MANAJEMEN PTERIGIUM Maria Marcella Dokter Umum, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia Abstrak Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskular non maligna dari konjungtiva yang biasanya mencapai kornea dan berbentuk segitiga dimana proses pertumbuhannya terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang dominan. Faktor risiko terjadinya pterigium antara lain paparan sinar ultraviolet yg paling utama, paparan debu atau iritan, kekeringan pada mata, faktor genetik. Sebagai preventif, dapat digunakan kacamata yang dapat memblok sinar ultraviolet. Tantangan utama terapi surgikal adalah mengatasi komplikasi rekurensi yang sering terjadi, terbukti dengan pertumbuhan fibrovaskular dari limbus ke tengah kornea. Terapi surgikal dengan melakukan eksisi. Teknik eksisi antara lain bare sclera, conjunctival autograft technique, amniotic membrane grafting. Sebagai terapi tambahan surgikal untuk mengurangi tingkat rekurensi, dapat digunakan mitomycin-C, radiasi beta, dan anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). Kata kunci : eksisi, pterigium, ultraviolet
Pendahuluan Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang berarti sayap. Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskular non maligna dari konjungtiva yang biasanya mencapai kornea dan berbentuk segitiga dimana proses pertumbuhannya terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang dominan. Faktor risiko tumbuhnya jaringan tersebut antara lain : faktor genetik, letak geografis daerah yang mendapat paparan sinar matahari, paparan sinar UV, dan usia dewasa. 1
Gambar 1. Visualisasi Pterigium dari slitlamp. 2
Prevalensi pterygium ditemukan 10,2% di dunia, dengan prevalensi tertinggi di daerah ketinggian rendah. Peningkatan kejadian pterygium dicatat di daerah tropis dan di zona khatulistiwa antara 30 ° lintang utara dan selatan. Pterigium lebih sering terjadi pada daerah yang panas dengan iklim kering dimana prevalensinya dapat mencapai hingga 22 % pada daerah ekuator. Pada beberapa pulau-pulau tropis di Indonesia dilaporkan memeiliki tingkat prevalensi hingga 17%. Gazzard melakukan penelitian dan di Indonesia tahun 2002 prevalensi pterigium sebesar 10.0%. Prevalensi pterigium sesuai dengan Panduan Manajemen Klinis Perdami, insidensi pterigium cukup tinggi di Indonesia pada daerah dekat garis katulistiwa sebesar 13,1%. 2,3
Gambaran Klinis Pterigium Bentuk atau morfologi pterigium terdiri atas kapsul atau puncak yang merupakan zona mendatar pada kornea yang terdiri dari fibroblas yang menginvasi membran bowman; kepala yang merupakan area pembuluh darah di bawah puncak; dan badan atau ekor yang merupakan bagian pterigium yang mudah bergerak di konjungtiva bulbar. Invasi jaringan ini terlokalisasi di temporal ataupun nasal, lebih sering di nasal. Menurut Youngson, pterigium memiliki 4 derajat gambaran klinis. Derajat pertama jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea. Derajat kedua jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Derajat ketiga jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4mm). Derajat keempat jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. 4
Faktor Risiko Pterigium Pterigium terjadi akibat multifaktorial. Faktor risiko terjadinya pterigium antara lain paparan sinar ultraviolet, paparan debu atau iritan, kekeringan pada mata, faktor genetik. Paparan sinar ultraviolet disebut menempati peranan paling penting atas terjadinya pterigium namun patofisiologinya belum jelas hingga sekarang, diduga akibat paparan sinar ultraviolet terjadi kerusakan DNA, RNA, dan matriks ekstraselular. Ultraviolet-B memacu ekspresi sitokin dan faktor pertumbuhan di sel epithelial pterigial. Kekeringan pada mata ditemukan pada sebagian besar pasien pterigium namun patofosiologi belum diketahui jelas. Faktor genetik yang terjadi adalah polimorfisme dari gen Ku70 dari DNA yang menyebabkan predisposisi genetik terjadinya pterigium. 5 Patogenesis Pterigium Mekanisme patologis dari terjadinya pterygium belum diketahui secara sempurna; hanya terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis dari penyakit ini, antara lain teori paparan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth factor-sitokin pro inflamasi, dan teori stem cell.
Teori paparan sinar UV mengungkapkan Paparan terhadap terutama sinar UV-B menyebabkan terjadinya perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat pembentukan enzim metalloproteinase, dan juga terjadi peningkatan produksi dari interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi dari supresor gen tumor P53 sehingga terjadi proliferasi abnormal pada epitel limbus. 3 Teori growth factor dan pembentukan sitokin proinflamasi mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi inflamasi kronis pada pterigium merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin seperti, FGF, PDGF, TGF-β, dan TNF-α serta VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi sel, remodeling matriks ektra sel dan angiogenesis. 3
Teori stem cell menyatakan bahwa paparan faktor lingkungan (sinar ultraviolet, angin, debu) menyebabkan kerusakan sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro inflamasi sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell, dimana sel ini juga akan memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan mempengaruhi sel di limbus sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel yang akhirnya akan menimbulkan pterigium. 3 Diagnosis Pterigium Diagnosis pterigium ditentukan berdasarkan klinis. Sering terjadi asimptomatik. Jika ada berupa mata kering, berair, gatal, mata merah hingga penglihatan terganggu. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan visus atau tajam penglihatan dilanjutkan inspeksi pada slitlamp. Pada slitlamp, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada permukaan kojungtiva. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. 6 Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium dan pinguekula. Pseudopterigium adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal, biasa terjadi akibat trauma kimia pada mata. Sedangkan pinguekula merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi maupun karena air mata yang kurang baik. 6
Manajemen Pterigium Sebagai preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok sinar ultraviolet (UV-A dan UV-B) karena faktor risiko utama dari pterigium adalah paparan sinar ultraviolet. Manajemen dengan medikamentosa diperlukan apabila terdapat keluhan dari pasien. Obat yang dapat diberi adalah tetes mata artificial atau steroid tetes mata jika disertai inflamasi pada mata tersebut. Pemberian
medikamentosa ini tidak akan mengurangi atau memperparah progresivitas dari pterigium, hanya mengurangi keluhan yang terjadi. 1 Indikasi terapi surgikal antara lain : tajam penglihatan yang berkurang akibat astigmatisma yang timbul, adanya ancaman aksis visual terganggu, adanya gejala iritasi yang berat, dan indikasi kosmetik. 1 Tantangan utama terapi surgikal adalah mengatasi komplikasi rekurensi yang sering terjadi, terbukti dengan pertumbuhan fibrovaskular dari limbus ke tengah kornea. Bagaimanapun, langkah pertama untuk memperbaiki pterigium adalah dengan melakukan eksisi. Teknik eksisi antara lain :1,3,5
Gambar 2. Teknik Eksisi Pterigium 1. Bare sclera : meliputi eksisi kepala dan badan dari pterigium di samping membiarkan sclera terbuka terjadi reepitelisasi . Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 24-89% dari berbagai laporan. 2. Conjunctival autograft technique : angka rekurensi menurut studi sebelumnya mulai dari 2% hingga paling tinggi 40%. Prosedur menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superotemporal, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. Untuk hasil yg lebih optimal, Starks et al menekankan pada pentingnya diseksi jaringan Tenon secara hati-hati dari graft konjungtiva dan jaringan penerimanya. Hirst dari Australia merekomendasikan menggunakan insisi besar dari eksisi pterigium dan graft yang besar dan melaporkan tingkat rekurensi rendah dengan teknik ini. 3. Amniotic Membrane grafting : teknik ini telah digunakan untuk mencegah rekurensi dari pterigium. Walaupun mekanisme dari membrane amniotic yang mempunyai efek menguntungkan belum diketahui dengan jelas, banyak peneliti mengarah kepada bagian bawah membran yang mengandung faktor penting dalam menginhibisi inflamasi dan fibrosis serta memacu epitelisasi. Studi mengatakan tingkat rekurensi beriksar antara 2.610.7% untuk pterigium primer dan 37.5% untuk rekuren pterigium. Membran amniotic ditempatkan di atas permukaan sclera dengan membrane bagian basis menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi menyatakan kegunaan lem fibrin berperan membantu membran amniotic untuk menempel pada jaringan episklera.
Terapi Tambahan telah menjadi bagian dari manajemen kasus pterigium. Beberapa studi telah menunjukkan angka rekurensi menurun dengan adanya terapi tambahan ini namun terapi tambahan ini memiliki kemungkinan komplikasinya tersendiri. Terapi tambahan antara lain :3,5,7
Terapi mitomycin-C (MMC). MMC telah digunakan sebagai terapi tambahan karena kemampuannya menghambat fibroblas. Dua bentuk MMC yang sekarang ini digunakan : aplikasi intraoperatif langsung ke permukaan sclera setelah eksisi pterigium dan aplikasi post operatif sebagai terapi tetes mata topical. Beberapa studi menganjurkan untuk menggunakan MMC intra operatif untuk mengurangi daya toksisitasnya. Terapi radiasi beta. Terapi dengan radiasi beta ini digunakan karena dapat menghambat mitosis yang cepat di dalam sel pterigium. Penurunan angka rekurensi yang akurat belum didapat hingga sekarang. Efek samping radiasi juga perlu dipertimbangkan, antara lain nekrosis sclera, endoftalmitis, pembentukan katarak. Akibat efek samping ini, terapi tambahan ini tidak banyak digunakan. Anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). Sesuai dengan teori terbentuknya pterigium bahwa VEGF memiliki peran utama terjadinya angiogenesis dan stimulasi fibroblas, maka anti VEGF dapat digunakan sebagai terapi tambahan. Bevacizumab, sebuah antibodi monoklonal manusia, dengan anti angiogenik efek yang mengurangi invasi dan migrasi fibrovaskular serta mengurangi ekspresi fibroblast. Bevacizumab ini diberikan dengan cara injeksi subkonjungtival.
Daftar Pustaka 1. Aminlari, A., et al. Management of Pterygium. Ophthalmic Pearls.2010 ;p. 37-8 2. Reidy, JJ, Basic and Clinical Science Course, Section 8: External Disease and Cornea. American Academy of Ophthalmology, 2010–2011 3. Lima FVI, Manuputty GA. Hubungan Paparan Sinar Matahari dengan Angka Kejadian Pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah tahun 2013. Moluca Medica. 2014; 4(2) ; 101-9 4. Kanski JJ. Pterygium in Clinical Ophtalmology :A Systemic Approach. 6th Ed. Butterworth. Elsevier Ltd ;2002; 82-3 5. American Academy of Ophtalmology. Pterygium-Asia Pacific. 2015. [cited 2017 May 31]. Available from : https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-asia-pacific. 6. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum : Konjungtiva. Ed 17. 2009. Jakarta : EGC; 119, p.67-72 7. Krishnacharya PS, Singhal A, Angadi PA, et al. Changing trends in pterygium management. Albasar Int J Ophtalmol 2017:4: 4-7. [cited 2017 May 31]. Available from :
http://www.bijojournal.org/article.asp?issn=18586538;year=2017;volume=4;issue=1;spage=4;epage=7;aulast=Krishnacharya 8. Hirst LW. Prospective Study of Primary Pterygium Surgery Using Pterygium Extended Removal Followed by Extended Conjunctival Transplantation. Ophtalmology, 2008 Oct; 115 (10) : 1663-72. Ophthalmology. 2008 Oct;115(10):1663-72. doi: 10.1016/j.ophtha.2008.03.012. Epub 2008 Jun 16.
Prospective study of primary pterygium surgery using pterygium extended removal followed by extended conjunctival transplantation. Hirst LW 1.