Gupta, V., Rajagopala, M., & Ravishankar, B. (2014). Etiopathogenesis of cataract: An appraisal. Indian Journal of Ophthalmology, 62(2), 103. doi:10.4103/03014738.121141. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 8th ed. China: Elsevier : 2016. Thompson, J., & Lakhani, N. (2015). Cataracts. Primary Care: Clinics in Office Practice, 42(3), 409–423. doi:10.1016/j.pop.2015.05.012 Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 19. Jakarta: Widya Medika, 2018.
I.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Penyebab tersering dari katarak adalah proses degenerasi yang menyebabkan lensa mata menjadi keras dan keruh. Pengeruhan lensa dapat dipercepat oleh faktor risiko seperti merokok, paparan sinar ultraviolet yang tinggi, alkohol, defisiensi vitamin E, radang menahun dalam bola mata, dan polusi asap motor atau pabrik yang mengandung timbal (Gupta, 2014). Cedera pada mata seperti pukulan keras, tusukan benda, panas yang tinggi, dan trauma kimia juga dapat merusak lensa sehingga menimbulkan gejala seperti katarak (Kanski et al, 2016). Katarak juga dapat terjadi pada bayi dan anak-anak yang disebut sebagai katarak kongenital. Katarak kongenital terjadi akibat adanya peradangan atau infeksi ketika hamil atau penyebab lainnya. Katarak juga dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit infeksi seperti infeksi rubella dan metabolik lainnya seperti diabetes mellitus (Gupta, 2014). Berikut Tabel 1. yang menunjukan faktor resiko dan populasi rentan penderita katarak (Gupta, 2014).
II.
PATOFISIOLOGI Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.
Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang
memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan hambatan jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori juga menyebutkan terjadi kondisi terputusnya protein lensa normal disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak (Kanski et al, 2016). Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori hidrasi dan sklerosis: 1. Teori hidrasi di mana terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitel lensa yang berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapat dikeluarkan dari lensa. Air yang banyak ini akan menimbulkan bertambahnya tekanan osmotik yang menyebabkan kekeruhan lensa (Thompson dan Lakhani, 2015).
2. Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula di mana serabut kolagen pada lensa terus bertambah, sehingga terjadi pemadatan serabut kolagen di tengah lensa. Makin lama serabut tersebut semakin bertambah banyak sehingga terjadilah sklerosis nukleus lensa (Thompson dan Lakhani, 2015). Perubahan yang terjadi pada lensa usia lanjut: 1.
Kapsula a. Menebal dan kurang elastic b. Mulai presbiopia
c. Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur d. Terlihat bahan granular 2.
Epitel semakin tipis a. Sel epitel (sel germinatif pada ekuator bertambah besar dan berat) b. Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
3.
Serat lensa a. Serat iregular b. Pada korteks jelas terlihat kerusakan serat sel c. Brown sclerotic nucleus, sinar ultraviolet lama - kelamaan merubah protein nukleus lensa, di mana warna coklat protein lensa nucleus pada penderita katarak mengandung lebih banyak histidin dan triptofan dibandingkan lensa normal d. Korteks tidak berwarna karena kadar asam askorbat tinggi dan menghalangi foto oksidasi.
Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat kolagen muda. Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparasi. Perubahan pada serabut halus multipel yang memanjang dari badan siliar ke
sekitar daerah di luar lensa akan menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan protein
lensa menyebabkan koagulasi,
sehingga
mengakibatkan pandangan dengan penghambatan jalannya cahaya ke retina.
Gambar . Penglihatan pada penderita katarak (Thompson dan Lakhani, 2015). III.
KLASIFIKASI Tabel 2. Klasifikasi Katarak (Kanski et al, 2016) Morfologi
Maturitas
Onset
Kapsular
Insipien
Kongenital
Subkapsular
Intumesen
Infantile
Kortikal
Immatur
Juvenile
Supranuklear
Matur
Presenile
Nuklear
Hipermatur
Senile
Polar
Morgagni
A. Definisi dan epidemiologi katarak senilis Katarak senilis merupakan tipe katarak didapat yang timbul karena proses degeneratif dan umum terjadi pada pasien di atas 50 tahun. Pada usia 70 tahun, lebih dair 90% individu mengalami katarak senilis. Umumnya mengenai kedua mata dengan salah satu mata terkena lebih dulu (Ilyas, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi onset, tipe, dan maturasi katarak senilis antara lain (Gupta, 2016) : 1. Herediter 2. Radiasi sinar ultraviolet 3. Faktor makanan 4. Krisis dehidrasional 5. Merokok
B. Patofisiologi Komposisi lensa sebagian besar berupa air dan protein yaitu kristalin. Kristalin α dan β adalah chaperon, yang merupakan heat shock protein. Heat shock protein berguna untuk menjaga keadaan normal dan mempertahankan molekul protein agar tetap inaktif sehingga lensa tetap jernih. Lensa orang dewasa tidak dapat lagi mensintesis kristalin untuk menggantikan kristalin yang rusak, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan lensa (Gupta, 2016).
Mekanisme terjadi kekeruhan lensa pada katarak senilis yaitu: 1. Katarak senilis kortikal
Gambar 6. Alur perkembangan katarak senilis kortikal (Vaughan et al, 2018).
Terjadi proses di mana jumlah protein total berkurang, diikuti dengan penurunan asam amino dan kalium yang mengakibatkan kadar natrium meningkat. Hal ini menyebabkan lensa memasuki keadaan hidrasi yang diikuti oleh koagulasi protein (Vaughan et al, 2018). Pada katarak senilis kortikal terjadi derajat maturasi sebagai berikut: a. Derajat separasi lamelar Terjadi demarkasi dari serat kortikal akibat hidrasi. Tahap ini hanya dapat diperhatikan menggunakan slitlamp dan masih bersifat reversibel (Vaughan et al, 2018).
b. Katarak insipien Merupakan tahap di mana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan adanya area yang jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari ekuator ke arah sentral (kuneiform) atau dapat dimulai dari sentral (Ilyas, 2010).
Gambar 7. Katarak insipien
c. Katarak imatur Kekeruhan pada katarak imatur belum mengenai seluruh bagian lensa. Volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik, bahan lensa yang degeneratif, dan dapat terjadi glaukoma sekunder (Ilyas, 2010).
Gambar 8. Katarak imatur
d. Katarak matur Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian lensa. Deposisi ion kalsium dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh pada derajat maturasi ini. Bila terus berlanjut, dapat menyebabkan kalsifikasi lensa (Vaughan et al, 2018).
Gambar 9. Katarak matur e. Katarak hipermatur Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah mencair. Cairan keluar dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi mengkerut (Gupta, 2016).
Gambar 10. Katarak hipermatur
f. Katarak Morgagni Merupakan kelanjutan dari katarak hipermatur, di mana nukleus lensa menggenang bebas di dalam kantung kapsul. Pengerutan dapat berjalan terus dan menyebabkan hubungan dengan zonula Zinii menjadi longgar.
Gambar 11. Katarak Morgagni Secara garis besar, pembagian katarak menurut stadiumnya dijelaskan pada tabel berikut. Tabel 2. Perbedaan stadium katarak Insipien
Imatur
Matur
Hipermatur
Kekeruhan
Ringan
Sebagian
Seluruh
Masif
Cairan lensa
Normal
Bertambah
Normal
Berkurang
(air masuk)
(air keluar)
Iris
Normal
Terdorong
Normal
Tremulans
Bilik mata depan
Normal
Dangkal
Normal
Dalam
Sudut bilik mata
Normal
Sempit
Normal
Terbuka/ tertutup lisis
Shadow test
-
+
-
Pseudops
Penyulit
-
Glaukoma
-
Uveitis fakotoksik,
fakomorfik
glaukoma fakolitik
2. Katarak senilis nuklear Terjadi proses sklerotik dari nukleus lensa, hal ini menyebabkan lensa menjadi keras dan kehilangan daya akomodasi. Maturasi pada katarak senilis nuklear terjadi melalui proses sklerotik, dimana lensa kehilangan daya elastisitas dan menjadi keras, yang mengakibatkan menurunnya kemampuan akomodasi lensa, dan terjadi obtruksi sinar cahaya yang melewati lensa mata. Maturasi dimulai dari sentral menuju perifer. Perubahan warna terjadi akibat adanya deposit pigmen. Sering terlihat gambaran nukleus berwarna coklat (katarak brunesens) atau hitam (katarak nigra) akibat deposit pigmen dan jarang berwarna merah atau katarak rubra (Ilyas, 2010).
Gambar 11. (a) katarak brunesens (b) katarak nigra (c) katarak rubra
IV.
MANIFESTASI KLINIS Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak terjadi secara progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan penglihatan bervariasi tergantung pada jenis dari katarak yang diderita pasien (Vaughan et al, 2018). Gejala pada penderita katarak adalah sebagai berikut: a. Penurunan visus b. Silau c. Perubahan miopik d. Diplopia monokular e. Halo berwarna f. Bintik hitam di depan mata Tanda pada penderita katarak adalah sebagai berikut: a. Pemeriksaan visus berkisar antara 6/9 sampai hanya persepsi cahaya b. Pemeriksaan iluminasi oblik c. Shadow test positif pada katarak imatur d. Oftalmoskopi direk menunjukkan gejala katarak e. Pemeriksaan slitlamp menunjukkan gejala katarak
Tabel 3. Derajat kekerasan nukleus yang dapat dilihat pada slitlamp