Nama
: Tri Meliasari
NIM
: 03031181621031
Shift
: Jumat (13.30-16.30 WIB)
Kelompok : 1 BIOHERBISIDA Gulma adalah salah satu jenis tanaman yang mana tidak diharapkan keberadaan nya karena mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya. Keberadaan gulma pada lahan pertanian sering menyebabkan penurunan hasil dan mutu biji. Penurunan hasil tersebut tergantung pada jenis gulma, kerapatan, lama persaingan dan senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh gulma. Selain itu, gulma pada area pertanian juga dapat menyebabkan berkembangnya hama penyakit. Oleh karena itu para petani melakukan pengendalian gulma secara intensif karena kerugian yang diperoleh dari kehadiran gulma-gulma tersebut (Fadhly dan Tabri, 2007). Pengendalian gulma pada lahan tanaman budidaya umumnya dapat dilakukan dengan pengolahan tanah, penyiangan dan penggunaan herbisida. Pengolahan tanah dan penyiangan merupakan pengendalian gulma secara konvensional. Pengendalian gulma dengan cara ini memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang besar. Penggunaan herbisida kimia memberikan beberapa masalah bagi lingkungan. Keracunan pada organisme non target, polusi sumber air dan kerusakan tanah merupakan contoh dampak negatif dari penggunaan herbisida kimia. Herbisida kimia juga menghasilkan residu-residu yang dapat menyebabkan keracunan dan penyakit pada organisme lain. Dengan adanya dampak negatif dari pengendalian gulma yang sebelumnya telah diterapkan, maka diperlukan usaha pengendalian gulma alternatif yang ramah lingkungan (Appleton, 2004). Ciri-ciri gulma berbahaya atau sangat merugikan antara lain: memiliki pertumbuhan vegetatif yang cepat, memperbanyak diri lebih awal dan efisien, memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dan juga beradaptasi pada kondisi lingkungan yang kurang baik, memiliki sifat-sifat dormansi, dapat menurunkan produksi meskipun pada populasi gulma rendah. Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan herbisida merupakan salah satu upaya untuk meniadakan atau mengurangi populasi gulma tanpa mengganggu tanaman (Sembodo, 2010). Salah satu alternatif usaha pengendalian gulma tersebut yang aman adalah dengan menggunakan herbisida. Herbisida adalah salah satu jenis dari pestisida. Pestisida atau disebut juga pembasmi hama adalah bahan yang digunakan untuk
mengendalikan, menolak, atau membasmi organisme pengganggu. Sasarannya bermacam-macam, seperti serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan, atau mikrobia yang dianggap mengganggu. Menurut Sukman (1995), herbisida merupakan
senyawa
kimia
untuk
menekan
pertumbuhan
gulma
tanpa
mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Pestisida mencakup semua jenis bahan kimia, agen biologis, atau desinfektan yang menyingkirkan hama. Herbisida ialah jenis pestisida yang khusus menargetkan gulma dan juga tanaman lain yang tak diinginkan. Herbisida pratumbuh ialah herbisida yang diberikan sebelum gulma tumbuh pada suatu areal pertanamannya (Moenandir, 1990). 1.
Alasan Timbulnya Bioherbisida Tanaman sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur sepertiga
sampai setengah umur tanaman maka pada saat itulah waktu yang tepat untuk dilakukan pengendalian gulma. Berbagai banyak upaya-upaya telah dilakukan untuk memberantas atau mengendalikan pertumbuhan gulma ini, salah satunya adalah dengan menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida sintetis yang berlebihan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan, karena sifatnya yang sulit terurai dalam tanah sehingga meninggalkan residu atau terjadi pengendapan bahan toksikan pada medium tanah (bioakumulasi) dan biomagnifikasi (pembesaran kadar bahan toksikan melalui rantai makanan). Hal tersebut dapat membahayakan organisme lain terutama manusia sebagai konsumen terakhir (biomagnifikasi) pada rantai makanan dari tanaman padi ini. Adanya fenomena tersebut menjadi pemicu timbulnya banyak penelitian yang berusaha mencari solusi, yaitu suatu bahan alami yang dapat digunakan sebagai bioherbisida yang sifatnya aman karena mudah terdegradasi dalam tanah sehingga tidak meninggalkan residu. Salah satu hasil dari karya penelitian yang dapat dijadikan alternatif penggunaan herbisida adalah pemanfaatan dari mekanisme senyawa alelopati dan fenol dari tumbuhan. Dalam hal ini diambil dua jurnal yang meneliti dua jenis pembuatan bioherbisida dan pengaruh di gulma. 2.
Dua Jurnal Bioherbisida Dua jurnal yang digunakan dalam hal ini memiliki sumber pembuatan
berbeda serta sasaran gulma yang juga berbeda. Jurnal pertama yaitu dengan judul
Studi Potensi Bioherbisida Ekstrak Daun Ketapang (Terminalia catappa) terhadap Gulma Rumput Teki (Cyperus rotundus). Jurnal kedua yaitu dengan judul Potensi Ekstrak Daun Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) sebagai bioherbisida penghambat perkecambahan Echinochloa colonum l. dan Amaranthus viridis. 2.1.
Sumber Kandungan Bioherbisida Alternatif pengendalian gulma pada saat ini yang berwawasan lingkungan
sedang marak dilakukan. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan mencari potensi dari senyawa golongan fenol dan kandungan senyawa alelopati dari tumbuhan-tumbuhan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bioherbisida. Jurnal pertama adalah bioherbisida dari ekstrak daun ketapang untuk gulma rumput teki. Masyarakat selama ini hanya mengenal tanaman ketapang sebagai tanaman peneduh kota dan belum banyak dimanfaatkan sehingga nilai ekonomisnya masih rendah. Ketapang diketahui mengandung senyawa obat seperti flavonoid, alkaloid, tannin, triterpenoid/steroid, resin, dan saponin. Kehadiran flavonoid, terpenoid, steroid, kuinon, tannin dan saponin pada ekstrak daun ketapang dapat diindikasikan untuk menjadi bioherbisida karena menurut senyawa seperti fenol, asam fenolik, koumarin dan flavonoid dari ekstrak tajuk sembung rambat dan ekstrak daun tembelekan dapat memberikan efek fitotoksisitas dan juga berat basah pada rumput-rumput teki tersebut. Jurnal kedua adalah bioherbisida dari ekstrak daun pinus untuk gulma jenis Echinochloa colonum l. dan Amaranthus viridis. Pinus merkusii memiliki saluran resin yang dapat menghasilkan suatu metabolit sekunder bersifat alelopati. Alelokimia pada resin tersebut termasuk pada kelompok senyawa terpenoid, yaitu monoterpen αpinene dan β-pinene. Senyawa ini diketahui bersifat toksik baik terhadap serangga maupun tumbuhan. Selain itu, senyawa tersebut merupakan bahan utama pada pembuatan terpentin. Monoterpen (C–10) merupakan minyak tumbuh-tumbuhan yang terpenting yang juga memiliki sifat yang beracun. Beberapa kajian ekologis pada daerah pertumbuhan pohon pinus menunjukkan tidak ada pertumbuhan tanaman herba, yang diduga karena serasah daun pinus yang terdapat pada tanah mengeluarkan zat alelopati yang menghambat pertumbuhan herba. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian
terhadap kemampuan daun pinus yang belum terdegradasi yang dapat menurunkan pertumbuhan panjang radikula kecambah sawi (Marisa, 1990). Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa pada daun Pinus merkusii mempunyai potensi sebagai bahan bioherbisida untuk mengontrol pertumbuhan gulma yang dapat menganggu pertumbuhan produksi tanaman pangan antara lain tanaman padi. Salah satu gulma yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman padi dalam hal ini adalah gulma dengan jenis E. colonum dan A. viridis. 2.2.
Proses Pembuatan Bioherbisida Jurnal pertama, proses pembuatannya yaitu media tanam yang digunakan
pada uji ini adalah tanah. Pertama-tama menyiapkan daun ketapang (Terminalia catappa) yang akan digunakan sebagai ekstrak herbisida nabati, dimana daun ketapang (Terminalia catappa) diperoleh di wilayah kampus ITS. Daun diambil secara acak yaitu dibagian pucuk pohon, bagian tengah pohon, dan bagian bawah pohon. Setelah itu daun diambil sebanyak 1000 gram, kemudian dicuci menggunakan air kran dan dibilas dengan aquades steril, setelah itu dikeringanginkan dengan suhu ruang sampai aquades yang ada dipermukaan daun kering. Daun yang sudah kering kemudian dipotong kecil-kecil dan dihancurkan daun tersebut hingga nantinya menjadi halus dengan menggunakan blender. Serbuk selanjutnya masing-masing daun ditimbang sebanyak 1000 gram lalu diekstrak menggunakan metode maserasi dengan pelarut polar, yaitu etanol 96% pada elyenmeyer 1000 ml hingga serbuk benar-benar terendam seluruhnya. Perendaman dilakukan pada suhu kamar hingga 24 jam. Setelah 24 jam, hasil maserasi disaring dengan corong Buchner yang dialasi kertas saring. Selanjutnya hasil ekstraksi diuapkan dengan menggunakan freeze-dryer sampai dihasilkan ekstrak murni ketapang (Terminalia catappa). Ekstrak (Terminalia catappa) tersebut disimpan di lemari es sampai saat digunakan untuk pengujian. Pembuatan konsentrasi herbisida nabati digunakan dengan perbedaan yang terdiri atas 100%, 75%, 50%, 25% dan 10% serta adanya kontrol yang menggunakan aquades. Umbi rumput teki yang sudah disemaikan selama 15 hari kemudian dipindahkan dari bak persemaian kedalam 24 buah polybag ukuran 5 kg. Pemindahan dilakukan pada sore hari atau pagi hari sekali. Masing-masing
polybag berisi 3 semaian umbi teki. Setelah itu penyiraman dengan menggunakan ekstrak daun ketapang (Terminalia catappa) berbagai konsentrasi dilakukan pada saat hari kedua setelah pemindahan dari bak semaian atau pada hari ke 17. Penyiraman ekstrak daun ketapang (Terminalia catappa) dilakukan setiap 2 hari sekali hingga hari ke 30 setelah tanam. Setiap penyiraman menggunakan pipet tetes sebanyak 10 tetes tiap tanaman. Jurnal kedua, proses pembuatannya yaitu Daun pinus segar sebanyak 100 gram dihancurkan dengan blender. Hancuran daun dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berukuran 250 ml, lalu ditambahkan aseton 70% sebanyak 200 ml dan kemudian dimaserasi (menggunakan shaker 125 rpm) selama 24 jam. Hancuran yang telah dimaserasi ini disaring dengan kertas saring sehingga didapatkan filtratnya. Filtrat disimpan dalam labu takar 1000 ml untuk kemudian diekstrak kasar. Apabila belum diekstrak kasar pada saat yang sama, filtrat disimpan dalam inkubator 10C, agar tidak mengalami perubahan kimiawi. Sementara itu, residu hancuran daun pinus ditambah lagi dengan aseton 70% sebanyak 200 ml dan kembali dimaserasi selama 24 jam, untuk kemudian disaring. Pekerjaan ini dilakukan berulang-ulang sehingga filtrat yang tersaring tidak lagi berwarna (bening). Pada saat akhir akan didapatkan filtrat sebanyak 1 liter. Pekerjaan yang sama dilakukan kembali sampai didapatkan filtrat sebanyak 2 liter. Larutan hasil filtrasi ini diekstrak kasar dengan “Vaccuum Rotary Evaporator”. penelitian ini Vaccuum Rotary Evaporator diset pada suhu 60C karena titik didih aseton (pelarut) berkisar antara 56,48-94,3C, sedangkan kisaran titik didih terpen adalah sekitar 150-180C pada tekanan atmosfer dan khususnya untuk kisaran titik didih α-pinen adalah sekitar 154,75C. Hasil akhir dari proses ekstraksi ini adalah berupa ekstrak kental yang didapatkan dari 2 liter filtrat lebih kurang 15 gram, dan disimpan dalam inkubator sebelum digunakan untuk perlakuan. Untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak yang diinginkan adalah dengan melarutkan ekstrak kental yang dianggap berkonsentrasi 100% di dalam air sumur. Uji daya hambat dilakukan dengan menambahkan ekstrak daun pinus dengan konsentrasi 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm dan 1.000 ppm pada masingmasing media perkecambahan E. colonum dan A. viridis serta sebagai kontrol
digunakan perkecambahan tanaman padi. Penentuan daya hambat ditentukan berdasarkan perbandingan jumlah biji yang tidak berkecambah dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa ditambahkan ekstrak daun pinus). 2.3.
Mekanisme Kerja Jurnal pertama dan kedua, mekanisme kerjanya yaitu mekanisme
penghambatan ini meliputi serangkaian proses kompleks yang melalui beberapa aktivitas metabolisme yang meliputi pengaturan pertumbuhan melalui gangguan pada zat pengatur tumbuh, pengambilan hara, fotosintesis, respirasi, pembukaan stomata, sintesis protein, penimbunan karbon, dan sintesis pigmen. Konsentrasi tertentu senyawa metabolit sekunder dan alellokimia yang digunakan sebagai bioherbisida dapat menghambat dan mengurangi hasil pada proses-proses utama tumbuhan. Hambatan tersebut misalnya terjadi pada pembentukan asam nukleat, protein, dan Adenosin Trifosfat (ATP). Jumlah ATP yang berkurang tersebut dalam hal ini dapat menekan hampir seluruh proses-proses metabolisme dari sel, sehingga sintesis zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tumbuhan pun akan berkurang. Masuknya senyawa metabolit sekunder dan alellopati yang digunakan sebagai bioherbisida bersama air ke dalam biji akan menghambat induksi hormon pertumbuhan seperti asam giberelin (GA) dan asam indolasetat (IAA) [10]. Dengan dihambatnya sintesis giberelin maka tidak akan terjadi pemacuan enzim α-amilase, akibatnya proses hidrolisis pati menjadi glukosa di dalam endosperma atau kotiledon berkurang. Pada gilirannya jumlah glukosa yang dapat dikirim ke titik-titik tumbuh lebih sedikit. Berkurangnya komponen makromolekul mengakibatkan terhambatnya sintesis protein yang juga akan berakibat pada terhambatnya sintesis protoplasma. Oleh karena itu proses pembelahan dan pemanjangan sel terhambat, yang berakibat pada terhambatnya proses perkecambahan dan pertumbuhan. Bahkan, walaupun terjadi proses pertumbuhan banyak pertumbuhan yang begitu tumbuh akan menjadi tidak normal atau cacat. Senyawa alelopati pada Pinus merkusii antara lain pinene dan tanin. Senyawa pinene dapat berpengaruh pada sistem metabolisme tumbuhan yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Mekanisme senyawa pinene berlangsung pada organel yang disebut sitokrom yaitu sitokrom P 450 dan
bekerjasama dengan sitokrom b5 yang terletak berdekatan dengan sitokrom P 450. Sitokrom ini terletak pada perbatasan permukaan luminal dinding sel dengan permukaan sitoplasma. Senyawa pinene yang masuk ke dalam sel akan segera dioksidasi dan juga akan mempengaruhi metabolisme sel-sel di dalamnya. Selain senyawa pinene, senyawa toksik yang terdapat pada pinus adalah tanin yang termasuk kelompok senyawa fenolik. Penelitian sebelumnya membuktikan
bahwa
tanin
dapat
menghambat
pertumbuhan
hipokotil,
menghilangkan kontrol respirasi pada mitokondria serta mengganggu transpor ion Ca2+ dan PO43-. Senyawa tanin juga dapat menonaktifkan enzim amilase, proteinase, lipase, urease, dan dapat menghambat aktivitas hormon giberelin
DAFTAR PUSTAKA Andi, Y., dan Surakusumah, W. 2007. Potensi Ekstrak Daun Pinus (Pinus Merkusii jungh. et de vriese) sebagai Bioherbisida Penghambat Perkecambahan Echinochloa colonum l. dan Amaranthus viridis. Jurnal Perennial. Vol. 4(1): 1-5. Appleton. 2004. Metsulfuron Methyl: Human Health and Ecological Risk Assessment. USDA. New York: Forest Service. Fadhly dan Tabri. 2007. Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Moenandir. 1990. Pengantar Ilmu Pengendalian Gulma. Jakarta: Rajawali Press. Sembodo. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Senjaya dan Surakusumah. 2007. Potensi Ekstrak Daun Pinus (Pinus merkusii) sebagai Bioherbisida Penghambat Perkecambahan Echinochloa colonum dan Amaranthu viridis. Jurnal Perennial. Vol 4(1): 1-5. Sukman. 1995. Gulma Dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Visita, D., dan Indah, K. 2013. Studi Potensi Bioherbisida Ekstrak Daun Ketapang (Terminalia catappa) terhadap Gulma Rumput Teki (Cyperus rotundus). Jurnal Sains dan Seni Pomits. Vol. 2(2): 59-63.