Thalassemia Mayor Kahfi.docx

  • Uploaded by: muhammad alkahfi
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Thalassemia Mayor Kahfi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,400
  • Pages: 24
Laporan Kasus THALASEMIA MAYOR

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah RSUDZA Banda Aceh

Oleh: MUHAMMAD AL-KAHFI NIM. 1507101030013

Pembimbing : dr. Heru Noviat Herdata, Sp.A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2017

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah menciptakan manusia, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya. Adapun Presentasi Kasus yang berjudul “Thalasemia Mayor” ini diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – BandaAceh. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada dr. Heru Noviat Herdata,Sp.A yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini. Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang. Banda Aceh, November 2017

BAB I PENDAHULUAN

Thalassemia adalah sekumpulan heterogenus penyakit akibat dari gangguan sintesis hemoglobin yang diwarisi secara autosom resesif. Thalassemia juga merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering terjadi didunia, sangat umum di jumpai disepanjang sabuk thalassemi yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Heterogenitas molekular penyakit tersebut baik carrier thalasemia- α maupun carrier thalassemia- β sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan pengelompokan populasi sehingga dapat dijadikan petanda genetik populasi tertentu. Karena Indonesia termasuk dalam sabuk thalassemik dan sebagian besar wilayahnya endemis malaria diduga kedua jenis thalassemia tersebut terdapat pada populasi Indonesia yang cukup tinggi yaitu sebagai mekanisme mikroevolusi untuk menangkis malari a. Beberapa penelitian, khususnya thalassemia- β , telah dilaporkan Lanni (2002) bahwa data terbaru yang cukup representatif yang mewakili 17 populasi di Indonesia menunjukkan prefalensi carrier yang bervariasi yaitu 0 – 10 %. Sementara itu keberadaan carrier thalassemia- α di Indonesia masih kurang dicermati walaupun telah dilapork an bahwa prefalensinya cukup tinggi pada berbagai populasi di daratan Asia atau Pasific. WHO (1987) memperkirakan ada 13.000-16.000 bayi thalassemia- α lahir setiap tahun di dunia. Jika mereka bisa mencapai usia dewasa, diperkirakan ada sekitar 680.000 penderita thalassemia- α di Asia Tenggara. Angka yang paling banyak disitasi di Indonesia adalah estimasi Wong (1983) yang memperkirakan hanya ada sekitar 0.5% dari total penduduk Indonesia yang membawa sifat kelainan darah dan angka ini jauh lebih rendah dari prefalensi carrier thalassemia- β yang diperkirakan mencapai 3.5%. Namun, banyak peneliti percaya bahwa prefalensi carrier talasemia- α di Indonesia jauh diatas yang diperkirakan Wong tersebut. Dugaan tersebut juga didu kung oleh bukti-bukti bahwa cukup banyak bayi atau janin hyrop fetalis da n Hb-H yang terjaring di Rumah Sakit- Rumah Sakit terutama pada mereka yang mempunyai pengaruh kuat unggun gen Mongoloid. Namun seberapa anak besar prevalensi carrier tersebut pada berbagai populasi di Indonesia belum pernah dilaporkan secara rinci.

Carrier thalassemia- α di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Lie-Injo (1959) tentang kasus bayi Hb-Bart’s hydrop fetalis di Jakarta. Wahidayat juga melaporkan kasus thalassemia- α baik Hb-H maupun bayi hydrop fetalis yang cukup banyak terjaring di Jakarta terutama pada suku Cina. Sementara itu keberadaan thalassemia- α pada populasi di Medan pertama kali dilaporkan oleh Hariman bahwa dari 300 sampel da rah tali pusar yang ditapis 2,5% di antaranya diduga carrier thalassemia- α 0 dan 2,5% carrier thalassemia- α + . Keberadaan carrier thalassemia- α 0 perlu diwaspadai karena pasangan carrier kelainan darah tersebut memp unyai kemungkinan 25% anak-anaknya akan lahir sebagai bayi Hb-Bart’s hydrop fetalis dan akan segera meninggal setelah lahir atau semasa janin. Di samping itu, jika carrier thalassemia- α 0 menikah dengan carrier thalassemia- α + , 25% keturunannya juga berkemungkinan menderita Hb-H atau secara klinis disebut dengan thalassemia- α intermedia dan mayor. Sampai saat ini belum ada tindakan kuratif yang memadai untuk mengatasi thalassemia mayor. Cangkok sumsum tulang yang dilakukan selain tidak bersifat permanen juga mempunyai survival rate yang rendah. Hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar dan harus dilakukan di luar negeri. Terapi gen pada penderita thalassemia juga hanya dilakukan dalam tingkat penelitian. Anjuran WHO (1984) terhadap penyakit ini adalah melakukan tranfusi darah secara rutin dengan pemberian agen pengkelat besi dan pemberian beberapa ajuvan yang bersifat antioksidan. Tindakan ini harus dilakukan terus menerus seumur hidup dan diperlukan,biaya yang cukup besar. Efek sampingnya juga cukup tinggi jika dilakukan dengan tidak memadai. Salah satu ti ndakan yang harus dilakukan adalah tindakan preventif dan kontrol baik berupa tindakan konseling genetik pra- nikah sebagai pencegah terjadinya kasus baru thalassemia. Tindakan preventif ini hanya dapat dilakukan jika prevalensi dan jenis mutan pada populasi bersangkutan telah diketahui. Salah satu delesi penyebab thalassemia- α 0 yang paling sering dijumpai pada populasi di Asia Tenggara adalah mutasi-- SEA . Bentuk homozigot mutasi ini menghasilkan janin atau bayi hydrop fetalis. Mutasi delesi banyak di jumpai pada populasi Asia Tenggara yang mendapat pengaruh kuat unggun gen Mongoloid sehingga dianggap sebagai petanda genetik populasi di Asia Tenggara. Distribusi mutan ini telah dijumpai di Thailand, Malaysia, dan Filipina dalam frekuensi polimorfik, tetapi tidak dijumpai pada populasi Papua ataupun populasi lainnya di kepulauan Pasifik.

Letak geografis Sumatera Utara k hususnya di kota Medan berdekatan dengan daratan Asia Tenggara. Sebelum kala pleistosen berakhir (kira-kira 10.000 tahun yang lalu) kedua daratan te rsebut masih bersatu . karena itu diduga bahwa populasi di Sumatera Utara khususnya di Medan secara genetik berkaitan erat dengan populasi di se menanjung Malaya. Selain Geografis, kesamaan genetis juga ditunjukkan pada heterogenitas molekular gen globinβ dan jenis mutasi pada gen globin- β baik pada suku Batak maupun suku Melayu Sumatera lainnya mempunyai je nis yang sama dengan populasi di daratan Asia Tenggara. Diketahui bahwa talasemia ini terbagi atas empat bagian yaitu talasemia alfa ( α ) talasemia β talasemia δ , dan talasemia τ . Tapi di makalah ini saya hanya akan membahas talasemia α dan β .

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Defenisi Thalassemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter di mana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Tjokronegoro, A. 2001). Thalassemia adalah ketidakadaan atau kekurangan produksi satu atau lebih rantai globin dari hemoglobin Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokomik herediter dengan berbagai derajat keparahan.Thalassemia merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-ana knya secara resesif , Thalassemia termasuk hemoglobinopati 1.1 Fungsi Hemoglobin Eritrosit dalam darah arteri sistemik mengangkut O 2 dari paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan membawa CO 2 ke paru. Pada saat molekul hemoglobin mengangkut dan melepas O 2 , masing-masing rantai globin dalam molekul hemoglobin bergerak pada satu sama lain. Kontak α 1 β 1 dan α 2 β 2 menstabilkan molekul tersebut. Rantai β bergeser pada kontak α 1 β 2 dan α 2 β 1 selama oksigenasi dan deoksigenasi. Pada waktu O 2 dilepaskan, rantai-rantai β ditarik terpisah, sehingga memungkinkan masuknya metabolit 2,3difosfogliserat (2,3-DPG) yang me nyebabkan makin rendahnya afinitas molekul hemoglobin terhadap O 2 . gerakan ini menyebabkan bentuk sigmoid pada kurva disosiasi O 2 hemoglobin. P 50 (tekanan parsial O 2 yang pada tekanan ini hemoglobin terisi separuh dengan O 2 ) darah normal adalah 26,6 mmHg. Dengan meningkatnya afinitas terhadap O 2 , kurva ini bergeser ke kiri (P 50 turun) sedangkan dengan afinitas terhadap O 2 yang menurun, kurva bergeser ke kanan (P 50 meningkat). Secara normal in vivo , pertukaran O 2 berjalan antara saturasi 95% (darah arteri) dengan tekanan O 2 arteri rata-rata sebesar 95 mmHg dan saturasi 70% (darah vena) dengan tekanan O 2 vena rata-rata sebesar 40 mmHg. Posisi kurva yang normal bergant ung pada konsentrasi 2,3-DPG, ion H + dan CO 2 dalam eritrosit serta struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi 2,3- DPG, H + atau CO 2 yang tinggi, dan adangya hemoglobin tertentu, misalnya hemoglobin sabit (sickle haemoglobin, Hb S), menggeser kurva ke kanan (oksigen lebih mudah dilepas), sedangkan hemoglobin fetus (Hb F)-yang tidak mampu mengikat 2,3-DPG-dan hemoglobin abnormal langka tertentu yang disertai polisitemia menggeser kurva ke kiri karena

lebih sulit untuk melepas O 2 dibandingkan normal. Sintesis Thalassemia Pada awal kehidupan embrio sampai delapan minggu kehamilan (masa transisi embrio ke fetus). Yolk sac dan hati akan mensintesis rantai globin ζ yang mirip dengan globin α dan berkombinasi dengan rantai ε untuk membentuk hemoglobin Gower I ( ζ 2 ε 2 ) dan kemudian di ganti dengan hemoglobin Gower II ( α 2 ε 2 ) dan hemoglobin Portland ( ζ 2 γ 2 ). Pada masa fetus hingga akhir kehamilan akan dibentuk hemoglobin fetal atau Hb-F ( α 2 γ 2 ) dan hemoglobin A 2 ( α 2 δ 2 ). Organ yang bertanggung jawab pada periode ini adalah hati, limpa dan sumsum tulang. Hb-F be rsifat heterogen karena ada dua lokus gen - γ yang berbeda. Kedua gen ini dibedakan oleh susunan asam amino pada posisi 136 yang terdiri dari glisin pada G γ dan alanin pada A γ . Setelah bayi lahir kadar Hb-F akan segera menurun dan diganti oleh HbA 1 ( α 2 β 2 ) yang dibentuk oleh sumsum tulang. Setelah enam minggu kelahiran hin gga individu dewasa, hemoglobin normal akan dikendalikan oleh empat gen utama yaitu gen- α , β , γ , dan δ . Pada individu dewasa normal hemoglobin A α 2 β 2 (hemoglobin adult) terdiri dari 97% hemoglobin A 2 ( α 2 δ 2 ) 2,5% dan sisanya kira-kira 0,5% lainnya adalah hemoglobin F ( α 2 γ 2 ) (hemoglobin fetal). Akan tetapi, jumlah besi yang terkandung dalam hemoglobin hanya kira-kira 0,35% dari berat protein keseluruhan. Seluruh tugas sintesis globin pada periode ini diambil alih oleh sumsum tulang pipih. Sintesis globin dimulai dari proses transkripsi gen dalam inti sel atau nucleus. Baik bagian exon maupun intron akan ditranskripsikan ke precursor mRNA atau nuclear messenger RNA (nmRNA) dengan bantuan enzim polimerase RNA. Di dalam nukleus molekul ini akan mengalami modifikasi. Intron akan dihilangkan melalui proses splicing dan exon-exon dan kemudian bergabung satu sama lain. Diperbatasan exon dan intron selalu ada basa GT pada ujung 5’ dan AG pada ujung 3’ yang sangat penting dalam proses splicing yang tepat. Jika terjadi mutasi pada daerah ini maka proses splicing tidak dapat berlangsung. mRNA akan mengalami modifikasi dengan penambahan CAP pada ujung 5’ dan poli- A pada ujung 3’. Setelah transkripsi dimulai dengan bantuan ikatan 5’-5’ trifosfat ujung 5’ RNA yang baru disintesis akan berikatan dengan 7-metil-guanosin pada ujung terminal nukleotida. Proses metilasi ini berhub ungan dengan proses penambahan CAP sehingga ujung 5’ RNA transkip mempunyai CAP. Selanjutnya, mRNA menuju ke dalam sitoplasma dan menjadi

cetakan rantai globin yang akan disintesis. (7) Dalam sitoplasma asam amino akan diangkut ke cetakan (mNRA) dengan bantuan tRNA (transfer RNA) yang bersifat khusus pada setiap asam amino. Urutan asam amino pada rantai polipeptida globin ditentukan oleh triplet kodon yang terdiri dari tiga basa. tRNA merupakan antikodon yang mempunyai tiga basa dan komplement er dengan basa-basa penyusun mRNA. tRNA membawa asam amino ke mRNA dan mencari posisi pasangan yang tepat antara kodon dan antikodon. Jika tRNA pertama sudah berada pada posisi yang tepat, kompleks inisiasi protein dengan sub-unit ribosom terjadi. Kemudian, jika tRNA kedua sudah mengambil posisi yang tepat, kedua asam amino baru yang terbentuk tersebut membentuk ikatan peptida rantai globin dan demikian seterusnya terjadi sepanjang mRNA yang ditransiasi dari 5’ ke 3’. tRNA selalu berada dalam konfirmasi sterik de ngan mRNA melalui dua sub-unit pembentuk ribosom. Pada mRNA selalu terdapat kodon inisiasi (AUG) dan kodon terminasi (UAA, UAG, dan UGA). Pada saat ribosom bertemu dengan kodon terminasi, proses transiasi terhenti, rantai globin lengkap dilepaskan, dan kemudian sub-unit ribosom terlepas dari asam amino yang dibentuk dan didaur ulang. Selanjutnya rantai globin yang terbentuk akan berikatan dengan molekul hem pembentuk hemoglobin.

2. Epidemiologi Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti Italia, Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, SriLangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini di kenal sebagai kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia Tenggara adalah antara 3-9%. Gen untuk thalassemia- β ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak terbatas pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti halnya di Muang Thai, thalassemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian Selatan Cina. Frekuensi thalassemia terbesar berpusat di daerah perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi se besar 50-60% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frek uensi yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh. Thalassemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian frekuensi carrier. Thalassemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa. Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama seperti Malaysia

dan Singapura. Iskandar wahidayat (1979) melaporkan bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta di dapat kasus baru thalassemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya lebih sering di jumpai thalassemia beta. Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit Dr. Suto mo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah). Selama 15 ta hun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalassemia beta. Untuk talasemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih rendah di Asia Tenggara termas uk Indonesia. 3. Etiologi Dasar kelainan pada thalassemia be rlaku secara umum yaitu kelainan thalassemia- α disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kecelakaan genetik, yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada thalassemia- β karena adanya mutasi gen te rsebut. individu normal yang mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan alfa thal 1 terletak pada bagian pendek kromosom 16 (aa/aa). Hilangny a satu gen (silent carrier) tidak menunjukkan gejala klinis sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H) memberikan an emia moderat dan gambaran klinis talasemia- α intermedia. Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat terganggu dan destruksi eritrosit lebih cepat. Delesi ke 4 gen alfa (homosigot alfa thal 1, Hb Barts Hydrops fetalis adalah tidak kompatibel dengan kehidupan akhir intra uterin atau neo natal tanpa transfusi darah. Gen yang mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromosom 11. pada thalassemia- β , mutasi gen disertai berkurangnya produksi mRNA dan berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal. Di bedakan dalam 2 golongan besar thalassemia- β : - ada produksi sedikit rantai beta (tipe beta plus) - tidak ada produksi rantai beta (tipe beta nol) Defisit sintesis globin beta hampir paralel dengan defisit globin beta mRNA yang berfungsi sebagai templa te untuk sintesis protein. Pada thalassemia- β produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi Hb A2 dan atau Hb F tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak daripada

keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyeb abkan ertitropoesis berlangsung tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. Eritropoesis di dalam sumsum tulang sangat giat, dapat memcapai lima kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ektra medular hati dan limpa. Destruksi eritrosit dan prekusornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis ta k efektif) dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tand a anemia hemolitik ringan. Walaupun eritropoesis sangat giat hal ini tidak mampu mendewasakan eritrosit secara efektif. Salah satu sebab mungkin karena adanya presipitasi di dalam eritrosit. Pada kasus homosigot talasemia beta nol, sintesis rantai globin beta tidak ada. Sekitar 50% kasus-kasus ini globin beta mRNA dalam retikulosit dan sel eritrosit muda berkurang atau tidak ada. Mutasi gen pada thalassemia- β bersifat sangat heterogen dan mencapai lebih dari 20 variasi genotip. Hal ini berbeda dengan thalassemia- α yang defek gennya agak homogenik. Gen-gen thalassemia- α 1, thalassemia- α 2, thalassemia- β , Hb E dan Hb konstan spring dapat bergabung dalam kombinasi yang berbeda-beda yang mengakibatkan suatu kompleks variasi sindrom. Thal assemia dengan lebih dari 60 genotip yang disetai dengan gejala yang bervariasi dari asimtomatik sampai letal seperti pada Hb bart’s hydrops fetalis. Kemajuan-kemajuan dalam mengungkapkan penyebab genetik molekular pada thalassemia di dukung oleh pemeriksaan restriction endonuclease digestion dan geneblotting studies, namun demikian secara umum tidak dapat mendeteksi thalassemia- β yang disebabkan karena mutasi nukleotida yang tunggal atau delesi yang minimal. Thalassemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit atau kelainan yang berdasarkan defek atau kelainan hanya satu gen. Thalassemia disertai peningkatan kadar bilirubin dalam serum. Umur eritrosit memendek pada keadaan thalassemia hiper splenisme. Pada penderita thalassemia terjadi anemia hemolitik dan limpa bertambah aktif

Patogenesis

Thalassemia mayor beta terjadi akibat kegagalan sintesis rantai globin beta baik parsial ataupun total. Dan dengan demikian menyebabkan gangguan sintesis hemoglobin dan anemia kron ik. Bila pewarisan adalah autosomal resesif. kelainan pada gen globin- β (terdapat bersama gen- τ dan- δ pada kromosom) bisanya berupa suatu mutasi titik yang mempengaruhi ekspresi gen ataupun pengolahan oleh messenger RNA. Telah diketahui beragam bentuk mutasi dan keragaman ini menjadi penyebab atas luasnya variasi derajat klinis kondisi ini. Tanda dan gejala dari penyakit Thalasemia disebabkan oleh kekurangan oksigen di dalam aliran darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat sel- sel darah merah dan hemoglobin. Thalasemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Hal ini terjadi karena kekurangan protein alfa globin tidak terlalu banyak sehingga hemoglobin dalam darah masih dapat bekerja dengan normal. Penderita Thalasemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Anemia ringan dapat beta globin sudah termutasi, maka orang tersebut carrier Thalasemia (trait). Gambaran Klinis Thalasemia membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalahartikan menjadi anemia kekurangan zat besi. Penderita beta Thalasemia intermedia dapat mengalami anemia ringan sampai dengan sedang. Selain itu juga dapat diikuti dengan masalah kesehatan lainnya, seperti: 1. Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak 
 2. Masalah tulang, Thalasemia dapat menyebabkan sumsum tulang tidak 
 berkembang. Hal ini menyebabkan luas tulang melebihi normal dan tulang 
 menjadi rapuh. 
 3. Pembesaran limpa. 
 Penderita hemoglobin H disease dapat mengalami anemia dengan tingkat yang berat. Tanda dan gejala akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Penderita akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan serius lainnya, seperti: a. Pucat dan lesu 
 b. Nafsu makan menurun 


c. Urin lebih pekat 
 d. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat 
 e. Kulit berwarna kekuningan 
 f. Pembesaran hati dan limpa 
 g. Masalah tulang (terutama tulang wajah ) Jantung dan Liver Disease
 Transfusi darah adalah perawatan standar untuk penderita Thalasemia. Transfusi darah meningkatkan kandungan zat besi dalam darah sehingga dapat merusak organ dan jaringan, terutama jantung dan hati. Penyakit jantung yang disebabkan oleh kelebihan zat besi akan menyebabkan kematian pada penderita Thalasemia. Penyakit jantung komplikasi ini termasuk gagal jantung, aritmis denyut jantung, dan juga serangan jantung. Infeksi menjadi penyebab utama munculnya penyakit lain dan juga menjadi salah satu penyebab kematian pada penderita Thalasemia. Penderita Thalasemia yang telah diangkat limpanya memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi karena tidak ada lagi organ yang mampu memerangi infeksi. Osteoporosis
 Banyak penderita Thalasemia yang memiliki masalah tulang, salah satunya adalah osteoporosis. Osteoporosis adalah suatu kondisi dimana tulang menjadi sangat rapuh dan mudah patah.


(gambaran wajah penderita thalassemia) 4. Komplikasi

Bagi thalassemia mayor memerlukan tranfusi darah seumur hidup. Pada thalassemia mayor komplikasi lebih sering sering di dapatkan dari pada thalassemia intermedia. Komplikasi neuromuskular tidak jarang terjadi. Biasanya pasien terlambat berjalan. Sindrom neupati juga mungkin terjadi dengan kelemahan otot-otot proksimal. Terutama ekstremitas bawah akibat iskemia serebral dapat timbul episode kelainan neurologik fokal ringan, gangguan pendengaran munkin pula terjadi seperti pada kebanyakan anemia hemolitik atau diseritropoitik lain ada peningkatan kecenderungan untuk terbentuknya batu pigmen dalam kandung empedu. Serangan pirai sekunder dapat timbul akibat cepatnya trun over sel dalam sumsum tulang hemosiderosis akibat transfusi yang berulang-ulang dan atau salah pemberian obat-obat yang mengandung besi. Penceg ahan untuk ini adalah dengan selatin azen misalnya desferal. Hepatitis paska transfusi bisa dijumpai terutama bila darah transfusi atau komponennya tidak diperiksa dahulu terhadap adanya keadaan patogen seperti HbsAg dan anti HCV. Penyakit AIDS atau HIV dan penyakit Creutzfeldt Jacob (Analog penyakit sapi gila=mad cow, pada sapi) dapat pula ditularkan melalui transfusi. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan penyakit jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis karena peningkatan endapan melanin di katalisasi oleh endapan besi yang meningkat. Dengan chellatin agents hiperpigmentasi ini dapat di koreksi kembali. Tukak menahun pada kaki dapat di jumpai deformitas pada skelet, tulang dan sendi mungkin pula terjadi. Deformitas pada muka kadang-kadang begitu berat sehingga memberikan gambaran yang menakutkan dan memerlukan operasi koreksi. Pemb esaran limpa dapat mengakibatkan hipersplenisme dan dapat menyebabka n trombositopenia dan perdarahan. Komplikasi juga dapat berakibat ga gal jantung. Trnsfusi darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Ha l ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Llimpa yang bbesar mudah rutur akibat trauma yang ringan. Kadang-kadang thalassemia disertai oleh tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombopenia.

5. Pencegahan Thalassemia Tubuh Kesehatan Dunia (WHO) meny arankan dua tahap strategi dalam pencegahan

thalassemia. Tahap pertama melibatkan pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang mempunyai risiko tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak dengan penyakit thalassemia. Tahap kedua melibatkan penyaringan penduduk untuk meng enal pasti pembawa dan memberi penjelasan kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan diagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap thalassemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang mengidap thalassemia.

6. Pengobatan Dan Penatalaksanaan Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia. Transfusi darah diberikan b ila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu desferal secara intramuskular atau intravena. Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua da ri 2 tahun, sebelum didapatkan tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah tampak, maka splenektomi tidak banyak gunanya lagi,. Sesudah splenektomi, frekuensi transfusi darah biasanya menjadi lebi h jarang. Diberikan pula bermacam- macam vitamin, tetapi preparat yang mengandung besi merupakan indikasi kontra

Dilaboratorium klinik, kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan berbagai cara : diantaranya dengan cara kolorimetrik seperti cara sianmethemoglobin (HiCN) dan de ngan cara oksihemoglobin (HbO 2 ). International committee for standa rdization in Haematology (ICSH) menganjurkann pemeriksaan kadar hemoglobin cara sianmethemoglobin. Cara ini mudah dilakukan, mempunyai stan dar yang stabil dan dapat mengukur semua jenis hemoglobin kecuali sulfhemoglobin. Metoda sahli yang berdasarkan pembentukan hematin asam tidak dianjurkan lagi, karena mempunyai kesalahan yang sangat besar, alat tidak dapat distandardisasi dan tidak semua jenis hemoglobin diubah menjadi hematin asam, seperti karboksihemoglobin, methemog lobin dan sulfhemoglobin. a. Temuan Laboratorium Kelainan morfologi erotrosit pada penderita thalassemia beta homozigot yang tidak di

transfusi adalah eksterm di samping hipokronia dan mikrositosis berat., banyak ditemukan poikilosit yang terfrakmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intra eritrositik, yang merupakan presipitasi dari kelebihan rantai alfa, juga dapat terlihat paska splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dl kecuali jika transfusi di berikan. Kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi mening kat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap terutama paska splenektomi. b. Terapi Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl. Regimen hiper transfusi ini mempunyai keuntungan klinis yang nyata memungkinkan aktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang- tulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteop orosis. Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya di perlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah alloimunisasi dan mencehag reaksi transf usi. Lebih baik di gunakan PRC yang relatif segar (kurang dari 1 minggu da lam antikoagulan CPD) walaupun dengan ke hati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat di minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari darah beku atau penggunaan filter leuk osit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum transfusi. Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang, yang tidak dapat di hindari karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis. Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan dalam kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat di turunkan atau bahkan di cegah dengan pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating drugs) deferoksamin, yang membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang di pertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan dalam jangka 8- 12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6 malam/minggu penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum kurang dari 1000 ng/mL yang benar-benar di bawah nilai toksik. Komplikasi mematikan siderosis jantung dan hati dengan demikian dapat di cegah atau

secara nyata tertunda. Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif serupa dengan deferoksamin. Karena kekhawatiran terhadap kemung kinan toksisitas (agranulositosis, artritis, artralgia) obat tersebut kini tidak tersedia di Amerika Serikat. Terapi hipertransfusi mencegah splenomegali masif yang di sebabkan oleh eritropoesis ekstra medular. Namun splenektomi akhirnya di perlukan karena ukuran organ tersebut atau karena hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk mempertimbangkan splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum tulang ( CST) adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan yang meni ngkat, meskipun pada penderita yang telah menerima transfusi sangat banyak . Namun, prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan mortalitas da n biasanya hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung yang sehat (yang tidak terkena) yang histokompatibel.

BAB III LAPORAN KASUS

3.1

Identitas Pasien

Nama

: Nur Alfarizzi

Usia

: 6 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Meureubo

No CM

: 1-11-15-63

Tanggal Masuk

: 29 November 2017

Tanggal Periksa

: 29 November 2017

3.2

Anamnesis

Keluhan Utama : Pucat sejak 1 minggu Keluhan Tambahan : Demam, Lemas, tidak nafsu makan, mudah lelah Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien rutin tranfusi darah di RSUDZA Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak terdapat keluarga yang memiliki riwayat sakit seperti pasien Riwayat Pemakaian Obat : Paracetamol Riwayat Kehamilan : Ante Natal Care dilakukan secara rutin pada bidan Riwayat Obstetri : Gravida, Partus, Abortus

: G3P3A0

Umur Kehamilan

: 37 -38 minggu

Riwayat Persalinan : Pasien anak ke 2 lahir secara per vaginam dengan usia kehamilan cukup bulan sesuai masa kehamilan. Berat Badan Lahir 3300 gram bayi lahir segera menangis.

Riwayat Imunisasi : 1x ketika baru lahir Riwayat Makanan : Pada 0 – 6 bulan : ASI eksklusif 6 bulan – 2 tahun : ASI + Susu Formula 2 – 4 tahun : Roti lembek 4 tahun – sekarang : Roti dan makanan keluarga tanpa nasi

3.3

Pemeriksaan Fisik

Vital Sign Kesadaran

: Compos Mentis

HR

: 94 x/menit

RR

: 22 x/menit

T

: 37,2oC

Data Antropometri Usia Kronologis

:

BB

: 15 kg

TB

: 90cm

IMT

: 18,5

BB/U

: 15/20 x 100% = 75%

TB/U

: 90/115 x 100% =78%

IMT/U

: 18,5/20x 100% =92,5%

Kesan

: gizi buruk

Status Generalis Keadaan Umum

: Sedang

Kulit

: Pucat (+) Ikterus (-)

Kepala

: Normocephali

Mata

: Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)

Telinga

: Normotia

Hidung

: NCH (-) sekret (-)

Leher

: Pembersaran KGB (-)

Thorax Paru

:

I : Simetris, Retraksi (-), bentuk dada normal, pernafasan abdominalthorakalis P : Sf kanan = Sf Kiri P : Sonor(+/+) A: Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Jantung : I : Ictus cordis (+), P : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicula sinistra A : BJ I > BJ II, Reguler, Bising (-)

Abdomen I : Simetris

:

P : Soepel, Distensi (-), Splenomegalin schufner 4 . P : Timpani A: Peristaltik (+) Genitalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas Superior

Inferior

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Sianosis

-

-

-

-

Edema

-

-

-

-

Aktif

Aktif

Aktif

Aktif

Gerakan

Foto Klinis

3.4

Pemeriksaan Penunjang

Lab Darah Rutin Jenis Pemeriksaan 29/12

Nilai Rujukan

Hemoglobin

7,5*

15,0 – 24,6 g/dL

Hematokrit

22*

5,3 – 63 %

Eritrosit

3,1*

4,4– 106/mm3

Leukosit

8,9

5,0-21,0 103/mm3

Trombosit

173

150-450 103/mm3

MCV

70*

80-100 fL

5,8

MCH

24*

27-31 pg

MCHC

35

32-36 %

RDW

21*

11,5-14,5 %

Eosinofil

1

0-6 %

Basofil

1

0-2 %

Neutrofil Batang

0

2-6 %

Neutrofil Segmen

40

50-70 %

Limfosit

51

20-40 %

Monosit

7

2-8 %

3.5

Diagnosa

Anemia e.c Thalasemia B mayor

3.6

Terapi 

Premedikasi : - feriprox tab 3 x 250 mg - vit e 200 iu tab 2x1 - Asam folat 5mg 1x1 tab

3.7

Planning 

Edukasi keluarga



Tranfusi darah



Cek Darah Rutin,

BAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus ini diagnosis Thalasemia ditegakkan berdasarkan : A. Anamnesis didapatkan : 1.

Penderita berusia 6 tahun

2.

Pasien sering lemas

3.

Penderita mengalami demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit

4.

Wajah penderita terlihat pucat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit

5.

Penderita mudah merasa lelah saat bermain dan beraktifitas

B. Pemeriksaan fisik didapatkan 1.

Wajah pucat, konjungtiva mata anemis

2.

Splenomegali

C. Pemeriksaan penunjang 1.

Laboratorium darah :

- Anemia (Hb tanggal 29 november 2017 : 7,5 gr/dL)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pe-nunjang, penderita didiagnosis dengan thalassemia beta Mayor. Wajah pucat dan konjungtiva anemis timbul karena adanya anemia. Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β). Penderita Thalasemia tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah merahnya tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, penderita Thalasemia mengalami anemia Thalasemia dibedakan menjadi Thalasemia α jika menurunnya sintesis rantai alfa globin dan Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin. Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari kedua orang tua pembawa Thalasemia dan menunjukkan gejala klinis yang paling berat, keadaan ini

disebut juga Thalasemia mayor. Penderita Thalasemia mayor akan mengalami anemia dikarenakan penghancuran hemoglobin dan membuat penderita harus menjalani transfusi darah seumur hidup setiap bulan sekali.
 Thalasemia diwariskan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Apabila salah satu dari orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya 50% sehat dan 50% carrier Thalasemia. Apabila kedua orang tua memiliki gen pembawa sifat Thalasemia maka kemungkinan anaknya 25% sehat, 25% Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Thalasemia alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi menderita Thalasemia mayor dan 50% carrier Thalasemia. Thalasemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier Thalasemia. Anak-anak dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan mengalami anemia pada usia 3 – 18 bulan. Penderita memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya. Apabila penderita Thalasemia mayor tidak dirawat, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan antara 1 – 8 tahun. Pada Thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah terlihat sejak anak berusia dibawah 1 tahun. Sedangkan pada Thalasemia minor yang gejalanya ringan, biasanya datang berobat pada usia 4 – 6 tahun.

BAB V KESIMPULAN

Thalassemia adalah suatu masalah yang semakin meningkat dan harus diberi perhatian. Program pendidikan tentang thalassemia perlu dilakukan. Karena melalui program pendidikan, kaunseling perkawinan dan diagnosis pranatal, pencegahan penyakit ini dapat dicapai. Thalassemia merupakan penyakit yang berbahaya pada manusia, dan terjadinya penyakit ini akibat perkawinan pasangan yang carrier thalassemia. Oleh karena sampai saat ini belum ada pengobatan yang pasti untuk penyakit thalassemia maka pencegahannya harus dilaksanakan, dapat dengan cara menyaring penduduk yang sudah past i pembawa (carrier) dan memberikan penjelasan kepada penduduk yang mempunyai resiko sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap th alassemia. Dalam hal ini penyuluhan akan thalassemia ini perlu dilakukan agar para orangtua mengerti dan dapat mengurangi ataupun meniadakan penyakit thalassemia ini. Mereka diberi penjelasan tentang thalassemia, baga imana bisa terjadi penyakit ini apa akibatnya bagi anak dan juga beberapa cara pencegahannya

Related Documents

Thalassemia
December 2019 26
Thalassemia
May 2020 19
Thalassemia
April 2020 29
Beta Thalassemia
December 2019 32
Print Thalassemia 1.docx
November 2019 26

More Documents from "Yohana Frida"

1. Met-lit-usb-1.pdf
November 2019 16
Mini Pro Pkm Hasil.docx
April 2020 12
Jurnal.docx
November 2019 11