digunakan untuk menyebutkan proses pemilahan biji kopi yang baik dan yang rusak.1 Proses pemilahan di dunia medis pertama kali dilaksanakan sekitar tahun 1792 oleh Baron Dominique Jean Larrey, seorang dokter kepala di Angkatan perang Napoleon.1 Pemilahan pada serdadu yang terluka dilakukan agar mereka yang masih bisa ditolong mendapatkan prioritas penanganan. Seiring dengan berkembangnya penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950 an diterapkan metode triase di rumah sakit di Amerika Serikat, namun belum ada struktur yang baku. Seiring dengan perkembangan keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah sakit modern sudah berkembang menjadi salah satu penentu arus pasien dalam layanan gawat darurat. Triase menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini. Berbagai laporan dari UGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan perlu ada metode menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan. Ketepatan dalam menentukan kriteria triase dapat memperbaiki aliran pasien yang datang ke unit gawat darurat, menjaga sumber daya unit agar dapat fokus menangani kasus yang benar-benar gawat, dan mengalihkan kasus tidak gawat darurat ke fasilitas kesehatan yang sesuai. Dalam rangka meningkatkan performa pelayanan di UGD, revitalisasi peran dan fungsi triase harus dilakukan. Untuk itu, perkembangan sistem triase rumah sakit diberbagai negara perlu diketahui, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah sistim triase modern tersebut relevan diterapkan di Indonesia.
B. DEFINISI Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau berisiko memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera, dan pasien mana yang dapat dengan aman menunggu.3-7 Berdasarkan definisi ini, proses triase diharapkan mampu menentukan kondisi pasien yang memang gawat darurat, dan kondisi yang berisiko gawat darurat. Untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan suatu sistim penilaian kondisi medis dan klasifikasi keparahan dan kesegeraan pelayanan berdasarkan keputusan yang diambil dalam proses triase. Penilaian kondisi medis triase tidak hanya melibatkan komponen topangan hidup dasar yaitu jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) atau disebut juga ABC approach, tapi juga melibatkan berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda fisik. Penilaian kondisi ini disebut dengan penilaian berdasarkan kumpulan tanda dan gejala (syndromic approach). Contoh sindrom yang lazim dijumpai di unit gawat darurat adalah nyeri perut, nyeri dada, sesak nafas, dan penurunan kesadaran.
Triase konvensional yang dikembangkan di medan perang dan medan bencana menetapkan sistim pengambilan keputusan berdasarkan keadaan hidup dasar yaitu ABC approach dan fokus pada kasus-kasus trauma. Setelah kriteria triase ditentukan, maka tingkat kegawatan dibagi dengan istilah warna, yaitu warna merah, warna kuning, warna hijau dan warna hitam. Penyebutan warna ini kemudian diikuti dengan pengembangan ruang penanganan medis menjadi zona merah, zona kuning, dan zona hijau (tabel 1). Triase bencana bertujuan untuk mengerahkan segala daya upaya yang ada untuk korban-korban yang masih mungkin diselamatkan sebanyak mungkin (do the most good for the most people). Tabel 1. Triase Bencana
Kriteria Merah Kuning Hijau Hitam
Deskripsi Korban dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan segera Korban tidak dalam kondisi kritis namun membutuhkan pertolongan segera Trauma minor dan masih mampu berjalan (walking wounded) Meninggal
Sedangkan triase rumah sakit bertujuan menetapkan kondisi yang paling mengancam nyawa agar dapat mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk melakukan pertolongan medis pada pasien sampai keluhan pasien dan semua parameter hemodinamik terkendali. Prinsip yang dianut adalah bagaimana agar pasien mendapatkan jenis dan kualitas pelayanan medik yang sesuai dengan kebutuhan klinis (prinsip berkeadilan) dan penggunaan sumber daya unit yang tepat sasaran (prinsip efisien). Selain tingkat kegawatan suatu kondisi medis, triase juga harus menilai urgensi kondisi pasien. Urgensi berbeda dengan tingkat keparahan. Pasien dapat dikategorikan memiliki kondisi tidak urgen tapi masih tetap membutuhkan rawat inap dirumah sakit karena kondisinya. Setelah penilaian keparahan (severity) dan urgensi (urgency), maka beberapa sistim triase menentukan batas waktu menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat dengan aman menunggu sampai mendapatkan pengobatan di IGD. Sistim triase tidak pernah dirancang untuk membuat diagnosis, namun seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran, tindakan-tindakan penyelamatan nyawa sudah dapat dimulai secara simultan ketika triase berjalan, seperti tindakan pembebasan jalan nafas dengan metode jaw thrust, pijat jantung luar, penekanan langsung sumber perdarahan, pemasangan cervical collar. Triase modern yang diterapkan di rumah sakit saat ini terbagi atas lima kelompok (table 2) dengan berbagai macam penyebutan, dalam artikel ini akan diseragamkan dengan sebutan kategori. Tabel 2. Kategori triase berdasarkan beberapa sistem Level (ESI) Warna Kriteria CTAS Kriteria ATS (MTS) Level 1 Merah Resusitasi Segera mengancam nyawa Level 2 Oranye Emergensi Mengancam nyawa Level 3 Kuning Segera (urgen) Potensi mengancam nyawa Level 4 Hijau Segera (semi urgen) Segera Level 5 Biru Tidak segera Tidak segera Untuk membuat sistim triase yang efektif dan efisien, maka ada empat hal yang harus dinilai yaitu utilitas, sistim triase harus mudah dipahami dan praktis dalam aplikasi oleh perawat gawat darurat dan dokter. Valid, sistim triase harus mampu mengukur urgensi suatu kondisi sesuai dengan seharusnya.reliabel, sistim triase dapat dilaksanakan oleh berbagai petugas medis dan memberikan hasil yang seragam, dan keamanan, keputusan yang
diambil melalui sistim triase harus mampu mengarahkan pasien untuk mendapatkan pengobatan semestinya dan tepat waktu sesuai kategori triase. Metode triase rumah sakit yang saat ini berkembang dan banyak diteliti reliabilitas, validitas, dan efektivitasnya adalah triase Australia (Australia Triage System/ATS), triase Kanada (Canadian Triage Acquity System/CTAS), triase Amerika Serikat (Emergency Severity Index/ESI) dan triase Inggris dan sebagian besar Eropa (Manchester Triage Scale). Metode terstruktur disertai pelatihan khusus ini dikembangkan sehingga proses pengambilan keputusan triase dapat dilaksanakan secara metodis baik oleh dokter maupun perawat terlatih, tidak berdasarkan pengalaman dan wawasan pribadi (educational guess) atau dugaan (best guess) Metode triase lima kategori memiliki korelasi kuat dengan pemakaian sumber daya unit gawat darurat, kebutuhan rawat inap dan rawat intensif pasien gawat darurat, angka mortalitas, dan kesesuaian waktu yang dibutuhkan untuk pertolongan segera pada pasien baru dibandingkan dengan metode konvensional. Triase lima kategori juga memiliki reliabilitas interobserver yang lebih baik (κ = 0.68; p< 0.01) dibandingkan dengan triase konvensional (κ = 0.19-0.38).10, 11 Dengan metode triase lima kategori ini, maka setiap pasien yang masuk ke unit gawat darurat akan diterima oleh petugas triase. Petugas triase kemudian melakukan proses pengambilan keputusan berdasarkan metode terstruktur yang ditetapkan dan dilakukan dalam waktu singkat (2-5 menit), untuk kemudian mengarahkan pasien ke zona pelayanan medik yang sesuaivkategori triase. Petugas triase harus menetapkan skala prioritas pasien, tidak melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik mendalam, tidak perlu menetapkan rumusan masalah apalagi menetapkan diagnosis. Triase Kanada Triase Kanada disebut dengan The Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS). Pertama kali dikembangkan tahun 1990 oleh dokter yang bergerak dibidang gawat darurat. Konsep awal CTAS mengikuti konsep ATS, dimana prioritas pasien disertai dengan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan penanganan awal. CTAS juga dilengkapi dengan rangkuman keluhan dan tanda klinis khusus untuk membantu petugas melakukan identifikasi sindrom yang dialami pasien dan menentukan level triase. Metode CTAS juga mengharuskan pengulangan triase (re-triage) dalam jangka waktu tertentu atau jika ada perubahan kondisi pasien ketika dalam observasi. Pengambilan keputusan dalam sistim CTAS berdasarkan keluhan utama pasien, dan hasil pemeriksaan tanda vital yang meliputi tingkat kesadaran, nadi, pernafasan, tekanan darah, dan nyeri. Penilaian dilakukan selama 2-5 menit, namun bila pasien dianggap kategori CTAS 1 dan 2, maka harus segera dikirim ke area terapi. CTAS juga membuat batasan waktu berapa lama pasien dapat menunggu penanganan medis awal. Batasan waktu yang ditetapkan masih memiliki kelonggaran (table 3) karena kunjungan pasien yang tidak dapat diprediksi dan dibatasi adalah realitas yang dihadapi oleh tiap unit gawat darurat. Tabel 4. Indikator Keberhasilan Triase CTAS Berdasarkan waktu respon
Kategori CTAS 1 2 3 4 5
Waktu untuk segera ditangani Pasien dengan kategori dokter Pasien dengan kategori dalam waktu 15 menit Pasien dengan kategori dalam waktu 30 menit Pasien dengan kategori dalam waktu 60 menit Pasien dengan kategori dalam waktu 120 menit
ini 98% harus segera ditangani oleh ini 95% harus ditangani oleh dokter ini 90% harus ditangani oleh dokter ini 85% harus ditangani oleh dokter ini 80% harus ditangani oleh dokter
Tahun 2003, Jimenez mengevaluasi penerapan CTAS di unit gawat darurat rumah sakit umum dan menunjukkan bahwa dari 32,261 kunjungan ke UGD, sebanyak 85% di triase dalam waktu 10 menit, dan 98% pasien mengikuti proses triase dengan durasi kurang dari 5 menit. Waktu menunggu sesuai kategori triase CTAS memiliki kesesuaian 96.3% dengan panduan baku. Sistim kategori CTAS juga berhubungan dengan angka rawat inap, lama rawat, dan penggunaan pemeriksaan penunjang.
C. PENUTUP Manajemen unit gawat darurat yang efisien membutuhkan satu tim yang mampu mengidentifikasi kebutuhan pasien, menetapkan prioritas, memberikan pengobatan, pemeriksaan, dan disposisi yang tepat sasaran. Semua target tersebut harus dapat dilakukan dengan waktu yang sesuai, sehingga menghindari kejadian pengobatan terlambat dan pasien terabaikan. Meski sudah ada petugas khusus triase, konsep triase harus dipahami oleh semua petugas medis (dokter, perawat gawat darurat, dokter spesialis, dan dokter spesialis konsultan) dan non medis (petugas keamanan, petugas administrasi, petugas porter), karena unit gawat darurat adalah sebuah tim, dan kinerja tim yang menentukan efektivitas, efisiensi, dan keberhasilan pertolongan medis.