Tm Skenario 2.docx

  • Uploaded by: hakuna
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tm Skenario 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,911
  • Pages: 41
TUGAS MANDIRI CASE REPORT “SKENARIO 3” PENDAHULUAN

Gigi dicabut karena beberapa alasan, termasuk di dalamnya adalah gangrene radiks. Karies yang meluas dan tidak dirawat dapat mengakibatkan hilangnya mahkota gigi sepenuhnya dan menyisakan akar (sisa akar) atau disebut juga sebagai gangren radiks. Gangren radiks biasanya memiliki lesi periapikal yang bersifat kronis dengan tidak ada gejala ataupun eksaserbasi akut akibat infeksi sekunder yang mengakibatkan rasa sakit (Topazian et al, 1994). 
 Gigi dengan kondisi sisa akar yang kronis menyebabkan jaringan periapikal rentan infeksi (gangren radik) karena jaringan pulpa yang mati merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Melalui foramen apikal gigi, mikroorganisme penyebab infeksi pada jaringan pulpa dapat menjalar ke jaringan periodontal di sekitar apeks gigi, menyebabkan keradangan atau infeksi jaringan (Soemartono, 2000). Salah satu akibat dari infeksi pada jaringan pulpa yang menjalar ke jaringan periodontal akbiat adanya sisa akar (gangrene radiks) yaitu periodontitis apikalis kronis (PAK). Periodontitis sangat umum dan secara luas dianggap sebagai dunia penyakit paling umum kedua, setelah karies gigi, dan di Amerikat Serikat memiliki prevalensi 30- 50% dari populasi, tetapi hanya 10% memiliki bentuk yang parah. Study menemukan hubungan antara asal etnis dan penyakit periodontal . Di Amerika Serikat, memiliki prevalensi tinggi penyakit periodontal dibandingkan dengan individu Latin serta non- Hispani. Di Indonesia penyakit periodontal menduduki urutan kedua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat. Beberapa survei menyatakan bahwa penyakit gigi dan mulut menyerang 90% masyarakat Indonesia dan sekitar 86%-nya menderita penyakit periodontal (Melok A, 2009).

Periodontitis adalah suatu penyakit peradangan gusi dan jaringan periodontal yang lebih dalam. Sedangkan periodontitis apikalis adalah peradangan akut maupun kronis jaringan periapikal akibat iritasi melalui saluran akar atau karena trauma atau adanya sisa akar. Penyebab utama dari periodontitis adalah infeksi bakteri sebagai penyebab lokal, selain itu periodontitis banyak dihubungkan dengan kondisi sistemik, misalnya penyakit kardiovaskuler, diabetes, merokok, stres, umur, ras, jenis kelamin, genetik, osteoporosis, dan bayi prematur berat badan lahir rendah (Carranza, 2011). Periodontitis apikal kronis (PAK) ditandai dengan adanya perubahan struktur tulang dan ligamen periodontal yang berdekatan, serta sementum dan dentin. Dalam persentase besar kasus dengan PAK,terjadi penyempitan fisiologis yang dipisahkan secara anatomi. Pada pemeriksaan zona apikal, terdapat resorpsi intra dan ekstra foraminal yang dikaitkan dengan proses inflamasi. Temuan klinis yang jarang ditemukan adalah resorpsi akar inflamasi internal dengan PAK, akibat trauma pada gigi. Periodontitis ini biasanya tidak dapat pulih kembali, akan tetapi dapat diberhentikan dengan perawatan. Periodontitis mempunyai kekhususan yang dapat dideteksi secara klinis, mikroskopis, ultrastruktural, biokimia dan fisiologis. Periodontitis kebanyakan disebabkan oleh berbagai macam iritasi lokal yang dapat menyebabkan peradangan gusi dan penjalaran peradangan kedalam jaringan periodontal yang menyangga gigi (Angela Gusiyska, 2014). Inflamasi pada jaringan periapikal seperti periodontitis apikalis kronis dengan kerusakan tulang alveolar disebabkan oleh bakteri yang bervariasi. Bakteri yang dominan terdapat adalah bakteri anaerob Karena lingkungan saluran akar yang kondusif untuk pertubuhannya. Berdasarkan penelitian bakteri yang didapatkan pada periodontitis apikalis kronis adalah Streptococcus, Enterococci, Laktobasilus, Actinomyces spp, Peptostreptococci, Candida, dan Eubacterium (Rocassa et al, 2008). Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah satu dari enam bentuk hepatitis yang berbeda, dapat berkembang menjadi penyakit hati kronik, termasuk hepatitis kronik persisten, hepatitis kronik aktif, sirosis, dan kanker hati primer. Kanker hati primer

sebagai salah satu dari 10 kanker yang paling sering terjadi di dunia saat ini. Oleh karena itu immunisasi terhadap Hepatitis B dibutuhkan untuk kelompok dengan risiko infeksi yang tinggi sesuai dengan karakteristik host, faktor sosio-ekonomi, budaya, dan kebiasaan seksual serta lingkungan. (Daniel J, 2008). Infeksi hepatitis B virus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar dan serius, karena selain manifestasinya sebagai penyakit hepatitis B virus akut beserta komplikasinya, lebih penting ialah dalam bentuk sebagai pengidap HbsAg kronik, yang dapat merupakan sumber penularan bagi lingkungan. Setiap tahun jumlah pengidap semakin bertambah, karena reservoir pengidap hepatitis B virus yang cukup besar merupakan wadah penularan yang terus-menerus untuk sekitarnya. (Mikaeloff Y,et al, 2007).

1.

DISKUSI Seorang laki – laki berusia 50 tahun datang ingin mencabutkan sisa akar gigi

geraham atas kiri paling belakang. Riwayat nyeri (-), bengkak (-). Pasien menderita hepatitis B. keadaan umum baik, icterus (-), pemeriksaan ekstra oral tidak tampak kelainan. Pemeriksaan intra oral tampak sisa akar gigi 28. Pembengkakan (-), nyeri tekan (-). Diagnosis periodontitis apikalis kronis gigi 28 ec gangrene radiks disertai hepatitis B. Pasien direncanakan untuk dilakukan untuk dilakukan pencabutan gigi. Pada skenario kasus diatas, dijelaskan bahwa pasien penderita hepatitis B dan periodontitis apikalis kronis ingin dilakukan ekstraksi pada sisa akar gigi 28. Selaku operator selanjutnya yaitu dokter yang akan melakukan eksodonsia harus mengetahui hasil pemeriksaan radiografi sehingga dapat meminimalisir komplikasi yang akan terjadi dan mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan. Pemeriksaan radiografi sangat mendukung dalam menilai sifat dari akar dan jauh dekatnya dengan struktur sekitarnya, misalnya sinus maksilaris atau kanalis mandibularis

(Howe,1993,Pedersen,1996,Peterson,2003).

Indikasi

pemeriksaan

radiografi sebelumnya yaitu tindakan pencabutan gigi adalah (Howe,1993) : -

Adanya riwayat kesulitan pencabutan gigi sebelumnya.

-

Adanya gigi yang secara abnormal menghambat pencabutan gigi dengan tang

-

Bila setelah pemeriksaan klinis diputuskan untuk mencabut gigi dengan pembedahan

-

Adanya gigi atau akar gigi yang berdekatan dengan antrum maksilaris, saraf alveolaris

-

Semua gigi molar ketiga bawah, gigi premolar dan kaninus yang malposisi. Bentuk akar gigi tersebut biasanya abnormal.

-

Gigi dengan restorasi besar atau tidak berpulpa lagi. Gigi ini secara normal sangat rapuh.

-

Gigi yang terkena penyakit periodontal disertai sklerosis tulang pendukung. Gigi seperti ini terkadang mengalami hipersementosis dan rapuh.

-

Gigi dengan riwayat trauma

-

Gigi dengan erupsi sebagian atau gigi tidak erupsi atau akar gigi yang tersisa.

-

Gigi dengan mahkota abnormal atau erupsi terlambat, mungkin menunjukkan adanya geminasi atau odontoma yang besar.

-

Setiap keadaan yang memicu abnormalitas gigi atau tulang alveolar seperti osteitis, disostosis kleido-kranial, yang sedang menerima terapi radiasi, dan osteoporosis.

1. Pemeriksaan Subjektif Pemeriksaan subjektif atau anamnesis adalah informasi yang diperoleh oleh dokter dengan mengajukan pertanyaan spesifik dimana pasien atau orang lain yang mengenali pasien memberikan informasi yang sesuai dengan tujuan diagnosis dan perawatan medis pada pasien. Anamnesa ini bertujuan membantu dokter gigi (operator) mengetahui keluhan utama pasien pada giginya. Penilaian kesehatan umum pasien sebelum perawatan gigi diperlukan untuk mengidentifikasi kondisi sistemik, yang dapat mempengaruhi prosedur perawatan dan memungkinkan dokter gigi mengevaluasi risiko dan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi. Hal yang penting dalam melakukan anamesa adalah pasien harus merasa nyaman sehingga tercipta hubungan interpersonal yang baik antara pasien dengan dokter gigi (Beste, 2014).

Gambar 1. Tabel rumusan masalah dalam melakukan anamnesa Agar riwayat penyakit dapat lengkap dan akurat maka untuk menyusunnya perlu pendekatan yang sistematis dan runtut meliputi unsur-unsur berikut ini: a. Data demografis. Merupakan informasi yang harus dicatat pertama kali dalam diagnostic database, yaitu identitas pasien yang antara lain meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, tempat lahir, pekerjaan, agama dan alamat pasien. b. Keluhan utama (Chief complaint). Merupakan pernyataan pasien mengenai masalah atau penyakit yang mendorong penderita memeriksakan diri.

c. Riwayat keluhan utama. Diperoleh gambaran secara kronologis mengenai mulai pertama keluhan dirasakan dan hal-hal yang terkait termasuk lokasi, durasi, hubungannya dengan fungsi fisiologis maupun pengobatan yang pernah dialami. d. Riwayat Medik. Mengacu pada konsep perawatan yang holistik maka dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai dokter gigi dituntut untuk membuka wawasan lebih luas baik dalam ilmu pengetahuan maupun kerjasama dengan profesi kesehatan yang lain (Stefanac & Nesbit, 2017).

2. Pemeriksaan Objektif Pemeriksaan objektif atau pemeriksaan fisik bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai status kesehatan pasin. Tujuan definitif dari pemeriksaan fisik yaitu mengidentifikasi status normal dan juga mengetahui adanya variasi dari keadaan normal tersebut dengan cara memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala pasien, skrining keadaan pasien dan memantau masalah kesehatan/penyakit pasien saat ini. Terdapat beberapa metode pemeriksaan fisik diantaranya yaitu inspeksi dan palpasi (Lyrawati, 2009). Inspeksi merupakan langkah pertama pemeriksaan fisik pasien yaitu dengan melihat dan mengevaluasi pasien secara visual. Inspeksi juga menggunakan indera pendengaran dan penciuman untuk mengetahui lebih lanjut dan jelas dan memvalidasi apa yang dilihat oleh mata dan kemudian dikaitkan dengan suara atau bau yang berasal dari pasien. Kemudian seluruh informasi yang diterima akan dikumpulkan untuk membantu dalam membuat keputusan diagnosis dan perawatan (Lyrawati, 2009). Palpasi merupaka metode pemeriksaan fisik dengan menyentuh atau merasakan dengan tangan. Palpasi memberikan informasi mengenai posisi, ukuran, bentu, konsistensi dan mobilitas komponen-komponen anatomi yang normal. Palpasi biasa dilakukan dengan menggunakan bagian tangan yang paling sensitif yaiutu pads atau ujung jari pada bagian distal ruas interphalangeal paling baik digunakan untuk

palpasi, karena ujung syaraf spesifik untuk indera sentuh terkumpul dan berdekatan sehingga akan meningkatkan kemampuan dalam membedakan dan interpretasi apa yang disentuh (Lyrawati, 2009). Berdasarkan skenario kasus, pada pemeriksaan fisik yang meliputi inspeksi dan palpasi, inspeksi pada ekstra oral tidak di dapatkan kelainan sedangkan pada pemeriksaan inspeksi intra oral terlihat sisa akar gigi pada maxila sinistra yaitu gigi 28. Pada pemeriksaan palpasi tidak didapatkan adanya pembengkakan maupun nyeri tekan.

3. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiografi sangat mendukung dalam menilai sifat dari akar dan jauh dekatnya dengan struktur sekitarnya, misalnya sinus maksilaris atau kanalis mandibularis (Howe, 1993, Pedersen, 1996 ,Peterson, 2004). Keterbatasan radiografi, yaitu : 1.

Radiografi konvensional memberikan gambar dua dimensi. Sedangkan gigi merupakan objek tiga dimensi yang kompleks. Akibat dari gambar yang tumpang tindih, detail bentuk tulang menjadi tidak terlihat.

2.

Radiografi tidak memperlihatkan permulaan dari penyakit periodontal. Setidaknya 55 – 60 % demineralisasi terjadi dan tidak terlihat pada gambaran

radiografi. 3.

Radiografi tidak memperlihatkan kontur jaringan lunak dan tidak merekam perubahan q

4.

jaringan – jaringan lunak pada periodontium.

Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang teliti dikombinasi dengan pemeriksaan radiografik yang tepat dapat memberikan data adekuat untuk diagnosa keberadaan dan penyebaran dari penyakit periodontal. Baik data klinis maupun radiografik sangatlah penting dalam mendiagnosis penyakit periodontal.

Indikasi pemeriksaan radiografi sebelum tindakan pencabutan gigi adalah (Howe, 1993) : 1.

Adanya riwayat kesulitan pencabutan gigi sebelumnya.

2.

Adanya gigi yang secara abnormal menghambat pencabutan gigi dengan tang.

3.

Bila setelah pemeriksaan klinis diputuskan untuk mencabut gigi dengan

pembedahan. 4.

Adanya gigi atau akar gigi yang berdekatan dengan antrum maksilaris , saraf alveolaris inferior , dan saraf mentalis.

5.

Semua gigi molar ketiga bawah, gigi premolar dan kaninus yang malposisi. Bentuk akar gigi tersebut biasanya abnormal.

6.

Gigi dengan restorasi besar atau tidak berpulpa lagi. Gigi ini secara normal

sangat rapuh. 7.

Gigi yang terkena penyakit periodontal disertai sklerosis tulang pendukung. Gigi seperti ini terkadang mengalami hipersementosis dan rapuh.

8.

Gigi dengan riwayat trauma

9.

Gigi dengan erupsi sebagian atau gigi tidak erupsi atau akar gigi yang tersisa.

10.

Gigi dengan mahkota abnormal atau erupsi terlambat, mungkin menunjukkan adanya geminasi atau odontoma yang besar.

11.

Setiap keadaan yang memicu abnormalitas gigi atau tulang alveolar seperti osteitis, disostosis kleido-kranial, yang sedang menerima terapi radiasi, dan osteoporosis.

Data klinis sebagai berikut: 1. Indeks pendarahan 2. Kedalaman probing 3. Edema 4. Erithema 5. Struktur gingiva. Radiografi akan sangat membantu dalam evaluasi jumlah tulang yang ada, kondisi tulang alveolar, kehilangan tulang pada daerah furkasi, lebar dari ruang ligamen periodontal, dan faktor lokal yang dapat menyebabkan atau memperparah penyakit periodontal seperti restorasi yang berkontur buruk atau overhanging dan karies. Perubahan lainnya yang dapat dilihat pada penyakit periodontal, yaitu lesi inflamasi di tulang marginal, terlihat aktivitas osteoblas dan osteoklas, aktivitas osteoklas yang

menyebabkan perubahan pada tulang krestal dan respon awal dari kerusakan tulang serta pada lesi kronis dapat terlihat osteosklerosis.

2.

PENATALAKSANAAN

Inform Consent Informed consent adalah persetujuan bebas yang diberikan oleh pasien terhadap suatu tindakan medis, setelah ia semua informasi penting memperoleh informasi mengenai sifat serta konsekuensi tindakan tersebut. Prinsip informed consent berakar pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas pribadi pasien harus dilindungi. Integritas manusia menuntut bahwa setiap orang bertindak menurut apa yang mereka kehendaki bukan dari dorongan atau tekanan dari orang lain. Informed consent diperoleh dari pasien sendiri, tetapi bila pasien tidak kompeten, maka dapat diperoleh dari keluarga atau wali sah yang mampu memberikan persetujuan rasional. Jika keluargan dan/atau wali hadir namun tidak kompeten juga, maka tenaga medis dapat memutuskan sendiri untuk bertindak sesuai kondisi pasien demi kepentingan terbaik pasien (prinsip beneficentia) (Dionisius, 2009). Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh dokter pada pasien , lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut : (1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan penjelasan lengkap (3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya mencakup : a.

Diagnosis dan tatacara tindakan medis

b.

Tujuan tindakan medis dilakukan

c.

Alternatif tindakan lain dan resikonya

d.

Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan

e.

Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan. Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas

peluang bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di terima oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya. Komalawati ( 2002: 111) mengungkapkan bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain : a.

Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis

b.

Dengan bahasa yang sempurna secara lisan

c.

Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan

d.

Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.

e.

Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan

Inform to consent Ada dua bentuk inform consent yaitu: 1. Dengan pertanyaan (expression), dapat secara lisan (oral) dan secara tertulis (written). 2. Dianggap diberikan, tersirat (implied) yaitu dalam keadaan biasa atau normal dan dalam keadaan gawat darurat. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakansecara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Sebaliknya pasien diberikan pengertian terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan. Misalnya, pemeriksaan dalam lewat anus atau dubur atau pemeriksaan dalam vagina, dan lain – lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan

umum. Disini belum diperlukan pernyataan tertulis, cukup dengan persetujuan secara lisan saja. Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasive, harus dilakukan secara tertulis. Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap pasien pada waktu melakukan tindakan, misalnya pengambilan darahuntuk pemeriksaan laboratorium, pemberian suntikan pada pasien, penjahitan luka dan sebagainya. Implied consent berlaku pada tindakan yang biasa dilakukan atau sudah umum (Adriana, 2010).

Asepsis Semua bentuk tindakan pada praktek Kedokteran Gigi khususnya di bidang Ilmu Bedah Mulut dan maksilofasial selalu mensyaratkan dipenuhinya prinsip asepsis dan teknik penataan kamar operasi yang khusus. Hal ini penting untuk mencegah infeksi yang terjadi paska operasi dan penularan suatu penyakit dari pasien satu ke pasien lainnya, serta dari pasien ke operator maupun sebaliknya.

Universal precaution Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Prinsip kewaspadaan universal (universal precaution) di pelayanan kesehatan adalah menjaga hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan, serta sterilisasi peralatan. Hal ini penting mengingat sebagian besar yang terinfeksi virus lewat darah seperti HIV dan HIB tidak menunjukan gejala fisik. Kewaspadaan universal diterapkan untuk melindungi setiap orang (pasien dan petugas kesehatan) apakahmereka terinfeksi atau tidak. Kewaspadaan universal berlaku untuk darah, sekresi ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir. Penerapan standar ini penting untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau tidak diketahui (misalnya pasien, benda terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai, dan spuit) di dalam system pelayanan kesehatan. Ketiga prinsip tersebut di jabarkan menjadi lima kegiatan pokok yaitu mencuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat

pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius lain, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan alat tajam untuk mencegah perlukaan, dan pengelolaan limbah (Depkes RI, 2003). 1. Cuci Tangan 2. Alat Pelindung Diri Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret atau ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Jenis tindakan yang beresiko mencakup tindakan rutin. Jenis alat pelindung: Sarung tangan, masker dan gaun pelindung. Tidak semua alat pelindung tubuh harus dipakai, tetapi tergantung pada jenis tindakan yang akan dikerjakan.

a. Sarung Tangan Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi. Sarung tangan harus selalu dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan darah atau semua jenis cairan tubuh. Jenis sarung tangan yang dipakai di sarana kesehatan, yaitu : 1) Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir. Misalnya tindakan medis pemeriksaaan dalam, merawat luka terbuka 2) Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak ada sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi. 3) Sarung tangan rumah tangga adalah sarung tangan yang terbuat dari latex atau vinil yang tebal. Sarung tangan ini dipakai pada waktu

membersihkan alat kesehatan, sarung tangan ini bisa dipakai lagi bila sudah dicuci dan dibilas bersih.

b. Pelindung Wajah (Masker) Pemakaian pelindung wajah ini dimaksudkan untuk melindungi selaput lendir hidung, mulut selama melakukan perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain. Masker tanpa kaca mata hanya digunakan pada saat tertentu misalnya merawat pasien tuberkulosa terbuka tanpa luka bagian kulit atau perdarahan. Masker kaca mata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antara lain pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter etau dekontaminasi alat bekas pakai. Bila ada indikasi untuk memakai ketiga macam alat pelindung tersebut, maka masker selalu dipasang dahulu sebelum memakai gaun pelindung atau sarung tangan, bahkan sebelum melakukan cuci tangan bedah

c. Gaun Pelindung Gaun pelindung merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Jenis bahan sedapat mungkin tidak tembus cairan. Tujuan pemakaian gaun pelindung adalah untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain. gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi seperti halnya pada saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam lubang wc, mengganti pembalut, menangani pasien dengan perdarahan masif. Sebaiknya setiap kali dinas selalu memakai pakaian kerja yang bersih, termasuk gaun pelindung. Gaun pelindung harus segera diganti bila terkena kotoran, darah atau cairan tubuh. Cara menggunakan gaun pelindung (Anita, D, A, 2004) sebagai berikut :

1) Hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun untuk melindungi pemakai dari infeksi. 2) Gaun dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain. Berbagai pengetahuan mengenai teknik, sarana, dan tatalaksana diperlukan untuk mencapai keadaan seperti pada gambar di atas, mulai dari tatacara pengaturan zona steril dalam ruangan, penggunaan masker dan penutup kepala, penggunaan baju operasi, penggunaan linen untuk dook sehingga menjamin sterilisasi saat prosedur operasi sekaligus menjadi sarana kontrol infeksi dalam kamar operasi. Bila kita membicarakan prinsip asepsis, muncul beberapa istilah yang sering digunakan, seperti: ● Asepsis : suatu keadaan bebas kuman ● Teknik asepsis : suatu cara dan tindakan yang dilakukan untuk mencapai keadaan bebas kuman ● Antiseptik : sebuah bahan pembasmi kuman yang digunakan pada kulit atau jaringan hidup untuk tujuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme tanpa membunuh mikroorganisme tersebut. ● Desinfeksi : suatu proses kimia atau fisika untuk membunuh semua mikroorganisme patogen kecuali spora ● Sterilisasi : suatu proses untuk membunuh semua mikroorganisme patogen maupun non patogen termasuk virus dan spora bakteri resisten dengan mengeliminasi secara menyeluruh menggunakan alat atau bahan sterilisasi

METODE STERILISASI 1.

Pemanasan - Panas basah dengan tekanan uap - Membunuh mikroorganisme dengan melakukan denaturasi dan kuagulasi protein sel - Menggunakan autoklaf: ●

Suhu 121°C tekanan 1 atm selama 15 menit



Suhu 134°C tekanan 2 atm selama 3 menit

- Sesuai untuk instrumen bedah dari metal, plastik, fiber dan linen Keuntungan : -

Mudah, cepat dan aman digunakan dengan hasil penetrasi yang bagus

-

Tidak meninggalkan residu yang berbahaya

-

Bahan dari stainless steal dapat disterilkan berulang-ulang

Kerugian : -

Instrumen tajam dapat menjadi tumpul karena korosi

-

Bila bahan yang distrerilkan mengandung lemak atau minyak akan meninggalkan kerak sehingga merusak alat

-

Hasil maksimal hanya bila uap dapat berkontak langsung dengan seluruh area yang akan disterilkan

Gambar:

- Panas kering - Mensterilkan objek dengan bahan dasar yang tidak menyerap minyak, tidak terbuat dari minyak dan bubuk - Prinsip kerjanya menyebabkan oksidasi fisik sehingga protein sel mikroorganisme mengalami koagulasi - Karena tidak menggunakan tekanan, metode ini memerlukan suhu yang lebih tinggi ●

1 jam suhu 171°C



2 jam suhu 160°C



3 jam suhu 140°C



6 jam suhu 121°C

Keuntungan : ●

Protektif pada bahan yang lembut atau instrumen tajam seperti gunting, sonde, ekscavator



Dapat mensterilkan bahan kaca atau instrumen yang mengandung ulir (dibongkar pasang)



Tidak menumpulkan instrumen berbahan carbon steel

Kerugiannya : ●

Paparan yang lama



Overexposure dapat merusak beberapa material



Tidak dapat digunakan untuk material kain, karet dan plastik

Gambar :

II. Kimiawi -

Alkohol Konsentrasi efektif pada 70%-95%, membunuh mikroorganisme dengan koagulasi protein

-

Bersifat bakterisidal, pseudomonosidal da fungisidal pada paparan minimal 10 menit

-

Bersifat tuberkulosidal dan virusidal pada paparan minimal 15 menit

-

Digunakan untuk desinfeksi ruangan, kursi, tempat tidur pasien, pegangan lampu, dsb

Kerugian : ●

Mudah menguap sedangkan kerja ekeltifnya hanya dalam bentuk cair



Dapat meninggalkan bercak putih di lantai dan furniture



Mudah terbakar

-

Chlorine ( sodium hypochlorite )

-

Membunuh bakteri dengan oksidasi enzim sel

-

Pengenceran efektif pada 1:10 sampai 1:100

-

pH

yang

rendah

akan

meningkatkan

efektifitas

biosidal

(bakteri,

fungi,tuberkulose dan virus) -

Dapat digunakan pada lantai dan furniture dengan aman, namun korosif pada metal dan menimbulkan bau menyengat

-

Glutaraldehid

-

Membunuh mikroorganisme dengan denaturasi protein sel

-

Efektif dengan pengenceran 1:16 atau dengan konsentrasi 2%

Keuntungannya: ●

Non korosif untuk instrumen endoskop dan kaca



Aman untuk plastik dan karet



Bersifat bakterisidal pada paparan minimum 10 menit pada temperatur kamar, kecuali untuk mencapai tuberculosidal memerlukan paparan selama 45-90 menit



Untuk efek sporisidal minimum paparan 10 jam dengan suhu kamar

Kerugiannya: ●

Bahan tidak boleh direndam terlalu lama



Setelah perendaman, bahan harus dibilas sebelum digunakan sebab residunya dapat mengiritasi mukosa



Bau dan uapnya mengiritasi mukosa mata, hidung dan tenggorokan

III. Radiasi -

Sumber utamanya adalah partikel beta dan sinar gamma

-

Partikel beta ionosasi mematikan mokroorganisme

-

Sinar gamma menggunakan partikel Cobalt 60

bekerja melalui

gelombang elektromagnetik dengan efektifitas yang jauh lebih besar dari partikel beta -

Waktu efektif sterilisasi sekitar 10-20 jam

Keuntungan : ●

Dapat masuk lebih detail dalam material



Temepratur rendah dan prosesnya kering



Tidak ada residu



Dapat melakukan penetrasi pada obyek besar sekalipun

Kerugian : ●

Dapat menimbulkan efek paparan radiasi baik pada operator maupun lingkungan sehingga memerlukan ijin khusus dan peralatan penunjang yang khusus

IV. Sterilisasi Radiasi dengan Sinar UV

Radiasi Ultraviolet (UV) umumnya di gunakan untuk disinfeksi air yang di gunakan untuk kultur dan fasilitas untuk air buangan/ limbah serta untuk sterilisasi analt- alat bedah karena tidak menghasilkan residu beracun atau produk sampingan yang berbahaya (Giese and Darby 2000; Liltved and Landfald 2000; Summerfelt 2003; Bohrerova et al. 2008). Radiasi UV juga di gunakan untuk meningkatkan kualitas udara di dalam gedung. Meskipun radiasi UV yang intens dapat berbahaya

bagi operator jika di gunakan dengan tidak benar, penggunaan yang tepat dapat mengurangi risiko tersebut. Sterilisasi

menggunakan

sterilisasi ruangan. Radiasi

sinar

ultraviolet biasanya

digunakan

untuk

sinar ultra violet dapat membunuh bakteri dengan

panjang gelombang antara 220-290 nm dan radiasi yang paling efektif adalah 253,7 nm (Hollaender, 1995). Mekanisme kerjanya adalah absorpsi oleh asam nukleat tanpa menyebabkan kerusakan pada permukaan sel.

Energi

yang

diabsorpsi ini akan menyebabkan terjadinya ikatan antara molekul-molekul timin yang bersebelahan dan menyebabkan terbentuknya dimer timin sehingga fungsi dari asam nukleat

terganggu

dan dapat

mengakibatkan

kematian

bakteri

(Bibiana, 1992). Salah satu sifat sinar ultraviolet adalah daya penetrasi yang sangat rendah, selapis kaca tipispun sudah mampu menahan sebagian besar sinar ultraviolet. Oleh karena

itu

sinar ultraviolet hanya dapat

efektif

untuk

mengendalikan bakteri pada permukaan yang terpapar langsung oleh sinar ultraviolet atau bakteri dekat dengan permukaan medium yang transparan (Ratna S, 1990). Adsorbsi maksimal sinar ultraviolet terjadi pada asam nukleat, seperti yang kita tahu hidupnya sel bakteri bergantung

pada molekul-molekul

nukleat dan asam nukleat. Perubahan molekul protein dan asam merusak sel tanpa dapat diperbaiki dapat

mengakibatkan

Terhambatnya

sintesis

kembali.

Penghambatan

terganggunya metabolisme atau asam nukleat

dan

protein

protein

nukleat

dapat

kerja

enzim

matinya

sel.

dapat mengakibatkan

kerusakan total pada sel (Pelczar dan Chan, 2005). Sinar UV efektif digunakan untuk membunuh bakteri Escherichia coli dan semua coliform (Graham,2005). Spektrum UV umumnya di bagi menjadi 4, yaitu UV vakum atau VUV (100-200nm), UV A (panjang gelombang 400-315 nm), UV B (panjang gelombang 315-280 nm), dan UV C (panjang gelombang 280-200 nm). Sinar UV yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme yaitu UV-B dan UV- C. Sterilisasi dengan menggunakan radiasi UV C dapat mendenaturasi

DNA mimkroorganisme yang memiliki absorbansi tinggi pada spektrum UV pada

panjang gelombang 254 nm. Denaturasi tersebut di sebabkan oleh

pembentukan dimer pirimidin, yang menyebabkan inaktivasi bakteri yang menghalangi replikasi DNA. Meskipun UV di kenal dapat membunuh atau menonaktifkan mikroorganisme, beberapa penelitian menyarankan bahwa panjang gelombang 254 nm (UV C) adalah yang paling efektif. Sinar UV-C dapat digunakan sebagai disinfeksi pada “fish smokehouses” dan dapat mengurangi keberadaan Listeria monocytogenes (N. Bernbom, 2010). Meskipun sinar VUV dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme namun tidak efisien. Hal tersebut dikarenakan sinar VUV sangat cepat menghilang pada jarak yang pendek ketika melewati air. Sinar VUV biasa digunakan untuk merusak atau merengkah struktur atau ikatan karbon organic (Yonkyu Choi,2009). Sinar UV yang biasa digunaka untuk mendisinfeksi air yaitu sinar UV-C yang panjang gelombangnya 254 nm karena panjang gelombang tersebut cenderung aman (Yonkyu Choi,2009).

Jenis radiasi bervariasi, tidak hanya dengan panjang gelombang dari sumber cahaya UV tetapi juga dengan kauantitas energi yang di transmisikan (Mj/cm2). Penggunaan sinar ultraviolet

secara berlebihan dan tidak dikontrol dapat

menghilangkan keefektifan dari sinar Ultraviolet itu sendiri, Oleh sebab itu lama penyinaran

harus sesuai

dengan

alat

atau

bahan

yang

disterilkan

(Suprapto, 2009). Dosis yang tepat bagi sinar ultraviolet banyak menemui kesulitan

karena

berbagai variabel yang dapat mempengaruhi, diantaranya:

aliran udara, kelembaban, jarak antara sumber cahaya dengan bahan yang

disterilkan dan lamanya waktu sterilisasi (Suprapto,

2009). Dosis yang di

perlukan untuk menginaktivasi mikroorganisme bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar umunya bakteri dan virus dapat di inaktivasi dengan dosis 30 mJ/cm2 pada panjang gelombang 254 nm (Wedemeyer, 1996).

Kelebihan sterilisasi radiasi UV 

Disinfeksi UV efektif menginaktivasi virus, spora, dan kista



Tidak ada efek residu yang berbahaya



Ekonomis dan konsumsi energy yang rendah



Disinfeksi UV penggunaannya ramah



Disinfeksi UV memiliki waktu kontak yang lebih pendek bila di bandingkan dengan disinfektan lainnya (sekitar 20 sampai 30 detik dengan lampu bertekanan rendah)

 Disinfeksi

UV membutuhkan

peralatan

yang

sedikit

di

bandingkan

dengan metode lainnya. Kekurangan sterilisasi radiasi UV 

Dosis rendah tidak efektif untuk menginaktivasi virus, spora, dan kista



Organisme dapat memperbaiki dan membalikkan diri dari efek destruktif UV



Dapat di absorbsi oleh larutan keruh, alat gelas, dan plastic



Tidak ada nya residu yang terukur untuk menunjukkan keberhasilan disinfeksi UV

PRINSIP STERILISASI 1. Holding ( presoaking ) - Digunakan bila peralatan tidak bisa segera dilakukan pencucian - Tujuannya untuk mencegah saliva dan darah mengering - Bahan : glutaraldehyde - Harus diganti setidaknya sekali dalam sehari

2. Precleaning - Dapat menggunakan alat ultrasonic cleaning atau dengan sikat manual - Sikat hanya untuk melepaskan debris yang besar, tidak boleh terlalu keras karena merusak ketajaman alat, selebihnya menggunakan semprotan air pada saat pembilasan - Pembersihan manual meningkatkan resiko tergores atau tertusuk alat sehingga harus dikerjakan dengan hati-hati dan dengan perlengkapan khusus (sarung tangan dan schot) 3. Corrosion control, drying, lubrication - Untuk menjaga instrumen putar agar tidak berkerak dan engsel alat tetap terjaga baik - Perhatikan agar sisa lubricant dibersihkan sebelum masuk dalam sterilisator - Pengeringan merupakan kunci utama untuk mempertahankan ketahanan hasil sterilisasi dan keawetan instrumen - Pada tahap ini khusus instrumen tajam dapat diberikan perlindungan berupa selang karet agar sisi tajam terjaga 4. Packing - Tujuan utamanya untuk menjaga agar instrumen yang telah disterilkan tidak mudah terkontaminasi kembali saat penyimpanan dan pendistribusian

Gambar:

5. Sterilization

- Berbagai pilihan cara melakukan sterilisasi selain berdasarkan ketersediaan peralatan juga perlu memperhatikan klasifikasi peralatan yang hendak disterilkan sehingga dapat diputuskan metode sterilisasi terbaik yang akan digunakan. - Kategori kritis dan semikritis memerlukan sterilisasi yang menjamin keadaan zero microorganism , bedanya pada peralatan semikritis tertentu yang tidak memungkinkan menggunakan autuclav dapat digunakan desinfektan saja, sedangkan untuk alat non kritis cukup dengan antiseptik saja karena biasanya memiliki ukuran yang besar.

6. Handling processed instruments A. DRYING AND COOLING -

Harus dilakukan dengan perlahan agar menghindari efek pengembunan pada

instrumen - Caranya ada yang manual, ada yang termasuk dalam serial mesin sterilisator yang menggunakan vacuum cycle B. STORAGE - Prinsipnya First in-first out - Maksimum penyimpanan pada suhu kamar tanpa indikator internal adalah 1 bulan, namun tergantung pada cara penyimpanan dan perlakuan operator yang melakukan

ANTISEPTIK Antiseptik yang sering digunakan di bidang Bedah Mulut dan Maksillofasial antara lain adalah yang digunakan untuk melakukan asepsis dan cairan yang digunakan untuk cuci tangan. 1. ALKOHOL - Alkohol yang digunakan sebagai antiseptik adalah dengan konsentrasi 60-70% - Dapat bersifat bakterisid yang kuat dan mula kerja cepat baik pada bakteri gram positif maupun negatif, tapi tidak efektif untuk spora

- Kegunaannya sebagai antiseptik kulit sebelum tindakan injeksi dan untuk pembersihan iodium dari kulit 2. POVIDON IODIUM - Merupakan kompleks iodium dengan polivinilpirolidon yang tidak merangsang - Masa kerjanya lebih lambat dari iodium murni namun tidak iritatif sehingga dapat digunakan pada wajah, genetalia eksterna, selaput lendir, luka pada kulit bahkan yang kotor dan terinfeksi sekalipun - Mudah dicuci karena larut dalam air dan tidak menimbulkan bau menyengat. 3. KLORHEKSIDIN - Dapat digunakan sebagai cairan pencuci tangan, perendam alat, asepsis pada kulit dan mukosa serta sebagai obat kumur. - Sediaanya antara lain dalam bentuk : Hibiscrub, Savlon, Hibitane,dll - Sifatnya tidak berwarna, mudah larut dalam air, tidak merangsang dan mengiritasi mukosa, serta baunya tidak menyengat - Kekuatannya seperti iodium namun kerjanya lebih lambat

4. PERHIDROL - Merupakan antiseptik yang lemah dengan masa kerja yang pendek dan konsentrasi 2-3% - Penggunaannya ditujukan terutama untuk mengeluarkan kotoran dari dalam luka dan menyebabkan terbunuknya kuman anaerob dengan oksigen yang terlepas pada saat paparan - Makin kuat semprotan dan makin kuat penggosokan luka, makin banyak oksigen yang dilepaskan sehingga penggunaannya makin efektif

Cuci tangan Berbagai metode diperkenalkan dalam pada kampanye kesehatan baik pada di kalangan pelayan kesehatan maupun masyarakat awam, mengingat peranan cuci tangan sangat signifikan untuk mengendalikan penyebaran infeksi secara luas, namun

pada prinsipnya di bidang Bedah Mulut dan Maksilofasial dikenal 2 macam metode cuci tangan yaitu cuci tangan bedah dan cuci tangan biasa.

1. Cuci tangan biasa (WHO)

2. Cuci tangan bedah a. Lepas semua perhiasan, termasuk cincin dan jam tangan. Basahi tangan dengan air. Gunakan cairan antiseptik sesuaI dengan petunjuk, cuci tangan dan lengan bawah secara menyeluruh dan bilas b. Gunakan sekali lagi cairan antiseptik, sebarkan keseluruh permuakaan tangan dan lengan bawah c. Mulai dengan tangan, gunakan pembersih kuku untuk membersihkan daerah bawah kuku kedua tangan d. Bersihkan kuku secara menyeluruh, kemudian jari-jari, sela-sela jari, telapak tangan dan punggung tangan. Cuci tiap jari seakan-akan mempunyai empat sisi e. Berikutnya scrub daerah pergelangan tangan pada tiap tangan

f. Setelah seluruh pergelangan tangan telah di-scrub, bagian lengan bawah juga di-scrub, pastikan gerakan dari bawah lengan menuju siku Ulangi pada lengan satunya, dari lengan bawah menuju siku g. Bilas tangan dan lengan bawah secara menyeluruh dan pastikan letak telapak tangan lebih tinggi dari siku. Posisi ini dipertahankan sampai sarung tangan telah terpasang h.

Tahap

pengeringan

menggunakan

kain/

handuk

steril

dengan

mempertahankan aliarn air tidak kembali ke telapak tangan dan saat menyeka, sisi yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi.

Penggunaan sarung tangan

Gambar: Penggunaan sarung tangan yang benar

Indikasi untuk hepatitis B Infeksi merupakan bahaya yang sangat nyata bagi lingkungan kedokteran gigi. Bidang kerja kedoteran gigi yang tidak lepas dari kemungkinan untuk berkontak langsung atau tidak langsung dengan mikroorganisme dalam rongga mulut pasien,

menyebabkan pengendalian infeksi dibutuhkan dalam berbagai tindakan termasuk tindakan esktraksi gigi. (Suleh, wowor, Christy, 2015).

ANESTESI Anestesi lokal bekerja dengan cara menghambat konduksi impuls rasa sakit dari sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat. Nervus alveolaris superior posterior merupakan nervus yang meninervasi bagian bukal pada gigi molar rahang atas. Nervus ini merupakan salah satu cabang dari nervus trigeminus yang terletak di dalam fossa pterigopalatinus dan berjalan pada tuberositas maksila. Nervus ini berperan dalam menerima stimulus atau sensitifitas yang terjadi pada gigi molar 3, molar 2 dan molar 1, termasuk juga mukosa, ginginva, periosteum dan tulang alveolar. Sesuai kasus ini dimana akan dilakukan pencabutan akar gigi 28, maka disarankan untuk melakukan injeksi paraperiosteal pada nervus alveolaris superior posterior.

Gambar: Injeksi paraperiosteal pada nervus alveolaris superior posterior.

EKSTRAKSI GIGI Gigi dicabut karena beberapa alasan, termasuk di dalamnya adalah karies (Wray, 2003), karies gigi merupakan sebagai penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi (pit, fissure dan daerah

interproximal) meluas ke arah pulpa. Pulpa yang terinfeksi akan menyebabkan terjadinya pulpitis yang lama kelamaan dapat mengakibatkan kematian pulpa karena gangrene pulpa. Infeksi dari gangrene pulpa akan meluas keluar dari Karies yang meluas dan tidak dirawat dapat mengakibatkan hilangnya mahkota gigi sepenuhnya dan menyisakan akar (sisa akar) atau disebut juga sebagai gangren radiks. Gangren radiks biasanya memiliki lesi periapikal yang bersifat kronis dengan tidak ada gejala ataupun eksaserbasi akut akibat infeksi sekunder yang mengakibatkan rasa sakit. Beberapa lesi periapikal yang sering terjadi di antaranya adalah, granuloma periapikal dan kista radicular (Soemartono, 2000) (archer,1975) (Pramono D, 2006). Gejala klinis dari granuloma periapikal dan kista radikular sangat sulit dibedakan, biasanya pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri, dengan tes perkusi dan druk negatif. Oleh karena berhubungan dengan pulpa yang telah nekrosis, stimulasi thermal akan menunjukkan nilai yang negatif. Gambaran radiografi akan menunjukkan adanya radiolusen dengan batas yang jelas. Meskipun pemeriksaan dengan radiografi merupakan kunci diagnostik, namun terkadang masih terdapat kesulitan pada penegakan diagnose antara kedua lesi ini. satu satunya cara untuk dapat

membedakan

keduanya

secara

akurat

adalah

dengan

menggunakan

pemeriksaan mikroskopik (Hamsafir, 2010). Pilihan perawatan dari kedua lesi ini adalah endodontic intrakanal ataupun pencabutan. Pada kista periapikal, perawatan endodontik intrakanal mengurangi kegagalan perawatan, perlu dilakukan reseksi apeks dan kuretase apical. Ada bukti yang baik bahwa granuloma periapikal memiliki respon yang bagus dengan pengobatan endodontic tanpa bedah, namun belum diketahui respon dari pengobatan kista tanpa bedah (Shear, 1995). Pencabutan adalah salah satu terapi dari lesi periapikal di atas untuk menghilangkan sumber infeksi, namun perlu diperhatikan bahwa penatalaksanaan pencabutan yang tidak tepat dapat mengakibatkan kegagalan dalam menghilangkan

lesi atau dapat terjadi infeksi sekunder bahkan dapat terjadi kerusakan tulang rahang akibat ekspansi kista radikular yang tidak terambil. Pencabutan gigi secara umum memang harus mengikuti falsafah kehati- hatian, namun pencabutan gigi dengan kondisi sisa akar seharusnya hal tersebut betul-betul diterapkan. Adakalanya para praktisi dokter gigi yang bertugas didaerah terpencil dimana peralatan yang tersedia di pusat pelayanan kesehatan terbatas biasanya pencabutan gigi tanpa disertai kajian radiografis gigi yang bersangkutan. Sehingga alangkah bijak bila pencabutan gigi sisa akar yang kronis minimal selalu disertai tindakan kuretase pada jaringan periodontalnya untuk menghindari sisa dental granuloma maupun kista yang mungkin sudah terbentuk di periapikal gigi tersebut. Teknik yang digunakan dalam pencabutan gigi dengan kondisi sisa akar hampir sama dengan pencabutan gigi geligi biasa, hanya pada pemilihan penggunaan forcep yang berbeda dimana pada gigi dengan kondisi sisa akar, digunakan forcep yang memiliki beak yang tertutup dan penggunaan elevator sering kali diterapkan. Penentuan metode pencabutan gigi sisa akar dengan kelainan periapikal ditentukan

setelah

dilakukan

diagnostik

klinis

maupun

radiografis

(bila

memungkinkan), terdapat dua macam metode pencabutan gigi sisa akar dengan kelainan periapikal dental granuloma maupun kista radikular dan pilihan metode yang digunakan tergantung ukuran dan lokasi kista yang terlibat(Archer,1975)(Kruger, 1974)(Peterson et al. 1998) Metode pertama adalah close methode yaitu pencabutan gigi disertai kuretase pada jaringan periodontal tanpa prosedur pembuatan flap mukosa, metode ini digunakan bila kelainan periapikal dental granuloma atau kista radikular ukuranya kecil sehingga biasanya granuloma atau kista tersebut ikut terambil saat dilakukan pencabutan gigi. Metode kedua adalah open methode yaitu pencabutan gigi disertai pengambilan kista dengan prosedur pembuatan flap mukosa dan pengambilan sebagian tulang yang

menutupinya, metode ini digunakan bila kista radikular yang terlibat cukup besar sehingga diperlukan akses yang cukup untuk mengambil kista, metode ini diakhiri dengan pengembalian flap dan penjahitan. Prosedur pencabutan gigi sisa akar sama seperti prosedur pencabutan pada gigi biasa hanya setelah pencabutan gigi, alveolus diperiksa secara teliti dengan cara visual. Kondisi alveolus dan tepi oklusal alveolus, serta adanya jaringan lunak patologis semuanya harus diperhatikan. Kuret yang tersedia dalam berbagai konfigurasi merupakan alat yang ideal untuk memeriksa alveolus. Alat ini digunakan untuk melepaskan keping-keping atau potongan-potongan tulang, jaringan granulasi dan juga dinding granuloma maupun kista. Pada kista radikular, ada dua metode utama dalam perawatannya, yaitu enukleasi (pengambilan epitel tepi kista secara total) dan juga marsupiliasi (pembuatan bukaan permanen ke dalam kavitas kista). Pada enukelasi, dibentuk mukoperiosteal flap kemudaian dilakukan pengeboran tulang untuk membentuk akses yang cukup, kemudian tepi kista dipisahkan dengan elevator tulang atau kuret. Marsupiliasi dilakukan agar cairan kista dapat memiliki akses keluar sehingga tidak terjadi ekspansi dan penekanan tulang yang mengakibatkan kerusakan juga menyebabkan kavitas kista semakin kecil. Mayoritas kista dirawat dengan enukleasi, sedangkan marsupiliasi dilakukan pada kategori pasien dengan kista yang besar (Wray, 2003) (Archer,1975)(Kruger, 1974)(Peterson et al. 1998). INSTRUKSI POST EKSTRAKSI Penyakit kronik seperti hepatitis dapat menyulitkan pencabutan gigi, karena dapat menghasilkan infeksi jaringan, penyembuhan yang tidak sempurna dan penyakitnya yang semakin memburuk. Sehingga harus ada instruksi khusus yaitu: 1. Istirahat 2. Perawatan Jaringan Luka 3. Perdarahan 4. Ketidaknyamanan

5. Diet 6. Oral Hygiene 7. Pembengkakan 8. Terapi Vitamin 9. Minum obat yang diresepkan khusus untuk penderita Hepatitis B (jika ada obat pendamping dari dokter spesialis penyakit dalam rujukan).

PEMBERIAN RESEP Tindakan ekstraksi pada penderita ini menyebabkan “prolonged hemorrhage” yaitu perdarahan yang terjadi berlangsung lama sehingga bila penderita akan menerima pencabutan gigi sebaiknya dirujuk terlebih dahulu kepada dokter spesialis penyakit dalam yang merawatnya atau sebelum eksodonsi lakukan premediksi dahulu dengan vitamin K.

3.

PEMBAHASAN

ALAT & BAHAN: 1.

PINSET KG Pinset KG dengan atau tanpa permukaan yang bergores pada ujung penjepit. Digunkan untuk mengambil atau menjepit kapas atau tampon.

2. KACA MULUT Dalam beberapa ukuran (mm) digunkan untuk melihat objek di rongga mulut

3.

SUCTION Suction yang digunakan bervolume kecil dan ujung aspirator harus sempit. Digunakan untuk menyerap cairan yang berlebihan atau yang keluar.

4.

TANG BAYONETE Untuk pencabutan gigi molar tiga atau sisa akar gigi-gigi posterior. Tang untuk pencabutan gigi molar rahang atas atau mahkota dibedakan atas kiri dan kanan sesuai bentuk beak. Sedangkan tang untuk gigi insisivus, kaninus dan premolar tidak dibedakan atas kanan atau kiri.

DASAR PATOFISIOLOGI Periodontitis apikalis kronis berkembang setelah meredanya fase akut dan infeksi sebagai akibat dari karies, trauma, dan prosedur iatrogenik. Periodontitis apikalis kronis biasanya diawali dengan periodontitis apikalis akut atau abses apikalis. Lingkungan saluran akar nekrosis kondusif untuk perkembangan mikrobiota yang didominasi oleh bakteri anaerob. Profil bakteri pada setiap individu berbeda bergantung pada nutrient yang ada pada mikrobiota itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa periodontitis apikalis memiliki etiologi yang heterogen dan tidak ada satu spesies yang dianggap sebagai patogen utama. Infeksi primer periodontitis apikalis kronis didominasi oleh bakteri anaerob. Menurut definisinya, PAK tidak menunjukkan gejala atau diasosiasikan dengan ketidaknyamanan yang ringan dan lebih baik diklasifikasikan sebagai periodontitis apikalis asimtomatik. Peridontitis apikalis kronis merupakan proses inflamasi yang berjalan lama dan lesi berkembang dan membesar tanpa ada tanda dan gejala subyektif. Tes vitalitas tidak memberikan respon karena secara klinis pulpa yang terlibat telah nekrosis. Karena pulpanya nekrosis, gigi dengan PAK tidak merespon stimuli elektrik atau panas. Perkusi menyebabkan sedikit nyeri atau tidak sama sekali. Terhadap palpasi mungkin sedikit sensitif yang mengindikasikan adanya perubahan pada pelat korteks tulang dari perluasan PAK ke jaringan lunak.

TEKNIK EKSTRAKSI Teknik ekstraksi gigi diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu (Bakar, 2012): 1. Close atau intralveolar yaitu teknik pencabutan gigi tanpa pembedahan. Teknik pencabutan gigi ini dilakukan dengan prosedur pencabutan gigi paa umumnya yang menggunakan alat seperti, forceps atau tang. Dalam melakukan pencabutan gigi tanpa pemedahan ternyata selain forceps masih ada alat lain yang dapat dipergunakan seperti elevator. Namun demikian bagi pemula dalam pencabutan gigi disarankan agar cukup menggunakan forcep sampai mahir dahulu sebelum mengembangkan diri untuk menggunakan elevator. 2. Open atau transalveolar yaitu suatu teknik pencabutan gigi dengan menggunakan prosedur bedah (surgical extraction) yang didahului dengan embuatan flap mukoperiosteal.

Pada kasus ini didapatkan gigi 28 dengan diagnosis periodontitis apikalis kronis ec gangren radiks disertai hepatitis B. Penyakit kronik seperti hepatitis dapat menyulitkan pencabutan gigi, karena dapat menghasilkan infeksi jaringan, penyembuhan yang tidak sempurna dan penyakitnya yang semakin memburuk. Kondisi sisa akar yang kronis perlu diwaspadai adanya kelainan periapikal seperti dental granuloma dan kista radikuler. Teknik yang digunakan dalam pencabutan gigi dengan sisa akar hampir sama dengan pencabutan gigi geligi biasa, hanya pada pemilihan penggunaan forcep yang berbeda dimana pada gigi dengan kondisi sisa akar, digunakan forcep yang memiliki beak yang tertutup dan penggunaan elevator juga sering digunakan. Sisa akar harus segera diambil. Untuk mengambil sisa akar dibutuhkan keahlian yang tinggi dan agar keadaan infeksi tidak menjadi lebih parah. Sisa akar yang tidak dapat dipegang dengan tang atau dikeluarkan dengan bein, terutama sisa akar yang berhubungan dengan sinus maksilaris dilakukan ekstraksi dengan teknik open method.

5.

KOMPLIKASI

Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera setelah pencabutan gigi dan jauh setelah pencabutan gigi.

A. KOMPLIKASI SELAMA EKSTRAKSI GIGI 1. Kegagalan Pemberian Anestesi Hal ini biasanya berhubungan dengan teknik yang salah atau dosis obat anestesi yang tidak cukup.

2. Kegagalan mencabut gigi dengan tang atau elevator Tang dan elevator harus diletakkan dan sebab kesulitan segera dicari jika terjadi kegagalan pencabutan dengan instrument tersebut

3. Perdarahan selama pencabutan Sering pada pasien dengan penyakit hati, misalnya seorang alkoholik yang menderita sirosis, pasien yang menerima terapi antikoagulan, pasien yang minum aspirin dosis tinggi atau NSAID lain sedangkan pasien dengan gangguan pembekuan darah yang tidak terdiagnosis sangat jarang. Komplikasi ini dapat dicegah dengan cara menghindari perlukaan pada pembuluh darah dan melakukan tekanan dan klem jika terjadi perdarahan.

4. Fraktur Fraktur dapat terjadi pada mahkota gigi, akar gigi, gigi tetangga atau gigi antagonis, restorasi, processus alveolaris dan kadang – kadang mandibula. Cara terbaik untuk mengindari fraktur selain tekanan yang terkontrol adalah dengan menggunakan gambar sinar x sebelum melakukan pembedahan.

5. Pergeseran Terlibatnya antrum, pergeseran gigi atau fragmen ke fosa intratemporalis, pergeseran gigi ke dalam mandibula merupakan komplikasi intra operatif. Pemeriksaan sinar X yang akurat diperlukan baik sebelum maupun intraoperatif.

6. Cedera jaringan lunak Komplikasi ini dapat dihindari dengan membuat flap yang lebih besar dan menggunakan retraksi yang ringan saja.

B. KOMPLIKASI SEGERA SETELAH EKSTRAKSI GIGI Komplikasi yang mungkin terjadi segera setelah ekstraksi gigi dilakukan antara lain : 1. Perdarahan Perdarahan ringan dari alveolar adalah normal apabila terjadi pada 12-24 jam pertama sesudah pencabutan atau pembedahan gigi. Penekanan oklusal dengan menggunakan kasa adalah jalan terbaik untuk mengontrolnya dan dapat merangsang pembentukan bekuan darah yang stabil. Perdarahan bisa diatasi dengan tampon (terbentuknya tekanan ekstravaskuler lokal dari tampon), pembekuan, atau keduanya.

2. Rasa sakit Rasa sakit pada awal pencabutan gigi, terutama sesudah pembedahan untuk gigi erupsi maupun impaksi, dapat sangat mengganggu. Orang dewasa sebaiknya mulai meminum obat pengontrol rasa sakit sesudah makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit.

3. Edema Edema adalah reaksi individual, yaitu trauma yang besarnya sama, tidak selalu mengakibatkan derajat pembengkakan yang sama. Usaha – usaha untuk mengontrol edema mencakup termal (dingin), fisik (penekanan), dan obat – obatan

4. Reaksi terhadap obat Reaksi obat – obatan yang relative sering terjadi segera sesudah pencabutan gigi adalah mual dan muntah karena menelan analgesik narkotik atau non narkotik. Reaksi alergi sejati terhadap analgesik bisa terjadi, tetapi relative jarang. Pasien dianjurkan untuk menghentikan pemakaian obat sesegera mungkin jika diperkirakan berpotensi merangsang reaksi alergi.

C. KOMPLIKASI JAUH SESUDAH EKSTRAKSI GIGI 1. Alveolitis Komplikasi yang paling sering, paling menakutkan dan paling sakit sesudah pencabutan gigi adalah dry socket atau alveolitis ( osteitis alveolar). 2. Infeksi Pencabutan suatu gigi yang melibatkan proses infeksi akut, yaitu perikoronitis atau abses, dapat mengganggu proses pembedahan. Penyebab yang paling sering adalah infeksi yang termanifestasi sebagai miositis kronis. Terapi antibiotik dan berkumur dengan larutan saline diperlukan jika terbukti ada infeksi yaitu adanya pembengkakan, nyeri, demam, dan lemas

KESIMPULAN Setelah kita analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi pasien dianjurkan untuk konsultasi kepada dokter yang berkompeten pada bidang hepatitis B atau pasien dianjurkan untuk melakukan tes laboratorium untuk melihat kondisi penyakit hepatitis B.

DAFTAR ISI Adriana Pakendek, 2010. Informed Concent dalam Pelayanan Kesehatan. Al ihkam, Vol 5, No (2), Desember 2010. Angela Gusiyska. PERIAPICAL RESORPTIVE PROCESSES IN CHRONIC APICAL PERIODONTITIS:

AN

OVERVIEW

AND

DISCUSSION

OF

THE

LITERATURE. 2014. Journal of IMAB; 601. Anita, D, A. 2004. Penatalaksanaan Kasus HIV / AIDS di Kamar Bersalin. Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Perjan Hasan Sadikin. Bandung. Archer W.H. Oral and Maxillofacial Surgery. W.B. Sounders. 1975. 
 Beste I, Elif NY, Naile C et al., 2014. Importance of taking Anamnesis in Dentistry and Assessment of Knowledge and Attitudes of Dental Students. Journal of Contemporary Dentistry, May-August 2014;4(2):87-91. Clement Solomon, etc. 1998. Ultraviolet Disinfection. Project funded by the U.S. Environmental Protection Agency under Assistance Agreement No. CX824652. Daniel J. Diekema, 2008. Achieving Immunity in Hepatitis B Vaccine Nonresponders. Published in Journal Watch Infectious Diseases July 2, 2008 DepKes RI. 2003. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Dionisius Felenditi. 2009. Penegakan Otonomi Pasien melalui Persetujuan Tindakan Medis (Informed consent). Vol.1, No(1), hal. 29-30. Giese N and J Darby. 2000. Sensitivity of microorganisms to different wavelengths of UV light. Hamsafir, Evan. Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Periapikal granuloma. www.infogigi.com/kesehatan-gigi. 2010. 


Heiserman, David. Oral and Maxilofacial Pathology. www.Free- Ed.net. 2006. implications on modeling of medium pressure UV systems. Water Research 34:4007–4013. Komalawati. Veronica, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Kruger. Gustav O. Textbook of Oral Surgery. W.B. Sounders. 1974. Liltved H and B Landfald. 2000. Effects of high intensity light on ultravioletirradiated and nonirradiated fish pathogenic bacteria. Water Research 34(2):481–486. Lyrawati, D. 2009. Prinsip dan Metode Pemeriksaan Fisik Dasar. Hal. 41-2. Meilan M. Suleh,Wowor, Christy, 2015. Pencegahan dan pengendalian infeksi silang pada Tindakan ekstraksi gigi di rumah sakit gigi dan Mulut pspdg fk unsrat. Vol. III, no 2 Melok A W. Perbedaan Kadar Matriks Metalloproteinase-8 setelah scalling dan pemberian tetrasiclin pada Penderita Periodontitis Kronis. Jurnal PDGI 2009;54(2):3-10. Mikaeloff Y, Caridade G, Rossier M, Suissa S, Tar- dieu M. 2007 Hepatitis B Vaccination and The Risk of Childhood-onset Multiple Sclerosis. Arch Pediatr Adolesc Med. 2007 Dec;161(12):1176-82. Nursalam dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika. Peterson et .al. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. Mosby. 1998 Peterson, LJ. 2004. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd ed St. Louis. Livingstone. Pramono D. Coen. Kista Odontogen 
 dan Nonodontogen. Airlangga university Press. 2006.

Rocassa IN and Siqueira JF. Root canal microbiota of teeth with chronic apical periodontitis. J.Clin. Mikrobial;2008:46(11):3599-606. RW Walker, etc. February 2012. The Efficacy of Ultraviolet Radiation for Sterilizing Tools Used for Surgically Implanting Transmitters into Fish. US Army Corps of Engineers. Shear, Mevyn. Kista Rongga Mulut. Jakarta : EGC. 1995. 
 Soemartono. Infeksi Odontogenik dan Penyebarannya. Untuk pelatihan spesialis kedokteran gigi bidang bedah mulut. 2000 Soemartono. Infeksi Odontogenik dan Penyebarannya. Untuk pelatihan spesialis kedokteran gigi bidang bedah mulut 6 juni 2000 s/d 30 juni. 2000. 
 Stefanac SJ, Nesbit SP. 2017. Diagnosis and Treatment Planning in Dentistry 3rd edition. Elsevier Health Sciences, hal. 5. Summerfelt ST. 2003. Ozonation and UV irradiation—an introduction and examples of current applications. Aquacultural Engineering 28:21–36. Topazian, Richard G., Goldberg M. H. Oral and Maxillofacial Infections. Philadelphia: WB.Saunders Company. 1994. Wedemeyer GA. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems. Chapman & Hall, New York. Wray, David. General and Oral Surgery. London : Churchill Livingstone. 2003. 


Related Documents

Tm Skenario 2.docx
May 2020 19
Tm
June 2020 28
Tm
November 2019 57
Tm
November 2019 61
Tm
November 2019 49
Tm
May 2020 21

More Documents from ""

Kasus3.docx
May 2020 3
Tm Skenario 2.docx
May 2020 19
October 2019 14
Etiquetas.pdf
October 2019 7