BAGIAN ILMU KESEHATAN KELUARGA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
LAPORAN JURNAL JANUARI , 2019
Apakah Pemberian Cairan Intravena Kita Hampir Ideal?
Oleh :
Raihana Muthmainnah, S.Ked Pembimbing : Letkol CKM. dr. Muh. Ermil Zulkarnaen, M. Kes, Sp. An (Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Anestesi)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2019
1
Abstrak Pendekatan pada terapi cairan intravena pada hipovolemia dapat secara signifikan mempengaruhi hasil klinis paien yang mengalami respons inflamasi sistemik setelah sepsis, trauma, atau operasi mayor. Saat ini, tidak ada satu pun sediaan cairan intravena yang memenuhi semua kriteria untuk penatalaksanaan yang ideal pada hipovolemia. Dokter harus memilih sediaan terbaik yang tersedia untuk setiap pasien, dan memutuskan kapan serta berapa banyak cairan yang akan diberikan. Temuan dari uji coba acak yang besar menunjukkan bahwa beberapa cairan koloid, khususnya koloid dengan stratch based, mungkin berbahaya dalam beberapa situasi, tetapi tidak jelas apakah cairan tersebut harus ditarik sepenuhnya penggunaan. Sementara itu, cairan kristaloid, seperti saline 0,9% dan Ringer laktat, lebih seing digunakan, tetapi perdebatan berlanjut tentang persiapan mana yang lebih disukai. Yang paling adalah cara memilih dosis cairan optimal pada pasien berbeda yang masih belum jelas dan skenario klinis yang berbeda. Terdapat alasan yang bagus untuk percaya bahwa pemberian cairan cairan intravena yang tidak memadai dan berlebihan dapat menyebabkan hasil klinis yang buruk, termasuk peningkatan risiko infeksi dan disfungsi organ pada pasien hipovolemik. Dalam ulasan ini, kami merangkum pengetahuan terkini tentang topik tersebut dan mengidentifikasi beberapa masalah utama dan bidang praktik terbaik yang telah disepakati. Selama 100 tahun terakhir, terapi cairan intravena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perioperatif, namun pertanyaan tentang pemberian cairan yang ‘ideal’ masih sulit dipahami. Bagi dokter yang memberikan penanganan intensif dan spesialis anestesi, resusitasi cairan intravena dianggap sebagai keterampilan inti, yang diharapkan dapat dberikan secara aman dan efektif. Meskipun demikian, dasar untuk terapi cairan masih menjadi tema perdebatan hangat. Dalam ulasan ini, kami menyelidiki alasan di balik perdebatan tersebut dan memberikan ringkasan obyektif dari pengetahuan terbaru tentang topik tersebut. Ruang lingkup tinjauan ini mencakup cairan intravena yang digunakan dalam resusitasi. Dengan pengecualian pada cairan albumin, ulasan ini
2
tidak mencakup penggunaan produk darah atau penggunaan cairan i.v. untuk indikasi khusus, seperti cedera otak traumatis. Konteks Sejarah Pada tahun 1831, William O'Shaughnessy menulis surat kepada The Lancet untuk melaporkan beberapa pengamatan menarik dan sangat rinci pada sample darah yang diambil dari penderita kolera.1 Dalam catatannya tersebut mencakup deskripsi rinci tentang pengurangan kadar air, konsentrasi bikarbonat yang rendah, dan uraemia yang menekan pembentukan urin yang merupakan gejala utama.
Beberapa bulan kemudian, Thomas Latta mencapai beberapa
keberhasilan dengan memberikan cairan intravena berupa saline dan natrium bikarbonat pada penderita kolera yang hampir mati di Sunderland. Dalam ulasan detail lain untuk The Lancet, ia memberikan laporan menarik tentang respons klinis untuk terapi cairan.2 Kita dapat melacak sejarah terapi cairan sebagai pengobatan modern yang telah berkembang. Hartmann menggunakan cairan ringer yang dimodifikasi untuk merehidrasi anak-anak yang menderita gastroenteritis pada 1930-an dan pada Perang Dunia II manfaat dari cairan intravena dalam pengobatan syok hemoragik diakui secara luas.3 Empat juta botol cairan intravena dibeli oleh Angkatan Darat AS selama masa tersebut.4 Peningkatan hasil klinis terkait dengan penggunaan terapi cairan selama operasi untuk korban perang dilaporkan selama Perang Korea.5 Peningkatan hasil klinis pasien tetap menjadi faktor pendorong dalam penelitian terapi cairan, yang terus berlanjut menjadi sorotan adalah pentingnya memilih jenis dan dosis optimal cairan untuk setiap pasien. Fisiologi yang Relevan Penting untuk memisahkan terapi cairan menjadi pemeliharaan cairan dan resusitasi cairan (atau penggantian volume). Hal ini sangat membantu karena muncul sedikit perdebatan tentang terapi pemeliharaan cairan. Kebutuhan air dan elektrolit harian telah dijelaskan dengan baik6 dan mudah diberikan baik secara enteral maupun intravena. Biasanya paling baik untuk melihat penggantian
3
kehilangan cairan setelah puasa dalam waktu yang lama selama periode preoperasi sebagai bagian dari strategi pemeliharaan cairan, dengan menghitung kebutuhan air dan elektrolit berdasarkan massa tubuh dan lamanya sejak asupan terakhir. Banyak kontroversi tentang terapi penggantian cairan pada hipovolemia atau kehilangan cairan yang signifikan (mis. resusitasi cairan). Setiap dokter memiliki pendekatan resusitasi cairan sangat dipengaruhi oleh keyakinan mereka tentang patofisiologi penyakit akut yang ditandai dengan kehilangan cairan yang signifikan dan farmakokinetik serta farmakodinamik dari cairan yang digunakan untuk mengganti kehilangan tersebut. Penyebab utama hipovolemia adalah dehidrasi, perdarahan, sepsis, dan respon inflamasi sistemik terhadap penyakit akut lainnya, seperti trauma atau pankreatitis. Patofisiologi utama dari hipovolemia dirangkum pada tabel 1. Tujuan langsung dari resusitasi cairan adalah mengganti volume sirkulasi dengan cepat untuk mengembalikan perfusi organ. Meskipun, sifat dan volume cairan yang hilang pada berbagai penyakit akut berbeda-beda,
dari seluruh
komponen darah dalam perdarahan akut hingga menjadi seperti air pada beberapa bentuk gastroenteritis. Resusitasi cairan lebih lanjut diperumit dengan ada atau tidak adanya kehilangan cairan yang berlanjut dan mekanisme yang terkait. Dehidrasi yang terjadi mungkin mudah untuk diterapi, sedangkan pendarahan yang berkelanjutan dan kebutuhan untuk kontrol perdarahan dapat sangat mempersulit resusitasi pada korban trauma. Konsep dan kesalahpahaman dalam patofisiologi hipovolemia Kompartemen cairan dan farmakokinetik dari cairan intravena Waktu paruh cairan intravaskular diperkirakan bervariasi tergantung pada sifat farmakokinetik dan farmakodinamik dari cairan tersebut. Semua cairan akan didistribusikan ke seluruh tubuh, tetapi waktu paruh intravaskular yang lebih lama mungkin efektif untuk mempermudah resusitasi cairan.
4
Tabel 1. Ringkasan penyebab utama hipovolemia, konsep patofisiologi terbaru, dan penatalaksanaannya
Cairan dextrose dianggap tetap berada dalam sirkulasi pada waktu yang sangat singkat karena sejumlah kecil gula dimetabolisme dengan cepat, meninggalakan air yang tidak berikatan melewati komparteman ciaran. Meskipun demikian, dekstrosa 5% dan larutan yang serupa mungkin cocok digunakan sebagai rejimen cairan perawatan yang dihitung, cairan tersebut memiliki nilai yang terbatas pada resusitasi cairan, di mana penting mempertahankan volume intravaskular. Natrium, klorida, dan kandungan elektrolit lain dalam cairan isotonik diyakini dapat membantu mempertahankan cairan dalam sirkulasi, menghasilkan efek volume ekspansi berlangsung antara 20 dan 100 menit tergantung konsentrasi dan jumlah cairan.7 8 Pada cairan koloid, ditemukan efek ekspansi sekitar 2-5 jam.7 9 Namun, penting untuk memahami bahwa banyak dari pengetahuan tersebut didasarkan pada prinsip teoritis atau efek cairan pada sukarelawan sehat.
10
Mekanisme cairan intravena mungkin sangat berbeda pada
setiap pasien dan berdasarkan kondisi penyakit, atau efek diferensial cairan mungkin jauh lebih sedikit dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini penting untuk menyeimbangkan manfaat teoritis dari setiap cairan yang diberikan terhadap apa kita tahu tentang potensi bahaya yang mungkin terjadi. Contoh
5
penting termasuk risiko terjadinya coagulopathy11 12 dan nephrotoxicity13 14 terkait dengan cairan hidroksietil pati, dan efek endokrin dari total natrium dan klorida dalam tubuh yang berlebihan terkait dengan kristaloid hipertonik, seperti saline 0,9% .15 Respon stress terhadap cedera dan pembedahan Respon stres terhadap pembedahan dan trauma merupakan sebuah respons evolusi terhadap cedera yang melibatkan interaksi biokimia yang kompleks dan mediator humoral, termasuk vasopresin dan sistem renin-angiotensin.16 17 Pada respons awal, mekanisme ini bergabung untuk memastikan retensi cairan dan elektrolit dengan mengurangi outpun urin. Hal ini dapat dipahami dengan mengetahui
kebutuhan untuk pulih dari cedera sebelum dapat
mengonsumsi air dan makanan. Respon tersebut bervariasi antara individu dan mungkin kurang jelas pada teknik pembedah invasif minimal, di mana terjadi cedera jaringan yang lebih sedikit. Pemeliharaan kebutuhan cairan dan elektrolit akan berkurang setelah besar operasi, dan hal ini merupakan salah satu alasan penting mengapa pasien rentan untuk kelebihan cairan dan elektrolit pada awal periode post operasi periode.16 Pemantauan urin output merupakan indikator penting, namun harus disadari bahwa output urin normalnya berkurang selama dan setelah operasi. Pada pasien dengan ginjal yang sehat, output urin 0,5 ml kg 1
-
jam-1 seharusnya tidak menimbulkan kekhawatiran dalam konteks keseimbangan
cairan dan elektrolit yang dimonitor dengan cermat. Resep cairan dirancang khusus untuk setiap pasien, dan diawasi oleh dokter berpengalaman setiap hari, akan mengurangi bahaya. Kehilangan ruang ketiga dan kebocoran kapiler Selama bertahun-tahun, ahli anestesi mempelajari bahwa volume cairan dalam jumlah besar merembes ke ruang ekstraseluler selama operasi. Hal ini disebut kehilangan 'ruang ketiga' yang dianggap sebagai penyebab umum hipovolaemia.18 Namun, perhitungan rinci telah menunjukkan bahwa hal tersebut
6
dan kehilangan cairan yang tidak masuk akal lainnya, seperti keringat dari viscera yang terpapar, secara signifikan terlalu tinggi.19 Konsekuensi akibat pemberian cairan intravena dalam jumlah besar menyebabkan akumulasi cairan di ruang interstitial (edema jaringan), yang mungkin mengakibatkan hasil klinis pasien yang lebih buruk. Saat ini kehilangan cairan kemungkinan disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh peradangan sistemik sebagai respon terhadap operasi. Penting untuk diketahui bahwa respon peradangan tersebut dan hubungannya dengan kehilangan cairan dalam sirkulasi cenderung bervariasi antar pasien, terutama pada operasi besar rongga tubuh. Pada banyak prosedur, respon peradangan yang ringan tidak akan menyebabkan kehilangan cairan yang signifikan. Meskipun, pasien–pasien tersebut masih memerlukan penggantian kekurangan cairan akibat puasa pra operasi, pemeliharaan cairan yang berkelanjutan, dan penggantian kehilangan darah. Kekeliruan terhadap indikasi terapi cairan merupakan penyebab umum terapi cairan yang kurang optimal, karena dokter tidak jelas tentang titik akhir keberhasilan pengobatan yang seharusnya. Glikokaliks endotel Penemuan glikokaliks endotel menunjukkan perpindahan cairan dalam sistem vaskular manusia yang jauh lebih rumit daripada teori Starling tentang dinamika cairan dalam pembuluh darah.20 Glikokaliks terdiri dari glikoprotein yang terikat pada permukaan luminal pembuluh darah endotelium, menyediakan membran semi-permeabel di antara sirkulasi darah dan permukaan sel.21 Glikokaliks memiliki beberapa fungsi penting, terutama dalam inisiasi inflamasi jaringan, tetapi juga memiliki peran penting regulasi permeabilitas vaskular. Dalam hal kesehatan, glikokaliks berfungsi sebagai barier molekul yang berukuran besar, tetapi pada penyakit tertentu glikokaliks dapat sangat terganggu, terutama pada inflamasi aktif termasuk sepsis, trauma, dan pembedahan. Jika mengalami kerusakan, maka cairan dan molekul yang berukuran besar tidak dapat diatur, dan cairan keluar sirkulasi mikro.22 23
7
Sifat teoritis cairan yang ideal Konsep tentang cairan yang ‘ideal’ merupakan topik populer untuk pengajaran dan ujian anestesi. Penyakit akut akan menentukan sifat hilangnya cairan, dari seluruh komponen darah hingga menjadi hampir murni seperti air. Dengan demikian, cairan yang ideal juga akan bervariasi pada setiap pasien, sebuah fakta yang tidak dipahami dengan baik oleh dokter yang mencari formulasi yang sama untuk terapi cairan. Cairan resusitasi yang ideal harus tetap dalam ruang intravaskular selama beberapa jam. Komposisi kimianya harus mirip dengan cairan ekstraselulerdengan komponen yang dikandung harus siap dimetabolisme dan diekskresikan oleh tubuh. Cairan tersebut harus aman, steril, dan tidak mudah menimbulkan reaksi alergi, keracunan organ, atau efek samping lainnya. Dari perspektif praktis, kita mungkin menginginkan cairan yang mudah dibawa dan disimpan, mudah diberikan, dan dengan harga sederhana. Pembaca akan menghargai bahwa cairan seperti itu saat ini belum tersedia. Cairan yang digunakan dalam manajeman perioperatif umumnya diklasifikasikan menjadi cairan kristaloid dan koloid. Cairan kristaloid kemudian dikategorikan menjadi cairan hipertonik, hipotonik, dan isotonik (atau seimbang). Saline 0,9% (yang juga disebut normal saline) merupakan cairan hipertonik yang paling umum digunakan. Cairan hipotonik, seperti dekstrosa 5% dan saline 0,45%, lebih cocok digunakan sebagai maintenance daripada resusitasi. Cairan yang dikembang oleh Hartmann disebut Ringer dapat disebut cairan isotonik atau ‘seimbang’, dan banyak cairan yang tersedia secara komersial didasarkan pada formulasi ini. Meskipun cairan-cairan tersebut hampir sama dengan cairan fisiologis yang normal, namun tidak ada yang identik dengan plasma. Koloid terdiri molekul besar yang terdispersi dalam pelarut kristaloid. Koloid yang pertama kali digunakan dalam manajeman perioperatif adalah cairan albumin yang difraksinasi dari darah autologous. Tekanan onkotik yang tinggi dari molekul koloid diperkirakan untuk memastikan cairan tetap berada di ruang intravaskular untuk jangka waktu yang lebih lama, sehingga resusitasi cairan dengan volume yang lebih kecil menjadi lebih efektif. Pada penelitian dengan
8
metode blinded, dokter meresepkan cairan koloid dengan volume yang lebih sedikit
jika dibandingkan dengan kristaloid.13
24
Meskipun, jika endotel
glikokaliks mengalami keruskan karena respon peradangan akut, waktu paruh intravaskular mungkin tidak lebih lama dari cairan kristaloid. Terdapat banyak perbedaan pada cairan koloid, tetapi gelatin suksinilasi, pati hidroksietil, dan cairan albumin manusia digunakan pada sebagian besar resep koloid. Tabel 2 merangkum lebih banyak cairan yang biasa digunakan beserta komposisinya. Kontroversi: pemilihan jenis cairan yang tepat untuk resusitasi Cairan kristaloid Secara tradisional, kristaloid dikategorikan sebagai cairan hipertonik, isotonik, dan hipotonik untuk membandingkan komposisinya dengan plasma. Sebagian besar caiaran hipertonik yang biasa digunakan memiliki beban osmotik yang sedikit lebih tinggi daripada plasma, dengan pengecualian pada cairan saline hipertonik yang digunakan dalam perawata neurokritikal untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial. Cairan Hartmann dan cairan balance. Tabel 2. Cairan yang umum digunakan. Catatan: penggunaan cairan sangat bervariasi antar negara
9
yang serupa banyak digunakan dalam anestesi dan perawatan kritis, meskipun saline 0,9% juga populer di banyak negara. Pilihan saline 0,9% diperdebatkan oleh banyak orang karena mengandung natrium dan klorida (154mmol liter-1) dalam konsentrasi tinggi yang menyebabkan kelebihan garam dan asidosis hiperkloremik.15
25
hal ini juga mungkin terjadi meskipun jarang
ditemukan pada cairan yang mengandung dosis elektrolit suprafisiologis, termasuk beberapa cairan koloid yang populer. Namun, saat ini hanya ada bukti tidak langsung yang menunjukkan penomena tersebut mengarah ke kerusakan permanen.26 Koloid Banyak cairan koloid intravena, dengan berbagai sifat telah dikembangkan untuk praktik klinis. Akan tetapi, sebagian besar sudah tidak digunakan lagi. Cairan albumin manusia, hydroxyethyl starch dan gelatin suksinilasi merupakan satu-satunya jenis larutan koloid yang masih digunakan secara luas, dan sifat klinisnya hanyat diperdebatkan. Uji coba CHEST dan 6S memberikan data dengan kualitas yang sangat tinggi tentang efek hydroxyethyl starch pada pasien dengan kondisi kritis.13 14 Kedua uji coba tersebut mencakup dua kelompok yang menjalani pengobatan dengan membandingkan hydroxyethyl starch
dengan
kristaloid, yang menjadi hal tidak etis dengan tidak memberikan resusitasi cairan sebagai 'kontrol' terapi. Secara keseluruhan, temuan uji coba ini menunjukkan bahwa cairan hydroxyethyl starch berhubungan dengan kejadian gagal ginjal akut yang membutuhkan terapi penggantian ginjal, yang mungkin menyebabkan tingkat kematian yang lebih tinggi.27 Di AS, cairan hydroxyethyl starch tidak lagi dilisensikan untuk digunakan pada pasien kritis dan orang-orang dengan disfungsi ginjal, sedangkan di Inggris, cairan tersebut telah ditarik spenuhnya. Namun, The Europan Medicines Agency mengizinkan penggunaan berkelanjutan cairan yang mengalami perdarahan selama bedah dan korban trauma. Tinjauan sistematis tidak menemukan adanya hubungan mortalitas dengan penggunaan cairan cairan hydroxyethyl starch pada pasien bedah, tetapi juga tidak menyarankan manfaatnya.28 Uji coba multisenter
10
direncanakan untuk mengkonfirmasi keamanan cairan ini untuk penatalaksanaan perdarahan pada pasien bedah dan trauma, tetapi banyak dokter skeptis terhadap strategi ini. Gelatin suksinilasi tidak tersedia di semua negara karena data menunjukkan insiden tinggi terjadinya anafilaksis.29 Namun, dalam satu percobaan besar baru-baru ini tentang terapi hemodinamik, tidak dilaporkan adanya kasus anafilaksis meskipun penggunaan cairan ini telah meluas dalam percobaan.30 Kami tidak mengetahui adanya penelitian terbaru yang mengevaluasi cairan gelatin,31 tetapi terdapat kekhawatiran tentang bahaya dari cairan koloid, yang mungkin menjadi perlengkapan terbatas untuk uji pragmatis yang diperlukan untuk mengkonfirmasi keamanan dan efektivitas cairan tersebut
Albumin Penggunaan albumin lebih baik didukung oleh bukti uji klinis yang dipublikasikan. Uji coba SAFE mengkonfirmasi bahwa albumin 4% setara dengan normal saline dalam hal keamanan dan hasil klinis pada pasien yang sakit kritis, dan uji coba ALBIOS menunjukkan tidak terdapat perbedaan dalam tingkat kelangsungan hidup di antara pasien yang menderita sepsis berat dan syok septik.32 Tinjauan sistematis terbaru oleh Cochrane yang melakukan uji coba pada cairan albumin termasuk pilihan uji coba yang sangat heterogen, dan dengan metodologis buruk.33 Ulasan ini mencakup uji coba dari tahun 1970-an dengan potensi bias yang signifikan beserta akibatnya, sehingga kami tidak akan merekomendasikan berdasarkan praktik klinis pada temuannya. Kontroversi: pemilihan dosis yang tepat untuk resusitasi cairan Perawatan rutin atau biasa Meskipun kita bisa berdebat panjang lebar tentang pilihan resusitasi cairan, perbedaan hasil yang dicapai dengan cairan yang umumnya digunakan seringkali sederhana. Dalam uji coba besar, pengurangan risiko relatif antara 10 dan 20% dianggap pentingsama halnya dengan pengurangan risiko absolut sekecil
11
1%. Memang tujuan dari uji coba besar dan sederhana adalah untuk mendeteksi perbedaan kecil namun penting tersebut pada hasil klinis dibandingkan dengan pengobatan alternatif. Pada tingkat global, manfaat kumulatif pasien dalam menerapkan bukti tersebut tampak pada dalam penurunan kematian kelompok kontrol secara bertahap dan berkelanjutan dalam uji coba besar. Namun, bukti tersebut harus tampak dalam konteks prnggunaan volume cairan yang bervariasi. Uji klinis sering menunjukkan variasi yang luas dalam hal volume resusitasi cairan antara pasien, dan terdapat perbedaan bukti di tingkat institusional yang sulit untuk dijelaskan berdasarkan kasus casemix saja. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan faktor dominan terjadinya efek samping yang dialami oleh masing-masing pasien. Tidak semua efek samping dari resusitasi cairan berhubungan dengan dosis, tetapi kebanyakan ditemukan kasus yang berhubungan. Jika perbedaan praktik rutin dua dokter, dimana dokter yang satu memberi cairan 50% lebih banyak dari yang lain, pasien dalam perawatan mereka cenderung mengalami perbedaan penting yang merugikan melebihi perbedaan jenis cairan yang digunakan. Meskipun demikian, perbedaan hasil klinis antara dokter akan sulit untuk diidentifikasi dalam praktik sehari-hari karena pada gilirannya hasil tersebut memiliki variasi yang jauh lebih kecil antar pasien. Tidak adanya panduan yang jelas tentang dosis cairan dalam formularium obat penting untuk dicatat. Kita harus menerima bahwa variasi terapi cairan dalam praktik
sehari-hari
tidak
semua
bisa
sesuai,
dan
beberapa
dianggap
membahayakan. Penyakit Kronis Seiring bertambahnya usia populasi, kejadian komorbiditas dalam populasi meningkat.34 Hal ini bermanifestasi dalam populasi pasien dengan tidak hanya penyakit jantung dan ginjal yang lebih lanjut tetapi juga peningkatan disfungsi kognitif awal dan skor kelemahan. Saat ini, tidak ada konsensus yang jelas tentang terapi cairan terbaik untuk pasien dengan beberapa komorbiditas yang memiliki dirisiko lebih dari satu disfungsi organ. Untuk pasien-pasien tersebut, penting
12
bahwa strategi pemilihaan cairan oleh pasien, disepakati, dan diikuti oleh semua anggota tim yang bertanggung jawab untuk perawatan perioperatif pasien. Rumus manajemen cairan restriktif vs liberal Respon stres terhadap pembedahan, trauma, atau penyakit dalam kondisi kritis akan menyababkan retensi garam dan air.16 Oleh karena itu, pasien tersebut harus menerima dosis cairan perawatan yang lebih rendah selama periode respon tersebut. Bukti anekdotal menunjukkan bahwa sebagian besar pasien menerima lebih banyak cairan daripada yang mereka butuhkan. Oleh karena itu pendekatan terapi restriktif cairan merupakan konsep yang menarik.
Banyak literatur yang
membandingkan antara rejimen cairan restriktif dan liberal selama dan setelah operasi, tetapi dengan temuan-temuan yang tidak konsisten.35 Banyak dari kontradiksi tersebut
dapat dijelaskan dengan perbedaan
algoritma cairan yang digunakan. Regimen dijelaskan sebagai pembatasan dalam satu percobaan akan memenuhi definisi liberal lain. Sebagian besar algoritma dikembangkan dari pendapat ahli dan bukan observasi eksperimental, tetapi pendapat para ahli mungkin merugikan dan seringkali sangat bervariasi. Keterbatasan utama algoritma cairan restriktif saat ini adalah bahwa mereka menggabungkan cairan pemeliharaan dan resusitasi menjadi algoritma tunggal berdasarkan massa tubuh. Resep cairan perawatan sangat sederhana dan memang harus ditentukan oleh massa tubuh (Tabel 3). Namun, dosis optimal cairan resusitasi memiliki hubungan yang lemah dengan massa tubuh dan terutama harus ditentukan berdasrkan fisiologi. Meski begitu, konsep pendekatan restriktif terhadap terapi cairan sangat berharga, dan pedoman UK tentang terapi pemeliharaan cairan post operasi memperkenalkan pendekatan ini.6 Cardiac uotput-panduan terapi atau algoritma tujuan terapi langsung Salah satu solusi yang mungkin untuk tantangan menentukan dosis resusitasi cairan yang optimal adalah dengan penggunaan pemantauan curah jantung sebagai pedoman penggunaan cairan intravena dan oabat-batan inotropik sebagai bagian dari algoritma terapi hemodinamik.36 Banyak istilah telah 13
digunakan untuk menggambarkan teknik ini, termasuk tujuan langsung dari terapi, optimalisasi cairan, dan terapi cairan. Pendekatan terapi ini telah terbukti memodifikasi jalur inflamasi dan meningkatkan perfusi jaringan dan oksigenasi.37 38
Yang penting, algoritma panduan – cardiac output modern tidak menerapkan
titik akhir Tabel 3. Panduan terapi cairan berdasarkan National Institute for Health and Care Excellence guidelines dan pernyatan dari The International Fluid Optimization group. *
Tidak ada titik akhir hemodinamik definitif yang telah diidentifikasi. Sebagian besar algoritma menyatakan cardiac output atau stroke volume, meskipun parameter dinamis, seperti variasi tekanan nadi, telah digunakan absolut yang harus dicapai terlepas dari keadaan apapun. Sebagai gantinya, mereka menggunakan pemantauan hemodinamik untuk menginformasikan apakah cairan bolus telah mencapai respons fisiologis. Informasi ini kemudian dapat digunakan untuk memprediksi lebih akurat apakah resusitasi cairan lebih lanjut akan bermanfaat. Penggunaan algoritma panduan dengan monitoring cardiac output telah direkomendasikan di laporan Centers for Medicare dan Medicaid Services di USA39 dan oleh the National Institute for Health and Care Excellence (NICE) di Inggris.40
14
Akan tetapi, mayoritas bukti dasar yang terdiri dari uji coba kecil, dan ini tidak cukup untuk menyelesaikan kontroversi mengenai potensi bahaya terkait dengan kelebihan cairan, cedera miokard, dan bentuk monitoring invasif. Barubaru ini, penelitian terbesar tidak mengkonfirmasi manfaat klinis dari pendekatan tersebut, yang mungkin terkait dengan kurangnya kekuatan statistik; tetapi percobaan ini berhasil memberikan bukti penting bahwa perawatan tersebut bersifat aman.30
41
Tampaknya terapi cairan yang dipandu output jantung akan
menawarkan sebagian besar manfaat bagi pasien dengan kehilang cairan sulit diperkirakan. Hal ini mungkin menjelaskan manfaat yang lebih kuat dalam operasi usus besar, sedangkan bukti keberhasilan pada operasi pembuluh darah jauh lebih lemah. Poin akhir hemodinamik Beberapa poin akhir hemodinamik telah digunakan dalam upaya mengoptimalkan pemberian cairan secara objektif. Sebelum pemasangan kateter arteri pulmonal (PAC), titik akhir seperti keluaran urin, perfusi perifer, dan waktu pengisian kapiler semuanya telah disarankan. Selain variasi dalam interpretasi dokter, beragam respons fisiologis seperti pebedahan, trauma, dan sepsis membuat variabel-variabel tersebut tidak dapat diandalkan untuk dijadikan pedoman dalam terapi cairan, meskipun dapat digunakan kembali jika tidak terdapat parameter yang lebih objektif. Tekanan vena sentral (CVP), bila tersedia, umumnya digunakan sebagai panduang terapi cairan di rumah sakit, tetapi penelitian menunjukkan bahwa baik CVP
maupun perubahan CVP secara akurat
memprediksi respon cairan.42 Tekanan vena sentral bukan lagi lini pertama dalam pedoman terapi cairan, meskipun dapat digunakan tanpa adanya lain parameter. Pengenalan PAC memungkinkan pengukuran yang akurat dari curah jantung dan volume stroke, indeks-indeks lain, dan monitor ini awalnya digunakan untuk memandu terapi cairan dalam prosedur bedah mayor dan unit perawatan intensif. Saran yang terkait kerugian dengan PAC43 menyebabkan penurunan dalam penggunaannya, dan meskipun dua makalah berikutnya44 45 menyartakan tidak terdapat perbedaan
15
hasil klinis yang terkait dengan Penggunaan PAC, teknologi ini sebagian besar telah digantikan oleh pemantauan yang kurang invasif yang menghasilkan indeks hemodinamik termasuk curah jantung dan volume stroke. Sebagian besar algoritma terapi cairan saat ini menggunakan stroke volume jika dibandingkan dengan curah jantung sebagai titik akhir untuk terapi cairan. Baru-baru ini, parameter dinamis, seperti pulse pressure variation (PPV) dan variasi volume stoke (SVV), telah digunakan sebagai indikator respon cairan pasien. Prediktor dinamis respon cairan Terdapat banyak kesepakan tentang apa yang disebut ‘prediktor dinamis respon cairan’, seperti PPV dan SVV.46 indeks tersebut mencerminkan variasi curah jantung selama siklus pernapasan dan memberikan konsep yang menarik dari bilangan sederhana`dimana konsep tersbut memberikan informasi apakah pasien responsif terhadap cairan atau tidak. Namun, indeks ini harus ditafsirkan dengan hati-hati. Ventilasi spontan, irama jantung tidak teratur atau extrasystoles, pneumoperitoneum,
dan
ventilasi
dengan
volume
tidal
rendah
dapat
mempengaruhi akurasi prediksi PPV dan SVV.47 Nilai utama dari indeks ini mungkin sebagai panduan kapan tidak memberi cairan. Seorang pasien sangat tidak mungkin mengalami hipovolemik jika nilai dari kedua parameter <5%, meskipun adanya ventilasi spontan atau irama yang tidak teratur. Closed-loop administrasi cairan Teknologi baru yang menarik di bidang ini adalah ‘closedloop’ sistem manajemen cairan otomatis, yang menggunakan perangkat lunak komputer untuk menafsirkan fisiologi hemodinamik detik demi detik untuk menentukan
laju
optimal pemberian cairan.48 Teknologi tersebut telah diterima dan sekarang sedang menjalani uji klinis. Pasien mungkin menerima jumlah cairan yang sebanding ketika menggunakan sistem closed loop, walaupun menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengoptimalkan
target hemodinamik.49 Ini adalah
perkembangan yang menarik, tetapi kesalahan penelitian tentang terapi cairan
16
sebelumnya harus dihindari, dan memastikan keamanan dan kemanjuran dari sistem closed-loop dievaluasi secara maksimal sebelum dilanjutkan ke uji efektivitas klinis yang lebih besar. Apakah penelitian klinis menemukan terapi cairan yang aman dan efektif Tantangan penelitian cairan Beberapa komentator memperdebatkan nilai uji coba multisenter besar, yang sering gagal mengkonfirmasi efektivitas klinis dari pengobatan. Hal ini mungkin karena banyaknya tantangan dalam merancang dan menyelesaikan uji coba untuk memberikan data yang kualitas tinggi. Uji klinis terapi cairan sangat heterogen karena dirancang untuk menjawab pertanyaan yang berbeda dalam populasi pasien yang berbeda. Uji coba menggunakan berbagai hasil klinis, dari keselamatan dan mekanisme yang jelas berdasarkan hasil yang berpusat pada pasien, seperti morbiditas dan mortalitas. Seringkali sulit untuk mengidentifikasi populasi sederhana yang terdefinisi dengan baik yang mungkin mendapat manfaat dari terapi cairan dengan cara yang mudah diukur. Indikasi untuk cairan, dan dosisnya, hampir selalu subjektif, membuat percobaan intervensi sulit untuk distandarisasi dan menambah variabilitas lebih lanjut. Hal tersebut merupakan masalah khusus ketika begitu banyak uji coba acak tentang terapi cairan intravena telah dilakukan di hanya satu rumah sakit, di mana praktik klinis mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan standar internasional yang lebih luas. Perbedaan-perbedaan ini dapat membuat perbandingan antar beberapa penelitian menjadi sulit. Namun, dalam banyak kasus, uji coba acak yang dilakukan gagal karena peneliti gagal mengajukan pertanyaan yang relevan atau merancang uji coba secara tepat untuk menjawabnya, ataupun keduanya. Pengertian kita dari tujuan uji coba besar juga mungkin buruk. Tujuan uji efektivitas klinis (atau pragmatis) adalah untuk menyeimbangkan manfaat perawatan yang menjanjikan percobaan efikasi (atau penjelasan) yang lebih kecil dengan penggunaan kepraktisan yang lebih luas di lingkungan klinis. Karena itu sangat penting bahwa kita tidak berkembang
17
menjadi efektivitas uji coba klinis yang besar sampai uji coba kemanjuran membentuk suara biologis dasar untuk strategi perawatan pada populasi pasien yang diberikan. Percobaan efektivitas klinis harus fokus pada sejumlah kecil hasil klinis yang secara realistis dapat dimodifikasi dengan mempelajari pengobatan dan memiliki relevansi langsung dengan pasien. Keefektifan uji coba klinis tidak dirancang untuk memperluas pengetahuan pada area baru tetapi untuk meningkatkan ketajaman bukti klinis pada suatu pertanyaan yang ada. Keefektifan uji klinis yang dipahami dan dirancang dengan baik meningkatkan perawatan pasien terlepas dari temuan; mereka membuktikan nilai dari beberapa pengobatan, menunjukkan manfaat dan mengkonfirmasi pentingnya bahaya yang sebelumnya dianggap tidak penting. Temuan uji coba multisenter yang sukses dapat memberikan hasil lebih baik dari kesenangan. Tanggapan buruk tentang penelitian yang baik Dokter biasanya membantah data hasil penelitian, bukan karena keterbatasan dalam desain percobaan, tetapi karena temuan tersebut tidak sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan dasar mereka yang sudah ada sebelumnya. Dalam anestesi dan perawatan intensif, kita diajarkan tentang terapi cairan dari awal karir kita. Sehingga, tidak masuk akal jika setiap klinisi masing-masing memiliki keyakinan yang kuat terhadap pemahaman tersendiri tentang topik tersbut. Akan tetapi, pengetahuan fisiologis tersebut dapat dan salah, dan sering, sangat berbeda antar dokter. Kadang, temuan berkualitas tinggi dari sebuah penelitian mungkin sangat menantang keyakinan kita.50 Kami menekankan pada bahaya tertentu dengan mengabaikan yang lain. Kita harus belajar menerima temuan tak terduga atau bahkan tidak diinginkan dari uji coba besar yang telah dirancang dan dilakukan dengan baik. Jangan menolak hasil yang tidak dapat dijelaskan, kita harus berusaha mengidentifikasi dan memahami mekanisme alternatif dimana cairan bisa memberikan manfaat atau
18
malah membahayakan pasien. Kita juga harus siap untuk menerima imanfaat atau bahayayang sama sekali tidak seperti yang kita pikirkan sebelumnya. Resep cairan intravena yang masuk akal Sayangnya, tidak ada sediaan cairan intravena tunggal yang ideal, baik secara keseluruhan maupun untuk situasi tertentu. Tampak mudah untuk menunjukkan kekurangan dalam setiap pendekatan yang diberikan untuk resep cairan, tetapi semakin sulit untuk mendefinisikan praktik klinis terbaik. Lalu apa harapan untuk praktik klinis rasional yang selaras? Kunci resep cairan yang aman mungkin lebih banyak berhubungan dengan prinsip umum daripada dengan detail yang lebih halus. Terlepas dari ketidakpastian dari banyak kesimpulan kami, masih
ada beberapa
‘dos’ sederhana dan ‘donts’
yang dapat
memperkenalkan keamanan dan keefektifan perawatan pasien. Hal ini dirangkum dalam Tabel 4. Tabel 4. Beberapa prinsip utama yang dapat membantu memastikan keamanan resep cairan intravena
19
Kesimpulan Bukti dasar untuk terapi cairan akan terus diperdebatkan untuk beberapa tahun mendatang dan cairan 'ideal' tetap sulit dipahami. Tampaknya kita tidak mendekati cairan intravena yang ideal, dan mengingat kompleksitas dan beragam keadaan penyakit yang membutuhkan terapi cairan , tampaknya tidak mungkin ada cairan yang ideal untuk semua situasi. Meskipun demikian, kami tahu bahwa pendekatan kami terhadap terapi cairan intravena pada hipovolemia dapat secara signifikan mempengaruhi hasil klinis pasien. Praktik terbaik akan melibatkan penggunaan berbagai cairan berbeda, dipilih dengan cermat untuk setiap indikasi spesifik. Kita terus menggunakan uji coba besar dan sederhana untuk mengeksplorasi manfaat relatif cairan yang berbeda, dan metode pemilihan dosis cairanyang berbeda. Sementara itu, kita harus ingat bahwa pemberian cairan yang tidak memadai dan berlebihan dapat memberikan hasil klinis buruk untuk pasien hipovolemik. Terdapat beberapa prinsip sederhana tentang pemberian resep yang aman yang memungkinkan kami yakin memberikan perawatan terbaik untuk pasien kami.
20
Referensi 1. O’Shaughnessy WB. Proposal of a new method of treating the new blue cholera epidemic by injecting of highly oxidised salts into the venous system. Lancet 1831; 17: 366–71. 2. Latta T. Malignant Cholera Documents communicated by the Central Board of Health, London, relative to the treatment of cholera by the copious injection of aqueous and saline fluids into the veins. Lancet 1832; 18: 274–80 3. Fisher M. Fluids. In: M Fink, M Hayes, N Soni, eds. Classic Papers in Critical Care. Oxford: Bladon, 2003; 303–25 4. 4. Milliam D. The history of intravenous therapy. J Intraven Nurs 1996; 19: 5–14 5. Artz CP, Howard JM, Frawley JP. Clinical observations on the use of dextran and modified fluid gelatin in combat casualties. Surgery 1955; 37: 612–21 6. National Institute for Healthcare and Excellence Clinical Guideline 32 CG32 Nutritional Support for Adults: oral nutritional support, enteral tube feeding
and
parental
nutrition
Update
2014.
Available
from
https://www.nice.org.uk/guid ance/cg32 (accessed 12 October 2017) 7. Hahn RG, Lyons G. The half-life of fluids: an educational review. Eur J Anaesthesiol 2016; 33: 475–82 8. 8. Norberg A, Hahn RG, Li H, et al. Population kinetics predicts retention of 0.9% saline infused in awake and isofluraneanaesthetized volunteers. Anesthesiology 2007; 107: 24–32. 9. Svense´n C, Hahn RG. Volume kinetics of Ringer solution, dextran 70 and hypertonic saline in male volunteers. Anesthesiology 1997; 87: 204–12 10. Hahn RG, Bergek C, Geba¨ck T, Zdolesk J. Interactions between the volume effects of hydroxyethyl starch 130/0.4 and Ringer’s acetate. Crit Care 2013; 17: R104
21
11. Mittermayr M, Streif W, Haas T, et al. Hemostatic changes after crystalloid or colloid fluid administration during major orthopaedic surgery: the role of fibrinogen administration. 12. Sossdorf M, Marx S, Schaarschmidt B, et al. HES 130/0.4 impairs haemostasis and stimulates pro-inflammatory blood platelet function. Crit Care 2009; 13: R208 13. Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, et al. Hydroxyethyl starch or saline for fluid resuscitation in intensive care. N Engl J Med 2012; 367: 1901–11 14. Perner A, Haase N, Guttormsen A, et al. Hydroxyethyl starch 130/0.42 versus Ringer’s acetate in severe sepsis. N Engl J Med 2012; 367: 124–34 15. Prough DS, Bidani A. Hyperchloremic metabolic acidosis is a predictable consequence of intraoperative infusion of 0.9% saline. Anesthesiology 1999; 90: 1247–9 16. Desbrough JP. The stress response to trauma and surgery. Br J Anaesth 2000; 85: 109–17 17. Nicholson G, Hall GM. Effects of anaesthesia on the inflammatory response to injury. Curr Opin Anaesthesiol 2011; 24: 370–4 18. Miller RD, Cucchiara RF, Miller JE, et al. Anesthesia, 5th Edn. Philadelphia, PA: Churchill-Livingstone, 2000; 1606–7 19. Brandstrup B, Tønnesen H, Beieir-Holgersen R, et al. Effects of intravenous fluid restriction on postoperative complications: comparison of two perioperative fluid regimens: a randomized assessor-blinded multicentre trial. Ann Surg 2003; 238: 641–8 20. Pries AR, Secomb TW, Gaehtgens P. The endothelial surface layer. Pflugers Arch 2000; 440: 653–66 21. Woodcock TE, Woodcock TM. Revised Starling equation and the glycocalyx model of transvascular fluid exchange: an improved paradigm for prescribing intravenous fluid therapy. Br J Anaesth 2012; 108: 384–94 22. Chelazzi C, Villa G, Mancinelli P, De Gaudio AR, Adembri C. Glycocalyx and sepsis induced alterations in vascular permeability. Crit Care 2015; 19: 26
22
23. Salmon AH, Satchel SC. Endothelial glycocalyx dysfunction in disease: albuminuria and increased microvascular permeability. J Pathol 2012; 226: 562–74 24. The SAFE Study Investigators. A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med 2004; 350: 2247–56 25. Wilkes NJ, Woolf R, Mutch M, et al. The effects of balance versus saline based hetastarch and crystalloid solutions on acid base and electrolyte status and gastric mucosal perfusion in elderly surgical patients. Anesth Analg 2001; 93: 811–6 26. Handy JM, Soni N. Physiological effects of hypercholeraemia and acidosis. Br J Anaesth 2008; 101: 141–50 27. Prowle JR, Pearse RM. Is it the end for synthetic starches in critical illness? No place for hydroxyethyl starch solutions in treatment of patients with sepsis. Br Med J 2013; 346: f1805 28. Gillies MA, Habicher M, Jhanji S, et al. Incidence of death and acute kidney injury associated with i.v. 6% hydroxyethyl starch use: systematic review and meta-analysis. Br J Anaesth 2014; 112: 25–34 29. Vervloet D, Senft M, Dugue P, Arnaud A, Charpin J. Anaphylactic reactions to modified fluid gelatins. J Allergy Clin Immunol 1983; 71: 535–40 30. Pearse RM, Harrison DA, MacDonald N, et al. Effect of a perioperative, cardiac ouput-guided hemodynamic therapy algorithm on outcomes following major gastrointestinal surgery: a randomized clinical trial and systematic review. JAMA 2014; 317: 1642–51 31. Thomas-Rueddel DO, Vlasakov V, Reinhart K, et al. Safety of gelatin for volume resuscitation—a systematic review and meta-analysis. Intensive Care Med 2012; 38: 1134–42 32. Caironi P, Tognoni G, Masson S, et al. Albumin replacement in patients with severe sepsis or septic shock. N Engl J Med 2014; 370: 1412–21
23
33. Roberts I, Blackhall K, Alderson P, Bunn F, Schierout G. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 2011; 11: CD001208. 34. Etzioni DA, Liu JH, Maggard MA, Ko CY. The aging population and its impact on the surgery workforce. Ann Surg 2003; 238: 170–7 35. Bundgaard-Nielsen M, Secher NH, Kehlet H. ‘Liberal’ vs. ‘restrictive’ perioperative fluid therapy – a critical assessment of the evidence. Acta Anaesthesiol Scand 2009; 53: 843–51 36. Pearse RM, Ackland GL. Perioperative fluid therapy. Br Med J 2012; 344: e2865 37. Jhanji S, Vivian-Smith A, Lucena-Amaro S, Watson D, Hinds CJ, Pearse RM. Haemodynamic optimisation improves tissue microvascular flow and oxygenation after major surgery: a randomised controlled trial. Crit Care 2010; 14: R151 38. Bangash MN, Patel NS, Benetti E, et al. Dopexamine can attenuate the inflammatory response and protect against organ injury in the absence of significant effects on hemodynamics or regional microvascular flow. Crit Care 2013; 17: R57 39. Agency for Healthcare Research and Quality. Esophageal doppler ultrasound based cardiac output monitoring for real time therapeutic management of hospitalized patients: a review. 2007. Available from http://www.cms.gov?Medicare/Coverage/DeterminationProcess/download s/id45TA.pdf (accessed 29 June 2017) 40. National Institute for Health and Clinical Excellence. CardiaQ-ODM oesophageal
doppler
monitor.
2011.
http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/13312/52624/52623.pdf (accessed 29 June 2017) 41. Gillies MA, Shah AS, Mullenheim J, et al. Perioperative myocardial injury in patients receiving cardiac output-guided haemodynamic therapy: a substudy of the OPTIMISE trial. Br J Anaesth 2015; 115: 227–33
24
42. Marik PE, Baram M, Vahid B. Does central venous pressure predict fluid responsiveness? A systemic review of the literature and the tale of seven mares. Chest 2008; 134: 172–8 43. Connors AF, Speroff T, Dawson NV, et al. The effectiveness of right heart catheterization in the initial care of critically ill patients. SUPPORT Investigators. JAMA 1996; 276: 889–97 44. Sandham JD, Hull RD, Brant RF, et al. A randomized, controlled trial of the use of pulmonary artery catheters in highrisk surgical patients. N Eng J Med 2003; 348: 5–14 45. Harvey S, Harrison DA, Singer M, et al. Assessment of the clinical effectiveness of pulmonary artery catheters in management of patients in intensive care (PAC-MAN). A randomised controlled trial. Lancet 2005; 366: 472–7 46. Marik PE, Cavallazzi R, Vasu T, Hirani H. Dynamic changes in arterial waveform variables and fluid responsiveness in mechanically ventilated patients: a systematic review of the literature. Crit Care Med 2009; 37: 2642–7 47. MacDonald N, Ahmad T, Mohr O, et al. Dynamic preload markers to predict fluid responsiveness during and after major gastrointestinal surgery: an observational substudy of the OPTIMISE trial. Br J Anaesth 2015; 114: 598–604 48. Reinhart J, Alexander B, Le Manch Y, et al. Evaluation of a closed loop fluid administration system based on dynamic predictors of fluid responsiveness. Crit Care 2011; 15: R278 49. Rinehart J, Lilot M, Lee C, et al. Closed-loop assisted versus manual goaldirected therapy during high-risk abdominal surgery: a case–control study with matching propensity. CritCare 2015; 19: 94 50. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, et al. Mortality after fluid bolus in African children with severe infection. N Engl J Med 2011; 364: 2483–9
25