Kaum Muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama fiqih sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah. Tidaklah berlebihan jika saya katakan, Tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam. Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan tayammum. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun Thaharah dari najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya bukanlah dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya menjadi suci.'''' Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT: "... dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu .... " (Q.S. Al-Anfal : 11) "... dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih ...." (Q.S. Al-Furqan: 48) Thahur (pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain. Para ulama membagi air menjadi dua macam, berdasarkan banyak sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu: a.
Air Muthlaq dan Air Musta''ma
b.
Air Mudhaf.
Air Muthlaq Air muthlaq ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belarang, dan sebagainya. Menurut ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu ''Alaihi wa ''Alihi wa Sallam yang berbunyi:
"Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya." Air Musta''mal Apabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta''mal. Air semacam itu hukumnya najis, karena telah bersentuhan dengan benda najis, meskipun itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadas atau najis. Para ulama mazhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Kalau air itu berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jia tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis. Air musta''mal telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taub''at, hukumnya suci dan menyucikan untuk hadas dan najis; artinya air itu dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis. Adapun air musta''mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiyah sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadas dan berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang. Catatan: Apabila orang yang berjunub menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang terkena najis, dengan niat membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta''mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi''i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta''mal tetapi menyucikan janabah orang lersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi.1 Air Mudhaf Air Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air yang muthlaq pada asalnya, kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air bunga. Air semacam itu suci, tetapi tidak dapat menyucikan
najis dan kotoran. Pendapat ini me-rupakan kesepakatan semua mazhab kecuali Hanafi yang membolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan, selain minyak, tetapi bukan sesuatu yang berubah karena dimasak. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Asy-Syahid Murtadha dari Imamiyah. Semua mazhab, kecuali Hanafi, juga sepakat tentang tidak bolehnya berwudhu dan mandi dengan air mudhaf, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid dan kitab Majma'' Al-Anhar.2 Hanafi berkata : "Seseorang musafir harus (boleh) berwudhu'' dengan air perahan dari pohon kurma." 1 Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid I, hal 22 cetakan ketiga dan ibnu Abidin , I; hal. 140 cetakan Al-Maimaniyah. 2 Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, hal. 32, cetakan 135 H. Dan kitab Majma Alr Anhar, hal 37, cetakan Istambul Ibnu Qudamah menyebutkan,3 bahwa mazhab Hanafi membolehkan berwudhu'' dengan air mudhaf. Syaikh Shadiq dari Imamiyah berkata: "Sah berwudhu dan mandi junub dengan air mawar." Hanafi mengambil dalil atas pendapatnya bahwa air mudhaf boleh digunakan untuk berwudhu, dari ayat Al-Qur''an : "Maka jika tidak ada air, hendaklah kamu tanyammum dengan debu yang bersih.." (Q.S. Al-Maidah :6) Menurut Hanafi, makna ayat itu adalah: Jika tidak ada air muthlaq dan air mudhaf, maka bertayammumlah. Tetapi jika ada air mudhaf, maka tayammum tidak dibolehkan. Mazhab lain berdalil dengan ayat ini juga untuk melarang pemakaian air mudhaf untuk berwudhu. Mereka berkata bahwa kata al-ma''u di dalam ayat itu maksudnya air muthlaq saja, tidak mencakup air mudhaf. Dengan demikian, maksud ayat di atas (Al-Maidah : 6) adalah: "Apabila tidak ada air muthlaq, maka bertayammumlah...." Air Dua Kullah Semua mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, dan baunya karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak bermata air, muthlaq atau pun mudhaf. Apabila air itu berubah karena melewati bau-bauan tanpa bersentuhan dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu udara dari bangkai itu bertiup membawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya tetap suci.
Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau banyak. Sedang mazhab yang lain, berpendapat: Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya. Syafi''i dan Hambali berpendapat bahwa yang digol
http://id.shvoong.com/social-sciences/1685315-thaharah/
Fiqh Thaharah Fiqih Ahkam 30/3/2008 | 23 Rabiul Awwal 1429 H | Hits: 6.328
Oleh: Tim dakwatuna.com dakwatuna.com – Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin dibersihkan. Oleh karena itu, artikel ini memaparkan secara sederhana mengenai hukum air, macam-macam najis, bagaimana cara membersihkan najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat. Semoga bermanfaat. Hukum Air Empat macam air itu adalah: 1. Air Muthlaq, seperti air hujan, air sungai, air laut; hukumnya suci dan mensucikan 2. Air Musta’mal, yaitu air yang lepas dari anggota tubuh orng yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak mengenai benda najis; hukumnya suci seperti yang disepakati para ulama, dan tidak mensucikan menurut jumhurul ulama 3. Air yang bercampur benda suci, seperti sabun dan cuka, selama percampuran itu sedikit tidak mengubah nama air, maka hukumnya masih suci mensucikan, menurut Madzhab Hanafi, dan tidak mensucikan menurut Imam Syafi’i dan Malik. 4. Air yang terkena najis, jika mengubah rasa, warna, atau aromanya, maka hukumnya najis tidak boleh dipakai bersuci, menurut ijma’. Sedang jika tidak mengubah salah satu sifatnya, maka mensucikan, menurut Imam Malik, baik air itu banyak atau sedikit; tidak mensuciakn menurut Madzhab Hanafi; mensucikan menurut Madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua kulah, yang diperkirakan sebanyak volume tempat yang berukuran 60 cm3. Su’r (sisa) yaitu air yang tersisa di tempat minum setelah diminum:
1. Sisa anak Adam (manusia) hukumnya suci, meskipun ia seorang kafir, junub, atau haidh. 2. Sisa kucing dan hewan yang halal dagingnya, hukumnya suci. 3. Sisa keledai dan binatang buas, juga burung, hukumnya suci menurut madzhab Hanafi. 4. Sedangkan sisa anjing dan babi, hukumnya najis menurut seluruh ulama Najis dan Cara Membersihkannya A. Najis Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh setiap muslim, dengan mencuci benda yang terkena. Macam najis: 1. Air kencing, tinja manusia, dan hewan yang tidak halal dagingnya, telah disepakati para ulama. Sedangkan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya najis menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i; dan suci menurut madzhab Maliki dan Hanbali. 2. Madzyi, yaitu air putih lengket yang keluar ketika seseorang sedang berpikir tentang seks dan sejenisnya. 3. Wadi, yaitu air putih yang keluar setelah buang air kecil. 4. Darah yang mengalir. Sedangkan yang sedikit di-ma’fu. Menurut madzhab Syafi’i darah nyamuk, kutu, dan sejenisnya dima’fu jika secara umum dianggap sedikit. 5. Anjing dan babi 6. Muntahan. 7. Bangkai, kecuali mayat manusia, ikan dan belalang, dan hewan yang tidak berdarah mengalir. B. Menghilangkan najis Jika ada najis yang mengenai badan, pakaian manusia, atau lainnya, maka wajib dibersihkan. Jika tidak terlihat, maka wajib dibersihkan tempatnya sehingga dugaan kuat najis telah dibersihkan. Sedangkan pembersihan bejana yang pernah dijilat anjing, wajib dibasuh dengan tujuh kali dan salah satunya dengan debu. Sedangkan sentuhan anjing dengan fisik manusia, tidak membutuhkan pembersihan melebihi cara pembersihan yang biasa . Sedang najis sedikit yang tidak memungkinkan dihindari, hukumnya dimaafkan. Demikianlah hukum sedikit darah dan muntahan. Diringankan pula hukum air kencing bayi yang belum makan makanan, hanya cukup dengan diperciki air. C. Adab Buang Hajat Jika seorang muslim hendak buang hajat, maka harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Tidak membawa apapun yang ada nama Allah, kecuali jika takut hilang. 2. Membaca basmalah, isti’adzah ketika masuk, dan tidak berbicara ketika ada di dalamnya. 3. Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya. Hal ini harus menjadi perhatian setiap muslim jika membangun kamar mandi. 4. Jika sedang berada di perjalanan, tidak boleh melakukannya di jalan, atau di bawah teduhan. Harus menjauhi liang hewan. 5. Tidak kencing berdiri, kecuali jika aman dari percikan (seperti kencing di tempat kencing yang tinggi; urinoir) 6. Wajib membersihkan najis yang ada di organ pembuangan dengan air atau dengan benda keras lainnya, tidak dengan tangan kanan. Membersihkan tangan dengan air dan sabun jika ada. 7. Mendahulukan kaki kiri ketika masuk dengan membaca: “ اللهّم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث وأعوذ بك ربي أن يحضرون, dan keluar dengan kaki kanan sambil membaca: غفرانك http://www.dakwatuna.com/2008/fiqh-thaharah/
Thaharah (bersuci) Written by Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi Wednesday, 01 January 2003 Thaharah dari najis ialah dengan menghilangkan najis dengan air yang suci dari pakaian orang yang hendak shalat, atau dari badannya, atau dari tempat shalat. Hukum Thaharah 1. Dalil Normatif Thaharah Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki." (Al-Maidah:6) Allah Ta'ala berfirman: "Dan pakaianmu bersihkanlah." (Al-Muddatstsir:4) Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Al Baqarah:222) Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Kunci shalat adalah bersuci." Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Shalat tanpa wudhu tidak diterima." (Diriwayatkan Muslim) Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Bersuci adalah setengah iman." (Diriwayatkan Muslim) 2. Penjelasan tentang Thaharah Thaharah itu terbagi menjadi dua bagian: Lahir dan batin.
Thaharah batin adalah mmebersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa, dan maksiat dengan bertaubat secara benar dari semua dosa dan maksiat, dan mebersihkan hati dari semua kotoran syirik, ragu-ragu, dengki, iri, menipu, sombong, ujub, riya', dan sum'ah dengan ikhlas, keyakinan, cinta kebaikan, lemah lembut, benar dalam segala hal, tawadlu', dan menginginkan keridhaan Allah Ta;ala dengan semua niat dan amal shalih. Sedang thaharah lahir ialah thaharah dari najis dan thaharah dari hadats (kotoran yang bisa dihilangkan dengan wudlu, atau mandi, atau tayammum). Thaharah dari najis ialah dengan menghilangkan najis dengan air yang suci dari pakaian orang yang hendak shalat, atau dari badannya, atau dari tempat shalat. Thaharah dari hadats ialah dengan wudlu, mandi, dan tayammum. Alat Thaharah Thaharah itu bisa dengan dua hal: 1. Air mutlak, yaitu air asli yang tidak tercampuri oleh sesuatu apa pun dari najis, seperti air sumur, air mata air, air lembah, air sungai, air salju, dan air laut, karena dalil-dalil berikut: Firman Allah Ta'ala: "Dan Kami turunkan dari langit air yang amat suci." (Al Furqan:48) Sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam: "Air itu suci kecuali jika telah berubah aromanya, atau rasanya, atau warnanya karena kotoran yang masuk padanya." (Diriwayatkan Al Baihaqi. Hadits ini dhaif, namun mempunyai sumber yang shahih dan seluruh umat Islam mengamalkannya). 2. Tanah yang suci di atas bumi, atau pasir, atau batu, atau tanah berair, karena Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Bumi dijadikan masjid, dan suci bagiku." (Diriwayatkan Ahmad dan asal hadits ini dari Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim). Tanah bisa dijadikan sebagai alat thaharah jika air tidak ada, atau tidak bisa menggunakan air karena sakit dan lain sebagainya, karena dalil-dalil berikut: Firman Allah Ta'ala: "Kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang suci." (An Nisa':43) Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya tanah yang baik adalah alat bersuci seorang Muslim kendati ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya." (Diriwayatkan At Tirmidzi dan ia meng-hasan-kannya) Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam mengizinkan Amr bin Al Ash Radhiyallahu Anhu bertayammum dari jinabat pada malam yang sangat dingin, karena Amr bin Al Ash mengkhawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang dingin.(Diriwayatkan Al Bukhari)
Penjelasan tentang Hal-Hal yang Najis Hal-hal yang najis ialah apa saja yang keluar dari lubang manusia seperti tinja, atau urine, atau air madzi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), atau wadyu (cairan putih yang keluar selepas air kencing) atau air mani. Begitu juga air kencing, dan kotoran semua hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan. Begitu juga darah, atau nanah, atau air muntah yang telah berubah. Begitu juga semua bangkai, dan organ tubuhnya kecuali kulitnya. Jika kulitnya disamak, maka suci, karena Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Kulit apa saja yang telah disamak, maka menjadi suci" (Diriwayatkan Muslim) Diketik ulang dari: "Ensiklopedi Muslim" (terjemahan dari: Minhajul Muslim), Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazari. Penerbit: Darul Falah, Jakarta. Cet. Pertama: Rajab 1421 H / Oktober 2000, hal.269-271
http://www.salafyoon.net/fiqih/thaharah-bersuci.html