Th-1.docx

  • Uploaded by: Achmad Sholeh
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Th-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,433
  • Pages: 11
Tindakan yang Dilakukan Saat Bencana Tindakan yang dilakukan untuk membantu korban bencana terbagi menjadi 3 fase : a. Segera setelah bencana dalam waktu 24 jam : kerusakan lingkungan yang terjadi, derita yang dialami, kebutuhan dasar yang harus terpenuhi (makan, minum, pakaian dan tempat tinggal sementara atau pengungsian. Tindakan yang dibutuhkan adalah darurat masalah fisik, memenuhi kebutuhan dasar serta membantu para korban agar dapat kembali beraktifitas. b. Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana Adanya akses lokasi jenazah, mendukung keluarga jika jenazah dimakamkan tanpa upacara terlebih dahulu, membantu mencari anggota keluarga yang terpisah pada individu yang beresiko, seperti lansia, ibu hamil, anak. Kegiatan berkelompok antara tim tanggap bencana dengan para korban, seperti ibadah atau doa bersama, kegiatan tersebut member ketenangan dan dukungan agar lebih kuat menerima musibah. Memisahkan korban anak-anak kemudian diberi terapi rekreasi atau trauma healing serta yakinkan pada mereka bahwa respon psikologis yang ditunjukkan bisa dialami oleh semua manusia dan perasaan itu hanya berlangsung sementara atau akan hilang dengan sendirinya.

c. Setelah minggu ketiga bencana Tindakan yang harus dilakukan pada minggu ketiga ini adalah pemberian konseling trauma, seperti mendengarkan ungkapan perasaan korban penuh perhatian, menggali (tanpa paksaan) Hidayah : Tanggap bencana solusi penanggulangan pada anak 71 pengalaman keberhasilan korban berusaha menyelamatkan korban lainnya serta diri sendiri. Anggota tim penolong dan korban saling berdiskusi tentang cara mengatasi masalah dan menyusun rencana kegiatan selanjutnya, hingga para korban dapat melangsungkan kegiatan seperti sebelum bencana. Tindakan selanjutnya adalah konseling proses berduka, seperti bertanya dengan lembut tentang kondisi keluarga lainnya yang terpisah, belum ditemukan dan yang meninggal. Tim penolong bersama mereka kemudian mencari informasi keberadaan korban yang belum ditemukan dengan membawa dan menunjukkan foto anggota keluarga mereka yang hilang. Tindakan berikutnya adalah bimbingan antisipasi yaitu menerima respon korban dan menyatakan respon tersebut normal ditunjukkan oleh semua orang, hal ini dapat mengurangi rasa keputusasaan dan ketidakberartian. Kegiatan ibadah dan doa bersama untuk semua korban yang ada, saling bertukar informasi tentang pencarian anggota keluarga yang hilang. Hal tersebut akan membuat mereka saling menguatkan perasaan dan dukungan menghadapi krisis bersama-sama. Berdiskusi tentang alternatif dan strategi mengatasi masalah, serta membantu mereka dapat

memutuskan bersama secara tepat dan upaya pelaksanaan keputusan disertai identifikasi kemampuan yang dimiliki korban. Tindakan bantuan terakhir adalah konseling untuk menyelesaikan masalah yaitu berkumpul bersama untuk curah pendapat tentang alternatif pemulihan, perbaikan tempat tinggal, pembangunan fasilitas umum secara gotong royong. Pemimpin diskusi hendaknya mengidentifikasi solusi yang paling sesuai untuk semua masyarakat dan upaya keberhasilan pelaksaanaannya. (Hidayah, 2012)

Program Sekolah Petra memiliki beberapa tahapan dalam menangani trauma pada anak-anak korban bencana alam antara lain : Tahap pertama Langkah awal program ini adalah identifikasi masalah, yaitu mengumpulkan data korban anakanak yang meliputi usia, jenis kelamin, kondisi fisik, dan kondisi keluarganya melalui survei lapangan atau wawancara kepada korban bencana. Tahap kedua Melakukan spesifikasi masalah. Setelah data terkumpul maka anak-anak korban bencana alam dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sesuai kriteria-kriteria dari masingmasing anak yang memiliki kurang lebih kriteria yang sama ataupun mirip. Tahap Ketiga Setelah identifikasi dan spesifikasi masalah, tahap ketiga adalah penanganan trauma disesuaikan dengan permasalahan yang dimiliki anak. Penanganan ini memiliki empat titik poin dalam pencarian solusi masalah trauma, yaitu fisik, emosional, intelektual dan spiritual. Karena keempat titik poin tersebut merupakan prinsip keseimbangan dalam hidup manusia.

Dengan pemulihan fisik diharapkan korban mampu menerima pembinaan dan penanganan tahap selanjutnya. Titik poin dalam pencarian masalah dengan fisik misalnya jika ada korban yang terluka atau cacat akibat bencana solusinya untuk anak adalah dengan memberikan semangat dan motivasi dan juga memberikan sesuatu yang bisa membuat korban bisa tetap sehat dan kuat. Emosional, anak biasanya memiliki emosi yang labil sehingga untuk meredakan emosi pada anak bisa dilakukan dengan bermain agar anak selalu gembira. (Dwi Utari Nugroho, 2012)

Manajemen Trauma Healing Terhadap Bencana A. Bencana Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007). Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas sosial, dampak dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal dan kekacauan komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan yang melindungi daratan. Bencana seperti banjir pun dapat memakan korban yang signifikan pada komunitas manusia karena mencakup suatu wilayah tanpa ada peringatan terlebih dahulu dan dapat dipicu oleh bencana alam lain seperti hujan lebat. (Ade Rahman, 2018) Bencana Alam dapat terjadi sebagai akibat perilakudan adanya peristiwa alam. Bencana alam sebagai akibat dari perilaku sebagai contohnya adalah fenomena banjir akibat penebangan liar atau tatakota yang tidak tertata dengan benar. Sementara itu ada juga bencana alam yang murni merupakan akibat dari peristiwaalam. Karenanya peristiwa geologi dan psikologi sangat erat kaitannya. Berbagai tempat di Indonesia pemah mengalami bencana alam yang amatdahsyat. Gunung Galunggung diJawa Barat pemah meletus dengan menelan korban nyawa, harta.dan benda yang tidak sedikit. Bemlangkali hampirtiaptahun Gunung Merapi diYogyakarta menyemburkan wedusgembel. Kasus lumpurpanasdi Sidoatjo juga bencana yang mengakibatkan korban yang lumayan besar. Bukan hanya bencana vulkanik, tetapi bencana tektonik acapkali terjadi di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2002 terjadi bencana tektonik yang menyebabkan Lampung porak poranda. Banyakrumah-rumah roboh, nyawa manusia melayang sia-sia. (Koentjoro, 2007)

Berbagai peristiwa traumatik banyak terjadi di Indonesia. Peristiwa traumatik tersebut tidak hanya dalam bentuk konflik dan kekerasan secara sosialsaja. Peristiwa traumatik di Indonesia antara lain kerena faktor alam seperti tsunami, gempa, banjir, kebakaran, dan erupsi gunung berapi. Dari berbagai peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia, pengungsian selalu mengikuti dan menimbulkan masalah psikososial bagi masyarakat dengan penyelesaianyang tidak mudah. Masalah psikologis yang ditimbulkan oleh konflik memberi efek yang lebih dalam bagi masyarakat mengalaminya. (Latipun, 2014) B. Trauma Trauma pada korban bencana alam tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Agar korban bencana dapat terus melanjutkan kehidupannya secara normal, maka diperlukan terapi trauma/pemulihan trauma (trauma healing). Trauma healing adalah salah satu kebutuhan utama bagi korban bencana. Dengan terapi trauma healing diharapkan korban bisa benar-benar sembuh dari traumanya dan dapat menjalani kehidupannya sebagaimana sebelum bencana terjadi. Trauma Healing sangat diperlukan di Indonesia yang merupakan Negara rawan bencana alam, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa dan lain sebagainya. Bencana alam tersebut banyak menimbulkan kerugian dan kesedihan pada korbannya. Bahkan tak jarang pula korban bencana alam mengalami trauma berat akibat bencana. Ketakutan terhadap bencana adalah reaksi yang sangat umum dialami oleh korban bencana. Terkadang korban bencana mengalami pengulangan ingatan mengena bencana tersebut yang kemudian dapat berkembang lebih serius menjadi rasa hilangnya emosi, atau bahkan mengalami insomnia, dan waspada berlebihan. Pada anak-anak trauma terhadap bencana alam dapat merenggut keceriaan anak. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan trauma healing. terapi trauma healing dapat dilakukan dengan pemberian obat atau terapi psikis. Pada prisnipnya trauma healing yang diberikn pada orang dewasa dan berbeda pada anak-anak. Pada anak-anak trauma healing dapat dilakukan melalui beberapa metode, yang pertama adalah melalui teknik play teraphy pada anak. Dengan menggunakan pla therapy pada anak akan diajak mengatasi traumanya melalui media permainan. Metode lain yaitu dengan terapi melalui tari, dengan tari anak dapat mengekspresikan emosi yang ada di dalam dirinya. Hal ini dikarenakan tari bersifat rekreatif. (Ade Rahman, 2018) Trauma merupakan suatu kejadianpisik atau emosional serius yang menyebabkan kerusakan substansial terhadappisik dan psikologis seseorang dalam rentangan waktu yang relative lama (Weaver, Flannelly, dan Preston, 2003). Sementara trauma psikis dalam psikologi

diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar. Di samping itu, trauma adalah suatu kondisi emosional yang berkembang setelah suatu peristiwa trauma yang tidak mengenakkan, menyedihkan, menakutkan, mencemaskan dan menjengkelkan, seperti peristiwa: pemerkosaan, peperangan, kekerasan dalam keluarga, kecelakaan, bencana alam dan peristiwa-peristiwa tertentu yang membuat batin tertekan (Lawson, 2001; Kinchin, 2007). Trauma psikis terjadi ketika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang menekan yang menyebabkan rasa tidak berdaya dan dirasakan mengancam. Reaksi umum terhadap kejadian dan pengalaman yang traumatis adalah berusaha menghilangkannya dari kesadaran, namun bayangan kejadian itu tetap berada dalam memori. C. Model Konseling Trauma Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak. Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula. Bagi orang tua, layanan konseling trauma akan membantu mereka memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini; untuk selanjutnya mampu melupakan semua tragedi dan memulai kehidupan baru.Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan modal awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah. Untuk mencapai efektivitas layanan, konseling trauma dilakukan dengan dua format, yaitu format individual (untuk korban yang tingkat stres dan depresinya berat), dan format kelompok (untuk individu yang beban psikologisnya masih pada derajat sedang). (Herman Nirwana, 2012) Sebelum pelaksanaan layanan konseling diberikan, langkah pertama adalah menciptakan rasa aman (Weaver, dkk. 2003). Bagi individu yang mengalami trauma, dunia ini dirasa tidak aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka memerlukan orang lain yang bisa memberikan perlindungan dan rasa nyaman pada mereka, sehingga mereka merasa tidak sendirian dalam hidup ini. Penciptaan rasa aman teresebut bisa dilakukan dengan mengadakan permainan yang bias mendorong individu untuk melupakan sejenak peristiwa traumatis yang dialaminya.Bagi

individu yang mengalami trauma karena perampokan di tempatkerja, penciptaan rasa aman bisa dilakukan dengan memberi izin untuk tidak masuk kerja dalam beberapa hari;dan bagi yang kena rampok di rumah,bisa dilakukan dengan pindah rumah buat sementara. Pendekatan klasikal bisa diterapkanuntuk kasus-kasus yang berhubungan dengan rasa takut yang tidak adaptif(Prawitasari, 2011). Salah satu teknikyang digunakan secara luas bagi klienyang mengalami masalah kecemasan karena peristiwa traumatis adalahdisensitisasi sistematik (Holden, dalamLocke, Myers, dan Herr, 2001; Georgedan Cristiani, 1995). Prawitasari

(2011:159)

menyebutnya

dengan

istilah

“nirpekaberaturan”.

Teknik

ini

didasarkanatas prinsip classical conditioning.Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar, dan untuk mengubah, memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga melalui belajar. Oleh sebabitu, responsi terhadap kecemasan itu bias dipelajari atau dikondisikan (Wolpe,dalam Hock, 1999), dan proses inidisebut dengan terapi (Corey, 2012). Sebelum disensitisasi dimulai,konselor melakukan konseling untuk mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami latar belakang diri klien secara komprehensif.Konselor harus mengidentifikasi gejala-gejala trauma atau PTSD yang dialami oleh klien (Lawson, 2001) dengan menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa khusus yang memicu rasatakut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien merasa nyaman, dan rasa nyaman itu diciptakan oleh konselor. Setelah penyulut kecemasan terdeteksi,konselor bersama klein menyusun daftar urutan situasi yang menyulut kecemasan dalam bentuk hirarki,mulai dari situasi yang menimbulkan kecemasan rendah sampai tinggi (Wolpe,dalam Hock, 1999; Holden, dalamLocke, Myers, dan Herr, 2001). Jumlah tahapan atau hirarki urutan kecemasan yang disusun tergantung pada tingkat kecemasan yang dialami klien, biasanya sampai lima, enam, atau lebih (Wolpe,dalam Hock, 1999). “Dalam teknik ini,klien dilatih dulu untuk relaksasi kemudian secara bertahap relaksasi ini dipasangkan dengan situasi yang menakutkannya sampai akhirnya ia dapat mengatasi rasa takutnya” (Prawitasasi,2011: 159). Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh klien duduk dalam keadaan santai dan nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut latihan rileksasi, yaitu proses penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti lengan, tangan, wajah, perut, kaki, dan lain sebagainya (Wolpe dalam Hock,1999). Setelah klien merasa rileks, ia diminta untuk

membayangkan sesuatuyang paling sedikit menimbulkan kecemasan sesuai dengan hirarki yang telah disusun. Apabila klien masih bias santai dalam membayangkan peristiwa tersebut, konselor bisa bergerak maju dalam hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat itu pula skenario dihentikan(Wolpe, dalam Hock, 1999). Klien disuruh membuka matanya dan disuruh duduk santai. Apabila klien tidak bersedia melanjutkan pada hirarki kecemasan yang lebih tinggi, konselor bersama klien membahas secara mendalam apa yang di alaminya, atau melanjutkannya pada konseling berikutnya. Sebaliknya bila klien bersedia melanjutkan konseling,pengendoran ketegangan dimulai lagi dan dilanjutkan dengan hirarki kecemasan yang lebih tinggi lagi. D. Model layanan bimbingan Berbagai model layanan bimbingan menurut Edi Purwanta (2010) dalam

makalah

disampaikan pada Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Korban Erupsi Merapi telah dikonstruksikan untuk membantu mereka, tetapi model yang sesuai sangat tergantung pada masalah dan kondisi lingkungan pendukungnya (keluarga utamanya orangtua, significant’ others yang membantu mereka). Salah satu model umum adalah Sequentially Planned Integrative Counseling for Children (Model SPICC). Model ini merupakan model integratif yang telah memperoleh dukungan riset sejak tahun 1995 (Geldard dan Geldard, 2010). Secara skuential model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Model SPICC ini bila digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Sequentially Planned Integratif Counseling for Children (SPICC) Fase

Proses yang dibutuhkan

Fase 1

 

Pendekatan

Anak bergabung dengan Konseling

Metode/strategi Berbagi cerita akan

konselor

berbasis

membantu anak-anak

Anak mulai

klien

mulai merasa lebih baik

Anak melanjutkan kisah

Terapi

Memunculkan

mereka

gestalt

kesadaran anak-anak

menceriterakan kisah mereka

Fase 2

 



Kesadaran anak

membuat anak-anak

terhadap masalah mulai

mampu mengenali

meningkat

masalah secara jelas,

Anak-anak mulai

berhubungan dengan

berhubungan dengan

emosi dan melepaskan

emosi dan mungkin

emosi tersebut

mengalami perasaan terharu 

Anak-anak akan membelokkan pembicaraan dan menunjukkan resistensi

Fase 3

Anak-anak

Terapi

Merekonstruksi dan

mengembangkan perspektif

naratif

menebalkan kisah yang

atau pandangan yang

lebih dimasalahkan

berbeda terhadap dirinya.

anak-anak dan memperkuat perspektif mereka

Fase 4



Anak-anak

Terapi

Proses menantang



berhubungan dengan

perilaku

pikiran yang tidak

keyakinan yang

kognitif

membantu

merusak diri

menghasilkan

Anak-anak mencari opsi

perubahan sikap

dan pilihan

Fase 5

Anak-anak berlatih

Terapi

Merasakan sikap baru

merasakan dan

perilaku

dan menghasilkan

mengevaluasi sikapnya

penguatan pada sikap

yang baru

adaptif

DAFTAR PUSTAKA Kinchin, D. 2007. A Guide to Psychological Debriefing. London:Jessica Kingsley Publishers.

Koentjoro, Budi Andayani. 2007. Recovery Kawasan Bencana: Perwujudan Trauma Healing Melalui Kegiatan Psikologi dan Rohani. UNISIA No 63/XXX/I/2007

Latipun. 2014. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi “Pemulihan Trauma Berbasis Komunitas: Pengalaman Indonesia dalam Intervensi Trauma Massal”. Volume 2 (3) 278-285

Nirwana, Herman. 2012. Konseking Trauma Pasca Bencana. Vol 15 No 2 (Desember 2012)

Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi Klinis:Pengantar terapan mikro & makro. Jakarta: Penerbit Erlangga

Purwanta, Edi. 2010. Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Korban Erupsi Merapi.

Rahman, Ade. 2018. Analisa Kebutuhan Program Trauma Healing Untuk Anak-Anak Pasca Bencana Banjir Di Kecamatan Sungai Pua Tahun 2018 : Implementasi Manajemen Bencana. Vol XII No 7 Juli 2018

Undang undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Weaver, A.J., Flannelly, L.T., dan Preston, J.D. 2003. CounselingSurvivors of Traumatic Events: Ahandbook for pastors and otherhelping professional. Avenue South, Nashville: Abingdon Press. Dwi Utari Nugroho, D., 2012. Sekolah Petra (Penanganan Trauma) Bagi Anak Korban Bencana

Alam. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 2. Hidayah, N., 2012. TANGGAP BENCANA, SOLUSI PENANGGULANGAN KRISIS. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 7, pp.69-72.

More Documents from "Achmad Sholeh"