Tk_dwi Luthfi Ainun Ilmi_03031281621051.docx

  • Uploaded by: Dwi Luthfi Ainun Ilmi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tk_dwi Luthfi Ainun Ilmi_03031281621051.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,899
  • Pages: 7
Nama NIM

: Dwi Luthfi Ainun Ilmi : 03031281621051

METODE PENGAWETAN TEMPE

1.1.

Metode Pengeringan Pengeringan merupakan suatu proses pindah panas dan kandungan air

bahan yang yang berlangsung secara simultan. Panas yang dibawa oleh media pengering (udara) digunakan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan. Uap air tersebut akan dilepaskan dari permukaan bahan yang ingin dikeringkan ke udara pengering (Brooker dkk, 1974). Sedangkan menurut Henderson dan Perry (1976), pengeringan adalah proses penurunan kadar air sampai pada kadar air kesetimbangan dengan udara normal atau kadar air tertentu sehingga penurunan mutu akibat jamur, aktivitas enzim dan serangga dapat diabaikan. Beberapa keuntungan yang mungkin diperoleh dari pengeringan antara lain adalah daya simpan yang menjadi lebih lama, harga menjadi lebih tinggi setelah beberapa bulan masa panen, nilai ekonomi menjadi lebih tinggi, mutu hasil menjadi lebih baik dan limbah dapat dikonversi menjadi bahan yang berguna. Adapun kerugian yang mungkin timbul akibat adanya proses pengeringan antara lain adalah terjadinya perubahan sifat fisik, kimia, penurunan mutu dan beberapa bahan tertentu diperlukan perlakuan tambahan sebelum bahan kering dimanfaatkan. Henderson dan Perry (1976), menyatakan bahwa proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode laju pengeringan tetap dan periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan tetap terjadi sampai air bebas hilang dari permukaan dan kemudian laju pengeluaran air akan menjadi berkurang. Kadar air dimana laju pengeringan tetap berhenti dikenal sebagai kadar air kritis (critical moisture content), yaitu kadar air terendah pengeringan selama periode tersebut. Semakin tinggi suhu udara pengering, semakin besar perbedaan suhu, maka semakin besar kadar air yang dapat diuapkan dari dalam bahan pangan. Parameter di dalam proses pengeringan adalah suhu udara pengering, kelembaban nisbi udara pengering, kecepatan aliran udara pengering, laju pindah panas atau laju pengeringan, kadar air awal bahan dan kadar air akhir bahan yang dikeringkan. Udara mengandung uap air yang dinyatakan menggunakan kejenuhan relatif dan humiditas mutlak. Apabila humiditas udara rendah maka kemampuannya dalam

menyerap uap air dari dalam bahan akan semakin besar. Salah satu upaya untuk menurunkan humiditas udara adalah dengan pemanasan, mengingat humiditas udara tropis sangat tinggi maka dibutuhkan suhu pengeringan yang tinggi pula. Semakin tinggi suhu pengeringan semakin banyak air yang dapat dikeluarkan dari dalam bahan pangan sehingga kadar air bahan pangan pun semakin rendah Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang akhirnya menurunkan mutu bahan pangan tersebut. Kerusakan-kerusakan tersebut antara lain pembentukan warna coklat akibat reaksi browning non enzimatik, terjadinya shrinkage (keretakan jaringan bahan pangan), migrasi zat terlarut dan zat mudah menguap serta terbentuknya case hardening. Warna coklat pada tempe yang telah dikeringkan disebabkan oleh reaksi browning non enzimatik antara asam organik dan gula pereduksi. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan laju pencoklatan meningkat dua kali setiap 10oC (DeMan, 1997). Keawetan produk pangan yang dikeringkan selain dipengaruhi oleh kadar air juga dipengaruhi oleh aktivitas airnya. Aktivitas air menerangkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan apabila terikat kuat dengan komponen bukan air, lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia (Winarno, 1997). Pengurangan aktivitas air sampai di bawah 0,700 dianggap cukup baik untuk mencegah kerusakan mikrobiologis. Keuntungan pengeringan adalah tempe menjadi lebih awet dan volume tempe menjadi lebih kecil sehingga dapat mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat tempe juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transport. Biaya produksi tempe ini diharapkan menjadi lebih murah. Pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang dikeringkan dapat berubah. Perubahan ini misalnya bentuknya, sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu, dan sebagainya. Kerugian lain ini juga bisa disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum dipakai, misalnya harus dibasahkan kembali sebelum digunakan. Pengeringan ini agar dapat berlangsung, harus diberikan energi panas pada bahan yang dikeringkan, dan diperlukan aliran udara untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan.

1.2.

Metode Pendinginan dan Pembekuan Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku.

Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -240C, Pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan pada suhu -24 sampai -400C. Pembekuan cepat ini dapat terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit. Sedangkan pembekuan lambat biasanya berlangsung selama 30-72 jam. Pembekuan cepat mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara lambat karena kristal es yang terbentuk sehingga kerusakan mekanis yang terjadi lebih sedikit, pencegahan pertumbuhan mikroba juga berlangsung cepat dan kegiatan enzim juga cepat berhenti. Bahan makanan yang dibekukan dengan cara cepat mempunyai mutu gizi dan kandungan zat yang baik bagi tubuh lebih baik daripada pembekuan lambat (Kosawara, 2009). Pendinginan biasanya dapat mengawetkan tempe selama beberapa hari atau minggu tergantung pada bahan baku yang digunakan untuk pembuatan tempe, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam tempe. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan tempe tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika tempe beku misalnya dikeluarkan dari penyimpanan dan dibiarkan mencair kembali, pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian akan berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga memiliki perbedaan pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainnya. Beberapa tempe menjadi rusak pada suhu penyimpanan tempe yang terlalu rendah. Tempe diiris setebal 2-3 cm dan blanching dengan merendam dalam air mendidih selama 5 menit untuk non aktif pada kapang, enzim proteolitik, dan enzim lipolitik. Tempe kemudian dibungkus dengan plastik selofan dan dibekukan pada suhu -24 sampai -40°C. Tempe ini setelah beku dapat disimpan pada suhu beku selama 100 hari tanpa mengalami perubahan bentuk, warna, bau, dan rasa. 1.3.

Metode Pengemasan Proses memperpanjang masa simpan tempe olahan, beberapa perlakuan

dapat dilakukan, antara lain dengan pengemasan vakum. Pada dasarnya, dengan menggunakan vakum (mengeluarkan udara dari dalam kemasan) maka ketersediaan

udara (khususnya oksigen) akan berkurang. Dengan tidak adanya oksigen ini maka kerusakan-kerusakan akan diperlambat, sehingga umur simpannya menjadi lebih panjang. Jenis pengemas yang umumnya untuk pengemasan vakum adalah PE (polietilen), PP (polipropilen), dan Ni -PE (nilon-polietilen) (Syarief, 1993). Metode pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis, dan perubahan kadar air. Teknologi pengemasan memiliki perkembangan sangat pesat khususnya pengemas plastik yang dengan drastis mendesak peranan kayu, karton, gelas, dan metal sebagai bahan pembungkus primer. Berbagai jenis dari bahan pengepak seperti tetaprak, tetabrik, tetraking merupakan jenis teknologi baru bagi berbagai jus serta produk cair yang dapat dikemas dalam keadaan yang steril. Sterilisasi bahan kemasan biasanya dilakukan dengan cara pemberian cairan, uap hidrogen peroksida, sinar ultraviolet, dan radiasi gama. Jenis generasi baru bahan makanan pengemas ialah lembaran plastik berpori yang disebut dengan Sspore 2226. Sspore 2226 merupakan sejenis plastik yang memilki lubang-lubang. Plastik ini sangat penting penngunaanya bila dibandingkan dengan plastik yang lama yang harus dibuat lubang dahulu. Jenis plastik tersebut dapat menggeser pengguanaan daun pisang dalam proses pembuatan tempe dan lain sebagainya. 1.4.

Metode Pengalengan Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang

tertutup rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas. Metode pengalengan merupakan salah satu metode pengawetan tempe dengan cara mengepak tempe tersebut di dalam wadah gelas atau kaleng yang dapat ditutup secara hermetis sehingga kedap terhadap udara. air, mikroba, dan benda asing lainnya. Proses tersebut kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen dan pembusuk. Proses sterilisasi dilakukan dengan dipanaskan sampai suhu cukup untuk menghancurkan mikroorganisme pembusuk dan patogen di dalam bahan, kemudian didinginkan dengan cepat untuk mencegah terjadinya over cooking dari tempe serta menghindari aktifnya kembali bakteri tahan panas (thermofilik). Selama proses pengalengan diusahakan agar pemanasan yang diberikan tidak terlalu tinggi sehingga tidak merusak nilai gizinya.

Metode pengalengan secara hermetis ini memungkinkan makanan pada tempe dapat terhindar dari kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa. Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial atau bukan secara sterilisasi mutlak, mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain terutama yang bersifat tahan terhadap panas yang dapat merusak isi pada tempe apabila kondisi tempenya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada kondisi dan suhu yang sesuai dan dilakukan segera setelah proses pengalengan selesai. Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian dalam atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan produk dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama disterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah. Pengisian bahan ke dalam seragam dengan tujuan mempertahankan keseragaman rongga udara (head space), memperoleh produk yang konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap. Tempe mula-mula diiris-iris setebal 2-3 cm dengan panjang sebesar 2/3 panjang kaleng dan blancing dengan cara merendamkan tempe ke dalam air yang mendidih selama 5 menit untuk non aktif pada kapang, enzim proteolitik dan enzim lipolitik. Potongan-potongan tempe dimasukkan ke dalam kaleng sampai batas 0,25 inci dari permukaan kaleng. Larutan garam ditambahkan sebanyak 2 persen dalam keadaan panas sampai pada batas 0,25 inci dari permukaan kaleng. Larutan garam yang digunakan pada proses ini harus bersih yang dilakukan dengan cara menyaringnya terlebih dahulu. Kaleng yang telah diisi selanjutnya ditutup dengan cara memanaskannya di dalam air mandi sampai 2/3 bagian kaleng terendam dan dibiarkan sampai suhu 160°F selama 5-10 menit. Kaleng kemudian lekas ditutup menggunakan alat double seamer. Kaleng jangan dibiarkan menjadi dingin selama proses tersebut berlangsung. Kaleng yang sudah ditutup dimasukkan ke dalam autoclave kemudian dilakukan sterilisasi pada suhu 240°F selama 30 menit. Kaleng yang sudah disterilisasi tersebut harus langsung didinginkan dengan menggunakan air mengalir sampai kira-kira mencapai suhu 100°C. Kaleng kemudian dikeringkan dengan lap bersih dan disimpan.

1.5.

Metode dengan Menggunakan Bahan Kimia Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan

bahan yang terkandung di dalam tempe dari serangan mikroba pembusuk dan memberikan tambahan rasa sedap, manis, dan pewarna. Contoh beberapa jenis zat kimia adalah cuka, asam asetat, fungisida, antioksidan, in package desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion, dan growth regulatory untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman kerusakan pasca panen dan untuk memperpanjang kesegaran pada tempe. Nitogen cair sering digunakan untuk pembekuan secara tepat buah dan sayur sehingga dipertahankan kesegaran dan rasanya yang nyaman. Suatu jenis regenerasi baru growth substance sintesis yang disebut morfaktin telah ditemukan dan diaplikasikan untuk mencengah kerusakan pada tempe karena kapang, pemecahan klorofil, serta hilangnya kerenyahan pada tempe.

1.1.

Teknik Iradiasi Iradiasi adalah proses aplikasi radiasi energi pada suatu sasaran.

Iradiasi juga merupakan suatu teknik yang menggunakan pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah. Iradiasi juga menggunakan teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber iradiasi buatan. Pada prinsipnya, proses iradiasi berfungsi sebagai pengawet untuk menggantikan pengawet dari bahan-bahan kimia yang membahayakan bagi manusia. Iradiasi bahan pangan dan makanan adalah salah satu teknologi pemrosesan pangan yang bertujuan untuk membunuh kontaminan biologis berupa bakteri, patogen, jamur, serangga, dan virus yang dapat merusak bahan pangan dan membahayakan konsumen dengan cara mengionisasi bahan pangan tersebut dengan menggunakan sinar tertentu. Iradiasi juga dapat membunuh berbagai kontaminan biologis yang dapat merusak pangan dan membahayakan konsumen. Iradiasi dapat mencegah penuaan bahan pangan yang disebabkan karena faktor internal pangan tersebut, misalnya pertunasan, sehingga berfungsi sebagai pengawet, serta dapat membuat bahan pangan tetap segar, karena proses iradiasi sendiri merupakan proses yang terjadi pada temperatur ambient (Winarno, 1980).

DAFTAR PUSTAKA

Brooker, D., dkk. 1974. Dryinng Cereal Grain. Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Wesport. DeMan, J. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB Henderson, S., dan Perry, R. 1976. Introduction of heat transfer. NewYork: Jhon Wiley and Sons. Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Sayuran dan Buah-buahan. Jakarta: Ebook Pangan.

Syarief, R. Dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Arcan Press. Winarno, F., 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno, F., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Related Documents


More Documents from "Widia Putri"