Trauma Ureter.docx

  • Uploaded by: AlexSusanto
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Trauma Ureter.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,915
  • Pages: 31
BUZZ GROUP DISCUSSION ASUHAN KEPERAWATAN PADA URETERAL TRAUMA KEPERAWATAN PERKEMIHAN

Dosen Pembimbing : Lailatun Ni’mah, S.Kep., Ns., M.Kep Oleh : Kelompok 2 (A-3) Gita Kurnia Widiastutik

(131511133086)

Ainil Fikroh Rahma Dheaning

(131511133087)

Ucik Nurmalaningsih

(131511133088)

Kusnul Chotimah

(131511133089)

Teguh Dwi Saputro

(131511133090)

Nisaul Azmi Nafilah

(131511133091)

Herlyn Afifah Nurwitanti

(131511133092)

Isnaini Via Z

(131511133094)

Alex Susanto

(131511133095)

Puji Setyowati

(131511133096)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2018

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan ridha-Nya dan rahmat-Nya. Shalawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membimbing penulis menuju jalan terang. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Lailatun Ni’mah, S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penbuatan makalah ini, serta kepada semua pihak yang terlibat, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang asuhan keperawatan pada ureteral trauma. Materi yang penulis paparkan dalam makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak – pihak yang ingin mempelajari tentang asuhan keperawatan pada ureteral trauma.

Surabaya, 11 April 2018

Penyusun

i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1.3. Tujuan .......................................................................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 2.1. Definisi ......................................................................................................................... 2.2. Klasifikasi .................................................................................................................... 2.3. Etiologi ......................................................................................................................... 2.4. Patofisiologi ................................................................................................................. 2.5. Manifestasi Klinis ........................................................................................................ 2.6. Pemeriksaan Daignostik ............................................................................................... 2.7. Penatalaksanaan .......................................................................................................... BAB III WOC DAN ASUHAN KEPERAWATAN .......................................................... 3.1. Web Of Cautiron (WOC) ............................................................................................. 3.2. Asuhan Keperawatan Kasus ......................................................................................... BAB IV PERAN KELUARGA DAN PERAWATAN DI RUMAH ................................. 4.1. Perawatan di Rumah .................................................................................................... 4.2. Peran Keluarga di Rumah ............................................................................................ BAB V SIMPULAN ........................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Trauma ureter akibat kekerasan dari luar sangat jarang terjadi, meliputi kurang dari 4% kasus trauma tembus dan kurang dari 1% trauma tumpul. Secara keseluruhan, trauma ureter terjadi kurang dari 1% dari seluruh trauma sistem urogenital. Kebanyakan penderita juga mengalami trauma yang signifikan pada organ lain, dengan angka mortalitas mencapai sepertiganya. 10-28% penderita dengan trauma ureter juga menderita trauma ginjal, dan 5% diantaranya menderita trauma buli (Rameshdo dan Tarmono, Rumah sakit umum Dr. Soetomo, selama tahun 2007-2009, didapatkan 67 kasus trauma urogenital. Diantara jumlah tersebut, belum pernah didapatkan adanya kasus trauma ureter. Hal ini menunjukkan bahwa trauma ureter sangat jarang terjadi, meskipun di pusat pelayanan kesehatan yang banyak menangani kasus trauma. Penderita dengan trauma ureter umumnya mengalami cedera berenergi tinggi yang diterima di seluruh tubuhnya. Besarnya energi tersebut berakibat pada terjadinya trauma lain, yang umumnya juga jarang terjadi, seperti fraktur pada processus vertebrae lumbal, atau dislokasi vertebra torakolumbal. Oleh karena itu, ditemukannya trauma semacam ini pada penderita dengan trauma tumpul harus meningkatkan kewaspadaan kita terhadap terjadinya trauma ureter. Penyebab tersering trauma urologi trauma tumpul yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Trauma ureter bisa disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan iatrogenik. Sepertiga bawah ureter merupakan bagian yang paling sering disebabkan oleh trauma tumpul yaitu sekitar 74% (Sri Meutia et al, 2014). Diagnosa

yang

akurat

akan

memudahkan

dalam

proses

penatalaksanaannya. Sebagai seorang perawat, perlu memahami dengan benar asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada klien dengan trauma ureter.

1

Perawat juga harus melibatkan keluarga dalam proses pemberian asuhan keperawatan. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep teori ureteral trauma? 2. Bagaimana asuhan keperawatan pada ureteral trauma? 3. Bagaiamana peran keluarga dan proses perawatan di rumah pada klien dengan ureteral trauma? 1.3.Tujuan 1. Untuk mengetahui konsep teori ureteral trauma 2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada ureteral trauma 3. Untuk mengetahui peran keluarga dan proses perawatan di rumah pada klien dengan ureteral trauma

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Menurut American Trauma Society dalam Amir, et al. (2014), trauma merupakan cedera yang dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu jatuh, tertusuk, terbakar, terkena benda tumpul, dan lain sebagainya. Sedangkan, trauma ureter merupakan cedera yang disebabkan baik oleh trauma tajam, tumpul, maupun iatrogenik (Amir, et al., 2014). Amir dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa kejadian trauma ureter paling sering terjadi pada bagian sepertiga distal (Amir, et al., 2014).

Gambar 2.1. Anatomi Saluran Urogenital (Pereira, et al., 2010). 2.2. Klasifikasi Klasifikasi dari trauma ureter menurut The American Association for The Surgery of Trauma dalam Sriyono dan Tarmono (2014), ialah: a. Grade I

: hematoma

b. Grade II

: laserasi < 50% lingkar ureter

3

c. Grade III : laserasi > 50% lingkar ureter d. Grade IV : terpotong < 2 cm e. Grade V

: terpotong > 2 cm

Sriyono dan Tarmono (2014) dalam jurnal Ureteral Trauma Profile in Soetomo Hospital menyebutkan bahwa trauma ureter dibagi menjadi 2 berdasarkan cara penatalaksanaan yaitu trauma parsial dan trauma total. Trauma parsial merupakan trauma ureter yang terjadi pada grade I dan II dengan tatalaksana menggunakan stent dan nefrostomi (Sriyono dan Tarmono, 2014). Sedangkan, trauma total merupakan trauma ureter yang terjadi pada grade III, IV, dan V dengan debridement, stent, jahitan, dan non-suction drain (Sriyono dan Tarmono, 2014). Klasifikasi trauma ureter berdasarkan lokasi trauma menurut Jones, et al. (2017) dibagi menjadi: a. Upper/ proximal third Terutama terjadi akibat trauma tumpul. b. Mid third c. Distal third Merupakan bagian ureter yang paling sering mengalami trauma. Biasanya terjadi akibat trauma iatrogenik. 2.3. Etiologi Sriyono dan Tarmono (2014) menjelaskan bahwa trauma ureter paling sering terjadi akibat trauma iatrogenik sebanyak 75%, trauma tumpul 18%, dan trauma tajam sebanyak 7%. Mendrofa (2000) menyatakan bahwa trauma iatrogenik pada ureter disebabkan oleh tindakan pembedahan terbuka pada area perut dan panggul untuk mengkoreksi posisi ureter akibat invasi tumor, duplikasi ureter, inflamasi panggul, dan lain sebagainya. Trauma terjadi akibat adanya jepitan dan ikatan saat melakukan perawatan pada perdarahan arteri uterina. Tindakan pembedahan lain yang dapat menyebabkan trauma ureter ialah

4

pengangkatan kista endometriosis, miomektomi, resektomi kista, dan lain sebagainya. Trauma tajam dapat terjadi akibat tembakan (Summerton, et al., 2015). Sedangkan, trauma tumpul paling sering terjadi saat kecelakaan lalu lintas (Summerton, et al., 2015). Sedangkan, menurut Holley dan Kilgore dalam Mendrofa (2000), ada beberapa faktor presdiposisi akibat keadaan rongga panggul diantaranya: a. Serviks uteri menyimpang ke lateral yang sangat dekat atau menempel pada ureter. b. Ada massa yang melekat pada peritoneum sehingga menutupi ureter. c. Tumor atau mioma intra-ligamenter yang mendorong ureter ke arah lateral. d. Ada eksudat pada ligamnetum latum yang dapat menyebabkan insisi pada ureter. e. Tumor retroperitoneal dapat mendesak ureter ke arah medial serta menyebabkan trauma saat dilakukan pengangkatan tumor. f. Reseksi pada karsinoma serviks uteri dapat menyebabkan trauma pada ureter. g. Histerektomi radikal Wertheim dapat menyebabkan trauma ureter. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi. 2.4. Patofisiologi Trauma pada ureter merupakan gangguan pada sistem perkemihan yang dikarenakan oleh adanya trauma, baik secara primer maupun sekunder. Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Trauma ureter biasanya disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenic. Untuk trauma tumpul pada ureter, walaupun frekuensinya sangat kecil, namun hal tersebut dapat menyebabkan terputusnya ureter, terikatnya ureter (akibat iatrogenic, seperti pada operasi pembedahan) yang bila total dapat menyebabkan sumbatan, atau 5

bocor yang bisa menyebabkan urinoma atau fistula urine. Bila kebocoran terjadi intraperitoneal, dapat menyebabkan tanda-tanda peritonitis. Injury pada

ginjal

akan

menimbulkan

robekan

vaskular

yang

menimbulkan perdarahan hebat, sehingga akan terjadi penimbunan darah dalam kantong adiposa ginjal atau dalam rongga peritonium dan terjadilah kompresi pada jaringan sekitar (tekanan intraabdomen meningkat). Trauma ureter menimbulkan obstruksi saluran kemih dan adanya darah dalam urine (hematuria). Iritabilitas jaringan yang meningkat akan menimbulkan nyeri hebat pada area trauma. Syok hipovelemi sering mengiringi dan memperparah kondisi klien. Kolapsnya sirkulasi karena perdarahan yang hebat akan memperberat kondisi hemodinamika. Oleh karena itu penganganan yang cepat dan benar akan memperbaiki prognosa klien. 2.5. Manifestasi Klinis Pada umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik. Kecurigaan adanya cedera ureter pada trauma dari luar adalah adanya hematuria pasca trauma, sedangkan kecurigaan adanya cedera ureter iatrogenik bisa ditemukan pada saat operasi atau pasca pembedahan. Jika diduga terdapat kebocoran urin melalui pipa drainase pasca bedah, pemberian zat warna yang di ekskresikan lewat urine, memberikan warna pada cairan di dalam pipa drainase atau pada luka operasi. Selain itu pemeriksaan kreatinin atau ureum cairan yang diambil dari pipa drainase kadarnya sama dengan yang berada di dalam urin. Kecurigaan cedera ureter iatrogenic, antara lain: 1. Saat operasi : a. Lapangan operasi banyak cairan b. Hematuria c. Anuria/oliguri jika cedera bilateral 2. Pasca bedah :

6

a. Demam b. Ileus c. Nyeri pinggang akubat obstruksi d. Sampai beberapa hari cairan drainase jernih dan banyak e. Hematuria persisten dan hematoma/urinoma di abdomen f. Fistula ureterokutan/fistula ureterovagina 2.6. Pemeriksaan Diagnostik 2.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dilakukan terhadap trauma ureter tergantung pada saat trauma ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat lesi ureter. Klasifikasi trauma ureter berdasarkan AAST ( The american association for the surgery of trauma) adalah sebagai berikut.1,2,3. Grade I

: Hematoma ureter

Grade II : Laserasi kurang dari 50 % lingkar ureter Grade III : Laserasi lebih dari 50 % lingkar ureter Grade IV : Terpotong kurang dari 2 cm Grade V : Terpotong lebih dari 2 cm Trauma Parsial (Grade I dan Grade II) Pada trauma ureter grade I dan II dapat ditangani dengan pemasangan stents pada ureter maupun nefrostomi untuk diversi urine yang keluar. Dengan pemasangan stent diharapkan aliran urine dapat melewati daerah trauma, memberikan kanalisasi dan stabilisasi di daerah ureter yang mengalami trauma sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya striktur. Pemasangan stent dapat dilakukan baik secara retrograde maupun antegrade dengan bantuan fluoroskopi maupun ureteropyelografi. Pemasangan stent dipertahankan selama 3 minggu. Sedangkan kateter uretra dipertahankan 2 hari untuk mencegah terjadinya refluks dan memberikan kesempatan penyembuhan.

7

Pemantauan dengan renogram maupun intravenous pyelografi dilakukan pada bulan ke-3 hingga ke-6 atau segera apabila didapatkan nyeri pinggang pada daerah trauma ureter. Apabila terjadi striktur, maka perlu dilakukan tindakan endourologi maupun pembedahan. Pada trauma grade I maupun II yang diketahui saat pembedahan, maka dianjurkan untuk dilakukan penutupan lesi secara primer disertai dengan pemasangan stent. Trauma Total (Grade III, IV, dan V) Perbaikan pada trauma ureter yang komplet sebaiknya dilakukan dengan melakukan debridement jaringan ureter yang rusak, spatulasi, pemasangan stent ureter, menjahit ureter dengan benang 4/0 yang diserap secara watertight, memasang non-suction drain dan menutup tempat jahitan dengan peritoneum maupun omentum. Tindakan

yang dilakukan bergantung pada lokasi terjadinya trauma.

Beberapa tindakan yang mungkin dilakukan adalah : 1. Ureter saling disambungkan (end to end anastomosis atau ureteroureterostomi) Kerusakan ureter yang melibatkan sepertiga bagian tengah atau atas ureter dapat ditangai dengan ureteroureterostomy primer. Ujung ureter secara hati-hati dibedah dan didebridasikan ke jaringan yang layak. Setiap ujungnya dilebarkan pada sisi yang berlawanan, dan kedap air, anastomosis bebas tegangan, dibuat menggunakan stent ureter menggunakan benang halus yang dapat diserap. Pembesaran loop optic sangat membantu dalam mencapai penempatan jahitan yang optimal. Mempertahankan vaskularisasi ureter meminimalkan striktur pasca operasi dan pembentukan fistula. Dengan cedera organ intraabdominal yang bersamaa, omentum yang lebih besar dapat digunakan untuk menyingkirkan ureter dan melindungi perbaikan. Ini dibedah dari kelengkungan lambung yang lebih besar dan berkelanjutan dengan baik di sebelah kanan atau pembuluh gastroepiploic kiri. pembuluh darah lambung

8

yang pendek kemudian dibagi, dan flap ditransfer retroperitoneally dan dibungkus melingkat di anastomosis ureter, mengisolasi dari isi abdomen. 2. Menyambung ureter dengan kalik ginjal (Ureterokalicostomi) Uterokalikostomi dapat digunakan untuk luka yang luas pada ureteropelvic junction dan ureter proksimal. Kutub bawah ginjal yang terlibat di amputasi, diekspos infundibulum dari kelopak inferios. Ureter secara spatulated, memungkinkan anastomosis ureterocakalikeal langsung ke atas stent internal. Prosedur ini harus dilakukan sebagai upaya terakhir karena melibatkan diseksi ginjal yang berlebihan dan penuh dengan insidensi anastomotic yang tinggi. 3. Menyambung ureter dengan ureter pada sisi yang lain (Transureteroureterotomi) Ujung distal ureter yang terluka di ligasikan. Ujung proksimal di alihkan melintasi garis tengah melalui jendela retroperitoneal dan anastomosis ke ureter kontralateral. Ini adalah pilihan yang valid dalam kehilangan ureter yang luas atau ketika cedera panggul menghalangi reimplantasi ureter. 4. Neoimplantasi ureter pada buli-buli baik dengan Boari flap maupun psoas hitch (Ureteroneosistostomi) a. Neoimplantasi ureter pada buli-buli dengan psoas hitch. Cedera ureter distal sebaiknya dikelola dengan reimplantasi ureter karena trauma primer biasanya membahayakan pasokan darah ke ureter distal. Risiko untuk refluks yang signifikan secara klinis harus ditimbang terhadap risiko obstruksi ureter. Psoas hitch dengan jahitan nonabsorbable antara kandung kemig dan tendon psoas ipsilateral biasanya diperlukan untuk menjembatani celah dan untuk melindungi anastomosis dari ketegangan. Penting untuk menghindari genitofemoral. Pedikel vesikal superior kontralateral dapat dibagi untuk meningkatkan mobilitas kandung kemih. b. Neoimplantasi ureter pada buli-buli dengan boari flap

9

Pada cedera ureter tengah-bawah yang luas, celah besar dapat dijembatani dengan flap kandung kemih berbentuk-L berbentuk tubularis. Ini adalah operasi yang memakan waktu dan biasanya tidak cocok dalam pengaturan akut. 5. Interposisi ileal Graft Jika perlu untuk mengganti seluruh ureter atau segmen ureter panjang, ureter dapat diganti dengan menggunakan segmen usu, biasanya ileum. Ini harus dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau penyakit usus yang dikenal. Segmen ileal ditempatkan dalam orientasi isoperistaltik antara pelvis ginjal dan kandung kemih. Tindak lanjut yang harus dilakukan mencakup serum kimis untuk mendiagnosis asidosis metabolic hiperkloremik. Tinjauan komplikasi jangka panjang melaporkan tingkat komplikasi 3% striktur anastomotic dan 6% fistula. 6. Autotransplantasi Autotransplantasi ginjal jarang dilakukan, jika pernah diindikasikan pada saat konsultasi intraoperative untuk cedera ureter. Jika cedera ureter iatrogenic menghalangi rekonstruksi ureter dan autotransplantasi ginjal dipertimbangkan, maka ureter harus diikat dan sebuah tabung nefrostomi perkutan ditempatkan untuk drainase ginjal. Autotransplantasi ginjal membutuhkan suatu diskusi ekstensif dengan pasien tentang komplikasi potensial dan pilihan untuk perbaikan. Jika pasien dengan ginjal tunggal atau gangguan fungsi ginjal, avulsi ureter lengkap dapat berhasil dengan autotranplantasi ginjal. Ginjal yang terkena ditransplantasikan ke dalam fosa iliakan dengan anastomosis vascular pembuluh darah ginjal dan iliaka, kontinuitas urin dipulihkan dengan pyelovescostomy. Meskipun ini prosedur pembedahan yang lebih berat yang membutuhkan kenyamanan dengan teknik vascular, dapat dicapai menjaga fungsi ginjal jangka panjang yang sangat baik 7. Nefrostomi sebagai tindakan diversi atau nefroktomi

10

BAB III WOC DAN ASUHAN KEPERAWATAN 3.1. Web Of Caution (WOC) Trauma tumpul dan Trauma tajam : Luka tusuk, tembak, tindakan katerisasi

Trauma iatorgenik : Tindakan pembedahan pada daerah perut dan panggul

Robekan pada abdomen

Adanya rembesan pada luka

Luka terbuka di abdomen

Resiko infeksi

Tindakan pembedahan

Trauma Ureter

Adanya robekan dan ruptur pada ureter

Cedera pada saluran ureter

Iritabilitas jaringan

Laserasi pada ureter

Rangsangan reseptor nyeri

Adanya persepsi nyeri

Nyeri pada punggung

Terbentuknya jaringan parut

Kerusakan integritas kulit

Terjadi perdarahan

Terjadi perdarahan hebat

Kolaps Sirkulasi

Resiko Syok

hematuria

Cemas akan gejala penyakit

ansietas

Nyeri akut

11

3.2. Asuhan Keperawatan Kasus 3.2.1. Kasus Ny.S berusia 25 tahun dengan BB: 62,3 dan TB : 158 dibawa ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) Rumah Sakit Dr. Soetomo pada 02 April 2018 pukul 15.00 dengan riwayat kecelakaan motor tabrakan frontal dengan truk dari arah yang berlawanan. Operasi reduksi terbuka dan fiksasi eksternal pelvis dikerjakan pada hari ke-7 perawatan yaitu pada 08 April 2018 pukul 19.00. Diagnosa masuk Ny. S adalah trauma ginjal kanan derajat IV dengan pemeriksaan CT scan didapatkan fraktur processus transversus vertebrae lumbalis IV dan V kiri dan fraktur processus spinosus vertebrae lumbalis II sampai V.

Pemeriksaan

laboratorium saat datang menunjukkan adanya anemia dengan kadar hemoglobin 3,3 g/dL, dengan kadar leukosit sebesar 10200 sel/cmm. Ny.S terlihat meringis menahan sakit dan mengeluh nyeri pinggang skala 6 dari 10 sertahematuria yang mulanya diduga sebagai manifestasi trauma ginjal,

hingga pada hari rawat ke 2 pasca operasi setelah

pemasangan fiksasi eksternal, ditemukan rembesan urine pada track fiksasi eksternal yang terpasang. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan nilai BUN : 13 mg/dL. Kreatinin Serum : 0,8 mg/ dL, tidak terdapat penurunan fungsi ginjal. Pada area sekita Luka terlihat kemerahan. TTD : 100/70 mmHg ; RR : 22 x/mnt ; suhu : 37,50 C ; Nadi 110x/ mnt 3.2.2. Pengkajian 1. Identitas Pasien Nama Ibu

: Ny. S

Usia

: 25 thn

Suku/ Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

12

Alamat

: Surabaya

MRS

: 02 April 2018 pukul 15.00

2. Keluhan utama Klien mengeluh nyeri dan mengeluh kencing sedikit 3. Riwayat penyakit sekarang Ny. S berusia 25 tahun dibawa ke RSUD Dr. Soetomo dengan riwayat kecelakaan motor tabrakan frontal dengan truk dari arah yang berlawanan. Terdapat trauma ginjal kanan derajat IV dan fraktur processus transversus vertebrae lumbalis IV dan V kiri dan fraktur processus spinosus vertebrae lumbalis II sampai V. 2 Hari pasca operasi atau pada hari rawat ke 9 terdapat rembesan pada luka bekas operasi dan fungsi ginjal dalam keadaan normal. Klien mengeluh nyeri dan kencing sedikit. 4. Riwayat Kesehatan dahulu Pasien tidak punya riwayat penyakit keturunan dan penyakit mengkhawatirkan sebelumnya. 5. Riwayat Kesehatan Keluarga Tidak ada yang anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini. 6. Pemeriksaan fisik

:

Observasi a.

Keadaan umum

: lemah

b.

Kesadaran

: menurun

c.

BB

: 62,3kg

d.

TD

: 100/70 mmHg

e.

Nadi

: 110 x/menit

f.

RR

: 22x/menit

g.

CRT

: >3 detik, anemis

TB: 158cm

13

7. Pengkajian nyeri P: Terdapat luka bekas operasi dan terdapat rembesan Q: Nyeri yang dirasakan tajam R: nyeri di sekitar luka operasi S: Skala nyeri 6 (1-10) T : Nyeri bertambah hebat seiring dengan kontraksi uterus 8. Pemeriksaan B1- B6 a. B1 (B1 (Breathing) Tidak ada gangguan pernapasan , RR dalam keadaan normal : 22x/mnt b. B2 (Blood) Sirkulasi tidak lancar, klien terlihat Anemis dengan CRT > 3 dtk. Hb ; 3,3 g/dL c. B3 (Brain) Status mental klien dalam keadaan normal.. dan tidak ada gangguan indikasi dari pemeriksaan Brain d. B4 (Bladder) Ny. S mengatakan bahwa dia mengalami kesulitan dalam berkemih, dan urin yang dikeluarkan sedikit e. B5 (Bowel) Tidak ada gangguan h. B6 (Bone) Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia (Wilkinson, 2013). 9. Pemeriksaan diagnostik a) Pada pemeriksaan CT scan didapatkan fraktur processus transversus vertebrae lumbalis IV dan V kiri dan fraktur processus spinosus vertebrae lumbalis II sampai V b)

Hemoglobin 3,3 g/dL ( Normalnya 12 – 16 gr/ dL)

14

Leukosit sebesar 10200 sel/cmm (normalnya : 4.000 – 10000

c)

mm3) d) Kreatinin Serum 0,8 mg/dL (normalnya 0,5-1,1 mg/dL) e) BUN : 13 mg/dL ( Normalnya 0,5 – 25 mg/dL) 3.2.3. Analisa Data No 1.

Data

Etiologi Trauma Benda Tumpul

DS: Pasien mengeluh nyeri skala 6

Masalah Keperawatan Nyeri Akut (D.0077) Kategori: Psikologis

dari 10

Fraktur processus transversus

Subkategori: Nyeri

DO:

vertebrae lumbalis IV dan V

dan kenyamanan

1. Muka

klien

meringis,

kiri dan fraktur processus

merintih nyeri

spinosus vertebrae lumbalis II

2. TD 100/70 mmHg

sampai V

3. Nadi 110x/ menit 4. P: Terdapat luka bekas operasi

dan

terdapat

Adanya Luka Operasi

rembesan Q: Nyeri yang dirasakan

Nyeri Akut

tajam R: nyeri di sekitar luka operasi S: Skala nyeri 6

(1-10)

T : Nyeri bertambah hebat seiring dengan kontraksi uterus 2.

Trauma Benda Tumpul

DS : Pasien

mengatakan

terdapat

Risiko

Infeksi

(D.0142)

rembesan di sekita luka

Fraktur processus transversus

Kategori:

DO :

vertebrae lumbalis IV dan V

Lingkungan

15

1. Suhu: 37,50C

kiri dan fraktur processus

Subkategori:

2. Leukosit sebesar 10200 spinosus vertebrae lumbalis II Keamanan dan sel/cmm

sampai V

Proteksi

Terdapat luka operasi hasil tindakan invasif

Terdapat rembesan pada area sekitar luka

Risiko Infeksi 3.

Trauma Benda Tumpul

DS: 1. Pasien

mengeluh

ada

rembesan 2. Area sekitar luka nyeri apalagi jika bergerak DO: Area luka terlihat kemerahan

Gangguan Integritas Kulit (D.0129)

Fraktur processus transversus

Kategori:

vertebrae lumbalis IV dan V

Lingkungan

kiri dan fraktur processus

Subkategori:

spinosus vertebrae lumbalis II Keamanan dan sampai V

Proteksi

Terdapat luka operasi hasil tindakan invasif

Luka terasa nyeri

Terdapat rembesan Luka

Hambatan moilisasi karena nyeri

Gangguan Integritas Kulit

16

3.2.4. Diagnosa keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera. 2. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasif. 3. Gangguan integritas kulit b.d penurunan mobilitas. 3.2.5. Intervensi Keperawatan Diagnosa: Nyeri Akut (D.0077) Kategori: Psikologis Subkategori: Nyeri dan kenyamanan NOC

NIC

Dalam waktu 1x24 jam, didapatkan Pengurangan Kecemasan ( 5820) outcome dengan kriteria hasil sebagai

1. Jelaskan prosedur perawatan yang

berikut:

diberikan

Kontrol Nyeri (1605)

prosedur yang mampu berakibat nyeri

1. Klien mampu mengenali kapan nyeri terjadi 2. Klien

akibat

dari

terhadap klien 2. Dorong keluarga dan jelaskan untuk

mampu

mengetahui

penyebab nyeri 3. Klien

termasuk

selalu mendampingi klien selama masa perawatan

mampu

melakukan

tindakan

pencegahan

atau

tindakan

yang

dapat

menghilangkan nyeri

3. Dukung

penggunaan

mekanisme

koping yang sesuai 4. Instruksikan klien untuk menggunakan tekhnik relaksasi untuk mengatasi ataupun meredakan nyeri

Tingkat Nyeri (2102)

1. Pnjang episode dan skala nyeri Manajemen Nyeri (1400) klien berkurang dan berangsur

1. Lakukan

pengkajian

nyeri

hilang ( dari skala 6 mampu

komprehensif yang meliputi lokasi,

menjadi 4 hingga akhirnya skala

karakteristik, onset / durasi , frekuensi

nyeri 0)

, kualitas, intensitas atau beratnya

2. Ekspresi

wajah

klien

tidak

nyeri dan faktor pencetus

17

merintih ataupun menahan nyeri

2. Gali pengetahuan dan kepercayan pasien mengenai nyeri 3. Gali bersama pasien faktor-faktor yang mampu mengurangi

tingkat

nyeri pasien 4. Berikan informasi mengenai nyeri : penyebab nyeri, dan akibat dari prosedur yang dilakukan juga mampu memberikan efek nyeri.

Diagnosa: Risiko infeksi b.d efek prosedur invasif (D.0142) Kategori: Lingkungan Subkategori: Keamanan dan Proteksi NOC

NIC

Dalam waktu 1x24 jam, didapatkan Perlindungan Infeksi (6550) outcome dengan kriteria hasil sebagai berikut:

infeksi. 2. Monitor hitung mutlak WBC.

Keparahan Infeksi (0703) 4. Klien

tidak

mengalami

kemerahan pada area luka.

(kisaran normal 36,7̊C). mengalami

3. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan

5. Klien tidak mengalami demam

6. Klien

1. Monitor adanya tanda dan gejala

harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan.

penurunan

4. Ajarkan pasien dan anggota keluarga

jumlah sel darah putih (normal:

mengenai

4.500-10.000 sel/mm3).

infeksi.

Kontrol Risiko: Proses Infeksi (1924) 1. Klien mampu mengidentifikasi faktor

risiko

infeksi

bagaimana

menghindari

5. Anjurkan pasien untuk meminum antibiotik sesuai yang diresepkan.

(seperti Perawatan Luka (3660)

18

dampak rembesan urin).

1. Monitor karakteristik luka.

2. Klien mampu mengidentifikasi

2. Bersihkan dengan normal saline atau

tanda dan gejala infeksi (seperti

pembersih yang tidak beracun dengan

kemerahan, demam dsb).

tepat. 3. Periksa luka setiap kali perubahan balutan. Monitor Tanda-Tanda Vital (6680) 1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu dan status pernapasan dengan tepat.

Diagnosa: Gangguan integritas kulit b.d penurunan mobilitas (D.0129) Kategori: Lingkungan Subkategori: Keamanan dan Proteksi NOC

NIC

Dalam waktu 1x24 jam, didapatkan Pengecekan Kulit (3590) outcome dengan kriteria hasil sebagai berikut: Integritas

dengan adanya kemerahan dan tandaJaringan:

Kulit

&

tanda lain yang dapat mengarah ke keadaan infeksi.

Membran Mukosa (1101) 1. Klien tidak mengalami lesi pada kulit.

2. Monitor warna dan suhu kulit. 3. Monitor kulit untuk adanya kekeringan

2. Klien tidak mengalami nekrosis pada kulitnya. Konsekuensi

1. Periksa kulit dan selaput lendir terkait

Imobilitas:

yang berlebihan dan kelembaban. 4. Periksa kondisi luka operasi dengan

Fisiologi

(0204)

tepat. Perawatan Tirah Baring (0740)

1. Klien

tidak

mengalami

penurunan tonus otot. Posisi Tubuh: Berinisiatif Sendiri

1. Jelaskan alasan diperlukan tirah baring. 2. Letakkan

lampu

panggilan

berada

dalam jangkauan pasien.

19

3. Ajarkan latihan di tempat tidur dengan

(0203) 1. Klien mampu berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain sambil berbaring.

cara

yang

tepat,

seperti

gerakan

berubah posisi tiap 2 jam. Terapi Latihan: Mobilitas Sendi (0224) 1. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam

mengembangkan

dan

menerapkan sebuah program latihan. 2. Jelaskan pada pasien atau keluarga manfaat dan tujuan melakukan latihan sendi. 3. Instruksikan

pasien/keluarga

cara

melakukan latihan ROM. 4. Dukung latihan ROM aktif sesuai jadwal.

3.2.6. Implementasi Keperawatan Hari/Tanggal

No. DK

Selasa, 10 April

Jam 08.30

2018

Implementasi 1. Menemui klien dan menanyakan terkait kondisi nyeri yang meliputi : intensitas nyeri, lokasi, kualitas nyeri Respon : Klien mengaku nyeri skala 6 dari 10 di area sekitar operasi

D.0077

08.32

2. Menanyakan terhadap klien terkait hal apa

yang

biasa

dilakukan

untuk

mengatasi nyeri Respon :

Klien mengaku klien tidur

untuk mengatasi nyeri yang dirasakan, walaupun

terkadang

nyeri

juga

20

mengganggu tidurnya 08.40

3. Menanyakan klien terhadap kecemasan ataupun respon klien terhadap nyeri Respon : Klien mengaku ketakutan terhadap nyeri yang dirasakan

08.45

4. Menjelaskan terhadap klien terkait nyeri dan akibat dari tindakan perawatan yang diberikan Respon: Klien dan keluarga mulai paham dan tidak merasa ketakutan terhadap nyeri

08.48

5. Menjelaskan terhadap klien dan keluarga terkait tekhnik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri

08.52

Respon : Klien dan keluarga mengamati dan mempraktikkan tehnik, tujuannya keluarga juga mampu menjadi pengawas klien

saat

mendampingi

jika

nyeri

berulang 6. Memberikan HE terhadap klien untuk selalu mendampingi klien Respon : Keluarga menjelaskan selalu berusaha mendampingi klien

Hari/Tanggal

No. DK

Selasa, 10 April 2018

Jam 09.00

Implementasi 1. Memonitor karakteristik luka. Respon: pasien mengaku tidak berani

D.0142

melihat kondisi lukanya. 09.10

2. Membersihkan luka dengan normal saline

21

atau cairan yang tidak mengiritasi. Respon: pasien mengeluh nyeri pada area luka. 09.15

3. Periksa

luka

setiap

kali

perubahan

balutan, meliputi perubahan warna dan karakteristiknya. Respon: pasien mengeluh sakit pada area lukanya dan enggan untuk disentuh. 09.20

4. Mengajarkan

pasien

dan

keluarga

mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan

harus

melaporkannya

kepada

penyedia perawatan kesehatan. Respon:

pasien

dan

keluarga

tidak

mengetahui mengenai tanda dan gejala infeksi. 09.25

5. Mengajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana menghindari infeksi. Respon:

pasien

dan

keluarga

tidak

mengetahui penyebab dari infeksi yang mungkin dialami. 09.30

6. Menganjurkan pasien untuk meminum antibiotik sesuai yang diresepkan. Respon:

pasien

mengetahui

fungsi

antibiotik,

tetap

meminumnya

hanya

waktu ingat untuk minum obat saja. 09.35

7. Memonitor TTV. Respon: pasien tidak ada kaluhan selain nyeri yang dirasakan.

09.40

8. Memonitor hitung WBC.

22

Respon: pasien tidak mengetahui peran dari leukosit dan nilai normalnya. Selasa, 10 April

13.00

2018

1. Memeriksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan dan tandatanda lain yang dapat mengarah ke keadaan infeksi. Respon: pasien mengeluhkan kulitnya cenderung kering dan jarang berkeringat.

13.05

2. Memonitor warna dan suhu kulit. Respon: pasien tidak memberikan respon.

13.10

3. Memonitor kulit untuk adanya kekeringan yang berlebihan dan kelembaban. Respon: pasien jarang mandi dan kulitnya kering.

13.15 D.0129

4. Memeriksa kondisi luka operasi dengan tepat. Respon: pasien mengeluh nyeri pada lukanya.

13.25

5. Menjelaskan

alasan

diperlukan

tirah

baring. Respon: pasien tahu tujuan dari tirah baring

yaitu

untuk

mempercepat

penyembuhan dan pemulihan. 13.30

6. Meletakkan

lampu

panggilan

berada

dalam jangkauan pasien. Respon: pasien berterima kasih karena sangat

berguna

apabila

nyeri

terasa

kembali. 13.35

7. Mengajarkan latihan di tempat tidur

23

dengan cara yang tepat, seperti gerakan berubah posisi tiap 2 jam. Respon:

pasien

belum

mengetahui

gerakan mobilisasi di tempat tidur. 13.50

8. Berkolaborasi dengan ahli terapi fisik dalam mengembangkan dan menerapkan sebuah program latihan. Respon: pasien sangat antusias terhadap latihan yang diajarkan.

14.10

9. Menjelaskan pada pasien atau keluarga manfaat dan tujuan melakukan latihan sendi. Respon: pasien sebelumnya tidak paham menjadi paham dan bersemangat untuk melakukannya.

14.20

10. Menginstruksikan pasien/keluarga cara melakukan latihan ROM. Respon: pasien dan keluarga menjadi tahu

mengenai

latihan

ROM

dan

fungsinya. 14.30

11. Mendukung latihan ROM aktif sesuai jadwal. Respon:

pasien

sangat

bersemangat

karena tahu bahwa manfaatnya untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tetap baik.

24

3.2.7. Evaluasi Keperawatan 1.

S: Pasien mengatakan bahwa kondisinya di sekitar luka masih terasa nyeri O: RR normal, wajah masih terlihat terkadang menahan nyeri A: Laporan subyektif dan obyektif belum baik, kriteria hasil belum tercapai, masalah belum teratasi P: Intervensi dilanjutkan

2.

S: Pasien mengatakan bahwa kondisinya saat ini sudah membaik dan jarang timbul demam. O: Suhu tubuh stabil dan tidak terdapat tanda dan gejala yang mengarah ke kondisi infeksi. A: Laporan subyektif dan obyektif memuaskan, kriteria hasil tercapai, masalah teratasi keseluruhan. P: Intervensi diberhentikan.

3.

S: Pasien sangat antusias terhadap program latihan yang dijalankan dan paham akan pentingnya menjaga kondisi kulit. O: Latihan ROM secara optimal, hitung WBC mengalami penurunan jumlah leukosit. A: Laporan subyektif dan obyektif memuaskan, kriteria hasil tercapai, masalah teratasi keseluruhan. P: Intervensi diberhentikan.

25

BAB IV PERAN KELUARGA DAN PERAWATAN DI RUMAH 4.1. Perawatan di Rumah Klien dengan Ureteral Trauma 1) Melakukan observasi mengenai proses penyembuhan (adakah infeksi tambahan, demam, adanya pendarahan pada urin) 2) Pemenuhan cairan dan nutrisi klien. a. Nutrisi TKTP b. Menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam, dll) c. Minum sedikitnya 8-10 gelas sehari 3) Menjaga kebersihan dan menghindari bakteri dengan membersihkan luka dan melakukan a. Pembalutan dan penggantian apabila waktunya ganti. b. Mencuci bersih alat2 yg dapat memungkinkan menyebabkan infeksi c. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien d. Menjaga personal hygine (mandi, BAK, BAB) 4) Memberikan terapi pengalihan dan relaksasi pada klien dengan indikasi nyeri. 5) Membantu klien untuk istirahat lebih efektif . 6) Membantu klien dalam mobilisasi dini dan bertahap. 4.2. Peran Keluarga di Rumah 1. Memberikan arahan pada klien agar memperoleh pengobatan yang tepat terhadap penyakitnya 2. Memberikan dukungan baik secara psikologis maupun finansial kepada klien

26

3. Memonitor keadaan urine klien, seperti frekuensi, warna, kejernihan, maupun adanya darah 4. Membantu klien dalam upaya pengalihan nyeri, misalnya mendengarkan musik 5. Memodifikasi lingkungan di sekitar klien agar memudahkan klien dalam beraktivitas 6. Mengingatkan jadwal pengobatan yang telah ditetapkan 7. Memenuhi nutrisi dan cairan klien dalam rangka pemulihan luka pasca operasi 8. Mengingatkan klien agar tidak melakukan aktivitas berat karena dapat memicu peningkatan tekanan intraabdomen 9. Membantu klien dalam memenuhi kebutuhan ADL

27

DAFTAR PUSTAKA Amir, et al.2014.Gambaran Klinis Trauma Urologi di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari 2009 – Desember 2013.Pekanbaru: JOM FK Volume 1 Nomor 2. Armenakas, Noel A. 2005. Urological Emergencies ; A Practical Guide. Totowa, NJ : Humana Press Inc. Burks, Frank N. & Richard A. Santucci. 2014. Management of iatrogenic ureteral injury. http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1756287214526767 diakses 10 April 2018 Jones, et al.2017.Ureteric Injury. https://radiopaedia.org/articles/ureteric-injury diakses tanggal 10 April 2018. Mendrofa, Calvinus.2000.Trauma Traktus Urinarius pada Bedah Ginekologi. http://eprints.undip.ac.id/12220/1/2000PPDS644.pdf diakses tanggal 9 April 2018. Pereira, et al.2010.A Review of Ureteral Injuries after External Trauma. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2830948/ diakses tanggal 10 pril 2018. Purnomo BB. 2012. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto Sriyono dan Tarmano.2014.Ureteral Trauma Profile in Soetomo Hospital January 2006 – December 2011.Surabaya: Journal Urologi Universitas Airlangga Volume 2, Nomor 2. Summerton, dkk. 2014. Guidelines on Urological Trauma. European Association of Urologi Summerton, et al.2015.Guidelines on Urological Trauma. https://uroweb.org/wpcontent/uploads/24-Urological-Trauma_LR.pdf diakses tanggal 9 April 2018.

28

Related Documents

Trauma
November 2019 49
Trauma
April 2020 45
Trauma
April 2020 36
Trauma
July 2020 28
Trauma
July 2020 25
Trauma Burns
April 2020 0

More Documents from "kathz82"

Isi.docx
May 2020 2
Trauma Ureter.docx
December 2019 6