Thesis.docx

  • Uploaded by: Fathur Van Rochman Persie
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Thesis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 14,597
  • Pages: 86
1

I.

1.1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Sungai merupakan perairan tawar yang mengalir dari bagian hulu menuju

bagian hilir. Ekosistem ini tersusun atas komponen biotik dan abiotik yang saling berkaitan dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga membentuk suatu unit yang fungsional. Sungai juga merupakan habitat air tawar yang tidak dapat terhindar dari perubahan lingkungan akibat aktivitas alam (Irwan, 1992: 35). Sungai Air Hitam merupakan salah satu anak sungai dari Sungai Siak dengan panjang ± 8,5 km (Anonimus, 2013). Pada sepanjang daerah aliran Sungai Air Hitam, sudah banyak terdapat aktivitas pemukiman penduduk dan juga terdapat beberapa pabrik tahu. Adanya limbah dari pabrik tahu dan aktivitas masyarakat yang masuk ke dalam Sungai Air Hitam memberikan pengaruh terhadap kualitas air dan organisme di perairan, salah satunya makrozoobenthos. Herlambang (2002) menuliskan dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran bahan organik limbah industri tahu adalah gangguan terhadap kehidupan biotik dan turunnya kualitas perairan akibat meningkatnya kandungan bahan organik. Apabila konsentrasi beban organik terlalu tinggi, maka akan tercipta kondisi anaerobik yang menghasilkan produk dekomposisi berupa amonia, karbondioksida, asam asetat, hirogen sulfida, dan metana. Odum (1994) menjelaskan bahwa komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisik, kimia dan biologi suatu perairan. Salah satu biota yang digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu

2

perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di dasar perairan tersebut, diantaranya adalah makrozoobentos. Makrozoobentos baik digunakan sebagai indikator untuk mengetahui perubahan kualitas perairan. Organisme makrozoobenthos hidupnya relatif menetap (sessil) sehingga peka terhadap perubahan lingkungan dan efektif dalam menentukan tercemar atau tidaknya suatu perairan. Menurut Mason (1981), makrozoobenthos sering dipakai sebagai bioindikator pencemaran di suatu perairan, hal ini dikarenakan makrozoobenthos hidup menetap (sessil) dan mobilitasnya rendah sehingga dapat digunakan untuk menduga kualitas suatu perairan dimana komunitas organisme tersebut berada. Makrozoobentos cukup besar peranannya dalam ekosistem perairan yaitu menguraikan materi organik yang jatuh kedasar perairan. Makrozoobentos mentransfer energi dari produsen primer ketingkatan trofik berikutnya, selain itu mengemukakan bahwa makrozoobentos berperan dalam proses menetralisasikan lingkungan perairan dengan cara merubah balik limbah organik menjadi sumber makanannya sehingga kondisi perairan menjadi stabil (Siagian 1998; Suin 2002). Banyaknya aktivitas manusia seperti aktivitas masyarakat dan pabrik tahu di Sungai Air Hitam Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru Provinsi Riau, dikhawatirkan akan berdampak terhadap kualitas perairan dan kelestarian makrozoobentos di daerah tersebut. Peneliti perlu mengadakan pendataan baik jenisnya, kepadatan dan kelimpahan makrozoobentos di Sungai Air Hitam Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Sejauh ini belum diketahui keanekaragaman makrozoobentos dan kualitas Sungai Air Hitam, berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan.

3

1.2.

Perumusan Masalah Meningkatnya aktivitas di sekitar Sungai Air Hitam Kecamatan Payung

Sekaki Kota Pekanbaru Provinsi Riau seperti aktivitas masyarakat dan pabrik tahu dikhawatirkan akan berdampak terhadap kelestarian makrozoobentos. Limbah cair tahu mengandung bahan organik yang tinggi baik dalam bentuk padatan tersuspensi maupun terlarut, sehingga menyebabkan perubahan kondisi ekologis terhadap kehidupam biota terutama keanekaragaman makrozoobentos.pada Sungai Air Hitam Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru Provinsi Riau. 1.3.

Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui fisik dan kimia di Sungai Air Hitam dalam hubungannya dengan baku mutu kualitas air berdaarkan PP 82 Tahun 2001 dan metode Storet di kawasan Sungai Air Hitam Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru Provinsi Riau. b. Untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos pada perairan Sungai Air Hitam c. Untuk

mengetahui

hubungan

keanekaragaman

dan

kelimpahan

makrozoobentos yang terdapat di perairan Sungai Air Hitam dengan sifat fisika dan kimia yang dimilikinya.

4

II.

2.1.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Sedimen Sedimen adalah material bahan padat, berasal dari batuan yang mengalami

proses pelapukan, peluluhan (desintegration), pengangkutan oleh air, angin dan gaya gravitasi, serta pengendapan atau terkumpul oleh proses atau agen alam sehingga membentuk lapisan-lapisan di permukaan bumi yang padat atau tidak terkonsolidasi (Bates dan Jackson, 1987). Sedimen permukaan dasar laut umumnya tersusun oleh: material biogenik yang berasal dari organisme, material autogenik hasil proses kimiawi laut (seperti glaukonit, garam, fosfor), material residual, material sisa pengendapan sebelumnya, dan material detritus sebagai hasil erosi asal daratan (seperti kerikil, pasir, lanau dan lempung) Vijaya dalam Syafrudin dan Riizky (2015). Sedimen pada umunya diartikan sebagai hasil dari proses pelapukan terhadap suatu tubuh batuan yang kemudian mengalami erosi, ditransportasikan oleh air, angin dan lain-lain, dan pada akhirnya terendapkan. Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransportasikan oleh media air, angin, es, atau gletser di satu cekungan. Batuan sedimen adalah suatu batuan yang terbentuk dari hasil sedimentasi, baik secara mekanik maupun secara kimia dan organik (Darmadi, 2010).

5

Thurman dan Trujillo (2004) menyatakan bahwa pergerakan sedimen dipengaruhi oleh kecepatan arus dan ukuran butir sedimen. Semakin besar ukuran butir sedimen tersebut maka kecepatan yang dibutuhkan juga akan semakin besar untuk mengangkut partikel sedimen tersebut. Carefoot dalam Arifin (2008) menyatakan bahwa butiran sedimen dapat dipindahkan dari muara dalam jumlah yang besar karena aktivitas arus dan gelombang yang intensif di muara. Hal ini dapat dilihat dari perubahan garis pantai yang terdekat dengan muara sungai. Jadi proses erosi, pengangkutan dan pengendapan sedimen tergantung pada dua faktor yaitu sifat fisika kimia sedimen dan kondisi biologi perairan. Rifardi (2008) menjelaskan bahwa pola dan karakteristik sedimen di pengaruhi oleh aktivitas antropogenik dan alam. Oleh sebab itu, hasil penelitian tentang sedimen akan memberikan informasi tentang efek yang terjadi pada lingkungan yang disebabkan oleh kedua aktifitas tersebut. Pengklasifikasian sedimen menurut asal atau sumbernya sedimen dibagi menjadi empat macam menurut Rifardi (2010) yaitu: 1.

Sedimen Lithogeneous Sedimen yang berasal dari proses erosi pantai dan material hasil erosi daerah

up land. Material ini dapat sampai ke dasar laut melalui proses mekanik, yaitu terbawa oleh arus sungai atau arus laut dan akan mengendap jika energi yang membawa telah melemah. 2.

Sedimen Biogeneous Sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari

remah-remah tulang, gigi-geligi dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan

6

mikro. Sedimen ini juga berasal dari sisa-sisa rangka organisme hidup. Thurman dan Trujillo (2004) menyatakan, bahwa dua campuran kimiawi yang paling umum terdapat dalam sedimen biogenous adalah calcium carbonat (CaCO3), dimana tersusun dari mineral calcite dan silica (SiO2). Seringkali silika secara kimiawi dikombinasikan dengan air untuk menghasikan SiO2 dan H2O. 3.

Sedimen Hydrogeneous Sedimen yang berasal dari komponen kimia air laut dengan konsentrasi

yang kelewat jenuh sehingga terjadi pengendapan (deposisi) didasar laut contohnya Mangan (Mn) berbentuk nodul, fosforit (P2O5), dan glaukonit (hidrosilikat yang berwarna kehijauan dengan komposisi yang terdiri dari ion-ion K, Mg, Fe dan Si) (Wibisono, 2005). Sedimen hydrogenous terdiri dari mineral yang mempercepat proses presipitasi dari laut. Jenis partikel ini dibentuk sebagai hasil reaksi kimia dalam air laut. Reaksi kimia yang terjadi disini bersifat sangat lambat, dimana untuk membentuk sebuah nodul yang besar diperlukan waktu selama berjuta-juta tahun dan proses ini kemudian akan berhenti sama sekali jika nodul telah terkubur di dalam sedimen (Garrison, 2006). 4.

Sedimen Cosmogeneous Sedimen yang berasal dari luar angkasa di mana partikel dari benda-benda

angkasa ditemukan di dasar laut dan banyak mengandung unsur besi sehingga mempunyai respon magnetik dan berukuran antara 10-640 µ (Munandar, 2014). Sedimen cosmogenous juga berasal dari berbagai sumber seperti letusan gunung vulkanik dan masuk ke laut melalui jalur media udara/angin. Dalam hal ini umumnya sedimen tidak dalam jumlah yang dominan dibandingkan sumbersumber yang lain (Sugeng, 2002).

7

2.2.

Sedimentasi Sedimentasi adalah pengendapan butiran sedimen dari kolom air ke dasar

perairan. Di perairan proses ini meliputi pelepasan (detachment) dalam bentuk tersuspensi

(suspension),

melompat

(saltation),

berputar

(rolling),

dan

meggelinding (sliding). Butiran-butiran tersebut akan mengendap bila aliran air tidak dapat mempertahankannya. Sedimen merupakan parameter yang paling menonojol dalam hubungan dengan penyebaran material bahan dasar laut atau pendangkalan dari bahan tersuspensi yang berada di dalam kolom air. Proses ini akan merubah kedalaman dan konfigurasi pantai sehingga merubah keadaan dasar laut, baik secara vertikal maupun horizontal (Uktoselya, 1992). Dalam suatu proses sedimentasi, zat-zat yang masuk ke laut berakhir menjadi sedimen. Zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi sepanjang kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat tersebut melayang-layang di laut. Setelah mencapai dasar laut pun, sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut dalam mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia antara butirbutir mineral dan air laut sepanjang perjalanannya ke dasar laut dan reaksi tetap berlangsung penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara butiran mineral (Muawanah dan Supangat, 1998). Perairan pesisir, proses sedimentasi di pengaruhi oleh dinamika perairan seperti pasang surut, gelombang, arus menyusuri pantai, pencampuran masa air

8

akibat perbedaan densitas antara air laut dengan air tawar. Disamping itu proses sedimentasi juga dipengaruhi oleh sifat-sifat sedimen itu sendiri yaitu ukuran, bentuk dan densitas dari butiran sedimen serta tipe vegetasi yang dapat menahan sedimen. 2.3.

Dinamika Kawasan Pesisir Dinamika kawasan pesisir merupakan perubahan yang terjadi khususnya

pantai yang mengarah kepada perbaikan ataupun kerusakan. Vreugdenhil (1999) menjelaskan bahwa perubahan garis pantai adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus melalui berbagai proses baik pengikisan (abrasi) maupun penambahan (akresi) yang diakibatkan oleh pergerakan sedimen, arus susur (longshore current), tindakan ombak dan penggunaan tanah. Fenomena Erosi Erosi pantai diartikan sebagai proses mundurnya garis pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen, sedangkan abrasi pantai diartikan dengan proses terkikisnya batuan atau material keras seperti dinding atau tebing batu yang biasanya diikuti oleh longsoran dan runtuhan material (Wibowo, 2012). Triatmodjo (2012) menjelaskan bahwa erosi pantai bisa terjadi secara alami oleh serangan gelombang atau karena adanya kegiatan manusia seperti penebangan hutan bakau, pengambilan karang pantai, pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya, perluasan areal tambak ke arah laut tanpa memperhatikan sempadan pantai dan sebagainya Pada pantai yang berlereng terjal dan berbatuan cadas, gelombang mengawali kikisannya dengan membentuk notch, lereng vertikal yang cekung

9

(concave) ke arah daratan (lereng menggantung, overhanging). Bentukan lereng yang cekung ini memberi peluang kerja bagi gaya berat dari batuan di atas (overhanging), dan menjatuhkannya ke bawah (Hallaf, 2006). Adapun faktor penyebab erosi pantai diantaranya yaitu: 

Faktor alam: dimana terjadi pasang surut air laut dan juga tiupan angin laut yang menghasilkan gelombang serta arus laut yang kuat.



Penurunan permukaan tanah: Pengambilan air tanah yang berlebihan mengakibatkan turunnya permukaan tanah sehingga daratan menjadi lebih rendah dari lautan. Hal ini tentu meningkatkan resiko terjadinya banjir rob akibat meluapnya air laut ke daratan.



Kerusakan hutan mangrove: Masyarakat pesisir pantai menebang hutan mangrove untuk dijadikan pertambakan. Selain itu, kayu- kayu dari pohon mangrove juga dijual dan dijadikan pondasi bangunan. Kegiatan tersebut sangat mengganggu regenerasi dan menghambat proses suksesi hutan mangrove. Hal ini juga menyebabkan terjadi erosi dan hilangnya beberapa ekosistem pulau



Perubahan iklim global: Meningkatnya suhu bumi menyebabkan mencairnya es di kutub. Ketika es di kutub mencair secara signifikan maka akan menyebabkan naiknya permukaan air laut sehingga akan menggerus daratan yang rendah seperti pantai.

Fenomena Akresi Akresi atau sedimentasi adalah pendangkalan atau penambahan daratan akibat adanya pengendapan sedimen yang dibawa oleh air laut. Proses pengendapan ini bisa berlangsung secara alami dari proses sedimentasi dan aliran air tawar,

10

maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Shuhendry, 2004). Dengan kata lain, akresi merupakan peristiwa bertambahnya daratan di wilayah berdekatan dengan laut karena adanya proses pengendapan. Akresi juga dapat merugikan masyarakat pesisir, karena selain mempengaruhi ketidakstabilan garis pantai, akresi juga dapat menyebabkan pendangkalan muara sungai tempat lalu lintas kapal maupun perahu. Suatu pantai akan mengalami abrasi, akresi atau tetap stabil tergantung dari sedimen yang masuk dan yang meninggalkan pantai tersebut. Adapun faktor penyebab Akresi pantai diantaranya yaitu: 

Pasang Surut: Pengaruh gaya tarik bulan dan matahari mengakibatkan air laut di sepanjang pantai menjadi naik (air pasang) pada saat bersamaan di sepanjang pantai bagian bumi yang lainnya mengalami penurunan muka air laut (air surut).



Gelombang: Menurut Dahuri (1996), ombak merupakan salah satu penyebab yang berperan besar dalam pembentukan pantai, baik pantai abrasi maupun pantai sedimentasi. Ombak yang terjadi di laut dalam pada umumnya tidak berpengaruh terhadap dasar laut dan sedimen yang terdapat di dalamnya. Sebaliknya ombak yang terdapat di dekat pantai, terutama di daerah pecahan ombak mempunyai energi besar dan sangat berperan dalam pembentukan morfologi pantai, seperti menyeret sedimen (umumnya pasir dan kerikil) yang ada di dasar laut untuk ditumpuk dalam bentuk gosong pasir.

 Arus: Merupakan gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horizontal massa air. Sistem-sistem arus laut utama dihasilkan oleh beberapa daerah angin utama yang berbeda satu sama lain, mengikuti garis lintang sekeliling dunia dan

11

di masing-masing daerah ini angin secara terus menerus bertiup dengan arah yang tidak berubah-ubah (Nybakken dalam Putinella, 2002).

2.4.

Partikel Sedimen Menurut Pethick (1997), analisis granulometri (ukuran butiran) sedimen

dimaksudkan untuk 2 kepentingan: pertama untuk memprediksi pergerakan sedimen dalam hubungannya dengan perkembangan bentuk lahan; kedua, untuk menginterpretasi proses yang telah berlangsung. Proses di pantai tidak dapat diobservasi secara langsung, karena sedang tidak berproses, atau mungkin prosesnya terlalu lambat atau sangat tidak berkesinambungan, tetapi juga terkadang terlampau berbahaya (contohnya pada keadaan tinggi gelombang 2 m atau lebih). Karena itu proses yang berlangsung, dapat dipelajari berdasarkan ukuran dan distribusi dari populasi ukuran butir sedimennya. Menurut Rifardi (2008), ukuran butir sedimen sangat penting diketahui dalam lingkungan pengendapan karena dapat menjelaskan antara lain sebagai berikut: 1. Menggambarkan asal sedimen 2. Perbedaan jenis partikel sedimen 3. Ketahanan partikel dan bermacam-macam komposisi terhadap proses perusakan selama terjadinya proses weathering, erosi, abrasi, dan transportasi 4. Jenis proses yang berperan dalam transportasi dan deposisi sedimen Teisson (1992) membagi dua ukuran butiran sedimen non kohesiv (diameter butiran > 63 µm) dan kohesiv (diameter butiran < 63 µm). Karakteristik sedimen

12

non-kohesiv lebih dipengaruhi oleh densitas diameter butiran, bentuk, kecepatan pengendapan, proses erosi, dan sedimentasi, sedangkan karakteristik sedimen kohesiv lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia seperti kandungan mineral sedimen, bahan-bahan organik, salinitas, temperatur, pH, dan komposisi ion-ion di perairan. Berdasarkan Skala Wentworth sedimen dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran butirnya, yakni lempung, lanau, pasir, kerikil, koral (pebble), cobble, dan batu (boulder). Skala tersebut menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi berukuran mikron sampai beberapa mm dengan spektrum yang bersifat kontinu (Davis, 1993). Tabel 1. Ukuran butir skala wentworth (1922)

1 - 0,5

0-1

0,5 - 0,25

1-2

0,25 - 0,125

2-3

0,125 - 0,0625

3-4

0,0625 - 0,002 0,002 - 0,00006 > 0,00006

4-8 8 - 16 > 16

MUD

-1 - 0

SAND

2-1

Nama Butir

GRAVEL

Batas Ukuran mm Ø (phi) > 256 < -8 256 - 64 -8 - -6 64 - 4 -6 - -2 4-2 -2 - -1

Boulder (bongkah) Cobble (berangkal) Pebble (kerakal) Granule (kerikil) Very Coarse Sand (pasir sangat kasar) Coarse Sand (pasir kasar) Medium Sand (pasir sedang) Fine Sand (pasir halus) Very Fine Sand (pasir sangat halus) silt (lanau) Clay (lempung) Dissolved Material

Nama Batuan Konglomerat/breksi bongkah

Batu pasir

Friedman dan Sanders dalam Ariandi (2009) menyatakan bahwa ukuran butir mencerminkan resistensi terhadap proses pelapukan, erosi, dan abrasi serta

13

mencerminkan proses sedimentasi dan deposisi serta kemampuan arus dan angin untuk menggerakkan dan megendapkan partikel sedimen. Perhitungan sedimen didasarkan pada proporsi kandungan ukuran partikel kerikil, pasir, dan lumpur, sedimen permukaan digolongkan menurut segitiga Shepard. Segitiga Shepard adalah salah satu contoh segitiga rangkap tiga system komponen berjumlah 100 %. Dalam hal ini, komponen-komponen tersebut adalah persentase dari kerikil, pasir, dan lumpur yang mengisi sedimen. Tiap sampel sedimen diplotkan sebagai satu titik di dalam atau sepanjang sisi-sisi dari diagram, tergantung pada komposisi spesifik ukuran butirnya.

14

III.

3.1.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2017 yang berlokasi di

Selat Rupat (Lampiran 1). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Laut Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau. 3.2.

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah akuades dan hidrogen

peroksida 3% sebagai larutan dispersan yang berfungsi untuk memisahkan partikelpartikel sedimen yang lengket satu sama lainnya, sedangkan objek yang diteliti adalah sampel sedimen. Peralatan lapangan yang digunakan terdapat pada Tabel 2 sebagai berikut:

No

Alat

Fungsi

1

GPS

Menentukan posisi stasiun penelitian

2

Pipa paralon

Mengambil sedimen secara vertikal

3

Kantong plastik

Pembungkus sampel sedimen

4

Spidol

Memberi label/ identitas sampel sedimen

5

Ice box

Menyimpan sampel sedimen

6

Kamera

Dokumnetasi di lapangan

7

Thermometer

Mengukur suhu perairan setiap stasiun

8

Handrefractometer

Mengukur salinitas perairan

15

9

pH Indikator universal

Mengukur derajat keaasaman perairan

10

Current drogue

Mengukur kecepatan arus perairan

Tabel 2. Peralatan lapangan

Peralatan laboratorium yang digunakan pada penelitian terdapat pada Tabel 3 sebagai berikut: Tabel 3. Peralatan laboratorium No

Alat

Fungsi

1

Saringan bertingkat

Menyaring ukuran partikel sedimen

2

Oven

Untuk pemanasan 1050C

3

Timbangan digital

Mengukur berat sampel

4

Desikator

Mendinginkan sampel sedimen setelah di oven

5

Alumunium foil

Wadah sampel sedimen

6

Pipet volumetrik

Mengambil sedimen fraksi lumpur

7

Stopwatch

Melihat waktu

8

Gelas ukur

Tempat meletakkan sampel sedimen fraksi lumpur

3.3.

Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei,

sedangkan metode pengambilan sampel adalah metode purposive sampling. Pengambilan sampel dan pengukuran parameter kualitas air dilakukan di lapangan serta dilanjutkan dengan analisis di laboratorium, lalu disajikan dan dibahas secara deskriptif. 3.4.

Prosedur Penelitian

3.4.1. Penentuan Titik Stasiun

16

Lokasi stasiun dibagi atas 4 titik stasiun yang dianggap dapat mewakili keseluruhan daerah penelitian (Lampiran 2). Titik koordinat dari masing-masing titik stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Titik koordinat pengambilan sampel Koordinat

Titik Stasiun I II III IV

Longitude

Latitude

101°27'12.93"BT 101°20'53.87"BT 101°27'42.13"BT 101°24'34.54"BT

1°41'12.29"LU 1°52'0.12"LU 1°43'26.71"LU 1°51'22.44"LU

Stasiun yang dijadikan sebagai lokasi penelitian sejajar dengan garis pantai Dumai dan pulau Rupat. Penetapan stasiun berdasarkan tempat terjadinya abrasi dan sedimentasi. Tempat terjadinya abrasi berada pada stasiun I dan III dimana stasiun I merupakan pantai Dumai bagian Timur, sedangkan stasiun III merupakan pantai Rupat bagian Timur. Tempat terjadinya sedimentasi berada pada stasiun II dan IV dimana stasiun II merupakan pantai Dumai bagian Barat sedangkan stasiun IV merupakan pantai Rupat bagian Barat. 3.4.2. Pengambilan Sampel Sedimen Pengambilan sampel sedimen dilakukan satu kali pada masing-masing stasiun dengan menggunakan pipa paralon. Pipa paralon yang digunakan mempunyai panjang 120 cm. Sampel yang dapat diambil dari setiap titik samplingnya dibagi menjadi beberapa lapisan dari permukaan, dengan ketebalan setiap lapisan 1 cm. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu

17

diberi label dan selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dianalisis (Gambar 1).

Gambar 1. Potongan sedimen yang dianalisis 3.4.3. Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air diukur pada setiap stasiun yaitu parameter fisika dan kimia. Parameter fisika meliputi suhu, kecerahan, kecepatan arus, arah arus, dan parameter kimia meliputi pH dan salinitas. Semua parameter kualitas air ini diukur pada waktu pengambilan sampel ketika pasang menjelang surut dengan satu kali pengukuran pada masing-masing stasiun. Untuk pengukuran suhu digunakan dan salinitas dengan menggunakan hand refractometer yang telah di kalibrasi terlebih dahulu kemudian ditetesi dengan air sampel yang telah diambil. Kecerahan ditentukan dengan menggunakan secchi disk

18

yang dimasukkan ke dalam perairan dan diperlihatkan kapan alat ini mulai tidak terlihat dan kapan mulai terlihat kembali, hasilnya dihitung dengan merataratakannya. Selanjutnya, pengukuran kecepatan arus dan arah arus menggunakan alat current drogue dan dihitung waktu yang ditempuh dengan menggunakan stopwatch serta jarak yang ditempuh. Parameter pH diukur dengan menggunakan kertas pH indikator universal dengan dicelupkan secara langsung ke dalam perairan kemudian dicocokkan dengan warna standarnya pada skala pH indikator. 3.4.4. Analisis Ukuran Fraksi Sedimen Prosedur analisis ukuran butir sedimen untuk fraksi pasir dan kerikil digunakan metode pengayakan basah, untuk fraksi lumpur dianalisis dengan metode pipet yang merujuk Rifardi (2008). 3.4.4.1. Persiapan Sampel 1. Membuat cawan dari kertas aluminium foil. Semua cawan dibersihkan lalu diberi label atau nomor sesuai dengan label yang tertera pada sampel. 2. Cawan tersebut dikeringkan di dalam oven dan setelah kering di dinginkan dengan desikator lalu ditimbang berat cawan. 3. Cawan di isi dengan sampel basah kemudian ditimbang, ini adalah berat sampel + berat cawan. 4. Cawan yang berisi sampel basah dikeringkan dalam oven 1050C selama 24 jam. 5. Setelah 24 jam, cawan yang berisi sampel yang telah kering dikeluarkan dari oven, di dinginkan, selanjutya ditimbang berat kering sampel + berat cawan. 6. Sampel direndam dengan larutan Hidrogen Peroksida 3%. 7. Sampel siap untuk dianalisa dan siapkan tabel perhitungan fraksi sedimen.

19

3.4.4.2. Prosedur Pelaksanaan Pengayakan Untuk menganalisis ukuran butir sedimen digunakan metode pengayakan basah. Berikut adalah analisis fraksi kerikil, pasir dan lumpur.

Analisis Fraksi Kerikil dan Pasir Menyiapkan cawan dari aluminium foil, lalu timbang dan catat berat cawan tersebut dan di reset menjadi nol, selanjutnya sampel sedimen dimasukkan kedalam cawan sebanyak 100 gr dengan menggunakan sendok, kemudian dioven dengan suhu 105oC selama ±24 jam. Sedimen hari pertama di timbang dengan menggunakan timbangan analitik untuk mendapatkan berat kering, setelah itu sampel tersebut dimasukkan ke glass ukur lalu ditambah (Hidrogen Peroksida) H2O2 3% hingga sedimennya terendam, lalu sedimen digerus hingga agak halus. Sampel yang telah digerus, diayak dengan menggunakan ayakan bertingkat untuk mendapatkan fraksi sedimen yang berbeda sesuai dengan ukurannya masing-masing. Setelah itu ambil masing-masing sampel yang tertahan pada masing-masing tingkat ayakan, tempatkan ke dalam wadah yaitu cawan yang telah diberi label, sementara itu fraksi sedimen yang masih lolos ditempatkan dalam tabung silinder untuk analisis fraksi Lumpur. Setelah itu keringkan fraksi sampel pasir yang telah didapat sesuai ukuran mesh size dengan menggunakan oven. Setelah kering timbanglah berat masing-masing sampel. Lalu masukkan data berat masing-masing fraksi ke dalam tabel perhitungan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Fraksi pasir dapat dianalisis dengan menggunakan metode pengayakan basah dan fraksi lumpur dianalisis dengan menggunakan metode pipet.

20

Analisis Fraksi Lumpur Sedimen yang lolos dari saringan bersama airnya ditampung dalam sebuah wadah kemudian masukkan ke dalam tabung silinder berukuran 1000 ml ditambah Setelah itu aduk kembali tabung hingga endapan tadi kembali tersuspensi. Catat waktunya sesaat menjelang air yang bercampur sedimen mendekati batas 1000 ml pada tabung silinder. Kemudian siapkan sebanyak 9 cawan (Ø -1, Ø 0, Ø 1, Ø 2, Ø 3, Ø 4, Ø 5, Ø 6, Ø 7) lalu timbang berat masing-masing wadah dan catat, kemudian sampel yang direndam dimasukkan kewadah penyaringan atau pengayakkan bertingkat (Ø -1) dan disaring dengan bantuan air yang mengalir, lalu partikel yang tertinggal dipenyaringan Ø -1 dimasukkan kedalam wadah aluminium foil Ø -1, dan sampel yang lolos dari penyaringan Ø -1 dan masuk ke penyaringan selanjutnya yaitu penyaringan Ø 0 lalu sampel tersebut dimasukkan wadah aluminium Ø 0 dan seterusnya hingga sampel Ø 4 Kemudian sisa air yang tertampung dari penyaringan (Ø -1, Ø 0, Ø 1, Ø 2, Ø 3, Ø 4) di masukkan ke dalam gelas ukur yang berukuran >1000 ml dan sisa sampel air yang digunakan dalam gelas ukur adalah 1000 ml, selanjutnya air dikocok-kocok agar partikel sisa sedimen tidak mengendap, lalu untuk pengambilan pertama untuk Ø 5 dilakukan pada menit ke 5 dengan menggunakan pipet volumetric dengan cara penggunaannya menekan tombol S pertama untuk pengempessan, penekanan S kedua untuk penyedotan air sampel dan tekan tombol E untuk mengeluarkan air sampel kedalam aluminium foil Ø 5, volume air yang diambil sebanyak 25 ml. Proses tersebut dilakukan untuk pengambilan sampel air Ø 6 pada menit ke 15 dan sampel air Ø 7 pada menit ke 30, lalu tiap-tiap air sampel yang telah diambil ditempatkan ke dalam wadah aluminium

21

foil yang telah diberi label, lalu keringkan dengan menggunakan oven selama 24 jam dan kemudian hitung berat sampel yang telah kering beserta berat wadahnya. 3.5.

Analisis Data Sampel sedimen diklasifikasikan berdasarkan ukuran fraksi sedimen dalam

skala Wenworth, selanjutnya dilakukan perhitungan statistik sedimen yang meliputi diameter rata-rata (mean), pemilahan (sorting), kemencengan (skewness), dan keruncingan (kurtosis) (Tabel 5, 6, 7, 8). Sedangkan menentukan jenis fraksi sedimen menggunakan segitiga sheppard. Hasil analisis fraksi sedimen disajikan dalam bentuk (layout) peta dan tabel yang kemudian dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada literatur yang relevan. Tabel 5. Penilaian harga mean (Folk dan Ward,1977). Mean (phi) Pasir sangat kasar

-1 – 0

Pasir kasar

0–1

Pasir sedang

1–2

Pasir halus

2–3

Pasir sangat halus

3–4

Lanau kasar

4–5

Lanau sedang

5–6

Lanau halus

6–7

Untuk mendapatkan nilai sorting menggunakan rumus : MZ=

∅16+ ∅50+ ∅84 3

Sorting

22

Terpilah sangat baik

< 0.35

Terpilah baik

0,35 – 0,50

Terpilah sedang

0,50 – 1,00

Terpilah buruk

1,00 – 2,00

Terpilah sangat buruk

2,00 – 4,00

Terpilah ekstrem buruk

>4,00

Tabel 6. Penilaian harga sorting (Folk dan Ward,1977).

Untuk mendapatkan nilai sorting menggunakan rumus : S=

∅84 −∅16 4

+

∅95−∅5 6,6

Tabel 7. Penilaian harga skewness (Folk dan Ward,1977). Skewness Menceng sangat halus

+1 s/d + 0,3

Menceng halus

+0,3 s/d + 0,1

Menceng simetris

+0,1 s/d – 0,1

Menceng kasar

-0,1 s/d -0,3

Menceng sangat kasar

- 0,3 s/d -1

Untuk mendapatkan nilai Skewness menggunakan rumus :

SK=

∅16+∅84−(2.∅50) ∅5+∅95−(2.∅50) + 2(∅84−∅16) 2(∅95−∅5)

Tabel 8. Penilaian harga kurtosis (Folk dan Ward,1977). Kurtosis

23

Sangat tumpul

< 0,67

Tumpul

0,67 – 0,90

Cukup Tumpul

0,90 – 1,11

Runcing

1,11 – 1,50

Sangat runcing

1,50 – 3,00

Sangat runcing sekali

> 3,00

Untuk mendapatkan nilai kurtosis menggunakan rumus :

K=

Data yang diperoleh dari

∅95 −∅5 2,44( ∅75− ∅25)

hasil analisis fraksi sedimen diolah secara

stastistik dengan menggunakan metode analisis cluster menurut Nurosis (1993). Hasilnya diperoleh pengelompokkan data yakni beberapa cluster dan dibahas secara deskriptif. 3.6.

Asumsi

1.

Sampel sedimen yang diambil dari setiap stasiun telah dianggap mewakili setiap karakteristik sedimen di daerah penelitian.

2.

Faktor-faktor yang tidak diukur dalam penelitian ini dianggap tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap parameter yang diukur.

3.

Ketelitian peneliti dianggap sama selama penelitian.

24

IV.

4.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

4.1.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Secara geografis Kota Dumai berada pada koordinat 101022’03”101029’05” BT dan 1034’25” - 1044’08” LU, dengan topografi yang relatif datar, kemiringan sekitar 3% dan ketinggian dari permukaan laut sekitar 1-4 meter. Khusus daerah yang berdekatan dengan pantai dan sungai yang mengalir melewati Kota Dumai dan bermuara ke Selat Rupat, yaitu Sungai Mesjid dan Sungai Dumai. Kota Dumai berbatasan dengan Selat Rupat di sebelah utara yang merupakan perairan semi tertutup. Menurut Nedi (2010) tipe pasang surut perairan Selat Rupat merupakan tipe perairan campuran cenderung semi diurnal yakni memiliki karakteristik dua kali pasang dan dua kali surut dalam selang waktu 24 jam dengan perbedaan tinggi pasang surut yang sangat jelas. Wilayah yang memiliki pasang surut tipe semi diurnal dan campuran cenderung semi diurnal mengalami proses transportasi sedimen yang lebih dinamis jika dibandingkan dengan pasang surut diurnal, Daulay dalam Qhomariyah dan Yuwono (2016).

25

Secara dominan sedimen di sekitar perairan pantai Selat Rupat didominasi oleh ukuran fraksi lumpur (Bramawanto et al, 2000); (Arifin, 2008). Wilayah Dumai dan Perairan Selat Rupat secara garis besar dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung anatar bulan November sampai bulan April dengan curah hujan 200/300 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 15-20 hari /bulan. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei sampai bulan Oktober dengan curah hujan 75-150 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 12 hari-bulan (Dinas Hidro Oseanografi-TNI AL dalam Siagian, 2006). Selat Rupat memiliki panjang lebih kurang 72 km dan lebar 3,8-8 km. Selain itu, Selat Rupat juga terhubung dengan Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional. Hal ini menyebabkan kota Dumai mengalami perkembangan yang sangat pesat. Posisinya yang strategis menyebabkan Kota Dumai dimanfaatkan sebagai daerah permukiman, industri, pelabuhan, alur pelayaran dan perkebunan. Berbagai bidang industri berkembang di Kota Dumai. Selain sebagai kota pengolah minyak bumi, bidang industri lainnya adalah pengolahan Crude Palm Oil (CPO), jasa tangki timbun, pupuk, pengantongan semen, kontainer dan jasa angkut ke pelabuhanan, developer perumahan, dan sebagainya. Explorasi dan eksploitasi yang dilakukan mengakibatkan timbulnya tekanan terhadap lingkungan. Pantai Dumai dan Selat Rupat menerima dampak negatif dari kegiatan masyarakat dan pembangunan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan dan degradasi ekosistem. 4.1.2. Parameter Kualitas Perairan

26

Parameter kualitas perairan yang diukur pada setiap stasiun penelitian meliputi parameter fisika dan kimia yaitu kedalaman, kecerahan, suhu, salinitas, pH dan kecepatan arus. Berdasarkan pengukuran kualitas perairan Selat Rupat yang telah dilakukan yaitu kecepatan arus dengan rata-rata yaitu berkisar 0,15 m/dt, kecerahan 61,5 cm, pH 6,5, salinitas 25,5 ‰ dan suhu 31,75 ˚C. Hasil pengukuran parameter lingkungan perairan Selat Rupat secara in-situ selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil pengukuran kualiatas air Parameter Kualitas

Satuan

Perairan

Stasiun I

II

III

IV

Rata-rata

0,03

0,33

0,23

0,03

0,15

Kecepatan Arus

(m/dt)

Kecerahan

(cm)

51

40

85

70

61,5

pH

-

7

6

6

7

6,5

Salinitas

(‰)

28

26

24

24

25,5

Suhu

(˚C)

30

33

31

33

31,75

Sumber: Data Primer (2017) Kecepatan arus merupakan salah satu parameter yang dapat mempengaruhi kecepatan pengendaapan partikel sedimen. Semakin tinggi kecepatan arus maka semakin kecil kesempatan sedimen untuk mengendap. Sebaliknya, semakin rendah kecepatan arus, maka kesempatan sedimen untuk mengendap semakin besar (Butar, 2011). Kecepatan arus yang tertinggi terdapat pada stasiun II yang berada di pesisir laut Dumai bagian Barat, sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun I yang berada di pelabuhan Dumai dan stasiun IV berada di pesisir Pulau Rupat bagian Barat. Stasiun I dan IV diduga kesempatan sedimen untuk mengendap semakin

27

besar di perairan ini. Rifardi (2008) menjelaskan bahwa arus dan gelombang merupakan faktor utama yang menetukan arah dan sebaran sedimen. Kekuatan arus ini menyebabkan karakteristik dan jenis sedimen berbeda sehingga pada dasar perairan memiliki berbagai pengelompokan populasi sedimen. Suhu berperan dalam pelarutan unsur-unsur atau reaksi kimia antar unsur atau senyawa satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, suhu perairan barada pada kisaran 30-33 ˚C. Butar (2011) mejelaskan bahwa hubungan antara suhu dengan proses pengendapan yaitu partikel dengan ukuran yang sama di deposisi lebih cepat pada suhu rendah dibandingkan dengan suhu tinggi. Nilai salinitas pada lokasi penelitian memiliki nilai dengan kisaran 24-28 % dimana nilai salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I sedangkan yang terendah yaitu pada stasiun III dan IV. Salinitas bepengaruh terhadap proses kecepatan pengendapan, dimana semakin tinggi nilai salinitas maka kecepatan pengendapan semakin tinggi dan juga sebaliknya. Rifardi (2008) menjelaskan bahwa pembentukan sedimen kontrol oleh pH, perubahan pH perairan mempengaruhi proses presipitasi partikel-partikel sedimen. Reaksi kimia dalam sedimen berhubungan dengan pH khususnya kalsium karbonat yang terjadi sebagai partikel-partikel batuan dan sedimen. Nilai derajat keaasaman (pH) di daerah penelitian rata-rata yaitu 6,5 yang berarti presipitasi partikel-partikel di perairan Selat Rupat tidak seragam. Tingkat kecerahan di perairan Selat Rupat berbeda-beda dengan kisaran 4085 cm. Nilai kecerahan terendah berada pada stasiun II dan tertinggi berada pada stasiun III. Stasiun II merupakan areal kawasan mangrove sehingga mempengaruhi

28

masukan air laut lepas yang ada di perairan menjadi lebih rendah dibandingkan stasiun yang lain. 4.1.3. Fraksi Sedimen Hasil perhitungan persentase berat fraksi sedimen secara keseluruhan menunjukkan bahwa sedimen di dominasi oleh fraksi lumpur. Persentase berat fraksi lumpur terbesar pada stasiun IV yang merupakan stasiun tersedimentasi terdapat pada lapisan ke-44 bagian dasar sebesar 85,45%, sedangkan yang terendah sebesar 40,89% pada stasiun II yang juga merupakan stasiun tersedimentasi lapisan ke-54 bagian dasar.

St.I

St. III

P

P

P

T

TT

D

DD

29

Gambar 2. Diagram fraksi sedimen stasiun terabrasi Persentase berat fraksi sedimen pada stasiun I secara keseluruhan menunjukkan bahwa sedimen di dominasi oleh fraksi lumpur lalu fraksi pasir dan kerikil. Persentase berat fraksi lumpur yang terbesar terdapat pada lapisan ke-37 bagian tengah dengan nilai 78,79%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke-57 bagian dasar dengan nilai 41,85%. Persentase berat fraksi pasir yang terbesar terdapat pada lapisan ke-21 bagian permukaan dengan nilai 50,33%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke-37 bagian tengah dengan nilai 21,21%. Persentase berat fraksi kerikil terbesar terdapat pada lapisan ke-57 bagian dasar dengan nilai 7,90%, sedangkan nilai terkecil yaitu 0,00% terdapat pada hampir di setiap lapisan. Persentase berat fraksi sedimen pada stasiun III secara keseluruhan menunjukkan bahwa sedimen di dominasi oleh fraksi lumpur dan fraksi pasir. Persentase berat fraksi lumpur yang terbesar terdapat pada lapisan ke-65 bagian dasar dengan nilai 83,14%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke-10 bagian permukaan dengan nilai 45,67%. Persentase berat fraksi pasir yang terbesar terdapat pada lapisan ke-10 bagian permukaan dengan nillai 54,33%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke-40 bagian tengah dengan nilai 21,81%. Persentase berat fraksi kerikil pada stasiun III tidak memiliki nilai berat fraksi atau di persentasekan 0,00%. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa lapisan bagian permukaan dari kedua stasiun tersebut menggambarkan persentase fraksi pasir lebih banyak mengendap di stasiun I dibandingkan stasiun III. Fraksi pasir dan lumpur pada stasiun I di

30

lapisan permukaan cenderung stabil dan tidak terlalu tampak perubahan yang sangat signifikan, sedangkan pada stasiun III fraksi pasir dan lumpur terlihat tidak stabil dan persentase setiap lapisan permukaan berubah-ubah. Lapisan bagian tengah pada stasiun I terjadi perubahan yang sangat mencolok dengan turunnya persentase pasir pada lapisan ke-29. Terlihat pada lapisan ke-22-28 masih belum terjadi perbedaan, dan terjadi perubahan setelahnya yaitu pada lapisan ke-29, sedangkan persentase lumpur terjadi kenaikan pada lapisan ke-29-37. Pada stasiun III persentase pasir cenderung stabil dibandingkan pada stasiun I walaupun terlihat adanya penurunan persentase fraksi pasir pada lapisan ke-35-40, sedangkan untuk fraksi lumpur terlihat tidak stabil dan cenderung berubah-ubah di setiap lapisan. Lapisan bagian dasar pada stasiun I tidak terlihat stabil dan cenderung berubahubah. Terlihat adanya peningkatan nilai persentase pasir yang sangat mencolok terjadi pada lapisan ke-57 dimana pada lapisan tersebut terdapat fraksi kerikil dengan nilai persentase tertinggi, sedangkan untuk persentase lumpur terlihat cenderung stabil walaupun adanya penurunan nilai yang begitu mencolok pada lapisan ke-57. Pada stasiun III terlihat tidak ada perbedaan yang sangat mencolok pada persentase fraksi pasir, begitu juga pada fraksi lumpur dimana menggambarkan bahwa persentase lumpur dan pasir pada stasiun III bagian dasar cenderung stabil. Persentase berat fraksi sedimen pada stasiun II secara keseluruhan menunjukkan bahwa sedimen di dominasi oleh fraksi lumpur dan fraksi pasir. Persentase berat fraksi lumpur yang terbesar terdapat pada lapisan ke-17 bagian permukaan dengan nilai 80,60%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke54 bagian dasar dengan nilai 40,89%. Persentase berat fraksi pasir yang terbesar

31

terdapat pada lapisan ke-54 bagian dasar dengan nillai 59,11%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke-17 bagian permukaan dengan nilai 19,40%. Persentase berat fraksi kerikil pada stasiun II tidak memiliki nilai berat fraksi atau di persentasekan 0,00%. Persentase berat fraksi sedimen pada stasiun IV secara keseluruhan menunjukkan bahwa sedimen di dominasi oleh fraksi lumpur dan fraksi pasir. Persentase berat fraksi lumpur yang terbesar terdapat pada lapisan ke-44 bagian dasar dengan nilai 85,45%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke-19 bagian tengah dengan nilai 42,42%. Persentase berat fraksi pasir yang terbesar terdapat pada lapisan ke-19 bagian tengah dengan nillai 57,58%, sedangkan nilai terkecil terdapat pada lapisan ke-44 bagian dasar dengan nilai 14,55%. Persentase berat fraksi kerikil pada stasiun IV tidak memiliki nilai berat fraksi atau di persentasekan 0,00%. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai persentase fraksi pasir pada lapisan bagian permukaan pada stasiun II lebih kecil dibandingkan dengan stasiun IV, sedangkan nilai persentase lumpur pada stasiun III lebih tinggi dibandingkan pada stasiun IV, akan tetapi persentase lumpur dan pasir terlihat stabil di stasiun II dibandingkan pada stasiun IV. Stasiun II terlihat persentase fraksi pasir bagian permukaan mengalami peningkatan yang signifikan pada lapisan ke-1-13 dan terjadi penurunan yang tajam pada lapisan ke-14, sedangkan persentase lumpur mengalami penurunan yang sangat signifikan pada lapisan ke-1-10. Lapisan bagian tengah pada stasiun II terlihat tidak adanya perbedaan yang sangat mencolok pada persentase pasir, sama halnya dengan persentase lumpur terlihat tidak ada perbedaan yang sangat mencolok walaupun nilai persetase setiap lapisan tidak

32

stabil. Pada stasiun IV tidak berbeda jauh dengan stasiun II pada bagian tengah dimana tidak ada perbedaan yang mencolok pada setiap lapisan walaupun persentase baik pasir maupun lumpur tidak stabil di setiap lapisan. Lapisan bagian dasar pada stasiun II terlihat persentase fraksi pasir cenderung tidak stabil di setiap lapisan, begitu juga dengan persentase fraksi lumpur yang selalu berubah-ubah pada setiap lapisan. Pada staiun IV terlihat persentase pasir tidak stabil, begitu juga dengan persentase lumpur dimana tidak stabilnya nilai persentase di setiap lapisan. Terlihat persentase lumpur pada lapisan ke-44 adanya peningkatan yang sangat tinggi di bandingkan dengan lapisan-lapisan bagian dasar (Gambar 3).

St. IV

St. II

P

P

T

T

D

D

33

Gambar 3. Diagram fraksi sedimen stasiun tersedimentasi Hasil klasifikasi jenis sedimen berdasarkan segitiga shepard pada stasiun yang terabrasi terdapat 3 jenis yaitu pasir berlumpur, lumpur berpasir, dan lumpur. Pada stasiun I dan III di dominasi oleh jenis sedimen lumpur berpasir. Jenis sedimen pasir berlumpur ditemukan pada stasiun I pada lapisan ke-21 bagian permukaan dan lapisan ke-57 bagian dasar, sedangkan pada stasiun III tidak ditemukannya jenis sedimen pasir berlumpur. Jenis sedimen lumpur di temukan pada stasiun I terdapat pada lapisan ke-33, 34, 36, 37, 41 bagian tengah, dan lapisan ke-50 bagian dasar, sedangkan pada stasiun III ditemukan pada lapisan ke-35, 37, 38, 39 bagian tengah dan lapisan ke-45, 48, 59, 62, 63 bagian dasar. Pada stasiun yang tersedimentasi terdapat 3 jenis yaitu pasir berlumpur, lumpur berpasir, dan lumpur. Pada stasiun II dan IV masih didominasi oleh jenis sedimen lumpur berpasir. Jenis sedimen pasir berlumpur ditemukan pada stasiun II pada lapisan ke-24, 34, 37 bagian tengah dan lapisan ke-52, 53, 54, 55, 56 bagian dasar, sedangkan pada stasiun IV di temukan pada lapisan ke-10, 15 bagian permukaan dan lapisan ke-19, 23, 24, 27 bagian tengah. Jenis sedimen lumpur ditemukan pada stasiun II pada lapisan ke-9, 10, 17, 18 bagian permukaan, sedangkan pada stasiun IV ditemukan pada lapisan ke-1, 2, 14 bagian permukaan dan lapisan ke-14 bagian dasar. 4.1.4. Parameter Statistik Sedimen Analisis statistik terhadap fraksi sedimen dilakukan untuk keperluan interpretasi terhadap proses berlangsungnya sedimentasi. Penyebaran ukuran butir

34

mencerminkan kondisi lingkungan pengendapan, yaitu proses yang berperan dan menunjukkan besarnya energi pada saat pengendapan sedimen berlangsung. Parameter statistik meliputi mean size, sorting, dan skewness yang diuraikan seperti di lampiran 8 dan 9. Hasil perhitungan diameter rata-rata (Mz) untuk stasiun terabrasi yaitu stasiun I dan III, berkisar 2,97-6,13∅ dimana terdapat empat jenis klasifikasi fraksi sedimen yaitu

lanau sedang dengan nilai mean size 5,03-6,00∅ terdapat pada hampir di seluruh lapisan stasiun I dan III (terabrasi), lanau kasar dengan nilai mean size 4,07-5,00∅ yang berada pada stasiun I lapisan ke-12 dan 21 bagian permukaan dan stasiun III lapisan ke-10 bagian permukaan. Jenis sedimen pasir halus dengan nilai mean size 2,97∅ yang hanya terdapat pada stasiun I berada pada lapisan ke-57 bagian dasar. Jenis sedimen lanau halus dengan nilai 6,03-6,13∅ yang terdapat pada stasiun III pada lapisan ke-61 dan 65 bagian dasar (Gambar 4).

St.I

St.III

35

Gambar 4. Perubahan karakteristik sedimen stasiun terabrasi secara vertikal berdasarkan diameter rata-rata

Nilai koefisien sorting pada stasiun terabrasi berkisar 1,79-3,16 dengan dua jenis klasifikasi yaitu terpilah buruk dan terpilah sangat buruk. Klasifikasi terpilah sangat buruk dengan nilai 2,01-3,16 terdapat hampir di setiap seluruh lapisan stasiun I, sedangkan pada stasiun III terdapat pada lapisan ke-1-2, 4, 7, 10-13, 15, 19 bagian permukaan, lapisan ke-24-25, 27-37 bagian tengah, dan lapisan ke-4546, 48-51, 57-60, 62-63, 66 bagian dasar. Klasifikasi terpilah buruk dengan nilai berkisar 1,79-2,00 hanya terdapat pada lapisan ke-50 bagian dasar stasiun I, sedangkan pada stasiun III terdapat pada lapisan ke-3, 5, 6, 8, 9, 14, 16-18, 20-22 bagian permukaan, lapisan ke-23, 26, 38-44 bagian tengah dan lapisan ke-47, 5356, 17, 61-65 bagian dasar. Nilai skewness pada semua lapisan stasiun terabrasi berkisar -0,92-0,33 dengan empat jenis klasifikasi yaitu menceng sangat kasar, menceng simetris, menceng halus dan menceng sangat halus. Klasifikasi menceng sangat kasar dengan nilai -0,92-(-0,85) mendominasi di seluruh tiap lapisan stasiun terabrasi. Klasifikasi menceng simetris dengan nilai -0,03 hanya terdapat pada stasiun I lapisan ke-21 bagian permukaan, sedangkan menceng halus dengan nilai 0,29 hanya terdapat

36

pada stasiun III lapisan ke-10 bagian permukaan. Klasifikasi menceng sangat halus dengan nilai 0,33 hanya hanya terdapat di stasiun I lapisan ke-57 bagian dasar. Hasil perhitungan nilai mean size pada stasiun tersedimentasi berada pada

kisaran 3,23-7,20∅ dimana terdapat empat jenis klasifikasi fraksi sedimen yaitu lanau sedang dengan nilai mean size 5,03-5,83∅ terdapat pada hampir di seluruh lapisan stasiun tersedimentasi dan jenis sedimen lanau kasar dengan nilai mean size 4,07-5,00∅ yang terdapat pada stasiun II lapisan ke-24, 34, 37 bagian tengah dan 52-56 bagian dasar, sedangkan di stasiun IV terdapat pada lapisan ke-8-9, 13, 15 bagian permukaan dan lapisan ke-20, 24 bagian tengah. Jenis sedimen lanau halus dengan nilai mean size 6,03-7,20∅ yang terdapat pada stasiun II lapisan ke-9-10 dan 16-17 bagian permukaan, sedangkan stasiun IV terdapat pada lapisan ke-1 bagian permukaan dan lapisan ke-44 bagian dasar. Jenis sedimen pasir sangat halus dengan nilai 3,23-4,00∅ hanya terdapat di stasiun IV pada lapisan ke-10 bagian permukaan dan lapisan ke-19, 23, 27 bagian tengah (Gambar 5). St.II

St.IV

37

Gambar 5. Perubahan karakteristik sedimen stasiun tersedimentasi secara vertikal berdasarkan diameter rata-rata

Nilai koefisien sorting pada stasiun tersedimentasi berkisar 1,02-3,07 dengan dua jenis klasifikasi yaitu terpilah buruk dan sangat buruk. Klasifikasi terpilah buruk dengan nilai 1,02-2,00 terdapat pada stasiun II lapisan ke-2-11, 1319 bagian permukaan, lapisan ke-22-26, 32 bagian tengah dan lapisan ke-42, 45 bagian dasar, sedangkan pada stasiun IV terdapat pada lapisan ke-1 bagian permukaan, lapisan ke-16 bagian tengah dan lapisan ke-44 bagian dasar. Klasifikasi terpilah sangat buruk dengan nilai 2,03-3,07 terdapat pada stasiun II lapisan ke-1, 12 bagian permukaan, lapisan ke-20-21, 27-31, 33-38 bagian tengah, dan lapisan ke-39-41, 43-44, 46-57 bagian dasar, sedangkan stasiun IV terdapat hampir di semua lapisan di klasifikasikan terpilah sangat buruk. Nilai skewness pada semua lapisan stasiun tersedimentasi berkisar -0,900,36 dengan empat jenis klasifikasi yaitu menceng sangat kasar, menceng halus, menceng sangat halus dan menceng simeteris. Menceng sangat kasar dengan nilai -0,94-(-0,45) mendominasi di seluruh tiap lapisan stasiun tersedimentasi. Klasifikasi menceng halus dengan nilai 0,11-0,28 terdapat pada stasiun II lapisan ke-34, 37 bagian tengah, dan 53-56 bagain dasar, sedangkan stasiun IV terdapat

38

pada lapisan ke-10 bagian permukaan dan lapisan ke-19-20, 27 bagian tengah. Klasifikasi menceng sangat halus dengan nilai 0,33-0,36 terdapat pada stasiun II lapisan ke-24 bagian tengah dan lapisan ke-52 bagian dasar, sedangkan stasiun IV hanya terdapat pada lapisan ke-23 bagian tengah. Klasifikasi menceng simetris dengan nilai -0,01-0,04 hanya terdapat pada stasiun IV lapisan ke-15 bagian permukaan dan lapisan ke-24 bagian tengah.

4.1.5. Analisis Cluster Sampel sedimen masing-masing stasiun yang dianalisis secara garis besar dikelompokkan dengan analisis cluster menjadi empat cluster atau kelompok (I-V) pada jarak skala lima. Pada jarak skala dua, cluster dibagi menjadi beberapa subcluster yaitu IA, IB, IC, ID, IIA, IIB, IIC, IID, dan IVA, IVB yang terlihat seperti pada hasil dendogram (Lampiran 10). Setiap kelompok cluster dibedakan berdasarkan 5 karakteristik sedimen yaitu mean size, sorting, Skewness, pasir, dan lumpur. Karakteristik sedimen berdasarkan analisis cluster di lihat pada Tabel 10. Cluster I terdiri dari 110 lapisan yang tersebar pada keempat stasiun. Pada skala dua, cluster I dibagi menjadi empat subcluster yaitu IA (43 lapisan), IB (28 lapisan), IC (37 lapisan) dan ID (2 lapisan). Subluster IA ini dicirikan dengan nilai mean size berkisar 5,50-5,93∅ (lanau sedang) sedangkan nilai sorting berkisar 1,812,24 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) dan nilai skewness berkisar -0,90-(-0,85) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur mendominasi dikelompok ini yang berkisar 45,55-72,74%, sedangkan persentase pasir berkisar 27,26-54,45%. Jenis

39

sedimen di subcluster IA ini terdistribusi di tiga stasiun penelitian yaitu stasiun I, II dan III. Subcluster IB terdiri dari 28 lapisan. Cluster ini dicirikan dengan nilai mean size berkisar 5,67-6,10∅ (lanau sedang-lanau halus) sedangkan nilai sorting berkisar 1,71-2,21 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) serta nilai skewness berkisar -0,91- (-0,85) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur masih mendominasi di kelompok ini yang berkisar 72,29-80,90%, sedangkan persentase pasir berkisar 19,10-27,71%.

Tabel 10. Karakteristik sedimen seluruh stasiun berdasarkan analisis cluster Cluster Mz(Ø)/ klasifikasi IA 5,50-5,93 (lanau sedang)

S1/klasifikasi

Lumpur (%) 45,5572,74

2,98-3,16 (terpilah sangat buruk)

Pasir (%) -0,90-(-0,85) 27,26(menceng sangat 54,45 kasar) -0,91- (-0,85) 19,10(menceng sangat 27,71 kasar) -0,92-(-0,85) 22,91(menceng sangat 33,41 kasar) -0,90-(-0,88) 14,55(menceng sangat 16,86 kasar) 0,89-(-0,86) 37,47(menceng sangat 42,07 kasar) -0,90-(-0,81) 37,65(menceng sangat 49,49 kasar) -0,94-(-0,89) 43,76(menceng sangat 48,45 kasar) -0,93-(0,88) 28,72(menceng sangat 43,46 kasar) 0,33 (menceng 50,26sangat halus) 57,24

2,52-2,87 (terpilah sangat buruk)

-0,03-0,25 (menceng

42,4249,67

5,67-6,10 (lanau sedanglanau halus) 5,37-5,63 (lanau sedang)

1,81-2,24 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 1,71-2,21 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 2,18-2,53 (terpilah sangat buruk)

ID

6,13-6,17 (lanau halus)

1,79-1,84 (terpilah buruk)

IIA

5,70-5,90 (lanau sedang)

IIB

5,17-5,73 (lanau sedang)

IIC

4,90-5,23 (lanau kasarlanau sedang) 5,00-5,43 (lanau kasarlanau sedang) 2,97-3,23 (pasir haluspasir sangat halus) 3,63-4,13

1,90-2,08 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 1,93-2,34 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 2,61-3,07 (terpilah sangat buruk)

IB

IC

IID

III

IVA

2,31-2,84 (terpilah sangat buruk)

SK/klasifikasi

50,3357,58

72,2980,90 66,5977,09 83,1485,45 58,0662,35 50,5162,35 51,5556,24 57,7067,66 41,8542,76

40

IVB

V

(pasir sangat halus-lanau kasar) 4,13-4,63 (lanau kasar)

simetrismenceng halus) 2,00-2,35 (terpilah sangat buruk)

7,2 (lanau halus)

1,02 (terpilah buruk)

0,18-0,36 (menceng halusmenceng sangat halus) -0,45 (menceng sangat kasar)

50,5159,11

41,1949,49

14,79

85,21

Jenis sedimen di subcluster IB ini terdistribusi di seluruh stasiun penelitian. Subcluster IC terdiri dari 37 lapisan. Cluster ini memiliki nilai mean size berkisar 5,37-5,63∅ (lanau sedang) sedangkan nilai sorting berkisar 2,18-2,53 (terpilah sangat buruk) dan nilai skewness berkisar -0,92-(-0,85) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur masih mendominasi di kelompok ini yang berkisar 66,5977,09%, sedangkan persentase pasir berkisar 22,91-33,41%. Jenis sedimen di subcluster IC terdistribusi pada stasiun I, III dan IV. Subcluster ID hanya terdapat 2 lapisan yaitu pada stasiun III dan IV dengan nilai mean size berkisar 6,13-6,17∅ (lanau halus), untuk nilai sorting berkisar 1,79-1,84 (terpilah buruk) dan nilai skewness berkisar -0,90-(-0,88) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur mendominasi di kelompok ini dengan nilai 83,14-85,45% sedangkan untuk persentase pasir berkisar 14,55-16,86%. Cluster II terdiri dari 102 lapisan yang tersebar pada keempat stasiun. Cluster II dibagi menjadi beberapa subcluster yaitu IIA (11 lapisan), IIB (27 lapisan), IIC (12 lapisan), dan IID (52 lapisan). Subcluster IIA dicirikan dengan nilai mean size berkisar 5,70-5,90∅ (lanau sedang) sedangkan nilai sorting berkisar 1,90-2,08 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) dan untuk nilai skewness yaitu 0,89-(-0,86) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur mendominasi di kelompok ini yaitu 58,06-62,35% sedangkan untuk persentase pasir yaitu berkisar 37,47-

41

42,07%. Jenis sedimen di subcluster IIA ini terdistribusi pada stasiun II dan III. Subcluster IIB terdiri dari 27 lapisan dengan nilai mean size berkisar 5,17-5,73∅ (lanau sedang) sedangkan nilai sorting berkisar 1,93-2,34 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) dan untuk nilai skewness berkisar -0,90-(-0,81) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur masih mendominasi di kelompok ini dengan nilai 50,5162,35% sedangkan untuk persentase pasir berkisar 37,65-49,49%. Jenis sedimen di subcluster IIB terdistribusi pada stasiun II, III dan IV. Subcluster IIC terdiri dari 12 lapisan dengan nilai mean size berkisar 4,90-5,23∅ (lanau kasar-lanau sedang) dan untuk nilai koefisien sorting berkisar 2,61-3,07 (terpilah sangat buruk) sedangkan nilai skewness berkisar -0,94-(-0,89) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur yang mendominasi di kelompok ini dengan nilai berkisar 51,55-56,24% dan untuk persentase pasir berkisar 43,76-48,45%. Jenis sedimen di subcluster IIC terdistribusi hanya pada stasiun I dan IV. Subcluster IID teridri dari 52 lapisan dimana di subcluster ini lebih mendominasi dibandingkan di subcluster II lainnya. Subcluster IID dicirikan dengan nilai mean size berkisar 5,00-5,43∅ (lanau kasarlanau sedang) dan untuk nilai sorting yaitu berkisar 2,31-2,84 (terpilah sangat buruk) sedangkan nilai koefesien skewness berkisar -0,93-(0,88) (menceng sangat kasar). Persentase lumpur mendominasi di kelompok ini dengan nilai 57,70-67,66% dan untuk nilai persentase pasir berkisar 28,72-43,46%. Jenis sedimen di subcluster IID terdistribusi di tiga stasiun penelitian yaitu stasiun I, III dan IV. Cluster III hanya terdapat dua lapisan dengan nilai mean size berkisar 2,973,23∅ (pasir halus-pasir sangat halus) dan untuk nilai koefisien sorting berkisar 2,98-3,16 (terpilah sangat buruk) sedangkan nilai skewness yaitu 0,33 (menceng sangat halus). Persentase pasir mendominasi di kelompok ini dengan nilai 50,26-

42

57,24% dan persentase lumpur berkisar 41,85-42,76%. Jenis sedimen di kelompok ini terdistribusi di dua stasiun yaitu stasiun I dan IV. Cluster IV terdiri dari 16 lapisan yang tersebar di dua stasiun penelitian. Cluster IV dibagi menjadi dua subcluster yaitu IVA (7 lapisan) dan IVB (9 lapisan). Subcluster IVA dicirikan dengan nilai mean size berkisar 3,63-4,13∅ (pasir sangat halus-lanau kasar) sedangkan nilai sorting berkisar 2,52-2,87 (terpilah sangat buruk) dan nilai skewness berkisar -0,03-0,25 (menceng simetris-menceng halus). Persentase pasir mendominasi di kelompok ini dengan nilai 50,33-57,58%, sedangkan persentase lumpur berkisar 42,42-49,67%. Jenis sedimen di kelompok ini terdistribusi di dua stasiun yaitu stasiun I dan IV. Subluster IVB terdiri dari sembilan lapisan dicirikan dengan nilai mean size yaitu 4,13-4,63∅ (lanau kasar) sedangkan nilai sorting 2,00-2,35 (terpilah sangat buruk) dan nilai skewness berkisar 0,18-0,36 (menceng halus-menceng sangat halus). Persentase pasir mendominasi dikelompok ini dengan nilai 50,51-59,11% sedangkan persentase lumpur berkisar 41,19-49,49%. Jenis sedimen di kelompok ini terdistribusi di dua stasiun yaitu stasiun II dan III. Cluster V hanya terdapat satu lapisan yaitu pada stasiun IV dengan nilai mean size yaitu 7,2 (lanau halus), sedangkan nilai sorting yaitu 1,02 (terpilah buruk) dan nilai skewness yaitu -0,45 (menceng sangat kasar). Persentase yang dominan adalah persentase lumpur dengan nilai 85,21% dan untuk persentase pasir yaitu 14,79%. 4.1.6. Karakteristik Sedimen Stasiun Terabrasi Pada stasiun terabrasi hanya memiliki empat cluster yaitu cluster I, II, III dan IV. Cluster I di dominasi oleh stasiun III dengan terdistribusinya di 52 lapisan,

43

sedangkan pada stasiun I terdistribusi di 27 lapisan. Cluster I dicirikan dengan nilai mean size berkisar 5,37-6,13 (lanau sedang-lanau halus). Nilai koefisien sorting berkisar 1,79-2,52 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) yang di dominasi oleh fraksi lumpur berkisar 64,62-83,14%. Cluster II didominasi oleh stasiun I terdistribusi di 34 lapisan, sedangkan pada stasiun III terditribusi di 13 lapisan. Cluster II dicirikan dengan nilai mean size berkisar 5,00-5,83 (lanau kasar-lanau sedang). Nilai koefisien sorting berkisar 1,88-2,84 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) yang di dominasi oleh fraksi lumpur berkisar 53,91,51-67,66% (Tabel 11). Tabel 11. Karakteristik sedimen stasiun terabrasi berdasarkan analisis cluster Cluster mz(Ø)/ klasifikasi I 5,37-6,13 (lanau sedanglanau halus) II 5,00-5,83 (lanau kasarlanau sedang) III 2,97 (pasir halus)

S1/klasifikasi

IV

2,08-2,74 (terpilah sangat buruk)

4,07-4,50 (lanau kasar)

1,79-2,52 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 1,88-2,84 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 3,16 (terpilah sangat buruk)

SK/klasifikasi

Pasir (%) -0,92-(-0,85) 16,86(menceng sangat 35,38 kasar) -0,92- (-0,85) 28,72(menceng sangat 46,09 kasar) 50,26 0,33 (menceng sangat halus) -0,03-0,29 14,55(menceng 16,86 simetrismenceng halus)

Lumpur (%) 64,6283,14 53,9167,66 41,85

83,1485,45

Cluster III hanya ditemukan pada bagian dasar pada stasiun I terdistribusi di 1 lapisan. Cluster III dicirikan dengan nilai mean size berkisar 2,97 (pasir halus). Nilai koefisien sorting yaitu 3,16 (terpilah sangat buruk) yang didominasi yaitu fraksi pasir dengan nilai 50,26%. Cluster IV terdistribusi di 1 lapisan di setiap stasiun pada bagian permukaan. Cluster IV dicirikan dengan nilai mean size berkisar 4,07-4,50 (lanau kasar). Nilai koefisien sorting berkisar 2,08-2,74 (terpilah

44

sangat buruk) yang di dominasi oleh fraksi lumpur berkisar 83,14-85,45 (Gambar 6).

St.I

St.III

P

P

T

45

T

D D

Gambar 6. Ukuran perbedaan lapisan sedimen pada stasiun I dan III 4.1.7. Karakteristik Sedimen Stasiun Tersedimentasi Pada stasiun tersedimentasi memiliki lima cluster yaitu cluster I, II, III, IV dan V (Tabel 12). Tabel 12. Karakteristik Sedimen Stasiun Tersedimentasi Berdasarkan Analisis Cluster Cluster mz(Ø)/ klasifikasi I 5,30-6,17 (lanau sedanglanau halus) II 4,90-5,90 (lanau kasarlanau sedang) III 3,23 (pasir sangat halus) IV 3,63-4,63 (pasir sangat halus-lanau kasar)

S1/klasifikasi

V

1,02 (terpilah buruk)

7,2 (lanau halus)

1,71-2,53 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 1,90-2,34 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) 2,98 (terpilah sangat buruk) 2,00-2,87 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk)

SK/klasifikasi

Pasir (%) -0,91-(-0,85) 14,55(menceng sangat 36,12 kasar) -0,94- (-0,81) 34,78(menceng sangat 49,49 kasar) 57,24 0,33 (menceng sangat halus) -0,01-0,36 50,51(menceng 59,11 simetrismenceng sangat halus) -0,45 (menceng 14,79% sangat kasar)

Lumpur (%) 63,8885,45 50,5164,66 42,76

40,8949,49

85,21%

46

Cluster I didominasi pada stasiun II dengan terdistribusinya di 22 lapisan, sedangkan pada stasiun IV hanya terdistribusi di 9 lapisan. Cluster I dicirikan dengan nilai mean size berkisar 5,30-6,17 (lanau sedang). Nilai koefisien sorting berkisar 1,71-2,53 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) yang di dominasi oleh fraksi lumpur berkisar 63,88-85,45%. Cluster II didominasi pada stasiun IV dengan terdistribusinya di 28 lapisan, sedangkan pada stasiun II terdistribusi di 27 lapisan. Cluster II dicirikan dengan nilai mean size berkisar 4,90-5,90 (lanau kasar-lanau sedang). Nilia koefisien sorting berkisar 1,90-2,34 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) yang didominasi oleh fraksi lumpur berkisar 50,51-64,66. Cluster III hanya terdapat di stasiun IV dengan terdistribusinya di satu lapisan bagian tengah. Cluster III dicirikan dengan nilai mean size yaitu 3,23 (pasir sangat halus). Nilai koefisien sorting yaitu 2,98 (terpilah sangat buruk) yang didominasi fraksi pasir dengan nilai 57,24% (Gambar 7).

47

Gambar 7. Ukuran perbedaan lapisan sedimen pada stasiun II dan IV Cluster IV didominasi pada stasiun II dengan terdistribusinya di 8 lapisan, sedangkan pada stasiun IV terdistribusi di 6 lapisan. Cluster IV dicirikan dengan nilai mean size berkisar 3,63-4,63 (pasir sangat halus-lanau kasar). Nilai koefisien sorting berkisar 2,00-2,87 (terpilah buruk-terpilah sangat buruk) yang di dominasi oleh fraksi pasir berkisar 50,51-59,11. Cluster V hanya terdapat pada stasiun IV di lapisan awal dengan nilai mean size yaitu 7,2 (lanau kasar). Nilai koefisien sorting yaitu -0,45 (menceng sangat kasar) yang didominasi oleh fraksi lumpur yaitu 85,21%. 4.2.

Pembahasan

4.2.1. Tipe Sedimen Berdasarkan fraksi sedimen dan hasil perhitungan didapatkan tipe sedimen berdasarkan segitiga shepard yaitu lumpur berpasir, lumpur dan pasir berlumpur. Lumpur berpasir mendominasi di seluruh setiap stasiun.

48

Pada stasiun Terabrasi, pasir berlumpur hanya ditemukan pada stasiun I lapisan ke-21 bagian permukaan dan lapisan ke-57 bagian dasar, sedangkan stasiun III tidak ditemukannya tipe sedimen pasir berlumpur. Stasiun I berada di dekat pelabuhan, pabrik, sedangkan pada stasiun III merupakan kawasan dengan berbagai aktivitas antropogenik. Stasiun I menerima suplai sedimen dari aktivitas industri dan secara tidak langsung hasil dari buangan limbah industri tersebut masuk ke daerah perairan laut, selanjutnya banyaknya aktivitas manusia di sekitar stasiun I dibandingkan pada stasiun III yang berdampak pada perbedaan jenis penyusun sedimen di stasiun I dan III. Nedi (2010) menyatakan bahwa aktivitas antropogenik di Kota Dumai sangat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan Selat Rupat. Tipe sedimen lumpur ditemukan pada stasiun I lapisan ke-33, 34, 36, 37, 41 bagian tengah dan lapisan ke-50 bagian dasar, sedangkan pada stasiun III berada pada lapisan ke-35, 37-39 bagian tengah dan lapisan ke-45, 48, 59, 62, 63 bagian dasar. Hal ini diduga karena letak stasiun dan karakter dasar perairan daerah penelitian secara dominan disusun oleh lumpur. Arus dan gelombang di perairan ini sangat kecil sehingga fraksi sedimen yang kasar tidak mampu di bawa oleh arus dan gelombang yang kecil. Aktivitas manusia juga merupakan memiliki pengaruh dalam pemberian suplai masuknya lumpur pada perairan ini. Pada stasiun tersedimentasi, tipe sedimen pasir berlumpur ditemukan pada stasiun II lapisan ke-5, 15, 18 bagian tengah dan lapisan ke-14-18 bagian dasar, stasiun IV lapisan ke-10, 15 bagian permukaan dan lapisan ke-4, 8, 9, 12 bagian tengah. Stasiun II dan IV merupakan stasiun yang berada pada kawasan mangrove dan jauh dari pengaruh aktivitas antropogenik, selain itu stasiun II dan IV merupakan stasiun yang dekat dengan beting gesik Selat Rupat. Salah satu

49

penyebab adanya tipe sedimen pasir berlumpur yaitu dekatnya stasiun dengan beting gesik tersebut yang menyebabkan fraksi pasir yang terdapat di beting gesik terbawa oleh arus pasang dan surut dan gelombang sehingga kesempatan fraksi pasir berlumpur mengendap lebih besar, karena arus yang kuat akan di tandai dengan jenis fraksi sedimen kasar. Selain itu, Pergerakan arus pasang surut yang mengalami pembelokan membangkitkan arus menyusur pantai dan menyebabkan abrasi pada bibir pantai, menyebabkan tingginya fraksi pasir di suatu stasiun (Girsang, 2014). Tipe sedimen lumpur ditemukan pada stasiun II lapisan ke-9, 10, 17, 18 bagian permukaan, stasiun IV lapisan ke-1, 2, 14 bagian permukaan dan lapisan ke-14 bagian dasar. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya aktifitas manusia serta letak stasiun dimana lokasi penelitian ini dekat dengan kawasan mangrove. Arus dan gelombang di stasiun ini kecil sama halnya dengan stasiun terabrasi yang menyebabkan partikel sedimen yang kasar tidak mampu dibawa oleh arus dan gelombang yang kecil. Lumpur berpasir merupakan jenis fraksi yang mendominan di setiap stasiun, baik stasiun terabrasi maupun tersedimentasi. Hal ini terjadi dikarenakan kesamaan yang dimiliki oleh setiap stasiun yaitu berada pada kawasan mangrove dimana energi arus dan gelombang yang tidak begitu besar menyebabkan sedimen yang terbawa mendominasi lumpur berpasir. 4.2.2. Parameter Statistik Sedimen Perubahan karakteristik sedimen secara vertikal pada daerah penelitian dapat dilihat dari ciri-ciri fisik sedimen yaitu diameter rata-rata (mean size) dengan didukung data koefisien sorting dan nilai skewness, sehingga jika digambarkan dapat terlihat jelas adanya tingkatan sedimen pada lapisan setiap stasiun yang

50

diteliti. Statistik ukuran fraksi sedimen merupakan salah satu metode digunakan untuk mengidentifikasi proses transportasi dan deposisi sedimen (Folk dan Ward, 1977). Proses deposisi atau terendapkannya sedimen sebagian besar berukuran lanau sedang. Hal ini menunjukkan bahwa karakter dasar perairan relatif sama di setiap stasiun Pada stasiun terabrasi terdapat empat jenis sedimen yaitu lanau sedang, lanau kasar, lanau halus dan pasir halus. Jenis sedimen lanau sedang mendominasi pada stasiun ini. Hal ini diduga kecepatan arus yang tenang di kedua stasiun sehingga adanya kesempatan jenis sedimen lanau sedang untuk diendapkan pada stasiun ini. Jenis sedimen lanau kasar terdapat pada lapisan bagian permukaan, dimana pada stasiun I terdapat pada lapisan ke-12, 21, sedangkan pada stasiun III hanya terdapat pada lapisan ke-10. Hal ini diduga sedimen yang terdeposisi pada lapisan bagian permukaan di kedua stasiun terjadi dalam kondisi laut yang tidak stabil karena selalu dipengaruhi arus pasang surut dan gelombang. Jenis sedimen lanau halus hanya terdapat pada stasiun III pada lapisan ke-61, 65 bagian dasar. Hal ini diduga pada saat pengendapan, arus dan gelombang pada bagian dasar sangat kecil dibandingkan dengan bagian tengah dan permukaan, sehingga sedimen halus lebih mendominasi pada bagian dasar. Jenis sedimen pasir halus hanya terdapat pada stasiun I lapisan ke-57. Banyaknya aktivitas manusia dan berbagai suplai sedimen yang masuk ke perairan, menyebabkan jenis sedimen pasir halus mengendap di perairan stasiun I. Menurut Davis (1991), arus sungai yang memasuki air laut akan mengalami perlambatan. Akibatnya kemampuan mengangkut material kasar berkurang sehingga material halus tersebut mengendap pada bagian mulut muara dan depan muara sungai.

51

Klasifikasi sorting pada stasiun I dan III adalah terpilah buruk dan sangat buruk. Nilai sorting mengindikasikan tipe pengendapan, karakteristik arus pengendapan dan kecepatan waktu pengendapan (Solahudin et al, 2006). Klasifikasi terpilah buruk memberikan dugaan bahwa arus yang terjadi tidak stabil untuk mengendapkan sedimen, sedangkan terpilah sangat buruk memberikan arti bahwa adanya perubahan arus yang kuat terjadi pada saat pengendapan di stasiun ini. Pada stasiun tersedimentasi terdapat empat jenis sedimen yaitu lanau sedang, lanau kasar, lanau halus dan pasir sangat halus. Jenis sedimen lanau sedang masih mendominasi di kedua stasiun ini. Jenis sedimen lanau kasar lebih di dominasi di stasiun II di bandingkan pada stasiun IV. Jenis sedimen lanau kasar terdapat di 8 lapisan pada stasiun II bagian tengah dan dasar, sedangkan pada stasiun IV hanya terdapat di 6 lapisan bagian permukaan dan tengah, ini menggambarkan bahwa pada stasiun II arus dan gelombang yang kuat sehingga jenis sedimen lanau kasar yang diduga berasal dari beting gesik di Selat Rupat terbawa dan lebih banyak mengendap di stasiun II. Jenis sedimen lanau halus terdapat di 4 lapisan pada stasiun II bagian permukaan, sedangkan pada stasiun IV hanya terdapat di 2 lapisan yaitu lapisan awal dan lapisan ke-44 bagian dasar. Hal ini menggambarkan bahwa arus dan gelombang yang kecil, serta letak stasiun yang berada pada kawasan mangrove menyebabkan lanau halus terdeposisi di kedua stasiun tersebut. Jenis sedimen pasir sangat halus yang hanya terdapat pada stasiun IV lapisan ke-10 bagian permukaan dan lapisan ke-4, 8, 12 bagian tengah. Kawasan pesisir pada stasiun II dan IV memiliki kawasan mangrove yang sangat luas, kondisi tersebut yang menjadi salah satu faktor mengurangi kecepatan arus dan gelombang

52

sehingga kawasan tersebut hanya terendapkan fraksi berukuran halus hingga pasir sangat halus (Gemilang, 2017). Klasifikasi sorting pada stasiun II dan IV adalah terpilah buruk dan sangat buruk. Ingmanson dan Wallace (1989) menjelaskan bahwa sedimen dengan klasifikasi terpilah buruk dipengarui oleh arus dan gelombang yang tidak stabil setiap waktu yang menyebabkan fraksi sedimen yang diendapkan berbeda sangat mencolok. Selain kondisi tersebut, proses pertemuan antara arus sungai dengan arus laut menyebabkan terjadinya gradasi energi arus pengendapan sehingga menyebabkan kondisi energi arus yang fluktuatif dan ukuran fraksi sedimen tidak terpilah dengan baik. 4.2.3. Analisis Cluster Stasiun terabrasi memiliki empat cluster yaitu cluster I, II, III, dan IV. Cluster I paling banyak terdistribusi di stasiun III yaitu 52 lapisan , sedangkan pada stasiun I terdistribusi hanya 27 lapisan. Cluster I di diklasifikasikan lanau sedanglanau halus yang didominasi oleh fraksi lumpur. Hal ini menjelaskan bahwa perbedaan suplai sedimen yang masuk di Perairan rupat dan Dumai berbeda, dimana stasiun I lebih banyak di pengaruhi oleh aktivitas manusia dibandingkan dengan stasiun III. Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah buruk-terpilah sangat buruk yang menggambarkan bahwa perubahan arus dan gelombang yang sangat kuat pada saat pengendapan menyebabkan sedimen tidak terpilah dengan baik di kedua stasiun tersebut. Cluster II paling banyak terdistribusi di stasiun I yaitu 34 lapisan, sedangkan pada stasiun III terdistribusi di 13 lapisan. Cluster II di klasifikasikan lanau kasar-lanau sedang yang didominasi oleh fraksi lumpur. Pada cluster I dan II tidak ada perbedaan yang sangat mencolok, hanya saja perbedaan

53

persentase lumpur di cluster II lebih rendah, sedangkan persentase pasir lebih tinggi dibandingkan dengan cluster I. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi perairan dan suplai sedimen yang dibawa dari daratan berbeda. Hasil klasifikasi soting yaitu terpilah buruk-terpilah sangat buruk yang artinya pada saat melakukan proses pengendapan, kekuatan arus dan gelombang tidak stabil. Cluster III hanya terdistribusi di satu lapisan yaitu pada stasiun I lapisan ke57. Cluster III di klasifikasikan pasir halus yang didominasi oleh fraksi pasir. Hal ini diduga arus dan gelombang yang kuat membawa partikel pasir dan mengendap di stasiun I. Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah sangat buruk yang menandakan bahwa arus dan gelombang yang terjadi pada saat pengendapan selalu berubahubah. Cluster IV terdistribusi di satu lapisan di setiap stasiun. Pada stasiun I terdistribusi di lapisan ke-21, sedangkan pada stasiun III terdistribusi di lapisan ke10. Cluster IV di klasifikasikan lanau kasar yang didominasi oleh fraksi lumpur. Hal ini diduga energi arus dan gelombang yang cukup kuat, sehingga kesempatan partikel lanau kasar mengendap di kedua stasiun. Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah sangat buruk yang menandakan bahwa arus dan gelombang yang tidak stabil pada saat pengendapan. Stasiun tersedimentasi memiliki lima cluster yaitu cluster I, II, III, IV dan V. Cluster I lebih banyak terdistribusi di stasiun II yaitu 22 lapisan, sedangkan padaa stasiun IV hanya terdistribusi di 9 lapisan. Cluster I di klasifikasikan lanau sedang-lanau halus yang di dominasi oleh fraksi lumpur. Hal ini menggambarkan bahwa arus dan gelombang membawa fraksi lumpur lebih banyak dibandingkan fraksi pasir. Selain itu, pada stasiun tersedimentasi merupakan kawasan areal mangrove. Roza (2016) menyatakan bahwa Perbedaan tingkat kerapatan vegetasi

54

mangrove akan menyebabkan perbedaan kecepatan arus akibat kemampuan perakaran mangrove yang mampu mengakumulasi atau merangkap sedimen. Selanjutnya Nontji (2002) menambahkan bahwa ekosistem mangrove memiliki akar-akar yang kokoh dan dapat meredam pengaruh gelombang serta menahan lumpur atau sedimen halus sehingga lahan mangrove bisa menjadi semakin luas serta mempercepat terbentuknya tanah atau endapan sedimen untuk ditumbuhi mangrove. Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah buruk-terpilah sangat buruk. Hal ini diduga karena perubahan arus dan gelombang saat pengendapan cukup kuat pada saat pengendapan terjadi. Cluster II terdistribusi hampir merata di setiap lapisan pada stasiun II dan IV. Cluster II di klasifikasikan lanau kasar-lanau sedang yang di dominasi oleh fraksi lumpur. Hal ini diduga karena letak stasiun dan karakter dasar perairan daerah penelitian secara dominan disusun oleh lumpur. Arus dan gelombang di perairan ini sangat kecil sehingga kesempatan fraksi lumpur untuk mengendap lebih besar. Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah buruk-terpilah sangat buruk yang berarti perubahan padaa saat pengendapan cukup kuat pada saat pengendapan terjadi. Cluster III hanya terdistribusi di satu lapisan yaitu pada stasiun IV lapisan ke-23. Cluster III diklasifikasikan pasir sangat halus yang didominasi oleh fraksi pasir. Hal ini diduga pada saat terjadi pasang tertinggi dimana air pasang sampai ke arah daratan dan ketika surut sedimen dari daratan yang di dominasi pasir diendapkan lebih dahulu dan kemudian membawa lumpur untuk diendapkan ditempat lain. Sesuai dengan prinsip pengendapan (Rifardi, 2008), sedimen yang berukuran kasar akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya. Hal ini di dukung oleh

55

hasil klasifikasi skewness pada cluster ini yaitu menceng sangat halus (positif skewed). Nilai skewness positif ini mengindikasikan bahwa aktivitas gelombang dan arus yang terjadi pada saat pengendapan sangat kuat. Sesuai dengan pendapat Duane dalam Mukminin (2008) yang meyatakan bahwa positively skewness dihasilkan oleh lingkungan dimana aktivitas gelombang sangat besar. Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah sangat buruk yang mengindikasikan perubahan arus dan gelombnag sangat kuat pada saat pengendapan. Cluster IV didominasi pada stasiun II dengan terdistribusinya di 8 lapisan, sedangkan pada stasiun IV terdistribusi di 6 lapiasn. Cluster IV di klasifikasikan pasir sangat halus-lanau kasar yang didominasi oleh fraksi pasir. Hal ini diduga karena kecepatan arus dan gelombang cukup kuat sehingga kesempatan pasir atau partikel kasar mengendap lebih besar, karena arus yang kuat akan di tandai jenis fraksi sedimen kasar (Rifardi, 2008). Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah burukterpilah sangat buruk yang menandakan bahwa arus dan gelombang di perairan Dumai dan Rupat tidak stabil dan selalu berubah-ubah pada saat pengendapan. Cluster V merupakan kelompok yang hanya memiliki satu lapisan yaitu lapisan ke1 pada stasiun IV dengan nilai fraksi lumpur yaitu 85,21% dan nilai fraksi pasir yaitu 14,79%. Hal ini diduga karena letak stasiun yang berada dekat dengan kawasan mangrove dan semakin jauh dari sumbernya mengindikasikan partikel sedimen lumpur mengendap diperairan ini. Hasil klasifikasi sorting yaitu terpilah buruk. Hampir seluruh di setiap cluster mengklasifikasikan terpilah buruk dikarenakan arus dan gelombang yang tidak stabil pada saat pengendapan yang menyebabkan suatu partikel sedimen tidak terpilah dengan baik.

56

V.

5.1.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Secara umum ukuran fraksi sedimen di perairan Selat Rupat didominasi

oleh fraksi lumpur. Persentase berat fraksi lumpur yang terbesar yaitu berada pada stasiun IV lapisan ke-44 bagian dasar dengan nilai 85,45%. Pada stasiun terabrasi terdapat empat jenis sedimen yaitu lanau sedang, lanau kasar, lanau halus dan pasir halus. Klasifikasi sorting pada stasiun I dan III adalah terpilah buruk dan sangat buruk. Terpilah buruk memberikan dugaan bahwa arus yang terjadi tidak stabil untuk mengendapkan sedimen, sedangkan terpilah sangat buruk memberikan arti bahwa adanya perubahan arus yang kuat terjadi pada saat pengendapan di stasiun ini. Pada stasiun tersedimentasi terdapat empat jenis sedimen yaitu lanau sedang, lanau kasar, lanau halus dan pasir sangat halus. Klasifikasi sorting pada

57

stasiun II dan IV adalah terpilah buruk dan sangat buruk. Klasifikasi terpilah buruk dan sangat buruk dipengarui oleh arus dan gelombang yang tidak stabil setiap waktu yang menyebabkan fraksi sedimen yang diendapkan berbeda sangat mencolok. Selain kondisi tersebut, proses pertemuan antara arus sungai dengan arus laut menyebabkan terjadinya gradasi energi arus pengendapan sehingga menyebabkan kondisi energi arus yang fluktuatif dan ukuran fraksi sedimen tidak terpilah dengan baik.

5.2.

Saran Disarankan melakukan penelitian lanjutan mengenai transport sedimen dan

proses pengendapan untuk lebih melengkapi data sehingga dapat memberikan informasi kepada pihak terkait mengenai transport sedimen yang terjadi di Perairan Selat Rupat.

58

DAFTAR PUSTAKA

Arby, H., 2007. Studi Sedimen di Perairan Pulau Beruk Kecamatan Rupat Utara Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. 74 Halaman. Tidak diterbitkan (skripsi). Ariandi, D., 2009. Analisis Karakteristik Sedimen di Muara Sungai Indragiri. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. 114 halaman. (Tidak diterbitkan). Arifin, B., 2008. Karakteristik Sedimen Ditinjau dari Aktivitas Antropogenik di Perairan Dumai. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Pekanbaru. 70 halaman. Tidak diterbitkan (skripsi). Bates, R.L dan A. Jackson. 1987. Glossary of Geology. (editors). American Geological Institute, Alexandria, Virginia. Bramawanto, R. Rifardi dan M. Galib. 2000. Karakteristik Gelombang dan Sedimen di Pelabuhan Stasiun Kelautan Universitas Riau dan sekitarnya, Selat Rupat Pantai Timur Sumatera. Jour. Perikanan dan Kelautan Univ. Riau. Butar, R.B., 2011. Distribusi vertikal Fraksi Sedimen di Perairan Laut Dumai. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.

59

Dahuri, R., 1996. Metode dan Teknik Analisis Kualitas Air. Dalam Kumpulan Makalah Kursus Amdal Tipe B. Kerjasama PSL-Udana, Kupang dan Bapedal Kupang, Kupang. 1-16 hal. Darmadi., 2010. Karakteristik Gelombang dan Arus Pasang Surut di Pelabuhan Kejawan Cirebon. Laporan Praktikum Oseanografi Fisika. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran Bandung. Davis, Jr., 1991. Oceanography: An Introduction to The Marine Enviroment. Wm.C. Brown Publisher. Lowa.USA. Davis, R.A.Jr., 1993. An Introduction to Sedimentology and Stratigraphy Depositional System. New York: Precite Hall-Englewood Cl. Folk R.L dan P.B Ward. 1977. Student operator error in determination of roundess, spherity and grain size. Sed Petrology. 25: 297-301p. Garrison, T., 2006. Essentials of oceanography. 4ed. Thomson Learning, Inc. USA. Gemilang, W.A., 2017. Karakteristik Sebaran Sedimen Pantai Utara Jawa. Jour. Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir. Sumatera Barat. Girsang, J.E., 2014. Karakteristik dan Pola Sebaran Sedimen Perairan Selat Rupat Bagian Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Pekanbaru. 71 halaman. Tidak diterbitkan (skripsi). Hallaf, H.P., 2006. Geomorfologi Sungai dan Pantai. Makassar : Jurusan geografi FMIPA UNM. Ingmanson, D.E dan W.J. Wallace.1989. Oceanography an introduction. Fouth Edition. Wadsworth Publishing Company. Belmont, California. Muawanah dan A.Supangat. 1998. Pengantar Kimia dan Sedimen Dasar Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta Mukminin, A., 2008. Proses Sedimentasi di Perairan Pantai Dompak Kecamatan Bukit Bestari Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau. (Tidak diiterbitkan) Munandar, R.K., 2014. Karakteristik Sedimen di Perairan Desa Tanjung Momong Kecamatan Siantan Kabupaten KepulauanAnambas. E-Jurnal Tugas Akhir Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau. Nedi, S., 2010. Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Riau. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nontji, A., 2002. Laut Nusantara. Jakarta (ID) : Djambatan Pr. Nurosis, M.J., 1993. SPSS for Unix. Profesional Statistik Release 5.0 SPSS Inc. 345 p.

60

Pethick., 1997. An Introduction to Coastal Geomorphology. Edward Arnold a Division of Holder and Stougthon, London. 260 Pages. Putinella., 2002. Permasalahan dan Dinamika Pantai Pada Daerah Wisata Pantai Baron dan Krakal. Laporan Praktek Lapangan. Yogyakarta. Qhomariyah, L dan Yuwono. 2016. Analisa Hubungan Antara Pasang Surut Air Laut dengan Sedimentasi yang Terbentuk (Studi Kasus Dermaga Pelabuhan Petikemas Surabaya). Rifardi., 2001. Karakteristik Sedimen Daerah Mangrove dan Pantai Perairan Selat Rupat, Pantai Timur Sumatera, Majalah Ilmu Kelautan 21 (4): 62-71. ., 2008. Deposisi Sedimen di Perairan Laut Dangkal. Journal Ilmu Kelautan. (Inpress). ., 2010. Ekologi Sedimen Laut Modern. Unri Press. Pekanbaru. 145 halaman. Roza, S.Y., 2016. Kontribusi Mangrove Dalam Memerangkap Sedimen Di Wilayah Pesisir Kota Dumai Provinsi Riau (tesis). Bogor. Institus Pertanian Bogor. Shuhendry, R., 2004. Abrasi Pantai di Wilayah Pesisir Kota Bengkulu: Analisis Faktor Penyebab dan Konsep Penanggulangannya. Eprints.undip.ac.id/11 970, Semarang. Siagian, S.P., 2006. Kandungan Logam Berat (Pb, Cu, Cd, Ni, dan Zn) dalam Air Laut dan Sedimen di Perairan Rupat Provinsi Riau. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru. Solahuddin T.E, Triarso, R.A. Troa. 2006. Karaktersistik tekstur sedimen berdasarkan analisis granulometri dan morfologi batupasir sepanjang Sungai Progo di Daerah Kalibawang-Pantai Trisik. D.I.Y. Proceddings of International Conference on Earth Science and Technology Vol I. Sugeng, W. 2002. Modul Mata Kuliah Universitas Diponegoro : Semarang Syafrudin, A dan M. Riizky. 2015. Geologi Laut. Laporan Praktikum. Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Teisson, C., 1992. Cohessive Suspended Transport ; Feasibility and Limitation or Numerical Modelling. Laboratoried’Hydrolique. Paris Cadex. 3 p. Thurman, H. V dan A. P. Trujillo. 2004. Introductory Oceanography. Pearson Prentice Hall. New Jersey. 608 hlm. Triatmodjo, B., 2012. Perencanaan Bangunan Pantai. Penerbit Beta Offset, Yogyakarta. Uktoselya, H., 1992. Beberapa Aspek Fisika Pencemaran Laut dalam Status Pencemaran Laut di Indonesia dan teknik Pemantauanya. LON-LIPI. Jakarta. Hal 143-153.

61

Vreugdenhil, C.B., 1999. Transport Problems in Shallow water, battleneeks and Appropriate Modeling : Twente University, Department of Civil Engineering and Management. Seminar on Sediment Transport Modelling. Bandung Institute of Technology February 5-6, Seminar papers: 8 hal. Wentworth, C.K., 1922. A scale of grade and class term for clastic sediment. J.Geology, 30:337-392p. Wibisono, M.S., 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Wibowo, Y.A., 2012. Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi). Makalah Gelombang, Jurusan Oseanografi Universitas Hang Tuah: Surabaya.

LAMPIRAN

62

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian

63

Lampiran 2. Peta lokasi titik stasiun

II

IV

III I

64

Lampiran 3. Segitiga shepard

St.I

St.III

St.II

St.IV

65

Lampiran 4. Kondisi lapangan di setiap stasiun St.I

St.II

66

St.III

St.IV

67

Lampiran 5. Alat-alat lapangan

Hand Refractometer

Kertas pH Indikator

68

GPS (Global Positioning System)

Sechi Disk

Thermometer Lampiran 6. Alat-alat Laboratorium

1. Gelas Ukur

3. Oven

69

2. Pipet Volumetrik

5. Timbangan Digital

Lampiran 7. Dokumentasi di Laboratorium

4. Saringan Bertingkat

70

Lampiran 8. Dokumentasi lapangan

71

Lampiran 9. Karakteristik sedimen stasiun terabrasi (I dan III) St. I mean klasifikasi permukaan 5,40 lanau sedang L.1 L.2

5,40 lanau sedang

L.3

5,47 lanau sedang

L.4

5,13 lanau sedang

L.5

5,13 lanau sedang

L.6

5,20 lanau sedang

L.7

5,23 lanau sedang

L.8

5,17 lanau sedang

sorting klasifikasi 2,41 terpilah sangat buruk 2,47 terpilah sangat buruk 2,39 terpilah sangat buruk 2,61 terpilah sangat buruk 2,73 terpilah sangat buruk 2,68 terpilah sangat buruk 2,56 terpilah sangat buruk 2,64 terpilah sangat buruk

skewness klasifikasi -0,89 menceng sangat kasar -0,89 menceng sangat kasar -0,89 menceng sangat kasar -0,89 menceng sangat kasar -0,92 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar

72

L.9

5,30 lanau sedang

L.10

5,40 lanau sedang

L.11

5,13 lanau sedang

L.12

5,00 lanau kasar

L.13

5,13 lanau sedang

L.14

5,30 lanau sedang

L.15

5,20 lanau sedang

L.16

5,27 lanau sedang

L.17

5,40 lanau sedang

L.18

5,30 lanau sedang

L.19

5,37 lanau sedang

L.20

5,20 lanau sedang

L.21

4,07 lanau kasar

2,48 terpilah sangat buruk 2,41 terpilah sangat buruk 2,67 terpilah sangat buruk 2,77 terpilah sangat buruk 2,73 terpilah sangat buruk 2,50 terpilah sangat buruk 2,66 terpilah sangat buruk 2,57 terpilah sangat buruk 2,46 terpilah sangat buruk 2,53 terpilah sangat buruk 2,43 terpilah sangat buruk 2,62 terpilah sangat buruk 2,74 terpilah sangat buruk

-0,91 menceng sangat kasar -0,90 menceng sangat kasar -0,90 menceng sangat kasar -0,90 menceng sangat kasar -0,92 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,89 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,91 menceng sangat kasar -0,03 menceng simetris

St. I tengah L.1

mean

klasifikasi

sorting

klasifikasi

skewnes

klasifikasi

5,20

lanau sedang

2,56

-0,88

L.2

5,23

lanau sedang

2,54

L.3

5,20

lanau sedang

2,56

L.4

5,13

lanau sedang

2,64

L.5

5,17

lanau sedang

2,60

L.6

5,27

lanau sedang

2,52

L.7

5,27

lanau sedang

2,57

L.8

5,47

lanau sedang

2,38

L.9

5,40

lanau sedang

2,43

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

-0,88 -0,88 -0,88 -0,88 -0,91 -0,91 -0,92 -0,89

73

L.10

5,37

lanau sedang

2,48

L.11

5,47

lanau sedang

2,38

L.12

5,50

lanau sedang

2,39

L.13

5,53

lanau sedang

2,30

L.14

5,43

lanau sedang

2,40

L.15

5,53

lanau sedang

2,35

L.16

5,70

lanau sedang

2,23

L.17

5,40

lanau sedang

2,39

L.18

5,50

lanau sedang

2,33

L.19

5,47

lanau sedang

2,38

L.20

5,67

lanau sedang

2,20

L.21

5,40

lanau sedang

2,52

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,89 -0,92 -0,92 -0,92 -0,89 -0,92 -0,90 -0,88 -0,92 -0,92 -0,91 -0,89

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

St. I dasar L.1

mean

klasifikasi

sorting

klasifikasi

skewnes

klasifikasi

5,37

lanau sedang

2,37

-0,90

L.2

5,40

lanau sedang

2,31

L.3

5,57

lanau sedang

2,28

L.4

5,47

lanau sedang

2,34

L.5

5,50

lanau sedang

2,37

L.6

5,30

lanau sedang

2,68

L.7

5,40

lanau sedang

2,49

L.8

5,83

lanau sedang

1,97

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.9

5,67

lanau sedang

2,21

terpilah sangat buruk

-0,88

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

-0,90 -0,91 -0,88 -0,88 -0,90 -0,89 -0,90

74

L.10

5,57

lanau sedang

2,33

L.11

5,47

lanau sedang

2,38

L.12

5,47

lanau sedang

2,36

L.13

5,40

lanau sedang

2,49

L.14

5,03

lanau sedang

2,84

L.15

2,97

pasir halus

3,16

L.16

5,07

lanau sedang

2,80

L.17

5,23

lanau sedang

2,62

L.18

5,30

lanau sedang

2,59

L.19

5,23

lanau sedang

2,67

L.20

5,43

lanau sedang

2,52

L.21

5,33

lanau sedang

2,58

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,88 -0,88 -0,88 -0,89 -0,89 0,33 -0,89 -0,91 -0,89 -0,90 -0,92 -0,89

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat halus menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

Sumber: Data Primer (2017)

St. III mean permukaan 5,87 L.1

klasifikasi

sorting klasifikasi

lanau sedang 2,01

skewnes klasifikasi

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

-0,87

-0,90

L.2

5,43

lanau sedang 2,30

-0,90

L.3

5,83

lanau sedang 1,95

L.4

5,53

lanau sedang 2,24

L.5

5,97

lanau sedang 1,85

terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.6

5,93

lanau sedang 1,86

terpilah buruk

-0,85

L.7

5,73

lanau sedang 2,04

-0,87

L.8

5,73

lanau sedang 1,92

terpilah sangat buruk terpilah buruk

-0,86

-0,85

-0,86

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

75

L.9

5,80

lanau sedang 1,97

terpilah buruk

-0,86

L.10

4,50

lanau kasar

0,29

L.11

5,50

lanau sedang 2,18

L.12

5,63

lanau sedang 2,05

L.13

5,77

lanau sedang 2,03

L.14

5,80

lanau sedang 2,00

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.15

5,80

lanau sedang 2,02

-0,87

L.16

5,80

lanau sedang 2,00

terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.17

5,90

lanau sedang 1,90

terpilah buruk

-0,86

L.18

5,80

lanau sedang 1,99

terpilah buruk

-0,86

L.19

5,73

lanau sedang 2,05

-0,87

L.20

5,87

lanau sedang 1,94

terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.21

5,80

lanau sedang 1,95

terpilah buruk

-0,88

L.22

5,90

lanau sedang 1,97

terpilah buruk

-0,90

2,08

-0,86 -0,85 -0,87 -0,86

-0,86

-0,86

menceng sangat kasar menceng halus menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

St. III tengah L.1

mean

klasifikasi

sorting klasifikasi

skewnes klasifikasi

5,93

lanau sedang

1,93

terpilah buruk

-0,90

L.2

5,77

lanau sedang

2,03

-0,87

L.3

5,53

lanau sedang

2,18

L.4

5,80

lanau sedang

2,00

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.5

5,43

lanau sedang

2,26

-0,86

L.6

5,43

lanau sedang

2,26

L.7

5,40

lanau sedang

2,42

L.8

5,53

lanau sedang

2,29

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,89 -0,86

-0,86 -0,91 -0,88

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

76

L.9

5,70

lanau sedang

2,06

-0,89

1,98

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.10

5,70

lanau sedang

2,07

L.11

5,60

lanau sedang

2,16

L.12

5,63

lanau sedang

2,10

L.13

5,70

lanau sedang

2,14

L.14

5,87

lanau sedang

2,01

L.15

5,57

lanau sedang

2,25

L.16

5,87

lanau sedang

L.17

5,87

lanau sedang

1,97

terpilah buruk

-0,86

L.18

6,00

lanau sedang

1,84

terpilah buruk

-0,85

L.19

5,80

lanau sedang

1,94

terpilah buruk

-0,88

L.20

5,83

lanau sedang

1,88

terpilah buruk

-0,88

L.21

5,90

lanau sedang

1,90

terpilah buruk

-0,86

L.22

5,90

lanau sedang

1,88

terpilah buruk

-0,86

St. III dasar L.1

mean

klasifikasi

sorting klasifikasi

5,73

lanau sedang

2,02

L.2

5,57

lanau sedang

2,17

L.3

6,00

lanau sedang

1,86

L.4

5,43

lanau sedang

2,26

L.5

5,37

lanau sedang

2,35

L.6

5,80

lanau sedang

2,04

L.7

5,73

lanau sedang

2,03

L.8

5,87

lanau sedang

1,97

-0,89 -0,89 -0,85 -0,87 -0,90 -0,88 -0,86

skewnes klasifikasi

terpilah sangat -0,89 buruk terpilah sangat -0,89 buruk terpilah buruk -0,90 terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

-0,90 -0,90 -0,91 -0,89 -0,86

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

77

L.9

5,93

lanau sedang

1,87

terpilah buruk

-0,86

L.10

5,93

lanau sedang

1,87

terpilah buruk

-0,86

L.11

5,87

lanau sedang

1,95

terpilah buruk

-0,86

L.12

5,80

lanau sedang

1,99

terpilah buruk

-0,86

L.13

5,60

lanau sedang

2,18

-0,87

L.14

5,63

lanau sedang

2,18

L.15

5,47

lanau sedang

2,39

L.16

5,50

lanau sedang

2,32

L.17

6,03

lamau halus

1,81

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.18

5,43

lanau sedang

2,30

L.19

5,50

lanau sedang

2,30

L.20

5,93

lanau sedang

1,91

terpilah sangat -0,90 buruk terpilah sangat -0,88 buruk terpilah buruk -0,90

L.21

6,13

lanau halus

1,79

terpilah buruk

L.22

5,57

lanau sedang

2,21

terpilah sangat -0,88 buruk

-0,91 -0,89 -0,88 -0,85

-0,88

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

Sumber: Data Primer (2017)

Lampiran 10. Karakteristik sedimen stasiun tersedimnetasi (II dan IV) St. II mean klasifikasi permukaan 5,77 lanau sedang L.1

sorting klasifikasi

skewnes klasifikasi

2,03

-0,87

L.2

5,80

lanau sedang

1,97

terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.3

5,83

lanau sedang

1,96

terpilah buruk

-0,86

L.4

5,83

lanau sedang

1,96

terpilah buruk

-0,86

L.5

5,80

lanau sedang

1,99

terpilah buruk

-0,86

L.6

5,80

lanau sedang

2,00

terpilah buruk

-0,86

-0,86

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

78

L.7

5,87

lanau sedang

1,92

terpilah buruk

-0,86

L.8

5,83

lanau sedang

1,90

terpilah buruk

-0,88

L.9

6,03

lanau halus

1,78

terpilah buruk

-0,89

L.10

6,07

lanau halus

1,71

terpilah buruk

-0,89

L.11

5,93

lanau sedang

1,81

terpilah buruk

-0,85

L.12

5,70

lanau sedang

2,06

-0,87

L.13

5,87

lanau sedang

1,93

terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.14

5,93

lanau sedang

1,87

terpilah buruk

-0,90

L.15

5,83

lanau sedang

1,95

terpilah buruk

-0,86

L.16

6,03

lanau halus

1,73

terpilah buruk

-0,89

L.17

6,10

lanau halus

1,73

terpilah buruk

-0,89

L.18

5,97

lanau sedang

1,82

terpilah buruk

-0,85

L.19

5,97

lanau sedang

1,77

terpilah buruk

-0,85

-0,90

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

St. II tengah L.1

mean

klasifikasi

sorting klasifikasi

skewnes klasifikasi

5,70

lanau sedang

2,08

-0,87

L.2

5,73

lanau sedang

2,07

L.3

5,87

lanau sedang

1,94

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.4

5,90

lanau sedang

1,90

terpilah buruk

-0,86

L.5

4,63

lanau kasar

2,00

terpilah buruk

0,36

L.6

5,80

lanau sedang

1,99

terpilah buruk

-0,86

L.7

5,87

lanau sedang

1,94

terpilah buruk

-0,86

-0,87 -0,86

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat halus menceng sangat kasar menceng sangat kasar

79

L.8

5,60

lanau sedang

2,20

L.9

5,43

lanau sedang

2,30

L.10

5,37

lanau sedang

2,34

L.11

5,47

lanau sedang

2,25

L.12

5,47

lanau sedang

2,26

L.13

6,00

lanau sedang

1,88

L.14

5,50

lanau sedang

2,22

L.15

4,27

lanau kasar

2,31

L.16

5,43

lanau sedang

2,32

L.17

5,53

lanau sedang

2,21

L.18

4,57

lanau kasar

2,15

L.19

5,60

lanau sedang

2,15

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

-0,88

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,90

-0,90 -0,87 -0,90 -0,90 -0,90

0,25 -0,90 -0,90 0,23 -0,89

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng halus menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng halus menceng sangat kasar

St. II dasar L.1

mean

klasifikasi

sorting klasifikasi

skewnes klasifikasi

5,53

lanau sedang

2,18

-0,89

L.2

5,43

lanau sedang

2,27

L.3

5,43

lanau sedang

2,32

L.4

5,80

lanau sedang

1,92

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

L.5

5,63

lanau sedang

2,11

-0,89

L.6

5,73

lanau sedang

2,07

L.7

5,73

lanau sedang

2,00

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

-0,90 -0,90 -0,88

-0,87 -0,89

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

80

L.8

5,60

lanau sedang

2,09

L.9

5,57

lanau sedang

2,19

L.10

5,40

lanau sedang

2,32

L.11

5,40

lanau sedang

2,30

L.12

5,47

lanau sedang

2,30

L.13

5,40

lanau sedang

2,33

L.14

4,13

lanau kasar

2,27

L.15

4,30

lanau kasar

2,35

L.16

4,23

lanau kasar

2,27

L.17

4,37

lanau kasar

2,26

L.18

4,30

Lanau kasar

2,26

L.19

5,63

lanau sedang

2,04

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,85 -0,90 -0,87 -0,87 -0,88 -0,90 0,36 0,18 0,25 0,21 0,28 -0,87

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat halus menceng halus menceng halus menceng halus menceng halus menceng sangat kasar

Sumber: Data Primer (2017)

St. IV mean permukaan 7,20 L.1

klasifikasi

sorting klasifikasi

skewnes

klasifikasi

lanau halus

1,02

terpilah buruk

-0,45

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,87

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

L.2

5,73

lanau sedang

2,16

L.3

5,43

lanau sedang

2,42

L.4

5,37

lanau sedang

2,53

L.5

5,5

lanau sedang

2,37

L.6

5,23

lanau sedang

2,62

-0,89 -0,89 -0,88 -0,93

81

L.7

5,23

lanau sedang

2,62

L.8

4,90

lanau kasar

2,84

L.9

5,00

lanau kasar

2,83

L.10

3,63

2,87

L.11

5,03

pasir sangat halus lanau sedang

L.12

5,17

lanau sedang

2,72

L.13

4,97

lanau kasar

2,87

L.14

5,77

lanau sedang

2,21

L.15

4,13

lanau kasar

2,7

3,07

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,91 -0,92 -0,93 0,11 -0,94 -0,92 -0,92 -0,91 -0,01

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng halus menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng simetris

St. IV tengah L.1

mean

klasifikasi

sorting klasifikasi

skewnes klasifikasi

5,17

lanau sedang

1,93

terpilah buruk

-0,81

L.2

5,30

lanau sedang

2,50

-0,92

L.3

5,17

lanau sedang

2,62

L.4

4,00

2,52

L.5

4,07

pasir sangat halus lanau kasar

L.6

5,07

lanau sedang

2,75

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

2,63

-0,90 0,25 0,11 -0,89

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng halus menceng halus menceng sangat kasar

82

L.7

5,17

lanau sedang

2,69

L.8

3,23

2,98

L.9

4,07

pasir sangat halus lanau kasar

L.10

5,17

lanau sedang

2,65

L.11

5,23

lanau sedang

2,53

L.12

3,90

2,66

L.13

5,27

pasir sangat halus lanau sedang

L.14

5,27

lanau sedang

2,61

L.15

5,20

lanau sedang

2,65

2,69

2,61

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,93 0,33 0,04 -0,90 -0,91 0,16 -0,91 -0,91 -0,88

menceng sangat kasar menceng sangat halus menceng simetris menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng halus menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

St. IV dasar L.1

Mean

klasifikasi

sorting klasifikasi

skewnes klasifikasi

5,43

lanau sedang

2,32

-0,90

L.2

5,27

lanau sedang

2,61

L.3

5,33

lanau sedang

2,41

L.4

5,30

lanau sedang

2,51

L.5

5,30

lanau sedang

2,51

L.6

5,23

lanau sedang

2,61

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk

-0,91 -0,90 -0,91 -0,91 -0,93

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

83

L.7

5,43

lanau sedang

2,38

L.8

5,30

lanau sedang

2,50

L.9

5,23

lanau sedang

2,59

L.10

5,10

lanau sedang

2,65

L.11

5,37

lanau sedang

2,40

L.12

5,33

lanau sedang

2,47

L.13

5,43

lanau sedang

2,24

L.14

6,17

lanau halus

1,84

L.15

5,20

lanau sedang

2,62

terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah sangat buruk terpilah buruk

-0,92 -0,91 -0,91 -0,91 -0,90 -0,91 -0,90 -0,90

terpilah sangat -0,93 buruk

Sumber: Data Primer (2017)

Lampiran 11. Dendogram hasil cluster dari seluruh sampel sedimen

menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar menceng sangat kasar

84

IIA

IIB

85

IID

86

More Documents from "Fathur Van Rochman Persie"