Thalasemia.docx

  • Uploaded by: Muhammad Ardianto P
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Thalasemia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,155
  • Pages: 30
PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT (P2P) THALASEMIA

Oleh : dr. Rahmanizar

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA PUSKESMAS TASIKMADU KABUPATEN KARANGANYAR 2019

LEMBAR PENGESAHAN

PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT (P2P) THALASEMIA

Disusun oleh : dr. Rahmanizar

Telah disetujui dan disahkan oleh :

Dokter Pendamping

Kepala Puskesmas Tasikmadu

dr. Okce Krisnawati

dr. Ibnu Ridhwan

NIP. 19791005 200604 2 012

NIP. 1970125 200312 1 003

ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalasemia adalah kelainan genetik dari sintesis rantai globin dengan manifestasi klinik yang bervariasi tergantung dari jumlah dan tipe rantai globin yang dipengaruhi .(1) Thalassemia merupakan golongan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan secara autosom resesif, disebabkan mutasi gen tunggal, akibat adanya gangguan pembentukan rantai globin alfa atau beta.(2) Menurut WHO (2012), kurang lebih 7% dari penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia. Penderita penyakit thalasemia di Indonesia tergolong tinggi dan termasuk dalam negara yang berisiko tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk pembawa thalasemia, di mana frekuensi pembawa thalasemia di Indonesia adalah sekitar 3-8%, di beberapa daerah mencapai 10%. Artinya bahwa 3-8 dari 100 penduduk merupakan pembawa gen thalasemia, dimana angka kelahiran rata-rata 23% dengan jumlah populasi penduduk sebanyak 240 juta, diperkirakan akan lahir 3000 bayi pembawa gen thalasemia tiap tahunnya .(3,4) Thalasemia beta mayor adalah penyakit genetik yang diderita seumur hidup yang akan membawa banyak masalah bagi penderitanya. Mulai dari kelainan darah berupa anemia kronik akibat proses hemolisis, sampai kelainan berbagai organ tubuh sebagai akibat penyakitnya sendiri atau akibat pengobatan yang diberikan. (4) Thalasemia membutuhkan transfusi darah secara teratur dari usia yang sangat muda untuk bertahan hidup. Mereka juga harus menerima terapi khelasi zat besi untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh mereka, yang membebankan risiko serius pada kesehatan dan kualitas hidup mereka.(5) Saat ini, thalasemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan pada pasien thalasemia hanya dengan melakukan transfusi darah. Transfusi darah rata-rata dilakukan sebulan sekali seumur hidupnya, dan dilakukan terapi kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh akibat transfusi darah rutin. Komplikasi seperti gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, gagal jantung dan lainnya 1

umumnya muncul pada dekade kedua, tetapi dengan dilakukakn tatalaksana yang baik maka usia pasien dapat diperpanjang. (6) Penanggulangan thalassemia saat ini masih berfokus pada aspek kuratif, namun saat ini pemerintah dan tenaga kesehatan juga mengembangkan berbagai upaya pencegahan thalassemia, salah satunya dengan melakukan Komunikasi, Edukasi, dan pemberian Informasi (KIE) kepada masyarakat mengenai penyakit thalassemia dan dengan melakukan skrining atau deteksi dini pembawa sifat thalassemia. Hal ini diharapkan dengan mencegah lahirnya penderita baru thalassemia mayor.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Thalasemia Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Thalasemia dinamakan anemia splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya (7).

2.2. Definisi Thalasemia Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (8). Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%). Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin-α terletak pada kromosom 16 dan kluster gen globin-β terletak pada kromosom 11. Penyakit thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Jika hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan maka disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal atau sehat,

3

sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang memerlukan pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari orang tua menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan 50% thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka kemungkinan 25% anak sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait (9).

2.3. Patofisiologi Thalassemia adalah suatu kelainan genetik darah dimana produksi hemoglobin yang normal tertekan karena defek sintesis satu atau lebih rantai globin. Thalassemia beta mayor terjadi karena defisiensi sintesis rantai ß sehingga kadar Hb A(α2ß2) menurun dan terdapat kelebihan dari rantai α, sebagai kompensasi akan dibentuk banyak rantai γ dan δ yang akan bergabung dengan rantai α yang berlebihan sehingga pembentukan Hb F (α2γ2) dan Hb A2 (α2δ2) meningkat.(4,10) Meskipun demikian masih terdapat kelebihan rantai α yang bebas dan akan beragregasi membentuk badan inklusi pada eritrosit berinti di sumsum tulang. Badan inklusi yang banyak mengakibatkan membran eritrosit berinti menjadi kaku, tidak mampu bertahan lama dan mengalami destruksi intra meduler. Pada thalassemia beta mayor, hanya 15-30% eritrosit berinti yang tidak mengalami destruksi. Eritropoiesis menjadi tidak efektif, hanya sebagian kecil eritrosit yang mencapai sirkulasi perifer dan timbul anemia.(10) Selain eritropoiesis yang tidak efektif, terjadinya anemia diperberat oleh proses hemolisis. Proses hemolisis terjadi karena eritrosis yang masuk sirkulasi perifer mengandung badan inklusi dan segera dibersihkan oleh limpa sehingga usia eritrosit menjadi pendek. Umur eritrosit penderita thalassemia antara 10,3-39 hari. Hemolisis dan eritropoiesis yang tidak efektif bersama-sama menyebabkan anemia yang terjadi oleh karena gangguan dalam pembentukan Hb, produksi eritrosit dan meningkatnya

4

penghancuran eritrosit dalam sirkulasi darah.(4,11) Eritropoiesis yang meningkat mengakibatkan hiperplasia dan ekspansi sumsum tulang sehingga timbul deformitas pada tulang. Pada sumsum tulang, akibat eritropoiesis yang masif, sel-sel eritroid akan memenuhi rongga sumsum tulang atau terjadi hiperplasia sumsum tulang yang menyebabkan desakan sehingga terjadi deformitas tulang terutama pada tulang ceper seperti pada tulang wajah. Tulang tulang frontal, parietal, zigomatikus dan maksila menonjol hingga gigi-gigi atas nampak dan pangkal hidung depresi yang memberikan penampakan sebagai facies Cooley. Fenomena facies Cooley menunjukkan tingkat hiperaktif eritropoiesis. Eritropoietin juga merangsang jaringan hematopoesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul hepatosplenomegali. Akibat lain dari anemia adalah meningkatnya absorbsi besi dari saluran cerna menyebabkan penumpukan besi berkisar 2-5 gram pertahun. (4,12)

Bagan 3.1. Komplikasi kelebihan rantai globin bebas.(11)

5

Pada thalassemia beta mayor gejala klinis umumnya telah nyata pada umur kurang dari 1 tahun. Mayoritas penderita thalassemia beta mayor memiliki gambaran anemia hipokrom mikrositik tanpa adanya defisiensi besi. Parameter hematologis yang penting untuk menandai sindroma thalassemia beta mayor yaitu konsentrasi hemoglobin, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH) yang rendah, morfologi sel darah merah (mikrositik hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel target, basophilic stippling), peningkatan hitung retikulosit, penurunan fragilitas osmotik. Pemeriksaan penting lainnya yaitu pengukuran HbA2 dan HbF dan Hb elektroforesis untuk mengetahui varian hemoglobin. Pemeriksaan kadar besi juga diperlukan (Serum Iron/SI, Transferin Iron Binding Capacity/TIBC), Feritin serum). Pada penderita thalassemia beta mayor, besi hasil dari pemecahan /penghancuran eritrosit disimpan dalam sel-sel RE yang makin lama semakin banyak sehingga kesanggupan sel-sel RE untuk menyimpan besi berkurang dan besi dilepaskan kedalam plasma yang kemudian diangkut oleh transferin keseluruh tubuh. Akibatnya kadar besi serum iron meningkat dan saturasi transferin juga meningkat. Kandungan besi tubuh normal 3-5 g, pada anak thalassemia sekitar 0,75 g/kgbb. Normalnya setiap orang menyerap 1 mg besi perhari dari pencernaan, pada anak thalassemia sekitar 10 mg/hari. Setiap 1 unit darah segar atau sebanyak 450 ml, mengandung 200-250 mg besi. Setiap cm kubik packed cell mengandung 1-1,6 mg besi, dengan rata-rata transfusi pertahun dibutuhkan 180 cc/kg/packed cell, tubuh mengakumulasi 200 mg/kgbb besi setiap tahun. Kadar feritin serum pada penderita thalassemia beta mayor meningkat dan ini mencerminkan jumlah kadar cadangan besi pada penderita tersebut. Kadar feritin serum penderita thalassemia beta mayor dapat mencerminkan jumlah kadar cadangan besi penderita tersebut.(4,13) Zat besi di dalam tubuh disimpan sebagai cadangan dalam bentuk persenyawaan feritin dan hemosiderin. Kadarnya dapat diukur dengan cara analisakimia, sedangkan yang lebih mudah adalah secara histologis melihat kumpulan hemosiderin dalam jaringan. Bila keadaan hemosiderosis ini disertai dengan kerusakan jaringan dan

6

mengganggu fungsi dari organ yang terkena maka disebut hemokromatosis. Penimbunan besi diotot jantung terjadi setelah pemberian darah sebanyak 100 unit (kira-kira mengandung besi sebanyak 20-25 g), tetapi sebelum hal ini terjadi besi telah banyak ditimbun didalam hati dan limpa.44 Penentuan konsentrasi feritin serum atau plasma merupakan cara tersering digunakan, karena noninvasif, walaupun kurang sensitif dan spesifik, kurang berhubungan dengan konsentrasi besi hati. Interpretasi kadar feritin dapat dipengaruhi berbagai kondisi yang menyebabkan perubahan konsentrasi beban besi tubuh, termasuk defisiensi asam askorbat, panas, infeksi akut, inflamasi kronis, kerusakan hati baik akut maupun kronis, hemolisis dan eritropoiesis yang tidak efektif, semuanya terjadi pada pasien thalassemia beta mayor.(4,13) 2.4. Klasifikasi Thalasemia Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu thalasemia alfa dan thalasemia beta. 1. Thalasemia Alfa Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari : a. Silent Carrier State Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat. b. Alfa Thalasemia Trait Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier. c. Hb H Disease Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa. d. Alfa Thalassemia Mayor Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang 7

menderita alpha thalassemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan. 2. Thalasemia Beta Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari : a. Beta Thalasemia Trait Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer). b. Thalasemia Intermedia Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi. c. Thalasemia Mayor Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya (14,15). 2.5. Gejala Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan

8

penumpukan Fe di otot jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini (8). 2.6. Diagnosis Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda HowellJolly, poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis Hb.(14) 2.7. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik 1. Pemeriksaan fisik : Manifestasi dari thalasemia beta mayor timbul pada enam bulan kedua kehidupan ketika Hb F digantikan oleh Hb A. Pasien nampak pucat, bentuk muka mongoloid (facies cooley), dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar, fraktur patologis yang disebabkan karena adanya hyperplasia marrow, warna kulit keabuan sebagai akibat dari akumulasi besi dalam kulit juga ditemukan maloklusi sebagai akibat dari pertumbuhan yang berlebihan dari maxilla (14,16). 2 Pemeriksaan diagnostik Pemeriksaan diagnostik pada pasien thalasemia beta mayor meliputi pemeriksaan umum, pemeriksaan lanjut dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan umum meliputi Hb, MCV, MCH, morfologi sel darah merah (apusan darah), retikulosit, fragilitas osmotic. emeriksaan lanjutan meliputi analisis Hb terhadap kadar HbF, HbA

9

dan elektroforesis hemoglobin; kadar besi, saturasi transferin dan feritin. Pemeriksaan khusus meliputi : a. Analisis DNA untuk menentukan jenis mutasi penyebab thalasemia. b. Anemia dengan kadar Hb berkisar 2-9g/dl, kadar MCV danMCH berkurang, retikulosit biasanya meningkat dan fragilitas osmotic menurun. c. Gambaran darah tepi memperlihatkan mikrositik hipokrom, fragmentasi, sel target dan normoblast. d. Kadar HbF meningkat antara 10-90%, kadar HbA2 bisa normal, rendah atau sedikit meingkat. Peningkatan kadar HbA2 merupakan parameter penting untuk menegakan diagnosis pembawa sifat thalasemia β. Besi Serum, feritin dan saturasi transferin meningkat. (16)

2.8. Penatalaksanaan Thalasemia : Penatalaksanaan thalasemia beta berbeda dengan thalasemia alpha dimana pada thalasemia beta mayor memerlukan penanganan yang terus menerus sepanjang hidup klien. Penatalaksanaan pada thalasemia beta mayor meliputi tiga penanganan umum yaitu (11,16,18) : 1. Transfusi darah Tujuan dari transfusi darah yaitu untuk mempertahankan kadar Hb sebagai dampak adanya anemia berat. Hb pasien dipertahankan antara 8g/dl sampai 9,5 dimana keadaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, darah diberikan dalam bentuk PRC 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1g/dl. Transfusi biasanya setiap dua sampai tiga minggu sekali tergantung dari kondisi anak. 2. Splenectomy Transfusi yang terus menerus menjadi salah satu pertimbangan untuk dilakukannya tindakan splenectomy karena dapat mengurangi hemolisis. Adapun indikasi dilakukannya tindakan splenectomy adalah limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien dan menimbulkan peningkatan tekanan intra abdomen dan bahaya terjadinya ruptur. 10

3. Kelasi besi Kelasi besi harus segera diberikan ketika kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih dari 50% atau sekitar setelah 10 sampai dengan 20 kali pemberian transfusi darah. Kelasi besi yang sering digunakan yaitu secara parenteral namun memiliki keterbatasan terutama dalam biaya dan kenyamanan anak. Desferrioxamine harus diberikan secara subkutan melalui pompa infus dalam waktu 812 jam dengan dosis 25-50 mg/kg berat badan/ hari minimal selama 5 hari berturutturut setiap selesai transfusi darah.

2.9. Komplikasi Lanjut Thalasemia: (17,18) 1. Komplikasi pada Jantung Kelainan jantung khususnya gagal jantung kiri berkontribusi lebih dari setengah terhadap kematian pada penderita thalasemia. Penyakit jantung pada penderita thalasemia mungkin bermanifestasi sebagai kardiomiopati hemosiderrhosis, gagal jantung, hipertensi pulmonal, arrithmia, disfungsi sistolik/diastolik, effusi pericardial, miokarditis atau perikarditis. Penumpukan besi merupakan faktor utama yang berkontribusi terjadinya kelainan pada jantung, adapun faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain genetik,faktor imunologi, infeksi dan anemia kronik. Pada pasien yang mendapatkan transfusi darah tetapi tidak mendapatkan terapi kelasi besi penyakit jantung simtomatik dilaporkan 10 tahun setelah pemberian transfusi pertama kali. 2. Komplikasi endokrin Insiden yang tinggi pada disfungsi endokrin telah dilaporkan pada anak, remaja, dan dewasa muda yang menderita thalasemia mayor. Umumnya komplikasi yang terjadi yaitu hypogonadotropik hipogonadisme dilaporkan di atas 75% pasien. Pituari anterior adalah bagian yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang akan menggangu sekresi hormonal antara lain disfungsi gonad. Perkembangan seksual mengalami keterlambatan dilaporkan 50% anak laki-laki dan perempuan mengalami

11

hal tersebut, biasanya pada anak perempuan akan mengalami amenorrhea. Selama masa kanak-kanak pertumbuhan bisa dipengaruhi oleh kondisi anemia dan masalah endokrin. Masalah tersebut mengurangi pertumbuhan yang harusnya cepat dan progresif menjadi terhambat dan pada akhirnya biasanya anak dengan thalasemia akan mengalami postur yang pendek. Faktor-faktor lain yang berkontribusi antara lain yaitu infeksi, nutrisi kurang, malabsorbsi vitamin D, defisiensi kalsium, defisiensi zinc dan tembaga, rendahnya level insulin seperti growth faktor-1(IGF-1) dan IGF-binding protein-3(IGFBP-3). Komplikasi endokrin yang lainnya adalah intoleransi glukosa yang disebabkan penumpukan besi pada pancreas sehingga mengakibatkan diabetes. Disfungsi thyroid dilaporkan terjadi pada pasien thalasemia di mana hypothyroid merupakan kasus yang sering ditemui, biasanya terjadi peningkatan kadar TSH. Hypothyroid pada tahap awal bisa bersifat reversibel dengan kelasi besi secara intensif. Selain Hypotyroid kasus lainnya dari kelainan endokrin yang ditemukan yaitu hypoparathyroid. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan kadar serum kalsium, phosphate dan hormon parathyroid dimana kelainan ini biasanya ditemukan pada dekade kedua kehidupan. 3. Komplikasi metabolik Kelainan metabolik yang sering ditemukan pada penderita thalasemia yaitu rendahnya masa tulang yang disebabkan oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi, disfungsi multiendokrin dan defisiensi dari vitamin D, kalsium dan zinc. Masa tulang bisa diukur dengan melihat Bone Mineral Density (BMD) dengan menggunakan dual x-ray pada tiga tempat yaitu tulang belakang, femur dan lengan. Rendahnya BMD sebagai manifestasi osteoporosis apabila T score <-2,5 dan osteopeni apabila T score1 sampai-2. 4. Komplikasi hepar Setelah dua tahun dari pemberian transfusi yang pertama kali pembentukan kolagen dan fibrosis terjadi sebagai dampak dari adanya penimbunan besi yang berlebih. Penyakit hati yang lain yang sering muncul yaitu hepatomegali, penurunan

12

konsentrasi albumin, peningkatan aktivitas aspartat dan alanin transaminase. Adapun dampak lain yang berkaitan dengan penyakit hati adalah timbulnya Hepatitis B dan Hepatitis C akibat pemberian transfusi. 5. Komplikasi Neurologi Komplikasi neurologis pada penderita thalasemia beta mayor dikaitkan dengan beberapa faktor antara lain adanya hipoksia kronis, ekspansi sumsum tulang, kelebihan zat besi dan adanya dampak neurotoksik dari pemberian desferrioxamine. Temuan abnormal dalam fungsi pendengaran, timbulnya potensi somatosensori terutama disebabkan oleh neurotoksisitas desferioxamin dan adanya kelainan dalam konduksi saraf. 2.10 Dampak thalasemia terhadap kondisi psikososial anak Penyakit thalasemia selain berdampak pada kondisi fisik juga terhadap kondisi psikososial, anak dengan kondisi penyakit kronik mudah mengalami emosi dan masalah perilaku. Lamanya perjalanan penyakit, pengobatan dan perawatan yang terjadwal secara pasti serta seringnya tidak masuk sekolah menuntut kebutuhan emosional yang lebih besar. Anak penderita thalasemia mengalami perasaan berbeda dengan orang lain dan mengalami harga diri yang rendah (19). 2.11 Dampak Transfusi Berulang Pada Thalasemia Mayor Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan kadar Hb diatas 10 gr/dl namun dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan agar suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi Fe dari traktus digestivus. Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB dan dalam bentuk PRC (paked read cells) (20). Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk mempertahankan hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena berisiko

13

terinfeksi bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti infeksi bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan HIV (21). Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal. Akumulasi zat besi pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30, dengan jumlah total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia penderita 2-9 tahun (20). Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya dan apabila tidak dilakukan penanganan yang serius dapat berakibat kematian. Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi khelasi besi, yang sering digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat ini pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral. Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya hemosiderosis dan hemokromatosis (20). Hemosiderosis Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1 liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan menambah jumlah zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada trasnferin, kemampuan transferin mengikat zat besi sangat terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma iron) yang dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan zat besi terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal jantung yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati yang berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati. (20).

14

Hemokromatosis Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan zat besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar feritin serum > 1000 μg/L. Ferritin merupakan suatu protein darah yang kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan ferritin tidak spesifik untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation. TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi yang dapat dibawa dalam serum oleh transferrin. Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang dihitung dengan membagi serum besi oleh TIBC, hasil angka yang mencerminkan besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai untuk mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia sehat antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis keturunan, serum besi dan transferrin saturation hasilnya di atas normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati sehingga dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut dapat terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema. Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati (21,22).

15

BAB III LAPORAN KASUS I.

II.

IDENTITAS PASIEN Nama

: An. R

Usia

: 55 bulan (4 tahun 7 bulan)

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Kodokan, Papahan

Tanggal Pemeriksaan

: 4 Februari 2019

Tempat Pemeriksaan

: Posyandu Balita Kodokan

ANAMNESIS

Keluhan Utama: Tidak ada Keluhan Tambahan: Tidak ada Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dibawa oleh kakak ayahnya ke Posyandu Balita untuk melakukan pengukuran antropometri rutin. Saat ini tidak ada keluhan yang dirasakan oleh pasien. Pasien terdiagnosis thalassemia sejak berusia 1 tahun. Sebelumnya pasien berulang kali dirawat di rumah sakit karena demam, kemudian dari beberapa kali hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb yang selalu rendah, kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan dan pasien didiagnosis menderita thalassemia. Pasien mendapatkan terapi transfusi rutin setiap bulan di Jebres. Hasil lab terakhir yang dilakukan pada bulan Januari didapatkan nilai Hb pasien 9.5. Selain transfusi rutin pasien juga diberikan ferriprox, vitamin C, dan asam folat. Menurut pengakuan kakak dari ayah pasien, yang mengasuh pasien sejak berusia 6 bulan, pasien tidak pernah mengalami gangguan perilaku maupun tumbuh kembang. Pasien mampu berinteraksi dan bermain dengan anak seusianya. Hanya saja pasien

16

lebih cepat lelah saat bermain dibandingkan dengan teman-temannya dan pasien juga anak yang pemalu.

Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien didiagnosis menderita thalasemia sejak usia 1 tahun. Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien adalah anak satu-satunya. Keluarga pasien menyangkal adanya riwayat keluhan yang sama dengan pasien, baik dari pihak ibu maupun ayah. Berikut ini adalah pedigree :

AYAH

IBU

ANAK

Keterangan : : Tidak menderita Thalassemia : Thalassemia β Mayor

Riwayat pemakaian obat: Pasien mendapatkan transfusi rutin dan mengkonsumsi obat-obatan ferriprox, vitamin C, dan asam folat. Riwayat Kehamilan Ibu: Pasien merupakan anak satu-satunya. Tidak diketahui apakah ibu pasien melakukan ANC rutin selama massa kehamilan. Riwayat Persalinan: Pasien merupakan anak tunggal, lahir secara normal dengan berat badan lahir 3800 gram. 17

Riwayat Imunisasi: Imunisasi lengkap Riwayat Makanan: 

0-6 bulan = ASI + Susu formula



6-12 bulan = Susu Formula dan Makanan Pendamping



1 tahun-sekarang

= Susu + makanan keluarga

III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Umum Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Kompos mentis

Nadi

: 100 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Status Antropometri Usia

: 55 bulan

BB

: 15,1

TB

: 101 cm

BB/ U

: 0 s/d -2 SD (gizi baik)

PB/ U

: 0 s/d -2 SD (normal)

PB/ BB

: 0 s/d -1 SD (gizi baik)

Kesan : Status Gizi Baik

Status General Kepala : Normocephali, Facies cooley (+) Rambut : Warna kecoklatan, tipis, halus

18

Mata

: Konjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),pupil isokor, reflek cahaya langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+)

Telinga : normotia, Serumen (-/-) Hidung : Sekret (-/-), NCH (-) Mulut

: Pucat (+), mukosa bibir kering (-)

Leher

: pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Thorax Inspeksi

: Simetris,retraksi interkostalis (-)

Palpasi

: Stem fremitus kanan= Stem fremitus kiri

Auskultasi : wheezing (-), Ronki kering (-)

Jantung Inspeksi

: Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus Cordis teraba

Auskultasi

: BJ I > BJ II , reguler (+)

Abdomen Inspeksi

: Simetris, distensi (-)

Palpasi

: Soepel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Peristaltik (+) kesan normal

Genitalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

: Superior Kanan

Inferior Kiri

19

Kanan

Kiri

Sianosis

(-)

(-)

(-)

(-)

Pucat

(+)

(+)

(+)

(+)

Edema

(-)

(-)

(-)

(-)

Atrofi

(-)

(-)

(-)

(-)

Assessment Diagnosis: Thalasemia β mayor

Terapi  Transfusi darah setiap bulan  Ferriprox 500 mg 3x1/2 tab  Asam folat 5 mg 1x1 tab  Vitamin C 100 mg 1x1 tab

Edukasi 1. Menyampaikan pada pasien bahwa thalasemia merupakan penyakit kelainan darah yang dipengaruhi faktor keturunan. 2. Menyampaikan pentingnya transfusi rutin dan pemeriksaan berkala di pelayanan kesehatan. 3. Menyampaikan pentingnya kepatuhan minum obat baik vitamin dan agen kelasi besi untuk mencegah terjadinya komplikasi dari transfusi ruitn. 4. Menyampaikan pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak dengan thalasemia.

20

BAB IV PEMBAHASAN Penderita penyakit thalasemia di Indonesia tergolong tinggi dan termasuk dalam negara yang berisiko tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk pembawa thalasemia, di mana frekuensi pembawa thalasemia di Indonesia adalah sekitar 3-8%, di beberapa daerah mencapai 10%. Artinya bahwa 3-8 dari 100 penduduk merupakan pembawa gen thalasemia, dimana angka kelahiran ratarata 23% dengan jumlah populasi penduduk sebanyak 240 juta, diperkirakan akan lahir 3000 bayi pembawa gen thalasemia tiap tahunnya .(3,4) Thalasemia beta mayor adalah penyakit genetik yang diderita seumur hidup yang akan membawa banyak masalah bagi penderitanya. Mulai dari kelainan darah berupa anemia kronik akibat proses hemolisis, sampai kelainan berbagai organ tubuh. (4) Saat ini, thalasemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan pada pasien thalasemia hanya dengan melakukan transfusi darah. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pencegahan baik primer, sekunder, maupun tersier untuk mencegah munculnya penderita baru thalasemia, mendeteksi dini penderita thalasemia, serta mencegah serta mencegah terjadinya komplikasi pada penderita yang telah terdiagnosis thalasemia. Pembahasan Kasus dari Segi Diagnostik dan Terapi Berdasarkan hasil anamnesis diketahui bahwa pasien telah didiagnosis thalassemia sejak berusia 1 tahun. Menurut keterangan kakak dari ayah pasien, yang selama ini mengasuh pasien, pasien sebelumnya berulang kali dirawat di rumah sakit karena demam. Kemudian berdasarkan hasil berbagai pemeriksaan yang dilakukan di rumah sakit tersebut, pasien didiagnosis thalassemia β mayor dan mendapatkan transfusi rutin setiap bulan. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa manifestasi dari thalasemia beta mayor timbul pada enam bulan kedua kehidupan ketika HbF digantikan oleh HbA. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2γ2 = 0,5%). Pada thalassemia β mayor terjadi mutasi kedua gen pembentuk rantai 21

beta sehingga terjadi defisiensi HbA. Selama masa kehamilan, thalassemia beta mayor tidak memengaruhi janin, karena susunan hemoglobin janin berupa HbF yang tidak memerlukan rantai β. Ketika bayi lahir, sebagian besar haemoglobinnya masih berbentuk Hb janin (HbF), tetapi selama enam bulan pertama kehidupannya, Hb jenis itu secara berangsur digantikan posisinya oleh haemoglobin dewasa (HbA). Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak pucat dan memiliki wajah khas facies Cooley. Selain itu juga didapatkan pembesaran lien dan hepar. Pada thalassemia β mayor pembentukan eritrosit menjadi tidak sempurna. dan berusia pendek, berkisar 1040 hari. Normalnya usia eritrosit ialah 120 hari. Pada thalassemia beta mayor, hanya 15-30% eritrosit berinti yang tidak mengalami destruksi dan mencapai sirkulasi perifer. Sebagian besar eritrosit mengalami proses hemolisis. Hal ini menyebabkan terjadinya anemia. Facies Cooley ditandai dengan tulang tulang frontal, parietal, zigomatikus dan maksila yang menonjol hingga gigi-gigi atas nampak dan pangkal hidung depresi. Fenomena facies Cooley menunjukkan tingkat hiperaktivitas eritropoiesis. Pada anemia berat yang berhubungan dengan thalasemia beta mayor menyebabkan ginjal melepaskan erythropoietin yaitu hormon yang menstimulasi bone marrow untuk menghasilkan lebih banyak sel darah merah. Eritropoiesis yang meningkat mengakibatkan hiperplasia dan ekspansi sumsum tulang, sehingga timbul deformitas pada tulang. Eritropoietin juga merangsang jaringan hematopoesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul hepatosplenomegali. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis anemia meliputi pemeriksaan nilai Hb yang biasanya rendah; pemeriksaan morfologi eritrosit yang menunjukan gambaran mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, dan polikromasi; peningkatan nilai hitung retikulosit; dan nilai mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) yang rendah. Pemeriksaan penting lainnya yaitu pengukuran HbA2 dan HbF dan Hb elektroforesis untuk mengetahui varian hemoglobin. Pemeriksaan kadar besi juga diperlukan (Serum Iron/SI, Transferin Iron Binding Capacity/TIBC), Feritin serum).

22

Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien berupa transfusi rutin setiap bulan dan pemberian Ferripox, asam folat, dan vitamin C. Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk mengatasi anemia. Hb pasien dipertahankan antara 8g/dl sampai 15 dengan tujuan agar suplai oksigen ke jaringanjaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang. Ferriprox atau Deferipron merupakan agen kelasi besi atau pengikat zat besi. Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan hemosiderosis, yaitu penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal. Hal ini sangat berbahaya dan dapat berakibat kematian. Untuk mencegah komplikasi tersebut, penderita thalassemia diberikan diberikan terapi kelasi besi. Pemberian asam folat dan vitamin C bertujuan sebagai antioksidan.

Pembahasan Kasus dari Segi P2P Berdasarkan hasil rapat kerja kesehatan nasional gelombang 2 yang diadakan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2016 mengenai percepatan pencapaian sasaran dalam pencegahan dan pengendalian penyakit (P2P) dengan pendekatan keluarga sehat 2017, dapat diketahui bahwa ada 3 upaya dari program P2P. Upaya tersebut yakni to detect atau deteksi melalui diagnosis dini dan deteksi dini, to prevent atau mencegah dimana sasarannya terutama untuk mengendalikan faktor risiko (lingkungan, perilaku, pengetahuan dan awareness) dan to response atau merespon melalui melaporkan, menangani dan menggerakkan masyarakat (Dirjen P2P, 2016). Thalassemia mayor belum dapat disembuhkan, oleh karena itu program yang umum dilakukan adalah mencegah lahirnya penderita baru thalassemia mayor. Thalasemia dapat dicegah melalui pencegahan perkawinan antara sesama pembawa sifat thalasemia. Upaya pencegahan thalassemia secara umum dibagi menjadi 3, yaitu: 

Pencegahan Primer



Pencegahan Sekunder



Pencegahan Tertier

23

Pencegahan Primer Thalassemia Pencegahan primer thalassemia dilakukan melalui upaya promosi dan Komunikasi, Informasi, dan edukasi (KIE) thalassemia kepada masyarakat. Pengetahuan mengenai penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan thalassemia di masyarakat. Diperlukan dukasi tentang penyakit thalassemia yang bersifat genetik dan diturunkan, serta kasus ”carier” nya di masyarakat. Pendidikan genetika sebaiknya mulai dini diajarkan di sekolah-sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal Thalassemia. Pengetahuan ini juga sangat penting bagi pasangan

yang

ingin

melangsungkan

pernikahan (calon

pengantin) perlu mendapatkan pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang dapat diturunkan sehingga timbul awarenes (mawas diri) pada calon pasangan tersebut. Jika pernikahan tetap dilanjutkan, mereka diinformasikan kemungkinan mendapat anak dengan Thalasemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya. Salah satu cara yang dilakukan dengan memasukkan materi tentang Thalassemia ke dalam kurikulum pendidikan tingkat sekolah menengah, penyebaran informasi melalui media massa (cetak dan elektronik), jaringan internet, brosur dan leafleat, serta menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati hari thalassemia sedunia yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Pencegahan juga dilakukan dengan mengupayakan program skrining pra nikah untuk mendeteksi gen pembawa sifat thalassemia dan konseling pra nikah mengenai thalassemia.

Pencegahan sekunder thalassemia Pencegahan sekunder dilakukan dengan deteksi dini penderita thalassemia dan memberikan penatalaksanaan yang tepat. Diperlukan edukasi terhadap keluarga penderita thalassemia mengenai penyakit thalassemia, prognosis thalassemia, pentingnya transfusi dan risiko komplikasi yang dapat terjadi akibat transsfusi, serta pentingnya pemeriksaan rutin pada pasien.

24

Pencegahan tersier thalassemia Pencegahan tersier thalassemia bertujuan mencegah komplikasi pada penderita thalassemia. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada penderita thalassemia adalah hemosiderosis, yaitu penumpukan, yaitu penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal. Hal ini sangat berbahaya dan dapat berakibat kematian. Hemosiderosis dapat terjadi sebagai komplikasi dari transfuse yang berulang kali dilakukan pada penderita thalassemia. Untuk mencegah komplikasi tersebut, penderita thalassemia yang mendapatkan transfusi diberikan diberikan terapi kelasi besi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemantauan tumbuh kembang anak dengan thalassemia. Selama masa kanak-kanak pertumbuhan bisa dipengaruhi oleh kondisi anemia dan masalah endokrin. Masalah tersebut mengurangi pertumbuhan yang harusnya cepat dan progresif menjadi terhambat dan pada akhirnya biasanya anak dengan thalasemia akan mengalami postur yang pendek. Faktor-faktor lain yang berkontribusi antara lain yaitu infeksi, nutrisi kurang, malabsorbsi vitamin D, defisiensi kalsium, defisiensi zinc dan tembaga, rendahnya level insulin seperti growth faktor1(IGF-1) dan IGF-binding protein-3(IGFBP-3). Diperlukan pemantauan dan pemenuhin gizi yang baik pada anak dengan thalasemia. Sangat dianjurkan untuk banyak mengkonsumsi makanan dairy products seperti susu, keju, gandum, juga teh. Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang banyak mengandung zat besi seperti daging merah dan hati Selain itu, pada anak-anak yang mengalami thalassemia, penting untuk dilakukan pemantauan dari aspek psikologinya Penyakit thalasemia selain berdampak pada kondisi fisik juga dapat berdampak terhadap kondisi psikososial. Anak dengan kondisi penyakit kronik mudah mengalami emosi dan masalah perilaku. Lamanya perjalanan penyakit, perawakan yang berbeda, pengobatan dan perawatan yang terjadwal secara pasti serta seringnya tidak masuk sekolah menuntut kebutuhan emosional yang lebih besar. Anak penderita thalasemia rentan mengalami perasaan berbeda dengan orang lain dan mengalami harga diri yang rendah.

25

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Telah dilakukan upaya promotif dan preventif terhadap seorang anak penderita thalasemia yang telah mendapatkan tatalaksana kuratif di RS berupa transfusi rutin setiap bulan. Upaya promotif yang dilakukan berupa KIE terhadap keluarga pasien untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai thalasemia dan faktor risikonya. Upaya preventif yang dilakukan berupa upaya preventif tersier yaitu pemantauan tumbuh kembang anak dengan thalasemia. Selain itu pasien juga sudah mendapatkan preventif tersier berupa terapi kelasi besi dari RS sebagai upaya pencegahan komplikasi. Upaya ini merupakan salah satu bentuk bagian dari upaya program P2P di puskesmas seperti peratutan dari Direktorat Jenderal P2P di Kementrian Kesehatan yakni upaya to response. Upaya to response lain yang tak kalah penting adalah pemantauan psikososial anal. Selain itu juga diperlukan upaya to detect dan to prevent. Upaya to detect dapat dilakukan dengan melakukan skrining pada populasi yang berisiko thalasemi dengan tujuan untuk deteksi dini penderita thalasemia. Upaya to prevent dapat dilakukan dengan melakukan konseling dan skrining thalasemia pra nikah untuk mencegah terjadinya perkawinan antara pembawa sifat thalasemia yang berisiko melahirkan penderita thalasemia mayor. Upaya pencegahan terjadinya thalasemia juga dapat dilakukan dengan memberikan promosi dan KIE thalasemia tidak hanya kepada pasangan yang akan menikah, tetapi juga masyarakat secara umum dan terutama remaja. Hal ini diperlukan mengingat dampak yang dapat terjadi pada penderita thalasemia dan penatalaksanaan seumur hidup yang diperlukan oleh penderita thalasemia. Penatalaksaan jangka panjang ini tentu saja memerlukan biaya yang besar. Sehingga diharapkan dengan pemahaman dan upaya pencegahan yang baik dapat menurunkan angka kejadian thalasemia.

26

DAFTAR PUSTAKA 1. Dahlui M, Hishamshah M I, et all. 2009. Quality of life in transfusiondependent thalassaemia patients on desferrioxamine treatment, 50(8):794 Singapore Med J. 2. Vullo R, Modell B, Georganda B. What is thalassemia? 2nd ed. The Thalassemia International Federation; 1995:4. 3. WHO. (2012). The global burden of disease up date. Diperoleh dari www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/GBD_report_2004_update_f ull.pdf. 4. Bulan, S. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak thalasemia

beta

mayor.

Diperoleh

dari

eprints.

undip.ac.id/24717/1/SandraBulan.pdf. 5. Rudolph C. D, Rudolph A.et all. 2002. Rudolph’s Pediatric’s. Part 19 blood and blood-forming tissues.19.4.7 Thallasemia. 21 st Edition. McGraw-hiil company: North America. 6. S Mohsen, N Maisa, et all. 2014. Quality of life of Egyptian b-thalassemia major children and adolescents. Department of Pediatrics, Thalassemia Center, Ain Shams University, Cairo, Egypt.Volume:39, Issue:4 7. Ganie, Ratna A. 2005. Thalasemia: Permasalahan dan Penanganannya. Diakses dari http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2005/ ppgb_2005_ ratna_akbari_ganie.pdf 8. Tamam,M. 2009. Pekan Cegah Thalasemia. 9. Ganie R.A. 2008. Thalasemia : Permasalahannya dan Penanganannya. Disertasi. USU, Medan. 10. Weatherall DJ. The Thalassaemias : The role of molecular genetics in an evolving global health problem. American Journal of Human Genetics 2004;74(3):385-92.

27

11. Capelini N, Cohen A, Eleftheriiou A, Piga A, Porter J, eds. Guidelines for the clinical

management

of

thalassemia.

Thalassemia

International

Federation.April 2000:8-23. 12. Cao A, Rosatelli MC, Monni G, Galanelo R. Screening for thalassemia: a model of success. In: Symposium new horizon in thalassemia control from gene to the community. Jakarta; 2002.p.18-40. 13. Permono B, Ugrasena IDG. Hemoglobin abnormal, thalassemia. In : Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, IDAI ; 2005.p.78-81. 14. Potts, N. L. & Mandleco, B. L. (2007).Study guide to accompany pediatric nursing (Second Edition). Canada:Thomson. 15. Dewi, Syarifurnama. 2009. Karakteristik Penderita Thalasemia Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2006-2008. Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat UniversitasSumatera Utara. 16. Yuki.Y, 2008.Thalasemia. Skripsi. Medan. USU e-Repository 17. Pusponegoro, et al. (2005). Standar medis pelayanan kesehatan anak. Jakarta:IDAI 18. Malik, S., Syed, S., & Ahmed,N. (2009). Complications in transfusion– dependent patients of ß-thalassemia major. http://www.pjms.com.pk/issues/juls ep09/article/article30.html. \ 19. Oliviery, N. (1999). The ß thalasemia. The New England Journal of Medicine, 341(1): 99-109. 20. Khurana, A., Katyal, A., & Marwaha, R. K.(2006). Psychosocial burden in thalasemia. Indian Journal of Pediatrics, 73(10): 877-880. 21. Priyantiningsih R.D, 2010. Pengaruh Deferasirox Terhadap Kadar T4 dan TSH pada Penderita β-Thalasemia Mayor dengan Ferritin yang Tinggi. Tessis : FK Undip Semarang. 22. Kartoyo P. Purnamawati SP, 2003. Pengaruh Penimbunan Besi Terhadap Hati pada Thalassemia. Jurnal. Sari Pediatri Vol.5. No.1, 34-38.

28

More Documents from "Muhammad Ardianto P"

Thalasemia.docx
December 2019 2
Fome Tb.docx
June 2020 8
Pamplet
April 2020 47
Formulur Pendaftaran
April 2020 40
Survival
April 2020 65