Tinjauan Akad dalam Keuangan Syariah
Akad memiliki arti penting bagi manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Karena akad merupakan dassar dalam berbagai aktivitas manusia. Melalui akad pernikahan seorang laki-laki disatukan dengan seorang perempuan dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami istri. Lebih luas lagi, semua relasi manusia baik antar individu maupun kelompok tidak terlepas dari akad untuk memfasilitasi setiap aktivitasnya. Tidak seorang pun manusia dapat mewujudkan kemaslahatan dalam hidupnya tanpa bantuan pihak lain, dan keterlibatan orang lain, baik secara individu maupun kelompok. Dengan demikian, akad merupakan sarana sosial dalam pembentukan dan perubahan peradaban secara makro dalam tata kehidupan umat manusia. Dalam konsep ekonomi, manusia hidup dalam suatu kelompok masyarakat yang secara keseluruhan membentuk sistem. Secara sederhana sistem dapat diartikan sebagai interaksi, kaitan dari unsur-unsur yang lebih kecil membentuk satu satuan yang lebih besar dan bersifat kompleks.
Pengertian Akad dan Pentingnya dalam Muamalah
Lafal akad berasal dari lafal Arab al-’aqd yang berarti perikatan, perjanjian atau permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fikih, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.1 Sehingga jika dirumuskan pengertian akad adalah suatu perikatan, perjanjian yang ditandai adanya pernyataan melakukan ikatan (ijab) dan pernyataan menerima ikatan (qabul) sesuai dengan syariah Islamiyah yang mempengaruhi obyek yang diperikatkan oleh pelaku perikatan. Akad juga memiliki rukun dan syarat akad yang akan menunjukan berlaku atau tidaknya suatu akad, yakni sebagai berikut: a. Rukun Akad
Menurut hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu disebut rukun. Jadi, unsur-unsur yang membentuk akad yang disebut sebagai rukun akad yang disepakati ada empat macam, yaitu: 1) Para pihak yang membentuk akad 2) Pernyataan kehendak para pihak 3) Objek akad, dan 4) Tujuan akad. b. Syarat Akad Setiap rukun (unsur) yang membentuk akad membutuhkan syarat-syaraty agar unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk akad. Syarat adalah bagian-bagian yang mendukung berfungsinya rukun untuk membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat itu, rukun tidak dapat membentuk akad. Syarat-syarat dalam rukun akad, adalah: 1) Rukun pertama, para pihak memerlukan syarat hukum, yaitu tamyiz, dan berbilang pihak. 2) Rukun kedua, pernyataan kehendak para pihak membutuhkan syarat: (1) adanya persesuaian ijab dan kabul, atau kata sepakat, dan (2) kesatuan majelis akad. 3) Rukun ketiga, objek akad harus memenuhi tiga syarat: (1) objek itu dapat diserahkan, (2) tertentu atau dapat ditentukan, dan (3) objek itu dapat ditransaksikan. 4) Rukun keempat, tujuan akad memerlukan satu syarat yakni tidak bertentangan dengan syara’.
Akad jelas sangat penting dalam kehidupan manusia, hubungan sosial dalam bermasyarakat atau kerkaitan erat dalam bidang ekonomi, dan hal lainnya. Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah sebagai berikut: a) Asas kebebasan berkontrak b) Asas perjanjian itu mengikat c) Asas konsensualisme
d) Asas ibadah e) Asas keadilan dan keseimbangan prestasi. f) Asas kejujuran (amanah) Asas kebebasan berkontrak didasarkan firman Allah dalam surat Maidah ayat 1. Kebebasan berkontrak pada ayat ini disebutkan dengankata “akad-akad” atau dalam teks aslinya adalah al-‘uqud, yaitu bentuk jamak menunjukkan keumuman artinya orang boleh membuat bermacam-macam perjanjian dan perjanjianperjanjian itu wajib dipenuhi. Namun kebebasan berkontrak dalam hukum Islam ada batas-batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama dengan jalan batil. Sesuai firman Allah Surat An Nisaa’ ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Asas perjanjain itumengikat dalam Al Qur’an memerintahkan memenuhi perjanjian seperti pada surat Al ‘Israa ayat 34 yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisaa’ ayat 29 yang telah dikutip di atas yakni atas dasar kesepakatan bersama. Asas ibahah merupakan asas yang berlaku umum dalam seluruh muamalat selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini didasarkan kaidah Fiqh yakni: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Asas keadilan dan keseimbangan prestasi asas yang menegaskan pentingnya kedua belah pihak tidak saling merugikan. Transaksi harus didasarkan keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa yang diterima. Asas kejujuran dan amanah, dalam bermuamalah menekankan pentingnya nilai-nilai etika di mana orang harus jujur, transparan dan menjaga amanah.
Menurut Abdul Manan asas-asas akad adalah sebagai berikut: kebebasan, persamaan dan kesetaraan, keadilan, kerelaan, tertulis. Di samping asas-asas tersebut di atas Gemala Dewi dkk, menambah dua asas yakni asas Ilahiyah dan asas kejujuran.
Beragam Akad dalam Muamalah
Akad banyak macamnya dan berlain-lainan namanya serta hukumnya, lantaran berlainan obyeknya. Masyarakat, atau agama sendiri telah memberikan nama-nama itu untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Istilah-istilah ini tidak diberikan oleh para ulama, namun ditentukan agama sendiri. Karenanya terbagilah akad kepada : 1. ‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namanya oleh syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu. 2. ‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan namanya secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh syara’ sendiri. ‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam. Nama-nama ini semuanya kita ketemukan satu persatu sesudah kita mempelajari bagian muamalah maliyah dalam ilmu fiqh.
1)
Bai’
ام ِ الم ْل ِكيّا ِ اس ُم َبادَلَ ِة ال َما ِل لُي ِف ْيدَ ت َ َبادُ َل ِ س َ َ َع ْقد ٌ َيقَ ْو ُم َعلَى ا َ ت َعلَى الد َّو “Akad yang berdiri atas dasar penukaran harta dengan harta lalu terjadilah penukaran milik secara tetap” Akad ini adalah pokok pangkal dari uqud mu’awadlah, hukum-hukumnya merupakan naqis ‘alaihi, dalam kebanyakan hukum akad. Karena itulah kalau kita membaca kitab-kitab fiqh, maka yang mula-mula kita ketemukan dalam bab muamalah, ialah: Babul ba’i (Kitabul Ba’i). Bab ini merupakan titil tolak untuk membahas segala masalah muawadlah maliyah.
2)
Ijarah
ّ عهُ ال ُمبَادَلَةُ َعلَى َم ْنفَعَ ِة ال ُ َع ْقد ٌ َم ْوض ُْو ٍ ى ت َْم ِل ْي ُك َها بِ ِع َو ْ َ ش ْي ِء بِ ُمدّةٍ َمحْ د ُْودَةٍ أ َ ض فَ ِه ِي بَ ْي ُع ال ُمنَافِع “Akad yang obyeknya, ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu artinya: memilikkan manfaat dengan iwadl, sama dengan menjual manfaat”.
3)
Kafalah
َ ض ُّم ِذ َّم ٍة إِلى ِذ َّم ٍة ِفى ال ُم طالَ َب ِة َ “Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan”. Atau dalam ibarat yang lain dikatakan: َّ اك نَ ْف ِس ِه َمعَهُ فِى ال َم ْس ُؤ ِليَّ ِة بِ ِه ت ُ َجاهَ ال ب ِ ب َعلَى َغي ِْر ِه َوا ْش َر ٍ ام ش َْخ ٍ اج ِ طا ِل َ َ َع ْقد ٌ يَت ِ ق َو ِ ّ ص بِ َح َ َض َّمنُ ْالتِز “Akad yang mengandung perjanjian dari seseorang, bahwa padanya ada hak yang wajib dipenuhi untuk selainnya dan menserikatkan dirinya bersama orang lain itu dalam tanggung jawab terhadap hak itu dalam menghadapi seseorang penagih”. Multazim, dalam hal ini dinamakan kafiil. Multazim asli dinamakan makful atau makful ‘anhu. Multazim bihi, yaitu benda, dinamakan makful bihi.
4)
Hawalah
ي ِ ِإلَى َغي ِْر ِه ُ َع ْقد ٌ َم ْوض ُْو ْ َ عهُ نَ ْق ُل ال َم ْسئُو ِليَّ ِة ِمنَ الدَّائِ ِن األ ّ ص ِل “Suatu akad yang obyeknya memindahkan tanggung jawab dari yang mula-mula berhutang kepada pihak lain”. Madin dinamakan muhil, da’in dinamakan muhal, orang yang ketiga dinamakan muhal ‘alaih, hutang itu sendiri dinamakan muhal bihi.
5)
Rahn
ُق يُ ْم ِكنُ ا ْس ِت ْيفَاؤُ هُ ِم ْنه ُ َع ْقد ٌ َم ْوض ُْو ُ َعهُ اِحْ تِب ٍ ّ اس َما ٍل ِلقَا َء َح “Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna”. Maka orang yang memegang rahn (mahrum) dinamakan murtahin. Orang yang memberi rahn, atau menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin. Barang yang dinamakan barang gadaian itu dinamakan marhun bihi.
6)
Bai’ul Wafa’
َّ اظ ضي ِْن ِ َاس احْ تِف ُ ي فِي ِ س َ ق الت َّ َرا ِدّ فِى ال ِع َو َ َ ص ْو َرةِ بَيْعٍ َعلَى أ ِ ّ الط َرفَي ِْن بِ َح ٌّ َع ْقدٌت َْوفِ ْي ِق
“Akad taufiqi dalam rupa jual beli atas dasar masing-masing pihak mempunyai hak menarik kembali pada kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda)”. Aqad bai’ul wafa’ ini merupakan akad yang bercampur antara bai’dan iarah. Padanya ada unsur-unsur bai’ dan juga padanya ada juga unsure iarah, sedang hukum rahn lebih mempengaruhi akad itu. Akad ini mengandung arti jual beli; karena musytari dengan selesainya akad, memiliki segala manfaat yang dibeli itu. Dapat dipakai sendiri benda yang dibeli itu, dapat disewakan. Berbeda dengan rahn. Rahn tidak boleh ditasharrufkan oleh si murtahin dengan sesuatu tasharruf. Dan bai’ul wafa’ ini pula mengandung makna rahn, karena si musytari tidak boleh membinasakan barang itu, tidak boleh memindahkan barang itu kepada orang lain. Maka di suatu segi, kita katakan itu bai’, karena si musytari boleh mengambil manfaat barang itu, boleh bertasharruf dengan sempurna, dari segi yang lain kita katakana rahn; karena si musytari tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain. Kemudian si musytari dalam bai’ul wafa’ ini harus mengembalikan barang kepada si penjual, si penjual mengembalikan harga. Inilah yang dimaksudkan dengan bai’ul wafa’, dan si musytari dapaat mendesak si penjual mengembalikan harga.
7)
Al’ida
ان بِ َغي ِْر ِه فِى ِح ْف ِظ َما ِل ِه ُ َع ْقد ٌ َم ْوض ُْو َ اإل ْن ِ س ِ ُعهُ ا ْستِعَانَة “Sebuah akad yang obyeknya meminta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harga si penitip itu”. Si pemilik harga dinamakan mudi’; orang yang dipercaya untuk dititipkan barang dinamakan wadi’, benda yang dititipkan itu dinamakan wadi’ah. Harta wadi’ah yang diletakkan dibawah penjagaan si wadi’ dipandang amanah dan si wadi’ dipandang ‘amiin. Terkadang lafad wadi’ah dipakai untuk akad sendiri. Artinya amanah dalam istilah fuqoha, ialah si wadi’ tidak bertanggung jawab terhadap bencana-bencana yang tak disingkirkan, seperti bencana alam; dan si ‘amiin itu diharuskan bertanggung jawab apabila kerusakan terjadi lantaran kesalahannya. Akad Ida’ merupakan pokok dari segi akad amanah; karena akad inilah yang dilakukan untuk mempercayakan harga kepada seseorang.
8)
Al I’arah
َّ َع ْقد ٌ يَ ِرد ُ َعلَى التَّبَ ُّرعِ بِ َمنَافِعِ ال ش ْى ِء ِِل ْستِ ْع َما ِل ِه َو َر ِدّ ِه “Akad yang dilakukan atas dasar pendermaan terhadap manfaat sesuatu untuk dipakai dan kemudian dikembalikan”. Dalam akad terdapat tamlik manfaat tanpa iwadl. Orang empunya barang dinamakan mu’ir, orang yang meminjam dinamakan musta’ir, barang yang dipinjamkan namanya ‘ariyah. I’arah kebalikan ijarah. Ijarah, memiliki manfaat iwadl, atau menjual manfaat, sedang I’arah memberikan manfaat tanpa bayaran. Karenanya dalam ijarah wajib ditentukan batas waktu mengambil manfaat, umpamanya sebulan lamanya.
9)
Hibah
ض ُ َع ْقد ٌ َم ْوض ُْو ٍ ان َمالَهُ ِلغَي ِْر ِه َم ًّجانًا بِ ََل ِع َو َ اإل ْن ِ س ِ ُعهُ ت َ ْم ِليْك “Akad yang obyeknya ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara cumacuma tanpa adanya bayaran”. Orang yang memberikan hibah dinamakan wahib, yang menerimanya dinamakan mauhub lahu, harta yang diberikan itu dinamakan mauhub.
10) Aqdul Qismati َّ ص ال ُ إِ ْف ُر ْص ُك ِّل ِم ْن َها بِ ُج ْزءٍ ُمعَي ٍَّن ُ صي ِ ص ِ ْشائِعَ ِة فِ ْى ْال ِم ْل ِك َوتح َ از ْال ِح “Mengasingkan (menentukan) bagian-bagian yang berkembang (yang dimiliki bersama) dalam harta milik dan menentukan bagi masing-masing pemilik dari bagian itu, bagian tertentu”.