Tinjauan Kasus (psa).docx

  • Uploaded by: meylani
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tinjauan Kasus (psa).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,476
  • Pages: 39
BAB I PENDAHULUAN

Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarachnoid (PSA) menyiratkan adanya darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses patologis. Penggunaan istilah medis umum SAH merujuk kepada tipe perdarahan non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur aneurisma Berry atau malformasi arteriovenosa (MAV).1 Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat muncul biasanya terbatas pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas, menunjukkan adanya ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma.1,2 Insiden tahunan PSA aneurisma non-traumatik adalah 6-25 kasus per 100.000. Lebih dari 27.000 orang Amerika menderita ruptur aneurisma intrakranial setiap tahunnya. Insiden tahunan meningkat seiring dengan usia dan mungkin dianggap remeh karena kematian dihubungkan dengan penyebab lain yang tidak dapat dipastikan dengan autopsi. Beragam insiden PSA telah dilaporkan pada daerah lain di dunia (2-49 kasus per 100.000).1 Insidennya 62% pendarahan subarachnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Pada MAV laki-laki lebih banyak daripada wanita.2 Penyebab perdarahan paling banyak adalah trauma kepala dan perdarahan intraserebral hipertensif yang masuk ke ventrikel dan selanjutnya masuk ke ruang subarachnoid. Penyebab lainnya yang paling sering adalah ruptur aneurisma. Biasanya aneurisma penyebab PSA soliter dan menurut frekuensi lokasinya lebih dari 30% terdapat pada arteri komunikans anterior – serebri anterior, 20 -25 % pada arteri karotis interna-komunikans anterior dan 20-25% pada bagian sentral arteri serebri media.1

2

Sebelum metode diagnostic yamg lebih akurat dipakai, PSA dianggap paling serimg terjadi pada decade usia ketiga dan keempat. Sekarang dengan adanya metode diagnostik yang lebih akurat, tiga perempat dari semua pasien PSA berusia lebih tua dari 40 tahun, separuhnya berusia di atas 50 tahun, yang tersering pada usia 50-59 tahun. Tetapi PSA yang disebabkan oleh malformasi arteriovenosa, insidens tertingginya pada usia yang lebih muda yaitu 30-40 tahun. Rasio kejadian PSA lebih banyak terjadi pada perempuan, meskipun jumlahnya tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Namun pada usia 70 tahun terjadi peningkatan insidens pada perempuan.1,2

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subaraknoid dimasukan ke dalam klasifikasi stroke hemoragik.1 Perdarahan Subarachnoid adalah perdarahan ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subarachnoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan yang sering pada trauma kepala akibat dari robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah Serebral Major.1,2 Subarachnoid Hemorrhage (SAH) atau Perdarahan Subarachnoid (PSA) menyiratkan adanya darah di dalam ruang Subarachnoid akibat beberapa proses patologis. SAH biasanya disebabkan oleh

tipe perdarahan non-traumatik,

biasanya berasal dari ruptur aneurisma Berry atau arteriovenous malformation (AVM)/malformasi arteriovenosa (MAV) dan trauma kepala.1

B. ANATOMI Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.2,3 1. Duramater Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus

4

(sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.2 Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura.2 2. Arachnoidea Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.2,3 Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe.3

5

Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.3 Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).2

Sitorus, Sari Mega, 2005 Gambar 1. Meningen dan Vena-vena Diploica.2

6

3. Piamater Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluhpembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikelventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.3 Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi.2,3 Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut serabut saraf ke target organ.3

7

Baehr M,dkk. 2012 Gambar 2. Pembuluh Darah di Otak.3

Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.

C. EPIDEMIOLOGI Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV (malformasi arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada wanita.1 Sebelum metode diagnostik yamg lebih akurat dipakai, PSA dianggap paling serimg terjadi pada dekade usia ketiga dan keempat. Sekarang dengan adanya metode diagnostik yang lebih akurat, tiga perempat dari semua pasien PSA berusia lebih tua dari 40 tahun, separuhnya berusia di atas 50 tahun, yang tersering pada usia 50-59 tahun. Tetapi PSA yang disebabkan oleh malformasi arteriovenosa, insidens tertingginya pada usia yang lebih muda yaitu 30-40 tahun.

8

Rasio kejadian PSA lebih banyak terjadi pada perempuan, meskipun jumlahnya tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Namun pada usia 70 tahun terjadi peningkatan insidens pada perempuan.1,3

D. ETIOLOGI 1. Perdarahan subarahnoid secara spontan Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti.4 

Aneurisme sakuler (berry)

Gambar 3. Perdarahan Subarachnoid dan Aneurisme Sakularis

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Arteri ini terbentuk pada lesi pada dinding pembuluh darah yang sebelumnya telah ada, baik akibat kerusakan struktural (biasanya kongenital) maupun cedera akibat hipertensi. Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans

9

posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur di sekitarnya bahkan sebelum ruptur. Misalnya

aneurisma

pada

arteri

komunikans

posterior dapat

menekan

nervusokulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia). 

Aneurisma fusiformis

Tibor, Becske, MD. 2013 Gambar 4. Aneurisma fusiformis.4

Pembesaran pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya melibatkan segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Struktur ini biasanya disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi, dan hanya sedikit yang menjadi sumber perdarahan. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalan aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intra-aneurismal. Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pembedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.4

10



Aneurisme mikotik Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya

terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.4 Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma.9 MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.3,4 2. Perdarahan subarachnoid secara trauma Perdarahan subarachnoid karena trauma dihubungkan dengan robeknya pembuluh darah yang melintas di ruang subaraknoid karena teregang saat fase akselerasi dan deselerasi.1 3. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum.1 4. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang.1 5. perdarahan berbagai jenis tumor.

E. PATOFISIOLOGI Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari dinding pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan

11

otak ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi willisii. Perdarahan subaraknoid timbul spontan pada umumnya dan sekitar 10 % disebabkan karena tekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas.5 Aneurisma merupakan luka yang

yang disebabkan karena tekanan

hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam ruang subarachnoid.5 Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk aneurisma sakular4. Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid diisi dengan CSF. Trauma perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan pecahnya pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya sama pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah penyebab utama subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf serebral atau kerusakan arterivenous.5

F. MANIFESTASI KLINIS Gejala penyerta PSA yang khas adalah sakit kepala hebat yang terjadi secara tiba tiba yang intensitas dan kualitas sakitnya tidak pernah dialami pasien sebelumnya (disebut juga thunderclap headache). Sakit kepala pada PSA biasanya terjadi di mana saja, tetapi mungkin berawal di daerah oksipital. Pada

12

beberapa kasus keluhan didahului oleh gejala-gejala prodormal dalam hitungan hari atau minggu sebelum terjadi perdarahan, antara lain: 1. Sakit kepala Perjalanan penyakit PSA yang khas adalah sakit kepala hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sakit kepala berdenyut-denyut dan semakin progresif sehingga menganggu aktivitas yang sedang dilakukan pasien. Sakit kepala segera diikuti oleh nyeri dan kekakuan pada leher. Mual muntah sering dijumpai.6 2. Gangguan kesadaran Gangguan kesadaran pada PSA mulai dari letargi, somnolen, stupor, hingga koma.7 3. Tanda rangsang meningeal Rangsangan selaput otak adalah gejala yang timbul akibat peradangan pada selaput otak (meningitis) atau adanya benda asing pada ruang suarachnoid (darah), zat kimia (kontras) dan invasi neoplasma (meningitis carcinoma).7 Adanya penyakit yang menyebabkan iritasi pada meninges akan menyebabkan timbulnya tanda rangsang meninges. Pemeriksaan tanda rangsang meninges yang diajarkan pada manual ini antara lain: pemeriksaan kaku kuduk, Kernig’s sign, Brudzinski I, II, III, dan IV.7 Rangsangan meningeal seperti kaku kuduk atau kernigs sign hampir selalu dijumpai pada PSA hal tersebut terjadi karena adanya iritasi meningeal oleh perdarahan dalam ruang subarachnoid.6 4. Defisit neurologi Tanda neurologis seperti disfasia, hemiparesis, hemiplegik dan defisit hemisensorik menunjukan adanya perluasan intraserebral atau infark serebral. Sakit kepala bisa disertai mual dan/atau muntah yang disebabkan karena peningkatan intrakranial dan iritasi meningeal. Gejala iritasi meningeal yang meliputi kaku kuduk dan nyeri leher, nyeri punggung, dan nyeri tungkai bilateral, terjadi pada 80% pasien SAH tetapi memerlukan waktu beberapa jam untuk bermanifestasi. Fotofobia dan penurunan visus biasa terjadi. Defisit neurologis fokal juga bisa terjadi.6,7

13

Penurunan kesadaran terjadi pada 45% pasien karena peningkatan tekanan intrakranial. Penurunan kesadaran bersifat sementara, akan tetapi sekitar 10% pasien koma beberapa hari, tergantung pada lokasi aneurisma dan volume perdarahan. Kejang pada PSA terjadi pada 10-25% pasien. Kejang diakibatkan oleh peningkatan intrakrania yang tiba-tiba atau peradangan korteks langsung oleh darah. Tidak ada korelasi antara kejang dan lokasi ruptur aneurisma.6,7

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesis 

Nyeri kepala o Pasien mengalami onset mendadak nyeri kepala yang hebat. o Nyeri kepala prodromal (peringatan) dari kebocoran darah kecil (ditunjuk sebagai nyeri kepala sentinel) dilaporkan pada 30-50% aneurisma PSA. 

Nyeri kepala sentinel dapat muncul beberapa jam sampai beberapa bulan sebelum ruptur, dengan nilai tengah yang dilaporkan adalah 2 minggu sebelum diagnosa PSA.



Kebocoran

kecil

umumnya

tidak

memperlihatkan

tanda-tanda

peningkatan tekanan intrakranial (TIK) atau rangsang meningeal. 

Kebocoran kecil bukanlah gambaran MAV.



Lebih dari 25% pasien mengalami kejang mendekati onset akut; lokasi pusat kejang tidak ada hubungannya dengan lokasi aneurisma.



Mual dan atau muntah



Gejala rangsang meningeal (misal kaku kuduk, kernigs sign, nyeri tungkai bilateral): ini terlihat pada lebih dari 75% kasus PSA, namun kebanyakan membutuhkan waktu berjam-jam untuk terbentuk.



Fotofobia dan perubahan visus



Hilangnya kesadaran; sekitar setengah pasien mengalami hal ini ketika onset perdarahan.1

14

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang cermat pada kasus kasus nyeri kepala sangat penting untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri kepala, termasuk glaukoma, sinusitis, atau arteritis temporalis. Kaku kuduk dan tanda rangsangan meningeal lainnya dijumpai pada sekitar 70% kasus. Aneurisma di daerah persimpangan antara arteri komunikans posterior dan arteri karotis interna dapat menyebabkan paresis n. III, yaitu gerak bola mata terbatas, dilatasi pupil, dan/atau deviasi inferolateral. Aneurisma di sinus kavernosus yang luas dapat menyebabkan paresis n. VI. Pemeriksaan funduskopi dapat memperlihatkan adanya perdarahan retina atau edema papil karena peningkatan tekanan intrakranial. Adanya fenomena embolik distal harus dicurigai mengarah ke unruptured intracranial giant aneurysm.1

3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan computed tomography (CT) non kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah serangan, tetapi akan turun 50% pada 1 minggu setelah serangan. Dengan demikian, pemeriksaan CT scan harus dilakukan sesegera mungkin. Dibandingkan dengan magnetic resonance imaging (MRI), CT scan unggul karena biayanya lebih murah, aksesnya lebih mudah, dan interpretasinya lebih mudah.8,9

Tofteland, ND. 2007 Gambar 5. PSA menggunakan pemeriksaan CT-Scan Otak.8

15

Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung

diagnosis

perdarahan

subaraknoid

adalah

adanya

eritrosit,

peningkatan tekanan saat pembukaan, dan/ atau xantokromia. Jumlah eritrosit meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/ mL. Xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.1,5 Digital-subtraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena noninvasif serta sensitivitas dan spesifi sitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak. 5,8

Nasissi, Denise. 2010 Gambar 6 : Deteksi aneurisma dengan menggunakan CT angiografi.9

16

Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak biasanya terlihat pada T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat sebagai intermediate untuk pengcahayaan sinyal tinggi dengan proton atau gambar FLAIR. CT pada umunya lebih baik daripada MRI dalam mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. Control

perdarahan

subarachnoid:

hasil

tahapan

control

perdarahan

subarachnoid kadang-kadang tampak MRI lapisan tipis pada sinyal rendah.9

H. Parameter Klinis Penilaian klinis keparahan SAH menggunakan skala. Dua skala yang sering digunakan adalah Hunt and Hess dan WFNS (World Federation of Neurological Surgeons). Skala Fisher digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan

subaraknoid berdasarkan munculnya darah di kepala pada

pemeriksaan CT-scan. Sistem Ogilvy dan Carter menggabungkan data klinis, demografi dan radiologik, serta mudah digunakan dan komprehensif untuk menentukan prognosis pasien yang mendapatkan intervensi bedah. Skala WFNS sebagai berikut: Tabel 1. WFNS SAH grade.10 Grade

GSC Score

Gambaran Klinis

I

15

tidak ada defisit motorik

2

13-14

tidak ada defisit motorik

3

13-14

ada defisit motorik

4

7-12

ada/tidak ada defisit motorik

5

3-6

ada/tidak ada defisit motorik

Tabel 2. Skala Hunt dan Hess.10 Grade

Gambaran Klinis

I

Asimptomatik atau sakit kepala ringan atau iritasi meningeal

II

Sakit kepala sedang atau berat, (sakit kepala terhebat seumur

17

hidupnya), meningismus, deficit saraf kranial (paresis nervus abdusen sering ditemukan) III

Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan

IV

Stupor, deficit neurologis berat (misalnya, hemiparesis), manifestasi otonom

V

Koma, desebrasi

Tabel 3. Skor Fisher.10 Skor

Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala

I

Tidak terdeteksi adanya darah

2

Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah ukuran <1 mm, tidak ada jendalan

3

Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah tebal dengan ukuran >1 mm

4

Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus atau tidak ada darah

Skala Fisher digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subaraknoid berdasarkan munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT scan. penilaian ini hanya berdasarkan gambaran radiologic. Tabel 4. Sistem Ogilvy dan Carter:10 Skor

Keterangan

I

Nilai Hunt and Hess > III

1

Skor skala Fisher > 2

1

Ukuran aneurisma > 10 mm

1

Usia pasien > 50 tahun

1

Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥ 25 mm)

18

Sistem evaluasi terkini adalah dengan menggabungkan Skala Hunt dan Hess dengan skor Skala Fisher; penggabungan ini mempunyai rentang nilai lebih luas sehingga bisa memengaruhi luaran klinis. Nilai 0 dan 1 mempunyai luaran baik atau sangat baik pada kurang lebih 95% pasien. Sementara itu, jika nilainya lebih dari 1, secara signifikan mempunyai luaran buruk; kematian kurang lebih 10% pada nilai 2, dan 30% pada nilai 3 serta 50% pada nilai 4. Pasien dengan nilai 5 tidak dapat dioperasi.10

I. DIAGNOSIS BANDING 1. Stroke Non Hemoragik Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, gejala-gejala tersebut diantaranya adalah:6.7



Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan.



Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral)



Bisa terjadi kejang-kejang. Yang membedakan dengan PSA adalah tidak didapatkannya gejala peningkatan

intrakranial seperti mual dan muntah. Tidak didapatkan adanya tanda rangsang meningeal dan onset kejadian yang mendadak tetapi tidak saat berakrtivitas. Gejala klinis pada stroke non hemoragik kebanyakn lebih ringan daripada stroke hemoragik seperti PSA.7 Penyingkiran diagnosis dapat dilihat dari hasil CT-Scan kepala, dimana pada stroke non hemoragik akan didapatkan daerah infark dengan gambaran hipodens, sedangkan pada PSA didapatkan perdarahan dengan gambaran hiperdens pada ruang subarachnoid.7

2. Perdarahan Intraserebral Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab

19

lainnya adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular. Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak itu sendiri. Gejala yang membedakan adalah pada perdarahan intraserebral (PIS) tidak terdapat kaku kuduk, nyeri kepalanya tidak lebih berat daripada PSA, pada lumbal pungsi tidak didapatkan darah, kecuali apabila PIS meluas ke ruang subaraknoid.7 3. Meningitis Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.6,7

J. PENATALAKSANAAN Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan istirahat ketat sampai etiologi perdarahan ditentukan. Pasien seharusnya tidak diperbolehkan keluar dari tempat tidur untuk alasan apapun. Semua pasien harus menerima evaluasi neurologis sering. Gunakan obat penenang dan analgesik secara hati-hati untuk menghindari temuan pemeriksaan neurologis yang keliru.1 Idealnya, pengelolaan komplikasi SAH harus berlangsung dalam ICU neurologis atau di ICU yang dilengkapi alat-alat yang canggih. Untuk meminimalkan rangsangan yang dapat menyebabkan peningkatan intrakranial, pasien ditempatkan dalam gelap, tenang, kamar pribadi dan diberikan obat penenang ringan jika gelisah. Kepala tempat tidur harus ditinggikan sebesar 30° untuk memastikan drainase vena optimal dan mengurangi tekanan intrakranial.10 Tekanan darah harus dipertahankan dengan pertimbangan status neurologis pasien. Secara optimal, tekanan darah sistolik (SBP) tidak lebih dari 130-140 mmHg harus menjadi tujuan penurnan tekanan darah, kecuali bukti klinis vasospasme ditemukan.9,10

20

Pemasangan akses vena sentral dan Foley kateter. Pengobatan untuk mencegah kejang bisa menggunakan calcium channel blokade dan ini termasuk tindakan medis standar. Beberapa pusat mendukung ekspansi volume untuk mengobati vasospasme yang berkembang hari setelah episode perdarahan awal. 1. Pedoman Tatalaksana 1,9,10 a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA): -

Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.

-

Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 23 L/menit.

-

Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.

-

Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainankelainan neurologi yang timbul.

b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif: -

Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat darurat.

-

Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang adekuat.

-

Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.

-

Hindari pemakaian sedatif yang berlebihan karena akan menyulitkan penilaian status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA 10 a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA. b. Terapi

antifibrinolitik

untuk

mencegah

perdarahan

ulang

direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan

21

resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda. c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang. d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba. 3. Operasi pada aneurisma yang ruptura a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA. b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan ulang. 4. Tatalaksana pencegahan vasospasme 10 a. Pemberian nimodipin sebelum terjadinya vasospasme, semua pasien harus menerima profilaksis dengan nimodipin dalam waktu 12 jam setelah SAH didiagnosis. Dosis yang lazim adalah 60 mg setiap 4 jam dengan pemakaina oral atau lewat NGT (nasogastric tube), dan harus dilanjutkan selama 21 hari. Secara meta-analisis menunjukkan penurunan yang signifikan untuk terjadinya kematian terkait dengan pemberian nimodipin sebagai prophylaxis dan juga pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna. b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu

hypervolemic-hypertensive-hemodilution,

mempertahankan

“cerebral

perfusion

pressure”

dengan sehingga

tujuan dapat

mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati

22

terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping. c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna. d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional. e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut: -

-

Pencegahan vasospasme: •

Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.



NaCl 3% IV 50 mL 3 kali sehari.



Jaga keseimbangan cairan.

Delayed vasospasm: •

Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.



Berikan 5% Albumin 250 mL IV.



Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14 mmHg.



Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.



Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.

5. Antifibrinolitik Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.10 6. Antihipertensi 10 a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping). b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg. c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse

23

dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi. d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme. 7. Hiponatremi Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.10 Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi.10 8. Kejang Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.10

24

K. KOMPLIKASI Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.10 Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200- 220 mmHg.10 Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.10 L. PROGNOSIS 6 Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama, dan 60% dalam 2 bulan pertama.6

25

BAB III LAPORAN KASUS

I.

II.

IDENTITAS Nama

: Ny. D

Umur

: 70 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Suku Bangsa

: Minangkabau

Pekerjaan

: IRT

Alamat

: Padang

Agama

: Islam

ANAMNESIS Keluhan Utama: Muntah Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan muntah banyak kali di rumah berisikan sisa makanan dan cairan yang berwarna kuning dan tidak bercampur darah, muntah tidak menyemprot. Keluhan ini dirasakan setelah pasien sadar beberapa menit. Sebelumnya pasien terjatuh di depan kamar mandi. Setelah jatuh pasien telah didapatkan dengan kondisi tidak sadarkan diri dengan posisi terbaring dengan posisi kepala miring kekiri. Pasien tidak sadarkan diri ± 15 menit. Pasien juga tidak memberi respon saat ditanya atau diajak bicara. Keluhan ini dirasakan setelah pasien sadar beberapa menit. Menurut cucunya (Alloanamnesis), awalnya pasien sering mengeluh nyeri kepala hebat yang dirasakan terus menerus dan frekuensi nyeri semakin meningkat apabila pasien menggerakkan kepala. Pasien juga bahkan sampai mengikat kepalanya menggunakan kain, nyeri kepala dirasakan tiba-tiba ketika pasien ingin mengambil air wudhu, nyeri tidak

26

menjalar hanya dirasakan dikepala bagian belakang dan dirasakan seperti tertekan. Nyeri kepala tidak disertai perasaan berputar dan tidak disertai penglihatan ganda. Tampak oleh keluarga anggota gerak kanan kurang aktif. Kejang tidak ada, demam tidak ada, BAB dan BAK lancar. Riwayat Penyakit Dahulu: -

Pasien sudah pernah menderita stroke pada tahun 2011, dibawa ke RSUP DR M.Djamil Padang dirawat lebih kurang 1 minggu di bagian neurologi dengan keluhan lemah anggota gerak kanan, dan pulang dengan perbaikan dan dianjurkan

fisioterapi. Pasien pulang dengan

jalan kaki menyeret. Kontrol tidak teratur selama 6 bulan setelah serangan. Ketika pulang pasien mendapat obat untuk anti hipertensi, tetapi pasien tidak minum obat dan kontrol secara teratur. Minum obat hanya ketika timbul nyeri kepala. -

Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu paling tinggi 250 mmhg. Pasien tidak minum obat dan kontrol secara teratur. Minum obat hanya ketika timbul nyeri kepala.

-

Riwayat penyakit jantung dan DM disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK : Keadaan Umum : 

Kondisi

: Sakit sedang



Gizi

: baik



Kesadaran

: Up down (kadang delirium dan kadang somnolen)

Tanda Vital Tekanan Darah

: 140/90 mmHg

Nadi

: 92 kali/menit

Suhu

: 37,1oC

Pernapasan

:20 kali/menit

27

Pemeriksaan Leher : Kelenjar getah bening

: Pembesaran (-), nyeri tekan (-)

Kelenjar tiroid

: Simetris, pembesaran (-), nyeri tekan (-)

Pemeriksaan Thorax : Paru-paru : - Inspeksi

: Ekspansi dada simetris bilateral, bentuk dada normal, retraksi dinding dada (-)

- Palpasi

: Ekspansi dada simetris, taktil fremitus kiri = kanan,

- Perkusi

: Batas normal

- Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhoncki -/-, Wheezing -/Jantung : - Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

- Palpasi

: Ictus Cordis tidak teraba di SIC V midclavicula sinistra

- Perkusi

: Dalam batas normal

Pemeriksaan Abdomen : - Inspeksi

: Tampak datar, jejas (-)

- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal - Perkusi

: Bunyi timpani pada 4 kuadran abdomen

- Palpasi

: Nyeri tekan (-), masaa (-)

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS 

GCS : E4M4V2

1. Kepala: o Penonjolan: kepala sisi sinistra terdapat 2 jahitan 2. N. cranialis: o N. Olfactorius (I): Normosmia o N.Optikus (II):  Ketajaman penglihatan: tidak dapat dinilai  Lapangan penglihatan: tidak dapat dinilai o N. Occulomotoris (N.III), N. Trochlearis (N.IV), N. Abducens (N.VI)

28

 Celah kelopak mata:  Ptosis: tidak ada  Exopthalmus: tidak ada  Pupil: ukuran:

2,5 mm/ bulat

2,5 mm/bulat

isokor

isokor

Reflex cahaya langsung:

+/+

+/+

Ref. cahaya tdk langsung:

+/+

+/+

Isokor/anisokor:

Reflex akomodasi:

normal

normal

 Gerakan bola mata: Parese kearah

-

-

Nistagmus

-

-

o N. V (trigeminus):  Sensibilitas:

N.V1:

normal

normal

N.V2:

normal

normal

N.V3:

normal

normal

 Motorik: Inspeksi: istirahat o N. VII:  Motorik: Istirahat: Gerakan mimic:

M. Frontalis

M. orbik.okuli

M. orbik. Oris

simetris

simetris

simetris

sulit dinilai

sulit dinilai

sulit dinilai

 Pengecap 2/3 lidah bagian depan: tidak dilakukan pemeriksaan o N. VIII:  Pendengaran: normal  Tes rinne/weber: tidak dilakukan pemeriksaan  Fungsi vestibularis: tidak dilakukan pemeriksaan o N. IX/X: (Glossopharingeus/vagus):  Posisi arkus pharinks: ditengah  Reflex telan/muntah: tidak dilakukan pemeriksaan  Pengecap 1/3 lidah bagian belakang: tidak dilakukan pemeriksaan  Fonasi: tidak dilakukan pemeriksaan  Takikardi/bradikardi: normal

29

o N. XI:  Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: sulit dinilai  Angkat bahu: sulit dinilai o N.XII:  Deviasi lidah: tidak ada  Fasciculasi: tidak ada  Atrofi: tidak ada  Tremor: tidak ada  Ataxia: tidak ada 3. Leher: 

Tanda-tanda perangsangan selaput otak  Kaku kuduk: Positif  Kernig’s sign: Positif



Arteri karotis:  Palpasi: teraba  Auskultasi: tidak ada bruit



Kelenjar gondok: dalam batas normal

4. Abdomen: 

Reflex kulit dinding perut: +

5. Kolumna vertebralis: sulit dinilai 6. Ekstremitas: Superior 

Inferior

D

S

D

S

Pergerakan

T

B

T

B

Kekuatan

sulit dinilai

Motorik:

Tonus otot Bentuk otot

N N

N



Otot yang terganggu: tidak ada



Reflex fisiologi o Biceps

N

+++

++

N

N

+++

++

30



o Triceps

+++

++

+++

++

o APR

+++

++

+++

++

o KPR

+++

++

+++

++

Klonus:

Lutut: -/Kaki: -/-





Reflex patologis: Hoffman:

-/-

Tromner:

-/-

Babinski:

+/+

Chaddock:

-/-

Gordon:

-/-

Schaefer:

-/-

Oppenheim:

-/-

Sensibilitas:  Ekstroseptif Nyeri: sulit dinilai Suhu: sulit dinilai Rasa raba halus: sulit dinilai  Propioseptif Rasa sikap: sulit dinilai Rasa nyeri dalam: sulit dinilai  Fungsi Kortikal Luhur: sulit dinilai

7. Pergerakan abnormal yang spontan: sulit dinilai 8. Gangguan koordinasi: sulit dinilai 9. Gangguan keseimbangan: sulit dinilai 10. Pemeriksaan fungsi luhur: sulit dinilai

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM : Pemeriksaan Darah Lengkap : WBC

14,1

109/L

(4,8 – 10,8)

31

(4,7 – 6,1) (14 – 18) (150 – 450)

1012/L g/dl 109/L

RBC 4 HGB 12,7 PLT 243 Pemeriksaan Elektrolit : Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Satuan

Natrium Kalium Klorida

140,3 3,26 98,57

136 – 145 3,5 – 5,1 97 – 111

mmol/L mmo/L mmol/L

VI. HASIL EKG Irama sinus, HR 97/mnt , ST elevasi (-), ST depresi (-), T Inverted (-) Kesan : Jantung dalam batas normal

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG CT-SCAN

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN 

Kimia Darah : GDS, Fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat), Fungsi hati (SGOT, SGPT), Profil lipid (Kolesterol,trigliserida, HDL, LDL)

32



Brain CT-Scan



Lumbal Pungsi

IX. DIAGNOSIS 

Diagnosis klinis

: Vomiting dan cephalgia



Diagnosis Topis

: Ruang subarachnoid



Diagnosis Etiologi

: Perdarahan Subarachnoid (PSA)

X. TERAPI 

Elevasi kepala 30 derajat



O2 3 liter/i



IVFD RL 20 tpm



Nimodipin 6 cc/jam



Asam Tranexamat 500 mg/8 jam



Piracetam 3gr/8 jam/iv



Citicoline 250 mg / 12 jam / iv



Mannitol 100 cc/8 jam



Ranitidin 1 amp/12 jam/iv



Omeprazole 1 vial/24 jam/iv



Ketorolac 1 amp/8 jam/iv

XI. PROGNOSIS 

Qua ad vitam : dubia



Qua ad sonationem : dubia

33

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan muntah banyak kali di rumah berisikan sisa makanan dan cairan yang berwarna kuning dan tidak bercampur darah, muntah tidak menyemprot. Keluhan ini dirasakan setelah pasien sadar beberapa menit. Sebelumnya pasien terjatuh di depan kamar mandi. Setelah jatuh pasien telah didapatkan dengan kondisi tidak sadarkan diri dengan posisi terbaring dengan posisi kepala miring kekiri. Pasien tidak sadarkan diri ± 15 menit. Pasien juga tidak memberi respon saat ditanya atau diajak bicara. Keluhan ini dirasakan setelah pasien sadar beberapa menit. Menurut cucunya (Alloanamnesis), awalnya pasien sering mengeluh nyeri kepala hebat yang dirasakan terus menerus dan frekuensi nyeri semakin meningkat apabila pasien menggerakkan kepala. Pasien juga bahkan sampai mengikat kepalanya menggunakan kain, nyeri kepala dirasakan tiba-tiba ketika pasien ingin mengambil air wudhu, nyeri tidak menjalar hanya dirasakan dikepala bagian belakang dan dirasakan seperti tertekan. Nyeri kepala tidak disertai perasaan berputar dan tidak disertai penglihatan ganda. Tampak oleh keluarga anggota gerak kanan kurang aktif. Kejang tidak ada, demam tidak ada, BAB dan BAK lancar. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa Pasien sudah pernah menderita stroke pada tahun 2011 dan memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu paling tinggi 250 mmhg. Pasien tidak minum obat dan kontrol secara teratur. Minum obat hanya ketika timbul nyeri kepala. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien terganggu yaitu up and down (kadang delirium dan kadang somnolen) dengan GCS 10 (E4M4V2). Pada status neurologi ditemukan Rangsang Meningeal (+), ↑ TIK (+), Pupil isokor dengan diameter 2,5 mm/2,5mm, reflek cahaya. Pada pemeriksaan sensorik sulit dilakukan pemeriksaan. Pada pemeriksaan motorik didapatkan anggota gerak kanan lebih lemah dibandingkan angota gerak kiri. Refleks fisiologi ++/++ dan

34

refleks patologis babinsky (+). Dari skor Hasanuddin dan skor Gajah Mada kesan stroke hemoragik Dari hasil anamnesis, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan yang didapatkan pada pasien, menunjukkan penyebab dari penurunan kesadaran pasien adalah adanya perdarahan subarachnoid yang diakibatkan karena riwayat hipertensi yang sudah lama dialaminya dan bisa karena trauma kepala. Sehingga, berdasarkan literatur pada pasien ini dengan pendarahan subarachnoid maka menimbulkan tanda-tanda dari peningkatan tekanan intrakranial yaitu berupa nyeri kepala yang hebat, penurunan kesadaran, dan muntah, ditambah lagi dengan pemeriksaan fisik yaitu tanda rangsangan meningeal ditemukan positif pada pasien ini. Ini menetukan lokasi pendarahan yang berada di ruang subarchnoid. Pendarahan tersebut mengiritasi selaput meningen sehingga akan ditemukan tanda yang khas berupa kaku kuduk, kerning (+). Pasien sudah berusia 70 tahun dan sudah sejak 5 tahun lama nya menderita hipertensi. Hal ini juga merupakan faktor resiko terbentuknya aneurisma pembuluh darah di bagian yang rentan seperti di sirkulasi Willis. Bagian pembuluh darah sirkulasi Willis merupakan tempat yang rentan timbulnya aneurisma karena pembuluh darahnya berkelok dan mendapatkan tekanan hemodinamik yang paling tinggi. Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan brain CT-Scan untuk mengetahui lesi dan lokasi peradarahan. Sehingga pada kasus ini dianjurkan untuk pemeriksaan lumbal pungsi karena pemeriksaan ini sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi peninggian TIK antara lain: 1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta memperbaiki drainase vena. 2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).

35

3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan koloid bila perlu. 4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan TIK kurang dari 20 mmHg. 5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan

perfusi

serebral

setidaknya

70

mmHg,

bila

perlu

memakai

vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin. Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg. Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas. Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 120- 220 mmHg.

36

Penatalaksanaan pada paien ini berdasarkan literature diatas meliputi terapi umum dan khusus. Terapi umum berupa elevasi kepala 30 derajat, O2 3 liter/I, IVFD RL 20 tpm. Terapi khusus berupa Nimodipin 6 cc/jam, Asam Tranexamat 500 mg/8 jam, Piracetam 3gr/8 jam/iv, Citicoline 250 mg / 12 jam / iv, Mannitol 100 cc/8 jam, Ranitidin 1 amp/12 jam/iv, Omeprazole 1 vial/24 jam/iv, Ketorolac 1 amp/8 jam/iv. Pemberian per oral dilakukan karena pasien sadar dan reflex menelan masih bagus. Elevasi kepala menurut literature adalah teknik sederhana untuk mengurangi tekanan intrakranial dan pemberian manitol juga berguna untuk mengurangi tekanan intrakranial. Kemudian nimodipin diberikan pada pasien ini sebagai tanda-tanda dari gejala vasospasme.. Sementara pemberian citicolin adalah sebagai neuroprotektor. Dilihat dari keadaan umum pasien dari hari kehari, prognosis pada pasien dengan pendarahan subarachnoid ini mengarah ke arah buruk, karena sekarang terjadi penurunan kesadaran akibat dari progresivitas penyakitnya

37

BAB V KESIMPULAN

Perdarahan subaracnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subaracnoid. Perdarahan subarachnoid menjadi penyakit berbahaya, dimana penderita yang mengalaminya terkena defisit neurologis. Diperkirakan kejadian PSA di seluruh dunia adalah 9 / 100.000 orang. Perdarahan lebih sering pada wanita dibandingkan pria dengan rasio 3: 2 di atas usia 40. Usia puncak untuk terjadi pecahnya pembuluh darah terjadi antara usia 50 dan 60 tahun. Terjadi 2 mekanisme yaitu pendarahan yang bersifat traumatik dan non traumatik. Untuk pendarahan yang bersifat trauma disebabkan oleh trauma kepala yang hebat. Namun, penggunaan akrab istilah PSA mengacu pada perdarahan non traumatik, yang biasanya terjadi pada pecahnya aneurisma otak atau arteriovenous malformation (AVM). Faktor risiko untuk PSA yang paling banyak adalah hipertensi, merokok, dan mengkonsumsi alkholok dalam jangka waktu yang lama. Riwayat PSA di keluarga tingkat pertama memiliki faktor resiko tiga kali lipat terjadinya PSA. Gejala paling umum sakit kepala parah Biasanya sakit kepala yang paling sering dikaitkan dengan mual, muntah, leher kaku, dan photophobia. Pemeriksaan yang cermat pada kasus kasus nyeri kepala sangat penting untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri kepala, termasuk glaukoma, sinusitis, atau arteritis temporalis. Kaku kuduk dijumpai pada sekitar 70% kasus. Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit atau jam yaitu hydrocephalus. Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan serebrospinal) dapat menghambat aliran LCS. Kemudian vasospasme terjadi sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat terjadi vasospasme sehingga mengurangi aliran darah ke otak. Vasospasme dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi

38

tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi terganggu. Penanganan segera sangat diperlukan dengan memberikan anti hipertensi seperti cardesartan, manitol untuk mengurangi tekanan intracranial, obat anti vasospasme yaitu nimodipin. Kemudian perlu juga diberikan neuroprotektor seperti citicolin dan.piracetam.

39

DAFTAR PUSTAKA

1.

Zebian, RC. Subarachnoid Hemorrhage : Overview. Last updated 25 Februari 2009.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/794076-

overview (diakses 07 Juli 2017) 2.

Sitorus, Sari Mega.

Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Bagian

Anatomi, Fakultas Kedokteran, 2005 Universitas Sumatera Utara. Medan 3.

Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012

4.

Tibor

Becske,

MD.

Subarachnoid

Hemorrhage.

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/1164341-overview. (diakses 07 July 2017) 5.

Copstead,Lee-Ellen. C. Phd, RN dan Banasik, Jacquelyn. L. PhD , ANRP. 2005, PATHOPHYSIOLOGY. Third Edition, Elsevier Inc. Saunders. Available

from

http://www.elsevierhealth.com.au/study-guide-for-

pathophysiology-9781455733125.thml (diakses 10 juli 2017) 6.

PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres; 2011

7.

Slide Kuliah Prof. Amiruddin Aliah, MM, Sp.S. Gejala Klinis Perdarahan Subarachnoid.. 2014. Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin Makassar.

8.

Tofteland, ND, Salyers, WJ. 2007. Subarachnoid Hemorrhage. Hospital Physician. pp 31-41

9.

Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010.[diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview (diakses 10 juli 2017)

10.

Setyoopranoto. I, Penatalaksanaan Perdarahan Subarachnoid. 2012. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/SMF Saraf RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia. 2012.

Related Documents


More Documents from "Afifah Rahmatika"