Nama
: Aura Nabilla
NIM
: 03031181621014
Mekanisme Reaksi Fermentasi Cuka Pembuatan Cuka Buah 1.1.
Cuka Buah Fermentasi Cuka buah dapat dibuat dari hampir seluruh jenis sumber karbohidrat
terfermentasi, termasuk anggur, sirup gula, sorghum, apel, pir, anggur, melon, kelapa, salak, nanas, bir, madu, dan lain-lain. Cuka buah merupakan produk olahan dari jenis buah tertentu yang dihasilkan dari dua fermentasi, yaitu fermentasi alkohol (yang mengubah gula menjadi etanol oleh aktivitas khamir, biasanya oleh Saccaromyses cerevisiae) dan fermentasi asam asetat (oleh mikroorganisme kelompok Acetobacter yang mengoksidasi etanol menjadi asam asetat). Buah yang umumnya dimanfaatkan sebagai cuka adalah buah apel. Cuka apel banyak dimanfaatkan karena buah apel sangat efektif untuk menghambat dan membunuh virus, selain itu terdapat banyak kandungan penting dalam apel, seperti kandungan asam klorogenik, flavonoid, fitokimia, tanin, pektin, dan sorbitol (zat pencahar) yang dapat menghalangi pembentukan sel-sel kanker. Kandungan kalium di dalam buah apel efektif memelihara kesehatan tulang. Zat sorbitol pada apel membantu pembuangan zat yang tidak berguna pada tubuh, sehingga memperlancar buang air besar. Asam asetat adalah komposisi kimia yang paling mendominasi. 1.2
Fermentasi Anaerob Pada tahap ini terjadi perubahan glukosa menjadi etanol. Bahan baku
fermentasi menjadi etanol yang dapat difermentasi adalah bahan baku yang mengandung glukosa, sehingga dapat dihidrolisis. Bahan baku tersebut antara lain seperti gula (sukrosa), bahan berpati, dan bahan berselulosa. Bahan baku fermentasi glukosa menjadi etanol yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme adalah gula. Sumber glukosa yang akan dihidrolisa dapat berasal dari buah, contohnya adalah bonggol pisang yang mengandung pati sebesar 76%. Pati yang terdapat dalam bonggol pisang dapat diubah menjadi glukosa melalui proses hidrolisis. Proses hidrolisis merupakan reaksi kimia yang terjadi antara air dan pati yang menghasilkan zat baru berupa glukosa. Proses hidrolisis bertujuan untuk menghasilkan monomer-monomer glukosa dari selulosa maupun hemiselulosa. Hidrolisis dapat dilakukan dengan bantuan asam golongan asam kuat, seperti asam
sulfat dan asam klorida. Proses ini juga dapat dilakukan dengan bantuan enzim pada temperatur, pH, dan waktu tertentu. Hidrolisis pati dengan air berlangsung sangat lambat, sehingga diperlukan katalisator yang dapat mempercepat keaktifan air. Persamaan hidrolisis dari bahan yang mengandung pati menggunakan katalisator golongan asam kuat dapat dijabarkan, sebagai berikut (Kwartiningsih, 2005). HCl
n(C6H10O5) + n(H2O) → n(C6H12O6) Pati
Air
. . . (1)
Glukosa
Fermentasi dapat diartikan sebagai deasimilasi anaerobik senyawasenyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Fermentasi anaerobik pada pembuatan cuka buah juga dikenal dengan proses alkoholisis, dimana gula akan diuraikan menjadi etanol (C2H5OH) dan karbondioksida (CO2) yang disebabkan karena aktivitas sel-sel mikroorganisme anaerob. Mikroorganisme yang berperan dalam tahap alkoholisis adalah ragi, yaitu Saccaromyses cerevisiae. Reaksi fermentasi glukosa menjadi etanol, dapat dijabarkan sebagai berikut: S. cerevisiae
(C6H12O6) → Glukosa
2 C2H5OH + 2 CO2 Etanol
. . . (2)
Karbon dioksida
Fermentasi ragi digunakan untuk menghasilkan alkohol. Konsenstrasi dari alkohol yang dihasilkan disesuaikan menjadi antara 10-13%. Selama proses fermentasi alkohol, terjadi serangkaian reaksi sehingga dihasilkan amil alkohol dan karbondioksida. Alkoholisis biasanya dilakukan dalam wadah tertutup, dimana peran bakteri dapat memperlambat proses asetifikasi. Asetifikasi dihambat agar produk yang dihasilkan hanya berupa etanol dan karbon dioksida. Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses fermentasi glukosa menjadi etanol (Atro dkk, 2015). 1.2.1.
pH Proses fermentasi glukosa menjadi etanol dapat berjalan dengan baik pada
rentang pH cenderung asam, yaitu antara 4,8-5,0. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan cara menambahkan larutan yang bersifat asam oksidator kuat, seperti HCl 0,1 N jika substratnya basa. Sementara itu, jika substratnya terlalu asam dapat dilakukan dengan penambahan larutan basa kuat, yaitu NaOH 0,1 N.
1.2.2.
Nutrisi Substrat Semua mikroorganisme pada dasarnya memerlukan energi untuk aktivitas
metabolismenya. Energi yang dibutuhkan untuk proses metabolisme berasal dari nutrisi yang ada pada media. Nutrisi yang dibutuhkan adalah: karbon, nitrogen, fosfor, mineral, dan vitamin. Mikroorganisme heterotrof ini menggunakan sumber karbon sebagai sumber dari senyawa organik untuk menghasilkan energi. Nitrogen adalah komponen penyusun protein dan asam amino (Ayres, 1980). Asam-asam amino tersebut digunakan oleh mikroorganisme sebagai penyusun sel. Fosfor pada mikroorganisme dibutuhkan sebagai komponen ATP, asam nukleat, dan sejumlah koenzim seperti NAD, NADP, dan flavin. Mineral merupakan bagian dari sel yang berfungsi sebagai penyusun sel, mengatur tekanan osmosis, mengatur kadar ion H+ (keasaman), dan mengatur proses oksidasi-reduksi media. Vitamin berfungsi membentuk substansi yang mengaktifkan enzim. 1.2.3.
Jumlah Saccaromyses Cerevisiae Jumlah Saccaromyses cerevisiae yang terlibat dalam proses fermentasi
glukosa menjadi etanol sangat mempengaruhi cepat lambatnya proses fermentasi. Penggunaan jumlah substrat yang bervariasi dapat menyebabkan keberlangsungan proses dan mutu produk juga berubah-ubah. Jumlah substrat yang ditambahkan berkisar antara 3-10% dari volume medium fermentasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah substrat optimum untuk proses fermentasi adalah 8%. 1.2.4.
Suhu Fermentasi Mikroorganisme mempunyai suhu pertumbuhan minimal, maksimal, dan
optimal. Suhu optimal adalah suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri yang cepat. Suhu optimal yang diperlukan untuk fermentasi S. cerevisiae yaitu 28-30°C, sedangkan suhu maksimal berkisar antara 35-47°C. Suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan mikroorganisme terdenaturasi, sedangkan suhu yang terlalu rendah akan mengakibatkan mikroorganisme tidak aktif. 1.2.5.
Waktu Fermentasi Waktu yang diperlukan untuk mengubah glukosa menjadi etanol berkisar
antara 3-7 hari. Waktu yang terlalu singkat akan membuat glukosa belum teruraikan semua, sehingga kadar etanol yang dihasilkan rendah. Waktu fermentasi yang
terlalu lama akan mengakibatkan glukosa yang terkandung dalam medium habis terpakai, karena glukosa digunakan sebagai sumber nutrisi sehingga kadar etanol yang diperoleh menurun. Kadar etanol terbaik diperoleh pada waktu 5 hari.
Gambar 1. Breakdown Proses Fermentasi Alkohol
Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 15-20%, untuk memperoleh etanol dengan konsentrasi tinggi perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian biasanya dilakukan dengan menggunakan proses destilasi. Destilasi adalah proses pemisahan berdasarkan titik didihnya, dimana titik didih air adalah 100°C dan titik didih etanol adalah 78°C. Pada suhu operasi destilasi 78°C, etanol menguap dan terkondensasi sehingga dihasilkan destilat etanol dengan 95% berat (Buckle dkk, 1987). 1.3.
Fermentasi Aerob Asam cuka dihasilkan melalui proses fermentasi etanol secara aerob,
sehingga dihasilkan asam cuka. Mikroorganisme yang digunakan dalam fermentasi ini adalah Acetobacter aceti. Fermentasi ini optimal berlangsung dengan adanya udara dikarenakan Acetobacter aceti merupakan bakteri aerob obligatif. Reaksi fermentasi aerobik dapat dijabarkan dengan mekanisme, sebagai berikut: Acetobacter aceti
C2H5OH + O2 →
CH3COOH + H2O
Etanol
Asam Asetat
Oksigen
. . . (3)
Air
Perubahan etanol menjadi asam cuka merupakan aktivitas dari Acetobacter aceti. Menurut Frazier dan Westhoff, konsentrasi alkohol yang tinggi dapat menyebabkan penghambatan metabolisme bakteri asam laktat sehingga proses asetifikasi terhenti. Penghambatan metabolisme juga menyebabkan proses oksidasi alkohol menjadi
asam asetat dapat terhenti, sehingga nantinya proses fermentasi akan berujung pada kegagalan. Penghambatan tersebut terjadi pada konsentrasi alkohol berkisar antara kadar 14-15%. Selain itu, ada beberapa faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi terjadi atau tidaknya proses fermentasi etanol menjadi asam asetat secara aerob. 1.3.1
Jumlah Acetobacter Aceti Jumlah dari bakteri Acteobacter aceti yang terlibat selama proses
fermentasi etanol menjadi asam cuka sangat berpengaruh terhadap kecepatan proses dari fermentasi itu sendiri. Jumlah A. aceti yang digunakan dalam proses tersebut berkisar antara 5-15% dari jumlah media fermentasi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, jumlah A. aceti yang paling baik dalam proses fermentasi etanol menjadi asam cuka adalah 10% dari jumlah volume media fermentasi tersebut. 1.3.2.
pH pH merupakan ukuran yang menyatakan derajat keasaman suatu larutan.
Proses fermentasi etanol menjadi asam cuka dapat berjalan dengan baik pada pH optimal antara 5,4-6,3. Pada pH yang terlalu tinggi akan mengakibatkan A. aceti mengalami kerusakan sel, sementara itu pada pH yang terlalu rendah A. aceti akan mengalami tidak aktif sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung. 1.3.3.
Suhu Fermentasi Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses fermentasi.
Setiap mikroorganisme memiliki suhu maksimal, minimal, dan optimal. Suhu pertumbuhan A. aceti berkisar antara 5-42°C. Sementara itu, suhu optimalnya berkisar antara 25-30°C. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan suhu yang paling baik bagi pertumbuhan dari bakteri A. aceti adalah 25°C. 1.3.4.
Nutrisi Substrat Bakteri jenis Acetobacter aceti membutuhkan nutrisi untuk melakukan
fermentasi etanol menjadi asam cuka. Nutrisi pada media fermentasi adalah zat-zat yang mengandung fosfor dan nitrogen, seperti senyawa fosfat, amonium sulfat, amonium fosfat, urea, dan magnesium sulfat. Bakteri A. aceti membutuhkan unsur C, H, O, N, dan P dalam jumlah yang cukup besar. Jika kekurangan unsur C, H, O, N, dan P maka bakteri tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Mikroorganisme memerlukan energi untuk metabolismenya (Palimbong, 2017).
DAFTAR PUSTAKA Atro, R. A., dkk. 2015. Keberadaan Mikroflora Alami dalam Fermentasi Cuka Apel Hijau (Malus sylvestris). Jurnal Biologi Universitas Andalas. 4(3): 158161. Ayres, J. D. 1980. Microbiology of Foods. San Fransisco: W. H. Freeman Company. Buckle, K. A., dkk. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Kwartiningsih, E. 2005. Fermentasi Sari Buah Nanas Menjadi Vinegar. Jurnal Sains. 4(1): 8-12. Palimbong, S. 2017. Pengaruh Konsentrasi Acetobacter aceti dan Lama Fermentasi terhadap Total Asam Cairan Fermentasi Pepaya Burung. Jurnal Sains dan Teknologi Pangan. 2(2): 478-485.