Tetanus Internship.pdf

  • Uploaded by: riezhaf
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tetanus Internship.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,930
  • Pages: 34
PORTOFOLIO TETANUS

Oleh: dr. Rudolph Muliawan Putera

Pembimbing: dr. Irawan, Sp.S Pendamping: dr. Maya Dewi H. dr.Ifadatul Waro

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RSUD DR. SOEGIRI LAMONGAN 2018

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS TETANUS

Mengetahui :

dr. Maya Dewi H.

dr. Ifadatul Waro

dr. Irawan, Sp.S

i

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ............................................................................................. i Daftar isi ............................................................................................................... ii BAB I Laporan Kasus ........................................................................................ 1 BAB II Tinjauan Pustaka ....................................................................................

18

BAB III Pembahasan ............................................................................................ 27 BAB IV Kesimpulan ............................................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

30

ii

Nama Peserta: dr. Rudolph Muliawan Putera Nama Wahana : RSUD Dr. Soegiri Lamongan Topik : Tetanus Pendamping :

Pembimbing :

dr. Maya Dewi H.

dr. Irawan, Sp.S

Tanggal Presentasi : 16 November 2018

Tempat Presentasi : Komite Medik

Objektif Presentasi : □

Keilmuan



Diagnostik

□ Neonatus

□ Ketrampilan □ Manajemen □ Bayi

□ Penyegaran

□Tinjauan Pustaka

□ Masalah

□ Istimewa

□ Anak

□ Remaja



□ Lansia

□ Bumil

Dewasa Bahan Bahasan :

□ Tinjauan Pustaka

Cara Membahas :

□ Diskusi

Data Pasien :

Nama : Tn. S

□ Riset

□ Kasus

□ Presentasi dan Diskusi

□ Email

□ Audit □ Pos

No. Registrasi : 273482

Nama Klinik :-

Telp : -

Terdaftar: -

BAB I LAPORAN KASUS

Identitas Pasien Nama pasien

: Tn. S

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 54 Tahun

Alama

: Kedungpring, Lamongan

Pekerjaan

: Petani

Suku

: Jawa

Tgl. MRS

: 9 Oktober 2018

No. Register

: 273482

ANAMNESIS 1. Keluhan Utama : Kaku seluruh badan 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soegiri dengan kaku seluruh badan sejak 2 hari sebelum MRS. Awalnya, pasien merasa kaku pada rahang sejak 4 hari sebelum MRS, disertai kaku leher dan punggung terasa sakit dan kaku. 1

Pasien juga mengeluh sulit menelan sehingga nafsu makan pasien menurun. Kaku dirasakan semakin parah ketika terkena rangsangan cahaya atau sentuhan. Selama kejang pasien sadar dan bisa diajak komunikasi. Pasien sempat mengeluhkan sakit gigi 1 tahun sebelum MRS, tapi keluhan hilang sendiri dalam beberapa minggu sehingga pasien tidak berobat ke dokter gigi. Demam disangkal, luka pada tangan, kaki atau bagian tubuh lain disangkal. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Caries 1 tahun lalu Trauma (-), stroke (-), infeksi telinga (-), epilepsi (-), DM (-), HT (-). 4. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang mengalami sakit seperti pasien. 5. Riwayat Pengobatan Tidak pernah berobat. Riwayat imunisasi tidak diketahui. 6. Riwayat Sosial Pasien bekerja sebagai petani dan selalu menggunakan sepatu boot saat bekerja di sawah.

Pemeriksaan fisik Status Generalis Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: GCS 456

Berat Badan

: 60 kg

Vital sign 

Nadi

: 100x/ menit



Respiration Rate

: 28x/ menit



Suhu

: 37,50C



Tekanan Darah

: 180/100 MmHg



SpO2

: 99% dengan O2 nasal 3 lpm

Status Interna Kepala 

Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor

2



Hidung: sekret (-/-), darah (-/-), deviasi septum (-/-)



Mulut: trismus 2cm, risus sardonicus +, karies gigi molar, premolar atas bawah, gigi (+), ulkus (-), lidah kotor (-)



Telinga: sekret (-/-), darah (-/-)

Leher 

Kaku kuduk +



Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar thyroid



Peningkatan JVP (-), deviasi trakea (-) Thorak 

Cor 

Inspeksi: iktus kordis tidak tampak



Palpasi: iktus kordis tidak teraba



Perkusi: batas jantung dalam batas normal



Auskultasi: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)



Pulmo 

Inspeksi: hemitoraks kanan dan kiri simetris, retraksi (-/-)



Palpasi: fremitus raba hemitoraks kanan dan kiri sama



Perkusi: sonor pada hemitoraks kanan dan kiri



Auskultasi: suara dasar vesikuler di kedua lapang paru, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Abdomen 

Inspeksi: datar



Auskultasi : bising usus (+) dbn



Palpasi: kaku seperti papan, nyeri tekan (+), hepar dan lien tidak teraba



Perkusi: timpani

Punggung: opistotonus + Ekstremitas 

Superior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-), motorik 5/5



Inferior : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-), motorik 5/5 3

Diagnosis Tetanus generalisata

Planning Planning dx: DL, LFT, RFT, GDA, SE, EKG Planning tx: 

O2 nasal 3 lpm



IVFD asering : futrolit 1:2 dalam 24 jam



Diazepam pump 0,3cc/jam



Metronidazole 3x500mg iv



Ceftriaxone 2x1g iv



Tetagam 3000IU IM



Ranitidine 2x50mg iv



Antrain 3x1g iv



Pasang NGT



Pasang DC



Oral hygiene

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Lekosit LED Trombosit Diff count Fungsi Hati SGOT SGPT Glukosa Darah

Nilai Rujukan

Satuan

11.7 – 15.5 3.600- 11.000 10-20/jam 150.000440.000 4-0-0-74-13- 2-4/0-1/509 70/25-40/2-8

g/dL µL Jam 103 µL

Hasil 9/10/2018 15.2 8370 15-26 234.000

23 28

< 37 <39

4

uL uL

Glukosa Sewaktu Fungsi Ginjal Urea Serum Kreatinin Asam Urat Elektrolit Natrium Kalium Clorida

95

<200

mg/dL

40 0.88 4.3

10-50 0.50 – 1.10 1.9-7.9

mg/dl mg/dL mg/dL

144 3.8 144

136 – 144 3.8 – 5.0 94 - 111

meq/l meq/l meq/l

Hasil EKG: Kesimpulan: normal, sinus rhythm

FOLLOW UP 10 Oktober 2018 S : mulut sulit dibuka, badan kaku, perut seperti papan, punggung kaku. O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 88x/ menit



Respiration Rate

: 17x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 140/97 MmHg



SpO2

: 100% 5

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Risus sardonicus +, trismus 3cm, kaku kuduk + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Opistotonus + Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) A: Tetanus generalisata P: 

O2 nasal 3 lpm



IVFD aminofluid:asering 2:2 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,3cc/jam



Sonde 6x100



Pro ICU



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

11 Oktober 2018 S : nyeri kepala +, kaku +, kejang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 96x/ menit



Respiration Rate

: 28x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 150/88 MmHg



SpO2

: 100%

K/L : a/i/c/d = -/-/-/6

Risus sardonicus +, trismus 2cm, kaku kuduk + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Opistotonus + Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 3500cc Urin: 1450cc A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,3cc/jam



Inj. Furosemide 1 amp



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

12 Oktober 2018 S : nyeri kepala +, kaku semakin hebat, kejang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 100x/ menit



Respiration Rate

: 25x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 147/94 MmHg



SpO2

: 100% 7

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Risus sardonicus +, trismus 2cm, kaku kuduk + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Opistotonus + Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 3000 Urin: 2750 A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,7cc/jam



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

13 Oktober 2018 S : kaku +, kejang + O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 115x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 169/95 MmHg



SpO2

: 99% 8

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Risus sardonicus +, trismus 2cm, kaku kuduk + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Opistotonus + Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 3000cc, urin: 1750cc A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,7cc/jam



Midazolam pump 1cc/jam



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

14 Oktober 2018 S : kaku berkurang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 77x/ menit



Respiration Rate

: 22x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 145/96 MmHg



SpO2

: 99% 9

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Risus sardonicus -, trismus 4cm, kaku kuduk + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Opistotonus Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 3000cc, urin: 2250cc A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,7cc/jam



Midazolam pump 1cc/jam



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

15 Oktober 2018 S : kaku berkurang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 97x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 133/80 MmHg



SpO2

: 99% 10

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Risus sardonicus -, trismus 4cm, kaku kuduk + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Opistotonus Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 3000cc, urin: 2500cc A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,7cc/jam



Midazolam pump 1cc/jam



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

16 Oktober 2018 S : kaku berkurang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 102x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 176/70 MmHg



SpO2

: 99% 11

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Risus sardonicus -, trismus 6cm, kaku kuduk + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 3000cc, urin: 3300cc A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,7cc/jam



Midazolam pump 1cc/jam



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

17 Oktober 2018 S : kaku berkurang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 112x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 156/70 MmHg



SpO2

: 99%

K/L : a/i/c/d = -/-/-/12

Risus sardonicus -, trismus, kaku kuduk Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 2610cc, urin: 1900cc A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,5cc/jam



Midazolam pump 1cc/jam



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene

18 Oktober 2018 S : kaku berkurang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 98x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 146/70 MmHg



SpO2

: 99%

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Trismus + 13

Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 2600cc, urin: 1650cc A: Tetanus generalisata P: 

O2 NRM 10 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,5cc/jam



Midazolam pump 1cc/jam



Sonde 6x200



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene



Cek ulang DL, SE, RFT

19 Oktober 2018 S : kaku berkurang O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 86x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 156/70 MmHg



SpO2

: 99%

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Trismus + 14

Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku seperti papan, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) Intake cairan: 2700cc, urin: 1850cc

Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Lekosit LED Trombosit Diff count Fungsi Ginjal Urea Serum Kreatinin Elektrolit Natrium Kalium Clorida

Nilai Rujukan

Satuan

11.7 – 15.5 3.600- 11.000 10-20/jam 150.000440.000 0-0-0-83-17- 2-4/0-1/500 70/25-40/2-8

g/dL µL Jam 103 µL

Hasil 18/10/2018 14.2 8100 30-50 312.000

30 0.79

10-50 0.50 – 1.10

mg/dl mg/dL

143 4.4 103

136 – 144 3.8 – 5.0 94 - 111

meq/l meq/l meq/l

A: Tetanus generalisata P: 

O2 nasal 3 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam pump 0,3cc/jam



Midazolam pump 0,5cc/jam



Sonde 6x200 15



Monitor vital sign, balance cairan, kejang



Oral hygiene



Pro pindah ruangan

20 Oktober 2018 S : kaku O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 80x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 120/70 MmHg



SpO2

: 99%

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Trismus + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) A: Tetanus generalisata P: 

O2 nasal 3 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam tab 3x5mg 16



Midazolam stop



Sonde 6x200

21 Oktober 2018 S : kaku O: Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 456

Vital sign 

Nadi

: 70x/ menit



Respiration Rate

: 20x/ menit



Suhu

: 36.70C



TD

: 120/80 MmHg



SpO2

: 99%

K/L : a/i/c/d = -/-/-/Trismus + Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : ves/ves, rhonki -/- , wheezing -/Abdomen : flat, kaku, nyeri tekan +, timpani, BU(+)N Ekstremitas : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-) A: Tetanus generalisata P: 

O2 nasal 3 lpm



IVFD aminofluid : asering 2:1 dalam 24 jam



Inj. Omeprazole 2x40mg iv



Inj. Antrain 3x1g iv



Inj. Metronidazole 3x500mg



Inj. Ceftriaxone 2x2g



Diazepam tab 3x5mg



Sonde 6x200



Pro KRS besok

17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang ditandai dengan gangguan neuromuskuler akut berupa spasme otot skeletal dan gangguan saraf otonom. Tetanus disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani (Setiati, dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

2.2 Etiologi Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani yang memiliki karakteristik bakteri Gram positif, berbentuk batang, motil dan bersifat obligat anaerob. Bakteri ini juga mampu membentuk spora, yang memberikan gambaran khas pada pewarnaan HE, yaitu drumstick appearance. Spora ini dapat bertahan terhadap berbagai agen desinfektan fisik maupun kimiawi. Spora ini juga dapat bertahan pada air mendidih selama beberapa menit. Spora baru dapat dibasmi dengan pemanasan autoclaf pada suhu 121°C selama 15-20 menit. Pada lingkungan aerob, bakteri juga dapat bertahan dengan membentuk spora dan bertahan lama di tanah (Setiati, dkk., 2014; Kasper et al., 2015). Spora dari bakteri ini banyak ditemukan pada feses berbagai hewan, terutama kuda dan mengkontaminasi tanah serta dapat bertahan dalam kondisi dorman selama berbulan-bulan hingga beberapa tahun (Ropper & Samuels, 2014).

Bakteri Clostridium tetani dapat masuk melalui luka yang terkontaminasi spora atau bakteri, serta luka cukup dalam dan sempit sehingga menimbulkan suasana anaerob, misalnya luka tusuk yang dalam. Pada lingkungan yang sesuai, bakteri akan mengalami germinasi dari bentuk spora menjadi bentuk motilnya, kemudian melepaskan toksin yang menimbulkan manifestasi klinis pada pasien

18

tetanus. Selain luka tusuk, pada pasien dewasa bakteri ini bisa menginfeksi melalui lubang gigi. Pada neonatus, bakteri ini dapat menginfeksi melalui luka pada umbilical cord yang terkontaminasi, akibat perawatan umbilical yang buruk. Pada beberapa kasus, juga dapat terjadi infeksi akibat penusukan lobus auricula untuk pemasangan anting (Setiati, dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

2.3 Patofisiologi Bakteri Clostridium tetani mampu menimbulkan gejala tetanus hanya pada strain yang mampu menghasilkan toksin. Bakteri ini menghasilkan 2 jenis toksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Toksin tetanolysin memiliki sifat hemolisis, namun tidak poten dan tidak terkait dengan manifestasi gejala tetanus. Toksin tetanospasmin merupakan toksin yang menimbulkan manifestasi klinis. Toksin tetanospasmin merupakan zinc-dependent protease (Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015). Tetanospasmin berikatan dengan reseptor pada membran saraf presinaps di medula spinalis dan batang otak. Toksin ini mencegah pelepasan neurotransmitter dengan membentuk ikatan surface protein dari synaptic vesicles sehingga mencegah eksositosis dari neurotransmitter. Hambatan pelepasan neurotransmitter inhibitor, seperti GABA dan glisin, menyebabkan disregulasi aktivitas motor neuron. Hilangnya efek inhibisi ini menyebabkan kontraksi otot hingga spasme yang berkelanjutan dari otot yang motor neuronnya terinfeksi toksin tetanospasmin. Toksin ini bisa bekerja secara lokal pada end plate dari axon otot skeletal, hingga pada korteks serebrum dan sistem saraf simpatis di hipotalamus (Ropper & Samuels, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

19

2.4 Manifestasi Klinis Setelah terjadi luka yang terkontaminasi Clostridium tetani, terdapat masa inkubasi yang bervariasi dari satu atau dua hari hingga satu bulan atau lebih lama. Periode inkubasi yang lama berkaitan dengan karakteristik tetanus yang bersifat ringan dan lokal. Pasien yang mengalami masa inkubasi lebih cepat daripada 4 hari akan mengalami manifestasi gejala yang lebih berat.

Manifestasi klinis

tetanus meliputi kekakuan otot dan spasme, yang biasanya diawali dari area yang terkena infeksi dan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Pada tetanus lokal, gejala terbatas pada area luka, namun pada tetanus general, gejala spasme otot bersifat sistemik, diantaranya trismus, kekakuan leher, refleks spasme, risus sardonicus, disfagia, opisthotonus, abdomen papan, dan kontraksi otot lainnya. Trismus adalah kekakuan rahang akibat kontraksi yang kontinu dari musculus maseter akibat aktivasi nervus facialis. Diantara seluruh sistem neuromuskular, inervasi musculus maseter merupakan yang paling sensitif terhadap toksin tetanus. Risus sardonicus adalah mimik wajah khas pada pasien tetanus berupa mata menutup sebagian yang diikuti adanya kerutan alis dan mulut menyeringai. Opisthotonus adalah postur tubuh menyerupai busur akibat kontraksi otot punggung yang lebih kuat daripada otot perut. Gejala sistemik lainnya yang dapat muncul diantaranya peningkatan suhu tubuh hingga dapat mencapai kondisi hiperpireksia, hidrosis, peningkatan tekanan darah, dan takikardia (Ropper & Samuels, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015). Pada anamnesis, pasien terutama mengeluhkan adanya kekakuan otot yang mendadak dari otot area tertentu yang kemudian semakin menyebar ke bagian tubuh lainnya disertai dengan demam tinggi. Perlu ditanyakan riwayat terkena luka yang dalam atau luka yang terkontaminasi, misalnya jatuh pada area yang banyak terdapat kotoran pada 1-2 minggu sebelum munculnya gejala. Perlu ditanyakan pula riwayat gigi berlubang pada pasien. Pada pemeriksaan fisik dapat diamati gejala-gejala yang sesuai dengan manifestasi klinis diatas (Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

20

2.5 Klasifikasi Berdasarkan manifestasi klinisnya tetanus dapat dibagi menjadi : 1. Tetanus generalisata Tetanus generalisata merupakanjenis tetanus yang paling sering ditemukan, meliputi sekitar 80% dari pasien tetanus keseluruhan. Pada tetanus generalisata, manifestasi klinis spasme otot muncul pada hampir seluruh tubuh, meliputi trismus, risus sardonicus, disfagia, kekakuan otot hingga opisthotonus. 2. Tetanus lokalisata Tetanus lokalisata merupakan bentuk yang paling ringan, dimana spasme otot hanya terjadi pada sekitar area luka. Bentuk tetanus ini juga memberikan prognosis yang paling baik dibanding jenis tetanus lainnya. 3. Tetanus cephalica Pada tetanus cephalica, gejala didominasi pada area kepala, meliputi trismus, disfagia, risus sardonicus, dan paralisa dari nervus-nervus cranialis. Pada tetanus cephalica, umumnya periode inkubasi lebih singkat dan sumber infeksi pada area wajah dan kepala. 4. Tetanus neonatorum Gejala tetanus yang muncul pada neonatus akibat adanya perawatan tali pusat yang buruk, sehingga luka terkontaminasi. Gejala yang muncul diantaranya kekakuanotot wajah dan trismus yang menyebabkan kesulitan menyusu (Cook et al., 2001; Ropper & Samuels, 2014). Berdasarkan tingkat keparahan gejalanya, tetanus menurut klasifikasi Ablett dapat dibagi menjadi : (Miranda-Filho et al., 2006)

21

2.6 Diagnosis Diagnosis pada tetanus dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menemukan manifestasi klinis yang mengarah pada tetanus. Pemeriksaan kultur untuk menemukan bakteri Clostridium tetani hanya sebagai data penunjang dan tatalaksana pasien tetanus harus segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan secara klinis. Diagnosis banding dari tetanus diantaranya pasien keracunan striknin, yang juga menimbulkan manifestasi kejang dan spasme general, namun tanpa adanya riwayat trauma dan luka. Trismus karena nyeri di daerah rahang, kejang karena hipokalsemia, spasme karena obat neuroleptik juga bisa dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Pada tetanus neonatorum, manifestasi klinis tetanus dapat didiagnosis banding dengan meningoencephalitis (Kasper et al., 2015).

2.7 Tatalaksana Prinsip tatalaksana pasien tetanus adalah untuk meminimalisir efek toksinnya, yaitu kejang dan spasme otot. Pada penanganan awal pasien, wajib dilakukan primary survey untuk mencegah sumbatan jalan napas akibat spasme otot dan kejang. Trakeostomi diperlukan untuk pasien dengan recurrent generalized tonic spasm dan tidak boleh terlambat sebelum terjadi apnea atau cyanosis. Penanganan pasien tetanus sebaiknya dilakukan pada ruangan isolasi yang tenang dan relatif terlindungi dari stimulasi taktil dan suara serta penerangan. Stimulus cahaya, taktil, maupun suara dapat memprovokasi terjadinya kejang dan spasme otot (Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015). Pemberian antitoksin dosis tunggal (human tetanus immune globulin 30006000 U) harus dilakukan sesegera mungkin bersamaan dengan pemberian penicillin (penicillin procain 1,2 juta U per hari) selama 10 hari, metronidazole (500 mg setiap 6 jam secara intravena atau 400 mg per rektal), atau tetracycline (2g per hari). Pemberian obat-obat tersebut efektif terhadap vegetative forms dari C. tetani. Bila pada pasien masih terdapat luka yang terkontaminasi dan dicurigai menjadi port d’entry bakteri, dapat dilakukan pembersihan luka secara adekuat dan jaringan di sekitar luka sebaiknya diinfiltrasi dengan antitoksin (Ropper & Samuels, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015). Benzodiazepine merupakan obat yang paling poten untuk terapi kejang tetanus. Diazepam 120 mg dalam 24 jam atau lebih bisa diberikan dengan dosis 22

terbagi dengan fasilitas ventilatory support yang tersedia. Pada tetanus neonatorum, bisa diberikan diazepam dosis 0,2-0,5 mg/KgBB setiap kejang dengan dosis maksimum 5 mg dalam 24 jam. Bila tidak ada diazepam, dapat diberikan lorazepam dengan dosis 2 mg setiap kejang dengan dosis maksimum 10 mg dalam 24 jam. Untuk mengatasi spasme otot dan gangguan otonomik pada pasien, diazepam dapat dikombinasi dengan pemberian magnesium sulfat dengan dosis 5g untuk loading dose yang dapat dilanjutkan melalui infus dengan dosis 2-3 g/jam hingga spasme teratasi. Magnesium bekerja pada neuron presinaps dengan menghambat uptake kalsium yang berperan dalam kontraksi otot. Dalam pemberian magnesium sulfat perlu diperiksa secara berkala refleks patella dari pasien karena hilangnya refleks patella merupakan tanda awal kondisi hipermagnesemia akibat magnesium sulfat dan pemberiannya harus dihentikan (Cook et al., 2001; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015). Diazepam dan obat-obatan golongan benzodiazepine lainnya merupakan GABA agonis dengan bekerja pada reseptor GABA. Obat ini bereaksi dengan reseptor GABA, membuka kanal ion Cl- sehingga ion Cl- masuk ke dalam neuron. Proses ini menghambat impuls saraf. Obat ini bekerja utamanya di cerebral cortex dan sistem limbik. Flumazenil, obat antagonis dari benzodiazepine, bisa membalikkan efek tanda dan gejala overdosis dari benzodiazepine dengan cara berikatan dengan reseptor benzodiazepine di sistem saraf pusat.

23

Midazolam atau propofol bisa jadikan obat alternatif dengan pemberian infus intravena secara kontinyu. Short-acting barbiturate (secobarbital atau pentobarbital), chlorpromazine, morphine juga bisa berguna untuk pasien tetanus. Manipulasi harus diminimalisir seminimal mungkin (Ropper & Samuels, 2014).

2.8 Pencegahan Prinsip utama dalam pencegahan tetanus adalah perawatan luka yang optimal dan vaksinasi. Pada trauma benda tajam yang menimbulkan luka tusuk yang dalam, perlu segera dilakukan irigasi dengan air mengalir untuk mencegah pertumbuhan bakteri anaerob yang bisa terdapat pada luka. Bila luka tampak besar dan terkontaminasi berat, dapat segera dilakukan debridement untuk membuang kontaminan yang dapat menjadi sumber infeksi bakteri Clostridium tetani. Luka yang dicurigai terinfeksi tetanus adalah : 

Luka yang bertahan lebih dari 6 jam



Luka dengan kedalaman> 1 cm



Secara kasat mata luka tampak terkontaminasi



Luka terekspse pada saliva atau feces, serta bersifat ischemic



Luka akibat crush injury atau avulsi

Pada luka yang dicurigai terinfeksi Clostridium tetani, perlu ditanyakan pada pasien apakah sudah menerima imunisasi tetanus secara lengkap. Bila tidak didapatkan cukup data yang menunjang pasien telah terimunisasi dengan baik, segera dilakukan pemeriksaan serologis untuk memeriksa adanya antibodi terhadap toksin tetanus pada pasien dan diberikan vaksin tetanus toksoid bersamaan dengan injeksi HTIG sejumlah 3000-6000 IU. Bila pasien memiliki antibodi terhadap toksin tetanus, maka tidak dilakukan imunisasi TT booster. Namun bila pasien tidak memiliki antibodi terhadap toksin, maka dilakukan booster imunisasi TT pada 4 minggu setelah vaksin pertama, kemudian booster berikutnya 6 bulan setelah vaksin pertama (IDAI, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

24

Pencegahan utama adalah melalui imunisasi. Imunisasi tetanus diberikan melalui imunisasi DPT, bersamaan dengan vaksin untuk difteri dan pertussis. Pada preparat DPT, imunisasi yang digunakan adalah toksoid tetanus, yaitu toksin tetanus yang telah dimodifikasi sehingga tidak menimbulkan manifestasi klinis pada resipien vaksin, namun dapat menginduksi respon imun terhadap toksin tetanus yang sebenarnya. Waktu pemberian vaksin DPT yang direkomendasikan adalah pada 3 kali selama periode infant, yaitu di usia 2, 4, dan 6 bulan. Kemudian pada masa anak-anak dilakukan booster sebanyak 2 kali pada usia 18-24 bulan dan pada usia 3-5 tahun. Pada anak-anak diatas usia 7 tahun yang belum pernah menerima imunisasi DPT atau yang menerima imunisasi yang kurang lengkap, dapat diberikan imunisasi Td yang dibooster setiap 10 tahun. Tidak ada kontraindikasi pemberian vaksin tetanus selain terjadinya reaksi anafilaksis terhadap regimen vaksin (CDC, 2012; IDAI, 2014; Setiati dkk., 2014; Kasper et al., 2015).

2.9 Komplikasi Komplikasi muncul terutama pada pasien severe atau very severe tetanus dan yang paling utama pada pasien tetanus adalah spasme dari vocal cord dan otototot respiratori yang dapat menyebabkan gangguan dalam proses bernapas. Spasme otot menimbulkan rasa nyeri pada pasien dan dapat mengganggu patensi airway. Spasme otot diafragma juga berperan dalam gangguan napas dari pasien tetanus berat.

25



Laringospasme dan spasme otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan pernapasan



Infeksi nosokomial akibat perawatan rumah sakit yang lama seperti hospital acquired pneumonia.



Pneumonia aspirasi



Fraktur tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi berlebihan



Hiperaktivitas pada sistem saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, atau aritmia.



Ulcus decubitus (Hinfey et al., 2016)

2.10 Prognosis Prognosis pasien tetanus tergantung pada periode inkubasi, yaitu waktu dari inokulasi spora hingga munculnya gejala, dan waktu dari gejala awal hingga spasme tetanik yang pertama. Secara umum, periode waktu yang lebih singkat pada keduanya mengindikasikan tetanus yang lebih berat dan prognosis yang lebih buruk. Terdapat perbedaan penentu prognosis antara tetanus pada orang dewasa dibandingkan dengan tetanus neonatorum. Faktor-faktor penentu prognosis pada orang dewasa diantaranya : 1) usia pasien lebih dari 70 tahun, 2) periode inkubasi < 7 hari, 3) waktu antara gejala awal muncul hingga penanganan di rumah sakit, 4) onset < 48 jam, 5) adanya luka bakar atau luka bekas pembedahan yang kotor, 6) takikardia > 140 bpm, 7) tekanan darah sistolik > 140 mmHg, 8) suhu tubuh > 38,5°C, dan 9) spasme yang berat. Pada tetanus neonatorum, faktor penentu prognosis pasien diantaranya 1) kelahiran bayi prematur, 2) keterlambatan penanganan di rumah sakit, 3) hygiene yang buruk saat persalinan, dan 4) inkubasi < 6 hari (Setiati dkk., 2014).

26

BAB III PEMBAHASAN

Pada kasus diatas, terdapat berbagai manifestasi gejala yang sesuai dengan infeksi tetanus. Pada anamnesis, didapatkan pasien kaku seluruh badan sejak 2 hari sebelum MRS. Awalnya, pasien merasa kaku pada rahang sejak 4 hari sebelum MRS, disertai kaku leher dan punggung terasa sakit dan kaku. Pasien juga mengeluh sulit menelan. Hal ini sesuai dengan patofisiologi tetanus yaitu menimbulkan eksitasi dari sistem neuromuskular sehingga terjadi kontraksi otot yang terus menerus, menimbulkan kekakuan pada otot. Berdasarkan klasifikasi Ablett, pasien ini merupakan pasien tetanus derajat 3. Pada pasien ini juga didapatkan demam subfebris. Pada penderita tetanus, dapat terjadi peningkatan suhu tubuh yang signifikan, bahkan dapat mencapai 40°C. Peningkatan suhu tubuh penderita tetanus disebabkan oleh disregulasi saraf otonom akibat hambatan efek inhibisi dari sel Renshaw (Kasper et al., 2015). Kondisi ini menyebabkan hipermetabolisme pada pasien, yang ditunjukkan melalui karakteristik banyak berkeringat (hiperhidrosis). Kondisi hipermetabolisme akan menimbulkan percepatan penggunaan oksigen yang dikompensasi dengan peningkatan laju pernapasan (tachypneu). Tachypneu juga bisa disebabkan oleh gangguan saraf otonom (Kasper et al., 2015; Chapin & Geibel, 2016). Pada pasien ini, juga didapatkan manifestasi tachypneu dengan RR mencapai 28 kali per menit. Pengarahan pada diagnosis tetanus pada pasien diatas diperkuat dengan riwayat pasien sakit gigi sejak 1 tahun terakhir. Hal ini sesuai dengan literature yang mengatakan bahwa sumber infeksi yang bisa menyebabkan kejadian tetanus adalah salah satunya dari infeksi gigi berlubang. Gigi berlubang memperbesar kemungkinan terbentuknya lingkungan anaerob. Pada lingkungan anaerob, spora Clostridium tetani akan berubah menjadi bentuk vegetatifnya dan memproduksi toksin. Selain itu dari waktu antara kejadian terjadinya luka dengan munculnya manifestasi gejala, sesuai dengan masa periode inkubasi dari infeksi Clostridium tetani, yaitu antara 4-14 hari (Kasper et al., 2015). Pasien ini digolongkan ke dalam tetanus generalisata karena pasien sudah memberikan gejala yang jauh dari area infeksi dan telah muncul gejala disfungsi saraf otonom. Luka yang dialami pasien berada di kaki sedangkan manifestasi 27

klinis pasien dominan pada area rahang (trismus). Selain itu, pasien dalam perjalanan penyakitnya telah mengalami kejang umum. Terjadinya trismus sesuai dengan perjalanan penyakit tetanus dimana kontraksi otot maseter merupakan gejala yang seringkali mengawali keadaan kontraksi otot secara general karena sistem neuromuskularnya yang lebih sensitif terhadap toksin tetanus (Ropper & Samuels, 2014). Kejang yang terjadi pada pasien tetanus dapat dibedakan dengan kejang pada penyakit lainnya adalah pada tetanus, selama terjadi proses kejang pasien sadar sepenuhnya dan setelah kejang berhenti, pasien dapat menjelaskan bahwa tubuhnya kontraksi selama kejang. Diagnosis tetanus dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, sedangkan pemeriksaan penunjang laboratorum digunakan sebagai parameter terhadap terjadinya komplikasi akibat gejala-gejala yang muncul akibat tetanus (Setiati dkk., 2014). Tatalaksana pasien tetanus yang utama adalah primary survey, dan pada pasien ini primary survey telah paten, hanya perlu monitoring untuk mencegah gangguan pada jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Pasien ditempatkan pada ruang isolasi dan dalam kondisi bed rest untuk mencegah provokasi kejang maupun kontraksi otot oleh stimulus dari luar, seperti suara, cahaya terang, dan sentuhan (Kasper et al., 2015). Pada pasien ini diberikan antibiotik metronidazole yang memiliki indikasi digunakan pada infeksi bakteri-bakteri anaerob. Kemudian untuk mencegah efek toksin meluas, pada pasien ini segera diberikan injeksi HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) yang dapat mengikat toksin tetanospasmin. HTIG merupakan komponen yang esensial dalam manajemen pasien tetanus karena HTIG mencegah absorbsi tetanospasmin oleh sel neuron, meskipun HTIG tidak dapat mempengaruhi toksin yang telah diabsorbsi oleh sel neuron. Bakteri tidak dapat seketika dibasmi dengan antibiotik dan selama proses degradasi tersebut, bakteri yang bertahan akan memproduksi toksin yang dapat memprovokasi manifestasi gejala. Gejala yang bisa membahayakan diantaranya adalah kontraksi dari otototot napas yang dapat mengganggu patensi primary survey (Abrahamian et al., 2000). Pasien ini tidak diberikan vaksinasi yang seharusnya diberikan tetanus toksoid untuk mencegah timbulnya manifestasi tetanus bila pasien kembali mengalami luka dengan mekanisme yang mirip (Hinfey et al., 2016). 28

BAB 4 KESIMPULAN

Tetanus merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri anaerob Clostridium tetani. Manifestasi klinis tetanus seperti kekakuan dan spasme otot serta disfungsi otonom disebabkanoleh toksin yang dilepaskan oleh bakteri. Diagnosis tetanus dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien usia 54 tahun dengan keluhan utama kekakuan seluruh badan sejak 2 hari sebelum MRS, yang diawali kaku pada rahang sejak 4 hari sebelum MRS, disertai kaku leher dan punggung terasa sakit dan kaku. Pasien juga memiliki riwayat sakit gigi sejak 1 tahun terakhir. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan kejang dan kaku seluruh tubuh dengan kesadaran yang tidak menurun, peningkatan tekanan darah disertai takikardia yang merupakan gejala dari disfungsi otonom. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah tetanus. Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis. Terapi farmakologis yang diberikan pada pasien adalah HTIG 3000 IU, injeksi diazepam, antibiotik ceftriaxone 2 x 2 g, dan infus metronidazole 3 x 500 mg. Terapi non-farmakologis meliputi bed rest, penempatan pasien pada ruang isolasi yang gelap dan tenang, surface cooling, dan oral hygiene untuk eradikasi sumber infeksi.

29

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamian, F. M., Pollack, C. V., LoVecchio, F., Nanda, R., Carlson, R. W. 2000. Fatal Tetanus in a Drug Abuser with “Protective” Antitetanus Antibodies. The Journal of Emergency Medicine; 18(2): 189-193. Bleck, T. P., Brauner, J. S. 17. Tetanus. Infections of the Central nervus System. Second edition. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, PA: p.629-653. CDC.

2012.

Tetanus.

http://www.cdc.gov/VACCINes/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf. Diakses pada tanggal 6 Oktober 2018. Chapin,

J.

W.,

Geibel,

J.

2016.

Malignant

Hyperthermia.

http://emedicine.Medscape.com/ article/2231150-overview. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2018. Cook, T. M., Protheroe, R. T., Handel, J. M. 2001. Tetanus: a Review of the Literature. British Journal of Anaesthesia; 87: 477-487. Hinfey, P. B., Ripper, J., Engell, C. A., Chappell, K. N. 2016. Tetanus. http://emedicine. Medscape.com/article/2254-overview#a2. Diakses pada tanggal 23 September 2018. Kasper, D. L., Hauser, S. L., Jameson, J. L., Fauci, A. S., Longo, D. L., Lozcalzo, J. (Ed.). 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th Edition. McGraw Hill Education. New York. p.84-87. Kretsinger, K., Broder, K. R., Cortese, M. M., Joyce, M. P., et al. 2006. Preventing Tetanus, Diphteria, and Tetanus Among Adults; Use of Tetanus Toxoid, Reduced

Diphteria

Toxoid

and

Acellular

Pertussis

Vaccine

Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and Recommendations of ACIP, supported by the Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), for Use of Tdap among Health-care Personnel. MMWR Recomm Rep.; 55: 1-37. Miranda-Filho, D. B., Ximenes, R. A. A., Barne, A. A., Vaz, V. L., Vieira, V. G., Albuquerque, V. M. G. 2006. Clinical Classificatinof Tetanus Patients. Brazzilian Journal of Medical and Biological Research; 3: 132-1337. 30

Roper, M. H., Vandelaer, J. H., Gasse, F. L. 2007. Maternal and Neonatal Tetanus. www.lancet.com. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2018. Ropper, A. H., Samuels, M. A. 2014. Adams and Victor’s Principles of Neurology. Tenth Edition. The McGraw-Hill Companies Inc. New York. Setiati, S., Alwi, I., Sudy, A. W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., Syam, A. F. (Ed.) 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid Keenam. Interna Publishing. Jakarta. p.63-642.

31

Related Documents

Tetanus
November 2019 29
Tetanus
November 2019 37
Tetanus
November 2019 36
Tetanus
December 2019 48

More Documents from "riezhaf"

20994_lapsus.docx
May 2020 2
Migrain.docx
May 2020 3