Transkultural Dalam Keperawatan.docx

  • Uploaded by: cut riska balqis
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Transkultural Dalam Keperawatan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,236
  • Pages: 50
TRANSKULTURAL DALAM KEPERAWATAN TOPIK 1 GLOBALISASI DAN PERSPEKTIF TRANSKULTURAL A. KEPERAWATAN TRANSKULTURAL DAN GLOBALISASI DALAM PELAYANAN KESEHATAN Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi memungkinkan adanya perpindahan penduduk (imigrasi) antar negara atau daerah yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk dalam negara, baik populasi maupun variasinya. Menurut United Nations Population Fund (2011), pada akhir bulan oktober tahun 2011 jumlah penduduk dunia akan mencapai tujuh miliar penduduk. Ini memungkinkan adanya multikultural atau variasi kultur pada suatu wilayah. Berdasar pada hal tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan profesional termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak dengan perspektif global bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia saat ini. Penanganan pasien dengan perbedaan latar belakang budaya disebut dengan transkultural nursing. Menurut Leininger (2002), transkultural nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia, yang dalam penggunaannya bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur, misalnya seperti budaya minum the yang dapat membuat tubuh sehat. Berdasarkan definisi Leininger di atas, dalam melaksanakan praktik keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan keperawatan transkultural berdasarkan kerangka kerja

keperawatan transkultural yang dikenal dengan Leininger Sunrise Model (Leininger, 2002) dan tiga strategi utama intervensi Leininger, yaitu pemeliharan terhadap budaya, negosiasi budaya dan merestrukturisasi budaya. Bila seorang perawat mengabaikan landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan budaya atau keperawatan transkultural, perawat akan mengalami cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh pasien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan, dan beberapa akan mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika pasien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyeri dengan berteriak atau menangis. Tetapi bila seandainya perawat terbiasa dengan hanya meringis jika merasa nyeri, ia akan menganggap sikap pasien mengganggu dan tidak sopan. Maka perawat pun akan meminta pasien bersuara pelan, bahkan tak jarang akan memarahinya karena dianggap mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada perununan kualitas keperawatan yang diberikan. Penting bagi perawat untuk memahami kultural sendiri sebelum memahami keperawatan transkultural. Konsep tentang budaya dan gambaran perilaku dan sikap yang mencerminkan budaya tertuang dalam ilmu antropologi kesehatan. Dalam menerapkan keperawatan transkultural, tak hanya budaya yang harus diperhatikan, namun paradigma keperawatan pun perlu diingat agar dapat diaplikasikan dalam keperawatan transkultural. Leoninger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan, yaitu: manusia, komponen sehat sakit, lingkungan serta keperawatan. B. KONSEP DAN PRINSIP DALAM ASUHAN KEPERAWATAN TRANSKULTURAL Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada saat ini, termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin tinggi.

Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara menyebabkan adanya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan. Sehingga, perawat tidak hanya dituntut untuk bisa berkembang pada masa kini tapi perawat pun harus berkembang dari masa lalu, seperti kebudayaan pasien, latar belakang pasien, dan lain sebagainya. Menurut J.N Giger dan Davidhizar konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan ada beberapa, antara lain: 1. Budaya Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. 2. Cultural Seseorang yang memiliki pertentangan antara dua individu dari budaya, gaya hidup, dan hukum hidup. Contohnya, Didin adalah anak yang dilahirkan dari pasangan suku sunda dan batak. 3. Diversity Diversity atau keragaman budaya adalah suatu bentuk yang ideal dari asuhan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya individu, kepercayaan, dan tindakan. 4. Etnosentris Persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. 5. Ras Perbedaan manusia didasarkan pada asal muasal manusia. 6. Cultural shock Suatu keadaan yang dialami pasien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. 7. Diskriminasi

Perbedaan perlakuan individu atau kelompok berdasarkan ras, etnik, jenis kelamin, sosial, dan lain sebagainya. 8. Sterotyping Anggapan suatu individu atau kelompok bahwa semua anggota dari kelompok budaya adalah sama. Seperti, perawat beranggapan bahwa semua orang Indonesia menyukai nasi. 9. Assimilation Suatu proses individu untuk membangun identitas kebudayaannya, sehingga akan menghilangkan budaya kelompoknya dan memperoleh budaya baru. 10. Perjudice Adalah prasangka buruk atau beranggapan bahwa para pemimpin lebih suka untuk menghukum terlebih dahulu suatu anggota.

TOPIK 2 DIVERSITY DALAM MASYARAKAT A. MAKNA DIVERSITY (KERAGAMAN) Keragaman berasal dari kata ragam yang menurut kamus besar bahasa indonesia artinya tingkah laku, macam jenis, lagu musik langgan, warna corak ragi, laras. Sehingga kergaman berarti perihal beraga-ragam berjenis-jenis;perihal ragam hal jeniskergaman yang di maksud di sini suatu kondisi dalam masyarakat dimana terdapat perbedaaaperbedaan dalam berbagai bidang, terutama suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan, ideologi,adat kesoponan serta situasi ekonomi. B. UNSUR-UNSUR KERAGAMAN DALAM MASYARAKAT INDONESIA 1. Suku Bangsa dan Ras Suku bangsa yang menempati wilayah indonesia dari sabang sampai merauke sangat beragam.sedangkan perbedaan ras muncul karena adanya pengelompokkan besar manusia yang memiliki ciri-ciri biologis lahiriyah yamg sama seperti rambut, warna kulit, ukuran tubuh, mata, ukuran kepala dan lain sebagainya.

Di indonesia, terutama bagian barat mulai dari sulawesi adalah termasuk ras mongoloid melayu muda. Kecuali batak dan toraja yang termasuk mongoloid melayu tua sebelah timur indonesia termasuk ras austroloid, termasuk bagian NTT. Sedangkan kelompokterbesar yang tidak termasuk kelompok pribumi adalah golongan chinayang termasuk atratic mongooid 2. Agama dan Keyakinan Agama mengandung arti ikatan yang harus di pegang dan di patuhi manusia. Ikatan yang di maksud berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaibyang tak dapat di tangkap dengan panca indra. Namun mempunyai pengaruh besar yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Agama sebagai keyakinan memang sulit di ukur secara tepat dan rinci.Hal ini pula yang barang kali menyulitkan para ahli untuk memberikan definisi yang tepat tentang agama. Namun apapun bentuknya kepercayaan yang di anggap sebagai agama, tampaknya memang memilki ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama pitif maupun agama monoteisma. Menurut Robert H. Thouless, fakta menunjukkan bahwa agama berpusat pada tuhan atau dewa-dewa sebagai ukuran yang menentukan yang tak boleh di abaikan. Masalah agama tak akan mungkin dapat di pisahkan dari kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain adalah: a. Berfungsi edukatif: ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang b. Berfungsi penyelamat c. Berfungsi sebagai perdamaian d. Berfungsi sebagai sosial kontrol e. Berfungsi sebagai pemupuk ras dan solidaritas f. Berfungsi tranformatif g. Berfungsi kreatif h. Berfungsi sublimatif

Pada dasarnya agama dan keyakinan merupkan unsur penting dalam keragaman bangsa indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya agama yang di akui di indonesia. a. Tata Krama Tata krama yang di anggap sebagai dari bahasa jawa yang berarti “adat sopan santun, basa basi” pada dasarnya ialah segala tindakan, prilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai kaidah atau norma tertentu. Tata krama di bentuk dan di kembangkan oleh masyarakat yang terdiri dari aturanaturan yang kalo di patuhi di harapkan akan tercipta interaksi sosial yang tertib dan efektif di dalam masyarakat yang bersangkutan. Indonesia memiliki keragaman suku bangsa dimanadi setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri meskipun kerena adanya sosialisasi nila-nilai dan norma secara turun menurun dan berkisenambungan dari generasi ke generasi menyebabkan suatu masyarakat yang ada dalam suatuisuku bangsa yang sama akan memiliki adat dan kesopanan yang relatif sama. b. Kesenjangan Ekonomi Sebagian negara, perkonomian akan menjadi salah satu perhatian yang harus di tingkatkan namun umumnya, masyarakat kita berada di golongan tingkat ekonomi menengah kebawah. Hal ini tentu saja menjadi sebuah pemicu adanya kesenjangan yang tak dapat di hindari lagi c. Kesenjangan Sosial Masyarakat indonesia merupakan masyarakat yang majemmuk dengan bermacam tingkat pangkat, dan seterata sosial yang hierarkis.hal ini, dapat terlihat dan di rasakan dengan jelas dengan adanya penggologan orang berdasarkan kasta.Hal ini yang dapat menimbulkan kesenjangan sosialyang tidak saja dapat menyakitkan, namun juga membahayakan bagi kerukunan masyarakat.Tak hanya itu bahkan menjadi sebuah pemicu perang antara etnis atau suku.

C. PENGARUH KERAGAMAN DAM KEHIDUPAN BERAGAMA, BERMASYARAKAT, BERNEGARA, DAN KEHIDUPAN GLOBAL Berdirinya negara indonesia di latar belakangi oleh masyarakat yang demikian majemuk baik secara eknis, biogarfis.kultural, maupun religius. Kita tidak dapat mengingkari prulalistik bangsa kita.sehingga kita perlu memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan beragama yang di anut oleh warga indonesia.masalah suku bangsa dan, kesatuan nasional di indonesia telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu negara yang multi etnik memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk menistasikan peranan identitas nasional dan solidaritas nasional di antara warganya. Gagasan tentang kebudayaan nasional yang menyangkut kesadaran dan identitas suatu bangsa telah di rancang saat bangsa kita belum merdeka. Manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang mengusung nilai harmoni.Perbedaan yang mewujud baik secara fisik ataupun mental, sebenarnya merupakankehendak tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi. Dikehidupan SehariHari, Kebudayaan Suku Bangsa dan kebudayaan agama,bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarisi perilaku dan kegiatan kita.berbagai kebudayaan itu beriringan, saling melengkapi. Bahkan mampu saling menyesuaikan dalamkehidupan sehari-hari tetapi sering kali yang terjadi malah sebaliknya.Perbedaa-perbedaan tersebut menciptkan ketegangan hubungan antara anggota masyarakat. Hal ini di sebabkan oleh sifat dasar yang selalu di miliki oleh masyarakat majemuk sebagai mana di jelaskan oleh Van de Berghe: 1. Terjadinya sikmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan yang berbeda. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplenter 3. Kurang mengembangkan konsensuf di antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar. 4. Secara relatif sering kali terjadi konflikdi antara kelompokyang satu dengan yang lainnya.

5. Secara relatif integrasi tumbuh di atas paksaan yang saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi 6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelomok terhadap kelompok yang lain Realitas di atas harus di akui dengan sikap terbuka logis, dan dewasa karena dengannya, kemajemukkan yang adad dapat di pertumpul. Jika keterbukaan dan kedewasaan sikap dikesampingkan, besarkemungkinan tercipta masalah-masalah menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa seperti: 1. Disharmonisasi, adalah tidak adanya kesesuaian atas keragaman antara manusia dengan dunia lingkungannya. Disharmonisasi di bawa oleh virus paparoks yang ada dalam globalisasi. Paket globalisasi begitu memikat masyarakat dunia dengan tawarannya akan keseragman global untuk maju bersama dan komunikasi gaya hidup, manusia yang bebas dan harmonis dalam tatanan dunia, dengan menyampingkan keunikan dan keberagaman indonesia sebagai pelaku utama. 2. Perilaku diskriminatif terdapat etnis atau kelompok masyarakat tertentu akan muncul masalah yang lain, yaitu kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja yang tidak mengentungkan bagi hidup berbangsa dan bernegara. 3. Eksklusivme, realisis, bersumber dari superioritas, alasannya dapat bermacammacam antara lain; keyakinan bahwa secara koadrati ras/sukunya ke kelompoknya lebih tinggi dari ras/suku/kelompok lain. Adanya beberapa hal yang dapat dilakukan memperkecil masalah yang di akibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman, yaitu: 1. Semangat religius 2. Semangat nasionalisme 3. Semangat pluralisme 4. Semangat humanisme 5. Dialog antar umat beragama 6. Membangun suatu pola komikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antara agama, media massa, dan harmonisasi dunia. Keterbukaan, kedewasaan sikap, pemikiran global yang bersifat inklusif, kesadaran kebesamaan dalam mengarungi sejarah, merupakan modalyang menentukan

bagi terujudnya sebuah bangsa yang di bhineka tunggal ika.menyatu dalamkeragaman, dan beragam dalam kesatuan.Segala bentuk kesenjangan di dekatkan, segala ke anekaragaman di pandang sebagaikekayaan bangsa milik bersama. Sikap inilah yang perlu di kembangkan dalampikir masyarakat untuk menuju indonesia raya merdeka. D. PROBLEM DESKRIMINASI Dsiskriminasi adalah sebuah tindakan yang melakukan perbedaan terhadap seseorang atau kelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, dan kelas soaial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik. serta batas negara, dan kebangsaan seseorang. Tuntutan atas kesamaan hak bagi setiap manusia di dasarkan pada prinsi-prinsip hak asasi manusia.Sifat dari HAM adalah universal dan tanpa pengecuali tidak dapat di pisahkan dan saling tenrgantung. Berngkat dari pemahaman tersebut seyogianyasikapsikap

yang

diskrimination

didasarkan harus

pada

ethnosentrisme,

dipandang

sebagai

resisme,

dipandang

religius

fanatisme,dan

sebagaiti8ndakan

yang

menghambat pengembangan kesedarajatan dan demokrasi, penegakan hukum dalam kerangka pemajuan dan pemenuhan HAM. PASAL 218 Ayat (2) UUD NKRI 1945 telah menegaskan bahwa: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Sementara itu pasal 3 UU No 1999 tentang HAM telah menegaskan bahwa “... setiap orang di lahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat... “ ketentuan tersebut merupakan landasan hukumyang mendasari prinsip nondiskriminasi di indonesia. Pencantuman prinsip ini pada awal pasal berbagai instrumen hukum yang mengatur HAM pada dasarnya menunjukkan bahwa diskriminasi telah menjadi realitas yang promblematik sehingga: 1. Komunitas internasional telah mengakui bahwa diskriminasi masih terjadi di berbagai belahan dunia

2. Prinsip non-diskriminasi harus mengawali kesepakatan antar bangsa untuk dapat hidup dalam kebebasan keadilan dan perdamaian Dalam demokrasi diskriminasi seharusnya telah di tiadakan dengan adanya kesetaraan dalam bidang hukum, kesedarajatan dalam perlakuan adalah salah satu wujud ideal dalam kehidupan negara yang demokratis. Akan tetapi berbagai penelitian dan pengkajian menunjukkan bahwa kondisi di indonesia saat ini belum mencerminkan penerapan asas persamaan di muka hukum secara utuh. Promblematika lainnya timbul dan harus di waspadai adalah disentegrasi bangsa dari kajian yang di lakukan terhadap berbagai kasus dissntegrasi bangsa dan bubarnya sebuah negara dapat di simpulkan adanya enam faktor utama secara gradualbisa menjadi penyebab utama proses itu, yaitu: 1. Kegagalan kepemimpinan 2. Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama 3. Krisis politik 4. Krisis sosial 5. Demoralisasi tentara dan polisi 6. Intervensi asing E. PEMECAHAN MASALAH DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL Kemampuan untuk menampung berbagai perbedaan dan keanekaragaman kebudayaan dalam sebuah kesatuan yang di landasi suatu ikatan kebersamaan. Salah satu pengembangan konsep toleransi terhadap keberagaman budaya adalah mewujudkan masyarakat indonesia yang multikultural dengan bentuk pengakuan dan toleransi,

terhadap

perbedaan

dalam

kesetaraan

individual

maupun

secara

kebudayaan. Dalam masyarakat multikultural, masyarakat anatar suku bangsa dapat hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai.

Selain itu, alternatif

penyelesaian keberagaman budaya yang ada di indonesia di lakukan melalui interaksi lintas budaya dengan mengembangkan media sosial, seperti pengembangan lambanglambang komunikasi lisan maupun tertulis, norma-norma yang di sepakati dan di terima sebagai pedoman bersama, dan perangkat nilai sebagai kerangka acuian bersama.

TOPIK 3 TEORI CULTURE CARE LEININGER A.

BIOGRAFI MADELEINE LEININGER Madeleine Leininger (lahir pada tanggal 13 Juli 1925 di Sutton, Nebraska, Amerika Serikat dan meninggal di Omaha, Nebraska 10 Agustus 2012). Leininger adalah perintis teori keperawatan, pertama kali diterbitkan pada tahun 1961. Kontribusinya untuk teori keperawatan melibatkan diskusi tentang apa itu peduli. Terutama, ia mengembangkan konsep keperawatan transkultural, membawa peran faktor budaya dalam praktek keperawatan ke dalam diskusi tentang bagaimana terbaik hadir untuk mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan. Dr Madeleine Leininger menempuh pendikan dan memegang gelar akademis berikut dengan judul Tahun 1945 mengambil program diploma di sekolah perawat St. Anthony, Denver CO dan menyelesaikanya pada tahun 1948, Tahun 1950 menyelesaikan pendidikan di St.Scholastica College dan mendapat gelar sarjana dalam ilmu biologi, ilmu filsafat dan humaniora dan BSN dari Benedictine

College,

Keperawatan dari

Atchison,

KS.M., Tahun

1953

memperoleh

MSc

Catholic University America, Washington, DC., tahun 1954-

1960, menjadi professor keperawatan dan direktur program pasca sarjana di Universitas Cincinnati., Tahun 1965, menjadi perawat pertama mendapat gelar Ph.D Doctor of Philosophy (Antropologi budaya dan sosial), Tahun 1966, di tunjuk sebagai professor keperawatan dan antropologi di University of Colorado, di mana untuk

pertama

kalinya

perawatan

transkultural

di

perkenalakan

di

dunia

keperawatan, Tahun 1969-1974, sebagai dekan,professor keperawatan dan dosen antropologi di University Of Washington school of Nursing, tahun 1974-1980, menjabat sebagai dekan dan professor Utah University dan membuka program pertama untuk master dan doktoral transkultural keperawatan. B. Model konsep Teori Keperawatan Leininger 1. Pengertian Madeline Leininger adalah pelopor keperawatan transkultural dan seorang pemimpin dalam keperawatan transkultural serta teori asuhan keperawatan yang

berfokus pada manusia. Ia adalah perawat professional pertama yang meraih pendidikan doktor dalam ilmu antropologi sosial dan budaya. Dia lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir keperawatannya setelah tamat dari program diploma di “St. Anthony’s School of Nursing” di Denver. 2. Asumsi Dasar Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku caring. Caring adalah esensi dari keperawatan,

membedakan,

mendominasi

serta

mempersatukan

tindakan keperawatan. Tindakan caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku caring semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.

3. Konsep Utama Teori Keperawatan Transkultural Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan oleh Dr. M. Leininger dikembangkan dalam konteks keperawatan. Leininger mendefinsikan keperawatan transkultural sebagai bagian utama dari keperawatan yang berfokus pada studi perbandingan dan analisa perbedaan budaya serta bagian budaya di dunia dengan tetap menghargai nilai-nilai asuhan, pengalaman sehat sakit dan juga kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia.

Tujuan

keperawatan

Transkultural

ialah

penggunaan

keperawatan

transkultural adalah untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal. Kultur yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai norma spesifik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain, seperti bahasa. Sedangkan kultur yang universal adalah nilai atau norma yang diyakini dan dilakukan hampir oleh semua kultur seperti budaya berolahraga membuat badan sehat, bugar; budaya minum teh dapat membuat tubuh sehat. Leininger

beranggapan

bahwa

sangatlah

penting

memperhatikan

keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada pasien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh pasien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan. Dalam melaksanakan praktik keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan keperawatan

transkultural,

melalui

tiga

strategi

intervensi yaitu mempertahankan, bernegosiasi dan merestrukturisasibudaya. Konsep utama dan definisi teori Leininger: a. “Care” mengacu

kepeada

suatu

fenomena

abstrak

dan

konkrit

yang

berhubungan dengan pemberian bantuan, dukungan, atau memungkinkan pemberian pengalaman maupun perilaku kepada orang lain sesuai dengan kebutuhannya dan bertujuan untuk memperbaiki kondisi maupun cara hidup manusia. b. ”Caring”, mengacu kepada suatu tindakan dan aktivitas yang ditujukan secara langsung dalam pemberian bantuan, dukungan, atau memungkinkan individu

lain dan kelompok didalam memenuhi kebutuhannya untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia atau dalam menghadapi kematian. c. “Culture” Kebudayaan merupakan suatu pembelajaran, pembagian dan transmisis nilai, keyakinan, norma-norma, dan gaya hidup dalam suatu kelompok tertentu yang memberikan arahan kepada cara berfikir mereka, pengambilan keputusan, dan tindakkan dalam pola hidup. d. “Culture Care” (Perawatan kultural) mengacu kepada pembelajaran subjektif dan objektif dan transmisi nilai, keyakinan, pola hidup yang membantu, mendukung, memfasilitasi atau memungkinkan ndividu lain maupun kelompok untuk

mempertahankan

kesjahteraan

mereka,

kesehatan,

serta

untuk

memperbaiki kondisi kehidupan manusia atau untuk memampukan manusia dalam menghadapi penyakit, rintangan dan juga kematian. e. “Cultural Care Diversity” (keragaman perawatan kultural) mengacu kepada variabel-variabel, perbedaan-perbedaan, pola, nilai, gaya hidup, ataupun simbol perawatan di dalam maupun diantara suatu perkumpulan yang dihubungkan terhadap pemberian bantuan, dukungan atau memampukan manusia dalam melakukan suatu perawatan. f. “Cultural care universality” (Kesatuan perawatan kultural) mengacu kepada suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai - nilai, gaya hidup atau symbol - simbol yang dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta mereflesikan pemberian bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh suatu cara yang memungkinkan untuk menolong orang lain (Terminlogy universality) tidak digunakan pada suatu cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang signifikan. g. Keperawatan mengacu kepada suatu pembelajaran humanistik dan profesi keilmuan serta disiplin yang difokuskan pada aktivitas dan fenomena perawatan manusia yang bertujuan untuk membantu, memberikan dukungan, menfasilitasi, atau memampukan individu maupun kelompok untuk memperoleh kesehatan mereka dalam suatu cara yang menguntungkan yang berdasarkan pada

kebudayaan atau untuk menolong orang-orang agar mampu menghadapi rintangan dan kematian. h. “World View” (Pandangan dunia) mengacu kepada cara pandang manusia dalam memelihara dunia atau alam semesta untuk menampilkan suatu gambaran atau nilai yang ditegakkan tentang hidup mereka atau lingkungan di sekitarnya. i. “Culture and Social Struktere Demensions” (Dimensi struktur sosial dan budaya) mengacu pada suatu pola dinamis dan gambaran hubungan struktural serta faktor-faktor organisasi dari suatu bentuk kebudayaan yang meliputi keagamaan, kebudayaan, politik, ekonomi, pendidikan, teknologi, nilai budaya dan faktor-faktor etnohistory serta bagaimana faktor-faktor ini dihubungkan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku manusia dalam lingkungan yang berbeda. j. Lingkungan mengacu pada totalitas dari suatu keadaan, situasi, atau pengalaman-pengalaman yang memberikan arti bagi perilaku manusia, interpretasi, dan interaksi sosial dalam lingkungan fisik, ekologi, sosial politik, dan atau susunan kebudayaan. k. “Enviromental Contect,

Languange

& Etnohistory” mengacu

kepada

keseluruhan fakta-fakta pada waktu yang lampau, kejadian-kejadian, dan pengalaman individu, kelompok, kebudayaan serta suatu institusi yang difokuskan kepada manusia/masyarakat yang menggambarkan, menjelaskan dan menginterpretasikan cara hidup manusia dalam suatu bentuk kebudayaan tertentu dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek. l. “Generic Care System” Sistem perawatan pada masyarakat tradisional mengacu kepada pembelajaran kultural dan transmisi dalam masyarakat tradisional (awam) dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan tradisonal yang diwariskan untuk memberikan bantuan, dukungan atau memfasilitasi tindakan untuk individu lain, kelompok maupun suatu institusi dengan kebutuhan yang lebih jelas untuk memperbaiki cara hidup manusia atau kondisi kesehatan ataupun untuk menghadapi rintangan dan situasi kematian.

m. “Profesional Sistem” perawatan profesional mengacu kepada pemikiran formal, pembelajaran,

transmisi

perawatan

profesional,

kesehatan,

penyakit,

kesejahteraan dan dihubungkan dalam pengetahuan dan keterampilan praktek yang berlaku dalam institusi profesional biasanya personil multi disiplin untuk melayani konsumen. n. Kesehatan mengacu pada keadaan kesejahteraan yang didefinisikan secara kultural memiliki nilai dan praktek serta merefleksikan kemampuan individu maupun kelompok untuk menampilkan kegiatan budaya mereka sehari-hari, keuntungan dan pola hidup o. “Culture Care Preservation/maintenance” Mempertahankan perawatan kultural mengacu kepada semua bantuan, dukungan, fasilitas atau pengambilan keputusan dan tindakan profesional yang memungkinkan yang dapat menolong orang lain dalam suatu kebudayaan tertentu dan mempertahankan nilai perawatan sehingga mereka dapat memperthanakan kesejahteraannya, pulih dari penyakit atau menghadapi rintangan mapun kematian. p. “Culture Care Acomodation/negotiation” tehnik negosiasi atau akomodasi perawatan kultural mengacu pada semua bantuan, dukungan, fasilitas, atau pembuatan keputusan dan tindakan kreatifitas profesional yang memungkinkan yang menolong masyarakat sesuai dengan adaptasi kebudayaan mereka atau untuk bernegosiasi dengan fihak lain untuk mencapai hasil kesehatan yang menguntungkan dan memuaskan melalui petugas perawatan yang professional q. Culture Care Repattering/restructuring Restrukturisasi perawatan transkultural mengacu pada seluruh bantuan, dukungan, fasilitas atau keputusan dan tindakan profesional yang dapat menolong pasien untuk mengubah atau memodifikasi cara hidup mereka agar lebih baik dan memperoleh pola perawatan yang lebih menguntungkan dengan menghargai keyakinan dan nilai yang dimiliki pasien sesuai dengan budayanya. r. Culturally Congruent Care for Health, Well-being or Dying Perawatan kultural yang konggruen mengacu kepada kemampuan kognitif untuk membantu, mendukung, menfasilitasi atau membuat suatu keputusan dan tindakan yang

dapat memperbaiki kondisi individu, atau kelompok dengan nilai budaya, keyakinan dan cara hidup yang berbeda, yang bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan dan kesehatan. C. HUBUNGAN MODEL DENGAN PARADIGMA KEPERAWATAN TRANSKULTURAL Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara pandang,

keyakinan,

nilai-nilai,

konsep-konsep

dalam

terlaksananya

asuhan

keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan yaitu: manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan. 1. Manusia Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada. 2. Sehat Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki pasien dalam engisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Pasien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif. 3. Lingkungan Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku pasien. Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana pasien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu: fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan

sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan. 4. Keperawatan Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada pasien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya pasien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya pasien (Leininger, 1991). D. Proses Keperawatan “Transcultural Nursing” Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (sunrise model) seperti yang terlihat pada gambar. Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah pasien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Matahari terbit sebagai lambang/symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur sosial untuk mempertimbangkan arah yang membuka pikiran yang mana ini dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada keperawatan profesional dan sistem perawatan kesehatan secara umum. Anak panah berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi penyebab atau garis hubungan. Garis putus-putus pada model ini mengindikasikan sistem terbuka. Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan/tidak dapat dipisahkan dari budaya mereka. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan tidak tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leininger adalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan profesional lainya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup pasien atau nilai-nilai yang akan dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi pandangan pasien. Model

ini merupakan suatu alat yang produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan kebudayan serta penelitian ilmiah. Penerapan teori Leineger (Sunrise Model) pada proses keperawatan dapat dijelaskan sebagai berikut: Proses Sunrise Model Keperawatan Pengkajian dan Pengkajian terhadap Level satu, dua dan tiga yang meliputi: Diagnosis Level satu : World view and Social system level Level dua : Individual, Families, Groups communities and Institution in

diverse health system

Level tiga :Folk system, professional system and nursing Perencanaan Level empat : Nursing care Decition and Action dan Culture Care Preservation/maintanance Implementasi Culture Care Accomodation/negotiations

Culture Care Repatterning/restructuring

Evaluasi Dalam penerapan proses keperawatan, pengetahuan budaya harus dimiliki sebelum mengideintifikasi kondisi pasien. Pada level satu dikaji pengetahuan dan informasi tentang struktur social dan pandangan dunia terhadap budaya pasien. Selanjutnya dibutuhkan informasi tentang bahasa dan lingkungan, teknologi, agama, filosophi dan kebangsaan, sosial struktur, nilai budaya dan kepercayaan, politik, legal sistem, ekonomi dan pendidikan. Pengetahuan ini dibutuhkan dalam rangka mengaplikasikan keperawatan pada pasien dalam konteks individu, keluarga, kelompok, comunitas dan institusional (level dua). Penilaian terhadap nilai kepercayaan, tingkah laku pasien, terhadap sistem kesehatan diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien dalam rangka merumuskan diagnosa keperawatan (level tiga). Selajutnya setelah ditetapkan suatu diangnosa keperawatan maka disusunlah perencanaan dan implementasi keperawatan (level empat) yang dalam model ini sebagai nursing care decition and action. Sunrise Model secara spesifik tidak menjabarkan evaluasi sebagai suatu bagian khusus. Walaupun demikian teori transcultural nursing makna penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan perawatan yang memberikan keuntungan bagi pasien.

E. PENERIMAAN OLEH KEPERAWATAN 1. Praktik Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya pasien.

Strategi

yang

digunakan

dalam

asuhan

keperawatan

adalah

perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya pasien. a. Mempertahankan budaya Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki pasien sehingga pasien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi. b. Negosiasi budaya Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu

pasien

beradaptasi

terhadap

budaya

tertentu

yang

lebih

menguntungkan kesehatan. Perawat membantu pasien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya pasien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain. c. Restrukturisasi budaya Restrukturisasi budaya pasien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup pasien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengankeyakinan yang dianut. 2. Pendidikan Dalam teori keperawatan memandang manusia sebagai manusia holistik BioPsiko-Sosial-Spiritual, namun dengan adanya perbedaan nilai – nilai kultural yang melekat dalam masyarakat sehingga kultural merupakan bagian dari manusia holistik. Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan

keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya. 3. Penelitian Sampai saat ini fokus pelayanan keperawatan masih diperdebatkan, masih rancu antara asuhan keperawatan dengan asuhan medis dan asuhan keperawatan dengan pengobatan tradisional. Perkembangan ilmu kedokteran modern juga turut mempengaruhi fokus pelayanan keperawatan.

Hal ini disebabkan karena

keperawatan bersifat multiparadigmatik. Teori asuhan keperawatan diversitas dan universalitas hendaknya digunakan sebagai panduan dalam mengembangkan penelitian keperawatan terkait dengan budaya pasien, karena budaya seseorang mempengaruhi perspektif terhadap keadaan sehat sakit sehingga mempengaruhi proses penyembuhan. F. KELEMAHAN TEORI 1. Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada pasien tetapi keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh pasien sering kali belum dapat dimengerti oleh perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Idealnya perawat perlu memahami norma-norma, dan cara hidup budaya dari pasien sehingga pasien dapat mempertahankan kesejahteraannya, memperbaiki cara hidupnya atau kondisinya. 2. Sulitnya dalam memahami norma-norma, dan cara hidup budaya dari pasien oleh perawat akan menyebabkan Cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh pasien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan

perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika pasien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati pasien tersebut menangis atau berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.

TOPIK 4 PENGKAJIAN BUDAYA Dunia yang luas terdiri dari berbagai negara tentu saja memiliki beraneka ragam corak budaya. Indonesia termasuk di dalamnya yang memberikan corak budya tersendiri. Faktor geografis merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia memiliki beranekaragam budaya. Luas Indonesia yang sebagian besar adalah luas lautan menjadikan wilayah Indonesia secara topografi terpisah menjadikan ciri khas atau perbedaan budaya dari masing- masing daerah. Budaya antar wilayah Indonesia berbeda melainkan tetap dalam satuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beragam budaya yang dimiliki adalah tantangan tersendiri untuk bangsa Indonesia. Tetap utuh terjaga dan menghargai perbedaan di era globalisasi. Globalisasi membawa dampak tersendiri bagi kebudayaan Indonesia. Kemajuan IPTEK dan transportasi membuat seseorang ingin tahu mengenai kebudayaan di negri sendiri dan negeri seberang. Kita dapat melihat dari arus pariwisata. Turis asing yang begitu antusias mendatangi tempat pariwisata di Indonesia yang di dalamnya terdapat wisata budaya. Kota yang mewakili seperti Bali dan Yogyakarta. Tidak tanggung- tanggung ada yang

tinggal dalam beberapa waktu yang lama agar mereka mampu mempelajari kebudayaan wilayah setempat. Hal ini akan menjadi ironis mengingat bangsa Indonesia yang justru enggan mempelajari bahkan mempertahankan kebudayaannya sendiri dan telah terjadi westernisasi. Saat ini yang menjadi pertanyaan mampukah bangsa Indonesia menjaga kekayaan budaya yang ada? Pentingnya mempelajari budaya yang ada dalam rangka melestarikan dan memahami kebudayaan Indonesia agar tetap terjaga, dari Sabang sampai Merauke. Sosialisasi tentang budaya sampai tahap internalisasi seharusnya diikuti dengan adanya kajian budaya. Kajian budaya merupakan suatu konsep budaya yang dapat dipahami seiring dengan perubahan perilaku dan struktur masyarakat. Berbicara tentang cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya, di wilayah barat perhatian kita tidak dapat dilepaskan dari dasar suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi etnografi serta kebudayaan mereka dan untuk wilayah timur kajian budaya digunakan untuk untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempattempat yang jarang disentuh para praktisi. Kajian budaya tidak hanya berpusat dalam satu titik saja namun kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potonganpotongan model dari teori yang sudah ada. A. CULTURAL STUDIES Terjemahan bebas cultural studies adalah kajian tentang budaya. Tetapi para ilmuwan berbeda pendapat soal definisi “budaya”. Ada yang mengatakan sebagai abstraksi perilaku masyarakat. Definisi budaya tertua dari E.B. Taylor menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan lain yang dimiliki manusia. Menurut Clifford Geertz, budaya hanyalah serangkaian cerita mengenai diri kita yang kita ceritakan pada diri kita sendiri. Sedangkan Raymond Williams, salah satu peletak dasar cultural studies, mengatakan bahwa budaya meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekspresikan hubungan sosial, dan bentuk

komunikasi anggota masyarakat. Berdasarkan definisi itu, budaya meliputi hampir segala bidang. Begitu juga cultural studies. Ia tak memiliki objek kajian yang baku. Maka, cultural studies berbeda dengan disiplin keilmuan konvensional, seperti filsafat, sosiologi, antropologi, ekonomi, hukum, fisika, biologi, atau kimia yang punya batasan wilayah subjek yang jelas. Cultural

studies itu

sendiri

mempunyai

beberapa

definisi

sebagaimana

dinyatakan oleh Barker antara lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada: 1. Hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan; 2. Seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah populasi berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembagalembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan. 3. Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. 4. Cultural studies terkait dengan semua pihak, institusi dan sistem klasifikasi tempat tertanamnya

nilai-nilai,

kepercayaan-kepercayaan,

kompetensi-kompetensi,

rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat. Penjelasan menurut Chris Barker, profesor ilmu komunikasi di University of Wollongong, Australia, cultural studies memiliki sifat antidisiplin sekaligus multidisiplin. Dikatakan antidisiplin karena cara penyelidikannya tak mengikuti aturan standar seperti diterapkan pada disiplin ilmu lain. Disebut multidisiplin karena ia mencakup banyak hal, berisi berbagai perspektif yang bersaing. Dalam wilayah akademis, cultural studies mempelajari kebudayaan sebagai praktek pemaknaan dalam konteks kekuasaan sosial. Dalam operasinya, ia menggunakan beragam teori, termasuk marxisme, strukturalisme,

pascastrukturalisme,

dan

feminisme.

Dengan

metode

yang

eklektis, cultural studies menegaskan posisionalitas semua pengetahuan, termasuk dirinya sendiri, yang berputar di sekitar ide-ide kunci seperti budaya, praktek pemaknaan, representasi, wacana, kekuasaan, artikulasi, teks, pembaca, dan konsumsi. Wajar jika banyak akademisi tak mengakui cultural studies sebagai disiplin ilmu. Ia konvensi bagi usaha intelektual yang menggeluti berbagai persoalan dari banyak posisi teoretis dan politis yang berbeda-beda. Kelebihannya, ia menawarkan fleksibilitas untuk bergerak dari disiplin ke disiplin dan dari satu metodologi ke metodologi lain sesuai minat, kebutuhan, dan motivasi. Walaupun berpredikat sebagai praktek intelektual yang multidisiplin, antidisiplin, dan sulit terdefinisi, Barker mengklaim bahwa kajian ini bukan berarti tak memiliki acuan sedikit pun. Ia memberikan beberapa karakteristik. Pertama, relasi kuasa. Cultural studies bertujuan mengungkapkan bagaimana hubungan kekuasaan memberikan dampak luas dan membentuk praktek kebudayaan. Contoh sederhana bisa dilihat pada relasi antara budaya seni dan kelas. Barker mengikuti Pierre Bourdieu (1984) yang secara saksama menunjukkan hubungan kompleks antara kekuasaan sosial dan penggunaan produk kebudayaan oleh kelompok sosial yang berbeda. Bourdieu memperlihatkan bagaimana pengunjung galeri seni terbagi menurut tingkatan kelas dan pendidikan. Galeri seni, bagi Bourdieu, diperuntukkan bagi kelas berbudaya dengan hak-hak istimewa. Selanjutnya, perbedaan hak ini dilegitimasi dengan pembedaan cita rasa antara yang baik dan yang buruk, antara yang diperuntukkan bagi kelas pekerja dan kelas konglomerat. Kedua, cultural studies tak independen, terpisah, dan menyendiri dari budaya, melainkan inheren dalam objek kajiannya. Ia bertujuan memahami kompleksitas budaya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan diri. Ketiga, cultural studies memiliki fungsi ganda. Selain sebagai objek studi, juga sebagai media tindakan kritisisme politik. Tujuannya menjadi usaha intelektual sekaligus usaha pragmatis. Keempat, cultural studies antispesialisasi. Ketika sifat solidaritas organik masyarakat modern menuntut adanya spesialisasi dan pemilahan ilmu pengetahuan, ia malah melakukan penyatuan dan mengatasi perpecahan itu. Ia ingin membentuk identitas dan kepentingan bersama dalam

hubungan antara yang mengamati dan yang diamati, antara yang mengetahui dan yang diketahui. Karakteristik terakhir, dengan melakukan evaluasi moral atas masyarakat modern, cultural studies bertujuan mengubah struktur dominasi, terutama dalam struktur masyarakat kapitalis industrial. Ia bukanlah tradisi intelektual bebas nilai yang mengabaikan atau mendukung penindasan. Melainkan tradisi yang memiliki komitmen bagi rekonstruksi sosial dengan terjun ke dalam praktek politik. B. SEJARAH CULTURE STUDIES Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu (akademik) yang mulai berkembang di wilayah Barat (1960-an), seperti Inggris, Amerika, Eropa (kontinental), dan Australia mendasarkan suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi etnografi serta kebudayaan mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal abad 21 kajian budaya dipakai di wilayah Timur untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempat-tempat yang jarang disentuh para praktisi kajian budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau Amerika Latin. Secara institusional, kajian budaya menelurkan berbagai karya berupa buku-buku, jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan di universitas-universitas. Istilah cultural studies relatif masih baru. Berasal dari Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) Universitas Birmingham, Inggris, yang berdiri pada 1964. Awal kemunculannya berpijak pada tulisan para penggagasnya: Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thomson, dan Stuard Hall. Pada 1972, untuk meletakkan cultural studies dalam wacana intelektual Inggris, CCCS menerbitkan edisi perdana Working Papers in Cultural Studies. C. KONSEP CULTURE STUDIES 1. Kebudayaan dan praktik signifikasi Cultural studies tidak akan mampu mempertahankan namanya tanpa fokus pada kebudayaan. Yang dimaksud dengan kebudayaan disini adalah lingkungan actual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa dan adat-istiadat masyarakat tertentu. Cultural studies menyatakan bahwa bahasa bukanlah media netral bagi

pembentukan makna dan pengetahuan tentang dunia objek independen yang ada diluar bahasa, tapi ia merupakan bagian utama dari makna dan pengetahuan tersebut. 2. Representasi Bagian terbesar dari cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan dipresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Bahkan unsur utama cultural studes dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikasi representasi. 3. Materialisme dan Nonreduksionisme Sebagian besar cultural studies memberi perhatian pada ekonomi modern yang terindustrialisasi dan budaya media yang terletak disepanjang garis sistem kapitalis dimana representasi diproduksi oleh perusahaan yang didorong oleh motif mencari laba. Dalam konteks ini cultural studies telah mengembangkan bentuk materialisme kultural yang berusaha mengeksplorasi bagaimana dan mengapa makna dibentuk dan ditentukan pada momen produksi. Jadi selain terpusat pada praktik-praktik

signifikasi, cultural

studies juga

berusaha

menghubungkannya

dengan ekonomi politik, suatu disiplin yang menbahas kekuasaan dan distribusi sumber daya ekonomi dan sosial. Di samping itu, salah satu prinsip utama cultural studies adalah karakter non-reduksionisme-nya. Kebudayaan dipandang memiliki makna, aturan dan praktiknya sendiri yang tidak dapat direduksi menjadi, atau hanya dapat dijelaskan di dalam, kategori atau level lain formasi sosial. 4. Artikulasi Dalam rangka membuat teori tentang hubungan antar berbagai komponen formasi sosial, cultural studies menggunakan konsep artikulasi. Atikulasi menunjukan pengekspresian atau perepresentasian dan penempatan bersama. Konsep artikulasi juga di gunakan untuk mendiskusikan hubungan kebudayaan dengan ekonomi polotik. 5. Kekuasaan

Kekuasaan bukan hanya sekedar perekat yang menyatukan kehidupan sosial, atau kekuatan koersif yang menempatkan sekelompok orang dibawah orang lain. Kekuasaan merupakan proses yang membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan, hubungan atau tatanan sosial. 6. Budaya pop Budaya pop banyak menyita perhatian cultural studies, budaya pop dikatakan sebagai landasan tempat dimana persetujuan dapat dimenangkan atau tidak. 7. Teks dan Pembacanya Konsep teks bukan hanya mengacu pada kata-kata tertulis, melainkan semua praktik yang mengacu pada makna (to sifnify). Ini termasuk pembentukan makna melalui berbagai citra, bunyi, objek (seperti pakaian) dan aktivitas (seperti tari dan olah raga). Karena citra, bunyi, objek dan praktik merupakan sistem tanda, yang mengacu suatu makna dengan mekanisme yang sama dengan bahasa, maka kita dapat menyebut semua itu dengan teks kultural. Makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen konsumsi juga merupakan momen produksi yang penuh makna. 8. Subjektivitas dan Identitas Cultural studies mengeksplorasi bagaimana kita menjadi sosok sebagaimana adanya kita sekarang, bagaimana kita diproduksi sebagai subjek, dan bagaimana kita mengidentifikasi diri kita dengan deskripsi-deskripsi sebagai laki-laki atau sebagai perempuan, tua atau muda. D. ARUS INTELEKTUAL CULTURAL STUDIES 1. Marxisme dan Sentralitas Kelas Marxisme adalah salah satu bentuk materialisme historis. Dia menekannkan spesifisitas historis kehidupan manusia dan karakter formasi sosial yang dapat berubah yang ciri utamanya terletak dalam kondisi material eksistensi. Marx (1961) menyatakan bahwa prioritas utama manusia adalah produksi sarana subsistensi melalui kerja. Ketika manusia menghasilkan makana, pakaian dan semua alat yang

bertujuan untuk mengubah lingkungannya, mereka juga menciptakan dirinya. Kerja, dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dibentuk oleh produksi material, yaitu cara produksi, adalah kategori-kategori utama dalam Marxisme. 2. Kapitalisme Kapitalisme merupakan cara produksi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas sarana produksi (pada zaman Marx sarana itu berupa pabrik, penggilingan, gudang, dan pada zaman ini berupa perusahaan multinasional). Pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah kelas borjuis yang menguasai sarana produksi dan kelas proletar, yang tidak punya hak milik dan menjual tenaga untuk bertahan hidup. 3. Marxisme dan Cultural studies 4. Dalam hubungannya dengan Marxisme, cultural studies secara khusus menfokuskan perhatian pada isu-isu tentang struktur, praksis, determinisme ekonomi dan ideologi. Cultural studies bukanlah ranah marxis, namun banyak meminta bantuan dari Marxisme. E. KONSEP BUDAYA DALAM KAJIAN BUDAYA (CULTURAL STUDIES) Kajian disiplin ilmu lain telah terlebih dahulu mendefinisikan istilah budaya (culture) yang dimasukkan ke dalam konsep masing-masing disiplin humaniora dan sosial, seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi dan seterusnya. Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dan, James Spradley nampaknya hampir sependapat dengan Koentjaraningrat. Ia mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekitar. Lebih khusus, dalam terminologi disiplin Kajian Budaya (Cultural Studies) menyajikan bentuk kritis atas definisi budaya yang mengarah pada “the complex

everyday world we all encounter and through which all move”. Budaya secara luas adalah proses kehidupan sehari-hari manusia dalam skala umum, mulai dari tindakan hingga cara berpikir, sebagaimana konsep budaya yang dijabarkan oleh Kluckhohn. Pengertian ini didukung juga oleh Clifford Geertz, kebudayaan didefinisikan serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Dalam kajian budaya atau Cultural Studies (CS), konsep budaya dapat dipahami seiring dengan perubahan perilaku dan struktur masyarakat di Eropa pada abad ke-19. Perubahan ini atas dampak dari pengaruh teknologi yang berkembang pesat. Istilah budaya sendiri merupakan kajian komprehensif dalam pengertiannya menganalisa suatu obyek kajian. Contohnya, selain ada antropologi budaya juga dikaji dalam studi Sosiologi, Sejarah, Etnografi, Kritik Sastra bahkan juga Sosiobiologi. Fokus studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau “culture” (dalam bahasa Inggris) merpakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna. Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka. Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’ sebagai keseluruhan cara hidup. Dia menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produkproduk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya. Dibandingkan dengan pendapat John Storey, konsep budaya lebih diartikan sebagai secara politis ketimbang

estetis. Dan Storey beranggapan ‘budaya’ yang dipakai dalam CS ini bukanlah konsep budaya seperti yang didefinisikan dalam kajian lain sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni tinggi’) atau sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spritual, melainkan budaya sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Dalam hal ini nampaknya Storey setuju dengan definisi ‘budaya’ menurut Raymonds Williams, lain halnya dengan Stuart Hall yang lebih menekankan ‘budaya’ pada ranah politik. Menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung istilah (umbrella term) yang merujuk pada semua aktivitas dan praktek-praktek yang menghasilkan pemahaman (sense) atau makna (meaning). Baginya budaya berarti: “Kebiasaan dan ritual yang mengatur dan menetukan hubungan sosial kita berdasarkan kehidupan sehari-hari sebagaimana halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan film-dan melalui kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial dan natural ditampilkan kembali atau ditandai-dimaknai-dengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi tertentu.” F. Karakter Akademik Kajian Budaya Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu (akademik) yang mulai berkembang di wilayah Barat (1960-an), seperti Inggris, Amerika, Eropa (kontinental), dan Australia mendasarkan suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi etnografi serta kebudayaan mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal abad 21 kajian budaya dipakai di wilayah Timur untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempat-tempat yang jarang disentuh para praktisi kajian budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau Amerika Latin. Secara institusional, kajian budaya menelurkan berbagai karya berupa buku-buku, jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan di universitas-universitas. Menurut Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi. Teori budaya marxis yang menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih banyak dijelaskan pada aliran wacana (discourse) dan praktik budaya seperti layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi, politik).

Kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin “kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt. Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian. Sehubungan dengan karakter akademis, membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi. Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuantemuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa. Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi. Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan

topik lived

hidup), discourse (wacana), text (teks)

experience (pengalaman dan social

context (konteks

yang sosial).

Jadi,

metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara ‘yang hidup’, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis). Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam “kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus

dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan. Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, selfreflexivity, polivocality. Menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan

oleh

peneliti

pascastrukturalis,

excess (Baudrillard), genealogical

historicity (Foucalt),

yaitu postmodern dan deconstructive

critique (Derrida). Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan

penelitian

dan

politik

yang

disandingkan

dengan

model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue.

Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya.

Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya. Paradigma yang digunakan mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa. Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah triangulation. Paradigms

Ontology

Triangulation Fixed reality Prisms Fluid reality

Epistemology Reflect reality Social construction of reality

Metaphor

Goal of Research Magnifying Truth glass Prism Conveying refracting multiple vision realities

Politics Bias Pluralist science

and society Material Interactive Material/semiotic Prism Creating Egalitarian semiotic reality construction of diffracting egalitarian and reality light realities science society Dialogue Interactive Material/semiotic Dialogue Dialoges Egalitarian reality construction of between and reality multirealities pluralist science and society Selain itu, dalam makalah Melani Budianta, metode kajian budaya seringkali disebut metode multidisipliner, lintas-, trans-, atau anti-disiplin. Jannet Wolff mengemukakan sejumlah masalah metode interdisipliner kajian budaya yang mengkritik kebiasaan memakai karya seni dalam studi-studi non-seni (sosiologi, sejarah, politik dasn seterusnya) yang memperlakukan karya tersebut sebagai fakta (mengutip bagian-bagian dari isi) tanpa “menghargai” fungsi karya seni tersebut sebagai karya seni. Karena pemakaian teori yang eklektik dan pendekatan yang berbeda-beda setiap kajian budaya membuat model dan perangkat analisisnya masing-masing tergantung topik permasalahan yang digarapnya.

TOPIK 5 APLIKASI TRANSCULTURAL NURSING SEPANJANG DAUR KEHIDUPAN MANUSIA A. PERAWATAN KEHAMILAN DAN KELAHIRAN Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok masyarakat. Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan jantung pisang

juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil. Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat dalam proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong anaknya dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan ulos parompa. Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi pasien dan keluarga. Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan brokohan. Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya. Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses

semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan. Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagai proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya. Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi pasiennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya. B. Perawatan dan Pengasuhan Anak Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bias mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.

Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis. Ada 5 (lima) sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem,misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu: 1. Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu, dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”. 2. Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Orangtua

berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. 3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya. 4. Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri. Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan

kemampuannya

untuk

koping

dengan

membantu

mencapai

keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan anak dalam

merencanakan

proses

perkembangan.

Karena

preadolesens

memiliki

keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas perkembangan. Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan anak.

Pada umumnya aplikasi teori keperawatan transkultural dalam keperawatan diharapkan adanya kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. Hal ini berarti perawat yang professional memiliki pengetahuan dan praktek yang berdasarkan kultur secara konsep petencanaan dan untuk praktik keperawatan. Tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai dan norma spesifik yang dimiliki oleh kelompok lain. Kultur yang universal adalah nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur seperti budaya minum teh yang dapat membuat tubuh sehat.

TOPIK 6 APLIKASI KEPERAWATAN TRANSKULTURAL DALAM BERBAGAI MASALAH KESEHATAN PASIEN A. DEFINISI KEPERAWATANTRANSKULTURAL Pengertian Transkultural bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trans dan culture, trans berarti alur perpindahan, jalan lintas atau penghubung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; trans berarti melintan, melintas, menembus, melalui. Culture berarti budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur berarti; -kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan. - Kepercayaan, nilai–nilai dan pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi berikutnya, sedangkan cultural berarti; sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Budaya sendiri berarti: akal budi, hasil dan adat istiadat. Dan kebudayaan berarti hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat atau keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk menjadi pedoman tingkah lakunya. Jadi, transkultural dapat diartikan sebagai lintas budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang satu mempengaruhi budaya yang lain atau juga pertemuan kedua nilai – nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi sosial. Transcultural Nursing merupakan suatu area yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai– nilai budaya (nilai budaya yang berbeda ,

ras , yang mempengaruhi pada seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien /pasien ) menurut Leininger ( 1991 ). Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada pasien. Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia. Perilaku

caring

adalah

bagian

dari

keperawatan

yang

membedakan,

mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan caring adalah tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku ini seharusnya sudah tertanam di dalam diri manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai individu tersebut meninggal. Hal ini tetap ikut berkembang dengan seturut jalannya perkembangan manusia tersebut. B. TUJUAN PENGGUNAAN KEPERAWATANTRANSKULTURAL Menurut Leniger tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah dalam pengembangan sains dan ilmu yang humanis sehingga tercipta praktek keperawatan pada kebudayaan yang spesifik. Kebudayaan yang spesifik adalah kebudayaan dengan nilai dan norma yang spesifik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain contohnya suku Osing, Tengger dan Dayak. Sedangkan, kebudayaan yang universal adalah kebudayaan dengan nilai dan norma yang diyakini dan dilakukan oleh hampir semua kebudayaan seperti budaya olahraga untuk mempertahankan kesehatan. Dengan adanya keperawatan transkultural dapat membantu pasien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya. Perawat juga dapat membantu pasien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan status kesehatan. Misalnya, jika pasien yang sedang hamil mempunyai pantangan untuk makan makanan yang berbau amis seperti akan, maka

pasien tersebut dapat mengganti ikan dengan sumber protein nabati yang lain. Seluruh perencanaan dan implementasi keperawatan dirancang sesuai latar belakang budaya sehingga budaya dipandang sebagai rencana hidup yang lebih baik setiap saat. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut. C. KONSEP DALAM KEPERAWATANTRANSKULTURAL Di dalam buku yang berjudul “Fundamentals of Nursing Concept and Procedures” mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah merupakan suatu bagian dari ilmu kesehatan dan seni merawat yang meliputi pengetahuan. Konsep ini ingin memberikan penegasan bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan adalah bersifat bio–psycho–social–spiritual. Oleh karenanya, tindakan perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komperhensif sekaligus holistik. Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat, selalu diulangi, membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya. Keberlangsungan terus–menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai–nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural nursing approach). Selain itu ada beberapa konsep lagi yang terkandung dalam transkultural nursing; 1. Budaya Adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. 2. Nilai budaya Adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.

3. Perbedaan budaya Dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985). 4. Etnosentris Diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik. 5. Etnis Berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim. 6. Ras Adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal muasal manusia. 7. Etnografi Adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara keduanya. 8. Care Adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik actual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia. 9. Caring Adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.

10. Cultural Care Berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai. 11. Cultural imposition Berkenaan

dengan

kecenderungan

tenaga

kesehatan

untuk

memaksakan

kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain. D. PARADIGMA TRANSKULTURAL NURSING Paradigma keperawatan transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilainilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan, yaitu manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan. 1. Manusia Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada. 2. Sehat Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki pasien dalam mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat dan sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Pasien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif. 3. Lingkungan

Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku pasien. Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana pasien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu: fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan. 4. Keperawatan Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada pasien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya pasien. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Leininger, 1991) adalah : a. Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya. Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki pasien sehingga pasien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolah raga setiap pagi. b. Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya. Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu

pasien

beradaptasi

terhadap

budaya

tertentu

yang

lebih

menguntungkan kesehatan. Perawat membantu pasien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan,

misalnya pasien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani. c. Strategi III, Mengubah/mengganti budaya pasien Restrukturisasi budaya pasien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup pasien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut. E. PROSES KEPERAWATANTRANSKULTURAL Teori yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah pasien. Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. 1. Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien sesuai dengan latar belakang budaya pasien. Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada yaitu: a. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors). Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang pasien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan. b. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors). Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan pasien dengan kepala keluarga.

c. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri. d. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors). Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew andBoyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk pasien yang dirawat. e. Faktor ekonomi (economical factors). Pasien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya: pekerjaan pasien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. f. Faktor pendidikan (educational factors) tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. Latar belakang pendidikan pasien adalah pengalaman pasien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan pasien maka keyakinan pasien biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan pasien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri. 2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah respon pasien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu: a. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur. b. Gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural. c. Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini. 3. Perencanaan dan Pelaksanaan Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya pasien. Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural yaitu : a. Mempertahankan budaya yang dimiliki pasien bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan, b. Mengakomodasi budaya pasien bila budaya pasien kurang menguntungkan kesehatan dan c. Merubah budaya pasien bila budaya yang dimiliki pasien bertentangan dengan kesehatan. 1) Cultural care preservation/maintenance a) Identifikasi perbedaan konsep antara pasien dan perawat tentang proses melahirkan dan perawatan bayi b) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan pasien c) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki pasien dan perawat 2) Cultural care accomodation/negotiation a) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien b) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan c) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan pasien dan standar etik.

3) Cultural care repartening/reconstruction a) Beri kesempatan pada pasien untuk memahami informasi yang diberikan dan melaksanakannya. b) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok c) Gunakan pihak ketiga bila perlu. d) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh pasien dan keluarga. e) Berikan informasi pada pasien tentang sistem pelayanan kesehatan. Perawat dan pasien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya pasien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan pasien akan terganggu. Pemahaman budaya pasien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan pasien yang bersifat terapeutik. 4. Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan pasien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya pasien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki pasien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya pasien. F. Tren dan Isu Transkultural Nursing Banyak hal dalam budaya Indonesia termasuk dalam cara mereka mempercayai dan mengobati diri mereka untuk membuat hidup mereka mampu menangani sakit yang mereka alami, sebagai contoh budaya Jawa, disini budaya jawa yang sering kami ketahui cara dan adat yang mereka percayai untuk mengobati diri saat sakit adalah dengan kerokan, kerokan bukan hal yang asing bagi budaya jawa, lebih dari banyak

orang jawa yang masih menggunakan kerokan untuk mengobati sakit mereka sampai saat ini. Mereka mempercayai adat dan budaya secara turun temurun. Mereka meyakini bahwa dengan kerokan dapat mengeluarkan angin yang ada didalam tubuh, serta dapat menghilangkan nyeri atau sakit badan yang dialami dan dengan hal tersebut dapat membantu penyembuhan yang mungkin telah dirasakan sebelumnya, hal tersebut banyak dilakukan oleh suku jawa. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan muncul dan berada didalam rumah sakit, meski mereka telah mendapatkan penangan dari tim kesehatan ada saja yang melakukan tradisi tersebut, Telah diketahui akibat dari kerokan yaitu penyebabkan pori-pori kulit semakin melebar, lalu warna kulit memerah menujukkan adanya pembuluh darah dibawah permukaan kulit pecah, sehingga menambah arus darah kepermukaan kulit. Ketika melakukan komunikasi untuk memberikan informasi tentang akibat yang terjadi dari kerokan tidak membuat para pasien atau pasien tidak berhenti melakukan tradisi seperti hal tersebut karena itu telah menjadi kebiasaan yang secara terus menerus dilakukan. Sehingga asuhan keperawat yang mungkin akan diberikan kepada pasien tidak dapat dilakukan karena adanya penolakan yang terjadi terhadap anggapan akan hal tersebut. Disini kita tidak dapat mengkritik keyakinan dan praktik budaya kesehatan tradisional yang dilakuakan. Budaya merupakan factor yang dapat mempengaruhi asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan harus terus dilakukan bagaimana caranya menagani pasien tanpa menyinggung perasaan pasien dan mengkritik tradisi yang telah ada yang mungkin sulit untuk kita tentang dan ubah. Karena tujuan kita bukanlah untuk mengubah atau mengkritik tradisi tersebut, namun bagaimana perawat mampu melakukan semua tugasnya dalam memenuhi kebutuhan pasien.

Related Documents


More Documents from "M N Falah"