Translate 2.docx

  • Uploaded by: rifkizidny
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Translate 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,056
  • Pages: 10
Perbandingan Dekompresi Diskus dengan Laser Perkutaneus dan Mikrodiskektomi Konvensional untuk Pasien dengan Skiatika: Hasil Uji Acak Terkontrol selama Dua Tahun

Abstrak Latar Belakang: Dekompresi diskus dengan laser perkutaneus adalah terapi invasif minimal yang digunakan untuk herniasi diskus lumbal dan dapat pula berfungsi sebagai alternatif dari terapi pembedahan pada skiatika. Dalam sebuah uji acak yang dipantau selama dua tahun, kami menilai efektivitas klinis dari dekompresi diskus dengan laser perkutaneus dibandingkan dengan pembedahan konvensional. Bahan dan metode: Uji acak prospektif multisenter dengan desain non-inferior ini dilakukan menurut protokol intention-to-treat (niat untuk mengobati) dengan persetujuan penuh dari dewan pertimbangan institusi. Seratus lima belas kandidat yang memenuhi syarat untuk terapi pembedahan, dengan skiatika dari hernia diskus lebih kecil dari sepertiga kanalis spinalis, dialokasikan secara acak untuk menerima salah satu dari terapi dekompresi diskus dengan laser perkutaneus (n=55) atau pembedahan konvensional (n = 57). Pengukuran hasil utama untuk uji ini adalah Kuesioner Disabilitas Roland-Morris untuk skiatika, skor analog visual untuk nyeri punggung dan tungkai, dan laporan pasien tentang pemulihan yang dirasakan. Hasil: Pengukuran hasil primer menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan atau perbedaan klinis yang relevan antara kedua kelompok selama pemantauan dua tahun. Angka operasi ulang adalah 21% dalam kelompok pembedahan, yang relatif tinggi, dan lebih tinggi lagi pada kelompok dekompresi diskus laser perkutaneus (52%). Kesimpulan: Pada pemantauan selama dua tahun, strategi dekompresi diskus laser perkutaneus, diikuti dengan pembedahan bila diperlukan, menghasilkan dampak noninferior dibandingkan dengan strategi mikrodiskektomi. Meskipun angka pembedahan ulang dari dekompresi diskus laser perkutaneus lebih tinggi daripada yang diperkirakan, pembedahan dapat dihindari pada 48% pasien tersebut yang sebenarnya merupakan kandidat yang mendapatkan pembedahan. Dekompresi diskus dengan laser perkutaneus, sebagai sebuah metode non pembedahan, dapat memiliki peran dalam manajemen utama skiatika yang disebabkan karena herniasi diskus terbatas.

Kata kunci: invasif, intervensi tulang belakang, herniasi diskus, laser, dekompresi diskus laser perkutaneus

Pendahuluan Prevalensi dari skiatika karena herniasi diskus lumbar cukup tinggi dan memiliki rentang antara 1,2% - 43% bergantung pada studi yang disitasi. Tiap tahun 5-10 dari 1000 penduduk mengalami skiatika di negara-negara Eropa. Perjalanan penyakit ini umumnya mudah dikenali, dengan berkurangnya nyeri tungkai dalam enam bulan pada sebagian besar pasien dan pemulihan tampak pada 70-80% pasien pada pemantauan tahun pertama dan tahun kedua. Pembedahan untuk membuang herniasi diskus adalah terapi pilihan pada kasus-kasus refrakter. Meski demikian, pembedahan tetap membawa risiko komplikasi sebesar 8 hingga 15,7%. Disebutkan bahwa terapi invasif minimal dapat mencapai komplikasi yang jumlahnya lebih sedikit dengan hasil yang mirip dengan efektivitas biaya yang lebih superior. Salah satu terapi invasif minimal adalah dekompresi diskus laser perkutaneus (PLDD), sebuah teknik pembedahan menggunakan energi laser untuk menguapkan nukleus pulposus via perkutaneus. Teknik tersebut baru-baru ini telah dievaluasi hasilnya untuk dibandingkan dengan mikrodiskektomi konvensional. Dalam studi ini, ditunjukkan bahwa hasil klinis pada pemantauan hari pertama, dengan strategi PLDD, tidak lebih inferior dibandingkan mikordiskektomi konvensional, yang membutuhkan waktu lebih lama untuk pemulihan dan angka intervensi ulang yang lebih tinggi. Karena manfaat jangka panjang dari terapi PLDD dibandingkan dengan mikrodiskektomi tidak diketahui, kami melakukan sebuah analisis pemantauan selama dua tahun pada kelompok studi.

Bahan dan Metode Kami melakukan sebuah uji acak terkontrol untuk membandingkan PLDD dengan pembedahan konvensional dengan desain dalam kelompok paralel. Pasien yang memenuhi kriteria adalah pasien yang mengalami skiatika karena herniasi diskus lumbar terbatas yang refrakter terhadap pengobatan konservatif selama lebih dari enam minggu. Deskripsi ekstensif tentang desain uji ini telah dipublikasikan sebelumnya.

Pasien dan Pengacakan

Studi ini dilakukan dalam lingkup multisenter yang melibatkan dua rumah sakit universitas dan enam rumah sakit pendidikan. Bila seorang dokter spesialis saraf mencurigai seorang pasien memiliki skiatika yang refrakter selama 6-8 minggu dengan terapi konservatif dan dapat menjadi kandidat dari diskektomi pembedahan, maka pasien tersebut akan dirujuk ke dokter spesialis bedah saraf. Semua pasien dengan rentang usia 18 – 70 tahun dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam studi ini bila herniasi diskus berada pada level yang berkorespondensi yang ditunjukkan dengan MRI dan fragmen yang terherniasi lebih kecil dari sepertiga kanal spinal (Gambar 1). Subkelompok tersebut dianggap cocok untuk jenis terapi ini berdasarkan publikasi awal PLDD. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: pernah menjalani pembedahan sebelumnya di level diskus yang sama, sindroma cauda equina, spondilolitik atau perubahan degeneratif, stenosis kanal spinal sentral, kehamilan, dan faktor-faktor lain yang mencegah pemantauan yang adekuat. Pada semua pasien yang memenuhi syarat dilakukan pemeriksaan dan diberi pertanyaan oleh dokter bedah saraf yang merawat dan seorang perawat studi ini akan mencatat semua variabel di garis dasar, kuesioner pemantauan, dan pengukuran hasil. Pasien secara acak dialokasikan dengan rasio 1:1 ke salah satu dari strategi: PLDD atau pembedahan konvensional. Daftar pengacakan yang dihasilkan oleh komputer disiapkan untuk tiap perawat studi dan tiap rumah sakit akademik (n = 2) dan rumah sakit pendidikan (n = 6) yang berpartisipasi. Blok dari ukuran acak (bervariasi antara 2-4 untuk meminimalkan tingkat prediktibilitas) dari jumlah acak dibuat untuk memastikan distribusi yang setara dari pengacakan antar rumah sakit dan perawat. Manajer data dari Departemen Statistik Kedokteran dan Bioinformatika, yang tidak terlibat pada seleksi dan alokasi pasien ini, menyiapkan amplop yang telah diberi kode dan disegel yang akan dibuka bersama pasien untuk mengetahui alokasi terapinya. Terapi kemudian direncanakan untuk dilaksanakan dalam waktu empat minggu.

Intervensi Pembedahan konvensional terdiri dari mikrodiskektomi yang dilakukan di bawah anestesia umum atau spinal oleh dokter bedah dengan pengalaman yang cukup banyak dalam teknik pembedahan tersebut. Tujuan dari pembedahan ini adalah untuk membuang fragmen diskus yang terherniasi, dengan menggunakan pendekatan transflaval unilateral. Pembedahan dilakukan dengan menggunakan pembesaran lup atau mikroskop

bergantung pada preferensi dokter bedah. Lama tinggal di rumah sakit berdasarkan perawatan inap biasa sesuai protokol rumah sakit yang berpartisipasi. Dalam kelompok PLDD, terapi dilakukan dengan posisi pasien tengkurap menggunakan kombinasi panduan CT dan fluoroskopi. Sebuah jarum 18G diletakkan secara sentral di nukleus pulposus dan paralel dengan plat akhir melalui pendekatan posterolateral di bawah anestesia lokal dan kondisi steril. Teknik ini persis sama seperti diskografi rutin. Lewat jarum tersebut, sebuah fiber glass berukuran 600mikron dimasukkan ke dalam diskus tersebut sehingga dapat mengaplikasikan energi laser (laser Diode, Biolitec, 980nm, 7 W, 0,6 denyut detik, interval 1 detik) dengan energi total yang diberikan sebesar 1550 Joule (2000 Joule untuk level L4-5). Terapi ini adalah terapi dengan lingkup rawat jalan dan dilakukan oleh radiolog neurointervensi, dengan pengalaman yang mumpuni untuk prosedur spinal tersebut. Kedua strategi terapi tersebut diikuti oleh mobilisasi aktif dalam periode pascaoperatif. Pasien pada kedua kelompok didorong untuk segera melanjutkan aktivitas sehari-hari dan pekerjaan.

Pengukuran Hasil Pengukuran hasil primer yang digunakan adalah laporan disabilitas fungsional yang dibuat oleh pasien sendiri dengan Kuesioner Disabilitas Roland-Morris (RDQ) yang dimodifikasi untuk skiatika, yang digunakan untuk perhitungan kekuatan. Untuk analisis titik akhir primer, kami juga menggunakan pemulihan yang dirasakan pada nyeri tungkai dengan Skala Likert tujuh poin dan skala analog visual 100mm (VAS) untuk nyeri tungkai dan nyeri punggung. Skor ini dikumpulkan pada minggu 1, 3, 4, 6, 8, 12, 26, 38, 52, 78, dan 104 setelah pengacakan. Pengukuran hasil sekunder (pada minggu 4, 8, 26, 52, dan 104) berupa skor fungsi dan ekonomi dengan Skala Prolo, nyeri tubuh dan skor fungsi fisik dengan Short Form 36 (SF-36), skor indeks frekuensi skiatika dan gangguannya, pemeriksaan neurologis oleh perawat penelitian dan komplikasi dan angka pembedahan ulang. Terapi PLDD adalah terapi non pembedahan dan dilakukan tanpa insisi kulit, tanpa anestesia umum/spinal dan dilakukan di Departemen Radiologi sebagai prosedur rawat jalan, oleh karena itu pasien dan perawat penelitian tidak dapat di’buta’kan dalam strategi pengacakan.

Analisis Statistik Studi ini awalnya didesain sebagai sebuah studi ekuivalen yang membandingkan persentase kesuksesan pada skala RDQ. Karena adanya akrual rendah yang tidak diperkirakan sebelumnya, desain kemudian dimodifikasi sebelum data dianalisis dalam bentuk apapun. Protokol kami diubah karena dua alasan: pertama, pengukuran hasil dikembalikan ke skala RDQ kontinu dasar untuk meningkatkan kekuatan. Kedua, uji statistik utama diubah menjadi desain non-inferioritas (sebagai ganti dari desain ekuivalen simetris). Dalam studi kami, perbedaan empat poin pada RDQ digunakan sebagai perbedaan klinis minimal yang penting selama adanya perbaikan dengan rata-rata paling sedikit adalah 11 poin. Kalkulasi kekuatan dilakukan di bawah hipotesis alternatif dari sebuah perbedaan sebesar satu poin pada skala RDQ. Dengan menggunakan nilai empat sebagai batas atas interval ekuivalensi, dengan sebuah level 0,05, kekuatan 0,90, dan deviasi standar=5, maka ukuran sampel yang dibutuhkan adalah 98 (49 tiap jenis terapinya). Untuk menyesuaikan perkiraan 8% yang hilang dalam pemantauan, kami merencanakan untuk mengikutsertakan 110 pasien. Perhitungan ini berdasarkan perbandingan rata-rata pada satu titik waktu (minggu ke 52). Dengan menggunakan sebuah pengukuran analisis varian yang berulang, kekuatan studi secara keseluruhan pada periode pemantauan diasumsikan lebih tinggi secara substansial (dalam kasus kurva tidak menyeberang) atau secara ekuivalen, perbedaan rerata antar terapi seiring waktu (atau area di bawa kurva (AUC)) dapat ditentukan bahkan lebih akurat lagi. Data dasar dibandingkan antara dua kelompok terapi menggunakan Uji ChiSquare atau Student t-test, sewajarnya. Ketika menganalisis RDQ sebagai pengukuran hasil primer, analisis primer terdiri dari perbandingan antara minggu 4, 8, 26, 52, dan 104 (titik perkiraan) dan pengukuran analisis varians berulang (membandingkan rerata selama seluruh periode dua-tahun). Dalam analisis skala Likert tujuh-poin dari pemulihan nyeri tungkai yang dirasakan dibandingkan dengan data dasar, skornya dikotomi, di mana pemulihan diartikan sebagai ‘pemulihan sempurna’ atau ‘hampir sempurna’. Pengukuran hasil sekunder juga dinilai dalam pengukuran analisis varian berulang. Skor diekspresikan sebagai rerata dengan konfidens interval (CI) 95%. Perkiraan point-wise dan CI-nya diperoleh dengan menggunakan model dengan waktu sebagai kovariat kategori untuk memungkinkan penilaian pola sistematik. Perbedaan

antara kelompok pengacakan ditentukan dengan memperkirakan pengaruh terapi utama dan interaksi waktu-terapi selama periode dua-tahun. Non-inferioritas diikutsertakan dalam pemantauan dua-tahun secara berurutan selama keseluruhan interval dua-tahun bila pengaruh terapi 95% CI pada titik tersebut masing-masing selama periode tersebut tidak melibatkan batas empat titik yang telah ditentukan sebelumnya. Pasien tidak dieksklusi dari pengukuran analisis varians berulang, meskipun pada satu atau lebih pemantauan seorang pasien ‘hilang’ pada titik waktu spesifik, namun diasumsikan hilang secara acak. Semua data disimpan dalam sistem manajemen data yang aman dengan berdasarkan internet (ProMISe) milik Departemen Statistik Kedokteran dan Bioinformatika. Analisis dilakukan oleh PB dan RB menggunakan perangkat lunak SPSS versi 17 (SPSS Inc., Chicago, Illinois, USA).

Hasil Karakteristik pasien Antara Januari 2005 hingga September 2007 kami mengikutsertakan 115 pasien untuk studi ini. Lima puluh lima pasien dialokasi untuk PLDD dan 57 pasien lainnya dialokasikan untuk menerima pembedahan. Tiga pasien dieksklusi setelah pengacakan. Karakteristik dasar menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok terapi tersebut (Tabel 2). Dalam pemantauan dua tahun, tiga pasien (5%) dalam kelompok pembedahan dan empat pasien (7%) dalam kelompok PLDD hilang dari pemantauan. Akhirnya, data dari 51 pasien (88%) dalam kelompok pembedahan dianalisis untuk pengukuran hasil primer, dibandingkan 48 pasien (87%) kelompok PLDD (Gambar 3). Dalam dua tahun, empat pasien (8%) menerima pembedahan setelah prosedur PLDD gagal secara teknis, dan 25 pasien (45%) menjalani pembedahan tambahan setelah sukses menjalani terapi PLDD secara teknis namun tidak diikuti pemulihan klinis. Total 66 pembedahan ulang dilakukan pada 29 pasien (rentang sekali hingga tiga kali pembedahan). Dalam kelompok pembedahan konvensional, dua belas pasien (21%) membutuhkan pembedahan berulang dengan total sebanyak 26 pembedahan (rentang satu hingga dua kali pembedahan ulang). Risiko relatif untuk menjalani pembedahan ulang dalam kelompok PLDD adalah 2,5. Pada 13 pasien, penyebaran yang merata antara dua

kelompok (n = 6 dan n = 7), pembedahan ulang dilakukan setelah pemulihan awal pasca terapi awal.

Pengaruh terapi Tabel 3 menunjukkan skor dari pengukuran hasil primer selama periode pemantauan dua tahun. Skor dari Kuesioner Disabilitas Roland-Morris 24 poin meningkat dari rerata skor 15,7 dan 15,5 (secara berurutan untuk PLDD dan kelompok pembedahan) menjadi 4,3 dan 4,4 dalam dua tahun pasca pengacakan. Karena CI 95% adalah ( -1,3 hingga +1,3), yang mana akan mengeksklusi batas non-inferioritas, maka PLDD dapat diklasifikasikan sebagai ‘non-inferior’; sebenarnya, karena kedua titik akhir adalah di bawah nilai 4, ekuivalensi dari kedua strategis dapat disimpulkan dengan menggunakan skor Roland (Gambar 4). Analisis dari RDQ menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara dua kelompok pada pemantauan selama dua tahun. Perbedaan rerata kelompok, selama keseluruhan periode 104 minggu, juga tidak signifikan. Skor VAS untuk nyeri tungkai dan punggung juga menunjukkan perbaikan pada kedua kelompok tanpa perbedaan yang signifikan pada titik waktu yang telah ditentukan sebelumnya (Gambar 5 dan 6). Perbedaan-antar-kelompok dalam dua tahun juga tidak signifikan secara statistik. Analisis titik akhir dari skala pemulihan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan selama pemantauan dua tahun; 70,8% pasien dalam kelompok PLDD menunjukkan pemulihan dibandingkan 60,8% dalam kelompok pembedahan (odds ratio 1,6 (95%Ci 0,7-3,6)) (Gambar 7 dan 8). Namun, diperoleh waktu hingga pemulihan pertama selama periode pemantauan yang secara signifikan lebih lambat pada kelompok PLDD, menghasilkan rasio hazard 0,64 (95% CI 0,43 – 0,96) dibandingkan dengan pembedahan primer. Poin kesehatan umum pada skala SF-36 memiliki skor yang secara signifikan lebih baik selama periode pemantauan minggu pertama hingga 104 dalam kelompok pembedahan dibandingkan PLDD. Perbedaan rerata adalah 4,7 poin (9%% CI 0,2 – 0,93), dan tidak memiliki implikasi klinis. Skor Fungsi Fisik pada skala SF-36 secara signifikan lebih baik pada kelompok PLDD pada periode pemantauan minggu pertama hingga 104 dengan rerata perbedaan sebesar -6,1 poin (95% CI -11,7 hingga -0,5). Perbedaan terbesar ditemukan pada pemantauan minggu keempat. Pada minggu ke 26 dan 52, skor sedikit

lebih baik pada kelompok pembedahan, kemudian berubah kembali menjadi lebih baik bagi kelompok PLDD pada minggu 104. Semua pengukuran hasil lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Diskusi Meskipun ukuran sampel dari studi ini cukup kecil, hasil menunjukkan bahwa strategi terapi PLDD yang diikuti dengan pembedahan jika dibutuhkan, memiliki hasil yang mirip bila dibandingkan dengan terapi pembedahan sendiri baik pada periode pemantauan tahun pertama maupun kedua. Dalam studi ini kami mengobservasi beberapa fenomena yang belum diperkirakan sebelumnya mengenai pemulihan yang dirasakan dan terkait angka pembedahan ulang: Pertama, angka pemulihan yang terobservasi dalam kelompok pembedahan (60,8%) lebih rendah dibandingkan dengan studi lain yang melaporkan pemulihan sekitar 80%. Kedua, pada waktu di antara pengacakan dan pemantauan, terdapat sebagian proporsi pasien dengan ukuran yang cukup besar dari kedua kelompok yang menjalani pembedahan ulang. Tiga belas pasien dengan distribusi setara antar dua kelompok, menjalani pembedahan ulang pasca pemulihan awal, yang karena itu dapat beratribusi terhadap kembali munculnya gejala. Angka pembedahan ulang dalam kelompok PLDD adalah 45% karena terapi PLDD yang tidak efektif dan tambahan 7% disebabkan karena kegagalan untuk melakukan PLDD dan akhirnya perlu beralih ke pembedahan. Dalam kelompok pembedahan, angka pembedahan ulang adalah 21%, yang tinggi bila dibandingkan dengan angka pembedahan ulang yang dikutip dari literatur (2-10%). Ketiga, persentase pasien yang menganggap dirinya telah pulih, berdasarkan skala Likert adalah 60,8% pada kelompok pembedahan dibandingkan 70,8% dalam kelompok PLDD pada pemantauan selama dua tahun. Dalam kelompok pembedahan, persentase ini lebih rendah dibandingkan pada hasil pada tahun pertama yaitu 75%, di mana pada kelompok PLDD angka tersebut justru mengalami peningkatan dari 69%. Publikasi sebelumnya oleh Barth et al. juga menunjukkan fenomena perburukan dari pemulihan yang dirasakan pada dua tahun pasca mikrodiskektomi ini. Satu penjelasan untuk ketiga observasi di atas adalah bahwa pasien dalam studi kami memiliki herniasi diskus yang kecil dan terbatas, yang diketahui memiliki respon

yang relatif lebih buruk untuk kedua jenis terapi pembedahan dan konservatif. Pemilihan subkelompok pasien dalam studi ini disengaja karena, pada waktu desain studi ini, herniasi terbatas dianggap paling sesuai untuk terapi PLDD dan terapi invasif minimal lainnya. Kenyataan bahwa, dalam uji paralel, yang membandingkan mikrodiskektomi dengan pembedahan tabung mikro yang dilakukan oleh dokter bedah saraf yang sama, kami menunjukkan angka pembedahan ulang yang lebih rendah dibandingkan dengan rentang yang normal yang dilaporkan, mengindikasikan bahwa hasil yang terobservasi bukan disebabkan karena dokter bedah yang tidak berpengalaman, namun lebih kepada fakta bahwa diskus herniasi yang lebih kecil memiliki indikasi yang meragukan untuk dilakukan pembedahan karena kompresi akar saraf kurang jelas dan faktor lokal lain yang mungkin lebih penting. Penjelasan lain yang memungkinkan bahwa dalam populasi kami, sekelompok besar kohort pasien yang memiliki riwayat skiatika jangka panjang, dengan 37% kelompok PLDD dan 32% kelompok pembedahan mengeluhkan gejala lebih dari satu tahun. Subkelompok pasien tersebut juga diketahui memiliki hasil yang lebih buruk pasca pembedahan daripada pasien yang memiliki durasi gejala yang lebih singkat. Kami dapat mengasumsikan bahwa hal ini akan berdampak pada hasil kedua kelompok terapi lewat alasan yang sama. Untuk populasi PLDD, dapat terjadi pendesakan herniasi diskus secara bertahap. Diskus yang mengandung lebih sedikit air juga akan berespon minimal terhadap energi laser yang diaplikasikan untuk menguapkan nukleus pulposus. Bila hal ini yang terjadi, terapi PLDD mungkin akan lebih efektif dalam menguapkan herniasi diskus yang masih baru, yang dapat dipelajari dalam studi yang berbeda. Satu tambahan penjelasan untuk tingginya angka pembedahan ulang dalam kelompok PLDD adalah kegagalan teknis yang terjadi pada empat pasien. Dalam tiga kasus, kami gagal untuk melakukan terapi karena adanya faktor seperti osteofit atau sindesmofit. Karena inklusi dilakukan oleh dokter bedah saraf, untuk mencegah pemilihan kasus/data yang terlihat mendukung hipotesis studi ini (cherry picking) oleh intervensionalis yang merawat, faktor lokal tersebut yang dapat menghambat penusukan jarum tidak dikenali sebelum dilakukannya terapi. Lebih jauh lagi, dalam satu kasus alat laser tidak berfungsi dan prosedur harus dibatalkan setelah jarum dimasukkan. Karena

terapi berulang tidak diperkenankan dalam protokol ini, pasien tersebut kemudian diberi opsi untuk melakukan operasi terbuka. Penyebab potensial lain terhadap buruknya hasil dalam kedua kelompok mungkin adalah dokter bedah saraf yang terlibat terpaksa harus memilih antara studi ini dan sebuah studi lain yang berjalan secara simultan. Studi lain tersebut mengkaji tentang teknik mikroendoskopik yang melibatkan pasien dengan herniasi diskus yang lebih besar, dan kompresi akar saraf yang lebih terlihat. Untuk pasien dengan herniasi diskus kecil, studi PLDD adalah sebuah alternatif. Bila dokter bedah saraf memiliki keraguan untuk menjalankan pembedahan atau tidak pada mereka yang merupakan kasus sulit, dapat diterima bila pasien tersebut diberi tawaran untuk menghindari pembedahan terbuka dalam 50%. Poin kesehatan umum pada skala SF 36 memiliki skor yang secara signifikan lebih baik sepanjang seluruh periode pemantauan dua tahun pada kelompok pembedahan dibandingkan dengan PLDD. Perbedaan rerata sebesar 4,7 poin (95% CI 0,2 – 9,3) sekitar skor 70 dari skala penuh 100, tidak dianggap relevan secara klinis. Skor fungsi fisik pada skala SF-36 secara signifikan juga lebih baik sepanjang periode pemantauan. Satu bagian besar dari observasi ini dapat dijelaskan dengan adanya perbedaan yang besar pada titik waktu minggu keempat di mana perbedaan, yang mendukung kelompok PLDD, relevan secara klinis. Namun, pada semua periode pemantauan lain, perbedaan antara kedua kelompok tidak memiliki kepentingan klinis yang berarti.

Kesimpulan Studi acak terkontrol pertama yang membandingkan PLDD dan mikrodiskektomi menunjukkan bahwa PLDD memiliki hasil yang mirip dengan mikrodiskektomi sepanjang periode pemantauan selama dua tahun. Kedua kelompok dalam studi kami memiliki angka pembedahan ulang yang cukup tinggi yang tidak diprediksi sebelumnya, di mana seleksi pasien dengan herniasi kecil dan keluhan yang cukup lama mungkin memiliki andil dalam hasil studi tersebut. Setelah studi ini, studi tentang nilai PLDD sebagai alternatif terhadap terapi konservatiif pada fase dini dapat dibenarkan.

Related Documents

Translate
May 2020 36
Translate
October 2019 52
Translate Jurnal.docx
June 2020 19
Translate Bromfenac.docx
November 2019 37
Translate Bendungan.docx
April 2020 18
Translate Demod.docx
October 2019 45

More Documents from "Samudra Reggi"

Translate 2.docx
December 2019 0
Rct01.pdf
December 2019 0