BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan Indonesia berada diambang kehancuran. Kelompok yang paling rentan terkena dampak dari kerusakan tersebut adalah masyarakat. Salah satu dampak negatifnya adalah pencemaran udara yang mengakibatkan sulit memperoleh udara bersih yang berkualitas. Pencemaran udara sendiri mempunyai arti masuk atau masuknya makhluk hidup,zat,energi dan komponen lain kedalam udara atau berubahnya tatanan atau komposisi udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran udara tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia,kelestarian tumbuhan dan hewan,dapat
merusak
bahan-bahan
alam,menurunkan
daya
penglihatan,serta
menghasilkan bau yang tidak enak.
Salah satu organ tubuh yang rentan terinfeksi karena pencemaran udara adalah mata. Penyebab terjadinya infeksi yang terjadi pada mata adalah virus,bakteri,jamur maupun benda lain yang dengan sangat mudah menyebar melalui udara yang tercemar. Beberapa contoh penyakit mata yang sering dialami adalah infeksi mata yang merupakan kondisi mata yang merah dan bengkak disebabkan oleh agen mikrobiologi seperti virus dan bakteri. Selain itu juga ada konjungtivis (mata merah) merupakan infeksi mata yang paling sering terjadi yang disebabkan oleh proses infeksi, iritasi fisik, atau respons alergi seperti sampo, asap atu uap, berenang dikolam yang airnya mengandung klorin, penggunaan lensa kontak yang kurang tepat.
Infeksi pada mata harus harus menbutuhkan penangan yang cepat sehingga tidak menyebabkan infeksi yang berkelanjutan maupun terinfeksi pada orang lain. Sediaan yang dapat digunakan adalah sediaan steril dalam bentuk tetes mata. Obat tetes mata adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi yang digunakan dengan meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar kelopak dan bola mata. Salah satu obat yang digunakan untuk sediaan tetes mata adalah kloramfenikol.
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik yang memiliki mekanisme kerja menghambat sisntesis protein pada tingkat ribosom. Kloramfenikol juga merupakan antibiotika yang menpunyai daya anti mikroba yang kuat sehingga dapat menghambat sintesis protein kuman. Untuk penggunaan secara topikal pada mata, kloramfenikol diabsorpsi melalui cairan Mata. Jalur ekskresi kloramfenikol utamanya melalui urine. Untuk sediaan tetes mata, kloramfenikol digunakan sebanyak 0,5-1% dalam sediaan.
1.2 Tujuan 1.2.1
Tujuan Umum Tujuan umum dari pembuatan portopolio adalah mampu membuat sediaan
tetes mata dengan zat aktif Kloramfenikol dengan baik dan benar sehingga mampu diaplikasikan dengan baik saat melakukan praktikum.
1.2.2 Tujuan Khusus Tujuan Khusus dari pembuatan portipolio ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui proses dan mampu melakukan pembuatan formulasi sediaan tetes mata dengan zat aktif kloramfenikol untuk mengatasi infeksi pada mata. b. Mengetahui proses dan mampu melakukan pembuatan praformulasi sediaan tetes mata
dengan zat aktif kloramfenikol untuk mengatasi
penyakit infeksi pada mata.
1.3 Manfaat Manfaat dari pembuatan portopolio ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat bagi Masyarakat Manfaat untuk masyarakat adalah masyarakat memiliki alternatif pilihan obat dalam bentuk tetes mata terutama untuk mengobati infeksi pada mata. b. Manfaat bagi Mahasiswa Manfaat untuk mahasiswa adalah menambah kompetensi mahasiswa dalam pembuatan sediaan tetes mata. c. Manfaat bagi Institusi Manfaat bagi institusi adalah institusi semakin dikenal oleh masyarakat karena memiliki mahasiswa yang berkompeten pada bidangnya.. d. Manfaat
bagi
industri
adalah
industri
dapat
memproduksi sediaan tetes mata untuk infeksi mata.
mengembangkan
dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Penyakit 2.1.1 Definisi Penyakit Sakit mata adalah segala penyakit atau gangguan pada mata yang membuat mata menjadi terasa sakit. Walaupun bukan tergolong kedalam jenis penyakit yang mematikan, namun tetap saja, sakit mata ini dapat menganggu aktivitas kita seharihari. Selain itu, sakit mata juga dapat menyebabkan menurunnya rasa percaya diri, karena saat kita mengalaminya, biasanya mata kita akan memerah, bengkak dan belek. Sakit mata sangat mengganggu bagi penderitanya. Tentu saja mata sebagai organ yang sangat penting bagi tubuh kita sangatlah sensitif akan benda-benda kecil yang biasanya menyebabkan iritasi. Mata sangat sensitif, sehingga saat terkena debu saja, mata akan memerah dan sakit. Oleh sebab itu, sakit mata harus segera diobati agar tidak terus-menerus mengganggu aktivitas kita.
2.1.2 Penyebab infeksi pada mata Diantara penyebab infeksi mata yang sering terjadi adalah: a.
Infeksi Virus Infeksi virus biasanya berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Jika disebabkan infeksi virus, gejalanya mata akan berair, merah, gatal, bengkak dan disertai rasa mengganjal.
b.
Infeksi Bakteri Infeksi bakteri umumnya disebabkan Staphylococcus dan Pneumoccocus. Selain gejala-gejala seperti di atas, mata akan terasa sakit dan ditutupi sekret
atau belek berwarna kuning kehijauan. Mata juga sangat lengket dan sukar dibuka terutama saat bangun tidur pagi. Penderita juga merasa seperti kelilipan atau rasa mengganjal pada mata (seperti ada benda masuk ke dalam mata).
c.
Karena Alergi Alergi umumnya langsung mengenai sepasang mata, disertai rasa gatal, mata berair dan terdapat pembengkakan kelopak mata. Pada beberapa pembengkakan dan tampak gambaran seperti kantong bening berisi cairan.
d.
Kontaminasi Zat Kimia Pemakaian kosmetik dengan bahan kimia berbahaya bisa menyebabkan infeksi serius pada mata.
e.
Terjadi Luka Pada Mata Luka pada mata yang tidak mendapatkan penanganan secepatnya bisa berkembang menjadi infeksi, terutama bila penderita tidak menjaga kebersihan matanya.
2.1.3 Gejala infeksi pada mata Mata yang terinfeksi karena bakteri pada fase awal tidak menunjukkan tanda dan gejala khas setelah bakteri melakukan invasi lebih luas mata mulai merasa agak panas dan memerah, mata merasa silau ketika diberi sinar yang agak terang. Selanjutnya terasa nyeri dan mata berair bahkan terkadang ada gumpalan nanah karena antibodi mulai merespon dan tajam pengelihatan akan turun. Sedangkan tanda gejala infeksi pada mata karena virus memiliki respon time yang lebih cepat gejala sama seperti infeksi karena bakteri namun lebih berat, nyeri akan terasa lebih berat begitu juga dengan kemerahan pada mata dan mata berair lebih banyak.
Beberapa gejala lainnya: a. Mata merah Mata merah merupakan gejala dari sakit mata yang paling umum. Mata dapat menjadi merah karena mata mengalami kontak langsung dengan benda asing yang tidak steril.
b. Kotoran pada mata (air, lendir, nanah) Kotoran pada mata seperti lendir atau bahkan nanah, merupakan gejala infeksi mata yang cukup parah. Hal ini terjadi karena infeksi yang terjadi dimata benar-benar sudah parah sehingga sel darah putih tidak mampu mengatasinya dan terbentuklah nanah dimata.
c. Mata tidak nyaman/sakit Mata juga akan terasa tidak nyaman dan sakit karena terjadi infeksi di dalam mata. Terkadang mata juga seperti kekurangan air atau mengalami kekeringan sehingga mata terasa sakit jika terbuka terlalu lama.
d.
Mata bengkak atau pembengkakan di daerah sekitar mata Pembengkakan di sekitar mata juga merupakan salah satu gejala dari sakit mata. Pembengkakan ini lebih tertuju pada efek dari rasa tidak nyaman maupun sakit yang diderita oleh mata. Pembengkakan bisa terjadi karena mata terlalu sering diusap.
e. Gatal yang terus menerus Gatal yang terjadi dimata diakibatkan karena adanya kotoran atau infeksi ringan pada mata sehingga menimbulkan rasa gatal di mata.
f. Penglihatan buram Penglihatan buram juga menjadi salah satu gejala mata yang mengalami iritasi. Hal ini karena iritasi yang terjadi di mata sudah cukup parah, sehingga berpengaruh pada fungsi kerja mata. Jika gejala ini terus-menerus terjadi, sebaiknya segera diperiksakan ke dokter spesialis mata.
g. Kelopak mata mengelupas Gejala yang satu ini merupakan gejala yang sudah sangat darurat. Infeksi dan iritasi yang terjadi dimata sudah pada tahap serius. Bukan hanya sekedar mata kering atau buram pada mata, tapi kelopak mata yang sudah sampai mengalami pengelupasan. Bukan pengelupasan secara total melainkan mengelupas secara perlahan. Biasanya jika sudah sampai tahap ini, penderita harus menjalani operasi, tergantung dari seberapa parah pengelupasan yang terjadi di kelopak mata.
2.1.4 Akibat Infeksi Mata Infeksi mata sering terjadi pada kita, baik itu karena debu ataupun karena adanya bakteri atau virus yang masuk ke kelopak mata. Infeksi mata akibat debu, biasanya hanya akan menimbulkan iritasi ringan pada mata. namun, jika bakteri atau virus yang menyerang mata, maka gejala yang ditimbulkan biasanya akan lebih serius. Untuk infeksi mata yang sudah parah, bisa mengakibatkan kebutaan dan kerusakan mata parah. Jika infeksi yang terjadi dimata sudah terlalu parah, maka harus dilakukan pengangkatan bola mata atau operasi agar mencegah penyebaran infeksi yang lebih parah lagi.
2.2 Kajian Zat aktif 2.2.1 Definisi Zat aktif
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik yang memiliki mekanisme kerja menghambat sisntesis protein pada tingkat ribosom. Obat ini mengikatkan dirinya pada situs-situs terdekat pada subunit 50S dari ribosom RNA 70S. Kloramphenikol menyekatkan ikatan persenyawaan aminoacyl dari molekul tRNA yang bermuatan ke situs aseptor kompleks mRNA ribosom. Ikatan tRNA pada kodon-nya tidak terpengaruh. Kegagalan aminoacyl untuk menyatu dengan baik dengan situs aseptor menghambat reaksi transpeptidase yang dikatalisasi oleh peptidyl transferase. Peptida yang ada pada situs donor pada kompleks ribosom tidak ditransfer ke asamamino aseptornya, sehingga sintesis protein terhenti Untuk penggunaan secara topikal pada mata, kloramfenikol diabsorpsi melalui cairan.
2.2.2 Mekanisme kerja kloramfenikol Menghambat sintesis protein pada mikroorganisme dengan berikatan pada subunit ribosom 50 S, sehingga menghambat pembentukan ikatan peptide.
2.2.3 Dosis kloramfenikol Untuk sediaan tetes mata, Kloramfenikol digunakan sebanyak 0,5-1% dalam sediaan.
2.2.4 Efek samping Efak samping yang ditimbulkan kloramfenikol antara lain adalah depresi sumsum tulang belakang ,yang menimbulkan kelainan darah yang serius,seperti amenia aplastic,granulositopenia,trombositopenia.selaim itu,obat ini juga dapat menyebabkan gangguan saluran cerna dan reaksi hipersensitivitas.Oleh karena itu kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk pengobatan infeksi yang bukan indikasinya. Rasa pedih dan terbakar mungkin terjadi saat aplikasi kloramfenikol pada mata. Reaksi hipersensitivitas dan inflamasi termasuk konjunctivitis, terbakar, angioneuro edema, urtikaria vesicular/ maculopapular dermatitis (jarang terjadi).
2.2.3 Interaksi kloramfenikol Interaksi yang terjadi pada kloramfenikol dalam tubuh adalah sebagai berikut: a. Kloramfenikol menghambat enzim metabolisme hati yaitu Cytochrome P450 sehingga memperlama waktu paruh dari obat-obat yang dimetabolisme dengan enzim ini. Contohnya antara lain obat antikoagulan seperti Dicoumarol dan Warfarin, Chlorpropamide, Tolbutamide, Antiretriviral protease inhibitor dan Phenytoin.
b. Metabolisme kloramfenikol ditingkatkan dengan adanya inducer dari enzim metabolisme hati (Cyt P450) seperti Phenobarbital dan rifampicin, menyebabkan waktu paruh dari kloramfenikol menjadi pendek.
c. Kloramfenikol dapat menurunkan efek dari seng dan vitamin B12 pada pasien anemia dan mengganggu kerja dari obat oral kontrasepsi.
2.3 Tinjauan Sediaan 2.3.1 Defenisi sediaan tetes mata Menurut FI IV halaman 12, Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada mata. Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas bahan obat, nilai isotonisitas, kebutuhan akan dapar, kebutuhan akan pengawet (dan jika perlu pemilihan pengawet) sterilisasi dan kemasan yang tepat. Perhatian yang sama juga dilakukan untuk sediaan hidung dan telinga.
2.3.2 Sejarah Sediaan Tetes mata Sediaan yang ditujukan untuk mengobati penyakit mata telah ditemukan sejak dahulu. Istilah “collyria” diberikan oleh bangsa Yunani dan Romawi terhadap bahanbahan yang dapat larut dalam air, susu atau putih telur yang dapat digunakan sebagai tetes mata. Pada abad pertengahan, tetes mata digunakan untuk memperbesar (dilatasi) pupil. Sebelm Perang Dunia II, sediaan obat mata sangat sedikit tersedia di pasaran. Pada tahun 1950 hanya tiga sediaan obat mata yang masuk dalam US Pharmacopoeia (USP) XIV. Sediaan obat mata biasanya dibuat pada farmasi komunitas atau farmasi rumah sakit dengan stabilitas yang terbatas hanya untuk beberapa hari saja. Pada tahun 1953, U.S.Food Drug Administration (FDA) menemukan bahwa larutan obat malam non steril telah dipalsukan. Produk-produk obat mata steril tersedia sebelum pertengahan tahun 1950-an, namun pentingnya sterilitas untuk obat tetes mata masih belum dikenal secara resmi sampai tahun 1955 ketka panduan resmi pertama kali memasukkan persyaratan sterilitas. Saat ini, jenis-jenis bentuk sediaan formulasi obat mata adalah mulai dari larutan yang sederhana sampai dengan sistem peghantaran kompleks. Pada tahun 1990-an produk-produk biologi dalam bentuk protein komplek diharapkan berperan
lebih besar dalam hal seperti faktor pertumbuhan. Imono modulator dan lain-lain. Masing-masing membutuhkan formulasi yang khusus.
2.3.3 Keuntungan dan kerugiaan sediaan tetes mata 2.3.3.1 Keuntungan dari sediaan tetes mata Secara umum larutan berair seperti tetes mata lebih stabil dari pada sediaan salepmeskipun salep dengan obat yang larut dalam lemak diabsorpsi lebih baik dari larutan/salep yang obat-obatnya larut dalam air.
2.3.3.2 Kerugian dari sediaan tetes mata Kerugian yang prinsipil dari larutan tetes mata adalah waktu kontak yang elative singkat antara obat dan permukaan yang terabsorsi (RPS 18 th : 1585 ). Bioavailabilitas obat mata diakui buruk jika larutannya digunakan secara topical untuk kebanyakan obat kurang dari 1-3% dari dosis yang dimasukkan melewati kornea.Sampai ke ruang anterior. Sejak boavailabilitas obat sangat lambat, pasien mematuhi aturan dan teknik pemakaian pemakaian yang tepat.
2.3.4 Persyaratan sediaan tetes mata Persyaratan untuk sediaan steril tetes mata dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Steril Sediaan tetes mata haruslah steril karena akan kontak langsung dengan cairancairan mata yang bersifat steril. Jika sediaan tetes mata tidak steril, itu justru akan mengakibatkan infeksi atau iritasi pada mata yang diberi tetes mata.
b. Dalam pembawa yang mengadung germisidal untuk meningkatkan sterilitas Tidak semua bahan memiliki tingkat sterilitas yang baik. Untuk membuat sediaan tetes mata dengan menggunakan bahan aktif yang sesuai, maka dalam tetes mata perlu ditambah bahan germisidal untuk meningkatkan sterilitas sediaan. Misalnya saja antara Asam Sitrat dan Natrium Fosfat.
c. Bebas dari partikel yang tersuspensi Untuk membuat tetes mata, tentu harus membuat larutan yang memiliki zat aktif yang larut dalam pelarut. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengendapan zat aktif saat sudah kontak langsung dengan mata.
d. Bahan-bahan yang akurat Bukan sembarang bahan bisa dibuat untuk sediaan steril tetes mata. bahan yang digunakan haruslah benar-benar memiliki indikasi yang tepat agar dapat memberikan efek terapi yang cepat pada mata. penggunaan bahan-bahan yang kurang akurat atau efisien pun hendaknya dikurangi karena akan memengaruhi sterilitas sediaan.
e. Isotonik atau sangat mendekati isotonic Semua sediaan steril hendaknya memiliki sifat isotonik karena sediaan steril akan langsung masuk ke pembuluh darah. Jika sediaan steril yang kita buat tidak memiliki sifat isotonik atau sangat mendekati isotonik, maka akan menyebabkan rasa nyeri karena adanya perbedaan tekanan osmotik pada pembuluh darah.
f. Dimasukkan dalam wadah yang steril Untuk sediaan steril, tentu bukan sembarang wadah dapat digunakan untuk wadah sediaan steril. Tentunya harus dalam wadah yang steril juga untuk menjaga sterilitas sediaan. Jangan sampai sediaan steril kita menjadi tidak steril hanya dikarenakan wadah yang kita gunakan tidak steril.
g. Dimasukkan dalam wadah yang kecil dan praktis Sediaan steril sangat rentan rusak karena berbentuk larutan. Larutan sangat rentan dengan pertumbuhan mikroorganisme apalagi jika sudah kontak langsung dengan udara. Untuk menghindari rusaknya sediaan steril yang dibuat, maka umumnya sediaan steril dibuat dalam jumlah kecil dan dimasukkan kedalam wadah yang kecil pula. Hal ini dilakukan agar sterilitas dari sediaan tetap terjaga.
2.3.5
Penggolongan sediaan tetes mata
Sediaan tetes mata terbagi menjadi beberapa jenis, berikut ini adalah penggolongan dari sediaan steril tetes mata: a. Obat mata sebagai anti-infektif dan antiseptic Obat mata golongan antiseptik dan antiinfeksi digunakan pada gangguan mata karena adanya infeksi oleh mikroba, masuknya benda asing ke dalam kornea mata atau kornea mata luka/ulkus. Kandungan obat antiseptik dan antiinfeksi mata selain pembawa yang harus steril dan inert (tidak menimbulkan efek pada mata atau tidak bereaksi dengan zat aktifnya/obat) dalam bentuk tetes mata, juga zat aktifnya merupakan antibiotik atau antiseptik atau antivirus dengan berbagai golongan. Contohnya : Albucetine eye drop 5 ml, 10 ml, 15 ml, dan oint 3,5 g
b. Obat mata mengandung corticosteroid Obat mata yang mengandung corticosteroid merupakan obat mata yang paling sering digunakan untuk mengatasi gejala inflamasi pada mata. hal ini dikarenakan corticosteroid memiliki efek yang cepat dalam hal antiinflamasi. Namun menurut penelitian terbaru, penggunaan corticosteroid juga berbahaya karena dapat menyebabkan kebutaan pada mata bahkan kerusakan pada organ-organ tubuh. Contohnya : Celestone eye drop 5 ml
c. Obat mata sebagai antiseptik dengan corticosteroid Obat mata sebagai antiseptik dengan corticosteroid biasanya digunakan oleh penderita sakit mata dengan infeksi dan proses peradangan. Antiseptik digunakan untuk menghentikan infeksi dan corticosteroid digunakan untuk menghentikan proses peradangan pada mata.
Contohnya : Cendo Xitrol 5 ml dan 10 ml
d. Obat mata mempunyai efek midriatik Obat mata yang mempunyai efek midriatik biasanya digunakan untuk memperlebar pupil, biasanya digunakan bila akan dilakukan pemeriksaan pada mata untuk melihat detail mata. Tetes mata dengan efek midriatik secara temporer akan menstimulasi pelebaran otot iris pada mata. Selain itu, obat ini juga biasa digunakan salam operasi mata dalam rangka untuk menghindari luka gores. Contohnya : Cendo Tropine 5 ml, 10 ml dan 15 ml
e. Obat mata mempunyai efek miotik Obat mata dengan efek miotik digunakan dengan tujuan konstriksi atau memperkecil pupil mata. obat jenis ini bertolak belakang dengan penggunaan tetes mata midriatik. Contohnya : Cendo Carpine 5 ml, 10 ml dan 15 ml
f. Obat mata mempunyai efek glaucoma Obat mata yang memiliki efek glucoma digunakan untuk mencegah peningkatan Tekanan Intra Okular yang berakibat pada perubahan patologis optik mata yang dapat menyebabkan kebutaan. Contohnya : Isotic Adretor 5 ml
g. Obat mata mempunyai efek lain Obat mata yang mempunyai efek lain biasanya digunakan oleh pasien yang menderita kelainan pada mata atau infeksi parah pada mata sehingga biasanya menggunakan tetes mata dengan kombinasi beberapa golongan obat mata. Contohnya : Catarlent eye drop 15 ml
2.3.6 Kekhususan sediaan tetes mata Sediaan steril tetes mata memiliki beberapa kekhususan yaitu sebagai berikut: a. Steril Larutan mata yang dibuat dapat membawa banyak organisme, yang paling berbahaya adalah Pseudomonas aeruginosa. Infeksi akibat organisme ini adalah kebutaan. Ini khususnya berbahaya untuk penggunaan produk nonsteril di dalam mata ketika kornea mata dibuka. Bahan-bahan partikular dapat mengiritasi mata, ketidaknyamanan pada mata pun akan terjadi.
b. Harus isotonis Tonisitas adalah tekanan osmotik yang diberikan oleh garam dalam larutan berair. Larutan mata adalah isotonik dengan cairan lain ketika sifat koligatif larutan adalah sama. Larutan yang dipertimbangkan isotonik ketika tonisitasnya sama dengan larutan NaCl 0,9%.
c. pH Cairan mata memiliki pH dengan rentang antara 5,2 – 8,3. Sehingga tetes mata yang memiliki pH berkisar itu masih memiliki toleransi untuk digunakan. pH menjadi sangat penting untuk sediaan tetes mata karena nantinya tets mata akan kontak langsung dengan cairan mata yang juga memilik pH khusus. Jika pH tetes mata tidak sama dengan pH yang ada di cairan mata, maka akan menyebabkan rasa nyeri pada daerah sekitar mata karena adanya perbedaan tekanan osmotik dalam pembuluh darah.
d. Wadah Wadah untuk tetes mata sebaikmya digunakan dalam unit kecil, tidak lebih besar dari 15 ml. Penggunaan wadah kecil tentu memperpendek waktu pengobatan yang akan dijaga oleh pasien dan meminimalkan jumlah pemaparan kontaminasi terhadap sediaan. Tipe wadah yang biasa digunakan untuk tetes mata adalah vertikal dilipat ambar atau gelas botol hijau layak dengan bakelite yang membawa tube tetes dengan sebuah pebtil dan kemampuan untuk ditutup sebagaimana untuk menahan mikroorganisme. Selain itu, wadah yang digunakan juga harus melindungi isi bahan terhadap cahaya. Hal ini dikarenakan banyak bahan obat yang sensitif terhadap cahaya. Cahaya dapat mengganggu kestabilan pH dalam larutan tetes mata. Wadah nongelas tidak boleh bereaksi dengan obat-obat atau partikel lain yang menjadi isi dari larutan.
2.4 Studi Praformulasi dan Formulasi 2.4.1
Zat Aktif Zat aktif adalah zat yang sangat penting dari sebuah formulasi. Hal ini dikarenakan zat aktif inilah yang akan bekerja dalam tubuh dan memberikan efek terapi dalam tubuh. Pemilihan zat aktif dalam sediaan steril ini tidak boleh sembarangan karena sediaan steril ini akan langsung masuk kedalam pembuluh darah dan didistribusikan langsung keseluruh tubuh. Jika salah memilih zat aktif, tentu jika terjadi efek toksisitas akan sulit untuk diatasi. Contoh zat aktif untuk tetes mata adalah kloramfenikol.
2.4.2
Zat Tambahan
2.4.2.1 Pengisotonis Sediaan tetes mata sebaiknya dibuat mendekati isotonis agar dapat diterima tanpa rasa nyeri dan tidak dapat menyebabkan keluarnya air mata, yang dapat mencuci keluar bahan obatnya. Untuk membuat larutan mendekati isotonis, dapat
digunakan medium isotonis atau sedikit hipotonis, umumnya digunakan natriumklorida (0,7-0,9%) atau asam borat (1,5-1,9%) steril. Tonisitas menggambarkan tekanan osmose yang diberikan oleh suatu larutan (zat padat yang terlarut di dalamnya). Suatu larutan dapat bersifat isotonis, hipotonis, atau hipertonis. NaCl 0,9 % sebagai larutan pengisotoni .Tidak semua sediaan steril harus isotonis, tapi tidak boleh hipotonis, beberapa boleh hipertonis. Pengaturan tonisitas adalah suatu upaya untuk mendapatkan larutan yang isotonis. Upaya tersebut meliputi pengaturan formula sehingga formula yang semula hipotonis menjadi isotonis,dan langkah kerja pengerjaan formula tersebut. Ada dua kelas untuk pengaturan tonisitas : 1. Metode Kelas satu Dari formula yang ada (termasuk jumlah solvennya) dihitung tonisitasnya dengan menentukan ΔTf – nya, atau kesetaraan dengan NaCl. Jika ΔTf-nya kurang dari 0,52O atau kesetaraannya dengan NaCl kurang dari
0,9 %,
dihitung banyaknya padatan NaCl, yang harus ditambahkan supaya larutan menjadi isotonis. Cara pengerjaannya semua obat ditimbang, ditambah NaCl padat, diatamabah air sesuai formula. Metode kelas satu meliputi metode kriskopik (penurunan titik beku), perhitungan dengan faktor disosiasi dan metode ekuivalensi NaCl . 2. Metode Kelas Dua Dari formula yang ada (selain solven) hitung volume larutannya yang memungkinkan larutan menjadi isotonis.
Jika volume ini lebih kecil dari pada
volume dalam formula, artinya larutan bersifat hipotonis.
Kemudian hitunglah
volume larutan isotonis, atau larutan dapar isotonis, yang ditambahkan berupa larutan NaCl 0,9%, bukan padatan NaCl, misalnya NaCl 0,9 % yang harus ditambahkan dalam formula tadi untuk mengganti posisi solven selisih volume formula dan volume larutan isotonis. Metode kelas dua meliputi metode WhiteVincent dan metode Sprowls.
Pengisotonis yang dapat digunakanadalah NaCl, KCl, glukosam gliserol dan dapar (Codex, 161-165). Rentang tonisitas yang masih dapat diterima oleh mata: FI IV : 0,6-2,0 %
RPS dan RPP
: 0,5-1,8 %
AOC
Codex dan Husa
: 0,7-1,5 %
: 0,9-1,4 %
Tapi usahakan berada pada rentang 0,6-1,5% (Diktat kuliah teknologi steril Tonisitas suatu cairan terhadap cairan tubuh dapat dihitung dengan menggunakan beberapa cara yaitu : (Martin, 1990).
1. Penurunan Titik Beku Penurunan titik beku suatu larutan bergantung pada jumlah bagian-bagian yang terlarut dalam larutan. Untuk larutan encer penurunan titik beku kira-kira sebanding dengan tekanan osmosa. Jadi penurunan titik beku larutan dapat digunakan untuk mengukur kepekatan larutan, karena makin pekat larutan maka makin tinggi pula penurunan titik bekunya. Penurunan titik beku yang dipakai untuk perhitungan isotonis, berdasarkan anggapan bahwa larutan isotonis mempunyai titik beku yang sama dengan titik beku cairan tubuh. Sedangkan penurunan titik beku darah adalah – 0,520C.
2. Faktor Disosiasi Ada tiga faktor yang dipertimbangkan dalam perhitungan dengan cara ini, yaitu : a. Persen zat dalam larutan, dinyatakan dalam berat/volume b. Berat molekul zat-zat terlarut c. Derajat disosiasi zat yang mendekati keadaan sebenarnya
3. Ekivalen NaCl Ekivalen dari NaCl (E) adalah gram NaCl yang memberikan tekanan osmosa yang sama dengan 1 gram dari sesuatu zat terlarut tertentu. Contohnya bila harga E untuk amfetaminasulfat 0,20 artinya 1 gram amfetamina sulfat dalam larutan memberikan tekanan osmosa yang sama dengan 0,20 gram NaCl. Tetapan E ini
diturunkan oleh Wells dari angka penurunan titk beku molal. Hal ini berdasarkan bahwa penurunan titik beku molal sebanding dengan perbandingan penurunan titik beku zat terlarut dengan kadar molal.
2.4.2.2 Buffer / pH adjustment pH dan buffer pada larutan optalmik sama pentingnya dengan pengawet karena stabilitas pada kebanyak obat optalmik yang digunakan dikontrol oleh pH lingkungan. Jenis-jenis Buffer untuk Sediaan Mata (DOM, Scoville’s) Scoville’s, 230-233
· -
Sistem buffer Hind-goyan Dalam sebuah percobaan untuk memecahkan masalah dasar ini, hind dan
goyan menyarankan sistem buffer yang harus dipertimbangkan dari dari kapasitas buffer, konsentrasi ion hydrogen, efek osmotic, konsentrasi equlibrium pada dasar berbeda dan stabilitas kimia. Hind dan goyan telah membagi obat optalmik yang umum digunakan kedalam dua grup utama dan direkomendasikan system buffur untuk grup lain. Larutan buffer yang digunakan untuk dispense obat grup satu adalah asam borat dengan benzal konium klorida 1: 10.000 sebagai pengawet.
Ada beberapa pembaggian buffer untuk sediaan steril ini, yaitu sebagai berikut: a. Buffer sistem Gifford Kemungkinan satu atau lebih digunakan sistem buffer untuk collyria yaitu Gifford yang memodifikasi system buffer untuk atkins dan pankin. sistem buffer ini sering digunakan, system buffer ini relative tidak stabil dan banyak inkompatibel dengan umumnya penggunaan pengawet membuat sistem buffer ini kurang baik disbanding system buffer lainnya. Sistem buffer ini terdiri asam borat-larutan potassium klorida yang ditambahkan jumlah berfariasi dari larutan sodium karbonat untuk menghasilkan pH yang diinginkan.
b.
Modifikasi buffer palitzsch System bffur borat ini dikatakan sangat stabil. Ini merupakan pembawa yang
baik untuk obata mata, seperti cairan lensa kontak (pH 8-8,8), dan pencuci mata basa. Ini isotonic dengan 0,9% sodium klorida. Buffer ini dapat di siapkan dengan penggunaan benzalkonium klorida 1:10000 sebagai pengawet. Sistem buffer borat palitzsch ini telah diatur dengan hind dan goyan menjadi isotonic dengan sodium klorida. DOM, 888-890 c. Dapar dan reaksi rasa sakit Hind dan Goyan menyarankan bahwa rasa skit dan iritasi disebabkan oleh tetes mata yang dihubungkan dengan kosentrasi dari larutan basa bebas. Pada umumnya suatu larutan garam alkaloid menjadi lebih iritan seperti yang dibuat dengan alkali lebih. d. Dapar dan stabilitas Larutan garam normal adalah pembawa biasa untuk obat mata dan ini lebih memuaskan. Stabilitas obat dapat dipengaruhi oleh kurangnya kapasitas penetralan kendaraannya. misalnya, jika wadah di mana solusi disalurkan terbuat dari kaca kapur, sejumlah kecil dasar natrium silikat mungkin resapan dari gelas kapur ke dalam larutan Larutan natrium klorida isotonik, kurang kapasitas buffer, tidak akan berpengaruh pada setiap reaksi alkali yang berkembang dalam botol. dalam situasi ini larutan asam borat merupakan pengganti berguna dengan alkaloid yang asam lemah dari asam borat (pKa 9,2). e. Dapar dan efek terapi Sebagai larutan oftalmik dibuat lebih basa, meningkatkan jumlah lipid larut, bebas dasar alkaloid dari dalam larutan dan mampu menembus ke dalam kornea. menyadari hal ini kerugian fisiologis, Floyd et al, Ulasan ini hasil sebelumnya dan mencoba untuk mengevaluasi signifikansi klinis mereka. mereka menggunakan dua tetes dari 1% larutan pilocarpine hidroklorida diketahui pH setiap mata yg diuji, dan mengukur respon miotic di ruang gelap. reaksi terhadap larutan yang dibuat pada dua tingkat pH yang berbeda dibandingkan. dalam kelompok pertama, pH adalah 4,0-4,2
dengan normal saline, asam borat, asam fosfat atau natrium sebagai kendaraan. kurang dari 0,5% dari molekul berada di dasar bebas dari dalam larutan tersebut. dalam kelompok kedua pH diperkirakan rentang fisiologis (6,6-7,4). dalam larutan ini 40 sampai 60% dari molekul berada dalam bentuk dasar.
2.4.2.3 Pengawet Larutan obat mata dapat dikemas dalam wadah takaran ganda bila digunakan secara perorangan pada pasien dan bila tidak terdapat kerusakan pada permukaan mata. Wadah larutan obat mata harus tertutup rapat dan disegel untuk menjamin sterilitas pada pemakaian pertama. Sedangkan untuk penggunaan pembedahan, disamping steril, larutan obat mata tidak boleh mengandung antibakteri karena dapat mengiritasi jaringan mata. (FI IV hal 13) Kontaminasi pada sediaan mata dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Misalnya menyebabkan radang kornea mata. Kontaminan yang terbesar adalah Pseudomonas aeruginosa. Organisme lain yang bisa mengjasilkan infeksi pada kornea seperti golongan proteus yang telah diketahui sebagai kontaminan dalam larutan metil selulosa. Selain bakteri, fungi juga merupakan kontaminan. Misalnya Aspergilus fumigatus. Virus juga merupakan kontaminan seperti herpes simplex. Umumnya pengawet tidak cocok dengan virus. Pengawet yang dipilih seharusnya mencegah dan membunug pertumbuhan mikroorganisme selama penggunaan. Pengawet yang sesuai untuk larutan obat tetes mata hendaknya memiliki sifat sebagai berikut: a)
Bersifat bakteriostatik dan fungistatik. Sifat ini harus dimiliki terutama
terhadao Pseudomonas aeruginosa. b)
Non iritan terhadap mata (jaringan okuler yaitu kornea dan konjungtiva)
c)
Kompatibel terhadap bahan aktif dan zat tambahan lain yang dipakai.
d)
Tidak memiliki sifat alergen dan mensensitisasi.
e) sediaan.
Dapat mempertahankan aktivitasnya pada kondisi normal penggunaan
Kombinasi pengawet yang biasanya digunakan adalah: a)
Benzalkonium klorida + EDTA
b)
Benzalkonium klorida + Klorobutanol/ feniletilalkohol/ fenilmerkuri nitrat
c)
Klorobutanol +EDTA / paraben
d)
Tiomerasol + EDTA
e)
Feniletilalkohol + paraben
Catatan: a)
Garam merkuri dan thimerosal merupakan pengawet alternatif untuk
mengganti benzalkonium klorida jika benzalkonium klorida tidak bisa dipakai. b)
Garam fenil merkuri digunakan sebagai pengawet untuk salisilat dan nitrat
dan larutan garam fisostigmine dan efinefrin yang mengandung 0,1% Na-sulfit. c)
Zink sulfat OTT dengan semua pengawet kecuali asam borat, tapu asam
borat dilarang penggunaannya oleh POM.
Sifat pengawet yag ideal : a. Agen harus mempunyai spektrum yang luas dan aktif melawan bakteri gram positif dan gram negative maupun fungi. Agen harus mendesak cepat aktivitas bakterisida terutama melawan bakteri yang telah diketahui dapat mematikan seperti Paeruginosa strain. b. Agen harus stabil pada kondisi rentang yang luas termasuk temperature autoklaf dan rentang pH. c. Kompabilitas, harus sesuai dengan komponen sediaan dan sistem pengemasan d. Ketiadaan dari toksiksitas dan iritasi harus ditetapkan dengan batas layak keamanan. e. Harus bersifat bakteriostatik dan fungistatik. Dia harus secara spesifik melawan Pseudomonas aeruginosa (B. pyocyaneus) karena pentingnya organisme ini dalam tetes mata.
f. Tidak boleh megiritasi jaringan pada mata. Pengawet tidak boleh mengiritasi kornea atau konjungtiva pada saat pemberian berulang, maupun tidak menyebabkan kerusakan sel-sel epitel. g. Harus kompatibel/sesuai dengan kebanyakan obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan penyakit mata. h. Tidak menyebabkan respon alergi atau kecenderungan sensitivitas. i. Harus menjaga aktivitasnya secara tidak terbatas dibawah kondisi normal pemakaiannya.
2.4.2.4 Pendapar Secara ideal larutan obat mata mempunyai pH dan isotonisitas yang sama dengan air mata. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena pada pH 7,4 banyak obat yang tidak cukup larut dalam air. Sebagian besar garam alkaloid mengendap sebagai alkaloid bebas pada pH ini. Selain itu banyak obat tidak stabil secara kimia pada pH mendekati 7,4 (FI III 13). Tetapi larutan tanpa dapar antara pH 3,5 – 10,5 masih dapat ditoleransi walaupun terasa kurang nyaman. Di luar rentang pH ini dapat terjadi iritasi sehingga mengakibatkan peningkatan lakrimasi (Codex, 161-165). Rentang pH yang masih dapat ditoleransi oleh mata menurut beberapa pustaka: 4,5-9,0 menurut AOC; 3,5-8,5 menurut FI IV Syarat dapar (Codex, 161-165): a) b)
Dapat menstabilkan pH selama penyimpanan Konsentrasinya tidak cukup tinggi sehingga secara signifikan dapat
mengubah pH air mata c)
Menurut Codex, dapar yang dapat digunakan adalah dapar borat, fosfat dan
sitrat. Tapi berdasarkan Surat Edaran Dirjen POM tanggal 12 Oktober 1999, asam borat tidak boleh digunakan untuk pemakaian topikal/lokal karena resiko toksisitasnya lebih besar dibandingkan khasiatnya untuk penggunaan topikal. Jadi, dapar yang boleh digunakan untuk sediaan optalmik hanya dapar fosfat dan sitrat. d)
Dapar yang digunakan sebaiknya dapar yang telah dimodifikasi dengan
oenambahan NaCl yang berfungsi untuk menurunkan kapasitas daparnya.
2.4.2.5 Peningkat Viskositas Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemilihan bahan peningkat viskositas untuk sediaan optalmik adalah: a) Sifat bahan peningkat viskositas itu sendiri. Misalkan Polimer mukoadhesif (asam hyaluronat dan turunannya; carbomer) secara signifikan lebih efektif dari pada polimer non mukoadhesif pada konsentrasu equiviscous. b) Perubahan pH dapat mempengaruhi aktivitas bahan peningkat viskositas. c) Penggunaan produk dengan viskositas tinggi kadang tidak ditoleransi oleh mata dan menyebabkan terbentuknya deposit pada kelopak mata; sulit bercampur dengan air mata; atau mengganggu difusi obat. d) Penggunaan peningkat viskositas dimaksudkan untuk memperpanjang waktu kontak antara sediaan dengan kornea sehingga jumlah bahan aktif yang berpenetrasi dalam mata akan semakin tinggi sehingga menambag efektivitas terapinya. Viskositas untuk larutan obat mata dipandang optimal jika berkisar antar 1525 cps. Peningkatan viskositas yang biasa dipakai adalah metilselulosa 4000 cps sebanyak 0,25% atau 25 cps sebanyak 1%, HPMC atau polivinil alkohol (Ansel, 548552). Menurut Codex, dapat digunakan metil selulosa, polivinil alkohol, PVP, dekstran and makrogol. CMC Na jarang digunakan karena tidak tahan terhadao elektrolit sehingga kekentalan menurun, kadang tidak tercampurkan dengan zat aktif. Pada umumnya penggunaan senyawa selulosa dapat meningkatkan penetrasi obat dalam tetes mata, demikian juga dengan PVP dan dekstran. Jadi, pemilihan bahan pengental dalam obat tetes mata didasarkan pada: a) Ketahanan pada saat sterilisasi b) Kemungkinan dapat disaring c) Stabilitas d) Ketidak bercampuran dengan bahan-bahan lain. Contoh peningkat viskositas: a) Hidroksipropil metilselulosa = hypromellose (HPMC)
b) Metilselulosa c) Polivinil alkohol
2.4.2.6 Antioksidan Zat aktif untuk sediaan mata ada yang dapat teroksidasi oleh udara. Untuk itu kadang dibutuhkan antioksidan. Antioksidan yang sering digunakan adalah Na metabisulfit atau Na sulfit dengan konsentrasi sampai 0,3%. Vitamin C (asam askorbar) dan asetilsistein pun dapat dipakai terutama untuk sediaan fenilfrin. Dengan oksidatif seringkali dikatalisa oleh adanya logam berat, maka dapat ditambahkan pengkelat seperti EDTA. Penggunaan wadah plastik yang permeabel terhadap gas dapat meningkatkan proses oksidatif selama penyimpanan (Codex, 161-165) Contoh antioksidan a) Natrium metabisulfit b) Natrium bisulfit c) Natrium sulfit d) Asam askorbat
2.4.2.7 Surfaktan Pemakaian surfaktan dalam obat tetes mata harus memenuhi berbagai aspek: a)
Sebagai antimikroba (surfaktan golongan kationik seperti benzalkonium
klorida, setil piridinium klorida, dll) b)
Menurunkan tegangan permukaan antara obat mata dan kornea sehingga
meningkatkan aksi terapiutik zat aktif. c) Meningkatkan ketercampuran antara obat tetes mata dengan cairan lakrimal. Meningkatkan kontak zat aktif dengan kornea dan konjungtiva sehingga meningkatkan penembusan penyerapan obat. d) Tidak boleh meningkatkan pengeluaran air mata, tidak boleh iritan dan merusak kornea. Surfaktan golongan non ionik lebih dapat diterima dibandingkan dengan surfaktan golongan lainnya.
e) Penggunaan surfaktan dalam sediaan optalmik terbatas. Surfaktan non ionik yang paling tidak toksik dibanding golongan lain, digunakan dalam konsentrasi yang rendah dalam suspensi steroid dan sebagai pembatu untuk membentuk larutan yang jernih. f)
Surfaktan dapa juga digunakan sebagai kosolben untuk meningkatkan
solubilitas (jarang dilakukan). Surfaktan nin ionik dapat mengadsorpsi senyawa pengawet antimikroba dan menginaktifkannya. Menurut codex, surfaktan non ionik yang sering dipakai adalah polisorbat 80 (Tween 80). Sedangkan menurut diktat kuliah teknologi steril daoat juga digunakan Tween 20, benzetonium klorida, miristilgamma-picolinium klorida, polioxil 40-stearat, alkil-aril-polietil alkohol, dioktil sodium sulfosuksinat, dll.
2.4.2.8 Pembawa Tetes mata optalmik dengan beberapa pengecualian, cairan cairan menggunakan air yang dimurnikan USP sebagai pelarut. Air untuk injeksi tidak diperlukan dalam sediaan parenteral. Air yang dimurnikan standar USP mengandung destilasi, deionisasi, atau osmosis balik. Semua tetes mata harus steril.
2.5 Praformulasi Praformulasi adalah tahap awal dalam rangkaian proses pembuatan sediaan farmasi yang berpusat pada sifat-sifat fisika kimia zat aktif dimana dapat mempengaruhi penampilan obat dan perkembangan suatu bentuk sediaan farmasi.
2.5.1 Persyaratan mutu Persyaratan mutu yang harus dimiliki oleh bahan-bahan dalam sediaan steril tetes mata adalah sebagai berikut: a. Dapat diterima Dapat diterima artinya memiliki estetika, penampilan, bentuk yang baik serta menarik sehingga menciptakan rasa nyaman pada saat penggunaan.
b. Aman Aman artinya sediaan yang kita buat harus ama secara fisiologis maupun psikologis, dan dapat meminimalisir suatu efek samping sehingga tidak lebih toksik dari bahan aktif yang belum diformulasi. c. Efektif Efektif artinya sebagai dalam jumlah kecil mempunyai efek yang optimal. Jumlah dosis pemakaian sekali pakai selama sehari selama pengobatan harus mampu mencapai reseptor dan memberikan efek yang dikehendaki. Sediaan yang efektif adalah sediaan yang apabila digunakan menurut aturan pakai yang disarankan akan menghasilkan efek farmakologi yang optimal untuk tiap-tiao bentuk sediaan dengan efek samping minimal. d. Stabilitas fisika Stabilitas fisika meliputi sifat fisik sediaan seperti organoleptis dan kelarutan. e. Stabilitas kimia Stabilitas kimia meliputi sifat kimia sediaan, seperti pH dan sifat kimia bahan tambahan yang akan memengaruhi perubahan warna pada sediaan. f. Stabilitas mikrobiologi Stabilitas
mikrobiologi
artinya
tidak
ditemukan
pertumbuhan
mikroorganisme selama waktu edar, apalagi untuk sediaan steril ini. g. Stabilitas farmakologi Stabilitas farmakologi berarti selama penyimpanan dan pemakaian, efek terapeutiknya harus tetap sama. h. Stabilitas toksikologi Stabilitas toksikologi berarti selama penyimpanan dan pemakaian tidak boleh ada kenaikan toksisistas pada sediaan.
2.5.2 Karakteristik Bahan Zat Aktif Obat Karakteristik bahan zat aktif obat yang akan digunakan yaitu kloramfenikol adalah sebagai berikut: a. Berat molekul Berat molekul dari kloramfenikol adalah 323,13
b. Kelarutan Dalam air : sukar larut dalam air (1:400) Dalam etanol : mudah larut (1:2,5) Dalam CHCl3 : sukar larut Kelarutan dalam propilen glikol 1:7, sukar larut dalam eter, mudah larut dalam aseton, dalam etil asetat, sedikit larut dalam asam dan alkali, tidak larut dalam benzena. Penambahan benzalkonium klorida (BKC) dapat meningkatkan kelarutan dalam air.
c. Stabilitas Terhadap cahaya : tidak stabil Exposure kloramfenikol (eye drops, 10mg/L, dapar fosfat pH 7,0) terhadap cahaya matahari menyebabkan degradasi 80% dalam waktu 45 menit. Terhadap suhu : tidak stabil Pada larutan air akan terhidrolisis 4% (pemanasan 100oC, 3 menit) dan 10% (pemanasan 115oC, 30 menit). Pada pH 7,2 lebih cepat terdegradasi daripada di pH 4,8 (pemanasan 100oC/120oC). Terhadap pH : pH larutan jenuh 4,5 – 7,5 pH stabilitas optimum 6,0 (Farmakope Indonesia IV) stabil terhadap larutan netral dan asam, cepat rusak oleh larutan alkali (Remington) stabil pada pH yang luas untuk larutan air (pH 2 – 7) terhadap oksigen : tidak stabil
d. Titik lebur : 149oC - 153oC
e. Inkompatibilitas Dengan paracetamol : menurunkan waktu paruh kloramfenikol Dengan kontrasepsi oral : menurunkan efikasi kontrasepsi oral Dengan diuretik : meningkatkan ekskresi kloramfenikol
2.5.3 Pemilihan Bahan Tambahan Untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi dan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan, maka diperlukan bahan-bahan tambahan, diantaranya adalah larutan pendapar untuk mencapai keisotonisan sediaan steril tetes mata. bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan sediaan steril tetes mata kloramfenikol antara lain adalah sebagai berikut:
2.5.3.1 Asam sitrat a. Bobot molekul
: 19,2 (anhidrat) atau 210,1 (monohidrat)
b. Pemerian
: Hablur bening, tidak berwarna atau serbuk granul
sampai halus, putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa sangat asam. Bentuk hidrat mekar dalam udara kering.
c. Kelarutan
: Sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam
etanol, agak sukar larut dalam eter
d. Alasan pemilihan bahan : Lebih stabil jika direaksikan dengan natrium bikarbonat dibandingkan asam-asam lain
e. Persyaratan
: Asam sitrat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan
tidak lebih dari setara 101,0% dari C6H8O7, dihitung dengan mengacu pada substansi anhidrat
2.5.3.2 Natrium fosfat a. Bm : 381,37 gram/mol
b. Pemerian : hablur tansparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak barbau; rasa asin dan basa. Dalam udara kering merapuh
c. Kelarutan : larut dalam 20 bagian air, dalam 0,6 bagian air mendidih dan dalam lebih kurang 1 bagian gliseron P; praktis tidak larut dalam etanol (95%) P.
d. Indikasi
: antiseptikum ekstern
2.5.3.3 Benzalkonium klorida BM : 360 Pemerian
: Gel kental atau potongan seperti gelatin, putih atau putih
kekuningan. Biasanya berbau aromatic lemah. Larutan dalam air bersa pahit, jika dikocok sangat berbusa dan biasanya sedikit alkali. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol, bentuk anhidrat mudah larut dalam benzena dan agak sukar larut dalam eter. Kegunaan
:
pengawet
pensolubilisasi, bahan
antimikroba,
antiseptik,
desinfektan,
bahan
pembasah. Benzalkonium klorida adalah senyawa
amonium kuarterner yang digunakan dalam formulasi farmasetikal sebagai antimikroba yang dalam aplikasinya sama dengan surfaktan kation lain, seperti cetrimide. Dalam sediaan parenteral, benzalkonium klorida adalah pengawet yang sering digunakan, pada konsentrasi 0,01 % Stabilitas dan penyimpanan : Benzalkonium klorida bersifat higroskopis dan mungkin terpengaruh oleh cahaya, udara, dan logam. Solusi yang stabil melalui pH yang luas dan rentang suhu dan dapat disterilkan dengan autoklaf tanpa kehilangan efektivitas. Solusi dapat disimpan untuk waktu yang lama
pada suhu kamar. Solusi encer disimpan dalam polyvinyl chloride atau wadah busa polyurethane mungkin kehilangan aktivitas antimikroba. Bahan massal harus disimpan dalam wadah kedap udara, terlindung dari cahaya dan kontak dengan logam, di tempat yang sejuk dan kering. Inkompatibilitas : Kompatibel dengan aluminium, surfaktan anionik, sitrat, kapas, fluorescein, hidrogen peroksida, hypromellose, iodida, kaolin, lanolin, nitrat, surfaktan nonionik dalam konsentrasi tinggi, permanganates, protein, salisilat, garam perak, sabun, sulfonamida, seng oksida, beberapa karet campuran dan beberapa campuran plastik. pH : 5-8 untuk larutan cair b/v Titik lebur : 400 C Berat jenis : 0.98 g/cm3 at 20°C. Penyimpanan : Dalam wadah kedap udara, terlindungi dari cahaya dan kontak dengan logam, di tempat yang sejuk, dan kering. ( FI IV hal 130 ) , (Handbook of Pharmaceutical Excipients, page 61)
2.6 Tinjauan Produksi 2.6.1 Definisi Produksi Produksi adalah proses dan metode yang digunakan dalam transformasi yang nyata input (bahan baku, setengah jadi, atau sub assemblies) dan tidak berwujud masukan (ide, informasi, tahu bagaimana) menjadi barang atau jasa, merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa. Sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamankan produksi barang. Produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi.
2.6.2
Tujuan Produksi
Tujuan dilakukannya produksi adalah sebagai berikut: a. Kebutuhan pasien Adanya produksi sediaan farmasi tentu untuk menjawab kebutuhan masyarakat mengenai obat-obatan. Tanpa adanya minat dan permintaan dari masyarakat, tentu saja produksi sediaan farmasi tidak akan dilakukan.
b. Aplikasi gagasan baru Dengan adanya produksi diharapkan bahwa akan muncul pengaplikasian dari gagasan-gagasan yang ada. Dengan dilakukannya produksi maka akan terlihat pengaplikasiaan dari suatu formula dan akan menambah beraneka ragam alternative pilihan masyarakat terhadap sediaan farmasi.
c. Upgrade sediaan Dengan adanya produksi, tentu akan ada pengembangan-pengembangan baru terhadap sediaan farmasi. Setiap diadakan produksi pasti juga akan dibarengi dengan praformulasi baru atau membuat pembaharuan terhadap sediaan yang sudah ada.
d. Upgrade teknologi farmasi Saat melakukan produksi tentu saja kita membutuhkan alat untuk mempermudah kita melakukan proses produksi. Dengan adanya produksi, maka kita akan lebih tau tentang perkembangan teknologi farmasi.
e. Sarana evaluasi langsung Sarana evaluasi langsung maksudnya, kita dapat langsung menguji atau mengevaluasi sediaan kita. Dengan adanya produksi kita bisa langsung mengetahui bentuk jadi sediaan kita, setelah proses produksi selesai kita
bisa langsung mengevaluasi sediaan yang kita buat secara real atau langsung, bukan hanya secara teori ataupun perkiraan. Dengan demikian, jika kita melakukan kesalahan atau ada kekurangan pada sediaan kita, bisa kita pahami letak kesalahannya dan bisa melakukan perbaikan di lain waktu.
2.6.3 Komponen Produksi 2.6.3.1 Ruang Produksi Ruang produksi adalah suatu ruang yang dirancang dengan khusus sebagai tempat dilaksanakan kegiatan produksi dimana di dalamnya mengakomodasi berbagai macam kebutuhan produksi ( alat, bahan, personal, manajemen ) dengan spesifikasi khusus. Ruang produksi untuk pembuatan sediaan farmasi memiliki beberapa karakteristik yaitu sebagai berikut: a. Kontruksi bangunan tahan terencana Maksudnya adalah sejak awal sudah ditentukan konsep awal untuk pembuatan bangunan yang akan digunakan untuk pembuatan sediaan farmasi. Kontruksi untuk bangunan ini harus bisa tahan gempa dan ditempatkan ditempat yang aman, sehingga tidak akan mengganggu produksi. Jadi kontruksi bangunan harus di rencanakan sejak awal secara matang dan juga terencana sehingga tidak akan mengganggu proses produksi kelak.
b. Mendukung alur produksi one way Maksud dari alur one way adalah ruang produksi harus memiliki alur produksi secara berurutan tanpa ada pemutaran kembali sediaan ke tahap awal. Misalnya dalam ruang produksi pencampuran bahan dilakukan dari sebelah barat ke sebelah timur ruangan, ruangan harus memiliki tempat yang cukup mulai dari pencampuran bahan disebelah barat kemudian berurutan hingga proses akhir produksi berada di paling timur ruangan.
c. Terdapat pengaturan suhu, cahaya, tekanan dan higienitas Pengaturan suhu, cahaya, tekanan dan higienitas sangat penting untuk ruangan produksi. Hal ini dikarenakan untuk menghindari tumbuhnya mikroorganisme dalam ruangan tersebut. Selain itu juga ada sediaan yang dalam proses produksinya harus dalam suhu dan tekanan tertentu. Jadi memang penting jika ruang produksi memiliki pengatur suhu, cahaya, tekanan dan higienitas.
d. Ruang tidak bersudut Ruang yang tidak bersudut akan lebih mudah dibersihkan sehingga tidak akan ada debu, kotoran atau mikroorganisme yang akan bersarang disana. Dengan tidak adanya debu, kotoran dan mikroorganisme maka proses produksi akan lebih higienis.
e. Berlapiskan epoksi Pori-pori dinding adalah tempat yang biasanya terdapat banyak bakteri atu mikroorganisme. Epoksi adalah sejenis cat yang digunakan untuk menutupi pori-pori permukaan dinding. Dengan memberikan epoksi pada dinding, berarti tidak akan ada pori-pori di lubang tembok dan tidak ada tempat lagi untuk bakteri atau mikroorganisme.
f. Terdapat interlock door Maksud dari interlock door adalah jika pintu masuk dibuka, maka pintu keluar akan terkunci secara otomatis sehingga tidak bisa dibuka. Hal ini dilakukan agar sirkulasi udara dalam ruangan dapat terjaga sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh bakteri yang terbawa dari luar. Contoh tata letak ruang steril.
Contoh Tata Ruang Untuk Pembuatan Sediaan Steril
2.6.3.1.1 Penggolongan Ruang Produksi Macam-macam ruang produksi yang biasa digunakan untuk membuat sediaan farmasi adalah sebagai berikut: a. Berdasarkan Kelas 1. Ruang kelas I Biasanya ruangan digunakan untuk pembuatan sediaan steril yang memiliki tingkatan kelas tertinggi. Terdapat empat ruang filter yaitu prefilter, medium filter, hipofilter dan LAF. 2. Ruang kelas II Biasanya ruangan digunakan untuk penyiapan peralatan yang akan digunakan di ruang kelas I. 3. Ruang kelas III Biasanya ruangan digunakan untuk pembuatan sediaan semi solid yang mudah terkontaminasi dengan bakteri atau mikroorganisme.
4. Ruang kelas IV Biasanya ruangan yang digunakan untuk pembuatan sediaan serbuk dan kapsul.
b. Berdasarkan Label Warna 1. Ruang kelas White Untuk pembuatan sediaan steril, ruangan kelas yang digunakan berdasar label warna adalah kelas White yang spesifikasinya biasa diberikan untuk ruang kelas I. 2. Ruang Kelas Grey Ruangan kelas Grey biasanya diberikan untuk ruang kelas II dan III. 3. Ruangan kelas Black Ruangan kelas Black biasanya diberikan untuk ruang kelas IV.
c. Berdasarkan Nomor Area 1. Ruang kelas 100 Ruang kelas yang digunakan untuk pembuatan sediaan steril berdasarkan nomor area adalah ruang dengan nomor area 100 yang diartikan bahwa hanya boleh ada 100 mikroorganisme non patogen dan 10 mikroorganisme patogen dalam ruangan itu. Biasanya ruang kelas 100 diberikan untuk ruang kelas I. 2. Ruang kelas 1.000 Ruang kelas 1.000 diartikan bahwa hanya boleh ada 1.000 mikroorganisme non patogen dan 100 mikroorganisme patogen dalam ruangan itu. Biasanya ruang kelas 1.000 diberikan untuk ruang kelas II.
3. Ruang kelas 10.000 Ruang kelas 10.000 diartikan bahwa hanya boleh ada 10.000 mikroorganisme non patogen dan 1.000 mikroorganisme patogen dalam ruangan itu. Biasanya ruangan kelas 10.000 diberikan untuk kelas III. 4. Ruang kelas 100.000 Ruang kelas 100.000 diartikan bahwa hanya ada boleh 10.000 mikroorganisme non patogen dan lebih dari 100.000 mikroorganisme patogen dalam ruangan itu. Biasanya ruangan kelas 100.000 diberikan untuk kelas IV.
2.6.3.1.2 Jenis ruangan Pencampuran sediaan steril memerlukan ruangan khusus dan terkontrol. Ruangan ini terdiri dari : a. Ruang persiapan Ruangan yang digunakan untuk administrasi dan penyiapan alat kesehatan dan bahan obat (etiket, pelabelan, penghitungan dosis dan volume cairan). b. Ruang cuci tangan dan ruang ganti pakaian Sebelum masuk ke ruang antara, petugas harus mencuci tangan, ganti pakaian kerja dan memakai alat pelindung diri (APD). c. Ruang antara (Ante room) Petugas yang akan masuk ke ruang steril melalui suatu ruang antara d. Ruang steril (Clean room) Ruangan steril harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1) Jumlah partikel berukuran 0,5 mikron tidak lebih dari 350.000 partikel 2) Jumlah jasad renik tidak lebih dari 100 per meter kubik udara. 3) Suhu 18 – 22°C 4) Kelembaban 35 – 50% 5) Di lengkapi High Efficiency Particulate Air (HEPA) Filter 11
6) Tekanan udara di dalam ruang lebih positif dari pada tekanan udara di luar ruangan. 7) Pass box adalah tempat masuk dan keluarnya alat kesehatan dan bahan obat sebelum dan sesudah dilakukan pencampuran. Pass box ini terletak di antara ruang persiapan dan ruang steril.
2.6.3.2 Alat Produksi Alat produksi adalah seperangkat instrument yang digunakan untuk membuat, mengolah ataupun memodifikasi suatu bahan awal menjadi sediaan ruahan maupun sediaan jadi dengan fungsi dan standar tertentu. Alat produksi memiliki beberapa spesifikasi yaitu sebagai berikut: a. Inert atau netral Maksuda dari inert dan netral adalah alat produksi yang digunakan tidak memengaruhi sediaan. Misalnya alat produksi yang berasal dari plastik yang dapat melepaskan zat-zat berbahaya penyusun plastik yang dapat bereaksi dengan sediaan yang kita buat. Hal-hal seperti iniharus dihindari agar kualitas sediaan yang diproduksi tetap terjaga dengan baik.
b. Fungsi tetap (stabil) Alat denga fungsi tetap (stabil) adalah alat produksi yang walaupun digunakan sampai 3 tahun tidak akan berubah atau berkurang dalam segi fungsi. Misalnya alat pencetak tablet yang mampu mencetak 2000 tablet perhari, akan tetap mampu mencetak 2000 tablet perhari dalam kurun waktu 3 tahun yang akan datang.
c. Mudah dalam pengoperasian Tujuan utama dari penggunaan alat-alat produksi adalah memudahkan kita dalam pembuatan suatu sediaan. Alat yang digunakan pun harus mudah dalam pengoperasiaan karena bukan hanya satu atau dua orang yang akan menggunakannya melainkan beberapa orang dengan
kemampuan yang berbeda-beda. Sehingga untuk pengoperasiaanya alat produksi diusahan semudah mungkin.
d. Terstandar dan terkalibrasi (menyertakan fungsi sesuai dengan bahan baku) Alat produksi yang digunakan untuk memproduksi sediaan farmasi haruslah sesuai dengan standar yang sudah ditentukan karena obat nantinya akan bereaksi dalam tubuh. Jika dalam proses pembuatannya tidak menggunakan alat yang terstandar maka akan menurunkan kualitas dari obat yang akan dihasilkan pula.
e. Maintenence (perawatan) Alat produksi harus memiliki panduan perawatan karena perawatan adalah hal yang sangat penting. Ketahanan suatu alat juga bergantung dari cara perawatan alat itu sendiri, sehingga alat produksi pun harus dirawat dengan baik agar fungsinya tetap terjaga.
2.6.3.3 Alat Produksi dalam Sediaan Steril Alat produksi juga memiliki macam-macam pengelompokan. Macammacam alat produksi yaitu sebagai berikut: a. Autoklaf skala industry Autoklaf adalah alat pemanas tertutup yang digunakan untuk mensterilisasi suatu benda menggunakan uap bersuhu dan bertekanan tinggi (1210C, 15 lbs) selama kurang lebih 15 menit. Penurunan tekanan pada autoklaf tidak dimaksudkan untuk membunuh mikroorganisme, melainkan meningkatkan suhu dalam autoklaf. Suhu yang tinggi inilah yang akan membunuh microorganism.
b.
Destilator WFI. Sistem operasional mesin ini mulai dari awal sampai akhir
menggunakan ”closed circuit” untuk menghindari kontaminasi atau kontak dengan udara sehingga memenuhi syarat GMP atau CPOTB. Alat laboratorium ini berfungsi untuk membuat air yang murni (mendestilasi air mineral agar menjadi air yang murni) melalui proses penguapan dan pengembunan.
c.
WFI Strong Tank. Digunakan sebagai wadah untuk menampung hasil proses
pembuatan WFI. Biasanya penempatanWFI Strong tank berada pada suatu ruangan pengelolaan air dan terlindung dari sinar matahari langsung.
d. Mixing Tank. Alat pencapur cairan yang digunakan untuk sediaan steril dan pada bahan-bahan yang memperlukan perlakuan khusus. Dengan mixing tank zat yang akan dicamput terlindung dari kontaminan sebab berada di dalam wada yang tertutup rapat.
e. pH meter. Bermacam-macam pH meter yang telah diproduksi oleh pabrikpabrik. Digunakan untuk mengukur tingkat keasaman dari suatu zat. Biasanya sebelum digunakan dikalibarasi terlebih dahulu menggunakan larutan buffer.
f.
gelas arloji
Gelas arloji adalah alat yang digunakan untuk tempat zat yang akan ditimbang.
h.corong glass + kertas saring
i.spuit injeksi
2.6.3.4 Personal Produksi Personal produksi adalah praktisi produksi yang mengerjakan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses produksi baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan akhir membuat suatu sediaan farmasi yang terstandar. Karena tanggung jawab seorang praktisi, maka seorang praktisi harus memiliki persyaratan sebagai berikut: a. Sehat jasmani dan rohani Seorang praktisi haruslah sehat secara jasmani dan rohani, hal ini karena kebersihan dan kehigienisan ruangan saja sangat dijaga, apalagi untuk personal yang akan terjun langsung dalm pembuatan sediaan. Jika personal tidak memiliki kesehatan jasmani maupun rohani itu justru akan membahayakan orang lain baik dalam lingkup industri maupun masyarakat.
b. Lebih diutamakan pria Untuk praktisi dibidang farmasi, lebih diutamakan pria karena mayoritas wanita memakai berbagai macam kosmetik. Pemakaian kosmetik seperti bedak di wajah, tentu saja akan memengaruhi kualitas obat karena bedak juga mengandung zat-zat kimia yang mampu bereaksi dengan bahan yang digunakan untuk pembuatan obat. Sehingga lebih di utamakan pria sebagai seorang praktisi personal produksi.
c. Kompeten (menguasai ilmu) Karena proses produksi sangat menentukan hasil ari sediaan yang akan dihasilkan, maka praktisi atau personal produksi pun harus berkompeten. Jika personal produksi tidak memiliki kompetensi yang baik, tentu saja akan membahayakan masyarakat dan juga akan menyebabkan banyak kerugian.
d. Menggunakan alat pelindung diri Dalam proses produksi, tentu kita akan berhadapan dengan berbagai bahan-bahan berbahaya dan terkena resiko kecelakaan kerja. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, tentu kita harus menggunakan alat pelindung diri sehingga resiko untuk terkena bahan kimia atau kecelakaan kerja bisa dinetralisir.
e. Menguasai Grade Laboratori Practice (GLP), Grade Manufactoring Practice (GMP) dan Grade Selling Practice (GSP) Seorang personal produksi bukan hanya harus menguasai satu bidang, namun juga semua bidang produksi. Untuk standar industri, minimal personal produksi memiliki 2 keterampilan yaitu GLP dan GMP. Hal ini difungsikan agar personal produksi mampu mengkondisionalkan diri saat mereka berada di laboratorium maupun mengawasi secara langsung proses produksi.
f. Memiliki sikap yang baik Sikap merupakan hal yang tidak boleh disepelekan oleh setiap personal produksi. Rasa tanggung jawab dan disiplin tinggi harus dimiliki oleh personal produksi. Hal ini dikarenakan mereka memiliki tanggung jawab yang besar atas hasil dari produksi.
2.6.3.5 Metode Produksi Metode produksi adalah serangkaian tahap dan alur kerja pembuatan sediaan mulai dari bahan awal untuk diolah menjadi sediaan ruahan maupun sediaan jadi dengan mengacu pada proses evaluasi setiap tahap produksi. Sediaan steril memiliki metode yang tidak jauh berbeda dengan metode produksi sediaan liquid lain, namun pada sediaan steril, ada tahap sterilisasi yang menjadi ciri khasnya. Sterilisasi adalah suatu proses yang digunakan untuk membebaskan suatu bahan atau sediaan terhadap jasad renik.pernyataan steril merupakna hal yang absolute /mutlak sehingga hanya ada dua kemungkinan suatu sediaan dinyatakan steril atau tidak steril dan tidak ada antarakeduanya. Metode sterilisasi yang sering digunakan pada sediaan steril yaitu sebagai berikut: a. Cara Sterilisasi Akhir Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunkan dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul air dan suhu sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu disterilkan lebih dahulu. b. Cara Aseptis Cara ini terbatas penggunaanya pada sedian yang mengandung zat aktif peka suhu
tinggi
dan
dapat
mengakibatkan
penguraian
dan
penurunan
kerja
farmakologisnya. Antibiotika dan beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang
sebaiknya diracik secara aseptis. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan.
2.7 Evaluasi Sediaan 2.7.1 Kejernihan Larutan (FI IV Hal. 881) Evaluasi kejernihan larutan adalah evaluasi yang dilakukan pada sediaan larutan. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa larutan yang dibuat mampu melarutkan zat aktif secara sempurna dan juga memastikan tidak ada kotoran atau mikroba dalam larutan. 2.7.2 Volume Terpindahkan (FI IV Hal. 1261) Volume rata-rata larutan yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang dari 100 %, dan tidak satupun volume wadah yang kurang dari 95 % dari volume yang dinyatakan pada etiket. Jika A adalah volume rata-rata kurang dari 100 % dari yang tertera pada etiket akan tetapi tidak ada satu wadahpun volumenya kurang dari 95 % dari volume yang tertera pada etiket, atau B tidak lebih dari satu wadah volume kurang dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % dari volume yang tertera pada etiket, lakukan pengujian terdadap 20 wadah tambahan. 2.7.3 Penetapan pH Uji penetapan pH adalah uji yang dilakukan pada sediaan jadi untuk mengetahui kesesuaian pH sediaan dengan pH cairan mata. 2.7.4 Sterilitas Sterilitas adalah persyaratan yang sangat penting pembuatan larutan mata yang tidak layak dapat membawa banyak organisme yang paling berbahaya adalah pseodomonas aeroginosa, infeksi mata dari organisme ini telah membuat kebutaan khususnya, berbahaya bagi produk non steril yang dimasukkan dalam mata ketika kornea terbuka.
BAB III METODE
3.1 Rancangan Formula Chloramphenicol
0,5 %
Asam Sitrat
0,16%
Natrium Fosfat
1,9%
PGA
5%
NaCl
0,9%
benzalkonium klorida
0,01%
WFI
ad 10ml
3.2 Perhitungan Isotonis Diketahui : Dosis Chloramphenicol = 0,5% Volume sediaan
= 10 ml
Liso Chloramphenicol = 1,9 Liso NaCl
= 3,4
Δtf NaCl
= 0,52
BM Chloramphenicol = 323,13 gram/mol BM NaCl
= 58,44 gram/mol
Ditanya : Massa NaCl yang dibutuhkan untuk membuat larutan menjadi isotonis? Jawab: Massa Chloramphenicol dalam sediaan 0,5 % =
0,5 𝑔𝑟𝑎𝑚 100 𝑚𝑙
𝑥 10𝑚𝑙
= 0,05 gram
𝑊
Δtf = Liso x (𝐵𝑀 x
1000
)
𝑉
0,05
= 1,9 x (323,13 x
1000 10
)
= 0,02939 Larutan dikatakan isotonis apabila memiliki nilai Δtf masuk kedalam rentan 0,341,16 Jika larutan yang dibuat belum isotonis, maka perlu ditambah pengisotonis, yaitu NaCl. NaCl yang digunakan adalah NaCl 0,9% (b/v) Massa NaCl dalam 10ml larutan 0,9 % =
0,9 𝑔𝑟𝑎𝑚 100 𝑚𝑙
𝑥 10𝑚𝑙
= 0,09 gram
NaCl yang dibutuhkan 0,09
Δtf = Liso x ( 𝐵𝑀 x
1000
0,09
= 3,4 x (58,44 x
𝑉
)
1000 10
)
90
= 3,4 x (584,4) = 3,4 x (0,1540) = 0,5236 Isotonis rata-rata = =
Δtf NaCl+ Δtf Chloramphenicol 2 0,5236 +0,87 2
= 0,703 Jadi, NaCl yang dibutuhkan agar membuat larutan tersebut menjadi isotonis adalah NaCl 0,9 % (b/v)
3.3 Perhitungan Isohidris Pendapar 3.3.1 Asam Sitrat Diketahui : Asam Sitrat dengan pH 7,0 Molaritas
= 0,1 M
Volume
= 17,6 ml = 0,0176 L
Berat Molekul = 210,14 gram/mol Ditanya : Asam Sitrat yang dibutuhkan untuk pendapar? Jawab : mol Asam Sitrat = M x V = 0,1 x 0,0176 = 0,00176 mol Massa Asam Sitrat = mol x BM = 0,00176 x 210,14 = 0,3698 gram = 369,8 mg 10 𝑚𝑙
Untuk 10ml 17,6 𝑚𝑙 x 369,8 mg = 210,11 mg Jadi, Asam Sitrat yang dibutuhkan adalah sebanyak 210,11 mg.
3.3.2 Natrium Fosfat Diketahui : Natrium Fosfat dengan pH 7,0 Molaritas
= 0,2 M
Volume
= 82,4 ml = 0,0824 L
Berat Molekul = 358,14 gram/mol Ditanya : Natrium Fosfat yang dibutuhkan untuk pendapar? Jawab : mol Natrium Fosfat = M x V = 0,2 x 0,0824
= 0,01648 mol Massa Natrium Fosfat = mol x BM = 0,01648 x 358,14 = 5,90 gram = 5900 mg 10 𝑚𝑙
Untuk 10ml 82,4 𝑚𝑙 x 5900 mg = 716,0 mg Jadi, Natrium Fosfat yang dibutuhkan adalah sebanyak 716,0 mg.
3.4 Perhitungan Suspending Agent Penggunaan PGA adalah 5% 5 100
x 10ml = 5mg
3.5 Perhitungan zat Pengawet Dosis Benzalkonium Klorida adalah 0,01% 0,01 100
x 10ml = 0,001 ml
3.6 Alat dan bahan 3.5.1
Alat Alat yang digunakan untuk membuat sediaan steril tets mata dengan bahan aktif Kloramfenikol adalah sebagai berikut:
1. Spatel logam 2. Pinset logam 3. Batang pengaduk 4. Kaca arloji 5. Cawan penguap 6. Gelas ukur 7. Pipet tetes 8. Corong gelas dan kertas saring 9. Kapas 10. Erlenmeyer
11. Beaker glass 12. Wadah tetes mata + tutup
Cara sterilisasi alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut: Nama alat
Jumlah
Cara sterilisasi
Waktu
Spatel logam
1
Oven 170⁰ C
30 menit
Pinset logam
1
Oven 170⁰ C
30 menit
Batang pengaduk
1
Oven 170⁰ C
30 menit
Kaca arloji
2
Oven 170⁰ C
30 menit
Cawan penguap
2
Oven 170⁰ C
30 menit
Gelas ukur
2
Autoklaf (115 - 116 ⁰ C)
30 menit
Pipet tetes tanpa karet
1
Autoklaf (115 - 116 ⁰ C)
30 menit
Karet pipet
1
Rebus
30 menit
Autoklaf (115 - 116 ⁰ C)
30 menit
Autoklaf (115 - 116 ⁰ C)
30 menit
Corong gelas dan kertas 1 saring lipat terpasang Kapas Erlenmeyer
2
Oven 170⁰ C
30 menit
Beacker glass
3
Oven 170⁰ C
30 menit
Wadah tetes mata tanpa 2
Direndam dengan alkohol
tutup Tutup wadah tetes mata
3.5.2
2
Direndam dengan alkohol
Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sediaan steril tetes mata dengan bahan aktif Kloramfenikol adalah sebagai berikut: 1. Kloramfenikol 2. Asam Sitrat 3. Natrium Fosfat 4. Benzalkonium klorida 5. WFI
3.6 Prosedur Pembuatan Prosedur pembuatan sediaan steril tetes mata dengan bahan aktif Koramfenikol adalah sebagai berikut: 1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan 2. Ditimbang masing-masing bahan yang akan digunakan pada neraca timbangan dengan kaca arloji yang sebelumnya telah disterilkan secara aseptis. 3. Dikalibrasi beaker glass dan botol tetes mata yang akan digunakan. 4. Buat suspending agent dengan menggunakan WFI di mortir. 5. Larutkan Chloramphenikol dengan sedikit air lalu masukkan dalam mucilago, aduk hingga homogen. 6. Larutkan asam sitrat dan natrium fosfat pada beaker. 7. Lakukan pengecekan pH (pH yang diinginkan yaitu 7). 8. Masukkan campuran asam sitrat dan natrium fosfat dalam mucilago, aduk hingga homogen. 9. Tambahkan benzalkonium klorida dalam larutan 1, aduk dengan batang pengaduk.(Larutan 2) 10. Tambahkan NaCl yang sudah dilarutkan dalam WFI dan sudah disaring, aduk hingga homogen. 11. Ditambahkan WFI sampai batas kalibrasi 12. Isikan larutan ke dalam wadah, ditutup dengan penutupnya. 13. Lakukan sterilisasi akhir.
3.7 Prosedur Evaluasi 3.7.1 Kejernihan Larutan Prosedur kerja untuk menguji kejernihan untuk larutan tetes mata yang telah dibuat adalah sebagai berikut: 1. Masukkan sediaan yang sudah dibuat ke dalam 2 tabung reaksi, masingmasing larutan zat uji dan suspensi padatan yang sesuai secukupnya yang dibuat segar sehingga volume larutan dalam tabung reaksi terisi setinggi tepat 40 mm. 2. Bandingkan kedua isi tabung setelah 5 menit pembuatan Suspensi padatan,dengan latar belakang hitam. 3. Pengamatan dilakukan di bawah cahaya yang terdifusi, tegak lurus ke arah bawah tabung. 4. Catat hasil pengamatan
3.7.2 Volume Terpindahkan Prosedur kerja untuk menguji volume terpindahkan untuk larutan tetes mata yang telah dibuat adalah sebagai berikut: 1. Tuang tetes mata yang sudah dibuat kedalam gelas ukur 2. Amati kesesuaian volume sebelum dipindahkan dan volume sesudah dipindahkan 3. Catat hasil pengamatan
3.7.3 Penetapan pH Prosedur kerja untuk menguji pH untuk larutan tetes mata yang telah dibuat adalah sebagai berikut: 1. Tuang tetes mata kedalam gelas ukur 2. Celupkan kertas indikator pH kedalam larutan dan hasil warna yang terbentuk dibandingkan dengan warna standar. 3. Catat hasil pengujian pH
3.7.4 Sterilitas Prosedur kerja untuk menguji sterilitas untuk larutan tetes mata yang telah dibuat adalah sebagai berikut: 1. Pindahkan cairan dari wadah menggunakan pipet yang steril ke tabung media 2. Inokulasikan sejumlah tertentu bahan
Nama : Sasmita Kelas : Akfar 4D NIM
: 14171
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Hasil dan pembahasan No 1
2
Pengujian
Standart
Hasil Uji
Organoleptis : Warna
Putih
Rasa
-
Aroma
-
Uji PH
PH mata manusia 7 – 3 7,4
3
Uji kejernihan
keruh
4
Uji kebocoran
Tidak bocor
5
Uji volume
10 ml
10 ml
Homogen
Homogen
terpindahkan 6
Uji homogenitas
4.2 Pembahasan Hasil praktikum sediaan steril tetes mata uji organoleptis,ujikejenihan, uji volume terpindahkan dan uji homogenitas sesuai. Akan tetap pada uji mutu fisik Ph menunjukkan 3 yang tidak sesuai dengan ph mata atau terlalu asam. Sediaan yang
terlalu asam akan menyebabkan iritasi pada mata sehingga tetes mata tidak layak untuk dipakai.
BAB V Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan Uji mutu fisik Ph tidak sesuai dengan Ph mata dikarenakan pengujian dilaksanakan setelah 3
hari
pembuatan sediaan untuk
sterilisasi sediaan dan
kemasannyapun menggunakan autoklaf yang seharusnya menggunakan alcohol karena kemasannya terbuat dari pastik. Selain itu sediaan tidak di simpan di tempat yang steril melainkan di wadah kotak biasa dan di bawa pulang, kondisi inilah yang kemungkinan dapat menyebabkan sediaan tersbut terkontaminasi dan dapat menuunkan ph sediaan tetes mata .
5.2 Saran Uji mutu fisik sebaiknya dilakukan dihari yang sama saat pembuatan sediaan tetes mata. Perlunya mempelajari lagi karaktristik tentang bahan yang digunakan sediaan.
akan
Nama : Maria Elfrida Arista Nim
: 14110
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Evaluasi 4.1.1 Uji Organoleptis
Rasa
Bau
Warna
-
-
putih
4.1.2 Uji pH Sediaan injeksi menghasilkan pH = 3 4.1.3 Uji Homogenitas Sediaan tetes mata homogen 4.1.4 Uji volume terpindahkan Volume terpindahkan tetes mata sebanyak 10 ml 4.1.5 Uji ketidakjernihan Sediaan tetes mata tidak jernih
4.2 Pembahasan Pada praktikum sediaan tetes mata hasil uji evaluasi hampir memenuhi standar sediaan steril yang baik yaitu pada uji organoleptis didapat hasil warna putih,tidak ada rasa,dan tidak berbau.pada uji homogenitas sediaan homogen.pada uji volume terpindahkan sesuai yaitu 10 ml dan uji kejernihan juga sesuai karena didapat hasil sediaan yang jernih.Tetapi pada pengukuran pH didapat hasil yang tidak sesuai karena pH sediaan cenderung bersifat asam. Hal ini dikarenakan basa yang digunakan, yaitu Natrium Fosfat yang tersedia di laboratorium bukanlah bahan yang seharusnya bisa bereaksi dengan pendapar lain yaitu Asam Sitrat sehingga tidak bisa mencapai kestabilan pH yang diinginkan. Sediaan lebih cenderung mengikuti sifat dari Asam Sitrat yaitu asam kuat. pH menjadi sangat penting untuk sediaan tetes mata mata karena nantinya tetes mata akan kontak langsung dengan cairan mata yang juga memiliki pH khusus. Jika pH tetes mata tidak sama dengan pH yang ada di cairan mata, maka akan menyebabkan rasa nyeri pada daerah sekitar mata karena adanya perbedaan tekanan osmotic dalam pembuluh darah.oleh karena itu sediaan tetes mata pHnya harus sesuai.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sediaan yang dibuat dinyatakan tidak memenuhi standar sediaan steril yang baik karena nilai pH nya tidak sesuai. 5.2
Saran
Untuk praktikum selanjutnya harus lebih teliti lagi khususnya dalam hal mengidentifikasi bahan yang akan digunakan. Melakukan pengujian pH terlebih dahulu pada pendapar yang telah dibuat
Nama : Tita Aqliatul Hikmah Kelas : Akfar 4D NIK
: 14182
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil No. Uji 1. Organoleptis
2. 3. 4. 5.
Volume Terpindahkan pH Kejernihan Homogenitas
Standar Warna = Putih Bau = Tidak berbau Sesuai formulasi10 mL 5,2 – 8,3 Tidak Jernih Homogen
Hasil Warna = Putih Bau = Tidak berbau 10 mL 3 Tidak jernih Homogen
4.2 Pembahasan 4.2.1 Organoleptis Pada uji organoleptis ini diharapkan mendapatkan hasil yaitu warna putih dan tidak berbau, dan pada praktikum ini didapatkan hasil yang sesuai yaitu warna putih dan tidak berbau. Hal ini menunjukkan bahwa pada uji organoleptis sediaan, sediaan telah sesuai dengan standar. 4.2.2 Volume Terpindahkan Pada uji volume terpindahkan, diharapkan hasil yang sesuai dengan formula yaitu 10 mL, dan pada uji ini ternyata didapatkan hasil yang sesuai. Jika pada uji volume terpindahkan ini tidak sesuai, maka dosis sediaan akan tidak sesuai, bisa berlebih ataupun kurang.
4.2.3 pH pH menjadi sangat penting untuk sediaan tetes mata mata karena nantinya tetes mata akan kontak langsung dengan cairan mata yang juga memiliki pH khusus. Jika pH tetes mata tidak sama dengan pH yang ada di cairan mata, maka akan menyebabkan rasa nyeri pada daerah sekitar mata karena adanya perbedaan tekanan osmotic dalam pembuluh darah. Pada uji pH ini diharapkn mendapatkan hasil yaitu antara rentang 5,2 – 8,3, akan tetapi pada sediaan didapatkan hasil 3, hal ini dikarenakan basa yang digunakan, yaitu Natrium Fosfat yang tersedia di laboratorium bukanlah bahan yang seharusnya bisa bereaksi dengan pendapar lain yaitu Asam Sitrat sehingga tidak bisa mencapai kestabilan pH yang diinginkan. Sediaan cenderung mengikuti sifat dari Asam Sitrat yaitu asam kuat. 4.2.4 Kejernihan Pada uji kejernihan ini diharapkan mendapatkan hasil tidak jernih, karena bentuk sediaan ini yaitu suspensi, dan pada sediaan yang dibuat didaptkan hasil sesuai dengan standar yaitu tidak jernih. 4.2.5 Homogenitas Pada uji homogenitas ini diharapkan hasil yang sesuai dengan standar yaitu homogeny, dan pada sediaan tetes mata yang dibuat ini, telah mendapatkan hasil yang sesuai yaitu sediaan homogeny. Jika pada uji homogenitas ini didapatkan hasil yang tidak sesuai maka dapat menyebabkan tidak meratanya dosis obat yang tidak tercampur rata.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Sediaan tetes mata Chloramphenicol yang dibuat dalam praktikum steril ini belum memenuhi standar sediaan steril tetes mata yang baik karena pada uji pH tidak didapatkan hasil pH yang sesuai dengan standar.
5.2 Saran a. Mengidentifikasi bahan yang akan digunakan b. Melakukan pengujian pH terlebih dahulu pada pendapar yang telah dibuat
Nama
: PURNAMA SARI
NIM
: 14152
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Hasil No 1
2
Pengujian
Standart
Hasil Uji
Organoleptis : Warna
Putih
Rasa
-
Aroma
-
Uji PH
PH mata manusia 7 – 3,5 7,4
3
Uji kejernihan
keruh
4
Uji kebocoran
Tidak bocor
5
Uji volume
10 ml
10 ml
Homogen
Homogen
terpindahkan 6
Uji homogenitas
4.2 Pembahasan Dari hasil praktikum pembuatan tetes mata kloramfenikol diperoleh hasil sediaan yang cukup baik. Akan tetapi, pada pengujian pH dan kejernihan diperoleh pH 3,5 dan warna yang keruh. Pada warna yang keruh dikarenakan zat aktif kloramfenikol merupakan zat tidak larut dalam air sehingga dibuat sediaan suspense tetes mata sedangkan pada pengujian pH diperoleh hasil yang tidak sesuai karena kemungkinan proses pengujian pH dilakukan setelah 2 hari dan juga pada saat proses
sterilisasi sediaan seharusnya menggunakan alcohol saja, tetapi karena menggunakan alcohol tersebut dianggap tidak etis atau tidak rasional karena alcohol hanya akan membunuh mikroba diluar kemasan saja oleh sebab itu proses sterilisasi yang digunakan adalah autoklaf. Dan kemungkinan proses autoklaf ini yang menyebabkan pH tersebut menjadi asam.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil praktikum pembuatan sediaan tetes mata kloramfenikol yang dilakukan dinyatakan belum memenuhi standar injeksi, hal ini dikarenaka pH yang diperoleh tidak sesuai dengan pH yang diinginkan atau sesuai dengan pH darah, dimana diperoleh pH 3,5 yang bersifat asam dan tidak sesuai pH darah yaitu 4-7,4. 5.2 Saran 1. praktikan diharapkan untuk teliti terhadap mengidentifikasi bahan yang akan digunakan terlebih dahulu 2. melakulan pengujiaan pH terlebih dahulu pada pendapar sebelum mereaksi atau mencampur dengan zat aktif.
Nama
: Dahlisa Soleman
NIM
: AKF14037
Kelas
: Akfar 4 D BAB IV HASIL & PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum Dari praktikum pembuatan tetes mata yang sudah dilakukan, didapatkan hasil pengujian mutu fisik dari tetes mata yang telah dibuat. Data pengujiannya adalah sebagai berikut: 4.1.1 Organoleptis Dari hasil sediaan yang dibuat, hasil pengujian organoleptis yang didapat adalah sebagai berikut: Sediaan
Tetes mata
Warna
Keruh
Aroma
Tidak beraroma
4.1.2
pH Dari pengujian pH pada sediaan tetes mata kloramfenikol didapatkan hasil, pH yaitu 3. Hasil ini didasarkan pada perubahan warna pada pH indikator.
4.1.3
Homogenitas Dari pengujian homogenitas pada sediaan tetes mata kloramfenikol yang dibuat, diperoleh hasil pengujian berupa sediaan yang homogen.
4.1.4 Volume Terpindahkan Dari pengujian volume terpindahkan, yang dilakukan dengan menuangkan sediaan ke dalam gelas ukur, diperoleh hasil pengukuran volume sebesar 10 ml. 4.1.5 Kejernihan Dari uji kejernihan pada sediaan tetes mata kloramfenikol, diperoleh hasil sediaan yang tidak jernih karena masih adanya partikel yang dapat dilihat oleh mata. 4.2 Pembahasan Dari praktikum pembuatan sediaan tetes mata kloramfenikol 10 mL diperoleh hasil sediaan yang cukup baik. Pada pengujian organoleptis sediaan tetes mata kloramfenikol
diperoleh hasil warna yang keruh serta pH 3. Warna keruh
dikarenakan zat aktif kloramfenikol adalah zat yang tidak larut air sehingga dibuat dalam sediaan suspensi tetes mata sedangkan pada uji pH diperoleh hasil yang tidak sesuai dengan standar yaitu sediaan injeksi yang dibuat bersifat asam hal ini dilihat dari nilai pH yang diperoleh yakni pH 3. Hal ini dikarenakan pendapar yang bersifat basa dalam hal ini adalah Natrium Fosfat yang tersedia di laboratorium bukanlah bahan yang seharus nya bereaksi dengan pendapar yang bersifat asam yaitu Asam Sitrat sehingga tidak bisa mencapai kestabilan pH yang diinginkan akibatnya sediaan lebih cenderung mengikuti sifat dari Asam Sitrat yaitu asam kuat sehingga pH yang dihasilkan pun berupa pH asam.
BAB V KESIMPULAN & SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil dari praktikum pembuatan sediaan tetes mata kloramfenikol dinyatakan belum memenuhi standar hal ini dikarenakan pH didapatkan tidak sesuai dengan pH yang diinginkan, dimana diperoleh pH 3 yang bersifat asam dan tidak sesuai dengan pH cairan mata yaitu 7,4. 5.2 Saran Adapun saran-saran setelah melakukan pembuatan dan uji evaluasi tetes mata adalah sebagai berikut. 1. Praktikan diharapkan untuk mengidentifikasi terlebih dahulu bahan yang digunakan 2. Melakukan pengujian pH terlebih dahulu pada pendapar yang telah dibuat
Nama : Yeni Indah Puspita Sari Kelas : Akfar 4D BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Evaluasi 4.1.1 Uji Organoleptis Rasa
Bau
Warna
-
-
putih
4.1.2 Uji pH Sediaan injeksi menghasilkan pH = 3 4.1.3 Uji Homogenitas Sediaan tetes mata homogen 4.1.4 Uji volume terpindahkan Volume terpindahkan tetes mata sebanyak 10 ml 4.1.5 Uji ketidakjernihan Sediaan tetes mata tidak jernih
4.2 Pembahasan Pada praktikum kali, dibuat sediaan tetes mata sesuai dengan formulasi yang dibuat. Hasil evaluasi dari sediaan tetes mata yang dibuat menunjukkan bahwa sediaan tetes mata yang dibuat belum memenuhi standar. Hal ini dikarenakan pH sediaan yang tidak sesuai dengan pH yang diinginkan. pH sediaan hanya bernilai 3 padahal diinginkan pH 7. pH sediaan yang tidak sesuai ini dikarenakan memang pH dari kloramphenikol sendiri yang bersifat asam. Ditambah lagi dengan pendapar yang tidak sesuai.
Maksudnya pendapar yang digunakan ternyata bukan natrium fosfat sehingga tidak terjadi reaksi asam basa dan larutan tidak dapat menyangga pH sediaan yang dibuat. Selain dari uji pH, uji evaluasi yang dilakukan sudah memenuhi stnadar seperti uji homogenitas, uji volume terpindahkan dan uji ketidakjernahan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Sediaan yang dibuat dinyatakan tidak memenuhi standar sediaan steril yang baik karena nilai pH nya tidak sesuai. 5.2 Saran Untuk praktikum selanjutnya harus lebih teliti lagi khususnya dalam hal mengidentifikasi bahan yang akan digunakan.