BRONKIOLITIS LAPORAN KASUS Disusun Untuk Memenuhi Syarat Program Internsip Dokter Indonesia
oleh:
dr. SUSAN TARAWIFA
Pendamping : dr. Lydia Sauzie dr. Arusta Sebayang
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PERIODE NOVEMBER 2015-2016 RSUD KH. DAUD ARIF KUALA TUNGKAL 2016
1
LEMBAR PERSETUJUAN
Laporan Kasus : BRONKIOLITIS disusun oleh : dr. Susan Tarawifa disetujui oleh pembimbing sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia
mengetahui,
pendamping
pembimbing
dr. Arusta Sebayang
dr. Idha Y. Sp.A
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bronkiolitis merupakan suatu peradangan bronkiolus yang bersifat akut,
menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan suara pernafasan yang berbunyi. Insidensi penyakit ini terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan dengan puncak kejadian pada usia kirakira 6 bulan. Sering terjadi pada musim dingin dan awal musim semi (di negaranegara dengan 4 musim. Bronkiolitis sering mengenai anak-anak usia dibawah 2 tahun. Anak-anak yang berusia lebih tua dan dewasa bisa dikatakan tidak pernah ditemukan penyakit ini, karena mereka lebih tahan terhadap terjadinya edema pada bronkiolus, sehingga gambaran klinis suatu bronkiolitis tidak dijumpai, walaupun sebenarnya saluran nafas kecil pada paru bagian bawah terkena infeksi. Bronkiolitis yang terjadi di bawah umur satu tahun kira-kira 12% dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua lebih jarang lagi, yaitu sekitar setengahnya. Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi saluran napas bawah terbanyak pada anak. Penyebab yang paling banyak adalah virus Respiratory syncytial, kira-kira 45-55% dari total kasus. Sedangkan virus lain seperti Parainfluenza, Rhinovirus, Adenovirus, dan Enterovirus sekitar 20%. Bakteri dan mikoplasma sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi. Bronkiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini karena antibodi neutralizing dari ibu masih tinggi pada 4-6 minggu kehidupan, kemudian akan menurun. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi saluran napas bawah, terutama terhadap virus. Sekitar 70% kasus bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga harus dirawat di rumah sakit, sedangkan sisanya biasanya dapat dirawat di poliklinik. Sebagian besar infeksi saluran napas ditularkan lewat droplet infeksi.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Bronkiolitis merupakan suatu peradangan bronkiolus yang bersifat akut,
menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan suara pernafasan yang berbunyi. Penyakit ini merupakan penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang menggambarkan terjadinya obstruksi pada bronkiolus.
2.2
Etiologi Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang
ditemukan dalam isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 th yang menderita bronkiolitis dan dirawat di rumah sakit. Penyebab lain yang menyebabkan bronkiolitis adalah virus para influenza tipe 1 dan 3, influenza B, para influenza tipe 2, adenovirus tipe 1,2,5 dan mycoplasma pada anak-anak usia sekolah.
2.3
Faktor resiko Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur
kurang dari 6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh berkembang dengan baik. Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan bronkiolitis lebih sering dibanding anak-anak perempuan. Faktor lain yang telah dihubungkan dengan peningkatan resiko bronkiolitis pada anak-anak meliputi: a. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan kekebalan dari ibu b. Kelahiran prematur c. Pajanan ke asap rokok d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak, panti asuhan e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/ tempat bermain.
4
2.4
Epidemiologi Bronkiolitis merupakan penyakit infeksi pernapasan tersering pada bayi.
Kejadian tersering terjadi pada usia 2 sampai 24 bulan, dengan puncak 2 sampai 8 bulan. 95% kasus di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, dengan 75% di antaranya terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3 sampai 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat penduduk. Bronkiolitis lebih banyak terjadi pada laki-laki, yaitu sekitar 1,25 sampai 1,6 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Ditemukan juga bahwa 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki. Insidensi dari bronkiolitis meningkat seiring bertambahnya tahun di seluruh dunia. Lama perawatan yang dibutuhkan berkisar selama 2 sampai 4 tahun, kecuali pada bayi prematur dan yang memiliki penyakit jantung bawaan. Penyakit ini kan menjadi lebih berat pada bayi-bayi muda. Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2 pada bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Terdapat beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi, yaitu masa gestasi <34 minggu, usia <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen <90%, laju pernapasan >70 kali per menit, adanya rhonki, dan riwayat dysplasia bronkopulmoner. Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tinjauan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3%.
2.5
Patofisiologi Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran
nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia.
5
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka terjadi air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi. Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasiperfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea baru terjadi jika respirasi mencapai 60 kali per menit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga
6
pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
2.6
Diagnosa Penegakkan diagnosis bronchiolitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan laboratorium. Dari ketiga komponen ini, perlu dipikirkan juga kemungkinan diagnosis banding yang lain, seperti asma, bronkitis, gagal jantung kongestif, dan edema paru yang memiliki gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang menyerupai bronkiolitis pada anak. Penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun. 2.6.1 Anamnesis Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala infeksi saluran napas atas ringan akibat virus, seperti pilek ringan disertai rinorea, batuk, dan demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada, biasanya berkisar antara 38,50C sampai 390C atau subfebris. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas yang makin hebat, yaitu bernapas dangkal
7
dan cepat. Kemudian dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan sulit makan karena terganggu oleh takinea yang dialami oleh pasien. 2.6.2 Pemeriksaan fisik Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort, takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,50C. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Menangis dan makan dapat memperberat tanda ini. Dapat ditemukan juga konjungtivitis ringan dan faringitis. Adanya obstruksi pada saluran napas bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekpirasi memanjang hingga wheezing. Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya wheezing bukan berarti tidak ada obstruksi. Wheezing dan crackles dapat atau tidak dapat muncul, bergantung pada derajat obstruksi saluran napas. Pada bayi dengan obstruksi saluran napas berat, wheezing berkurang seiring dengan berkurangnya aliran udara. Biasanya fase kritis dari penyakit ini terjadi pada 48 sampai 72 jam. Jika obstruksi hebat, suara napas nyaris tidak terdengar. Selain itu, dapat juga ditemukan rhonki pada auskultasi paru, yaitu rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi. Sianosis sekitar hidung dan mulut dapat terjadi, dan apabila gejala memberat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu. Hepar dan lien akan teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah tulang iga. Keadaan ini terjadi akibat pendorongan diafragma kebawah karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang tersebar luas juga dapat terdengar pada bagian akhir inspirasi. Fase ekspirasi pernafasan akan memanjang dan suara-suara pernapasan juga bisa hampir tidak terdengar jika sudah berada dalam kasus yang berat. Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan. Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat
8
keparahan penderita. Saturasi oksigen <95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.
Table. 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) SKOR
Skor 2
3
4
maksimal
Semua
4
0
1
-Ekspirasi
(-)
Akhir
-Inspirasi
(-)
Sebagian
Semua
2
-Lokasi
(-)
2 dr 4 lap
3 dr 4 lap paru
2
Wheezing :
paru Retraksi : -Supraklavikula
(-)
Ringan
Sedang
Berat
3
-Interkostal
(-)
Ringan
Sedang
Berat
3
-Subkostal
(-)
Ringan
Sedang
Berat
3
TOTAL
17
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah tidak khas karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian pula pada elektrolit. Analisis gas darah diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang menggunakan ventilator mekanik. Pada analisis gas darah dapat memberikan gambaran adanya hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis metabolik atau respiratorik. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA) atau Polymerase Chain Reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalesens. Pada foto rontgen diperoleh gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior membesar, dan infiltrat/bercak konsolidasi yang tersebar (patchy infiltrate). Namun, gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah gambaran normal, atelektasis, dan kolaps segmenta. Atelektasis
9
terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter anteroposterior.
2.7
Diagnosa Banding Beberapa penyakit dapat merupakan diagnosis banding bronkiolitis.
Penyakit lain yang sering dikacaukan dengan bronkiolitis yaitu asma bronkhial. Beberapa diagnosis yang perlu dipertimbangkan antara lain : 1.
Asma Bronkial a. Jarang ditemukan pada tahun pertama kehidupan, tetapi sering terjadi setelah periode tersebut. b. Riwayat keluarga penderita asma bronkial. c. Serangan awal yang mendadak tanpa tanda infeksi sebelumnya. d. Serangan berulang. e. Ekspirasi diperpanjang secara mencolok. f. Eosinofilia pada darah dan usapan hidung. g. Respon terhadap obat anti asma. Pada bronkiolitis akut hanya 5% yang mempunyai klinis yang berulang.
2.
Bronkopneumonia a. Jarang dijumpai pada bayi sampai usia 6 bulan. b. Riwayat anamnesis, perjalanan penyakit tidak terlalu mendadak, demam, batuk tidak ngikil, nafsu makan/minum berkurang. c. Didapatkan sumber penularan ISPA disekitarnya. d. Setelah 5-7 hari timbul sesak nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis e. Pemeriksaan fisik ditemukan : Perkusi : Suatu gambaran normal sampai redup relatif Auskultasi : Ada krepitasi atau ronki basah halus. f. Retraksi dinding dada (interkostal dan suprasternal). g. Pemeriksaan laboratorium : lekositosis dan HJL (Hitung Jenis Lekosit) pergeseran ke kiri. h. Pemeriksaan radiologi paru ditemukan sebaran infiltrat diseluruh bagian paru kanan dan kiri.
10
2.8
Klasifikasi Klasifikasi bronkiolitis berdasarkan gejala klinis derajat
Ringan
Tanda
Anak sadar, warna kulit merah muda
Dapat makan dengan baik
Saturasi oksigen > 90%. Saturasi oksigen diketahui dengan alat sederhana di kantor dokter atau RS
Sedang
Salah satu di antara:
Kesulitan makan
Lemah
Kesulitan bernapas, digunakannya otot-otot bantu pernapasan
Adanya kelainan jantung atau saluran napas
Saturasi oksigen < 90%
Usia kurang dari enam bulan
Berat
Seperti kriteria untuk kategori sedang, namun:
mungkin tidak membaik dengan pemberian oksigen
menunjukkan episode terhentinya napas
menunjukkan tanda kelelahan otot pernapasan atau terkumpulnya terlalu banyak karbon dioksida dalam tubuh.
2.9
Penatalaksanaan Anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembaban udara yang
tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (‘mist-tent’), tujuannya untuk mencairkan sekret bronkus yang liat dan mengatasi hipoksemia. Prinsip pengobatan di rumah sakit meliputi beberapa hal, yaitu : 1. Suportif a. Pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksemia, apnea, dan kegagalan pernafasan. Diberikan 1 - 2 l/menit. b. Pengaturan suhu tubuh. c. Pencairan lendir yang lengket.
11
d. Ketepatan pemberian cairan intravena, sebagai penghindaran terhadap dehidrasi yang timbul akibat takipnea atau asidosis respiratorik. Diberikan : Neonatus D 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1, + KCl 1-2 mEq/kg BB/hari Bayi > 1 bulan : D 10% : NaCl 0,9% = 3 : 1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan. e. Posisi nyaman dengan duduk posisi kemiringan 30-40 atau leher pada posisi ekstensi. 2. Antibiotik dapat diberikan: a. Untuk community acquired - Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
- Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
b. Untuk
kasus
hospital
acquired
dapat
diberikan
sefotaksim
100
mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian.
c. Lama pemberian antibiotic 7-10 hari atau sampai 4-5 hari bebas demam.
3. Bronkodilator Pemberian bronkodilator masih kontroversial. Beberapa literatur menunjukkan bahwa terdapat perbaikan skor klinis pada janga pendek, naumn tidak terdapat perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di rumah sakit. Hingga saat ini bronkodilator masih digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan bronkiolitis. Pemberian bronkodilator ini didasari oleh pemikirian: a. Kerja konstriktor β-adrenergik sebagai dekongestan mukosa, mebatasi absorbsinya, dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation-perfusion matching.
b. Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik.
c. Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
d. Efek fisiologis antihistamin yang melawan efek histamine seperti edema.
e. Mengurangi sekresi kataral.
Pada pasien bronkiolitis dapat diberikan normal saline atau β-agonis untuk memperbaiki bersihan mukosilier.
4. Kortikosteroid. Kortikosteroid
yang
digunakan
adalah
prednisone,
prdenisolon,
metilprednison, hidrokortison dan deksametasone. Sebenarnya, penggunaan kortikosteroid ini masih perlu dipertimbangkan. Dari beberapa penelitian dan
12
meta-analisis diperoleh kesimpulan bahwa pemberian kortikotsteroid baik secara oral, inhalasi, intramuscular, maupun intravena tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok yang tidak mendapatkan steroid. Pemberian steroid ini diketahui memberikan hasil yang bermakna jika diberikan pada anak dengan predisposisi asma. Namun, karena faktor predisposisi ini tidak dapat diidentifikasi sebelumnya, maka diperlukan pertimbangan dalam pemberian
steroid pada bayi dengan bronkiolitis. Dosis deksametason yang digunakan adalah 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. 5. Ribavirin
Ribavirin merupakan suatu purin nucleoside derivate guanosine sintetik yang bekerja mempengaruhi pengeluaran mRNA virus yang mencegah sintesis protein. Pemberian ribavirin pada awalnya diharuskan oleh AAP, namun direvisi kembali sehingga menjadi “dapat dipertimbangkan”. Dari beberapa literatur diperoleh keterangan bahwa penggunaan ribavirin tidak memberikan hasil yang sangat signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya efek positif, namun perbedaannya sangat kecil dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan ribavirin. Namun, telah dibuktikan bahwa pemberian ribavirin sebelum 5 hari dari gejala awal dapat memperbaiki fungsi paru yang ditandai dengan berkurangnya wheezing, penyakit saluran respiratori reaktif, dan pneumonia. 6. Terapi suportif. a. Heliox : Merupakan campuran dari helium dan oksigen. Heliox digunakan sejak tahun 1935 oleh Barach sebagai terapi untuk asma berat dan sumbatan saluran napas atas. Namun, karena hasilnya yang controversial, heliox tidak digunakan secara luas. Efek positif dari heliox ini adalah densitasnya yang lebih rendah daripada campuran udara dan oksigen, sehingga mengurangi tekanan dorong yang dibutuhkan pada aliran turbulen dan mempertahankan aliran laminar. Hal ini akan mengurangi kerja respirasi dengan mengurangi tahanan aliran udara.
Pada bayi dengan bronkiolitis karena RSV derajat sedang-berat, heliox akan memperbaiki status respirasi secara klinis, yang ditunjukkan dengan perbaikan skor klinis serta berkurangnya takikardia dan takipnea. Respon yang baik ini terlihat pada jam pertama dan berlangsung
13
selama terapi heliox diberikan. Akan tetapi, perawatan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) tidak dapat diturunkan meskipun pasien mendapatkan heliox.
b. Recombinant Human Deoxyribonuclease 1 (rhDNase 1) Patofisiologi dari bronkitis adalah inflamasi, edema, dan produksi mukus akan menyebabkan mucous plug. Sebagian atau seluruh saluran napas dapat tersumbat, kemudian udara dapat terperangkap sehingga dapat terjadi hiperinflasi atau atelektasis. Oleh karena sel-sel inflamasi mengalami lisis, maka terbentuk banyak DNA pada mucous plug. DNA akan menyebabkan peningkatan viskositas dan meningkatkan daya lekat sekret. Oleh karena itu, rhDNase dapat digunakan sebagai mukolitik yang efektif, dan hal ini sudah dibuktikan pada fibrosis kistik. Nasr melakukan suatu randomized controlled trial, yaitu nebulisasi rhDNase solusion 1 mg/,l pada 2,5 ml pelarut (terdiri dari 150 mM NaCl, 1,5mM CaCL dengan pH 6) satu kali per hari selama 5 hari dibandingkan dengan plasebo. Kedua kelompok juga mendapatkan nebulisasi albuterol. Keluaran yang dinilai adalah skor klinis dan skor radiologis dada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor klinis dan saturasi oksigen tidak berbeda bermakna, sedangkan skor gambaran radiologis dada berbeda secara bermakna. Selain itu, dilaporkan juga bahwa lama perawatan menjadi lebih pendek. Tidak dilaporkan adanya efek samping. Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara klinis stabil, oksigenasi baik dan hidrasi baik. Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan akut bronkiolitis adalah : - Dapat melakukan pengawasan terhadap status klinis - Dapat melakukan pemantauan saluran nafas (melalui penempatan posisi, pengisapan dan pembersihan cairan). - Dapat melakukan pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat - Dapat memberikan edukasi kepada orang tua. - Mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul - Mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai
14
- Melakukan pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat indikasi. Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit : - Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan - Apnoe - Ketidakmampuan untuk makan - Hypoksemia - Pasien dengan kondisi dasar medis.
Tabel 2. Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya
15
2.10 Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan 2 hal, yaitu pemberian immunoglobulin dan vaksinasi. Pemberian immunoglobulin merupakan imunisasi pasif. Selain itu, yang paling penting adalah menjaga higienitas umum, terutama menghindari kontak dengan orang dewasa/anak yang menderita infeksi saluran pernapasan.
2.11 Prognosis Suatu studi kohort menunjukkan bahwa 23% bayi yang memiliki riwayat bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Penelitian lain yang dilakukan di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkiolitis memiliki kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hiperreaktivitas yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik pada RSV positif maupun negatif. Sekitar 40-50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan menderita mengi di kemudian hari. Infeksi dari RSV berkaitan dengan respon sel T berupa produksi sitokin oleh sel Th tipe 2, yang juga terjadi pada asma. Keadaan ini ditandai dengan sitokin oleh sel T dan eosinofil, serta pelepasan mediator yang larut (histamin, kini, dan leukotrien lain). Pada anak dengan bronkiolitis, mengi yang lebih sering dan berat berhubungan dengan kadar antibodi IgE terhadap RSV dan virus parainfluenza, menunjukkan antibodi yang dirangsang virus meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. RSV juga dapat mempengaruhi mengi dengan cara mengubah jalur saraf yang menyebabkan responsifnya saluran respiratori. Jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm. Adanya eosinofil meramalkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa anak-anak. Hal ini dijelaskan oleh adanya kelainan imunologis yand mendahului bronkiolitis atau yang dipicu oleh bronkiolitis, dan bukan karena kerusakan struktural jalan napas yang disebabkan bronkiolitis. Terdapat beberapa faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh, seperti riwayat keluarga dengan asma, jenis kelamin, dan paparan pasif asap rokok. Namun, hanya eosinofilia yang memiliki hubungan
16
bermakna. Tidak dapat dibuktikan bahwa bronkiolitis terjadi pada anak yang memiliki kecenderungan asma. Tetapi, bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan dengan asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalensi asma pada anak dari kelompok pengobatan.
2.12 Kriteria pulang Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas 93% atau stabil selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang lain.
2.13 Pencegahan Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak langsung dengan sekret pasien yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah sakit seperti perhatian khusus terhadap kebersihan sekret pasien dan kebersihan badan petugas rumah sakit tampaknya dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini menggunakan RSV imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500-750 mg/Kg BB) tampaknya dapat mencegah RSV pada pasien resiko tinggi, sebagai tambahan RSV imunoglobulin intra venus dalam bentuk aerosol dapat memberikan keuntungan pada pasien dengan bronkiolitis karena RSV. Dalam penelitian baru oleh Rimensberger, dkk., menyimpulkan bahwa dosis tunggal RSV imunodlobulin intra vena (0,1 gr/Kg BB) tidak menunjukan keuntungan untuk bronkiolitis akut karena RSV. Saat ini tampaknya ada kerugian
yang
ditimbulkan oleh penggunaan human polyclonal RSV- Imunoglobulin antibodi spesifik pada bayi. Hal ini meliputi penggunaan bulanan secara intra vena antara 2-4 jam. Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus bronkiolitis karena RSV terjadi pada bayi umur 2-5 bulan untuk itu vaksinasi dapat menstimulasi keefektifan setelah bayi berumur 2 bulan.
17
2.14
Komplikasi Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari
penatalaksanaan penyakit sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap, dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial. Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif menemukan bahwa 23 % bayi dengan riwayat bronkhiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1 % pada kelompok kontrol.
18
BAB III KESIMPULAN
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan. Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Secara umum tatalaksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah : 1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik. 2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. 3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. 4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat. 5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. 6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, R.E, 2010, Bronchiolitis, in the book, Nelson : Essentials of Pediatrics, W.B Sounders Company, Philadelphia, pg. 431-3. 2. Ismangoen, H, Naning. R, 2004, Bronkiolitis, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, FK UGM, Yogyakarta, hal. 1-9. 3. A. P. Uyan, H. Ozyurek, M. Keskin, Y. Afsar & E. Yilmaz : Comparison Of Two Different Bronchodilators In The Treatment Of Acute Bronchiolitis . The Internet Journal of Pediatrics and Neonatology. 2003 Volume 3 Number 1 4. Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012. 5. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology concepts of altered health states. Eight edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009. p.695-7
6. Carroll KN, et.all. increasing burden and risk factor for bronchiolitis. Related medical visits in infants enrolled in a state health care insurance plan. Pediatrics 2008; 122; 58-64. 7. Sastroasmoro S. Bronkiolitis. Dalam: Sastroasmoro S. Panduan pelayanan medis departemen ilmu penyakit anak. Jakarta: RSCM, 2007. h.424-5
8. Watts KD, Goodman DM. Wheezing, bronchiolitis, and bronchitis. In: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JW, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier, 2011. p.1456-9.
9. Leung AKC, Kellner JD, Davies HD. Respiratory synctial virus bronchiolitis. Journal of National Medical Association; 2005; 97(12): 1708-12.
10. AAP. Diagnosis and management of bronchiolitis. Pediatrics; 2006; 118 11. Mazumder M, Hossain MM, Kabir A. Management of bronchiolitis with or without
antibiotics-a randomized control trial. J Bangladesh Coll Phys Surg; 2009; 27: 63-9.
12. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and management.
Pediatrics; 2010; 125:342-7
13. Singh AM, Moore PE, Gern JE. Bronchiolitis to asthma: a review and call for studies of gene-virus interactions in asthma causation. Am J Respir Crit Care Med; 2007; 175: 108-16.
20
BAB I LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien Nama
: An. D
Jenis Kelamin
: laki-laki
Usia
: 2 bulan
Agama
: Islam
Warga Negara
: Indonesia
Alamat
: Tungkal Ilir
Nomor RM
: 122751
Tanggal masuk RS
: 22 oktober 2016
II. Anamnesa Anamnesa dilakukan secara alloanamnesa kepada ibu OS A. Keluhan Utama Sesak nafas B. Riwayat Penyakit Sekarang Os datang dibawa keluarga dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari SMRS, sesak dirasakan terus menerus, tidak membaik atau memburuk dengan perubahan posisi namun memberat ketika os menangis. Tidak ada bunyi ngik-ngik maupun bunyi seperti orang mengorok. Tidak ada biru pada ujung jari os. Os juga mengalami demam, sejak 3 hari SMRS, menurut orang tua os demam naik turun namun suhu tubuh tidak pernah diukur. Keluhan batuk (+), berdahak, warna putih kental, namun tidak berdarah. Pilek (+). Keluhan muntah, diare disangkal os. Nafsu minum menurun. Buang air kecil (+), buang air besar (+) normal. C. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tidak ada riwayat sesak sebelumnya. Tidak ada riwayat batuk maupun pilek sebelumnya. D. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit asma. Tidak ada anggota keluarga pasien yang tinggal satu rumah yang memiliki keluhan sama
21
dengan pasien. Tidak ada anggota keluarga kandung yang memiliki alergi terhadap makanan, obat-obatan, maupun zat-zat tertentu. E. Riwayat Kehamilan Pasien merupakan anak ke empat. Selama hamil, ibu pasien mengaku tidak pernah mengalami batuk, pilek, maupun demam. Ibu pasien tidak memiliki hipertensi maupun diabetes selama kehamilan. Tidak ada penyulit selama ibu pasien hamil. Ibu pasien mengaku rutin kontrol ke bidan selama hamil. F. Riwayat Kelahiran Pasien lahir ditolong oleh dukun. Pasien lahir spontan, cukup bulan dengan berat lahir, panjang badan serta lingkar kepala yang tidak diukur. Pasien langsung menangis, nilai APGAR tidak diketahui. Tidak ada penyulit saat kelahiran. G. Riwayat Nutrisi Pasien hingga saat ini masih minum ASI setiap 2 jam sekali. Tidak ada diare, mual, maupun muntah. H. Riwayat Tumbuh Kembang Saat ini os sudah dapat mengikuti gerakan, mulai memasukkan jari ke dalam mulut, dapat menahan kepala 45 derajat saat diangkat. I. Riwayat Imunisasi Pasien belum pernah di imunisasi
II. Pemeriksaan Fisik A. Keadaan Umum : Kompos mentis
- Kesadaran
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang, bergerak aktif
B. Tanda Vital - Nadi
: 108x/ menit, kuat, teratur, isi cukup, equal
- Pernafasan : 80x/ menit, reguler, dalam, abdominotorakal
- Suhu
: 37,2°C peraxilla
C. Antropometri - Berat badan
: 5400 gr
- Panjang badan
: 57 cm
- Lingkar kepala
: 37 cm
22
D. Status Nutrisi - BB/U
: Z-score > 2 SD
- PB/U
: Z-score > 2SD
Kesimpulan: gizi cukup E. Status Generalisata - Kepala
: Normosefal, deformitas (-), rambut hitam, tidak mudah dicabut, tersebar merata, ubun-ubun belum menutup dan tidak cekung
Mata
: Mata cekung -/-, konjungtiva anemi -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, RC +/+
Hidung
: deformitas (-), pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-)
Mulut
: Mukosa lembab, belum ada gigi, tonsil T1/T1, arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis (-)
Telinga - Leher
: deformitas (-),nyeri tekan tragus (-), membran timpani intak : KGB tidak teraba membesa
- Paru Inspeksi
: kelainan bentuk dada (-), pergerakan dada simetris terdapat retraksi (+)
Palpasi
: fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler, rhonki +/+, wheezing +/+. Wheezing terdengar lebih dominan dibandingkan rhonki. - Jantung Inspeksi
: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: iktus kordis teraba di sela iga IV linea midklavikula kiri,
Perkusi
: tidak dilakukan.
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-) - Abdomen Inspeksi
: datar, lemas, tidak terdapat venektasi
Palpasi
: tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi
: timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal, 5 kali per menit. - Genital
: Tidak ada kelainan, tidak ada eritema pada daerah genital,
23
- Anus
: Tidak tampak hiperemis, tidak ada massa, tidak ada fissura
- Extremitas : Tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT <2 detik.
III. Pemeriksaan Penunjang A. Laboratorium Jenis Pemeriksaan
Hasil
Leukosit
5200
Trombosit
287.00
Hb
9,9 gr/dl
Ht
30,0 %
GDS
118 mg/dl
B. Rontgen Thorak
24
IV. Diagnosis Kerja Bronkiolitis
V. Penatalaksaan - o2 nasal canul 2-3l/i - IVFD D10% + KCl 10 cc : 23 cc/jam - inj. Cefotaxime 3x135 mg (iv) - Inj. Dexamethason dosis awal 3 mg dilanjutkan 3x1 mg (iv) - inhalasi ventolin + NaCl 0,9% 3 cc / 8 jam - pasien dipuasakan
25
Follow Up
23-10-2016 S
: sesak (+) berkurang, Batuk (+), demam (+)
0
: HR : 126x/I, RR:62x/I, T: 38,3 Mata: edema -/-, cekung -/-, CA -/-, SI -/Hidung : PCH -/Paru : vesikuler, Rh +/+, Wh +/+, retraksi dinding dada +/+ minimal Jantung : BJ I,II regular, murmur -, gallop – Abdomen: supel, BU +, hepar lien : tidak teraba Extremitas : sianosis -, akral hangat, crt <2 detik
A
: Bronkiolitis
P
: - o2 nasal canul 2-3l/I - IVFD D10% + KCl 10 cc : 23 cc/jam - inj. Cefotaxime 3x135 mg - Inj. Dexamethason 3x1 mg - inhalasi ventolin + NaCl 0,9% 3 cc / 8 jam - pasien dipuasakan - PCT drop 3x0,8 ml
24-10-2016 S
: sesak (+) perbaikan, Batuk (+), demam (+), os kejang 1x
0
: HR : 122x/I, RR:56x/I, T: 36,5 Mata: edema -/-, cekung -/-, CA -/-, SI -/Hidung : PCH -/Paru : vesikuler, Rh +/+, Wh +/+, retraksi dinding dada -/Jantung : BJ I,II regular, murmur -, gallop – Abdomen: supel, BU +, hepar lien : tidak teraba Extremitas : sianosis -, akral hangat, crt <2 detik
A P
: Bronkiolitis + obs kejang ec tsk meningitis : - o2 nasal canul 2-3l/I - IVFD D10% + KCl 10 cc : 23 cc/jam
26
- inj. Cefotaxime 3x135 mg - Inj. Dexamethason 3x1 mg - inhalasi ventolin + NaCl 0,9% 3 cc / 8 jam - pasien dipuasakan - PCT drop 3x0,8 ml - Stesolid supp 5 mg
25-10-2016 S
: sesak perbaikan, bunyi nafas grok2 masih ada, batuk +, demam -, kejang -
0
: HR : 120x/I, RR:48x/I, T: 36,5 Mata: edema -/-, cekung -/-, CA -/-, SI -/Hidung : PCH -/Paru : vesikuler, Rh +/+, Wh +/+, retraksi dinding dada -/Jantung : BJ I,II regular, murmur -, gallop – Abdomen: supel, BU +, hepar lien : tidak teraba Extremitas : sianosis -, akral hangat, crt <2 detik
A
: Bronkiolitis + obs kejang ec tsk meningitis
P
: - IVFD D10% 50cc + KCl 10 cc + NaCl 75 cc : 23 cc/jam - inj. Ceftriaxone 1x540 mg - Pyrexin supp 80 mg jika t > 39 - PCT drop 3x0,8 ml jika demam - Stesolid supp 5mg jika kejang - pasien dipuasakan - Suction jika banyak lender
26-10-2016 S
: Sesak perbaikan, Batuk (+), demam (-), kejang (-), terdapat putih-putih pada mulut
O
: HR : 112x/I, RR:44x/I, T: 36,5 Mata: edema -/-, cekung -/-, CA -/-, SI -/Hidung : PCH -/Mulut : candidiasis +
27
Paru : vesikuler, Rh +/+, Wh +/+, retraksi dinding dada -/Jantung : BJ I,II regular, murmur -, gallop – Abdomen: supel, BU +, hepar lien : tidak teraba Extremitas : sianosis -, akral hangat, crt <2 detik A
: Bronkiolitis + obs kejang ec tsk meningitis + candidiasis oral
P
: - IVFD D10% 50cc + KCl 10 cc + NaCl 75 cc : 23 cc/jam - inj. Ceftriaxone 1x540 mg - Pyrexin supp 80 mg jika t > 39 - PCT drop 3x0,8 ml jika demam - Stesolid supp 5mg jika kejang - Nistatin drop 4x0,5 ml - Coba menyusu ASI, jika sesa puasakan - Suction jika banyak lendir
27-10-2015 S
: sesak-, batuk + sesekali, demam -, kejang -, putih dimulur sudah berkurang
O
: HR : 118x/I, RR:36x/I, T: 36 Mata: edema -/-, cekung -/-, CA -/-, SI -/Hidung : PCH -/Mulut : candidiasis + Paru : vesikuler, Rh +/+, Wh +/+ minimal Jantung : BJ I,II regular, murmur -, gallop – Abdomen: supel, BU +, hepar lien : tidak teraba Extremitas : sianosis -, akral hangat, crt <2 detik
A
: Bronkiolitis + obs kejang ec tsk meningitis + candidiasis oral
P
: - IVFD KAEN 1B 23 cc/jam - inj. Ceftriaxone 1x540 mg - Pyrexin supp 80 mg jika t > 39 - PCT drop 3x0,8 ml jika demam - Stesolid supp 5mg jika kejang - Nistatin drop 4x0,5 ml - Menyusu ASI
28
- Suction jika banyak lendir 28-10-2016 S
: sesak-, batuk + sesekali, demam -, kejang -, putih dimulur sudah berkurang
O
: HR : 118x/I, RR:36x/I, T: 36 Mata: edema -/-, cekung -/-, CA -/-, SI -/Hidung : PCH -/Mulut : candidiasis + Paru : vesikuler, Rh +/+, Wh +/+ minimal Jantung : BJ I,II regular, murmur -, gallop – Abdomen: supel, BU +, hepar lien : tidak teraba Extremitas : sianosis -, akral hangat, crt <2 detik
A
: Bronkiolitis + obs kejang ec tsk meningitis + candidiasis oral
P
: - IVFD KAEN 1B 23cc/jam - inj. Ceftriaxone 1x540 mg - Pyrexin supp 80 mg jika t > 39 - PCT drop 3x0,8 ml jika demam - Stesolid supp 5mg jika kejang - Nistatin drop 4x0,5 ml - Menyusu ASI - Suction jika banyak lendir
29-10-2016 S
: sesak-, batuk berkurang, demam (-), kejang (-), putih dimulut sudah berkurang
O
: HR : 112x/I, RR:32x/I, T: 36,4 Mata: edema -/-, cekung -/-, CA -/-, SI -/Hidung : PCH -/Mulut : candidiasis + Paru : vesikuler, Rh +/+, Wh -/Jantung : BJ I,II regular, murmur -, gallop – Abdomen: supel, BU +, hepar lien : tidak teraba Extremitas : sianosis -, akral hangat, crt <2 detik
29
A
: Bronkiolitis + obs kejang ec tsk meningitis + candidiasis oral
P
: - Pyrexin supp 80 mg jika t > 39 - PCT drop 3x0,8 ml jika demam - Stesolid supp 5mg jika kejang - Nistatin drop 4x0,5 ml - Menyusu ASI - Boleh pulang
30