Tesis Perbaikan Sidang

  • Uploaded by: ARDONI
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tesis Perbaikan Sidang as PDF for free.

More details

  • Words: 40,644
  • Pages: 149
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan,

sebagaimana pula yang

dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat

Islam dibandingkan

dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi embel-embel

Islam,

juga

dianggap

berkonotasi

kemunduran

dan

keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.1 Pendapat ini sangat berpengaruh terhadap sistem Pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan subsistem pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering diperuntukan hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin. Keberadaan lembaga

Pendidikan yang disebutkan di atas cukup

variatif, sekalipun mungkin peran dan fungsinya masih dipertanyakan dalam konfigurasi

pendidikan nasional. Untuk itu fungsi pendidikan Islam dari

lembaga atau tempat pendidikan tersebut, perlu dirumuskan secara lebih spesifik, efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab tantangan yang dihadapi. Kalau kita telaah literatur dalam pendidikan Islam, maka diketahui bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat tanggungjawabnya bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada 1Soroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, (Yogyakarta : Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kaliga, 1991), Volume I, hlm. 77

1

umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasi pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya. Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan baik individu maupun kelompok, dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan alKhaliq, sesama manusia, maupun dengan alam.2 Akan tetapi pada tataran operasional, rumusan-rumusan ideal yang dikemukakan di atas belum terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup variatif dalam berusaha menerapkan konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan posisi pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah. Melihat kenyataan ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam, terutama pada sistem pendidikan, harus diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga nanti usahanya dapat menyentuh pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah termasuk pada pondok pesantren. Di samping inovasi pada sisi kelembagaan, faktor tenaga pendidikan juga harus ditingkatkan aspek etos kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi (kurikulum) yang pendekatan metodologi masih berorientasi pada sistem tradisional, dan perbaikan manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka usaha untuk melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode, materi (kurikulum), lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi pendidikan, tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi 2M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 15

2

dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model pendidikan

bagi

kelompok

masyarakat.

Perbaikan

wawasan,

sikap,

pengetahuan, keterampilan, diharapkan akan memperbaiki kehidupan sosiokultural dan ekonomi masyarakat. Konsumsi pendidikan dan pengembangan keilmuan untuk kelompok masyarakat, belum tampak berkembang, kecuali usaha-usaha yang secara naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu.3 Perbaikan fungsi pendidikan Islam pada tahap lanjut, harus dilakukan menjadi satu kesatuan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang terkait erat sekali, seperti masjid dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah, keluarga muslim, masyarakat muslim di suatu kesatuan teritorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga

pendidikan

Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren, Masjid, Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Peran di sini seperti yang diungkapkan Bruce J Cohen, peran adalah suatu perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu. Peran-peran yang tepat dipelajari sebagai bagian dari proses sosialisasi dan kemudian diambil oleh para individu.4 Permasalahan yang muncul adalah bagaimana lembaga-lembaga Islam, termasuk pondok pesantren atau para penyelenggara pendidikan (kyai), mampu mempersiapkan diri dan berperan dalam mengembangkan pendidikan Islam yang ada. Hal ini mencakup tujuan, manajemen kelembagaan, kurikulum, proses pembelajaran, sarana-prasarana, dan evaluasi. Sehingga output-nya dapat menghadapi perubahan masyarakat yang terus maju hidup dalam tatanan ajaran Islam. Ini merupakan pertanyaan besar yang memerlukan jawaban segera oleh lembaga pendidikan yang bernaung atas nama pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan tempat yang relevan untuk menyiarkan agama, maupun masalah - masalah sosial lainnya, karena dalam pondok 3Suyuta, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi, (Yogyakarta : Majalah UNISIA No. 12 Th. XIII, UII,1992), hlm. 28 4 Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 76

3

pesantren ini ilmu yang diajarkan nantinya dapat diterapkan oleh para santrinya dalam masyarakat di sekitarnya.5 Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia sudah ada dan berkembang dan tumbuh mengakar di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan bahkan tetap di kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Di sisi lain, pesantren mempunyai peranan yang sangat penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Dan tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia. Lembaga ini telah eksis jauh sebelum kedatangan Islam di Nusantara.6 Sejak masa awal penyebaran Islam, pesantren adalah saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia. Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa terpisahkan dari peranan pesantren. Bermula dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan publik Islam dikendalikan. Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam bidang keilmuan dan intelektual.7 Pondok pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap mempunyai kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat, sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi pembangunan.8 5Abdurrahman Soleh, Penyelenggaraan Madrasah Pesantren, (Jakarta : Dharma Bakti, 1985), hlm. 46 6Menurut sejarahnya, terdapat dua versi pendapat tentang akar berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa pondok pesantren pada mulanya merupakan pengambilalihan dari system pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum Islam datang ke Nusantara, pondok pesantren ini sudah ada di negeri ini yang dijadikan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 10 7 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. ke-2, hlm. 184. 8 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 56-57

4

Pembangunan, terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spiritual maupun secara material9, atau membentuk manusia yang utuh, paripurna, yang berkesinambungan antara nilai-nilai kejasmanian dan kerohanian.10 Dimana pada prinsipnya tujuan utama pembangunan yaitu adanya keinginan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya dengan melalui berbagai bidang kehidupan terutama peningkatan dalam bidang pendidikan. Kondisi ini menuntut pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya, karena itu A. Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi (insinght), kelembagaan (organisasi), manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya.11 Sebagai salah satu lembaga pendidikan, pesantren tumbuh dan berkembang

sesuai

dengan

pengembangan

Islam.

Memang

dalam

kenyataannya perkembangan pesantren secara kuantitatif tidak menurun, bahkan memperlihatkan gejala naik dan ditandai oleh timbulnya pesantrenpesantren baru.12 Perkembangan pesantren pada saat ini tetap mengemban tugas sebagai wadah pembinaan umat Islam yang berorientasi kepada peningkatan moral umat, terutama dalam pendidikan Islam. Kenyataan membuktikan, 9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1989), hlm. 454 10Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 87 11M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan , (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 3 12M Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), hlm. 6

5

bahwa umat Islam mendambakan agar pemimpin umat, datang dari lembaga ini yang akan membawa mereka manuju satu jalan kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. Sebenarnya pembinaan yang dikembangkan di pesantren tidak hanya jalur pendidikan saja, tetapi mencakup juga segi kerohanian terutama menempa jiwa santri dalam mencapai satu tatanan kehidupan yang teratur, tertib, kerja sama yang harmonis, mengutamakan kepentingan umum dan lebih banyak beramal saleh. Menurut Mastuhu, yang terpenting adalah bahwa suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukan adanya kecocokan nilai antara pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya, setidaktidaknya tidak ada pertentangan. Lebih jauh dari itu, suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh peserta didik, orang tua, dan seluruh masyarakat apabila ia mampu menyatu dengan masyarakat sekitarnya dalam bidang moral. Pesantren sering diidealkan sebagai komunitas ideal dan sakral. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang mendidik santrinya untuk menjadi orang saleh yang idealis, moralis, dan berorientasi ukrawi 13 Sementara, Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa pesantren dapat menyumbang penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan pendidikan Nasional. Budi luhur, kemandirian, kesehatan ronahi, adalah tujuan-tujuan pendidikan Nasional, yang juga merupakan utama pendidikan pesantren14 Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban.15 Untuk membangun peradaban Islam ini, di Sumatera Barat banyak juga bermunculan pondok pesantren, tetapi di Sumatera Barat lembaga pendidikan yang ada pertama kali sebelum diodopsi ke dalam bentuk pesantren di Jawa dikenal dengan Surau.16 Surau sebagai lembaga pendidikan tertua di Minangkabau dimulai 13Mastuhu, op. cit., hlm. 4 14Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, hlm. 203 15A Syafii Ma’arif, “Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Islam Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah, di Jakarta : Pondok Gede,1996, hlm. 5 16 Ibrahim Bukhari Sidi, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta : PT. Pradya Persada, 1974), hlm. 71

6

dari surau yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin, dimana surau pada waktu itu berfungsi sebagai tempat melaksanakan sholat dan juga sebagai tempat pendidikan tarekat, jadi pada saat itu surau mempunyai dua fungsi. Dalam perkembangannya, eksistensi surau merupakan lembaga yang sangat strategis bagi pengajaran agama Islam. Dari surau inilah bermunculan surau-surau di daerah Minangkabau ini seperti surau Jambatan Besi di Padang Panjang, surau Tanjung Sunganyang, surau Gadang Thawalib Tanjung Limau, surau Parabek, surau Candung dan lain-lain.17 Dalam catatan sejarah dikatakan, jauh sebelum tahun 1900-an di bawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad perguruan Thawalib telah memulai pendidikannya dengan sistem halaqah bertempat di surau Jemabatan Besi (sekarang bernama Pesantren Thawalib), yang kemudian dilanjutkan oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah, seorang ulama besar yang baru pulang belajar dari Mekah yang dikenal dengan sebutan inyiak rasul atau inyiak Deer (ayah almarhum Buya HAMKA). Beliau sekaligus mengubah sistem belajar secara klasikal.18 Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan bagian dari realitas masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang awalnya masih merupakan afiliasi dari Surau Jembatan Besi di Padang Panjang, tetapi berbeda dalam strukturnya, dituntut untuk lebih meningkat dalam membangun peradaban Islam serta berusaha melakukan pengembangan pendidikan Islam. Kenyataan menunjukan bahwa pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau telah berkiprah ditengah-tengah kehidupan masyarakat semenjak zaman penjajahan Belanda. Pondok pesantren ini telah menyatu dengan masyarakat, akan tetapi disatu sisi terutama dalam perjalannya sekarang mengalami perubahan pola majamen dan sistem dari sistem yang ada. Dan permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah, terjadinya ketimpangan dalam sistem pendidikan pondok pesantren, dimana sistem yang dipakai sesuai dengan haluan dan 17 Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita, (Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan) 18Ibrahim Bukhari Sidi, op.cit., hlm. 72

7

pemikiran Buya selaku pimpinan, serta adanya interpensi dari pengurus yayasan sebagai pemegang otoritas lembaga. Oleh karena itu, pondok pesantren ini dituntut untuk senantiasa mengembangkan kelembagaannya, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui wajib belajar, mengadakan pelatihan-pelatihan serta kursus keterampilan bagi para santri dan anggota masyarakat sekitarnya. Dengan demikian masalah yang akan dihadapi dan akan menjadi tanggungjawab Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di masa yang akan datang adalah bagaimana pesantren dapat berperan dalam pengembangan pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. B.Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pada masalah di atas, maka pembahasan pesantren dan pengembangan pendidikan Islam ini cukup menarik untuk diteliti. Hal ini mengingat peran strategis pondok pesantren di masa depan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam melakukan peningkatan mutu pendidikan dan pengembangan pendidikan Islam ditengah-tengah masyarakat. Untuk keperluan tersebut, studi kasus penelitian adalah di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Pertanyaannya adalah bagaimana peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau (semenjak berobah statusnya menjadi pondok pesantren tahun 1972) dalam meningkatkan mutu dan mengembangkan pendidikan Islam?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka yang menjadi tema pokok dalam penelitian ini adalah: PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT. Permasalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan

penelitian

berikut: a.Bagaimana latar belakang, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Barat

?

8

Kabupaten Tanah Datar Sumatera

b.Bagaimana kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? c.Bagaimana proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? d.Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? e.Bagaimana peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat,mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama. C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a.Mengetahui latar belakang berdirinya, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau

Kabupaten Tanah Datar

Sumatera Barat. b.Mengetahui kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. c.Mengetahui proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. d.Mengetahui faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. e.Mengetahui peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Ilmiah

9

Hasil penelitian ini memberikan konstribusi dalam ilmu sejrah kebudayaan Islam dan dapat dijadikan teori dan ilmu baru tentang

peranan

Pondok

pendidikan Islam dan

Pesantren

dalam

pengembangan

sekaligus sebagai bahan kajian lebih

mendalam mengenai pondok pesantren. b. Kegunaan praktis 1) Bagi penulis sendiri, hasil ini dijadikan sebagai upaya menambah pengetahuan dan wawasan serta pengalaman, terutama mengenai peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam peningkatan dan pengembangan mutu Pendidikan Islam. 2) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi tentang pentingnya melakukan peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan Islam melalui peran lembaga pendidikan pondok pesantren yang merupakan kebudayaan dan peradaban Islam. 3) Bagi pengelola pondok pesantren, hasil penelitian ini memberikan landasan berpikir dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam. D.Kerangka Pemikiran Pendidikan Pondok pesantren berperan dalam memberikan nilai-nilai Islam yang tinggi serta berkontribusi mencerdaskan serta membentuk karakter masyarakat yang islami.. Disamping itu pondok pesantren berperan dalam menciptakan ulama inteletual dan intelektual ulama, disamping menumbuhkan nilai-nilai Islam ditengah-tengah kehudpan masyarakat. Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap atau asrama. Sedangkan pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri, diimbuhi awalan pe dan akhiran an yang berarti penuntut ilmu.19 Kata pesantren mengandung pengertian asrama atau tempat murid-murid belajar 19Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafondo Persada, 1995), hlm. 145

10

mengaji dan bisa juga disebut pondok.20 Dalam bahasa Indonesia sering nama pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut pondok pesantren. 21 Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan masyrakat yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang positif yang mempunyai ciri khas tersendiri, sebagai lembaga pendidikan Islam. Adapun unsur pokok dari pesantren adalah : Kiyai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab-kitab klasik22. Menurut istilah Islam

untuk

pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional mempelajari,

memahami,

mendalami,

menghayati

dan

mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.23 Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.24 Jauh sebelum masa kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem pendidikan nusantara. Hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa.25 Dalam perkembangannya pondok pesantren mengalami dinamika sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Pada awalnya pondok pesantren bersifat tradisional non klasikal dengan metode sorongan26 dan 20Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), hlm. 762 21Manfrek Ziemek, Pesantren dalam PerubahanSosial, (Jakarta : P3M, 1986 ), hlm. 116 22Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Bandung : Citapustaka Media, 2001), hlm. 69 23Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 155 24Pondok Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 ini di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawwuf dan menjadi pusatpusat penyiaran Islam. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hlm. 11 25Departeman Agama, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 3 26Sorogan adalah santri menghadap kiyai seorang-seorang dengan membaca kitab yang akan dipelajarinya. Santri menyimak dan mengesahkan dengan memberi catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiayi. Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 223

11

wetonan27 dan materi khusus mempelajari agama. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pondok pesantren berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat musilim Indonesia.28 Wirjo Sukarto menunjukan bahwa tujuan utama pendidikan pondok pesantren adalah menyiapkan calon lulusan hanya menguasai masalah agama semata. Rencana pelajaran (kurikulum) ditetapkan oleh Kiyai dengan menunjukan kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Pengunaan kitab dimulai dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya kitab yang telah ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya. Ukuran kealiman seorang santri bukan dari banyaknya kitab yang dipelajari tetapi diukur dengan praktek mengajar sebagai guru mengaji, dapat memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-santri lainnya.29 Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok pesantren, terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliput: (1) pengajian al-Qur’an; (2) pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat,yaitu: (a) mengaji nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, Matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya; (b) mengaji tauhid, nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari,’Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in dan sebagainya; dan (c) mengaji Tauhid, nahwu sharaf, fiqh dan tafsir dan lainnya dengan memakai kitab Kifayatul ’Awam ( Ummul Barahin), Ibnu ’Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.30 Lembaga pendidikan yang berbasis pada pesantren ini mempunyai 27Wetonan adalah metode kuliah, dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekililing kiayi yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Di Jawa Barat metode ini disebut bandongan sedang di Sumatra disebut halaqah atau balaghan (balagan). Abdul Rachman Saleh, Ibid, hlm. 223 28Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1996) cet. ke-3. Jilid 4, hlm. 99 29Amir Hamzah Wirjo Sukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember : Muria Offset, 1985), cet. ke-4, hlm. 27-28 30Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara, 1979), hlm. 54-55

12

peran dalam segala aspek, tidak hanya dalam aspek ukrawi semata, melainkan dalam aspek kehidupan umat manusia yang lain. Adapun peran yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan Islam disini adalah dalam upaya menemukan pembaharuan dalam sistem pendidikan yang meliputi metode pengajaran, baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, guru yang kreatif dan penuh dedikasi (kualitas sumber daya manusia), mengembangkan kelembagaan, pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan bidang keilmuan dan keterampilan.31 Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di Indonesia cukup variatif. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa pendidikan Islam yang berbasis pada pondok pesentren, diharapkan menjadi “modal” dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma didaktik-metodologis.

Sebab,

pengembangan

keilmuan

yang

integral

(interdisipliner) akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga pendidikan Islam selama ini berkembang. Tetapi sayangnya pendidikan model ini belum ditindak lanjuti dan dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik dari kurikulum dan materi, metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan organisasi. 32 Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam ini perlu mendapat perhatian

yang

serius

dalam

menuntut

pemberdayaan

yang

harus

disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman. Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk, karena: Pertama, pendidikan Islam

subsistem pendidikan nasional di

31Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam ; Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefenisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), cet. ke-1,hlm. 33 32Karel Steenbink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modren, (Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 21

13

Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman positif. Kedua, pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem

pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan,

masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem Pendidikan Islam yang dapat dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.33 Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional untuk tujuan mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian pesentren merupakan sistem pendidikan yang berkembang di masyarakat. Unsur-unsur

sistem pendidikan selain terdiri atas pelaku yang

merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur-unsur non organik lainnya berupa dana, sarana dan alat-alat pendidikan lainnya, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan unsur-unsur dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Para pelaku pesantren adalah kyai (buya) sebagai tokoh utama dan merupakan kunci dari sebuah pesantren, ustadz sebagai pembantu kyai dalam bidang agama, guru sebagai pembantu kyai dalam mengajar ilmu-ilmu umum, santri sebagai pelajar, dan pengurus sebagai pembantu kyai dalam mengurus kepentingan umum pesantren. Nilai-nilai yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hasil perpaduan inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapi oleh sebuah pondok pesantren. 33Suyata, op .cit., hlm. 23

14

Tujuan terbentuknya pesantren diantaranya adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam dan mempunyai ilmu agama, sehingga sangup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Disamping itu, tujuan khusus dibentuknya sebuah pondok pesantren adalah mempersiapkan anak didik (santri) untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam masyarakat.34 Sistem yang diutamakan dalam pendidikan di pesantren adalah kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup. Para alumninya tidak ingin menduduki jabatan pemerintah, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.35 Dengan demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus – menerus antara kepercayaan terhadap ajaran agama Islam yang diyakini mempunyai nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki kebenaran relatif. Keberadaan pesantren di Indonesia sudah mulai sejak Islam pertama kali datang di negeri ini, Ibrahim Bukhari sebagaimana dikutip oleh Samaun Bakry menyatakan bahwa sejarah dan perkembangan pesantren tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam itu sendiri ke Nusantara,36 karena kahadiran pesantren beriringan dengan kehadiran Islam di Nusantara, maka kehadiran pesantren di tanah air erat kaitannya dengan datangnya Islam ke Nusantara, demi memudahkan analisanya dalam konteks kepesantrenan di Indonesia maka penyebutan abad ke tujuh tetap dipakai meskipun keberadaannya masih relatif.37 Ciri-ciri khusus dari sebuah pondok pesantren adalah kurikulumnya terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya sintaksis Arab, morfologi Arab, hukum Islam, sistem yurisfudensi Islam, hadits, tafsir al-Qur'an, teologi Islam, 34M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 248 35M Amin Rais, Cakrawala Islam , antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1989), cet. ke1, hlm. 162 36Samaun Bakry, Mengagas Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005), cet. ke-1, hlm. 158 37Ibid., hlm. 159

15

tasauf, tarikh, dan mantiq(retorika)38 Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik dengan istilah " kitab kuning" dengan ciri-ciri kitabnya berbahasa Arab tanpa syakal (baris), bahkan tanpa titik dan koma, berisi keilmuan yang cukup berbobot, dan metode penulisannya dianggap kuno, lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren, dan banyak diantara kertasnya berwarna kuning.39 Pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mapan, yaitu di dalamnya didirikan sekolah baik secara formal maupun non formal. Dewasa ini pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka merenovasi terhadap sistem pendidikan yang selama ini dipergunakan, yaitu mulai akrab dengan metodologi modern, semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional dalam artian terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan, serta berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat di samping sebagai pusat pendidikan Islam.40 Jadi dengan demikian, intinya, pesantren merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan kurikulum, proses, sistem evaluasi dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati oleh

masyarakat. Disamping itu, peranan adanya peningkatan mutu

pendidikan menuntut sebuah pesantren menjalin hubungan yang akrab dan harmonis dengan lembaga-lembaga lainnya yang berkembang di masyarakat. Semua itu merupakan mata rantai yang saling mendukung dan berkaitan dengan menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga sentral terhadap lembaga-lembaga lainnya yang ada di tengah-tengah masyarakat. 38Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta : Mulia Offset. 1999), cet. ke-1, hlm. 26 39Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta : Galasa Nusantara. 1997), cet. ke-1, hlm. 103-104 40M Rusli Karim, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transpormasi Sosial Budaya", dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1991), cet. ke-1, hlm. 134

16

Atas dasar itu, maka kehadiran sebuah pondok pesantren ditengahtengah masyarakat akan berdiri di atas dua kepentingan, yaitu sebagai agen pewaris budaya pada satu sisi untuk menanamkan nilai-nilai ajaran dasar agama Islam, dan disisi lain sebagai peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pesantren untuk menghadapi tantangan perubahan masyarakat. Dengan kedua fungsi tersebut, diharapkan pondok pesantren akan tetap eksis dan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk membentuk generasi yang siap menghadapi tuntutan dan tantangan zaman dan mengamalkan ajaran agama Islam hingga sekarang dan masa yang akan datang. Pola pengembangan pendidikan Islam yang disintesiskan dari pertemuan corak lama dan corak baru yang berwujud madrasah/sekolah, yang kemudian diadopsi oleh Thawalib Tanjung Limau dengan mengikuti format Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi pendidikan

tetap

menonjolkan

ilmu-ilmu

agama

Islam.41

Awalnya

pengembangan pendidikan telah dimulai dengan pembaharuan yang dilakukn oleh tiga orang haji yang kembali belajar dari Mekah, yaitu haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.42 Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh tiga serangkai pembaharu di Minang Kabau, yang dikenal dengan gerakan kaum muda mereka adalah Haji Rasul ( Inyiak Deer), Haji Abdullah Ahmad, dan Haji Djamil Jambek.43 Melalui peran mereka dan murid-murid mereka inilah lembaga pendidikan Islam berubah menjadi lembaga pendidikan yang lebih moderen, dengan format Baratnya yaitu memasukan pelajaran umum ke dalam lembaga tradisional dan memasukan pelajaran Agama ke sekolah-sekolah umum, serta dengan merobah metode halaqah di lembaga tradisional dengan metode belajar secara klasikal. E.Langkah-Langkah Penelitian 1.Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, karena yang 41Muhaimin, op. cit., hlm. 24 42Hamka, Adat Minag Kabau Menghadapi Revolusi, (Jakarta : Tekad, 1963), hlm.167 43Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 122

17

akan diteliti adalah persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan pada saat sekarang. Dalam hal ini penelitian dimaksudkan untuk mengambarkan secara aktual mengenai peranan pondok pesantren Thawalib Tanjung dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Adapun aspek-aspek peranan yang akan digambarkan dalam penelitian ini diantaranya adalah: peranan Pondok pesantren dalam mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, peranan dalam meningkatkan sumber daya manusia terutama dalam ilmu agama dan umum, dan peranan dalam pengembangan sarana dan prasarana pendidikan untuk mutu meningkatkan pendidikan Islam. Dalam mengambarkan peran pondok pesantren Thawalib dalam pengembangan Pendidikan Islam tersebut di atas, pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan deskriptif -analitis historis. Maksudnya adalah data yang telah terkumpul; yaitu berupa kata, kalimat, dan gambar, yang dibagi dalam perioderisasi perkembangan pesantren sehingga pendekatan ini bukan kuantitatif yang mengunakan alat-alat pengukur data statistik. 2.Jenis Data Sesuai dengan metode penelitian yang dipilih di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara rinci gambaran mengenai peran Pondok

Pesantren

Thawalib

Tanjung

Limau

dalam

dalam

pengembangan Pendidikan Islam, yang meliputi : (a) data tentang sejarah dan Perkembangan pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (b) data tentang visi, misi dan tujuan pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (c) data tentang kurikulum yang dipakai di pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar dalam Pengembangan Pendidikan Islam, (d) data tentang proses pelaksanaan dan evaluasi pendidikan Islam di pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (e) data tentang faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten

18

Tanah Datar, (f) data tentang peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam. 3.Sumber Data Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu: a. Data Primer Yang dimaksud dengan data primer di sini adalah data yang diperoleh dari lapangan. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah: 1) Pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau 2) Staf pengajar/ kyai 3) Dewan santri 3) Tokoh masyarakat yang ada disekitar pondok pesantren, dan 4) Alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau. b. Data Sekunder Yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber data yang didapat dari literatur dan dokumentasi. 4.Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Teknik observasi maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan jalan pengamatan langsung terhadap objek yang akan diteliti. Dalam teknik ini proses observasi dilakukan untuk mengamati atau mengetahui kondisi objektif peran pondok pesantren Thawalib terhadap pengembangan Pendidikan Islam. b.Wawancara Teknik wawancara maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan proses melakukan tanya jawab atau wawancara dengan sumber data primer yang telah ditentukan sebelumnya. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, maksudnya adalah pewawancara menentukan sendiri masalah dan pertanyaan yang diajukan sesuai dengan permasalahan yang

19

diteliti. Wawancara diajukan kepada sumber data primer, yaitu pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, staf pengajar atau dewan guru/kiyai, dewan santri, dan tokoh masyarakat dan alumni. c.Studi Dokumentasi Studi dokumentasi maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan jalan mengumpulkan dokumen resmi pondok pesantren berupa arsip, photo-photo kegiatan yang berkaitan dengan peran Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam. 5.Analisis Data Analisis merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah, sebab dalam bagian inilah data tersebut dapat memberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data.44 Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah menganalisis data. Karena datanya kualitatif, maka pendekatan yang digunakan dalam menganalisis data ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut : a.Reduksi Data Data atau informasi yang diperoleh dari lapangan sebagai bahan “mentah” direduksi, dirangkum, disusun secara sistematis, dipilih hal-hal yang pokok, atau difokuskan kepada hal-hal yang penting yang relevan dengan subyek penelitian, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas atau tajam tentang hasil yang telah diperoleh. b.Display Data Langkah lanjut dari reduksi dengan menyusunnya secara rapi dan 44Lexy Meliong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 280

20

sistematis untuk disajikan dengan uraian naratif. Hal ini dilakukan untuk mendapat gambaran yang utuh dari data yang diperoleh, atau gambaran tentang keterkaitan antara aspek yang satu dengan aspek lainnya. c.Verifikasi Data Penarikan kesimpulan-kesimpulan secara sementara, kemudian dilengkapi dengan data pendukung lainnya sehingga sempurnalah hasil dari penelitian. verifikasi dilakukan dengan melihat kembali pada reduksi data maupun display data sehingga kesimpulan tidak menyimpang dari data yang dianalisis. d.Melakukan penulisan terhadap data yang telah dianggap valid dan sesuai dengan masalah penelitian.45

F.Studi Kepustakaan Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada bahan yang cocok maupun dokumentasi/arsip yang memadai sebagai sumber penulisan peran pondok pesantren Thawalib yang terletak di Tanjung Limau Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh karena itu sebagai acuan yang kuat bagi penulis, maka penulis mengambil sebuah skripsi yang berjudul : Aktifitas

Pondok

Pesantren

Thawalib

Tanjung

Limau

Dalam

Melaksanakan Dakwah Islamiah di Desa Tanjung Limau Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh Asrinaldi, BP. 295 015 Jurusannya adalah Bidang Penyuluhan Islam (BPI), Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol (IB) Padang. Dan juga skripsi Widiawati, Bp. 295.107, judul: "Perhatian Pengelola Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Di Desa

Tanjung

Limau

Simabur

Kecamatan

Pariangan",

STAIN

Batusangkar, Fak Tarbiyah Jurusan PAI Adapun isi dari skripsi Asrinaldi di atas adalah bagaimana 45Syamsu Yusuf, Penelitian Pendidikan, (Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. 2003), hlm. 16-17

21

keberadaan pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam membina kader dakwah dan bagaimana peranan dakwah dalam masyarakat sekitarnya. Sedangkan isi skripsi Widiawati adalah bagaimana perhatian pengelola Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Terhadap keberadaan pondok pesantren ini sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam di desa Tanjung Limau. Sedangkan penulis di sini ingin menulis tentang bagaimana Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, dan menurut hemat penulis, pembahasan yang telah ada meski sama-sama meniliti Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, akan tetapi berbeda dalam masalah yang akan diteliti. Penulis meneliti pesantren ini dititip beratkan pada masalah, bagaimana pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau melakukan inovasi, memperhatikan posisinya dan menerapkan tugas pokoknya serta berfungsi dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.

22

BAB II TINJAUAN TEORITIK TENTANG PERANAN PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM A.Konsep Peranan (Role Consep) Suatu bagian penting dari lembaga ialah peranan. Peranan ialah aspekaspek dinamis dari kedudukan dan jabatan di dalam suatu lembaga, dan ia menetapkan perilaku para pemegang peranan itu.46 Di Pesantren, pemegang peranan itu meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Peranan memiliki harapan-harapan yaitu kewajiban, tanggung jawab, dan haknya. Peranan adalah tindakan seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Peranan dianggap penting karena mengatur perilaku seseorang. Peranan memberi batasan-batasan tertentu kepada orang agar dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku. Menurut Soekanto, Peranan mencakup tiga hal, yaitu : Pertama: Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi 46Astrid Susanto, 1979), hlm. 32

Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung : Bumi Cipta,

23

atau tempat seseorang dalam masyarakat. Dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. Kedua: Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Ketiga: Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.47 Menurut Amran Peranan adalah “bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan”.48 Sedangkan menurut Wrightman sebagaimana yang dikutip oleh Ozer Usman, Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang di lakukan dalam suatu situasi tertentu.49 Sosiolog Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatankekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen, pengurus suatu lembaga, dan lain-lain.50 Meskipun Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan konsep peran. Konsep Peran mengambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut konsep ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu, misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Perilaku ditentukan oleh peran sosial.51 Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) 47Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat, (Jakarta : CV Rajawali, 1984), hlm. 76 48Amran, Kamus Lengkap-Bahasa Indonesia, (Bandung : Bumi Akasara, 1995), hlm. 449 49Wrightman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Yogya Press, 1995), hlm. 231 50http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009 51http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009

24

membantu memperluas penggunaan konsep peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan, bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.52 Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi. Menurut teori ini, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan

peranan

tersebut.53 Berdasarkan dari teori-teori peranan yang telah diuraikan di atas, maka yang dimaksud dengan peranan dalam penelitian di sini, yaitu suatu kondisi yang diperankan atau dijalankan oleh pesantren dalam menghadapi dinamika pengembangan pendidikan di luar pesantren, terutama terhadap kehidupan masyarakat di Kabupaten Tanah Datar. Peranan yang dijalankan oleh Pesantren tersebut, yaitu pengembangan kelembagaannya, peningkatan sumber daya manusia, pengembangan sarana-prasarana, ilmu dan keterampilan. B.Pendidikan Pesantren 1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan Pesantren Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Buchori, bahwa pendidikan pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran al-Qur'an dan al-Hadist, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para santri bahwa Islam sebagai pandangan hidup.54 Menurut pandangan Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan pesantren berasal dari istilah Kuttab yang merupakan lembaga pendidikan Islam 52http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009 53Soerjono Soekanto, Soisiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo, 1989), hlm. 114 54Mochtar Buchori, "Pendidikan Islan di Indonesia: Problem Masa kini dan Perspektif Masa depan", dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun"im Saleh (Peny), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), cet. ke-1, hlm. 184

25

yang berkembang pada masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren.55 Sedangkan menurut pengertian Departemen Agama Republik Indonesia, yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah pendidikan luar sekolah yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari /mendalami ajaran agama Islam dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya pengasuh, seperti kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku, atau ustadz, (2) adanya mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, (3) adanya santri atau siswa yang belajar, (4) adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri tinggal/mondok, (5) adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-ilmu ke-Islaman berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya.56 Pengertian lain dari pesantren seperti yang dikatakan oleh Mastuhu, yaitu sebagai berikut: Pendidikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan mesjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedunggedung, sekolah atau ruang-ruang belajar, serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri.57 Dalam salah satu tulisannya, Abdurrahman Wahid mengatakan, bahwa pesantren adalah sebuah subkultur. Menurutnya, minimal ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pesantren sebagai sebuah subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pesantren yang mandiri tidak terkoordinasi oleh negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad, dan yang 55Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana Masjid yang dugunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok atau bangunan sebagai tempat tinggal para santri dan mempelajari kitab kuning. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kjian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung : Trigenda karya, 1993), cet. ke-1, hlm. 298-299 56DepartemenAgama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka Wajib Belajar Pendidikan Dasar, (Jakarta : Dirjen Binbagais Depag RI, 2002), cet. ke-1, hlm. 1112 57Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), cet. ke-1, hlm. 6

26

ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.58 Melihat dari berbagai macam pengertian pendidikan pasantren, maka Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Pendidikan Islam menegaskan, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia setelah keluarga dengan ciri-ciri: (1) Ada kyai, (2) Ada pondok, (3) Ada mesjid, (4) Ada santri, (5) Ada pengajaran membaca kitab kuning.59 Dari macam-macam pengertian pesantren sebagaimana tersebut di atas, maka dapat penulis ditegaskan di sini bahwa, pendidikan pesantren merupakan sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajaran tetapi unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan dan semua aspek-aspek pendidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada defenisi yang dapat secara tepat mewakili pendidikan pesantren yang ada. Masing-masing pesantren mempunyai keistimewaan sendiri, yang tidak dimiliki oleh pesantren lainnya. Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pendidikan pesantren memiliki persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri-ciri pendidikan pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasikan pesantren secara kelembagaan. Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini dapat penulis simpulkan bahwa sebuah lembaga pendidikan dapat disebut pesantren apabila di dalamnya minimal terdapat lima unsur pokok, yaitu: kyai (Buya sebutan di Minang Kabau), santri, pengajian, asrama, mesjid dan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan. Persamaan lainnya yang terdapat dalam pendidikan pesantren adalah bahwa semua pendidikan pesantren melaksanakan tiga fungsi kegiatan yang dikenal dengan Tri Dharma Pendidikan pesantren, yaitu: Pertama: Peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Kedua: Pengembangan keilmuan 58Abdurrahman Wahid, "Pesantern sebagai Subkultur" dalam M Dawan Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1988), cet. ke-1, hlm. 2 59Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya, 1992), cet. ke-2, hlm. 190

27

yang bermanfaat. Ketiga: Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan Negara. Selain model pembelajaran, aspek kelembagaan dan aspek fungsi kegiatan di atas, pendidikan pesantren juga disatukan melalui persamaan tata hubungan yang khas dalam pendidikan dan kemasyarakatan, seperti: hubungan yang dekat antara kyai dan santri, ketaatan santri yang tinggi kepada kyai, hidup hemat dan sederhana, tingginya semangat kemandirian para santri, berkembangnya suasana persaudaraan

dan

tolong-menolong,

dan

tertanamnya

sikap

istiqomah.

Sebagaimana dikatakan oleh Zamakhasyari Dhofier, sekurang-kurangnya harus ada elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok, kyai, santri, dan pengajian kitab Islam klasik.60 Masalahnya kemudian adalah apakah pendidikan pesantren ini merupakan ciri khas atau produk asli sistem pendidikan Indonesia? Bagi masyarakat muslim Indonesia, pesantren dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya pendidikan Islam. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia sebagaimana yang diyakini oleh Karel A Steenbrink, Clifford Geertz dan yang lainnya.61 Hanya saja mereka berbeda ketika mengungkapkan proses lahirnya pesantren.62 Mengenai asal-usul pendidikan pesantren ini, terdapat dua pendapat yang kontradiktif.63 Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren adalah kreasi orisinil anak bangsa setelah mengalami kontak dengan budaya lokal. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khasanah lembaga pendidikan pra-Islam

di

Indonesia. Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independen yang awalnya mengisolasi diri di sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan 60Zamakasyari Dhofier, Tradisi pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1984), cet. ke-4, hlm. 44 61Syaifuddin (Ed.)., Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren, (Jakarta : Departemen Agama RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 18 62Pada umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam maupun luar negeri, ini terpublikasikan dalam bentuk buku, di antaranya: Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai (Zamakhasyari Dhoffier), Pesantren , Madrasah, Sekolah (Karel A. Streenbrik), The Religion of Java, The Japanese Kyai, dan Islam Observer (Clifford Geertz), Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat ( Martin van Bruinessen), dan lain sebagainya. 63Hanun Asrahah, dkk, Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan dan Pelembagaan, (Bandung : Remadja Rosda Karya, 2002), cet. ke-1, hlm. 1-7

28

(pegunungan).64 Terbukti sampai saat ini banyak sekali pesantren yang berada di pelosok desa Nurcholis Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous. Dia menegaskan, pesantren mempunyai hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada semenjak kekuatan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.65 Kedua, kelompok yang berpendapat, pesantren di adopsi dari lembaga pendidikan Timur Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa lembaga mandala atau asrama yang sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana pesantren. Termasuk yang setuju dalam kelompok ini adalah Martin van Brunessen, salah seorang sarjana Barat yang concern terhadap sejarah perkembangan Pesantren di Indonesia 66 dalam bukunya Kitab Kuning : Pesantren dan Tarikat, dia menjelaskan bahwa pesantren cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al-Azhar Mesir dengan sistem pendidikan riwaq yang didirikan akhir abad ke-18 M.67 Sedangkan Zamakhsyari Dhofier, pesantren khususnya di Jawa, merupakan kombinasi antara Madrasah dan pusat kegiatan tarikat, bukan antara Islam dan Hindu-Budha.68 Sementara itu Aburrahman Mas’ud mengomentari, bahwa keberadaan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana Malik Ibrahim (w.1419 H), atau yang dikenal sebagai spiritual father Walisongo.69 Berdasarkan sejarah yang berkembang, mengindikasikan bahwa pesantren 64Pigeaud dalam Java in the Fourtheen Century; Geertz dalam Islam Observer dan The Religion of Java; Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning; pesantren dan Tarekat; Zamakhsyari Dhofler dalam Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai; dan Nurchalis Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren; sebuah Potret Perjalanan. 65Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramedina, 1997), cet. ke-1, hlm. 10 66Asrohah, op. cit., hlm.3-6 67Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, (Bandung : Mizan, 1992), cet.ke-1, hlm. 35 68Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 34 69Abdurrahman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2002), cet.ke-1, hlm. 3-10

29

tertua, baik di Jawa maupun di luar Jawa tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para Walisongo.70 Sementara itu Zamakhsyari Dhofier, berpendapat, berdasarkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam dan Serat Cebolek dan Serat Centani, dapat disimpulkan bahwa paling tidak sejak permulaan abad ke-16 M telah banyak pesantren-pesantren yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam.71 Bahkan Mastuhu berpendapat bahwa keberadaan pesantren mulai dikenal sejak periode abad ke-13 M.72 Hal terpenting yang perlu diingat dari dua pendapat yang saling bertentangan di atas adalah bahwa mereka sepakat dalam memahami pesantren sebagai cikal bakal pendidikan tradisional di Indonesia. Inipun dibuktikan dalam catatan sejarah bahwa ribuan pesantren telah berdiri, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Tentu saja fenomena ini telah menunjukan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang Indonesia yang ikut merasakan sistem pembelajaran pesantren meskipun masih bersifat tradisional. Output pendidikan yang bersifat tradisional ini dikenal sebagai orang yang alim-ulama. Pada masyarakat Jawa, ulama tersebut dipanggil dengan sebutan kyai bukan ulama. Bagi Zamakhsyari Dhofier, realitas ini didasarkan pada kenyataan bahwa para kyai di samping mengajar masalah keimanan Islam (tauhid) dan hukum Islam (fiqih) juga mengajar tasauf (sufi). Kecenderungan seperti inilah yang menyebabkan “ulama” dipanggil “kyai”.73 Menurut Horikhosi, sebagaimana yang dikutip oleh Sukanto, perbedaan antara ulama dan kyai terletak pada fungsi sosialnya. Seorang ulama lebih berperan pada komunitas berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan fungsi sosial seorang kyai lebih besar dari ulama, karena ditopang oleh kekuatankekuatan kharismatik. Jangkauan pengaruh kyai lebih besar dibanding ulama.74 Dalam dunia pesantren, jika seorang “ulama” dipanggil dengan “kyai”, 70Abdurrrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. ke-1, hlm. 63-69 71Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 33-35 72Mastuhu, op. cit., hlm. 7 73Zamakhsyari Dofier, op . cit., hlm. 34 74Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1999), cet. ke-1, hlm. 87

30

maka muridnya dikenal santri.75 Keduanya sebutan bagi masyarakat Jawa praIslam.76 Selain menelusuri akar kata dari dua istilah santri dan kyai di atas, Nurchalis atau yang sering dipanggil dengan Can Nur, juga mengurai satu akar kata yang tidak kalah pentingnya dalam dunia pesantren. Istilah tersebut adalah proses bergurunya seorang santri terhadap kyai yang disebut “ngaji” atau “ pengajian”77 Kemudian embrio kemunculan pesantren diawali dengan pengajianpengajian yang diadakan oleh seorang yang dianggap ‘alim di pedesaan-pedesaan di mana santri yang berdatangan adalah masyarakat sekitar yang ingin memperdalam pengetahuan ke-Islaman pada kyai tersebut. Santri sekitar daerah kyai tersebut biasanya nglaju (santri pulang-pergi atau tidak menetap). Ia akan datang saat digelar pengajian dan pulang ke rumah masing-masing manakala pengajian selesai.78 Ketika nama seorang ulama semakin tersohor, santri yang berdatangan dan hendak berguru kepadanya pun semakin banyak, tidak hanya sebatas penduduk daerah sekitarnya saja, namun banyak yang datang dari luar daerah tempat tinggal kyai. Mula-mula, santri semacam ini akan tinggal di rumah-rumah penduduk sekitar lingkungan kyai dengan membawa bekal sendiri-sendiri. Ketika jumlahnya mulai tak tertampung lagi, maka pada akhirnya didirikanlah pondok pesantren untuk menampung santri-santri yang datang dari berbagai daerah tersebut.79 Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama Islam, dan sosial keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pengembangan Islam, seperti yang diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns 75Istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta dari kata Sastri yang berarti melek huruf dan Cantrik yang berarti seorang yang mengikuti seorang guru kemana pergi dan menetap. Lihat Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalan, (Jakarta : Paramedina, 1997), hlm. 19 76 Sudjoko, dkk., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lainnya di Bogor, (Jakarta : LP3ES, 1982), cet. ke-2, hlm. 11 77Ngaji atau pengajian adalah bentuk kata kerja katif dari “kaji: yang berarti mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan bahasa Arab. Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modren, (Jakarta : IRD Press, 2004), hlm. 5 78Amin Haedari Ibid., hlm. 7 79Ibid.,

31

sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier sebagai berikut: Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembagalembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16.80 Selama zaman kolonial, pesantren tidak termasuk dalam perencanaan pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa sistem pendidikan Islam sangat jelek baik ditinjau dari segi tujuan, maupun metode bahasa (bahasa arab) yang dipergunakan untuk mengajar, sehingga sangat sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, metode yang dipergunakan tidak jelas kedudukannya. Sebaliknya mereka menerima sekolah zending untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah kolonial, karena secara filosofis dan teknik dianggap lebih mudah, yaitu baik tujuan, metode maupun bahasa yang dipergunakan sesuai dengan nilai kebiasaan pemerintah kolonial. Orientasi sekolah umum diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam hidup keduniawian, sedang pesantren mengarahkan orientasinya pada pembinaan moral dalam konteks kehidupan ukhrawi.81 Pada zaman revolusi pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan. Banyak santri membentuk barisan Hizbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas pada angkatan darat pada masa awalnya menggambarkan adanya corak kepesantrenan.82 Tetapi sejak sekitar dua dasawarsa terakhir ini pesantren mulai turun harganya di mata bangsa, masyarakat, keluarga dan anak muda. Pesantren 80Zamakhsyari Dhofier, op . cit., hlm. 17-18 81Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta : LP3ES, 1986), cet. ke-2, hlm. 1-9 82B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta : Grafiti Press, 1985), cet. ke-1, hlm. 14-27

32

dianggap kurang mampu memenuhi aspirasi mereka dan tidak mampu memenuhi tantangan pembangunan. Secara kualitatif mereka meninggalkan pesantren tetapi secara kuantitatif mereka tetap belajar di pesantren. Sementara itu, masuk pesantren lebih murah dan mudah dibandingkan dengan masuk sekolah umum, karena memang tidak ada syarat-syarat tertentu untuk memasuki pesantren, berapa saja dan kapan saja siswa dapat diterima. Namun hati mereka (masyarakat muslim) sebenarnya mendua: di satu segi mereka mengharapkan dan percaya pesantren dapat memberikan bekal moral agama bagi anak-anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi di segi lain mereka takut kalau pesantren tidak dapat membekali kemampuan kerja anak mereka dalam menghadapi masa depannya. Mereka mengharapkan dan percaya bahwa pendidikan umum dapat memberikan bekal sains dan teknologi kepada anak-anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi takut tidak dapat memberikan bekal moral agama. Hal itu tercermin dari pernyataan beberapa tokoh Belanda sebagai berikut: “Beberapa orang desa yang alim mengirimkan anak-anak mereka kepada pesantren gaya lama itu. Pimpinan pesantren ini mengirimkan anakanaknya ke madrasah yang lebih modern. Para guru di madrasah tersebut mengirimkan anak-anaknya ke sekolah menengah negeri agar dapat melanjutkan sekolahnya ke Universitas Islam. Para Profesor di suatu Universitas Islam berusaha memperoleh tempat bagi anak-anaknya di Universitas Negri. Dan para profesor Universitas Negeri mengirimkan anakanaknya ke luar Negeri.”83 Mastuhu berpendapat, bahwa pernyataan Boland tersebut memang berlebihan, tetapi ada unsur benarnya. Gejala yang berkembang sekarang adalah justru pertumbuhan pesantren baru lebih cepat atau lebih banyak pada masa-masa sesudah kemerdekaan daripada sebelumnya. Pertumbuhan pesantren tidak hanya di desa-desa, tetapi justru lebih banyak di kota-kota.84 Mereka tidak hanya belajar agama di pesantren, tetapi juga memasuki madrasah dan sekolah-sekolah umum bahkan perguruan tinggi yang diasuh oleh pesantren yang bersangkutan. Hampir seluruh santri yang belajar di madrasah dan sekolah umum juga belajar agama di pesantren, sedang mereka yang belajar 83Ibid., hlm. 128 84Mastuhu, op. cit., hlm.24

33

agama di pesantren tidak selalu belajar di madrasah atau sekolah umum. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan pesantren mengalami pasang-surut seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman yang mengiringinya. Namun kendati demikian, pesantren terus eksis di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini sesuai dengan keadaannya masing-masing. 2. Tipologi Pesantren Salah seorang peneliti dan pemerhati lembaga pendidikan Islam, yaitu Zamakhsyari Dhofier mengatakan, bahwa tipologi pesantren dapat dilihat dari aspek jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu sebagai berikut: Pertama: Pesantren yang santrinya kurang dari 1000 orang dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil. Kedua: Pesantren yang santrinya antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten, disebutnya sebagai pesantren menengah. Ketiga: Pesantren yang santrinya lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar.85 Sedangkan menurut Kafrawi Ridwan sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari, tipologi pesantren terbagi kepada empat tipe sebagai berikut: Pertama: Pesantren Tipe I ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen berupa mesjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih sederhana, kyai mempergunakan mesjid atau rumahnya untuk tempat mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah dilaksanakan secara kontinue dan sistematik. Kedua: Pesantren Tipe II ialah pesantren yang sama dengan tipe I tetapi ditambah adanya pondokan bagi santri. Ketiga: Pesantren Tipe III ialah pesantren yang sama dengan tipe II tetapi ditambah dengan adanya madrasah berupa pengajian system klasikal. Keempat: Pesantren Tipe IV ialah pesantren tipe III ditambah adanya unit keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.86 Kemudian Ada juga tipologi pesantren yang dilihat dari macam ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Wardi Bachtiar sebagai berikut: 85Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 42 86Endang Soetari AD, Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren, (Bandung : Balai Penelitian IAIN SGD, 1987), cet. Ke-1, hlm. 41-42

34

Pertama: Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Sistem madrasah ditetapkan untuk mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorongan. Kedua: Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren.87 Sedangkan menurut Departemen Agama Republik Indonesia, tipologi pesantren terbagi ke dalam tiga tipe berikut ini: Pertama: Pesantren Salafiyah, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan tradisional secara individual maupun kelompok dengan konsentrasi pembelajan kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Kedua: Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menyelemnggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern melalui suatu pendidikan formal, baik madrasah, (MI, MTs, MA atau MAK) maupun sekolah (SD, SMP, SMU, dan SMK). Pada pesantren tipe ini, pondok lebih benyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama. Ketiga: Pesantren Campuran/ Kombinasi, yaitu tipe pesantren gabungan antara Salfiyah dan Khalafiyah.88 Sementra itu, Amin Haedari mengelompokkan tipe terbaru dari sebuah pondok pesantren sebagai berikut : Pertama: Tipe I, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD,SMP,SMA, dan PT Umum). Kedua: Tipe II, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga: Tipe III, yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat:Tipe IV, yaitu pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.89 Pada pesantren-pesantren tipe I dan II, sistem pembelajaran tradisional yang berlaku yaitu sorongan, bandongan, dan halaqah mulai diseimbangkan dengan sistem pembelajaran modern. Dalam aspek

kurikulum, misalnya,

87Wardi Bachtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat, (Bandung : Balai Penelitian IAIN SGD, 1990), cet. ke-1, hlm. 22 88Departemen Agama RI, Profil Pondok Pesantren, (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 15-16 89Amin Haedari, op. cit., hlm. 16

35

pesantren tidak lagi hanya memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang diakomodasi dari kurikulum pemerintah, seperti matematika, fisika, biologi, bahasa Ingggris, dan sejarah. Begitu juga pada pesantren baru ini, sistem pengajaran yang berpusat pada kyai mulai bergeser. Pihak pesantren umumnya merekrut lulusan-lulusan perguruan tinggi, terutama dari Institut Agama Islam Negri menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah yang didirikan di lingkungan pesantren. 3.Komponen Pembelajaran di Pesantren a. Tujuan Pembelajaran di Pesantren Dalam kaedah ushul fiqh dikatakan bahwa “Al-Umur Bimaqoshidiha” yang mengandung makna bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Hal ini karena dengan berorientasi pada tujuan itu, dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk mangakhiri usaha, serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicitacitakan dan yang terpenting lagi dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya.90 Pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi dari kyai sendiri. Kebiasaan mendirikan lembaga pendidikan pesantren dipengaruhi oleh pengalaman pribadi kyai semasa belajar di pesantren.91 Tujuan pendidikan di pesantren sarat dengan muatan-muatan keagamaan, bahkan seorang kyai pernah menjelaskan bahwa berdirinya pesantren adalah sebagai amal ibadah untuk kehidupan akhirat92. Tujuan-tujuan pendidikan di pesantren yang tidak dirumuskan secara tertulis dalam sebuah buku atau papan statistik tersebut dimaksudkan sebagai upaya secara diam-diam untuk menghindari sikap ria, yaitu memamerkan perbuatanperbuatan baik. Secara psikologis, kyai memiliki keyakinan keagamaan, bahwa perbuatan baik yang sering diikuti dengan sikap ria, tidak akan mendapatkan 90Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), cet. ke9, hlm 45-46 91Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1986), cet. ke-1, hlm. 134-135 92Sukamto, op. cit., hlm. 140

36

pahala dari Tuhan, sekalipun perbuatan itu dilakukan dengan jerih payah atas usaha sendiri.93 Tujuan pembelajaran di pesantren lebih mengutamakan niat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat daripada mengejar hal-hal yang bersifat

material.

Seseorang

yang

mengaji/mesantren

disarankan

agar

memantapkan niatnya dan mengikuti pengajian itu semata-mata untuk menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya. Karena itu, di dalam setiap pengajaran di pesantren, kyai selalu mangajak para santri untuk mengawalinya dengan membaca surat al-Fâtihah yang ditujukan kepada pengarang kitab yang akan dikaji, dan selanjutnya diakhiri dengan pembacaan doa oleh kyai. Kebiasaan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada pengarang kitab dan sekaligus sebagai rasa tunduk kepadanya, yaitu perbuatan yang dilakukan komunitas pesantren untuk memperoleh kebaikan atau keberkahan dari seseorang yang telah diketahui ketinggian ilmunya dan juga sifat-sifat mulia yang disandangnya.94 Mengingat pesantren merupakan lembaga yang awal berdirinya melibatkan peran serta masyarakat sekitarnya, maka tujuan pendidikan di pesantren juga tidak lepas dari harapan masyarakat. Berbagai anggota masyarakat datang ke kyai menitipkan anaknya dengan maksud supaya dididik menjadi orang baik-baik, mengerti ilmu agama, menghormati kedua orang tua dan gurunya.95 Dalam kaitannya dengan pendidikan pesantren, maka pemahaman tujuannya hendaknya didasarkan terlebih dahulu pada tujuan hidup manusia menurut Islam. Artinya, tujuan pendidikan pesantren harus sejalan dengan tujuan hidup

manusia

menurut

konsepsi

dan

nilai-nilai

Islam.

Maka

dalam

perumusannya, tujuan pendidikan pesantren yang memiliki tingkat kesamaan dengan pendidikan Islam itu seyogyanya memiliki keterpaduan, yaitu berorientasi kepada hakikat pendidikan, yang memiliki beberapa aspek sebagai berikut: Pertama:Tujuan hidup manusia yang berlandaskan misi keseimbangan hidup yang mengapresiasi kehidupan dunia dan akhirat. Manusia 93Ibid., hlm. 141 94Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, Dinamika Dunia Pesantren, (Jakarta : P3M, 1988), cet. ke-1, hlm. 21 95Ibid.

37

hidup bukan karena kebetulan, tanpa arah tujuan yang jelas. Ia diciptakan dengan membawa amanah dalam mengemban tugas dan tujuan hidup tertentu. Kedua: Memperhatikan tuntunan dan tatanan sosial masyarakat, baik berupa pelestarian nilai budaya, maupun pemenuhan tuntutan dan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembanngan dan tuntutan perubahan zaman,seperti terciptanya masyarakat etik (etical society) yang berkarakter pada sifat-sifat sosial yang tinggi seperti: (a) nilai religiusitas, artinya mendambakan model dan karakter masyarakat yang beretika religi, tidak sekuler; (b) nilai egalitaliun, yaitu watak yang mendambakan keadilan, membarikan kesempatan luas kepada masyarakat luas kepada masyarakat untuk tumbuh maju dan berkembang bersama-sama; (c) mengindahkan nilai demokrasi dan penegakan hukum; dan (d) memberikan penghargaan terhadap manusia (human digniti), menerima dengan segala kesadaran terhadap pluralisme dan multikulturalisme dalam berbangsa. Ketiga:Memperhatikan watak-watak dasar (nature) manusia seperti kecendrungan beragama (fitrah) yang mendambakan kebenaran, kebutuhan individual dan keluarga sesuai batas dan tingkat kesanggupan.96 Berdasarkan kriteria-kriteria dari tujuan pendidikan pesantren seperti tersebut di atas, maka tujuan pendidikan pesantren dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut: Pertama:Tujuan pendidikan jasmani (ahdaf al-jismiyah), yaitu mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui pelatihan keterampilan-keterampilan fisik. Kedua: Tujuan pendidikan rohani (ahdaf ar-ruhaniyah), yaitu meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi Muhammad SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam Al-Qur’an. Ketiga: Tujuan pendidikan akal (ahdaf al-‘aqliyah), yaitu pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan ayat-ayat-Nya yang membawa iman kepada Sang Pencipta. Keempat:Tujuan pendidikan sosial (ahdaf al-ijtima’iyah), yaitu pembentukan kepribadian yang utuh dari roh, tubuh dan akal.97 Oleh karena itu, tujuan pendidikan pesantren harus berorientasi pada dua tujuan pokok, yaitu: 96Pupuh Fathurrahman, Keunggulan Pendidikan Pesantren: Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abad XXI, (Bandung : Paramartha, 2000), cet. ke-1, hlm. 155-157 97Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung : Trigenda Karya, 1993), hlm. 159-160

38

Pertama, tujuan yang berorientasi ukhrawi, yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah. Kedua, tujuan yang berorientasi duniawi, yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang.98 Atas dasar itu, maka menurut M. Arifin, tujuan terbentuknya pesantren ada yang bersifat umum dan khusus. Secara umum, tujuan pendidikan pesantren adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Dan tujuan khususnya adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.99 Menurut Mashutu, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan brtaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, mampu mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.100 Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher mengatakan, bahwa santri yang telah belajar di dalam pendidikan pesantren akan memiliki delapan tujuan, yaitu: Pertama: Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam. Kedua: Memiliki kebebasan yang terpimpin. Ketiga: Berkemampuan mengatur diri sendiri. Keempat: Memikili rasa kebersamaan yang tinggi. Kelima: Menghormati orang tua dan guru. Keenam: Cinta kepada ilmu. Ketujuh: Mandiri. Kedelapan: Kesederhanaan.101 Jadi dengan demikian, tujuan terpenting dari pembelajaran di pesantren harus berorientasi pada kemanfaatan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran dan pendirian pesantren itu sendiri, seperti kyai, santri dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran di pesantren dapat 98Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah wa Falasifuha, (Mesir : Al-Nalaby, 1969), cet. ke-1. hlm. 284 99M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara,, 1991), cet. ke-7, hlm. 248 100Mashutu, op. cit., hlm. 55-56 101Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, op. cit., hlm. 280-288

39

dirasakan manfaatnya bagi diri kyai dan keluarganya, para santri /pelajar, dan bagi masyarakat yang berada di sekitar pesantren. b.Kyai dalam Pembelajaran di pesantren Kyai atau pengasuh pesantren merupakan komponen yang sangat essensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura, sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Di samping itu, kyai pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyainya. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu: Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.102 Kyai yang dimaksud dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian kyai nomor 3 pada definisi di atas, yaitu pengertian yang diberikan kepada pemimpin agama Islam atau pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada para santrinya. Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “Ajengan”, di Aceh dengan “Tengku”, di Sumatera Barat dinamakan “Syaikh atau Buya”, dan di Kalimantan dan NTB disebut “Tuan Guru”. Bagi masyarakat Islam tradisional, kyai di pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan otoritas mutlak (power and authority) di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya), kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Sejak Islam mulai di pelosok Jawa, terutama sejak abad ke-13 dan 14 102Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 55

40

Masehi, para kyai sudah memperoleh status sosial yang tinggi. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, kyai semakin memperlihatkan daya tawar yang tinggi. Walaupun sebagian besar kyai itu tinggal di desa yang jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintahan, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elit masyarakat yang disegani sekaligus berpengaruh, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Tidak jarang suara kritis dari kyai dianggap sebagai tindakan makar terhadap Belanda.103 Atas dasar itu, maka perkembangan suatu pesantren bergantung sepenuhnya kepada kemampuan pribadi kyainya. Kyai merupakan cikal-bakal dan komponen yang paling pokok dari sebuah pesantren. Itulah sebabnya kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat bergantung pada kemampuan pesantren

tersebut

untuk

memperoleh

seorang

kyai

pengganti

yang

berkemampuan cukup tinggi pada waktu ditinggal mati kyai yang terdahulu.104 Imam Bawani menjelaskan, bahwa faktor-faktor pendukung keberhasilan pendidikan adalah: Pertama: Terwujudnya keteladanan kyai. Kelebihan seorang kyai dalam memimpin sebuah pesantren adalah karena ia memiliki pamor atau kelebihan yang baik dan terkenal di masyarakat luas. Pamor dan kelebihan itu dibangun dengan keteladanan yang selalu ia lakonkan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, sesuai antara perkataan dan perbuatan. Kedua: Terciptanya hubungan yang harmonis antara seorang kyai yang satu dengan kyai yang lainnya, dan hubungan antara kyai dengan santrinya, serta hubungan antara santri dengan santri lainnya. Hubungan semacam ini mayoritasnya selalu berlandaskan kepada dasar kemanusiaan dan ikatan ukhuwah antar sesama muslim. Ketiga: Mencuatnya kematangan out-put para lulusan pesantren dalam menjalankan agama di tengah masyarakat. Hal ini membuat lembaga pesantren menjadi panutan, disayangi, dihormati dan disegani serta dicintai oleh hampir semua kalangan masyarakat luas.105 Dengan demikian, peran kyai dalam pelestarian sebuah pesantren adalah sangat penting, sehingga Dawam Rahardjo menyatakan bahwa kemenangan NU 103Syarifuddin, op. cit., hlm.67 104M Arifin, op. cit., hlm. 248 105Imam Bawani, Tradisional dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1970), cet. ke1, hlm. 5

41

dalam Pemilihan Umum tahun 1955 sebagai partai politik keempat terbesar, telah menyadarkan banyak orang tentang pengaruh para kyai dalam kehidupan politik sekalipun.106 Apa yang menyebabkan kyai memiliki peranan yang sangat sentral dalam proses pembelajaran di pesantren?. Menurut Horikoshi, kekuatan kyai itu berakar pada kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.107 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan kyai dalam proses pembelajaran di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pengajar atau pendidik semata, akan tetapi lebih dari itu kyai berkedudukan pula sebagai penjaga moral masyarakatnya. c.Santri dalam Pembelajaran di Pesantren Komponen yang tak kalah pentingnya dalam proses pembelajaran di pesantren adalah santri. Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mampelajari ilmu-ilmu agama Islam melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, eksistensi kyai biasanya juga berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya. Pada umumnya, santri terbagi dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut: Pertama, santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Kedua, santri kalong, yaitu para siswa yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantrennya.108 Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri yunior tentang kitab dasar dan menengah. Adapun santri kalong umumnya adalah para anak-anak penduduk yang berada di sekitar pesantren yang mengikuti pengajian di pesantren tersebut. Oleh karena itu mereka sering bolak-balik dari rumahnya sendiri. Para Santri kolong 106M Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta : P3M, 1985), cet, ke- 1, hlm. vii 107Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1987), cet. ke-1, hlm. 169 108Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 51-52

42

berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kolong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya, pesantren kecil memiliki lebih benyak santri kolong daripada santri mukim. Menurut Amin Haedari dan Abdullah Hanif, alasan utama seorang santri tinggal di pesantren di anataranya adalah karena: Pertama: Berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam langsung di bawah bimbingan seorang kyai yang memimpin pesantren tersebut. Kedua: Berkeinginan memperoleh pengalamann kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren lain. Ketiga: Berkeinginan memusatkan perhatian pada studi di pesantren tanpa harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah. Selain itu, dengan menetap di pesantren, yang sangat jauh letaknya dari rumah, para santri tidak akan tergoda untuk pulang balik, meskipun sebenarnya sangat menginginkannya.109 Selain dua istilah di atas ada juga istilah santri kelana dalam dunia pesantren. Santri kelana adalah santri yang selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang dijadikan tempat belajar atau dijadikan gurunya.110 Jadi dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan santri adalah para siswa yang belajar di pesantren. Mereka sama kedudukannya dengan siswa-siswa yang sekolah di pendidikan umum. d.Materi Pembelajaran di Pesantren Ciri-ciri khusus dalam pembelajaran di pesantren adalah isi kurikulum atau materi pembelajarannya dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama Islam, misalnya ilmu sintaksi arab, morfologi arab, hukum Islam, hadist, tafsir, al-Quran, teologi Islam, tasawuf, tarikh Islam, dan retorika/ mantiq.111 Literatur-literatur ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah kitab kuning 109Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global,( Jakarta : IRD Press, 2004), cet. ke. 1, hlm. 36 110Ibid., hlm. 37 111Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta : Mulia Offsert, 1999), cet. ke-1, hlm. 26

43

dengan ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, kitab-kitabnya berbahasa Arab. Kedua, umumnya tidak memakai syakal, bahkan tanpa titik dan koma. Ketiga, berisi keilmuan yang cukup berbobot. Keempat, metode penulisannya diangggap kuno dan relevansinya dengan ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis. Kelima, lazimnya dikaji dan dipelajari di pesantren. Keenam, banyak diantara kertasnya berwarna kuning.112 Sepajang catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan mazhab Syafi’iyah. Pengajaran kitab-kitab kuning berbahasa arab dan tanpa harakat atau sering disebut dengan kitab gundul merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan komunitas pesantren tradisional di Indonesia. Pada umumnya, para santri datang dari kampung halamannya dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kitab ushul fiqh, fiqh, kitab tafsir, al-Hadits, dan lain sebagainya. Para santri biasanya juga mengembangkan keahlian dalam berbahasa arab (nahwu dan sharaf), ini berguna dalam menggali makna dan tafsir dari teks-teks klasik tersebut. Dari keahlian ini, mereka dapat memperdalam ilmu-ilmu yang berbasis pada kitab-kitab klasik lainnya. Istilah kitab kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan (pejorative). Dalam pandangan mereka (orang luar pesantren), kitab kuning dianggap sebagai kitab yang berkadar keilmuan yang rendah, ketinggalan zaman, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Sebutan ini pada mulanya sangat menyakitkan, tetapi kemudian nama kitab kuning diterima secara meluas sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.113 Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah Kitab Kuning, beredar juga istilah kitab klasik (al-kutûb al-qâdimah), untuk menyebut jenis kitab yang sama. Bahkan, karena tidak dilengkapi dengan baris (syakl), kitab kuning juga kerap disebut dikalangan pesantren sebagai kitab gundul. Dan karena rentang 112Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial dan Budaya, (Jakarta: Bina Ilmu, 1996), hlm. 103104 113Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum”, dalam Marzuki Wahid, dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-1, hlm. 121-122

44

waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning ini dengan istilah “kitab kuno”.114 Meningkatnya jumlah kitab kuning ini, sebetulnya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: Pertama: Banyak kyai yang mulai menulis kitab sendiri, baik dengan menggunakan bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa lokal yang ditulis dengan huruf Arab Melayu (pegon). Kedua: Beberapa ulama atau kyai di Nusantara mulai menyusun kitab sendiri. Bentuknnya bermacam-macam. Ada yang merupakan tashnif (karangan sendiri) dengan kitab-kitab yang berasal dari timur tengah sebagai rujukan, ada yang menyusun sendiri tetapi merupakan penggabungan dari topik-topik atau bidang-bidang yang sudah ada (iqtibas), dan ada yang melakukan penyederhanaan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab yang ada dalam rangka penyesuaian materi, topik, bahasa, maupun pembahasannya. Ketiga: Mulai diadopsinya kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena tidak sealiran dengan faham pesantren, misalnya kitab-kitab di luar madzhab Syafi’i. Keempat: Pesantren juga mulai mengaji kitab-kitab al-‘ashriyyah, karangan ulama modren yang mulai masuk pada abad ke-20.115 Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok, yaitu: (1) nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi); (2) Fiqh; (3) ushul fiqh; (4) hadits; (5) tafsir; (6) tauhid; (7) tasawuf dan Etika; (8) cabangcabang lain seperti tarikh dan balaqhah. Kesemuanya ini dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah dan kitabkitab besar.116 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa materi pembelajaran di pesantren mempunyai ciri khas tersendiri, terutama dilihat dari segi kitab yang diajarkannya hingga materi ajarnya yang keseluruhannya berbahasa Arab dengan menitik beratkan pada pengajaran ilmu-ilmu agama Islam. e.Metode Pembelajaran di Pesantren Sebagai lembaga pendidikan, pesantren walaupun dikategorikan sebagai 114Ali Yafie, “Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam”, Pesantren, VI, I, (Jakarta : Wacana Ilmu, 1988), hlm. 3 115Ibid., 116Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 50-51

45

lembaga pendidikan tradisional mempunyai sistem pengajaran tersendiri, dan itu menjadi ciri khas sistem pengajaran/metodik-didaktik yang membedakan dari sistem-sistem pengajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal. Pengembangan kegiatan belajar mengajar di pesantren dalam bidang pendidikan pada dasarnya terdiri atas dua macam, yaitu pengembangan ke dalam (internal) dan keluar (eksternal). Ada beberapa metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren, diantaranya: sorongan , weton/bandongan, halaqah, hafalan, hiwar, bahtsul masa’il, fathul kutub, dan muqaranah. Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan tersebut. Disini penulis hanya menjelaskan tiga buah metode, yaitu sebagai berikut: 1)Sorogan Sorogan berasal dari kata sorong (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya.117 Sedangkan menurut Amir Hamzah Wijosukarto, yang dimaksud dengan metode sorongan adalah metode pembelajaran di pesantren yang santrinya cukup pandai mensorongkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapannya.118 Metode sorongan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang kyai atau guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Metode ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang santri yang bercita-cita menjadi seorang ‘alim. Metode ini memungkinkan seorang kyai atau guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai bahasa Arab.119 Untuk mengevaluasi hasil pembelajaran dengan menggunakan metode sorongan ini, kyai atau ustadz melakukan dengan cara acak. Kyai atau ustadz 117Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1995), cet. ke-1, hlm. 88 118Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember : Muria Offset, 1985), hlm. 26 119Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 20

46

menyodorkan kepada santri yang akan diujinya sebuah kitab yang telah berhasil diselesaikan pembelajarannya, tetapi kitab ini adalah kitab yang masih bersih tanpa syakl dan catatan terjemahan. Kemudian santri disuruh membaca dan menterjemahkan sekaligus dan menjelaskan isinya secara singkat pada bagianbagian tertentu yang dianggap penting. 2)Wetonan atau Bandongan Istilah wetonan berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya.120 Dalam metode ini, kyai atau ustadz berperan aktif, sementara santri bersifat pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah santri cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak.121 Evaluasi

yang

dilakukan

terhadap

hasil

pembelajaran

dengan

menggunakan metode wetonan/bandongan ini, yaitu dengan cara memberikan catatan penilaian pada aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (skill). Dengan demikian diharapkan para santri belajar secara sungguh-sungguh

karena

merasa

diawasi

dan

dimonitor

perkembangan

kemampuannya. 3)Halaqah Metode halaqah merupakan kelompok kelas dari metode bandongan. Halaqah yang arti menurut bahasa, yaitu lingkaran murid, atau sekompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat. Halagah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan besar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab.122 120Habib Chirzin, op. cit., hlm. 88 121Bisri, dkk., op.cit., hlm. 46-47 122Mastuhu, op. cit., hlm. 61

47

Apabila dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut Mahmud Yunus, metode ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini. Metode ini juga hanya dapat menghasilkan 1% santri yang pandai dan yang lainnya hanya sebatas partisipan.123 Metode ini dikenal juga dengan metode musyawarah. Menurut

Hasan

Bisri,

untuk

melakukan

pembelajaran

dengan

menggunakan metode halaqah ini, kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pertama: Peserta halaqah/musyawarah adalah para santri yang berada pada tingkat menengah atau tinggi. Kedua: Peserta halaqah/musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan yang mencolok. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan musyawarah. Ketiga: Topik atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan biasanya ditentukan terlebih dahulu oleh kyai atau ustadz pada pertemuan sebelumnya. Keempat: Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi, musyawarah dapat dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.124 Jadi dengan demikian, metode yang umumnya digunakan dalam pembelajaran

di

pesantren

terdiri

dari

tiga

buah,

yaitu:

sorongan,

wetonan/bandungan, dan halaqah/musyawarah. Namun demikian, ada juga pesantren yang menggunakan metode lainnya seperti muqaranah dan lainnya. Pengunaan metode ini dilaksanakan khusus dalam pembelajaran terhadap kitabkitab klasik dan umumnya berlaku bagi pesantren yang bersifat tradisional (salafiyah). C.PENDIDIKAN ISLAM 1.Pengertian Pendidikan Islam Di dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan, yaitu tarbiyah dan ta’dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut Nuqaib al-Atas, tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk 123Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya, 1990), cet. ke-7, hlm. 50 124Hasan Bisri, dkk., Pengembangan Metodologi Pengajaran di Salafiyah, (Yogyakarta : hlm. 53

48

mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesiaes lain, seperti mineral, tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengadung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, memproduksi hasil yang sudah matang dan menjinakkan125 Adapun ta’dib mengacu pada pengertian (ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dari itu katanya “ta’dib” merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukan pendidikan dalam Islam.126 Dalam pembahasan ini, Istilah pendidikan Islam perlu ditegaskan terlebih dahulu, bahwa kata Islam merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat, penegas dan pemberi ciri khusus bagi kata pendidikan. Dengan demikian, pengertian pendidikan Islam menunjukan makna pendidikan secara khas memiliki ciri islami yang berbeda dengan model pendidikan lainnya. Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang di akaui lebih sempurna dan komprehensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan sebelumnya. Islam merupakan agama yang paling sempurna untuk menjadi pedoman hidup sepanjang masa hingga akhir zaman. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ajaran Islam menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Bahkan sudah sejak awal Islam dengan sumber ajarannya AlQur’an dan Al-Hadits telah meletakan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Menurut UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, yang dimaksud dengan pendidikan adalah : Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan 125Shed Muhammad Al-Nuqaib al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terjemahan Haidar Bagir, (Bandung : Mizan, 1984), hlm. 66 126Ibid., hlm. 74 - 75

49

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.127 Pendidikan secara sederhana dan umum dapat diartikan sebagai usaha manusia unuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.128 Sedangkan Menurut Ngalim Purwanto, Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.129 Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang sering digunakan adalah al-tarbiyah. Pengunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walupun kata ini memiliki banyak arti, tetapi pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.130 Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang terkandung dalam term al-Tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: a) Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh), b) Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan, c) Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempuranaan, d) Melaksanakan pendidikan secara bertahap.131 Ahmad D Marimba mengartikan pendidikan Islam sebagai “bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.132 Yang dimaksud dengan kepribadian utama adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang mempunyai nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ahmad Supardi mengemukakan bahwa: Pendidikan Islam adalah aktivitas bimbingan yang disengaja untuk 127Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidkan Islam Nasional 128Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : RinekaCipta, 2001), hlm. 1-2 129M Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosda karya, 1991), hlm. 11 130Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dann Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 25-26 131Ibid., hlm. 26 132Ahmad Supardi, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 1998), hlm. 25

50

mencapai kperibadian muslim, baik yang berkenaan dengan jasmani, rohani, akal maupun akhlak. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara sadar yang berorientasi kepada ajaran agama Islam dari pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani dan akal anak didik ke arah terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami.133 Muhammad Atiyah al-Abrasyi memberi pengertian bahwa pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.134 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami secara singkat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan Jasmani dan rohani yang berpedoman kepada ajaran Islam untuk mencapai kepribadian Muslim. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di dunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta terhindar dari siksaan Allah yang maha pedih. Berbeda dengan pendidikan Barat yang bertitik tolak dari filsafat pragmatisme, yaitu yang mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu, tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hajat.135 Filsafat ilmunya adalah kegunaan/utilities.136 Fungsi pendidikan tidaklah sampai untuk menciptakan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat, akan tetapi terbatas pada kehidupan duniawi semata. 2.Sistem dan Komponen-komponen Pendidikan a. Sistem Pendidikan Islam Lahirnya sistem pendidikan Islam sebagai sistem yang berdiri sendiri adalah satu fenomena baru dalam sejarah Islam. H.M Arifin mengatakan bahwa sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dari 133Ibid, hlm. 25-26 134Muhammad Al-Tiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al_Islamiyah, (Darul al-Fiqr al-Arabi, 1980), cet. ke-3, hlm. 100 135Lihat Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, 1984), hlm. 12 136Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : FIP.IKIP, 1983), hlm. 23

51

komponen lainnya secara terpadu bergerak menuju kearah satu tujuan yang telah ditetapkan.137 Komponen-komponen yang bertugas sesuai dengan fungsinya, bekerja sama antara satu dengan yang lainnya dalam rangkaian sebagai suatu sistem yang mampu secara terpadu bergerak kearah tujuan dari sistem tersebut. Maka dari itu sistem pendidikan adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan. Menurut Mastuhu, Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bersama para pelakunya.138 Kerja sama antar para pelaku ini didasari, digerakkan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh mereka. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam, secara makro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang didasarkan kepada ajaran Islam, dan berdasarkan atas pendekatan sistemik sehingga pelaksanaan operasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pradasar, menengah dan perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalisasi dalam kualitas pengetahuan dan tekhnologi yang makin optimal, dan setiap tingkat mencerminkan meningkatnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan arahnya tetap menjiwai pribadi peserta didik, yang sejalan dengan tuntutan alQur’an dan al- Hadits. b. Komponen-komponen Pendidikan Islam 1)Tujuan Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kegiatan.139 Setiap tindakan atau usaha yang dilakukan harus berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan. Hal ini disebabkan oleh fungsi-fungsi yang 137M Arifin, FilsafatPendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm. 76 138Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 6 139Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm. 28

52

dipikulnya. Ahmad Marimba, yang pendapatnya dikutip oleh Uhbiyati menjelaskan ada empat fungsi tujuan, yaitu: Pertama: Mengakhiri usaha. Kedua: Mengarahkan usaha. Ketiga: Tujuan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, baik merupakan tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Keempat: Memberi nilai (sifat) pada usaha-usaha itu.140 Dari penjelasan di atas, maka tujuan mempunyai arti yang sangat penting bagi keberhasilan sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan sasaran serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Karena itu kegiatan yang tanpa disertai tujuan, sasarannya akan kabur dan akibatnya program dan kegiatannya sendiri menjadi tak terarah. Menurut Mulyasa tujuan pendidikan nasional apabila dilihat pada jenjang pendidikannya, dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) Tumbuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (b) Tumbuh sikap beretika ( sopan santun dan beradab), (c) Tumbuh penalaran yang baik (mau belajar, ingin tahu, senang membaca, memiliki inovasi, berinisiatif, dan bertanggung-jawab), (d) Tumbuh kemampuan komunikasi/sosial (tertib, sadar aturan, dapat bekerja sama dengan teman, dan dapat berkompetisi), (e) Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan badan.141 Sedangkan apabila dilihat dari kompetensi lulusan untuk tingkat pendidikan dasar dan menegah untuk sekolah atau madrasah, menurut Depdiknas dalam bukunya Mulyasa adalah: (a) Mengenali dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang diyakini, (b) Mengenali dan menjalankan hak dan kewajiban diri, beretos kerja, dan peduli terhadap lingkungan, (c) Berfikir secara logis, kritis dan kreatif serta berkomunikasi melalui berbagai media, (d) Menyenangi keindahan, (e) Membiasakan hidup bersih, bugar dan sehat, (f) Memiliki rasa cinta dan bangga terhadap bangsa dan tanah air.142 Pendidikan sebagai suatu proses yang bertahap dan bertingkat, maka memerlukan tujuan yang bertahap dan bertingkat pula. Secara umum, tujuan 140Ibid., hlm. 28 141E Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 26 142 Ibid., hlm. 28

53

Pendidikan itu terbagi kepada empat kategori, yaitu tujuan umum, tujuan akhir, tujuan sementara, dan tujuan operasional.143 Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain.144 Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan seperti sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Dalam konteks pendidikan di Indonesia tujuan pendidikan umum adalah tujuan nasional. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.145 Tujuan ini dalam konteks pendidikan Indonesia disebut dengan tujuan konstitusional, yaitu tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui tingkat dan jenis pendidikan tertentu, misalnya tujuan pendidikan Sekolah Dasar (SD), tujuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan lainlain.146 Tujuan institusional ini diturunkan dari tujuan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan tingkat dan jenis lembaga tertentu. Dari tujuan institusional ini kemudian diturunkan lagi kepada tujuan kurikuler. Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.147 Dalam pendidikan formal sering disebut dengan tujuan instruksional (pembelajaran). Tujuan ini terbagi kepada dua macam, yaitu tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK). Sedangkan Marimba mengatakan, bahwa terdapat dua macam tujuan pendidikan, yaitu: Pertama: Tujuan Sementara Tujuan sementara yaitu sasaran sementara yang harus dicapai oleh umat Islam yang melaksanakan pendidikan Islam. Tujuan sementara di sini adalah tercapainya berbagai kemampuan seperti kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan lain-lain. 143 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 30-32 144 Ibid., hlm. 30 145Ahmad Supardi, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati, 1998), hlm. 41 146Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 16 147Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 36

54

Kedua: Tujuan Akhir Adapun tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujudnya kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspekaspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam.148 Al-Ghazali mengungkapkan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan

insan

paripurna.

Menurutnya,

manusia

dapat

mencapai

kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadhilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya dapat membawanya untuk dekat kepada Allah dan akhirnya membahagiakan hidupnya di dunia dan akhirat.149 Muhammad Al-Thiyah al-Abrasyi, menyimpulkan lima tujuan umum pendidikan Islam, yaitu: (a) Untuk pembentukan akhlak yang mulia, (b) Untuk meningkatkan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, (c) Untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau yang lebih dikenal dengan tujuan vokasional dan profesional. (d) Untuk menumbuhkan semangat ilmiah para pelajar, memuaskan keinginan tahu, dan memungkinkan mereka mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. (e) Untuk menyiapkan pelajar dari segi profesional, tekhnikal, dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu.150 Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam itu ialah mengarahkan dan membimbing manusia melalui proses pendidikan sehingga menjadi orang dewasa yang berkepribadian muslim yang bertaqwa, berilmu pengetahuan dan keterampilan, melaksanakan ibadah kepada Tuhannya sesuai dengan niali-nilai ajaran Islam. Tujuan umum pendidikan Islam ialah muslim yang sempurna, manusia yang bertaqwa, manusia yang beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah SWT. 2) Pendidik Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai 148Muhammad Athiyah al-Abrasyi, op. cit., hlm. 112 149Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 73 150Ibid., hlm. 74

55

makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai individu yang dapat berdiri sendiri.151 Sementara Ahmad Tafsir mengatakan pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik, dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.152 Pendidikan Islam menggunakan tanggung-jawab sebagai dasar untuk menentukan pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama, dan kewajiban ini dibebankan kepada orang yang sudah dewasa. Ini berarti pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan. Kewajiban ini bersifat personal, dalam arti setiap orang bertanggung-jawab atas pendidikan dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial, dalam arti setiap orang bertanggung-jawab atas pendidikan orang lain. Fuad Ihsan membedakan pendidik menjadi dua ketegori, yaitu: Pertama: Pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua. Orang tua sebagai pendidik menurut menurut kodrat adalah pendidik pertama dan utama, karena secara kodrati anak manusia dilahirkan oleh orang tuanya dalam keadaan tak berdaya. Kedua: Pendidik menurut jabatan, ialah guru. Guru sebagai pendidik menurut jabatan, menerima tanggung-jawab dari tiga pihak, yaitu orang tua, masyarakat, dan negara.153 Istilah lain yang lazim dipergunakan untuk pendidik ialah guru. Kedua istilah tersebut hampir sama artinya, bedanya ialah istilah guru seringkali dipakai di lingkungan pendidikan formal, sedangkan pendidik dipakai di lingkungan formal, informal, maupun non formal.154 Lebih lanjut dikatakan, guru adalah tenaga pendidik yang pekerjaan utamanya mengajar.155 Kegitan mengajar yang dilakukan guru itu tidak hanya berorientasi pada kecakapan berdimansi ranah cipta saja tetapi kecakapan yang berdimensi ranah, rasa, dan karsa. 151Nur Uhbiyati, op. ci.t., hlm. 65 152Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 74 153Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), hlm. 8 154Nur Uhbiyati, op- cit., hlm. 68 155Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 223

56

Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Hal ini menunjukkan betapa signifikan posisi guru dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu seorang guru atau pendidik harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia. Zakiyah Daradjat, yang pendapatnya dikutip oleh Muhibbin Syah mengemukakan tentang pentingnya kepribadian guru, yaitu: Kepribadian itulah yang akan menetukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak guru atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncanngan jiwa (tingkat menengah).156 Berkaitan

dengan

tugas

dan

tanggung-jawab

pendidik,

Supardi,

menyebutkan beberapa hal tentang tugas guru atau pendidik dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut: Pertama: Sebagai pengajar yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program pendidikan. Kedua: Sebagai pendidik yang mengarahkan anak didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil. Ketiga: Sebagai pemimpin.157 Mendidik bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga kehadiran seorang pendidik dalam suatu kelas harus siap dengan seperangkat kemampuaanya, baik kemampuan yang bersifat akademis, maupun kemampuan mental. Agar seorang pendidik dapat menjalankan tugas mulianya dengan baik, ia harus mempunyai persyaratan pendidikan atau kompentensi profesional kependidikan. Dalam hal ini, Muhaimin yang pendapatnya dikutip ulang oleh Supardi, mengemukakan bahwa dalam menjalankan profesi keguruannya, pendidik dalam pendidikan Islam paling tidak harus memiliki tiga kompetensi dasar, yaitu sebagai berikut: (1) Kompetensi personal religius, yaitu kemampuan dasar yang menyangkut kepribadian agamis, (2) Kompetensi sosial-religius, yaitu kemampuan yang menyangkut kepedulian terhadap masalah sosial selaras dengan ajaran Islam, (3) Kompetensi profesional religius, yaitu kemampuan dasar yang menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara 156Ibid., hlm. 25 157Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 80

57

profesional.158 3) Peserta didik Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-Ilm yang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menmpuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaannya. Pada sekolah dasar yang tingkatannya rendah seperti SD digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangkan pada sekolah yang tingkatannya lebih tinggi seperti SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi digunakan istilah thalab alilm.159 Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan. Dalam pandangan Islam hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar tanpa guru. Dalam pandangan yang lebih modren, anak didik tidak hanya dipandang sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan juga harus diberlakukan sebagai subjek pendidikan.160 Hal ini antara lain dilakukan dengan melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Karena peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memiliki keinginan, cita-cita, dan tujuan, sehingga ia harus aktif dalam proses kegiatan pendidikan. Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh berkembang, baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Anak atau subjek adalah orang yang belum dewasa dan sedang berada dalam masa perkembangan menuju pada kedewasaannya masing-masing.161 158Ibid., hlm. 81-82 159Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1996), hlm. 79 160Ibid., hlm. 79 161Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 86

58

Ada beberapa asumsi mendasar yang perlu dipahami tentang anak didik, yaitu sebagai berikut: Pertama: Anak didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Kedua: Anak didik mengikuti periode-perode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.162 Adapun mengenai hak dan kewajiban peserta didik dalam Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama, (b) Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, (c) Mendapatkan beasiswa bagi orang yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, (d) Mendapat biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, (e) Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara, (f) Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan masing-masing dan tidak melewati dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.163 Dari asumsi hak dan kewajiban di atas, dapat penulis simpulkan bahwa kewajiban anak didik adalah: Pertama:

Menjaga

norma-norma

pendidikan

untuk

menjamin

keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. Kedua:

Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

4) Kurikulum Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni curriculum yang awalnya mempunyai pengertian a running course, dan dalam bahasa Perancis yakni courier berarti to run yang artinya berlari. Istilah ini kemudian digunakan untuk sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu 162Ibid., hlm. 88 163Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

59

gelar penghargaan dalam dunia pendidikan,yang dikenal dengan ijazah .164 Kata kurikulum mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. pada tahun itu, kurikulum digunakan dalam bidang olah raga, yakni sesuatu hal yang membawa orang dari start sampai ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan. Dalam kamus tersebut, kurikulum diartikan dua macam, yaitu: Pertama: Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah/perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua: Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan.165 Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan

dan

dilaksanakan

untuk

mencapai

sejumlah

tujuan-tujuan

pendidikan tertentu. Batasan ini mencerminkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, pendidikan itu adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan. Kedua, di dalam kegiatan pendidikan itu terdapat suatu rencana yang disusun atau diatur. Ketiga, rencana tersebut dilaksanakan di sekolah melalui cara-cara yang telah ditetapkan.166 Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat sekolah. Komponen kurikulum dalam pendidikan sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan, bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa keterlibatan kurikulum. Kurikulum merupakan satu dari komponen pendidikan dan kurikulum sendiri juga merupakan sistem yang mempumyai komponen-komponen tertentu. Komponen tersebut menurut Tafsir,167 adalah tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar, dan evaluasi. Keempat komponen tersebut saling melengkapi, bahkan masing-masing merupakan bagian integral dari kurikulum. Komponen 164Abdullah Ali, Pengembangan, Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 3 165Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 53 166Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm.122 167Ahmad Tafsir, Ibid., hlm. 54

60

tujuan mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dituju dalam proses belajar mengajar. Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar tersebut. Materi (isi) itu harus relevan dengan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Komponen proses belajar mengajar mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam proses belajar mengajar. Sedangkan komponen evaluasi adalah kegiatan kurikulum berupa penilaian untuk mengetahui berapa persen tujuan tadi dapat dicapai. Sedangkan yang dimaksud kurikulum pendidikan Islam adalah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem pendidikan.168 Bahan atau materi pelajaran sebagai isi kurikulum pada dasarnya merupakan bahan-bahan pelajaran yang dapat mengantarkan anak didik mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan komponen yang penting karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di dalam sistem kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian dari bahan masukan yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai tujuan (input instrumental) pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya merupakan refleksi paradigma pengetahuan menurut Islam. Secara mendasar akan meliputi dua kebutuhan dasar manusia yakni yang berorientasi pada kebutuhan material dan yang berorientasi pada kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam .169 Dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam, harus memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Menurut Al-Taumi, prinsip-prinsip tersebut meliputi tujuh macam, antara lain: (1) Prinsip pertama adalah pertautan yang empurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilainya, (2) Prinsip kedua adalah prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan dan kandungan kurikulum, (3) Prinsip ketiga adalah keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum, (4) Prinsip keempat berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar, 168Nur Uhbiyati, op. cit., hlm. 161 169Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 99

61

(5) Prinsip kelima adalah pemeliharaan perbedaan individual antara pelajar dalam bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan masalahnya, (6) Prinsip keenam adalah perkembangan dan perubahan Islam yang menjadi sumber pengambilan falsafah, prinsip, dan dasar kurikulum, (7) Prinsip ketujuh adalh prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktiva yang terkandung dalam kurikulum.170 Secara umum, isi kurikulum pendidikan Islam akan memberikan gambaran kualifikasi sebagai berikut: (a). Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia, (b). Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, (c). Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik, (d). Perlunya membawa anak didik kepada objek empiris, (e). Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang mutakhir, yang sedang dibicarakan dan relevan dengan tujuan negara setempat, (f). Materi yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga harus bersifat praktis, (g). Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan anak didik dan aspekaspek sosial.171 5) Metode Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis .172 Dalam proses belajar mengajar, metode berarti cara yang digunakan untuk menyampaikan mata pelajaran dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Metode sangat befungsi dalam menyampaikan pelajaran. Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses belajar-mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu, metode yang ditetapkan oleh seorang guru dapat berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan .173 Menurut Armai Arif, terdapat beberapa metode pengajaran yang dikenal 170Nur Uhbiyati, op. cit., hlm. 161-162 171Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 99 172Muhibin Syah, op. cit., hlm. 201 173Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hlm. 163

62

secara umum, yaitu: (a) metode ceramah, (b) metode diskusi, (c) metode eksperimen, (d) metode demonstasi, (e) metode pemberian tugas, (f) metode sosidrama, (g) metode drill, (h) metode kerja kelompok, (i) metode tanya jawab, (j) metode proyek.174 Sementara Muhibin Syah,175 mengatakan bahwa ada empat metode mengajar yang dipandang representatif dalam arti digunakan secara luas sejak dahulu hingga sekarang pada setiap jenjang pendidikan formal. Tiga dari empat metode mengajar tersebut bersifat khas dan mandiri, sedangkan yang lainnya merupakan kombinasi antara

satu metode dengan metode lainnya. Keempat

metode tersebut adalah sebagai berikut: (a) metode ceramah, (b) metode diskusi, (c) metode demonstasi, (d) metode ceramah plus, metode ini terdiri atas banyak metode campuran, yaitu; ceramah plus Tanya jawab, tugas, diskusi, demontrasi dan latihan. Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana yang dapat memberikan makna terhadap materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh anak didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya.176 Tanpa metode suatu materi pelajaran tidak akan dapat terserap secara efektif dan efisien dalam kegiatan belajar-mengajar menuju tujuan pendidikan Sebagai salah satu komponen operasional dalam pendidikan Islam, metode harus mengandung potensi yang bersifat mengarahkan materi pelajaran pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui proses yang bertahap, baik dalam kelembagaan formal, non formal, maupun informal. Dengan demikian, menurut Ilmu Pendidikan Islam, suatu metode yang baik adalah bila memiliki watak dan relevansi yang senada atau sejiwa dengan tujuan pendidikan Islam.177 Secara operasional, Islam dalam ajarannya memiliki banyak implikasi 174Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press, 2001), hlm. 42 175Muhibin Syah, Op. Cit., hlm. 203 176Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Ibid., hlm. 163 177Ibid., hlm. 164

63

pendidikan terutama secara metodologis, misalnya: (1) Metode mendidik secara berkelompok, (2) Metode mendidik secara instruktusional, yaitu yang bersifat mengerjakan, (3) Metode mendidik dengan cara bercerita, (4) Metode mendidik secara bimbingan dan penyuluhan, (5) Metode pembesrian contoh teladan, (6) Metode mendidik secara diskusi, (7) Metode mendidik dengan cara tanya jawab, (8) Metode mendidik dengan menggunakan perumpamaan, (9) Metode mendidik secara targhieb dan tarhieb, yaitu memberikan pelajaran dengan dorongan (motivasi) untuk memperoleh kegembiraan dan mendapat kesusahan jika tidak mengikuti kebenaran, (10) Metode dengan cara bertaubat dan ampunan .178 6) Sarana dan Prasarana Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan pendidikan, yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat lunak). Menurut Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya.179 Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat keras dan perangkat lunak.180 Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan Islam yaitu segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.181 Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa peralatan pendidikan itu meliputi dua hal, yaitu perangkat keras atau hard ware dan perangkat lunak atau soft ware. Perangkat keras meliputi gedung sekolah, perpustakaan, alat-alat yang digunakan tatkala belajar di kelas, dan lain-lain. Sedangkan perangkat lunak meliputi kurikulum, metode pengajaran, adminitrasi pendidikan, dan lain-lain. Menurut Supardi, secara garis besar alat pendidikan itu ada dua macam, yaitu: Pertama : Alat fisik, yaitu berupa segala sesuatu perlengkapan pendidikan berupa saran dan fasilitas dalam bentuk konkrit, seperti bangunan, alat-alat tulis 178Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 113-119 179M Basyirudin Usman dan Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta : DeliaCitra Utama, 2002), hlm. 11 180Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 90 181Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 53

64

dan baca, dan sebagainya. Kedua:

Alat non fisik, yaitu berupa kurikulum,

pendekatan, metode, dan tindakan berupa hadiah dan hukum serta uswatan hasanah atau contoh teladan baik dari pendidik.182 Dalam proses pembelajaran banyak sekali konsep-konsep pengetahuan yang harus dipahami oleh siswa. Sedangkan hal itu sulit dipahami tanpa bantuan alat atau media. Dengan adanya peralatan atau media, tugas guru untuk mengefektifkan dan mengefisienkan dalam mencapai tujuan pendidikan dapat terbantu. Sehingga tidak heran jika ada asumsi bahwa semakin lengkap peralatan pendidikan di suatu sekolah, maka semakin tinggi pula kualitas sekolah tersebut. Untuk mengadakan dan mempergunakan peralatan pendidikan, terdapat beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan, antara lain: (a) alat yang dipilih hendaknya selaras dan menunjang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, (b) aspek materi menjadi pertimbangan yang dianggappenting dalam memilih alat, (c) kondisi siswa dari segi subjek belajar menjadi perhatian yang serius bagi guru dalam memilih alat yang sesuai dengan kondisi anak, (d) alat yang dipilih seharusnya dapat menjelaskan apa yang akan disampaikan kepada siswa secara tepat dan berhasil guna, (e) biaya yang dikeluarkan dalam pemanfaatan alat harus seimbang dengan hasil yang akan dicapai. 183 7)Evaluasi Evaluasi atau penilaian adalah rangkaian akhir komponen dalam suatu sistem pendidikan yang penting. Berhasilatau gagalnya suatu pendidikan mencapai tujuan dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap produk yang dihasilkannya. Jika hasil suatu pendidikan sesuai dengan tujuan yang telah diprogramkan, maka usaha pendidikan tadi dinilai berhasil, tetapi jika sebaliknya dinilai gagal. Evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assesment. yang berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sementara Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan kurikuler berupa

182Ahmad Supardi, Ibid., hlm. 53 183M BasyirudinUsman dan Asnawir, op. cit., hlm. 15

65

penilaian untuk mengetahui berapa persen tujuan tadi dicapai.184 Sementara menurut Armai Arief, bahwa yang dimaksud dengan evaluasi atau penilaian dlam pendidikan adalah keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pendidikan secara umum; baik mengenai perencanaan,pengelolaan, proses, dan tindak lanjut pendidikan atau yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan.185 Jadi, yang dimaksud dengan evaluasi dalam pendidikan Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauh mana keberhasialn yang elaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendididkan Islam itu sendiri. Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh apek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritualreligius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya. Sasaran dari evaluasi pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar anak didik, yaitu: (a) sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya dengan Tuhannya, (b) sikap dan pengalaman tehadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat, (c) sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya, (d) sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah di muka bumi.186 D.PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM Masalah pengembangan aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada dasarnya sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang dan hingga yang akan datang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya program dan praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan di nusantara. Buchori memetakan struktur internal pendidikan Islam Indonesia, jika 184Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 55 185Armai Arief, op. cit., hlm. 54 186Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, op. cit., hlm. 225

66

ditilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke dalam 4 (empat) jenis, yaitu (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah; (3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam; dan (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.187 Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam188, atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.189 Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer oftraining", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan.190 Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dengan

demikian,

pendidikan

merupakan

sarana

terbaik

untuk

menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia.191 Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila 187Muchtar Buchori, Pendidikan Islam Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan, dalam Muntaha Azhari & Abd.Mun’in Saleh (Ed.), Islam Indoensia Menatap Masa Depan, (Jakarta : P3M, 1989), hlm. 184 188Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education". Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, ( Bandung : Risalah, 1986), hlm.2 189Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulul Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 26 190Roehan Achwan, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1991),Volome.1, hlm. 50 191Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta : Amisco, 1996), (Comference Book, London, 1978), hlm. 15-17

67

pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan irama pendidikan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, Pendidikan didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan".192 Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya

insannya,

lembaga-lembaga

dan

organisasinya,

serta

mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut. Dalam perjalanan sejarahnya, pengembangan ke empat jenis pendidikan Islam tersebut ternyata sudah menjadi wacana yang serius dikalangan tokoh pendidikan Islam semenjak sebelum Indonesia merdeka. Kajian ini bermaksud untuk menjajaki berbagai pola pemikiran dan pengembangan pendidikan Islam yang dikembangkan pada masa sebelum Indonesia merdeka, terutama sejak awal 192H A R Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Magelang : Tera Indonesia, 1998), cet. ke-1, hlm. 245

68

abad 20 hingga menjelang masa kemerdekaan. Muhaimin berpendapat, bahwa pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900menjelang 1945), agaknya lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode tersebut diduga muncul berbagai problem isu-isu pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir, pengembang dan pengelola pendidikan Islam di Indoneisa.157 Lebih

lanjut Suroyo berpendapat

bahwa untuk mengembangkan

pendidikan Islam ke arah yang lebih bermutu, maka persoalan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya. Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persoalan dikotomi pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.193 Sementara itu, Menurut Fazlur Rahman, masalah dikotomi pendidikan salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya – yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan mengembangkan dan memodernisasikan Pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam.194 M. Rusli Karim195, mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil 193Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 45 194Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (USA: The University of Chicago, 1982), hlm. 155 195M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku :

69

ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Dan perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga Pendidikan Islam196 yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas, bahwa pengembangan pendidikan Islam merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan dengan memperhatikan paradigma pendidikan agar pendidikan Islam tidak selalu tertinggal dibanding dengan pendidikan Barat, maka sikap dan pikiran masyarakat harus di arahkan kepada pendidikan yang sesuai dengan tuntunan alQur’an dan al-Hadits. Faktor terjadinya pengembangan ini berasal dari dalam diri masyarakat maupun berasal dari luar diri masyarakat terutama lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren.197 Terlepas dari bentuk dan faktor-faktor penyebab terjadinya pengembangan pendidikan Islam ini, maka yang jelas fenomona yang terjadi di masyarakat merupakan

penyebab

dilakukannya

suatu

sikap

untuk

mengembangkan

pendidikan Islam. Disinilah peran strategis sebuah pondok pesantren. Arifin melihat bahwa fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat sekaligus tantangan bagi pesantren, diantaranya politik, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, editor, Muslih Usa, (Yogyakarta :Tiara Wacana, 1991), cet. ke-1, hlm. 150 196Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, (tt, 1985), hlm. 15 197Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Amisco, 1996), hlm. 3

70

teknologi, ekonomi dan sistem nilai.198 Disinilah, peran sebuah lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren agar

lebih

meningkatkan

peran

dan

kompetensinya

ditengah-tengah

perkembangan dunia yang sedang menglobal ini. Pesantren harus tetap menjaga citranya dalam mengadopsi budaya dari dunia luar dan tidak mudah terkontaminasi oleh sistem yang ada, sehingga pendidikan Islam akan menjadi alternatif dalam mengembangkan pola pikir dan dalam mengembangkan karakter, serta kepribadian masyarakat di masa mendatang.

198M.Arifin, op. cit., hlm. 41-45

71

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A.Letak Geografis Pesantren Thawalib terletak di Nagari Tanjung Limau desa

Simabur

kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Tanjung Limau termasuk kenagarian Simabur Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar terdiri dari dataran seluas 139 ha yang terletak 11,5 Km dari ibu kota Kabupaten dan 1,5 Km dari ibu kota Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Simabur dan Jorong Koto Tuo, sebelah selatan berbatasan dengan Jorong Batu Basa, sebelah timur dengan Kenagarian Tabek dan sebelah barat dengan Koto Baru.199 Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah salah satu lembaga Pendidikan Agama tertua di Minangkabau Khususnya Kabupaten Tanah Datar .Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf seluas 16.000 m2 yang tempo dulu atau sekita tahun 1920-an merupakan sebuah Surau (tempat mengaji dan belajar agama) dan kemudian berkembang menjadi perguruan Thawalib, dan akhirnya tahun 1972 berobah menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Pesantren ini sangat mudah dijangkau, karena letak pesantren ini tepat di pinggir jalan desa yang dilalui oleh kendaraan umum yang akan menuju pasar kecamatan, disamping itu, untuk menuju pesantren ini juga dapat menaiki angkutan roda dua atau ojek dengan biaya Rp. 2000,-. Mengingat tempatnya yang strategis dilalui oleh kendaraan umum dan dekat dengan ibu Kecamatan, maka banyak pelajar yang sekolah di pesantren ini tidak memondok, kecuali siswa yang berasal dari luar Kabupaten Tanah Datar dan dari daerah kecamatan tetangga. Pada umumnya santri yang memodok tersebut adalah santri Madrasah Aliyah Keagamaan serta mereka yang ingin belajar kitab kuning.

199Akta Pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau ,No. 66 tahun 1976

72

B.Sejarah

Pertumbuhan

dan

Perkembangan

Pondok

Pesantren

Thawalib Tanjung Limau 1. Cikal Bakal Thawalib Tanjung Limau Cikal bakal berdirinya Pesantren Thawalib ini adalah dari “Surau Gadang”200 Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi generasi muda Tanjung Limau dengan menggunakan sistem halaqah. Murid laki-laki dipisahkan dengan murid perempuan. Guru yang mula-mula mengajar di surau ini adalah Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansyur, sehingga Tanjung Limau dikenal orang sebagai tempat mengaji Tafasia (Tafsir). Setelah Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansur wafat pengajian di surau Gadang dilanjutkan oleh cucunya, H. Mukhtar Ya’qub dalam usia ± 18 tahun yang telah menamatkan sekolahnya di Surau Jembatan Besi atau sekarang dikenal dengan Perguruan Thawalib Padang Panjang tahun 1922 M. Semulanya H. Mukhtar Ya’qub bermaksud akan merantau ke Palembang untuk mengembangkan ilmu yang telah beliau pelajari, namun masyarakat Tanjung Limau juga berharap kepadanya untuk mengajar di Surau Gadang. H. Mukhtar akhirnya membatalkan rencana semula dan menerima amanah yang diberikan masyarakat kepadanya.201 Untuk memperlancar pendidikan di Tanjung Limau H. Mukhtar Ya’qub bersama pemuka masyarakat berinisiatif

untuk mendirikan sebuah madrasah.

Setelah diadakan musyawarah, pada tahun 1923 M dapat didirikan sebuah gedung terdiri dari 4 lokal berlokasi diatas tanah wakaf Labai Sutan dan Datuk Tan Majolelo.202 Semua biaya bangunan berasal dari sumbangan masyarakat Tanjung 200Surau Gadang atau surau besar dalam bahasa Indonesia adalah tempat atau sarana belajar mengaji (al-Qur’an dan praktek ibadah), dan tempat untuk melatih generasi muda Tanjung Limau dalam memahami ajaran Islam lebih mendalam, di surau ini mereka dibimbing oleh seorang guru atau Syaikh Sulaiman al-Mufassiry (ulama awal di desa Tanjung Limau), Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 09 Februari 2009 201Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Sejarah Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, ( Tanjung Limau, t, th), hlm. 1 202Labai Sutan dan Datuk Tan Majolelo adalah masyarakat Tanjung Limau yang kaya raya dan mendapat jabatan sebagai Demang dan Wali Nagari di masa pemerintahan kolonial Belanda yang memiliki tanah yang luas, mereka mempunyai perhatian yang besar kepada pengajaran alqur’an dan pendidikan anak muda Tanjung Limau, Lihat Datuk Tan Majolelo, Wali Nagari Nan Cadiak Pandai, ( Tanjung Limau, 1920), tt, hlm. 45

73

Limau baik materil maupun tenaga. Setelah gedung tersebut selesai dan dapat dimanfaatkan, maka sistem pendidikanpun berobah dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal dengan bidang studi pengetahuan agama dan Bahasa Arab. Penyelenggaraan pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib ini dikelola oleh H. Mukhtar Ya’qub dan dibantu oleh Angku Sago dari Sungayang serta oleh murid yang tingkatnya kelasnya lebih tinggi. Murid yang agak dewasa belajar pada pagi hari dengan nama “Thawalib” dari nama inilah diambil nama Thawalib sampai sekarang, dan pada sore harinya adalah waktu belajar bagi anak-anak yang dalam usia sekolah dasar dengan nama “Diniyah School”.203 Sementara itu belajar mengaji di Surau Gadang tetap dilaksanakan dengan sistem halaqah Dalam catatan sejarah Minang Kabau, disebutkan bahwa H. Mukhtar Ya’kub adalah Almnus dari Surau Jembatan Besi dengan afiliasinya sekarang yaitu Sumatera Thawalib Parabek yang dipimpinan H. Abdul Karim Amarullah ( ayah buya HAMKA) atau yang dikenal dengan Inyiak Deer, dimana di surau ini telah diperkenalkan belajar dengan sistem klasikal. Perubahan sistem ini dipengaruhi oleh pembaharuan pendidikan di Timur Tengah. Sejarah berdirinya Thawalib ini merupakan perkembangan dari Thawalib Padang Panjang. Pesantren ini mengalami perkembangan, meskipun banyak kendala harus dihadapi, seperti tantangan dari pemerintah Hindia Belanda. Di tahun 1923 s/d 1940 murid-murid pesantren Thawalib ini banyak yang berasal dari Aceh, Medan, Jambi, Tembilahan (Riau), dll.204 Pada perkembangan selanjutnya ditahun 1972 perguruan ini berobah menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perobahan ini karena salah seorang pimpinan perguruan ini mengikuti pelatihan di Kelapa 2 Jakarta.205 Proses 203Diniyah School adalah sekolah yang didirikan untuk perempuan Minang oleh Zainuddin Labai El-Yunusi pada tanggal 10 Oktober 1915, kemudian adiknya Rahmah El-Yunusiah mendirikan pula Diniyah School Putri tanggal 1 November 1923. Tentang Diniyah School baca, Peingatan 55 Tahun Diniyah Putri Pdang Panjang, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978), hlm.74 204Burhanuddin Daya, Gerakan Pembahruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995), hlm. 205Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita, (Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)

74

belajar mengajar dengan sistem Salaf, pembelajaran dengan metode halaqah dan sorongan mengunakan literatur kitab kuning sebagai dasar untuk mentransfer pokok-pokok ajaran Islam Ahlulul Sunnah Waljama’ah tetap dipertahkan. Sebenarnya pembelajaran dengan sistem kelas telah dilaksanakan di pesantren semenjak H.Muchtar Ya’cub mengelola pesantren ini. Perubahan ini terjadi seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau Sumatera Barat. Dalam perkembangan selanjutnya mulai dibuka sistem klasikal dengan model madrasah. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengikuti perkembangan pendidikan yang ada di sekolah umum/ madrasah. Perubahan metode belajar ini diiringi dengan semangat dan prinsip pembaharuan di Minang Kabau Sumatera Barat. Model madrasah yang dimaksud adalah madrasah sebagai kelayakan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal yang legitimate, atau baik berafiliasi dengan Departemen Agama. Pengunaan model ini semata-mata bertujuan untuk mengikuti perkembangan dunia yang menglobal. Dan diharapkan siswa yang tamat dari Pesantren Thawalib ini tidak hanya diterima di Perguruan Tinggi Agama (IAIN/STAIN), dan diharapkan dapat juga bersaing di perguruan tinggi umum disamping dapat mengembangkan keterampilan sebagai wiraswasta di tengah-tengah masyarakat kelak. Asumsi bahwa sesungguhnya pendidikan pondok pesantren merupakan pendidikan yang membekali santri dengan masalah ukhrawi dengan pengetahuan agama, membentuk watak mandiri, percaya pada diri sendiri, dan penguasaan pengetahuan umum menjadi dasar pemikiran dan pertimbangan pendiri pondok pesantren Thawalib, sehingga

Madrasah yang didirikan di dalam Pondok

Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini berafiliasi dengan Departemen Agama secara Legitimate. Sebagai pondok pesantren yang milik yayasan, sumber dana untuk pembangunan fisik pondok pesantren disamping berasal dari keluarga, juga memperoleh dukungan dana dari donatur dan masyarakat, serta juga mendapat bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunannya senantiasa melibatkan unsur keluarga dan unsur masyarakat. Begitu juga dalam

75

kegiatannya

senantiasa

melibatkan

masyarakat

sekitar

untuk

mengikuti

keagamaan di lingkungan pesantren, seperti madrasah, majlis ta’lim, maupun pengajian rutin. 2. Perkembangan Pesantren Thawalib Pada tahun 1928, Madrasah Thawalib Tanjung Limau ini mendapat popularitet yang luar biasa dengan banjirnya pelajar yang mendaftarkan diri untuk belajar di Thawalib khususnya daerah Tanah Datar bahkan ada yang berasal dari Aceh, Tapanuli, Kurinci, Palembang, Bengkulu, Jambi, riau dan pekan baru.206 Para murid atau santri bukan hanya sekedar menimba ilmu di kelas saja namun mereka juga menambahnya di surau bagi laki-laki atau di asrama bagi perempuan. Dengan makin bertambahnya jumlah murid yang belajar di Thawalib, dapat pula dibangun lokal lainnya sehingga mencapai 11 buah lokal dibiayai dari swadaya masyarakat, hasil sawah sekolah, infak dan sedekah termasuk uang pembangunan dari wali murid. Demikian pula guru yang mengajar di Thawalib bukan hanya berasal dari Tanjung Limau, tetapi ada yang dari daerah sekitarnya, dari Lima Kaum, Sungayang, Padang, Malalo bahkan ada yang dari Kalimantan.207 Untuk menjaga keseimbangan proses belajar mengajar, bagi guru diberikan bidang studi sesuai dengan keahlian mereka masing-masing, disamping itu bagi murid yang tingkatannya lebih tinggi juga diberikan amanah untuk mengajar dan membimbing murid dibawah tingkatannya, bahkan setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di Thawalib ada yang langsung menjadi guru atau melanjutkan pendidikan ke perguruan lainnya. Jenjang kelas di Pesantren Thawalib Tanjung Limau pada awalnya sampai kelas tujuh dan pada awal tahun 70-an berganti menjadi Thawalib enam tahun (semenjak perobahan SGAP dan SGAA menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah) Pada tahun 1943 diadakan perayaan milat ke-20 berdirinya Thawalib Tanjung Limau, dengan mengundang ulama besar Minangkabau. Dalam acara perayaan tersebut dibicarakan tentang kelancaran pendidikan dan pembangunan 206Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Ibid., hlm. 9 207Burhanuddin Daya, op. cit, hlm. 145

76

Madrasah Thawalib sehingga dapat dikumpulkan dana sedekah dan zakat

berupa wakaf, infak,

dan pada waktu juga dapat membeli sawah yang

berdampingan dengan sekolah sekarang ini. Dibawah kepemimpinan Buya Haji Mukhtar pendidikan di Thawalib tidak pernah terputus mencetak kader ulama dan muballigh baik pada masa penjajahan Belada maupun pada masa penjajahan Jepang. Pada tanggal 17 Mei 1945 Haji Mukhtar Ya’qub berpulang ke Rahmatullah, selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau dilanjutkan oleh Buya Haji Isma’il Rasyad. Dengan segala daya upaya Buya (sebutan sama dengan Kyai di Jawa) Haji Isma’il Rasyad dan majlis guru serta bantuan masyarakat, Madrasah Thawalib tetap berlangsung dengan baik dalam melintasi masa-masa yang sangat berbahaya bagi kehidupan sebuah lembaga pendidikan agama seperti agresi Belanda dan pergolakan PRRI yang sangat runcing.208 Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Isma’il Rasyad juga dipanggil kehadirat Allah SWT. selanjutnya Thawalib dikendalikan oleh Angku Imam Ibrahim. Setelah ditambahnya 4 lokal gedung yang berhadapan dengan gedung yang lama pada masa Buya Haji Isma’il Rasyad dan gedung yang lama itupun dirombak dijadikan dua tingkat, pada masa Angku Imam Ibrahim ditambah pula satu lokal baru. Pada tahun 1970 didirikan pula dua lokal gedung yang sejajar dengan gedung yang lama.209 Dengan berkembangnya Pondok Pesamtren Thawalib Tanjung limau ini, menambah perhatian masyarakat serta wali murid, orang tua untuk memperlancar keberadaan lembaga ini. Termasuk membangun asrama sampai tingkat dua. Pada tahun 1976 didirikanlah Yayasan Pembina Thawalib Tanjung limau, sebagai ketua Umum Haji Moeslim Aboud Ma’ani, MA dengan notaries Asmawel Amin, SH. Tujuan

pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau adalah “untuk

membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib sesuai dengan Ajaran al-Qur-an dan al-Hadits dan berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum Haji Mukhtar Ya’qub. Beberapa tahun kemudian, karena kondisi kesehatan Angku Imam 208Yunus St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009 209Yunus St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009

77

Ibrahim menurun, maka pimpinan Thawalib dijalankan oleh Haji Alwi Yunus dan beliau juga merupakan murid tertua dari almarhun Haji Mukhtar Ya’qub. Pada tanggal 29 Juli 1988 Haji Alwi Yunus wafat. Untuk sementara waktu roda pimpinan Pesantren Thawalib dipimpin oleh Zaini St. Marajo. Kemudian atas permintaan Yayasan Pembina Thawalib kepemimpinan Thawalib dilanjutkan oleh Putra Almarhum Haji mukhtar Ya’qub, yakni Al Hafiz Haji Fahmi Mukhtar, BA. Pada tanggal 1 Januari 1989 Departemen Agama mengangkat beliau menjadi kepala Madrasah Aliyah Thawalib Tanjung Limau. Pada tanggal 1 Juli 2000 Al Hafiz Haji Fahmi Mukhtar, BA pensiun dari PNS (sebagai Kepala Madrasah Aliyah Thawalib) dan juga mengajukan permohonan mundur sebagai pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada pengurus Yayasan Pembina Thawalib.210 Untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau selanjutnya, atas kesepakatan pengurus Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau mengajukan permohonan kepada Kepala Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar untuk mengangkat Drs. Fahrizal sebagai Kepala Madrasah Aliyah dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren ini. Akhirnya permohonan tersebut dipenuhi oleh pemerintah dan mulai tanggal 1 November 2000 sesuai dengan SK pengangkatannya Drs. Fahrizal ditugaskan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar sebagai kepala Madrasah

Aliyah

dan

Yayasan

Pembina

Thawalib

Tanjung

Limau

mengamanahkan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Dari paparan kondisi gambaran pondok Pesantren di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mampu mencetak generasi awal yang handal dan merubah sistem pendidikan seiring dengan terjadinya perubahan pendidikan di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten Tanah Datar, dan penulis ingin melihat bagaimana peranan Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam sehingga, pesantren ini kembali pada kejayaan seperti tempo dulu. C.Sarana dan Prasarana 210Dokumen Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau tahun 2000

78

Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan pendidikan, yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat lunak). Menurut Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya.211 Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat keras dan perangkat lunak. Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan Islam yaitu segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.212 Berdasarkankan hasil dokumentasi, Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau menempati lahan seluas 16.000 m2 yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan pengajaran, diantaranya; Pertama: Bangunan Masjid 1 buah, Mesjid dengan arsitektur yang indah dan berkubah, dan memiliki menara. Dihadapan Mesjid, (di dalam pekarangan mesjid) terletak makan pendiri Pesantren, dan di samping kiri merupakan tempat berwudhu dan memiliki Toilet (WC) yang bagi menjadi dua bagian, yaitu untuk pria dan wanita. dan tempat berwudhu lainnya ada di belakang mesjid. Di sebelah kanan mesjid terletak Asrama dan tempat pendidikan taman kanak-kanak (Raudlatul Atfal) milik masyarakat, yang sebentar lagi akan diserahkan sebagai wakaf kepada yayasan. Kedua:

Rumah Kyai/Buya

1 buah, Rumah kyai awal terbuat dari bambu dan sekarang telah semi permanen yang terletak di belakang Asrama putri,bangunan ini dilengkapi dengan dapur umum untuk memasak bagi santri yang memondok. Ketiga:

Asrama 1 kompleks

dihadapan Masjid arah ketimur itulah ditemukan lokasi dari kampus lama yang sudah bertingkat dua. Bagian depannya seberang jalan sekarang sudah dibangun gedung baru dan kantor Koperasi pondok pesantren. Disebelah utaranya kantor majelis guru dan administrasi sekolah. Lalu di jejeran sebelah kantor ruangan 211M. Basyirudin dan Usman Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta : DeliaCitra Utama, 2002), hlm. 11 212Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Perspektif Islami, (Bandung : Rosda Karya, 2007), hlm. 53

79

kelas dan dibelakang itu asrama putera. Keempat: Ruang belajar 10 lokal. Kelima: Ruang Kepala Pondok 1 lokal, Keenam: Ruang majlis guru 1 lokal. Ketujuh: Ruang perpustakaan 1 lokal. Sebagai penunjang proses pendidikan formal bagi siswa disediakan perpustakaan yang terletak di dekat kampus sehingga sangat memudahkan bagi siswa untuk membaca dan meminjam buku. Sampai saat ini perpustakaan Thawalib memiliki koleksi buku sebanyak 12.000 exemplar yang terdiri dari : Buku Agama = 686 Judul = 5187 exp, buku Umum = 699 Judul = 6515 exp. Buku-buku tersebut berasal dari bantuan Departemen Agama, bantuan Dermawan dan alumni, bantuan Departemen Pendidikan Nasional, dibeli dari anggaran Pesantren,dan berasal dari kenang-kenangan siswa kelas 3 Aliyah. Disamping itu untuk mengembangkan bakat dan minat para santri, pesantren juga menyediakan sarana dan prasarana lain, seperti; ruang TPUS (Tempat Perbaikan Usaha Santri) 1 lokal, lapangan volly 1 unit, laboratarium bahasa dan Komputer 1 lokal, dan koperasi Pesantren Thawalib 1 lokal213 Pada intinya, seluruh bagunan dan lahan yang ada di lingkungan pesantren ini dimanfaatkan untuk menambah wawasan keterampilan para santri secara alami guna bekal kehidupan mereka setelah terjun ke masyarakat. Disamping itu pihak pimpinan pesantren juga melakukan kerja sama dengan tenaga ahli dalam bidang keterampilan menjahit, bahasa Jepang dan computer. Pondok pesantren Thawalin Tanjung Limau mengunakan media pendidikan untuk menyalurkan

pesan, pikiran, perasaan yang secara kreatif dapat

meningkatkan keterampilan siswa/santri sesuai dengan visi misinya. Media pendidikan yang digunakan antara lain: Pertama: Media visual, meliputi: gambar/photo, diagram chart, peta/globe, poster dan papan tulis. Kedua: Media audio,meliputi: radio, tv, tape recorder, abotarium bahasa, OHP, dan Komputer. Ketiga:

Media

cetak,

meliputi:

Al-Qur’an,

kitab-kitab

klasik,

dan

majalah/bulten. 213Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Laporan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Tahun Ajaran 2006/2007, (Tanjung Limau : Tidak diterbitkan, 2006)

80

Hal penting yang telah dilakukan oleh pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pemakaian media pendidikan ialah adanya kemauan mengunakan produk budaya asing semacam OHP (Over Head Proyector) dan Komputer untuk menghasilkan pembelajaran yang lebih berkualitas. D.Struktur Organisasi dan Kepengurusan Pesantren Thawalib Pembahasan mengenai struktur organisasi Pesantren Thawalib Tanjung Limau di bagi ke dalam empat bagian, yaitu: status kelembagaan, struktur organisasi, gaya kepimpinan,dan susksesi kepimpinan. Status kelembagaan pesantren Thawalib adalah sebagai milik institusi Yayasan pembina Thawalib Tanjung Limau. Hal ini karena tanah yang dipergunakan untuk bangunan pesantren adalah milik keluarga Ya’cub (ayah pendiri pesantren Thawalib) dan H. Ismail. Sedangkan pimpinan pesantren itu sendiri diangkat dan ditunjuk oleh

keluarga yayasan. Pada perkembangan

selanjutnya pimpinan pesantren diangkat oleh Departemen Agama. Pada dasarnya struktur organisasi pesantren dapat digolongkan menjadi dua sayap sesuai dengan pembagian jenis nilai yang mendasarinya, yaitu nilai agama dengan kebenaran absolut dan nilai sosial dengan kebenaran relatif. Sayap pertama penjaga nilai kebenaran absolut, dan sayap kedua penjaga nilai kebenaran relatif yang bertanggung jawab pada pengamalan nilai kebenaran absolut baik di dalam pesantren maupun diluar pesantren, sedangkan sayap pertama bertanggung jawab pada kebenaran atau kemurnian agama. Sesuai dengan hirarkis pembagian jenis nilai, maka sayap-1 mempunyai supremasi terhadap sayap-2, dan oleh karena itu sayap-2 tidak boleh bertentangan dengan sayap-1, apalagi kalau sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aqidah syari’ah agama dan sunnah. Sayap-1 merupakan sumber informasi dan konfirmasi bagi sayap-2 dalam melakukan tugas sehari-hari. Ajaran buya/kyai, ustaz dan kitab-kitab agama yang diajarkan di pesantren diyakini sebagai memiliki kebenaran absolut oleh santri, dan oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, hanya perlu dipahami maksudnya. Tabel. 1 STRUKTUR ORGANISASI

81

PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU No Jabatan 1 Pimpinan Pondok/Madrasah 2 Syaikhul Pondok/Madrasah

Nama Buya Fahrizal Alwis

Keterangan

Buya H. Sofyan Muchtar Buya Rifyal Ka’bah

3

Kepala Tingkat Aliyah

Drs. Fahrizal Alwis

4

Kepala Tingkat Tsanawiyah

Imran, S.Ag

5

Wakabid Kurikulum

6

Wakabid Sarana

Kasnida, S.Ag Ustadz Turmizi

7

Wakabid Pendidikan

Miftah Novi.T,S.Ag

8

Kepala Tata Usaha

Asra, S.P

9

Bendahara

H. Amiruddin

Sayap-1 dijaga oleh Buya/Kyai utama yaitu pimpinan pesantren dengan dibantu oleh kyai dan ustadz yang telah dinilai kemampuan ilmu agamanya oleh kyai utama. Para pembantu kyai utama ini adalah juga keluarga pesantren dan para santri senior. Kemudian sayap-2 dijaga oleh kyai muda, ustadz dan santri senior. Sayap-1 dipimpin oleh Buya Fahrizal Alwis sebagai pimpinan pesantren sebagai kyai utama. Dalam menjalankan manajemen pesantren dibantu oleh Ustadz Imran, S.Ag sedangkan sayap-2 dipimpin oleh Buya Sofyan Muchtar yang dibantu oleh ustadz Miftah Novi T, S.Ag,214 Pembagian kerja antar unit kerja seringkali terjalin kebersamaan, Misalnya, antaranya unit yang mengurusi pendidikan dan pengajaran dengan unit yang mengurusi pengajian, kehumasan, kemasyarakatan, kesejahteraan santri, dan sebagainya, seringkali mempunyai tugas yang sama. Seperti sama-sama mempunyai program mengadakan pengajian, mengarahkan santri untuk kerja bakhti membersihkan pesantren, memperbaiki jalan-jalan dalam kampus pesantren, membersihkan kamar mandi, dan sebagainya. Namun tidak tampak adanya pertentangan atau konplik di antara unit-unit kerja dimaksud, karena semuanya berlandaskan pada tiga kunci tersebut (berkah, ikhlas, ibadah), sehingga corak kerja dalam pesantren bersifat kekeluargaan dan lebih menekankan pada pentingnya human oriented daripada target oriented. Gaya kerja dalam struktur organisasi di Pesantren Thawalib Tanjung 214Struktur Organisasi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau 2007

82

Limau umumnya masih merupakan garis lurus ke depan. Artinya, setiap unit kerja bergantung pada atasan langsung. Keberhasilan kerja dalam struktur organisasi pesantren secara kerja antar unit kerja bersifat co-acting bukan inter-acting, yaitu sama dengan keberhasilan kerja suatu tim, di mana masing-masing unit kerja bekerja sendiri-sendiri, kemudian hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh tim. Kemudian gaya kepemimpinan yang ditampilkan di Pesantren Thawalib Tanjung Limau bersifat kolektif dengan menempatkan pimpinan pesantren sebagai pimpinan tertinggi yang memiliki kedudukan dan kekuasan yang sangat kuat dan mantap. Ciri-ciri gaya kepemimpinan yang ada di Pesantren Thawalib Tanjung Limau di antaranya adalah paternalistik dan free rein leardership/laisser faire, di mana pimpinan pesantren bersifat pasif, sebagai bapak yang memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu memberikan kata-kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan atau harus dihentikan. Suksesi kepemimpinan di pesantren Thawalib Tanjung Limau awalnya dilakukan dengan sistem musyawarah setelah meninggalnya pimpinan terdahulu. Kemudian dengan berafiliasinya pesantren ini di bawah Departemen Agama, maka susksesi kepemimpinannya langsung ditunjuk dan ditetapkan oleh Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar. Pimpinan ini tertuju untuk kepala Madrasah Tsanawiyah dan kepala Madrasah Aliyah. Saat ini kepala Madrasah Tsanawiyah dipimpin oleh Irman, S.Ag, sedangkan kepala Madrasah Aliyah dipimpin oleh Drs. Fahrizal dan sekaligus bertindak sebagai pimpinan Pesantren. Kemudian yang dimaksud dengan pengurus pesantren di sini adalah beberapa warga pesantren yang statusnya sebagai tenaga yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pendidikan di Pesantren ini. Namun pada umumnya mereka adalah juga kyai, ustadz/ustadzah dan juga santri senior, yang juga alumni dan keluarga dari pemilik Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Sehubungan dengan itu maka keberadaan dan peran pengurus ini tidak hanya mengurus pesantren dalam bidang manajerial, pembangunan fisik pesantren, dan hal-hal lain yang sifatnya non edukatif saja, tetapi mereka juga ikut memberikan pelajaran agama, memberi bimbingan kepada santri, bahkan memberikan pertimbangan kepada pimpinan

83

pesantren di dalam mengambil keputusan. Di Pesantren Thawalib Tanjung Limau, seluruh Buya, Ustadz dan santri senior yang mengasuh pesantren dan mendampingi pimpinan pesantren adalah unsur pengurus yang memberi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pengurus pembina pesantren. Di samping itu juga ada pengurus lain yang bertugas mengurus hal-hal yang sifatnya teknis operasional dan tidak secara langsung berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pendidikan dan pengajaran, misalnya pengurus yang mengurus gedung-gedung bangunan, pendanaan, hubungan dengan instansi-instansi lain, baik pemerintah maupun non pemerintah, dan sebagainya. Di samping itu juga ada wakil pondok yang dikelompokkan ke dalam Dewan pendidikan yang bertugas menyelenggarakan proses kegiatan belajar mengajar. Semua pengurus kedudukannya adalah membantu pimpinan pesantren dalam memperlancar kegiatan belajar mengajar di pesantren tersebut. Jadi dengan demikian, semua unsur pelaku yang secara organisatoris mengurus dan bertangung jawab atas kemajuan pesantren, dari sejak kyai utama/pimpinan pesantren yang merupakan pimpinan puncak sampai ke pembantu yang mengurus hal-hal yang sifatnya teknis operasional selama memiliki kewenangan memutuskan dan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya adalah pengurus pesantren. E.Pengelolaan dan Pendanaan Pesantren Thawalib Sebagaimana telah ditegaskan bahwa kyai/buya pengasuh dan pimpinan pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah pimpinan tertinggi dan tokoh kunci pesantren. Oleh karena itu, pada dasarnya mengenai masalah pengelolaan dan pendanaan ada di tangan kyai dan keluarganya, tetapi secara teknis operasional ditangani oleh unit-unit kerja dalam kelompok Sayap-2 yaitu para pengurus pesantren. Pembagian kerja dalam pengelolaan di Pesantren Thawalib Tanjung Limau mengunakan sistem menajemen dan administrasi modren, dalam artian sudah menggunakan sistem manajemen dan administrasi profesional. Sebab, pembagian kerja dari unit-unit kerja pada umumnya sudah jelas dan para administrator juga dianggap sudah mampu. Sistem dokumentasi atau sistem filling

84

sistem sudah teratur dan akurat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dana, sarana, dan dokumen-dokumen berharga lainnya, hampir dipastikan tidak ada kebocorankebocoran dalam arti korupsi. Mengenai sumber dana kegiatan Pesantren Thawalib Tanjung Limau ada dua jenis, yaitu dari sumbangan para santri berupa iuran bulanan, dan sumbangan dari donatur atau masyarakat yang tidak mengikat, baik pribadi maupun kelompok, yang biasanya berupa amal jariyah, wakaf, infak, shdaqah dan sebagainya, atau melalui proyek-proyek kerja sama, dan bantuan pemerintah pusat maupun daerah yang sifatnya insidentil.215 Disamping itu sumber pendanaan yang digunakan oleh pesantren, yaitu hasil pertanian dari sawah abuan 216yang dimiliki oleh pesantren, dari hasil sawah ini bisa beli peralatan kantor, membayar gaji guru,dan jika mencukupi digunakan untuk dana cadangan untuk pembangunan lokal dan gedung lain yang dirasa perlu. Sekarang ini, pondok pesantren Thawalib telah memiliki Master Plan dan prencanaan-perencanaan

yang

tepat

dan

mempunyai

rencana

induk

pengembangan pesantren, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, maka disini tampak jelas pengelolaan sumber dana di Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini dikelola oleh pimpinan yayasan dan pimpinan pondok. Pada perkembangan berikutnya di Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah

terjadi

perubahan

bahwa

pihak

pesantren

menyadari

pentingnya

perencanaan-perencanan yang akurat untuk mengembangkan dirinya di masa mendatang. Seperti, mandata jumlah alumni, lahirnya organisasi atau ikatanikatan santri di pesantren tersebut, memikirkan dan memproses pembelian media dan material untuk perluasan pesantren, pembangunan gedung-gedung baru atau aula yang dapat menampung sejumlah santri atau audience yang diinginkan, dan sebagainya. Salah satu problematika yang dirasakan oleh pesantren Thawalib Tanjung 215Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Januari 2009 216Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah untuk dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu. Seorang anak yang sudah beranjak dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang tuanya.

85

Limau, diantaranya, masih kurangnya dukungan masyarakat terutama pemerintah daerah baik secara materi maupun mentalitas, Sebab sebagai pusat pendidikan dan sebagai lingkungan belajar, pesantren harus didukung oleh masyarakatnya, disamping tuntutan zaman yang berkembang diera serba teknologi. Sehingga hal ini akan menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam dan tekhnologi yang terpadu di Kabupaten Tanah Datar di masa-masa mendatang,

BAB IV ANALISIS EMPIRIK PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT A. Latar Belakang Berdirinya, Tujuan, Visi dan Misi Pesantren Thawalib Tanjung Limau Di kabupaten Tanah Datar, tepatnya di Kecamatan Pariangan ada sebuah lembaga pendidikan agama Islam yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren

86

Thawalib Tanjung Limau. Pesantren ini didirikan dalam rangka untuk memberikan bimbingan dan binaan keperibadian pada santri agar paham dengan ajaran agama dan mencetak kader bangsa yang berakhlak mulia. Pondok Pesantren ini berdiri dalam rangka menjawab tantangan dan kekurangan kader ulama dan kader pimpinan masyarakat di Minang Kabau, yang dikenal dengan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah."217 Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau didirikan oleh H. Mukhtar Ya'cub, ia adalah seorang tokoh agama di kecamatan Pariangan dan merupakan alumnus dari Surau Jembatan Besi, guru yang mengajar beliau adalah Haji Rasul (inyiak Deer)di Padang Panjang. Perguruan itu tahun 1911 berganti nama menjadi Sumatera Thawalib.218 Pondok ini didirikan atas dasar partisipasi dan persatuan masyarakat desa Tanjung Limau. Pondok pesantren ini didirikan tahun 1923, tetapi dengan nama Perguruan Thawalib Tanjung Limau, pada tahun 1972 terjadi pergantian nama madrasah diganti menjadi pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau, setelah salah seorang gurunya mengikuti latihan pembinaan tentang pondok pesantren di Kalapa 2 Jakarta. 219 Selama pondok pesantren ini berdiri dan menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan

yang mengajarkan

ilmu agama sudah mengalami

perkembangan dan juga kemunduran. Pada tahun pertama berdiri pondok ini cukup berperan besar dalam mencetak kader ulama yang berkualitas. Tetapi setelah terjadi PRRI di Sumatera Barat, pondok pesantren ini mengalami kemerosotan. Hal ini disebabkan banyaknya para ulama yang mengajar di pesantren ini yang ditangkap oleh pemerintah. Murid-murid perguruan ini berasal dari berbagai daerah, baik sekitar lingkungan Minang Kabau, maupun dari luarnya, seperti Tapanuli, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Riau. Mereka belajar dan bertempat tingkal sebuah gedung bertingkat dua yang dibangun sendiri oleh 217Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah Falsafah Hidup orang Minang Kabau, dimana seluruh kehidupan masyarakat dilandasi dengan ajaran Islam. Fahrizal Alwis, Pimpinan Pesantren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 218Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib, ( Yogyakarta : Tia Wacana Yogya, 1995), cet. ke-2, hlm. 144 219Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita, (Jakarta : 4-5 Oktober 1991), (tidak diterbitkan), hlm. 10

87

Haji Muchtar.220 Dalam perjalanan sejarah, sejak Pondok Pesantren Thawalib ini didirikan, telah terjadi silih berganti pemimpinnya, awalnya dipimpin oleh :H. Mukhtar Yakub, H. Ismail Arsyad, Imam Ibrahim, Halwi Yunus Dt. Rajo Malano, H. Zainuddin Mu’in St. Marajo, Al-Hafiz H. Fahmi Mukhtar Dt. Sinaro, BA, Zamzami Pakiah Basa dan semenjak 1 November 2000 dipimpin oleh Drs. Fahrizal Alwis Malin Sinaro yang langsung ditunjuk oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar.221 Pondok Pesantren ini pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat terutama dari Departemen Agama yang ikut membantu workshop/labor serta mensubsidi kitab-kitab standar/ kuning, Depnaker mengadakan latihan kostum, las, perbengkelan motor, perkoperasian serta bordir. Departemen perindustrian dan perdagangan membantu mesin jahit/ mesin bordir. Departemen pertanian membantu peternakan ayam, sapi, perikanan dan pelatihan pertanian lainnya. Secara umum, tujuan didirikannya Pesantren Thawalib adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama intelektual, intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta berguna bagi masyarakat.222 Pimpinan pesantren memandang bahwa kunci sukses dalam hidup bersama adalah moral agama, yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan yang memandang semua kegiatan kehidupan sehari-hari sebagai ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, pesantren Thawalib sangat menekankan pentingnya tegaknya Islam di tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral atau akhlak mulia, dan akhlak ini merupakan kunci rahasia keberhasilan hidup bermasyarakat. Dengan kata lain, orientasi tujuan pendidikan di pesantren Thawalib adalah agar

220Burhanuddin Daya, Ibid., hlm. 145 221Dokumen Pondok Pesantren Thawallib Tanjung Limau tahun 2001 222Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

88

anak didik beriman, berkualitas, berguna bagi diri sendiri dan untuk orang banyak. Adapun Tujuan Pendidikan dari Pondok Pesantren Thawalib adalah : mempersiapkan kader ulama, mubaligh, imam, khatib, cendikiawan, (2) mempersiapkan pemimpin masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang berjiwa wiraswasta/ mandiri, (4) mempersiapkan kader muda yang siap membela agama, masyarakat, dan Negara, (5) mempersiapkan kemahiran berbahasa asing (Arab, Inggris, dan Jepang). 223 Dari tujuan itulah, maka lahir visi misi pensantren. Visi dan Misi pesantren Thawalib Tanjung Limau ini sudah dirumuskan pada Semiloka Pesantren/ Perguruan Islam Bersejarah se-Sumatera Barat di Bukittinggi pada Tahun 2003 (telah tertera dalam buku Tata Tertib Santri). Sebagai lembaga pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau memiliki visi : “Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam Akhlaq”.224 Sementara misi yang diemban oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tersebut adalah sebagai berikut: (1) mempersiapkan Kader Ulama, Muballigh, Imam, Khatib, Cendikiawan Muslim, (2) mempersiapkan Kader Pemimpin masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang siap membela agama, masyarkat dan negara, (4) mempersiapkan Kader Muda yang berjiwa wiraswasta/mandiri, (5) mempersiapkan kemahiran berbahasa (Indonesia, Arab, Inggris dan Jepang), (6) menghasilkan lulusan yang mampu memahami kitab standar (MKS) dan pengetahuan umum serta mampu bersaing untuk mendapatkan berbagai kesempatan pendidikan selanjutnya, (7) menghasilkan lulusan yang memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah".225 Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren Thawalib ini juga memiliki 223Supriadi , Guru Pesantren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 29 Januari 2009 224Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan kaderisasi Ulama Pondok Pesantren, Makalah disampaikan pada Semiloka Pesantren bersejarah se-Sumatera Barat pada tahun 2003 225Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Tahun 2003

89

Masjid sebagai lembaga penyiaran agama. Masjid Pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi masyarakat umum. Masjid Pesantren sering dipakai untuk menyelenggarakan majlis ta’lim (pengajian), diskusi-diskusi keagamaan, seminar dan sebagainya, baik oleh masyarakat umum ataupun para santri. Dan tak kalah penting, bahwa Masid ini juga digunakan sebagai laboratorium pendidikan Dai-Daiyah bagi calon Mubaligh yang akan diturukan pada setiap bulan ramadhan ke berbagai daerah yang ada di Kabupaten Tanah Datar. B.Kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Pendidikan adalah suatu proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks itulah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya. Serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia berbudaya, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia. Pendidikan sebagai proses budaya adalah upaya membina dan mengembangkan cipta, karsa dan rasanya tersebut. Kurikulum yang dijadikan sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di pesantren harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks ini pesantren bukan hanya berfungsi untuk mewariskan kebudayaan Islam dan nilai-nilai moral pada suatu masyarakat, akan tetapi pesantren juga berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam kehidupannya di masyarakat nanti. Dengan demikian, kurikulum bukan hanya berisi berbagai nilai suatu masyarakat tetapi juga bermuatan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakatnya. Dengan penentuan azas sosiologis-teknologis kita perlu mengkaji berbagai hal yang harus dipertimbangkan dalam menyusun dan mengembangkan suatu kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat seperti : 1. Kekuatan Manusia yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum

90

Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks tersebut, maka muncul pula berbagai kekuatan kelompok yang dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan praktik pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan dalam proses pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kesulitan yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum adalah ketika suatu kelompok sosial itu memberikan masukan dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan kepentingan kelompoknya seperti tuntutan golongan agama, politik, militer, industri, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, pertentangan-pertentangan juga terjadi sehubungan dengan cara pandang yang berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok. Cara pandang yang semacam ini tentu saja memunculkan keberhasilan yang berbeda pula, yang pada gilirannya tolak ukur keberhasilan itu tidak pernah memuaskan semua golongan sosial. 2.Kemajuan IPTEK Sebagai Bahan Pertimbangan Penyusunan Kurikulum Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, seperti terciptanya produk-produk teknologi, semacam teknologi transportasi, bukan hanya menyebabkan manusia mampu menjelajahi dunia tetapi juga manusia mampu menembus ruang angkasa, namun dari hasil semua itu ada juga terdapat efek negatif yang justru sangat mencemaskan manusia. Sebagai contoh diproduksinya alat transportasi yang menyebabkan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa manusia. Pembangunan industri yang menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahan termasuk munculnya kejahatan dan kriminalitas.226 Komunikasi dan informasi yang berakibat lunturnya nilai-nilai budaya yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi kelompok masyarakat. Akibat dari permasalahan baru menyebabkan kompleksitas tugas-tugas yang diemban oleh pesantren atau sekolah. Tugas pesantren semakin berat dan kadang tidak mampu lagi melaksanakan tuntutan masyarakat. Sesuai dengan kemajuan tersebut maka kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidkan harus terus menerus 226Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta : PT. Erlangga, t.th), hlm. 108-109

91

diperbaharui sesuai dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya, dan guru/ustadz harus memahami perubahan-perubahan tersebut agar isi dan strategi yang dikembangkan tidak menjadi usang.227 Ada dua hal, yang perlu diperhatikan dan diantisipasi dalam mengembangkan kurikulum di pondok pesantren, yaitu Pertama, perubahan Pola Hidup, Perubahan pola hidup itu dikatakan sebagai perobahan pola hidup yang bersifat agraris tradisional menuju pola kehidupan industri modern. Pola hidup masyarakat industri mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pola hidup agraris, perbedaan tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pola kerja, pola hidup yang tergantung pada hasil teknologi, dan pola hidup dalam sistem perekonomian baru. Kedua perubahan Kehidupan Sosial Politik, arus globalisasi bergerak sangat cepat membawa perubahan kehidupan sosial politik keseluruh penjuru dunia. Di Indonesia ditandai dengan munculnya gerakan reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, diakui atau tidak pada waktu rezim orde baru pendidikan dijadikan sebagai alat politik. Yang mengakibatkan kurikulum yang berlaku pun kurang berperan sebagai alat pembebasan dan alat pencerahan, akan tetapi digunakan untuk membentuk manusia yang memiliki pola pikir yang seragam, manusia yang tunduk dan patuh pada kekuasaan.228 Dengan munculnya reformasi semua harus berubah, pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan manusia yang kritis dan demokratis. Kurikulum pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan. Produk hukum yang dapat digunakan untuk perubahan jiwa dan strategi pendidikan di Indonesia adalah dengan dikeluarkan UU No 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Pembagian Keuangan. 229 Berdasarkan wawancara penulis dengan pimpinan ada lima hal yang harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum, yaitu : 1)mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti 227Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau !5 Februari 2009 228Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003), cet. ke-1, hlm. 73 229Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan, (Jember : Muria Offset, 1985), cet. ke-4, hlm. 47

92

yang dirumuskan dalam UU, Keputusan Pemerintah, peraturan Daerah dan lain sebagainya, (2) menganalisis budaya masyarakat tempat sekolah berada, (3) menganalisis kekuatan serta potensi daerah, (4) menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja, (5) menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat. 230 Atas dasar inovasi pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, perlu dilakukan pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum pesantren pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam Garisgaris Besar Haluan Negara. Oleh karena itu kurikulum yang dipakai adalah perpaduaan kurikulum Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dengan kurikulum Depag dan Diknas, dalam program pengajaran merujuk kepada program inti MTsN dan MAN yang dimodifikasi dengan program pengajaran Pontren Thawalib sendiri. Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi pesantren, maka pengembangan kurikulum pesantren dapat mengunakan strategi-strategi yang tidak merusak ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia khususnya di Kabupaten Tanah Datar. Strategi yang patut dipertimbangkan adalah sebagai lembaga pendidikan non formal dan formal, pengembangan kurikulum pesantren hendaknya tetap berada dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Kurikulum yang dipakai di pesantren Thawalib Tanjung Limau dibagi kepada dua bentuk, yaitu : 11 Intra

Kurikuler

Kurikulum yang dijalankan saat ini adalah perpaduan kurikulum identitas (khas MST) dengan kurikulum yang ada di Departemen Agama. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga berdaya guna dan mudah dicerna. Pada tahun pertama (Kelas I) ditekankan penguasaan Bahasa Arab dan pembinaan Ibadah, Bahasa Arab diajarkan 12 jam dalam seminggu, dengan arti kata belajar 2 jam pelajaran setiap hari dengan demikian pada kelas II seluruh pelajaran Agama 230Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

93

diajarkan dengan bahasa pengatar Bahasa Arab karena Bahasa Arab sudah menjadi bahasa keseharian bagi para siswa. Sedangkan Bahasa Inggris di programkan di kelas II dengan porsi yang sama dengan Bahasa Arab di kelas I sehingga pada kelas III para siswa telah dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris sekaligus. 11 Extra

Kurikuler

Disamping mengikuti kegiatan belajar formal dipagi hari para siswa disibukkan dengan kegiatan extra pada sore hari, paket-paket tambahan belajar dan pembinaan keterampilan disediakan sesuai dengan bakat dan kemauan siswa. Paket tambahan tersebut terdiri dari : a.Paket

yang mesti diikuti siswa yaitu : (1) muhadharah

untuk tingkat Tsanawiyah, (2) muzakarah untuk tingkat Aliyah, (3) tutorial pendalaman kitab (Ushul Fiqh, Ilmu hadits, Qawaid, dll) untuk tingkat Aliyah, (4) Komputer. b.Paket

pilihan siswa berbakat, yaitu : (1) bahasa Inggris

Intensif, (2) bahasa Arab Intensif, (3) bahasa Jepang, (4) hafizh al-Quran, (5) menjahit dan border, (6) keputrian ( Masak-memasak, merangkai bunga ), (7) seni bela diri pencak silat, dan (8) pramuka. Mencermati perkembangan zaman, ada harapan bahwa pengembangan kurikulum pesantren sebagai bagian dari peningkatan mutu pendidikan nasional harus dilakukan secara komprehensif, cermat dan menyeluruh, terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya dan dunia kerja. Atas dasar itu, untuk pengembangan pendidikan dalam proses pembelajaran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di dalam kelas menggunakan bahasa pengantar seperti (a) bahasa Indonesia untuk mata pelajaran yang menggunakan bahasa Indonesia, (b) bahasa Arab untuk segala mata pelajaran yang berbahasa Arab, (c) bahasa Inggris untuk mata pelajaran bahasa Inggris, (d) bahasa Jepang untuk mata pelajaran bahasa Jepang.231 Dengan 231Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2000

94

pembiasaan mengunakan bahasa asing ini, sehingga akan tercipta komunikasi secara menyeluruh dengan istilah “hari-hari berbahasa” dikalangan para santri di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Kemudian, buku sumber yang dipakai dalam pelaksanaan kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah buku-buku teks yang diterbitkan oleh Departemen Agama dan Dinas Pendidikan, serta buku teks asli berbahasa Arab (kitab standar). Di antara kitab-kitab standar yang dipakai di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang khusus diperuntukkan bagi santri yang mengambil jurusan agama atau yang memondok, antara lain : a. Qur-an / Tafsir / Ilmu Tafsir Tafsir Jalâlain, tafsir Al-Marâghi, tafsir Al-Manâr, tafsir Ãyatul alAhkâm, al -Asas Fit al-Tafsir, Shofwatu al-Tafsir, The Holly Quran, tafsir Ibn Katsir, tafsir Fi Zilalil Quran. b. Hadits/Ilmu Hadits Mathan Arbaîn dan Syarahnya, Bulughul Al-Maram, Subûlussalãm, Fathu al-Bãri, Jamîu Bayãn, Jamîu al-Shogîr, Musthalâhu al-Hadîts, Shohih al-Bukhãri, Shohih al-Muslim, Nailu al-Authãr, Dalailu alFãlihĩn, Riyãdhu al-Shŏlihĩn. c. Fiqh / Ushul Fiqh Fiqh Wadĩ’ah, Fiqh Al-Sunnah, Fathul Al-Qorĩb, Matan Taqrĩb, Mu'inul Mubĩn, Fathu al- Mu'ĩn, Bidãyah Al-Mujtahĩd, Kifãyatul alAkhyãr, al- Muhazzab, al- Fiqih al- Mazhab al - Arba'an, al-Sulam, alBayãn, Ushul al-Fiqh, Mabãdi al-Awaliyah. d.

Bahasa Arab / Qawaid / Nahu / Sharaf Matan al-AJurmiyah, Matan al-Bina, al –Khailani, An-Nahwu alWãdhĩh, Qawãidu al- Lughah, Jami'u al-Durûs, Balaghatu al-Wadiah, Matan al-Fiyah, Jauhar al-Kalam wa al- Maknûn, Sabĩlu al-Sarf,

95

Sabilu al-Nahu, Tamrĩnu al-Lughah, Tãrikhu al-Adab, al Khat al'Arabi. e.Aqidah Akhlak / Tauhid Tasawuf Makārima al-Akhlāq, Tahjĩbu al-Akhlāq, al-Akhlāq Li al- Banîn, Washāya al- Āba Li al- Abnā, Ihyā Ulûmuddĩn, al-Tauhĩd, Sirah Nabawiyah. 232 C.Proses Pelaksanaan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Dalam pelaksanaan pendidikan tentumya memerlukan beberapa unsur yang saling berkaitan agar tujuan yang telah ditetapkan dapat diwujudkan. Dilihat dari sistem pelaksanaan kegiatannya, di pondok pesantren terdapat unsur utama sebagai penyelenggara kegiatan dan beberapa unsur penunjang sebagai unsur pendukung. Adapun unsur-unsur yang terkait dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam di pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah : 1.Kyai ( sebutan di Minang Kabau adalah Buya) Kyai dalam sistem pendidikan dan pembelajaran memiliki teknis dalam ilmu agama Islam dan memiliki perhatian tehadap keulamaan dengan gaya kepeimpinan yang khas. Buya Fahrizal Alwis, misalnya selain sebagai kepala pada Madrasah Aliyah, juga aktif mengajar kitab kuning dan bahasa Asing pada malam hari bagi santri yang memondok, kecuali hari Sabtu dan Minggu, karena beliau harus pulang kampung untuk menjengguk anak dan istri. Pimpinan Pesantren Thawalib bertindak sebagai pengasuh dan sekaligus sebagai guru utama di pesantren tersebut. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar di pesantren, pimpinan dibantu oleh buya atau kyai, ustadz dan santri senior yang lain. Saat ini yang menjabat sebagai pimpinan pesantren adalah alumni dari Pesantren Thawalib sendiri, yaitu Buya Drs. Fahrizal Alwis yang berasal luar kabupaten Tanah Datar, yakni dari Kota Madya Padang Panjang. Pimpinan Pesantren Thawalib berkedudukan sebagai seorang pegawai 232Tim Penyusun, Seri Monografi Pondok Pesantren dan lingkungan Hidup, (Jakarta : Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren Departemen Agama RI, 1983), hlm. 112-114. Lihat Juga Arsip Program Pengajaran Kitab Kuning Pondok Pesantren Thawalib tahun 1960

96

negeri sipil, dan kini jabatannya adalah kepala Madrasah Aliyah pada pesantren ini, sedangkan kepala Madrasah Tsanawiyah dijabat oleh Ustadz Imran, S.Ag. Karirnya di awali sebagai Mubaligh biasa di kabupaten Tanah, dan kemudian diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar sebagai tenaga penyuluh di kecamatan pariangan. Kemudian karena perhatiannya terhadap lembaga pendidikan Islam, beliau diperbantukan sebagai tenaga pengajar di pesantren Thawalib ini sebagai guru bidang studi Tafsir, dan akhirnya Kepala kantor Departemen Agama kabupaten Tanah Datar mengangkat buya sebagai Kepala Madrasah Aliyah di pesantren Thawalib pada tanggal 1 November 2000. Dan atas permintaan masyarakat setempat serta hasil musyawarah para Alumni buya diangkat sebagai pimpinan Pondok pesantren Thawalib tanjung Limau hingga sekarang. Kemudian di lingkungan organisasi masyarakat, pimpinan Pesantren juga menjabat sebagai ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Pariangan dan ketua Ikatan Alumni Thawalib. Disamping itu juga aktif sebagai ketua Bidang pendidikan dan penyiaran agama pada Badan Kontak Majlis Ta’lim (BKMT) Kabupaten Tanah Datar. Pendidikan yang ditempuh oleh pimpinan Pesantren Thawalib adalah pendidikan Pesantren dan pendidikan formal. Pendidikan Pesantren yang pernah ditempuh adalah Pesantren Thawallib Tanjung Limau selama 3 (tiga) tahun. Kemudian melanjutkan ke Fakultas Adab jurusan Tafsir Hadits Sarjana Muda dan Sarjana Penuh pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang. Menurut pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, manusia pada dasarnya mencintai yang ma’ruf (kebaikan) dan membenci yang mungkar (kejahatan), tetapi dalam apliksinya manusia sering melakukan yang jahat daripada yang baik. Hal ini disebabkan manusia mempunyai kecenderungan mencintai dunia. Oleh karena itu, untuk memperbaiki sikap dan perilakunya, anak didik tidak perlu lagi didorong untuk mencintai dunia, karena mereka tidak akan melupakan dunia. Sebaliknya, mereka perlu didorong untuk mencintai kehidupan

97

akhirat, karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal dan abadi. Selain itu, mendidik mereka untuk mencintai kehidupan akhirat lebih sulit, daripada mendidik untuk kehidupan duniawi, karena kehidupan akhirat tersebut sifatnya abstrak dan tidak langsung berhubungan dengan kebutuhan dan kesenangan sehari-hari. Oleh karena itu metodologi pendidikan dan pengajaran di Pesantren tidak cukup dengan penalaran saja, tetapi juga memerlukan metode doktrin, hafalan, keteladanan, dan kepemimpinan kharismatik sebagai sumber wibawa. Bagi pesantren Thawalib, dalam hidup ini yang ada hanya kewajiban, bukan hak. Hak adalah akibat yang diperoleh karena melaksanakan kewajiban. Sehubungan dengan itu, maka dalam hal kewajiban orang harus mendahulukan tugasnya sebelum orang lain, tetapi dalam hak orang harus mendahulukan kepentingan orang lain sebelum dirinya sendiri.233 Dengan kemajuan pembangunan, kemajuan ilmu dan tekhnologi, dan interaksi yang semakin intensif dengan sistem nilai di luar pesantren, maka pimpinan pesantren dan para gurunya mengalami tantangan yang cukup serius di dalam menyelenggarakan kependidikan. Buya Fahrizal Alwis sebagai pimpinan pondok pesantren Thawalib, mengajarkan kitab kuning, dengan metode sorongan dan bandongan. Pengajian dengan metode sorongan dilaksanakan pada setiap selesai sholat magrib sampai jam 19.30 WIB dan selesai sholat subuh sampai jam 06.00 WIB, sementara pembelajaran mata pelajaran lain tetap dilaksanakan dengan sistem klasikal pada jam-jam yang telah ditentukan dan terjadwal. Sebagai seorang pegawai negeri sipil, buya Fahrizal Alwis tetap menerapkan sistem kepimpinannya dengan mengunakan open system, sehingga manajemen bersifat terbuka, yaitu dengan tetap melaksanakan aturan-aturan dari pemerintah disamping melaksanakan aturan interen kepesantrenan, yaitu tradisi kepemimpinan otokrasi dengan tetap memberi peluang untuk berhubungan dengan dunia luar yang sarat dengan kemajuan (development) yang dapat mendinamisasikan lembaganya.234 233Fahrizal Awis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 234Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9

98

2.Ustadz Ustadz atau guru dalam sistem pembelajaran di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat menjadi motor dalam kerangka melaksanakan misi pondok pesantren. Kyai atau Buya memerintahkan kepada para ustadz agar berkonsentrasi mengajarkan ilmu agama Islam pada madrasah Swasta Thawalib. Semua ustadz yang terdaftar di pesantren ini mendapat tugas dari kyai selaku pimpinan, dan pemberian tugas ini merupakan sebuah kepercayaan dan sekaligus sebagai penghargaan dari pimpinan. Kepercayaan ini dipandang mereka sebagai amanah untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu sehingga harus dilakasanakan dengan penuh keikhlasan. Jumlah guru yang mengajar di Pondok Pesantren Thawalib untuk tahun ajaran 2007/2008 ini sebanyak 35 orang. Dan jumlah tenaga administrasi atau pegawai Tata Usaha sebanyak 7 orang. Sementara jumlah ustadz/ustadzah yang membantu Buya/Kyai dalam pembelajaran kitab kuning dan penguasaan bahasa Asing bagi santri yang memondok sebanyak 8 orang, yaitu: Ustadz Miftah Novi.T, S.Ag, Ustadz Imran, S.Ag, Ustadzah Yulbetriza, S.Ag, Ustadzah Wilda Isnaini, S.S, Ustadzah Kasnida, S.Ag, Ustadz Muhammad Taufiq, S.Pd.I, Ustadzah Welni Fatma, S.Pd.I dan Yonnedi, S.Ag. Ketika ditanya tentang motivasi mengajar di Pondok Pesantren Thawalib, mereka mengatakan untuk mengamakan ilmu, untuk berkhidmat pada buya/kyai di pesantren, dan untuk mengamalkan ilmu serta untuk mencari nafkah dengan konsep “mengabdi dengan mengutamakan semangat keislaman”, jawaban tersebut menunjukan bahwa motivasi para ustadz yang mengajar di pesantren ini semata-mata untuk mengamalkan ilmu, berkhidmat pada buya/kyai dan pesantren, serta menjunjung tinggi nilai-nilai dakwah menuju Pendidikan Islami.235 Proses belajar mengajar di pesantren berlangsung mulai jam 07.30 WIB sampai dengan jam 13.15 WIB untuk PBM Madrasah Aliyah dan Madrasah

Februari 2009 235Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2007

99

Tsanawiyah diselingi istirahat jam 12.30 untuk melaksanakan sholat Zuhur berjamaah. Sedangkan pembelajaran dan kegiatan bagi Santri pondok pesantren Thawalib seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.236 Jadwal Kegiatan Santri Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat a. Kegiatan Harian

NO

JAM

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

04.40 WIB 04.50 WIB 05.15 WIB 06.00 WIB 07.15 WIB 07.30 WIB 12.40 WIB 13.15 WIB 14.00 WIB 15.00 WIB 15.45 WIB 16.00 WIB 16.30 WIB

14 15 16 17

18.25 WIB 19.00 WIB 19.35 WIB 20.00 WIB

18 19 20

21.15 WIB 21.30 WIB 22.30 WIB

KEGIATAN Bangun Tidur Sholat Shubuh Berjama’ah Muhadatsah/ Lari Pagi/ Extra + Kosakata Harian Olah Raga + MCK+ Sarapan Pagi Apel Pagi + Absensi Masuk Kelas Sholat Dzuhur + Makan Siang Pelajaran Formal Klasikal Berakhir Istirahat Siang Persiapan Sholat Ashar + Percakapan Bahasa Asing Sholat Ashar Berjama’ah + Pidato Bahasa Asing Belajar Bahasa Asing dengan Guru Olah Raga/ Extra/Pencak Silat/ Kesenian /Bordir/Jahit/ dll MCK Sholat Magrib + Tahfidz Al-Qur’an + Tafsir Makan Malam Sholat Isya + Belajar Malam/ Muraja’ah al-Durus/ Baca Kitab Sholat Hajat Lanjutan Belajar bersama Ustadz Istirahat Malam

b.Kegiatan Mingguan

236Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 19-20

100

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Jenis Kegiatan Muhadatsah Upacara bahasa resmi Pelajaran bahasa Pionering pramuka Pramuka Latihan bela diri Kursus bahasa/kesenian Munakosah (aliyah) Muhadloroh kelas (tsanawiyah) Muhadloroh kelas Muhadatsah Lari pagi Tandziful’am Keterampilan santri/ Bersih-bersih / /istirahat Muhadloroh’am

Waktu Senin pagi Senin pagi Selasa pagi Selasa sore Rabu siang Kamis Sore Jum’at Sore Sabtu malam Sabtu malam Sabtu siang Minggu pagi Minggu pagi Minggu pagi Hari Minggu Sekali dalam sebulan

c. Kegiatan Tahunan Pekan Olah Raga & Seni, M T Q Antar Kelas, Speech Contest In Formal Language, Demonstrasi Bahasa, Pergantian Pengurus, Panggung Gembira Kelas Akhir, Micro- Teaching Kelas Akhir, Economic Study Tour for Class Six, Acara Perpisahan (wisuda) Dalam pelaksanaan kegiatan di atas, peran ustadz atau guru sangat dibutuhkan. Kompetensi ustadz untuk mengajarkan bidang-bidang ilmu agama Islam ditentukan oleh buya/kyai, karena buya/kyai sendiri yang mempunyai pengetahuan tentang kemampuan masing-masing ustadz, hal ini telah diketahui oleh buya pada saat awal guru tersebut mendaftar sebagai tenaga pendidik di pesantren tersebut, sebab guru yang terdaftar di pesantren ini awalnya juga mengikuti tes yang dilaksanakan oleh yayasan. Para ustadz diberikan otoritas dalam teknik pembelajaran, tetapi bukan berarti harus dipahami sebagai tindakan bebas, sebab setiap inovasi yang dilakukan oleh para ustadz harus mendapat izin dari pimpinan yang nota benenya adalah kepala Madrasah.237 Fungsi

Pondok

Pesantren

Thawalib

dalam

mentransfer

dan

mengembangkan pendidikan Islam kepada para santri tanpak signifikan dengan visi dan misi pondok pesantren. Penulis melihat bahwa yang menjadi landasan 237Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009

101

terkuat dalam mentransfer serta mengembangkan pendidikan Islam di pondok pesantren adalah kuatnya paradigma kewajiban dan keikhlasan dari para guru/ustadz. Miftah Novi.T,238 sebagai salah seorang ustadz yang sudah mengabdi selama lebih kurang 10 tahun sampai saat ini masih berstatus guru yayasan ( maksudnya bukan PNS), mengatakan bahwa “mengajarkan ilmu agama kepada siswa dan masyarakat sesuai dengan visi dan misi pesantren ini menjadi kewajiban dan sebagai pengabdian kepada pondok pesantren dengan moto berdakwah sambil beramal menuju pendidikan Islami.” Tentang masalah kesejahteraan (honorium) sebagai imbalan jasa terhadap para guru/ustadz, 6 (enam) orang ustadz dan ustadzah yang penulis wawancarai secara terpisah mengatakan, bahwa honor yang diterima tergantung kepada jam pelajaran yang diberikan buya/kyai, yang terpenting mereka ikhlas mengabdi dengan semangat keagamaan yang tinggi, kata mereka masalah honor masih minim dan nominalnya mereka keberatan menyebutkannya. Dapat dipahami bahwa mereka mengajarkan ilmu di pesantren ini tidak terlalu menuntut jasa, ini bukan berarti mereka tidak butuh, tetapi keadaan keuangan pesantren yang agak minim. Akan tetapi kebutuhan mereka sebagian telah terpenuhi dengan berwiraswasta di rumah.239 11 Santri /siswa

Santri menjadi bagian penting dari sistem pembelajaran pondok pesantren. Santri yang pergi dan tinggal di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, selaras dengan apa yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa mereka yang tinggal di pondok pesantren untuk mempelajari kitab-kitab yang membahas Islam secara mendalam di bawah bimbingan kyai. Setelah selesai belajar di pondok pesantren, mereka berharap menjadi orang pandai yang dapat mengajar kitab-kitab karangan ulama salaf kepada masyarakat dan dapat memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan.240 Para santri yang belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau 238Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009 239Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 29 Januari 2009 240Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1982), cet. ke-2, hlm. 52

102

tahun pelajaran 2006/2007 terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu: santri tingkat Raudlatul Adfhal (RA) yang belajar membaca al-Qur’an melalui metode iqra’, dan mereka diperkenalkan tentang agama seperti rukun islam dan rukun iman, serta diajarkan ayat-ayat pendek dan doa-doa sebanyak 36 orang, santri tingkat Diniyah Awaliyah sebanyak 60 orang, dan santri tingkat Tsanawiyah sebanyak 76 orang, dan santri tingkat Aliyah sebanyak 61 orang. Jadi jumlah seluruhnya sebanyak 233 orang, sedangkan yang santri mukim hanya 46 orang, yaitu para santri tingkat Aliyah yang mengambil jurusan Ilmu Agama, sementara yang lainnya menjadi santri kalong. Mereka rata-rata berusia antara 13 tahun sampai 21 tahun. Pada awalnya pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diselenggarakan untuk mendidik santri agar menjadi orang yang taat menjalankan agamanya, berakhlak mulia dan bisa menjadi mubaligh ditengah-tengah masyarakat sehingga orang mengirimkan anaknya untuk dengan harapan agar anaknya menjadi orang baik, yaitu mengerti dan taat menjalankan perintah agama dalam keseharian. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan banyaknya sekolah umum dibuka oleh pemerintah, santri dituntut memiliki profesi. Sedangkan selama ini belajar di pesantren mereka hanya mempelajari ilmu agama yang sifatnya dasar dan masih umum, ini hanya membekali mereka dengan landasan moral hidup bersama. Pesantren hanya menyiapkan landasan moral agama, sedangkan mengenai kehidupan atau nasib selanjutnya terserah pada perjuangan hidup di masyarakat nanti. Seiring dengan perkembangan dunia yang menglobal, Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dituntut pula untuk berbenah diri dan mengikuti perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan ciri khas kepesantrenannya. Dari studi lapangan melalui wawancara diperoleh keterangan bahwa bidang kegiatan yang menjadi cita-cita para santri di Pondok Pesantren Thawalib

103

Tanjung Limau ini diantaranya: sebagai mubaligh, buya/kyai, pegawai negeri, pedagang, belajar keperguruan tinggi, dan apa saja yang bermanfaat bagi masyarakat. Dari urutan pilihan bidang kegiatan yang mereka cita-citakan di atas, ternyata santri adalah penyebar amar makruf dan pencegah nahi mungkar, ditengah-tengah masyarakat, mandiri dalam kehidupan, terus belajar dan menjadi apa saja yang bermanfaat bagi masyarakat dikemudian hari.241 Intensitas motif santri belajar di Pondok pesantren Thawalib di antaranya adalah :ingin menjadi orang alim, akan mencari ilmu agama, ingin mencari keterampilan yang berguna di masyarakat, serta menjadi orang saleh yang bermanfaat.242 Pada dasarnya tujuan santri belajar di pondok pesantren relevan dengan kehendak orang tuanya. Ini berarti ada keterkaitan antara santri dan orang tuanya dalam menentukan tujuan belajar di pondok pesantren. Penulis melakukan interviu mendalam dan observasi terhadap beberapa orang tua santri. Dari hasil wawancara tersebut dapat penulis simpulkan bahwa mereka mengirim dan memasukan anaknya ke Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah agar kelak anaknya mengerti dengan agama, menjadi orang yang bermanfaat di tengahtengah masyarakat dan keluarganya, serta terampil dalam bidang tertentu, dan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi yang sesuai dengan bidangnya.243 Dalam pernyataan orang tua santri tersebut terdapat hubungan yang erat dengan tujuan belajar santri untuk mempelajari ilmu agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, serta dari kitab-kitab kuning kaum salaf. Hubungan ini terdapat seperti dalam keterangan H.Yunus St. Mudo yang menghendaki anaknya menjadi orang yang alim dalam ilmu agama serta dapat menjadi ulama ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Pemikiran ini mengindikasikan bahwa komunitas masyarakat sekarang ini menginginkan anaknya untuk belajar di pondok sambil mengali kitab-kitab kuning.244 241Eka Susanti, Dewan Santri, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 242Imran, Guru dan Kepala MTs Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 243H. Yunus St. Mudo, Orang Tua Santri, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 10 Januari 2009 244H.Yunus St.Mudo, Orang Tua Santri, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 10 Februari 2009

104

Santri Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diwajibkan untuk mematuhi tata tertib, aturan-aturan dan norma yang berlaku, yang secara khusus dibuat oleh pengasuh dan pimpinan pondok pesantren. Tata tertib yang dibuat berisi kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan pondok pesantren Thawalib. Para santri menyadari bahwa setiap institusi memang harus ada tata tertib dan peraturan-peraturan agar program dari sebuah instutisi atau lembaga dapat berjalan sesuai dengan tujuan, visi dan misi pesantren ini.245 11 Kurikulum

dan Sumber belajar

Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau termasuk tipe pesantren terpadu (kombinasi) yang melaksanakan sistem pendidikan Salaf dan Khalaf. Melalui sistem salaf pesantren ini mengajarkan ilmu agama Islam yang bersumber dari kutūb al-Salāf (kitab karangan ulama salaf), yang meliputi bidang tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab, fiqih, dan akhlak. Kurikulum ini diberikan kepada santri yang mondok di pesantren yaitu mengunakan sistem halaqah dengan metode sorongan dan bandongan ataupun melalui sistem madrasah yang bersifat klasikal. Kitab-kitab yang di ajarkan seperti: Durus al-Fiqhiyyah, Fath alMu’ĩn.’Aqidah al-‘Awwam, Akhlaq li al-Banîn, Gayah al-Wusūl, Fath al-Qarĩb, Bulug al-Marām, al-Ajrumiyyah, Tafsir al-Jalālain, al-Qāwa’id al-Lugāh, Fath al-Wahhāb, dll.246 Kitab-kitab karangan ulama salaf tersebut diajarkan pada santri dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan, sekalipun pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20 diketahui sudah mengalami perubahan. Oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perubahan yang diterima adalah perubahan sistem dengan mengunakan sistem madrasah dengan mengikuti perubahan sistem pendidikan Nasional.247 Sistem khalaf yang dipakai meminjam istilah Karel A. Steenbrink, adalah 245Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 246Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 Februari 2009 247 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 15 Februari 2009

105

“menolak sambil mengikuti”248, yakni mengikuti sistem madrasah yang dipandang moderen yang secara historis ditolak pada mulanya. Akan tetapi pada perkembangannya meniru sistem madrasah yang menyajikan ilmu pengetahuan umum atau meniru sistem madrasah konsep Departemen agama RI. Sistem madrasah yang digunakan tidak hanya terbatas pada pengenalan sistem klasikal, tetapi juga menerapkan semua kuikulum dan metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan sesaui dengan system pendidikan Nasional, tanpa meninggalkan sistem tradisionalnya.249 Kegiatan belajar mengajar secara lisan mestinya memerlukan sumbersumber literatur yang disediakan perpustakaan. Perpustakaan sebagai salah satu sumber belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau masih relatif kecil dan masih Akreditasi C. Perpustakaan ditempatkan pada salah satu ruangan dilantai 2, yang mengoleksi beberapa kitab-kitab klasik, kitab terjemahan, dan buku-buku dari bantuan Departemen Agama dan Dinas Pendidikan Nasional yang jumlahnya masih terbatas. Sumber belajar lain yang tersedia adalah guru/ustadz yang jumlahnya 35 orang, media/ sarana/prasarana seperti TV, tape, Kaset, komputer, lingkungan, bengkel dan laboratoruium serta aktivitas dan pesanpesan.250 Kemudian, aktivitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang bernuansa pendidikan dan sekaligus menjadi sumber belajar terlihat dalam latihan berpidato atau latihan berkhutbah, membaca yasinan, diskusi kelompok. Aktivitas seperti ini dipandang oleh pengasuh pondok merupakan upaya membekali santri sebagai kader ulama agar terampil memimpin masyarakat dikemudian hari.251 Selain itu sumber belajar yang dirasa penting dalam pembelajaran dan pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib ini adalah pesanpesan, nasehat dan petunjuk buya atau utadz, terutama ketika berlangsungnya 248Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah:Pendidikan Islam dalam Kurun Modren, (Jakarta : LP3S, 1986), cet. ke-1, hlm. 62 249Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari 2009 250Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 251Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

106

proses belajar mengajar, baik ketika belajar di Masjid maupun di dalam kelas dan sewaktu belajar dengan sistem halaqāh.252 Para santri atau siswa belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, mereka akan mengikuti program yang telah dirumuskan oleh pengurus, perumusan program ini mengacu pada undang-undang sistem pendidikan diterbitkan oleh Departemen Agama atau oleh Dinas Pendidikan Nasional, program ini berlaku untuk tingkat Aliyah/Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Keagamaan. Adapun program yang dilaksanakan dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang dikhusukan pada jenjang Mts dan MA, seperti yang terdapat di dalam tabel berikut ini: Tabel 3.253 Program Pengajaran/Kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung LImau No A AGAMA I Identitas 1. Tafsir

Bidang Studi I

Tsanawiyyah II II

Aliyah V VI

IV

4

2

3

2. Hadits

2

1

1

3. Akidah Akhlaq Tauhid

3

3

3

3

3

4. Fiqih/Praktik Ibadah

5

4

4

4

4

4

3

6

5

4

1. Tafsir/Ilmu Tafsir

7

5

4

2. Hadits/Ilmu Hadits

5

4

4

8

6

5

1. Manthiq

2

2

2. Balaghah

2

3

5. Ushul Fiqih 6. Qawaid Nahwu

5

4

7. Qawaid Sharf

5

4

3 4 3

8. Bahtsul Kitab II

Pokok

3. Bahasa Arab III

12

2

2

Pelengkap

3. SKI

3

4. Tasawuf

3

2 2

2 2

252Amiruddin St. Marajo, Alumni/Dewan Pembina Pesantren, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari 2009 253Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 23-24

107

B

UMUM 1. PPKN

2

2

2. Bahasa Indonesia

6

2

4

4

3

3

3. Bahasa Inggris

2

12

2

8

6

5

4. Matematika

6

6

6

4

5. IPS Sejarah

44 2

6. IPS Geografi

6

9

2

7. IPS Ekonomi 8. IPA Fisika

4

2

3

9. IPA Biologi

3

2

2

10. Antropologi

1

Jumlah Jam Perminggu C

47

55

52

1.Tajwid/Seni Quran

2

1

1

2.Pendidikan Ketrampilan/Kesenian

2

2

2

3.Khat

1

1

1

4.Penjaskes

1

1

1

Jumlah Jam Keseluruhan

53

60

57

53

53

53

53

53

53

PENUNJANG

11 Metode

Pendidikan dan Pengajaran

Secara historis, pelaksanaan dan pengembangan kurikulum telah dilaksanakan sesuai dengan bentuk dan pola pengajaran yang dilaksanakan. Adapun pelaksanaan pendidikan ini berlangsung dengan cara : Pertama Klasikal mulai kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), Kedua Halaqah yang dikelompokkan kepada al-Thabāqah al-UÎa, al-Thabāqoh wusthā, al-Thobaqāh al-Ulya).254 Berdasarkan pada pengelompokan metode di atas, maka pelaksanaaan pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah perpaduan sistem pesantren Salafiyah dengan Ashriyah. Untuk menjawab tantangan zaman yang semakin global tersebut Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Simabur memakai motto: "Pesantren Thawalib Tanjung Limau Yang Komprehensif, Berwawasan Dakwah Menuju Pendidikan Islami".255 254Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 10 255Tim Perencana, Master Plan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, (tidak diterbitkan, 2004), tt. hlm. 16

108

Secara institusi kelembagaan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tetap seperti dulu, yakni Thawalib Tanjung Limau enam tahun, sebagaimana yang telah dirumuskan dan disepakati, oleh Pengurus Yayasan dengan Pimpinan Thawalib beserta Majlis Guru pada tahun 2001. Bahwa secara kelembagaan pelaksanaan pengajaran di Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau mulai kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), adapun sistem disesuaikan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, masing-masing tingkatan diberi kesempatan untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang diselenggarakan oleh pemerintah. Adapun Metode pengajaran yang digunakan di Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah metode tradisional dan khalaf, meliputi metode sorongan, bandongan, ceramah, diskusi, dan hafalan. Supriadi,256 salah seorang guru yang mengajar di pesantren ini mengatakan bahwa pada dasarnya metode yang digunakan sama dengan metode yang dilaksanakan pada sekolah lainnya, akan tetapi bedanya di pesntren metode yang digunakan lebih ditekankan pada persoalan atau masalah agama, seperti setiap mulai pelajaran para santri terlebih dahulu membaca al-Qur’an, hafalan, atau mengulang kembali materi (apersepsi) yang telah diajarkan dan lainnya. Belajar dengan menghafal agaknya menjadi prioritas di pesantren ini. Melalui jalur pendidikan madrasah, santri diharuskan untuk menghafal sekumpulan teks ilmu pengetahuan Islam, seperti menghafal Alfiyah ibn Malik, kaidah-kaidah Usiliyyah, Matn al-Hadits dan beberapa ayat al-Qur’an dan juz’Ama serta materi pelajaran umum.257 Kemudian dalam proses pendidikan yang bertingkat tersebut, nampaknya mengadopsi model Khalafi, namun masih mengunakan “tes baca kitab” bagi calon santri pondok pesantren Thawalib. Pelaksanaan tes ini menjadi kompotensi para ustadz. Kitab-kitab karangan ulama salaf yang dijadikan bahan tes, seperti : Fathul al-Qorīb, Mabadi'u al- Awaliyah, Matan al-Jurmiyāh, Makarima al256Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009 257Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009

109

Akhlāq, Tafsir Jalalain. Pada tingkat berapa nantinya santri ditempatkan ditentukan oleh kemampuan (ability) mereka membaca kitab tersebut. Disamping itu untuk santri yang memilih pendidikan di madrasah mereka cukup memiliki Ijazah sesuai dengan tingkat yang dimiliki, serta dilakukan tes secara umum tentang pengetahuan agama, seperti mampu membaca al-Qur’an, melaksanakan sholat dan mau dibina di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.258 Menurut pengamatan penulis, metode pendidikan dan metode pengajaran yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau sudah memiliki panduan metodologis yang koheren dengan watak tradisionalisme dan modrenisme. Penerapan metode pendidikan dan pengajarannya mengkombinasikan tradisi lama dengan tradisi baru secara berkelanjutan dilaksanakan dari tahun ke tahun di bawah tuntunan teori tertentu. 11 Sistem

Evaluasi

Berdasarkan hasil dokumentasi, Program Pengajaran / Kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau - Simabur Tahun Ajaran 2006/2007 keseluruhan berjumlah 516 jam, kurikulum ini sudah dimodifikasi. Artinya kurikulum yang dipakai adalah gabungan Kurikulum Diknas, Depag Dan Kurikulum Thawalib (Versi Gontor), Pendalaman Kebahasaan dan Qira'atul Kutub di Asrama, pada sore hari, dan pada malam hari dengan cara halaqah.259 Dari pelaksanaan kurikulum, pihak pesantren melakukan evaluasi dengan tujuan untuk mengukur sejumlah kemampuan santri dalam menyerap pelajaran, menghayati dan menerima materi pelajaaran yang telah mereka pelajari baik dalam bentuk tulisan, praktek ataupun hal yang lainnya, sehingga santri bisa diketahui apakah sudah menguasai materi atau belum.260 Evaluasi hasil belajar di Pondok Pesantren Thawalib yang ditempuh melalui sistem madrasah, dilakukan sebagaimana evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada sistem pendidikan klasikal, seperti dengan melaksanakan ujian 258Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau,29 Januari 2009 259Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009 260Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009

110

midsemester, ujian semester, ujian akhir. Evaluasi ini di awasi oleh ustadz. Dan pelaksanaan evaluasi biasanya dengan bentuk lisan dan tulisan ataupun dalam bentuk ujian praktek.261 Evaluasi yang dianggap masih relevan dengan nilai ibadah dan pengabdian pada buya untuk memperoleh ilmu adalah “tes harian” (al-Muaraja’ah alYaumiyyah) untuk mengetahui kemampuan santri dalam membaca dan menerjemahkan kitab, terutama kitab yang telah diajarkan pada hari sebelumnya. Evaluasi harian ini dimaksudkan supaya santri termotivasi untuk belajar setiap saat.262 Menurut hemat penulis, evaluasi pendidikan dan pengajaran yang dilakukan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mengarah pada ketiga aspek yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan yaitu: aspek intelegensi (ranah kognitif), aspek kepribadian (ranah afektif) dan aspek hubungan dengan keterampilan berbuat dan berhubungan dengan masyarakat (ranah psikomotor). Yang di dalam sistem evaluasi ini juga tercakup penguasaan terhadap kemampuan hubungan dengan Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Ini terlihat pada amalan (ibadah keseharian ) para santri dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan pesantren maupun sewaktu kembali ke tengah-tengah keluarganya tau di masyarakat nantinya.. Dari penjelasan yang diungkapkan di atas, cukup untuk dijadikan bahan pertimbangan bahwa pesantren adalah, suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat beberapa unsur kelembagaan. Unsur-unsur kelembagaan yang ada pada sistem pendidikan pesantren terdiri dari unsur-unsur organik dan unsur anorganik263 D. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Pendidikan Islam Berdasarkan sejarah berdirinya dan berkembangnya Pesantren Thawalib Tanjung Limau, dapat dikatakan bahwa pesantren ini telah mampu 261Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009 262Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 Februari 2009 263Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 18

111

mempetahankan kehadirannya ditengah-tengah kehidupan mayarakat dari zamanke zaman selama 85 tahun lebih. Dalam kurun waktu 85 tahun lebih ini, Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mampu mencetak alumni yang tersebar di berbagai daerah seluruh Indonesia dengan menempati berbagai jenis pekerjaan, seperti sebagai birokrat, Polri, Jaksa dan Hakim, Pengusaha, Ustadz, pemuka masyarakat, pedagang, dan lainnya. Dengan kata lain, para alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau tidak hanya menjadi ustadz ahli agama semata, akan tetapi lebih dari itu juga berkiprah di masyarakat sesuai dengan nasibnya masing-masing. Kesuksesan pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau terbukti dengan banyaknya alumi yang telah berhasil, diantara alumni Pondok Pesantren Thawalib Tanjung seperti: Prof. H. Sofyan Mukhtar, SH, Dr. H. Rifyal Ka.bah, MA, Dr. H. Zainun Kamal, MA, Drs. H. Fathi Ismail, Drs. Masnal Zajuli, MA, Drs. Afif Zamzami, M.Psi, H. Bahrizal, Drs. H. Dafrizal, Drs. Arpinus, M.Ag, H. Fahmi Mukhtar, BA, H. Bukhari Manan, BSc, Drs. Zulkifli Nur, Drs. Jujardi Ridwan, Drs. Fahrizal Alwis, Arius Agusta, S.Pd, H. Mursyida Mukhtar, Makmur DS, Harmaini Khatib, Firdaus, BA, Rais Dt.Cu. Indo, BA, H. Caya Khairani, dll264 Melihat banyak dan ragamnya jenis pekerjaan yang dijalankan oleh alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau, maka pada masa mendatang diharapkan dari alumni ini mampu membantu pesantren almamaternya menjadi pesantren yang lebih maju lagi. Disamping itu, output yang diharapkan pada masa mendatang mampu mencetak para alumninya sebagai ahli agama dan sekaligus ahli dalam bidang ilmu pengetahuan umum, sehingga mereka mampu bersaing dengan alumni dari lembaga pendidikan lainya. Untuk mencapai cita-cita tersebut, tentu saja pesantren harus membaca perkembangan zaman. Sebagaimana disadari saat ini kebanyakan pesantren sedang mengalami pergumulan antara mempertahankan identitas dan menerima keterbukaan. Artinya, disatu sisi pesantren dituntut untuk menemukan identitas dalam mempertahankan tradisi pesantren, tetapi di sisi lain pesantren harus 264Dokumen Alumni Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1990

112

terbuka untuk menerima sistem-sistem yang datang dari luar. Sementara itu kecenderungan dunia yang menglobal, perkembangan dunia pendidikan dalam budaya industri adalah sifatnya semakin fasif, standar dan nasional. Pendidikan keilmuan akan semakin menonjol dimasa mendatang, termasuk ilmu agama. Sebagaimana diketahui saat ini, pembagian bidang studi untuk tingkat pendidikan menengah atas meliputi :A1 (Matematika dan Fisika), A2 (Biologi dan Kimia), A3 (Sosial), A4 (Bahasa dan Budaya), A5 (Agama). Disini jelas bahwa yang dimaksud dalam A5 adalah ilmu agama atau pendidikan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan akan semakin didominasi dengan pekerjaanpekerjaaan untuk mengejar dan mengembangkan ilmu dan pengembangan pendidikan. Apabila dikaitkan dengan perspektif dengan kedudukan pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional, maka tidak semua aspek diambil pesantren dan perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional. Ada aspekaspek tertentu yang harus tetap dijaga dan dilestrikan. Dan ada pula aspek tertentu yang harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan diletakkannya landasan dasar metodologi berfikir rasional yang kuat, memungkinkan sebuah pesantren mengembangkan kemampuan daya dan ilmunya, sedangkan dengan hanya kekayaan materi tanpa metodologi hanya akan membawa sebuah pesantren bersifat dogmatis dan statis. Atas dasar itu, harapan outcome dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau dimasa depan berubah menjadi bentuk pendidikan formal dengan perbandingan pelajaran sebayak 70 % ilmu pengetehauan umum dan metode berpikir, dan 30% pendidikan agama yang bermoral, hal ini memungkinkan karena selama ini Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah membelajarkan para santrinya dalam bentuk pendidikan formal dengan menyerap kurikulum Dinas Pendidikan dan Departemen Agama. Untuk mewujudkan Pesantren Thawalib Tanjung Limau menjadi pesantren yang berkualitas, tentu akan memerlukan faktor pendukung dan mempertimbangkan faktor penghambatnya. Fahrizal Alwis,265 mengatakan bahwa 265Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

113

pesantren Thawalib dalam mengembangkan pendidikan Islam dan menuju pesantren yang terpadu harus memperhatikan aspek/faktor pendukungnya dan penghambatnya, diantara faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor pendukung, seperti: (a) pondok pesantren ini sudah memiliki ruang permanen untuk pelaksanaan pendidikan dan

pengajaran, (b) tenaga

pengajar yang cukup baik, (c) memiliki daftar rencana pelajaran, (d) melakukan pembagian mata pelajaran, (e) memiliki administrasi yang lengkap di antaranya daftar hadir siswa dan guru, (f) memiliki pustaka, (g) memiliki asrama putra dan putrid, (h) memiliki Labor Bahasa dan Komputer, (i) memiliki Tempat Pendidikan Usaha Santri (TPUS), (j) dan banyaknya alumni yang telah berhasil dan memperhatikan Almamaternya. 2. Faktor penghambat, seperti: (a) banyak berdiri sekolah-sekolah umum di sekitar Pesantren, (b) terjadinya perubahan nilai masyarakat, (c) minimnya Perhatian pemerintah Daerah terhadap Sekolah yang berstatus swasta, (d) dewasa ini mulai kurangnya perhatian masyarakat terhadap pesantren dalam memasukan anaknya ke Pesantren, (e) pondok pesantren selalu kalah saing dengan madrasah/sekolah negeri karena madrasah/sekolah negeri terkelola dengan baik, sementara pondok pesantren itu tergantung dari pengurus kalau kepengurusannya baik dan aktif maka baik dan berkembanglah pulalah pondok pesantren itu, (f) adanya masalah internal antara sesama pengurus yayasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, tidak terlepas dari interaksi yang terjadi di lingkungan pondok pesantren, baik interaksi interal pesantren, maupun interaksi dengan pihak luar seperti masyarakat sekitarnya. Konsep lingkungan masyarakat akan mempengaruhi interaksi suatu masyarakat yang ada. Yang dimaksud konsep lingkungan masyarakat di sini adalah lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren dan luar pesantren Thawalib Tanjung Limau, baik berupa lingkungan fisik maupun berupa lingkungan non fisik, yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kerpibadian para siswa/santri dan

114

masyarakat. Kepribadian individu dan kelompok dibentuk oleh lingkungan kehidupan yang mengasuh dan mendidiknya.266 Dalam lingkungan kehidupan, prilaku individu dan kelompok diseleksi, dispesialisasi, dan distratifikasi apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang wajib dikerjakan dan apa yang mesti ditinggalkan. Suatu kebiasaan yang secara terus-menerus dialami oleh seseorang dari tahun ke tahun selama 24 jam setiap harinya, akhirnya membentuk kepribadian, dan apabila hal itu telah diterima menjadi nilai kehidupan bersama, maka sejak itu terbentuklah kepribadian yang utuh dan sangat sukar untuk dirubah. Kondisi lingkungan kehidupan masyarakat luar Pesantren Thawalib Tanjung Limau sangat mendukung keberadaan pesantren tersebut. Lingkungan fisik masyarakat sekitar pesantren pada umumnya berupa lahan sawah untuk tanaman padi, dan sebagian juga terdapat lahan untuk perkebunan dan tanaman sayur-mayur. Di samping itu sekitar pesantren juga terdapat perumahan penduduk desa Tanjung Limau Simabur. Santri atau siswa yang tinggal memondok di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau pada umumnya tidak memasak sendiri, tetapi disediakan oleh penduduk disekitar. Di samping itu para santri juga belanja atau jajan di luar kompleks pesantren, karena di sekitar pesantren banyak terdapat warung atau kedai yang menjual makanan-makanan yang siap saji. Hubungan baik pesantren dengan masyarakat sekitar memudahkan santri berkomunikasi dan bergerak di masyarakat

untuk

melakukan

kegiatan

dakwah

dan

kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan lainnya. Namun, pihak yayasan dan pimpinan membatasi dan mengontrol hubungan santri atau siswa dengan masyarakat sekitarnya, agar para santri tidak terpengaruh oleh hal-hal jelek yang ada di masyarakat. Adapun situasi kehidupan dalam lingkungan Pesantren Thawalib Tanjung Limau antara lain dapat penulis gambarkan : luas komplek Pesantren 1600 m2, di atasnya berdiri sejumlah bangunan antara lain, 1 buah masjid, 1 asrama putra/i, 1 unit ruang belajar,1 unit kantor, 1 unit perpustakaan, 8 kamar MCK/WC, 1 unit lapangan, 1 ruang koperasi pondok pesantren, 1 unit labor bahasa ( Bahasa 266A Pitirim Sorokin, Contempory Sociological Theories, (New York : Harper and Brother, 1982), hlm. 192

115

Inggris, Arab dan Jepang), 1 ruang labor komputer,1 ruang untuk keterampilan menjahit. Jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah : Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Keagamaan. Untuk masyarakat sekitar pesantren Thawalib Tanjung Limau pendidikan yang diselenggarakan adalah majelis Ta’lim, didikan Subuh bagi murid TPA, dan pembentukan kader dai/iyah bagi generasi muda Tanjung Limau. Penyelenggaraan pendidikan ini di laksanakan secara bersama antara santri dan antara pengelola pesantren dengan masyarakat sekitar. Seluruh santri yang berada pada tingkat Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) tinggal di dalam pesantren, sedangkan santri RA, MDA, MTs tidak tinggal di pesantren, karena mereka umumnya adalah warga masyarakat sekitar pesantren. Namun ada juga santri yang tinggal di asrama adalah mereka yang berasal dari luar daerah Tanjung Limau. Kehidupan santri semacam ini mengindikasikan adanya interaksi masyarakat pesantren dengan masyarakat luar pesantren. E.

Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat 1.Peranan dalam Pengembangan Kelembagaan Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan lembaga

pendidikan Islam yang menjalankan fungsi transfer ilmu agama Islam, pengembangan dakwah, dan mereproduksi ulama. Pesantren Thawalib Tanjung Limau termasuk salah satu Madrasah yang

dicurigai dan diawasi

oleh

Pemerintah Belanda, yakni setelah dilaksanakan Kongres Sumatera Thawalib yang pertama di Bukit Tinggi pada tahun 1930, salah satu Keputusan Muktamar itu ; “ Mendirikan satu partai politik yang berlandaskan perguruan-perguruan Thawalib”.267 Pada awalnya diberi nama Persatuan Muslim Indonesia (P.M.I), 267 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

116

kemudian dirobah menjadi “PERMI” dengan sendirinya perguruan Thawalib Tanjung Limau termasuk salah satu perguruan yang dicurigai oleh pemerintah Belanda. Karena gerakan PERMI mengkhawatirkan Pemerintah Belanda, pada waktu itu semua perguruan Thawalib berada di bawah lindungan PERMI. Kekhawatiran Pemerintah Belanda semakin hebat, sehingga mengakibatkan guruguru Thawalib Tanjung Limau banyak dikenakan larangan mengajar dan akibatnya beberapa perguruan Thawalib ada yang ditutup. Madrasah Thawalib Tanjung Limau dengan kebijakan Haji Mukhtar dibawah lindungan Allah SWT dapat dipertahankan sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, sekalipun tuan De Vries/ pegawai tinggi Belanda dari Medan turun mencek langsung keberadaan pendidikan perguruan Thawalib. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang, Thawalib Tanjung Limau tetap eksis sebagai lembaga pendididkan dan dakwah.268 Lembaga Pendidikan Islam ini bukanlah baku, tetapi ia fleksibel, berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat.269 Untuk mengembangkan pesantren ini, pada tahun 1943 diadakan perayaan HUT Madrasah Thawalib Tanjung Limau ke-20 dengan mengundang ulama besar Minangkabau. Dalam perayaan tersebut dibicarakan juga tentang kelancaran pendidikan dan penambahan pembangunan gedung. Dua tahun setelah itu (1945) Buya Haji Mukhtar berpulang kerahmatullah, usaha beliau dilanjutkan oleh Buya Haji Ismail Rasyad untuk memimpin Pesantren Thawalib Tanjung Limau selanjutnya. Buya Haji Ismail dengan segala kebijaksanaannya bersama-sama dengan majelis guru berusaha dengan penuh keikhlasan dapat melintasi masa-masa yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan pendidikan itu sendiri baik paska kemerdekaan, agresi belanda, pergolakan PRRI yang genting runcing maupun masa G. 30/S PKI yang sangat mengkhawatirkan tersebut. Meskipun dalam keadaan sulit maupun ekonomi yang sulit pula sementara murid-muridpun makin bertambah, Alhmdulillah diwaktu Buya Haji Ismail ini pembangunan gedung masih dapat dilaksanakan, yakni dibangun empat 268 Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1980 269Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), cet. ke1, hlm. 100

117

buah lokal baru (disamping masjid) yang berhadapan dengan gedung yang lama. Setelah itu gedung yang lama dirombak dijadikan dua tingkat. Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Ismail Raysad berpulang kerahmatullah, untuk selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau diamanahkan kepada Angku Imam Ibrahim, pada masa ini, gedung dekat mesjid ditambah satu lokal gedung lagi (melanjutkan rencana almarhum Buya Haji Ismail). Pada tahun 1970 didirikan pula gedung lainnya, sehingga Pesantren Thawalib Tanjung LImau sudah mempunyai tiga buah gedung yang satu bertingkat, tingkatnya itu dijadikan asrama bagi murid-murid perempuan yang tempat tinggal mereka jauh dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Kunci mempertahankan keberlangsungan pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dari dulu adalah “musyawarah”, apa saja yang berhubungan dengan perguruan Thawalib terlebih dahulu diambil keputusannya dengan musyawarah. termasuk permintaan dari Inspeksi Pendidikan Agama yang datang ke Thawalib pada 1967 dan 1968 agar Thawalib di negerikan. Permintaan ini kembali dimunculkanada pada tahun 1995 agar Madrasah Aliyah di negerikan, namun setelah bermusyawarah dengan pemerintah kebijaksanaan Pengurus dan masyarakat status Thawalib Tanjung Limau sebagai lembaga pendidikan swasta tetap di pertahankan sampai sekarang. Munculnya usulan agar Thawalib statusnya di negerikan (baik dari pemerintah, alumni maupun sebagian masyarakat atau dari beberapa orang pengurus yayasan setelah tahun 1976, karena perkembangan pendidikan itu sendiri di Indonesia, dalam perjalannya semenjak tahun 1966 sampai 1972 tidak beberapa orang murid yang sampai ke kelas 6 (enam), karena diwaktu kelas empat, murid-murid itu mengambil ujian P.G.A.N. IV tahun, setelah lulus mereka masuk ke P.G.A.N. VI Tahun. Mengingat perkembangan dan ketahanan pesantren, maka pada tanggal 17 Desember 1976 diadakan musyawarah terpadu antara pengurus pesantren dengan Alim Ulama, ninik – mamak, serta cerdik pandai Tanjung Limau termasuk alumni Thawalib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan dengan membentuk yayasan dengan nama “ Yayasan Pembina Thawalib

118

Tanjung Limau”.270 Karena perguruan Thawalib Tanjung Limau memiliki lintas sektoral di bawah pembinaan Departemen Agama, Pada tahun 1985 Madrasah Thawalib Tanjung Limau diklasifikasikan oleh Departemen Agama setara dengan program pondok pesantren maka, madrasah Thawalib dirubah menjadi Pondok Pesantren Thawalib. Sekarang ini lembaga yang berada dalam naungan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah : Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA).271 Kemudian disamping lembaga formal, menurut pimpinan, pesantren juga mengembangkan lembaga yang besrifat sosial kemasyarakatan, seperti Badan Kontak Majlis Ta’lim Pondok Pesantren Thawalib (BKMT Ponpes), lembaga ini dimanfaatkan oleh santri dan masyarakat Tanjung Limau, Lembaga Koperasi Simpan Pinjam Pondok Pesantren, dan Lembaga Didikan Subuh Thawalib (LDST).272 2.Peranan dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia Permasalah seputar pengembangan pendidikan Islam pondok pesantren dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human resources) merupakan masalah yang aktual dalam pembicaraan seputar pesantren. Tututan kehidupan global dan keahlian menghendaki kualitas sumber daya manusia terdidik dan keahlian dalam bidangnya. Realitas out put pesantren yang memiliki sumber daya manusia kurang kompetitif

inilah

yang kerap

menjadikannya termarginalisasi dan kalah bersaing dengan out put pendidikan formal baik agama maupun umum. Sahal Mahfudz mengatakan kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya yang ada di 270Yayasan ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib Tanjung Limau meneruskan niat pertama (nawaitu) berdirinya Thawalib sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum Haji Muchtar Ya’cub sebagai pendiri pertama perguruan tersebut, Lihat : Akta Notaris Pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau No 3/1978 271Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 272Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

119

lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya pengembangan masyarakat sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan”273 Kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan, baik produk dan jasa maupun pelayanan yang mampu bersaing di lapangan kerja yang ada dan yang diperlukan. Peningkatan kualitas sumber daya dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia lebih bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang sektor. Pendidikan merupakan salah satu alat untuk menghasilkan perubahan pada diri manusia. Manusia akan dapat mengetahui segala sesuai yang tidak atau belum diketahui sebelumnya. Pendidikan merupakan hal seluruh umat manusia. Hak untuk memperoleh pendidikan harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta kemauannya.274 Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas betapa pentingnya peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDM agar sejajar dengan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah), nasional, maupun internasional (global). Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan adanya unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini akan dapat diatasi apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara rasional dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas SDM. Pendapat pakar pendidikan mengemukakan “Jika abad silam disebut abad kualitas produk/jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas SDM. SDM yang berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan merupakan isu atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau andalan serta ujian 273Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta : LKIS, 1994), hlm. 112 274Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:Tradisi dan Modernisasi Menunuju Milinium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 50

120

setiap individu, kelompok, golongan masyarakat, dan bahkan setiap bangsa.”275 Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dan mempertahankan keseimbangan ekonomi. Sehubungan dengan pengembangan SDM untuk peningkatan kualitas, Azra mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas adalah proses kontekstual, sehingga pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat.”276 Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan Islam memberi manfaat pada organisasi berupa produtivitas, moral, efisiensi, efektivitas, dan stabilitas pesantren dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke luar pesantren yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Perencanaan SDM yang berkualitas. Dalam lokakarya pengembangan Pesantren tahun 2001, merumuskan beberapa kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat global yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kualitas SDM. Kecenderungan tersebut adalah: (1) Dibandingkan dengan dasawarsa 1970-an dan 1980-an, tiga dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat, terutama yang menyangkut teknologi informasi dan bioteknologi. Dalam konteks peningkatan kualitas SDM, implikasi yang dapat diangkat adalah para ilmuwan harus bekerja dalam pendekatan multidisipliner dan adanya program pendidikan berkelanjutan (S2/S3), dan (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin canggih dapat mempersingkat jarak dan mempercepat perjalanan. Hal ini akan membuat bangsa yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang relevan dan menguasai teknologi baru secara substantif mampu meningkatkan 275Hasan Langulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke- 21, (Jakarta : Pustaka AlHusna, 1988), hlm. 77 276Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 59

121

produktivitasnya. Hasil pemikiran di atas menghadapkan kita pada arah, tantangan, dan tuntutan umum pendidikan dalam kehidupan abad ke-21 sebagai masa depan suatu lembaga. Sehubungan dengan masalah ini, Pesantren Thawalib Tanjung Limau (dulu perguruan atau surau Gadang) membuat kajian tentang arah, tantangan, dan tuntutan abad ke-21 dalam peningkatan kualitas SDM. Hasil dari kajian tersebut adalah sebagai berikut : (1) pendidikan adalah modal dasar pembangunan bangsa yang terarah pada upaya memberdayakan seluruh potensi manusia masyarakat, baik yang menyangkut nilai-nilai instrinsik, instrumental maupun transedental; (2) pendidikan mencakup target khalayak yang amat luas yang mengandung sasaran, tujuan, dan kepentingan yang berbeda-beda dan menuntut suasana yang bervariasi serta multimethods dan multimedia; (3) fungsi pendidikan akan terarah pada upaya mendorong orang untuk belajar aktif dan memberdayakan semua potensi yang ada pada dirinya; (4) produk pendidikan yang berwujud SDM harus menampilkan kualitas yang mandiri dan mengandung keunggulan, baik komparatif

maupun

kompetitif,

baik

ditingkat

lokal,

nasional

maupun

internasional; (5) kualitas organisasi (lembaga), kualitas manajemen, dan kualitas kepemimpinan menjadi tuntutan yang semakin luas, terbuka, dan menghendaki ketertiban pada semua unsur yang terarah untuk mencapai pendidikan yang berkualitas pada gilirannya akan mencapai kualitas SDM yang makin baik dan merata; dan (6) pengembangan sikap sadar teknologi dan sains dan peningkatan kualitas diri para pendidik dan para Ustadz adalah hal yang mutlak perlu ditanamkan dan akan digunakan sebagai sarana dalam menyiapkan SDM yang berwawasan teknologi dan memiliki kesiapan belajar sepanjang hayat.277 Program

peningkatan

kualitas

SDM

melalui

pendidikan

akan

memberikan manfaat pada pesantren berupa produktitas, moral, efisiensi kerja, stabilitas, serta fleksibilitas pesantren dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke luar pesantren. Titik tolak pemikiran mengenai orientasi pendidikan nasional adalah : (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) mempersiapkan SDM yang berkualitas, terampil, dan ahli yang diperlukan dala 277Arsip Master Palan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2004

122

proses memasuki era globalisasi dan otonomi daerah, dan (3) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas SDM di era otonomi daerah.278 Guna memenuhi tuntutan komunitas pesantren yang semangkin meningkat, sudah sepantasnya penyelenggara pesantren memikirkan upaya peningkatan kualitas para guru dan staf di dalamnya. Upaya ini dimaksudkan agar segala tugas yang diberikan kepada mereka menghasilkan kesuksesan yang maksimal. Upaya ini juga penting, mengingat rekrutmen guru atau ustadz di pesantren biasanya didasarkan kepada program pre-service sebagaimana dalam sistem persekolahan (sekolah-sekolah formal), sehingga dipandang masih memerlukan wawasan-wawasan dan keterampilan baru yang aktual. Misalnya guru atau ustadz pesantren perlu menambah wawasan tentang kurikulum dan metode belajar mengajar jika mereka bukan sarjana atau ahli pendidikan. Disisi lain untuk meningkatkan kualitas dan SDM pesantren, pengasuh pesantren aktif mengali informasi ke instansi terkait, sekaligus menjalin kerja sama untuk meningkatkan mutu para ustadz.279 Sebagaimana di dunia pendidikan formal, pendidikan di pesantren memerlukan peningkatan kualitas para tenaga pendidik (guru/ustadz). Peningkatan kualitas ini banyak pendekatan yang dilakukan, termasuk program pelatihan, studi lanjut, dan belajar di tempat kerja atau bahkan melalui bentuk kegiatan-kegiatan ilmiah sederhana seperti seminar. Cara ini dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang mendukung dalam rangka peningkatan profesionalisme guru/ustadz. Dan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM pesantren terutama tenaga pendidik (guru/ustadz) adalah membekali keterampilan teknis dan konseptual melalui monitoring, pelatihan (coaching) dan praktek.280 Menurut pembina Yayasan,281 Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam menghadapi arus globalisasi sekarang ini, telah melakukan usaha dalam peningkatan kualitas dan sumber daya tenaga pendidik, yaitu berupa 278Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 150 279Sulthan Masyhud dan Moh Khusnurdilo, op. cit., hlm. 37 280Ibid., hlm. 38 281Amiruddin St. Marajo, Sekretaris Yayasan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari 2009

123

memberikan beasiswa bagi guru yang belum S1 untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi terdekat. Kemudian usaha lain yang dilakukan dalam pengembangan SDM ini, pesantren telah sering memberikan pelatihan-pelatihan dan workshop bagi guru dan masyarakat sekitar, terutama dalam bidang pendidikan dan bidang pertanian. 3.Peranan dalam Pengembangan Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang berada di pondok pesantren, pada umumnya sangat bergantung kepada bentuk pesantren atau kemampuan dan kemamuan kyai dalam mengendalikan pondok pesantren yang didirikannya, esensi dan kegunaan perangkat keras pada suatu pondok pesantren adalah untuk kelancaran interasksi dan komunikasi atau penyampaian informasi dan penanaman nilai-nilai keagamaan yang dilakukan kyai terhadap para santrinya pada saat-saat tertentu.282 Para kyai/ buya memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimat Allah, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pesantren, tidak tergantung kepada sponsor dalam visi dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana prasarana yang megah, namun para kyai dan santrinya tetap mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebahagian besar pesantren tradisional tampil dengan sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini tidak menyurutkan para kyai dan santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah dicanangkan.283 Mereka seakan sepakat bahwa pesantren adalah tempat untuk melatih diri (riyadloh) dengan penuh keprihatinan. Yang penting semua itu tidak menghalangi mereka menuntut ilmu. Perkembangan dunia yang menglobal dan perubahan paradigma pendidikan, menuntut suatu lembaga untuk melakukan perubahan dan mengembangan segala potensi yang dimiliki, termasuk mengembangkan sarana dan prasarana yang mendukung kepada pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Sarana dan prasarana merupakan pendukung pelaksanaan kegiatan belajar 282Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan: Melaacak Geneologis Pendidikan Islam Indonesia, (Bandung : Mulia Press, 2008), hlm. 189 283Sulthan Masyhud dan Moh Khusnurdilo, op. cit., hlm. 92

124

mengajar di pesantren. Pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar dan media pendidikan dan pengajaran yang berbasis teknologi. Dan berangkat dari pembiayaan yang ditunjang oleh adanya sawah abuan 284 pada awal berdirinya, hasil dari sawah abuan tersebut guru-guru mendapat gaji, peralatan sekolah dapat dibeli, dan gedung-gedung tambahan dapat dibangun. Kondisi itu masih dipertahankan sampai sekarang. Adapun sarana dan prasarana yang telah tersedia Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diantaranya: 6 (enam) ruang belajar, 1 (satu) ruang pimpinan (kepala), 1 (satu) ruang Majlis guru/ ustadz, 1 (satu) ruang perpustakaan, 1 (satu) ruang labor, 1 ((satu) unit asrama, 1 (satu) ruang gudang dan 1 (satu) ruang koperasi, lapangan volly ball, 1 (satu ) masjid.285 Jadi pengembangan terhadap sarana dan prasarana Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama pada fasilitas pendidikan yang dibutuhkan para santri diantaranya sepuluh ruang belajar, satu unit ruang asrama, satu ruang perpustakaan, satu ruang labor komputer dengan 15 unit komputer, tiga ruang kantor, satu ruang untuk koperasi Pesantren, satu ruang untuk labor bahasa Arab dan Inggris, lima belas unit mesin jahit, satu lapangan volly ball, satu unit lapangan tenis meja dan lapangan bola kaki milik bersama dengan masyarakat Tanjung Limau. 4.Peranan dalam Pengembangan Keilmuan dan Keterampilan Sebagai suatu proses, pendidikan membutuhkan lembaga (institusi), yang salah satu artinya adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.286 Oleh karena itu lembaga pendidikan merupakan organisasi yang bertugas menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar. Penuluran ilmu atau pemindahan pengalaman kepada orang lain tanpa melalui suatu organisasi dalam pengertian luas termasuk 284Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah untuk dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu. Seorang anak yang sudah berangkat dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang tuannya. 285Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Permohonan Izin Perasional Kepala Kantor Departemen Agama Wilayah Sumatera Barat untuk Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah Thawalib, ( Padang : tidak diterbitkan, 1976) 286Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), hlm. 580

125

pendidikan, etapi sebagai suatu proses yang berlangsung secara kontinuitas, eksistensi pendidikan memerlukan kelembagaan. Lebih lanjut, kemudian kemajauan suatu pendidikan juga ditentukan oleh kualitas suatu institusi. Oleh karena itu, institusi menempati posisi penentu terhadap kelangsungan dan kemajuan pendidikan, sehingga pengembangan keilmuan dan keterampilan dapat dilanjutkan. Peran pesantren Thawalib Tanjung Limau sebagai salah satu lembaga (institusi) dalam pengembangan pendidikan Islam adalah mentransfer ilmu agama Islam, baik kepada santri maupun kepada masyarakat. Tranformasi ilmu agama Islam yang dilakukan oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada santri maupun masyarakat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan pengajaran, baik yang dilakukan secara rutin di lingkungan pesantren itu sendiri, ataupun kegaitan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan melibatkan pesantren di dalamnya.287 Pesantren Thawalib mempunyai peranan penting dalam mewarisi dan mengembangkan warisan intelektual dan spritual itu. Hal ini bisa dipahami, karena dilihat dari latar belakangnya, Pesantren Thawalib Tanjung Limau berperan sebagai lembaga transformasi kultural yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Pesantren Thawalib Tanjung Limau berdiri sebagai jawaban terhadap penggilan dakwah keagamaan, untuk menegakkan nilai-nilai kemasyarakatan, dan praktek-praktek keagamaan.288 Ilmu agama Islam yang ditransfer oleh Pesantren Thawalib kepada santri dan masyarakat sekitanya adalah berupa tradisi keilmuan fiqih dan sufistik (ilmu Tasauf). Hal ini wajar, karena pada dasarnya Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang megajarkan tradisi keilmuan agama. Transformasi keilmuan tasauf melahirkan nilai-nilai moral keagamaan yang ditampilkan oleh pimpinan pesantren dan santrinya di tengahtengah kehidupan masyarakat, sedangkan transformasi keilmuan fikih melahirkan 287Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 288Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

126

faham-faham keagamaan fikih bagi kepentingan ibadah kepada Allah. SWT.289 Media yang digunakan oleh pimpinan Pesantren Thawalib dalam melakukan transfer ilmu agama Islam adalah melalui media pendidikan pesantren dan tabligh-tabligh akbar di Masjid Pesantren, karena kebetulan pimpinan dan sebagian ustadz pesantren ini adalah seorang mubaligh terkenal di didaerah Tanjung Limau dan Kabupaten Tanah Datar. Melalui media inilah, ilmu agama Islam ditransfer kepada santri dan masyarakat sekitarnya. Ilmu agama Islam yang ditransfer tersebut tidak lepas dari dua tradisi keilmuan pesantren, yaitu menonjolkan tasauf dan fiqih.290 Menonjolnya tradisi keilmuan agama Islam berupa tasauf dan fiqih sebagaimana ditransformasi oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada santri dan masyarakat sekitarnya tersebut sesungguhnya bukanlah suatu yang dikotomi, melainkan kategori ini penting untuk menunjukan dimensi-dimensi atau aspek –aspek yang terdapat dalam tradisi keilmuan pesantren tersebut. Hal yang sama juga berlaku bagi warisan intelektual dan spritual Islam. Dalam warisan intelektual Islam terdapat sisi-sisi spritual dan dalam warisan spritual terdapat dimensi-dimensi intelektul. Artinya, ilmu agama islam yang ditransfer oleh pesantren Thawalib merupakan perpaduan antara intelektual Islam dan spritual Islam tradisional.291 Awalnya Ilmu agama Islam yang ditranspormasikan oleh Pesantren Thawalib Tanjung kepada santri dan masyarakat sekitarnya adalah islam tradisional. Yang dimaskud dengan islam tradisional adalah islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tauhid dan ahli tasauf yang hidup antara abad ke -7 sampai abad ke-13. M. Akan tetapi pada perkembangannya, seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam pesantren Thawalib memberikan pendidikan Islam kepada santri dan masyarakat didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh sistem pendidikan Islam. 289Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 290Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanujung Limau, 9 Februari 2009 291Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

127

Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai sistem pendidikan Islam yang dikembangkan di pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah niai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak dan nilai agama yang memiliki kebenaran relatif. Dengan demikian, maka sistem pendidikan di pesantren Thawalib Tanjung Limau didasarkan atas dialog yang terus menerus-menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif. Nilai-nilai agama dengan kebenaran multlak mempunyai supermasi atas nilai agama dengan kebenaran relatif.292 Memang, ciri khusus pendidikan Islam yang diberikan di Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah ajaran Islam yang becorak fiqih sufistik. Hal ini didasari oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau sebagai salah satu pesantren yang berusaha menegakkan ajaran Islam ahlul Sunnah wal Jama’ah. Pengaruh ajaran tasauf dan fiqih terhadap pesantren sangat besar sekali, sehingga hampir sebagain besar pelajaran yang diberikan di pesantren ini senantiasa berorientasi pada kedua aspek tersebut.293 Hal ini sesuai dengan informasi sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa penyebaran Islam ke Indonesia itu melalui Persia dan anak benua India yang ketika itu sangat berorientasi pada tasauf. Karena itulah, maka buku-buku tasauf yang mengabungkan fiqih dengan amalan akhlak merupakan pelajaran utama di pesantrren-pesantren termasuk di Pesantren Thawalib ini. Kitab tasauf karya Imam Ghazali seperti Ihya’ Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, Minhajul ‘Abidin, dan sebagainya, merupakan karya fiqihsufistik yang sangat mendominasi pelajaran di pesantren.294 Pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan di pesantren Thawalib adalah dengan membuat jaringan Islam, yakni membentuk kader ulama santri yang akan dipergunakan sebagai pendakawah-pendakwah agama Islam yang akan diterjunkan ke daerah masing-masing. Dengan itu, berarti Pesantren Thawalib Limau telah membuat dan mengembangkan jaringan Islam secara luas, paling 292Dafrizal, Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009 293Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009 294Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009

128

tidak sejak awal berdirinya tahun 1923 hingga berobah statusnya menjadi Pondok Pesantren tahun 1972 sampai sekarang telah banyak alumninya yang menyebarkan ilmu agama Islam di tengah-tengah masyarakat.295 Di sisi lain, pengembangan pendidikan agama yang dilakukan oleh pesantren, yaitu dengan cara mengirim santri dan ustdznya setiap hari jum’at dan bulan ramadhan untuk berdakwah ke berbagai masjid yang ada dalam Kabupaten Tanah Datar, maka ini berarti pesantren telah membuat jaringan Islam, terutama dalam mewarnai pemahaman keagamaan suatu masyarakat.296 Untuk menjamin kelangsungan hidup pendidikan Islam, maka Pesantren Thawalib Tanjung Limau berusaha melakukan pengembangan pendidikan agama melalui peningkatan rasa solidaritas dan kerja sama antara pesantren dengan masyarakat, antara pesantren dengan pesantren lain dalam suatu forum silaturrahmi pondok pesantren Sumatera Barat atau antara pesantren Thawalib dengan pemerintah dalam hal ini tentunya Departemen Agama. Cara praktis yang ditempuh adalah mempersiapkan buya/kyai dari pesantren dengan membuka madrasah yang ada jurusan keagamaanya dengan maksud agar kelak dikemudian hari akan ada buya/kyai yang mengetahui ilmu agama dan menjadi tauladan dan tokoh ditengah-tengah masyarakat.297 Jadi, pengembangan terhadap pendidikan agama yang dilakukan oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah dengan cara mengkader santri dan keluarganya sebagai calon pemimpin agama (buya) dan mubaligh yang akan mengajak masyarakat kepada Amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta kemudian hari dapat mengembangkan pesantren ke arah yang lebih maju lagi. Sebagaimana ditemukan dari hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa Pondok Pesantren Thawalib berdiri sejak tahun 1923. dilihat dari segi usia, berarti pesantren tersebut sudah berusia 85 tahun pada tahun 2009 sekarang ini. Selama usia tersebut tentu saja telah banyak usaha dan kiprah yang dilakukannya, baik kepada santri maupun untuk masyarakat sekitarnya. 295Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009 296Dafrizal, Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009 297Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009

129

Sebagaimana diketahui bahwa Pondok Pesantren Thawalib terletak di Jorong Tanjung Limau yang mayoritas penduduknya bertani dan berternak. Sehingga Pondok Pesantren dalam program-programnya juga menyentuh dan mengarah kepada bidang pertanian, seperti Agorbisnis, beternak sapi, dan lainlain. Program ini ditawarkan kepada masyarakat. Dan jauh sebelum tahun 1990-an Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau juga telah mengadakan program keterampilan kepada santri dan masyarakat sekitarnya, seperti keterampilan menjahit, membordir, dan pertukangan.298 Program pemberdayaan dan pengembangan agrobisnis peternakan melalui Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) Pondok pesantren dan Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren Thawalib adalah program unggulan dalam bidang keterampilan yang sedang dan telah dikembangkan di Pondok Pesantren Thawalib sekarang.299 Mengingat bahwa Pondok Pesantren Thawalib didirikan dan lahir dari masyarakat sekitarnya, maka pesantren tersebut merupakan sub-kultur dari masyarakat. Sub-kultur pesantren dapat dilihat dari cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diukuti, serta hirarki kekuasaan internal yang ditaati sepenuhnya dalam kehidupan pesantren. Oleh karena itu, maka pesantren sangat dekat dengan lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga program yang akan dikembangkan dipesantren juga menyentuh aspek dn kultur masyarakat sekitarnya. Gambaran lahiriyah Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang tidak terpisah dari masyarakat memiliki landasan filosofis sendiri, sehingga selain sebagai lembaga pendidikan yang bersih dari pengaruh negatif lingkungan, tampak bahwa pondok pesantren juga diproyeksikan sebagai miniatur suatu masyarakat. Letak geografisnya yang tidak terpisah dari lingkungan masyarkat menjadikan dan membuat pesantren lebih mudah melakukan kontrol serta melihat 298Zainin St. Marajo, Dewan Pembina, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari 2009 299Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

130

berbagai perkembangan yang ada di luar pesantren. Inilah salah satu aspek yang dapat diangkat di pesantren, sehingga dapat dikatakan bahwa Pondok Pesantren Thawalib adalah Laboratorium sosialkeagamaan masyarakat. Orang tua yang memasukan anaknya ke pesantren ini selain berharap agar mendapat pendidikan agama yang mendalam, juga berharap agar anaknya dapat hidup mandiri dan dapat berkiprah di tengah-tengah masyarakat yang sesungguhnya.300 Hal yang juga menonjol dalam pembinaan santri di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah tampak pada disiplin yang ketat yang diberlakukan kepada santri untuk mengikuti program-program keterampilan. Melalui program ini seorang santri diharapkan dapat menguasai salah satu bidang sekaligus dapat mempraktekkannya setelah tamat nanti. Atas dasar itulah, maka kehadiran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di tengah-tengah masyarakat menjadi bermanfaat hingga sekarang. Pesantren tidak hanya memberikan bidang dakwah keagamaan semata, tetapi juga memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan melalui wawancara dengan Fahrizal Alwis selaku pimpinan Pondok Pesantren Thawalib mengatakan diantara pendidikan keterampilan yang telah dikembangkan adalah: (1). Keterampilan menjahit dan bordir, (2). Keterampilan dalam bidang Agrobisnis dan Peternakan Sapi, (3). Keterampilan komputer dan Bahasa Jepang.301 Jadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam perkembangannya menuju Pesantren terpadu dengan sistem Khalaf, membekali santri dan masyarakat dengan berbagai keterampilan yang sesuai dengan kultur dan budaya masyarakat setempat. Bertitik tolak dari hasil penelitian yang penulis lakukan. Bahwa suatu lembaga pendidikan harus mempunyai sistem. Yang dimaksud dengan sistem pendidikan di sini adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur 300Zainin St. Marajo, Dewan Pembina/ Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 15 Februari 2009 301Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

131

pendidikan yang bekerjasama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan yang telah menjadi cita-cita bersama para pelakunya. Kerjasama antar para pelaku ini sendiri di jiwai, digerakan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh lembaga tersebut. Unsur utama suatu pendidikan selain terdiri atas para pelaku yang merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur anorganik lainnya., berupa : dana, sarana, dan alat-alat pendidikan lainnya, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren, maka para pelaku pesantren adalah: kyai, ustadz mengajar agama, guru mengajar umum, santri, dan pengurus serta adanya tempat untuk belajar (sarana dan prasarana). Prioritas utama program pesantren adalah pengembangan pendidikan dan pengajaran melalui unit-unit kerja yang bersifat pembinaan dan koordinatorat. Pengurus pesantren bertugas membina dan mengkoordinir seluruh unit yang ada dalam upaya mewujudkan kelancaran pendidikan dan pengajaran. Adapun fungsi yang diemban pesantren Thawalib Tannjung Limau adalah selalu menjaga kondisi yang dinamis bagi terselenggaranya proses pendidikan dan pengajaran. Setiap unit kerja didorong untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dan menumbuhkan inovasi-inovasi positif yang berguna bagi peningkatan mutu pendidikan. Seiring dengan perkembangan zaman, Thawalib Tanjung Limau terus melakukan penyesuaian struktur kepengurusan. Para pengurus terus melakukan penyesuaian struktur sesuai dengan kebutuhan dan kultur yang berlaku di Pondok pesantren. Dalam praktiknya, pola manajemen yang digunakan dalam menjalankan sistem tersebut adalah satu sistem dengan dua sub sistem besar. Dalam tradisi kepemimpinan pesantren, pengasuh dan pengurus adalah pemegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. Hanya saja secara manajerial keputusan tersebut dilakukan bersama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) yang termaktub dalam struktur dua sub sistem pesantren.

132

Keputusan yang terkait dengan biro atau lembaga tertentu langsung berada di bawah tanggung jawab kepala biro lembaga/banom terkait. Apabila keputusan tersebut terkait dengan tupoksi biro/banom maka keputusan diambil dengan mengundang koordinatorat. Struktur Dua sub sistem tersebut adalah struktur yayasan dan struktur koordinatorat. Hal ini tak lain didasarkan pada kebutuhan dan kultur . Dengan dua pijakan tersebut diharapkan antara struktur dan kultur dapat berjalan seiring. Dalam menjalankan manajemen Pondok Pesantren, pengasuh didampingi dewan pengasuh dan pengawas. Struktur di bawah pengasuh terdiri atas satu sistem dengan dua manajemen yang berbeda. Dua manajemen dibawah pengasuh adalah yayasan dan koordinatorat. Yayasan memiliki tugas pokok menyediakan fasilitas kebutuhan formal lembaga. Dalam menjalankan tugas pokoknya yayasan memeliki struktur tersendiri. Sedangkan koordinatorat memiliki tugas pokok membantu pengasuh secara aktif dalam melaksanakan koordinasi terhadap biro-biro badan otonom dan lembaga-lembaga di PP Thawalib Tanjung Limau. Serta membantu pengasuh dalam perencanaan program, pengawasan serta evaluasi pelaksanaan program pesantren. Selain itu koordinatorat juga berfungsi sebagai pusat admministrasi pesantren. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya kedua sub sistem tersebut memiliki prosedur dan mekanisme yang sudah ditentukan. Manajemen di bawah pengasuh dan yayasan berpatokan pada struktur yayasan. Struktur tersebut meliputi ketua, sekretaris, bendahara serta beberapa bagian. Struktur di bawah pengasuh dan koordinatorat terdiri dari beberapa biro dan banom (badan otonom). Biro-biro tersebut adalah biro pendidikan, kepesantrenan, biro keuangan dan Biro pengembangan pesantren dan masyarakat. Masing-masing biro lembaga dan banom bertugas memberikan pelayanan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan santri. Pesantren dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengkaderan memiliki peran untuk mempersiapkan kader yang akan berkiprah dan membangun masyarakat menuju kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Upaya kearah ini tentunya harus diupayakan secara sistematis dan efektif

133

sesuai dengan tujuan pesantren secara umum. Pendidikan dan pembinaan santri adalah serangkaian upaya pendidikan baik kepesantrenan maupun pendidikan formal. Hal ini dilaksanakan dalam rangka untuk menghantarkan santri menuju sebuah tipe pribadi manusia muslim yang seimbang dan utuh, baik jasmaniah maupun rohaniyah sesuai dengan visi misi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Pembinaan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang menambah cakrawala berfikir serta pembentukan sikap mental-spiritual, bertingkah laku sesuai dengan tatakrama dan berakhlakul-karimah sesuai dengan kultur (Budaya) Pesantren. Pendidikan dan Pembinaan santri tidak hanya meliputi pendidikan keilmuan dan pengembangan wawasan, akan tetapi juga meliputi pendidikan keterampilan dan kewirausahaan yang harus dimiliki santri untuk siap memasuki dunia yang lebih nyata. Pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan di PP. Thawalib Tanjung Limau adalah pembinaan yang intergratif antara pendidikan di asrama dan lembaga pendidikan formal. Artinya terjadi proses saling mendukung dan melengkapi antrara pendidikan yang dilaksanakan di asrama santri dengan pendidikan dan pembinaan di lembaga formal. Pendidikan dan Pembinaan yang dilakukan di sekolah diperdalam di asrama santri yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan di lembaga formal. Sehingga tujuan santri untuk mengaji dan membina akhlakul karimah diharapkan bisa tercapai secara sempurna. Program pendidikan di PP Thawalib Tanjung Limau dilaksanakan adalah sistem full day school. Program ini dilaksanakan secara integratif antara sekolah dan pondok (sebutan asrama tempat tinggal santri selama berproses di PP Thawalib Tanjung Limau). Artinya ada proses yang saling mendukung antara program di sekolah dan program di pondok. Berdasarkan penjelasan mengenai sistem pendidikan di dalam teori di atas, maka sistem pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dapat dikatakan sudah memenuhi kriteria unsur-unsur dari sistem pendidikan. Sebab, dari hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa unsur-unsur sistem pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Thawalib ke dalam dua aspek, yaitu

134

unsur-unsur sistem pendidikan yang bersifat lunak dan unsur-unsur yang bersifat keras. Kedua unsur tersebut saling berkaitan, sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dalam mencapai tujuan Pondok Pesantren. Sebagaimana hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa secara umum, tujuan Pondok Pesantren Thawalib adalah terwujudnya ulama intelektual, intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta berguna bagi masyarakat. Visi dari Pondok pesantren ini yaitu : Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam Akhlaq. Adapun misi Pondok Pesantren Thawalib adalah: (1) Mempersiapkan Kader Ulama, Muballigh, Imam, Khatib, Cendikiawan Muslim. (2) Mempersiapkan Kader Pemimpin masyarakat (3) Mempersiapkan kader muda yang siap membela agama, masyarkat dan negara. (4) Mempersiapkan Kader Muda yang berjiwa wiraswasta/mandiri. (5) Mempersiapkan kemahiran berbahasa (Indonesia, Arab, Inggris dan Jepang). (6) Menghasilkan lulusan yang mampu memahami kitab standar (MKS) dan pengetahuan umum serta mampu bersaing untuk mendapatkan berbagai kesempatan pendidikan selanjutnya. (7) Menghasilkan lulusan yang memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah.302 Kemudian pada sisi lain, sistem pendidikan yang dijalankan oleh Pondok Pesantren Thawalib adalah bersifat tradisional. Menurut Amin Haedari dan Abdullah Hanif mengatakan bahwa yang dimaksud tradisional adalah konsesus bersama untuk ditaati serta dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas masyarakat setempat.303 Berpatokan pada asumsi di atas, apabila dikaitkan dengan sistem pendidikan yang ada di Pondok Pesantren

Thawalib, maka pesantren ini

menganut sistem pendidikan tradisional. Sebab, pesantren tersebut dalam menjalankan visi dan misinya senantiasa memperhatikan nilai-nilai tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, sehingga dalam menjalankan proses 302Arsip Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1972 303Amin Haedari dan Abdullah Hanif (ed), Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dn Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), cet. ke-1, hlm. 13

135

pembelajarannya senantiasa melibatkan masyarakat sekitarnya. Memang, di Indonesia umumnya sistem pendidikan yang ada pondok pesantren adalah sistem pendidikan tradisional. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ulil Abshar Abdala, mengatakan bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mewarisi tradisi intelektual Islam tradisional.304 Identifikasi tersebut menguatkan bahwa pesantren dengan segala perangkat lunak dan perangkat kerasnya merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang masih menjunjung tinggi tradisi dan Budaya otentik bangsa Indonesia. Dalam padangan Muctar Buchori, pesantren merupakan bagian dari struktur internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam di Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah, bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan.305 Ciri-ciri tradisional sistem Pendidikan Pondok Pesantren Thawalib dapat dilihat dari pola umum pendidikan yang dilaksanakan sebagaimana yang dikatakan oleh Mukti Ali, pola umum pendidikan Islam tradisional pesntren bercirikan sebagai berikut: a)adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri, (b) tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai, (c) pola hidup sederhana (zuhud), (d) kemandirian atau Indenpendensi, (e) berkembangnya iklim dan tradisi tolongmenolong dan suasana bersaudara, (f) disiplin yang ketat, (g) berani menderita untuk mencapai tujuan, (h) kehidupan dengan tingkat relegiusitas yang tinggi.306 Demikian pula dalam ciri lainnya, bahwa sistem pendidikan yang diperlihatkan oleh Pondok Pesanten Thawalib Tanjung limau dilihat dari empat 304Ulil Abshar Abdilla, “Humanisasi Kitab Kuning: Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren”, dalam Marzuki Wahid, dkk.,(peny.), Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustka Hidayah, 1999), cet. ke-1, hlm. 287 305Amin Haedari dan Abdullah Hanif (ed), Ibid., hlm. 14-15 306Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali Press, 1987), cet. ke-1, hlm. 5

136

ciri seperti yang ungkapkan oleh Mastuhu, yaitu sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol. Mulai dari memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab klasik berbahasa Arab, mempunyai teknik pengajaran yang unik biasa dikenal dengan sorongan dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta mengunakan sistem halaqah.307 Dari hasil penelitian menunjukan bahwa ciri-ciri sistem pendidikan tradisional yang ditampilkan oleh Pondok Pesantren Thawalib terlihat dari kitabkitab yang diajarkan kepada santri yang kesemuanya berbahasa Arab, kecuali kepada santri yang mengambil jurusan umum. Adapun metode pembelajaran yang digunakan untuk mempelajari kitab tersebut ada adalah dengan metode sorongan, wetonan, hafalan, dan dengan sistem halaqah. Menurut Zamakhsyari Dhofier, salah satu keunikan dari pola pendidikan yang dilaksanakan di pesantren adalah tujuan pendidikannya tidak semata-mata berorientasi memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga menitik beratkan pada peningkatan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spritual dan humanistik, mengajarkan kejujuran, serta mengajarkan santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Dengan demikian, tujuan pendidikan pessantren bukan untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang, dan keangungan duniawi, tetapi lebih kepada penanaman bahwa belajar merupakan kewajiban dan bentuk pengabdian kepada Allah.308 Abdurrahman Wahid menguatkan lagi dalam pendapatnya, bahwa tradisionalitas sistem pendidikan yang ditampilkan di Pondok Pesantren dapat di lihat dari dua aspek, yaitu : Pertama: Pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode, dan bahkan literatur yang bersifat tradisional, baik dalam bentuk pendidikan non-formal seperti halaqah maupun pendidikan formal seperti madrasah dengan ragam tingkatannya. Kedua:

Pola umum pendidikan Islam tradisional Pesantren selalu memelihara sub-kultur (tata nilai) pesantren yang bediri atas

307Mastuhu, op. cit., hlm. 25 308Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1986), cet. ke-4, hlm. 21

137

landasan

ukhrawi

yang

terimplementasi

dalam

bentuk

ketundukan mutlak kepada Tuhan, mengutamakan ibadah sebagai wujud pengabdian, serta memuliakan ustadz atau kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki.309 Jadi dari uraian dan pendapat para ahli tersebut, dapat penulis kemukakan, bahwa sistem pendidikan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau sesuai dengan tujuan, visi dan misinya, awalnya bersifat tradisional, tetapi pada perkembangan selanjutnya seiring dengan terjadinya pembaharuan paradigma pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau menerapkan sistem pendidikan pesantren yang mengabungkan antara sistem salaf dengan khalaf. Hal ini bisa terlihat dari dibukanya sistem madrasah disamping sistem pondok sendiri yang bersifat pendidikan Islam tradisional. Kini masa anti terhadap Pesantren telah berakhir meninggalkan era antagonistis pemerintah terhadapnya, melewati masa resiprokal atau masa saling melihat antara pemerintah dengan pesantren dan selanjutnya pemerintah mulai melirik dan mengakui peran pesantren dalam pembangunan bangsa ini. Bahkan bolehlah pesantren bernafas lega ketika Undang-Undang Sisdiknas mulai mengakomodir pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang patut diperhatikan. Hal ini juga yang mendorong pesantren

untuk keluar dari

sarangnya, perlahan membuka diri dan berkomunikasi aktif bersama-sama kembali seiring sejalan dengan pemerintah tanpa menumpulkan peran balancing dan kritik konstruktif bagi masyarakat dan penguasa. Namun saat ini pesantren dihadapkan pada persoalan lain dalam dinamika

masyarakat.

Telah

terjadi

pergeseran

paradigma,

pergeseran

problematika dengan isu baru walau mainstream lama dan percepatan roda jaman dengan arus globalisasi dan westernisasi, serta abad informasi dan komunikasi yang membawa manusia pada satu dunia kecil dengan sistem global yang hanya dijangkau satu tangan saja. Ketika jelajah dunia cukup dengan jentikan jari saja, maksud melalui internet. Era pasar bebas, perdagangan lintas batas, dunia yang modern, megapolitan dan maju di milanium ketiga ini. Inovasi yang tiada henti, 309Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta : Dharma Bhakti, tt), cet. ke-1, hlm. 73-74

138

produktifitas yang tinggi, dunia cyber yang menghegemoni seakan membuat kita menjadi bodoh dan terkebelakang. Disisi lain kerusakan moral masyarakat, seperti gunung es yang meleleh melaju begitu cepat, memporak porandakan norma dan keluhuran peradaban yang sekian lama dengan susah payah di bangun. Kemaksiatan pun ikut menglobal seperti bola salju yang menggelinding semakin lama semakin membesar dan membesar menjadi raksasa yang menakutkan,

menggurita

membumi hanguskan keluhuran ajaran diniyah yang selalu di jungjung tinggi. Perilaku menghalalkan segala macam, cara dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua ini memaksa kembali pesantren untuk keluar dari sarangnya menyelamatkan dunia karena ada tugas yang sangat berat menantinya. Namun zaman telah berganti kondisi saat ini bukan yang terjadi pada abad tradisional, melainkan abad postmodernisme, sehingga mengharuskan pesantren melakukan restrukturisasi dan revitalisasi dengan mensetel dan meng up gread sopt ware namun tetap mempertahankan hard ware nya untuk menghadapi problem komplek dimasyarakat global saat ini. Tentu saja untuk menghadapi semua itu pesantren harus mulai berbenah diri mengimbangi bahkan mengendalikan jaman dengan melakukan percepatan kurikulum. Revolusi ilmiah dan inovasi terdepan demi menegakkan ketinggian Islam dan membuktikan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin dalam kaca mata yang lebih luas. Pesantren Thawalib Tanjung Limau harus tampil menghadapi tiga persoalan tersebut di atas dengan menjadi agen of change, lokomotif kemajuan dengan gerbong keadilan serta senantiasa menjadi oase bagi panasnya wabah demam masyarakat yang hampir tidak mengenal dirinya sendiri. Pesantren Thawalib Tanjung Limau dituntut menguasai teknologi, melihat kenyatan yang terjadi pada pesantren rasanya seperti suatu yang utopia. Pesantren yang tradisional, pesantren yang lugu, pesantren yang sederhana dan lain sebagainya. But the weaknes have ti be strong, disanalah letak dari kekuatannya. Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bisa melakukan semua itu,

139

dengan keikhlasan para founthing fathernya, dengan keistiqomahan dan kemandirian seluruh elemennya, pesantren harus mampu menjadi kendali yang hampir putus dari arah jaman yang carut marut ini. Di sini perlu diingat bahwa pesantren bukanlah sebagai tukang stempel belaka, bagi legitimasi sebuah kekuasaan, tempat sowan bagi para pelaku politik yang ada maunya, tukang penutup doa dari acara formalitas belaka. Namun lebih luhur dari itu, lebih tinggi dari semua itu yaitu mengajak manusia serta bersama dengannya untuk menuju kepada terciptanya Negara yang terbaik, dunia yang terbaik, dunia yang khoir, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari segala kemunkaran. Seperti firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 104 :

ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô1t1 1n<Î) Î1ö1s1ø:$#` tbrã1ãBù't1ur

Å$rã1÷èpRùQ$$Î/

tböqyg÷Zt1ur

Ç`tã

Ì1s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd 1cqßsÎ=øÿßJø9$# “Dan hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh

kepada ma’ruf dan mencegah dari

kemunkaran dan merekalah orang-orang yang berbahagia”. (Q.S AliImran: 104)310 Berdasarkan hasil penelitian, Fahrizal Alwis311 pimpinan pesantren mangatakan lewat pesan Allah SWT ini seyogyanya pesantren Thawalib menajamkan perannya di Masyarakat, yaitu dengan tiga poin penting berikut ini: 1.Mengajak kepada kebaikan. Tentu saja tidak akan efektif dalam mengajak kepada kebaikan , bila pesantren bukan yang terbaik dalam segala hal , tidak mempunyai prestasi dan bernilai plus dimata masyarakat, tidak berdaya guna bagi stake houlder sekitar pesantren, maka seyogyanya hal ini yang pertama dikedepankan yaitu upaya perbaikan tanpa henti untuk menjadi yang terbaik dalam bidang-bidang berikut : Pertama: Terbaik dalam Manajemen, baik itu managemen pengelolaan, managemen kepemimpinan, managemen keuangan , managemen 310Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya 311Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

140

Kedua:

Ketiga:

pemasaran, managemen pengendalian mutu, managemen organisasi, managemen konplik, dan managemen sumber daya manusia. Terbaik dalam kompetensi kelulusan, baik out put para santri, dinilai secara porto polio. Juga out comenya, dimana para santri lebih aktif berbaur, menjadi suntikan electron ditengah–tengah masyarakat maju. Dengan menjadi pandu dalam segala hal. Pesantren harus mampu menelorkan para santri yang cerdas, kreatif, inovatif, komitmen dan tentu soleh , takwa juga punya jiwa jihad. Para alumni yang betul-betul menjadi lokomotif bagi masyarakat sekitarnya agen of change dan agen of control bagi lingkungannya . Terbaik dari sisi produk, sarana dan prasarana. Pesantren hendaknya menjadi pilot proyek dalam sumber informasi dan teknologi , menjadi altertnatif pembentukan masyarakat madani, dengan menampilkan sosok yang maju, sejahtera dan taqwa.312

2.Memerintahkan kepada yang ma’ruf. Hal yang ma’ruf adalah segala sesuatu yang dipandang baik oleh syara’ walaupun adat tidak memandangnya baik. Disini peran pesantren begitu besar dalam merubah paradigma dimasyarakat tetang ma’ruf itu sendiri agar dipandang baik oleh masyarakat dan menjadi tradisi yang dimiliki masyarakat muslim . Menurut penulis Ada beberapa tingkatan dalam pelaksanaan peran ini; Pertama, tingkatan sosialisasi yaitu menginformasikan seluruh ajaran Islam dengan berbagai cara dan kemasan yang menarik kepada masyarakat. Kedua, melakukan himbauan akan pentingnya melaksanakan ajaran Islam secara kaafah dan melakukan keteladanan dalam pelaksanaan tersebut. Ketiga, melakukan pengkondisian dengan mencetak kader–kader militan yang siap menjadi pandu di masyarakat , juga kerja sama serta koordinasi yang baik dengan berbagai pihak terutama pemerintah dalam penerapan yang ma’ruf ini. Keempat, melarang dari hal yang munkar. Munkar adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syariat Islam walaupun tradisi menganggapnya baik. Disini Peran pesantren Thawalib berupaya merubah paradigma

dimata masyarakat untuk menganggap jelek setiap

kemungkaran walaupun tradisi leluhur menganggap baik. 312Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 12

141

Menurut tokoh masyarakat Tanjung Limau, ada 4 (empat) cara yang mungkin dapat dilakukan pengelola pesantren: Pertama, taraf sosialisasi yang hati-hati, cermat , jelas, lemah lembut dan bijaksana. Kedua, upaya keteladanan secara sistematik dan sistemik dalam menjauhkan diri dari kemunkaran. Ketiga, upaya pemberian stigma negatif secara sosial dan budaya akan jeleknya kemunkaran tersebut. Keempat, melakukan gerakan sosial kemasyarakatan dengan propaganda halus dalam memerangi kemunkaran tersebut.313 Selain peran di atas menurut penulis, pesantren peran

perlu menajamkan

dalam pemberdayaan masyarakat terutama saat sekarang ini. Ada

beberapa upaya yang dapat dikembangkan dalam pola pemberdayaan masyarakat ini diantaranya : (1) meningkatkan kualitas SDM dari para pengasuhnya dengan berbagai pelatihan, lokakarya seminar dan work shop, (2) penempatan sarjana pendamping bersama pesantren untuk membangun pesantren itu sendiri dan bersama dengan sarjana pendamping membangun masyarakat, (3) pengembangan sarana dan prasarana pendidikan agar tujuan yang telah ditetapkan akan mudah tercapai, (4) meningkatkan pengembangan ilmu dan keterampilan agar para lulusan pesantren dapat berhasil dan berdaya guna serta berkarya, (5) mengembangkan kelembagaan yang siap berkompetisi Sekolah umum lainnya. Dari uraian di atas, dapat penulis tegaskan, bahwa Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah berusaha dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar. Hal ini dilakukan sejalan dengan visi dan misi yang dimiliki oleh pesantren ini. Dan keberadaan masyarakat Pondok Pesantren dalam hal ini, baik pengurus yayasan, pimpinan, ustadz, santri dan masyarakat tertata dan penuh tanggung jawab lahir dan batin, jasmani dan rohani, hati dan pikirannya benar-benar ada di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Perkembangan sebuah pesantren bergantung kepada pribadi pimpinannya. Buya atau kyai merupakan cikal bakal dan elemen pesantren yang paling pokok. Itulah sebabnya kelangsungan hidup dan perkembangan sebuah pesantren sangat bergantung kepada kemampuan pesantren tresebut untuk melahirkan generasi yang berkualitas. Melalui peran pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan inilah kemudian, pesantren mampu 313Mahmud St. Batuah , Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari 2009

142

mengembangkan pendidikannya dari berbagai bidang. Seperti yang diungkapkan oleh pimpinan pesantren, bahwa Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang memiliki lintas sektoral dibawah pembinaan Departemen Agama dan Dinas Pendidikan, maka secara pasti kurikulum pada pesantren ini melaksanakan dan mengembangkan ilmu-ilmu umum, seperti bahasa Inggris, IPS, IPA dan lainya yang sesuai dengan kurikulum pendidikan nasional.314 Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang berusia lebih setengah Abad ini, meskipun telah mengunakan sistem khalaf, akan tetapi sistem tradisonal masih melekat pada dirinya, ini terlihat pada kepemimpinan buya yang masih tetap mengajarkan kitab-kitab kaum salaf. Untuk mewujudkan output yang lebih berkualitas, pihak pengelola, baik yayasan maupun pimpinan pondok telah berusaha melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang ada di Kabupaten Tanah Datar, baik yang bersifat lembagalembaga pendidikan, ataupun dengan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya. Dan tak kalah pentingnya, pesantren ini mencoba melakukan kerja sama dengan pemerintah dan swasta. Hal ini dilakukan dalam rangka mengembangkan lembaga dan untuk memperoleh dana sebagai penunjang operasionalnya lembaga ini. Dan terakhir penulis simpulkan, bahwa sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren telah eksis di tengah-tengah masyarakat semenjak zaman kolonial. Pesantren berperan dalam berbagai bidang secara multidimensional, baik yang berkaitan langsung dengan aktivitas pendidikan pesantren maupun di luar wewenangnya. Pesantren memiliki peranan penting dalam sejarah pendidikan di tanah air dan telah banyak memberikan sumbangan dalam mencerdaskan rakyat. Pesantren menjadi pusat pengembangan keterampilan dan teknologi tepat guna bagi

masyarakat desa, pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya,

sebagai pusat reproduksi ulama, sebagai pusat transmisi ilmu-ilmu Islam, sebagai pusat pelatihan, dan sebagai pusat pendidikan lembaga Majlis Ta’lim dan didikan Subuh. Peran seperti inilah peranan yang dijalankan oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar dalam mengembangkan 314Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 Februari 2009

143

pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar.

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Latar belakang berdirinya pesantren Thawalib Tanjung Limau ini dari Surau Gadang Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi generasi muda Tanjung Limau dengan mengunakan sistem halaqah. Guru yang mula-mula mengajar adalah Syekh Sulaiman Al- Mufassir AlMansyur. Pondok Pesantren ini berdiri dalam rangka menjawab tantangan dan kekurangan Kader Ulama dan Kader Pimpinan Masyarakat di Minang Kabau, yang dikenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Adapun Tujuan didirikannya pesantren ini adalah untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama intelektual, intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta berguna bagi masyarakat. Dan Visi yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Thawalib ini yaitu Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam

144

Syari'ah, Uswatun Hasanah

dalam Akhlaq, dengan misi yang diemban

adalah: mempersiapkan kader ulma, mubaligh, imam, khatib, dan cendikiawan,

mempersiapkan

kader

pemimpin

masyarakat,

mempersiapkan kader muda yang berjiwa wiraswasta, mempersiapkan kader muda yang siap membela agama, masyarakat, dan negara, mempersiapkan kemahiran berbahasa asing (Indonesia, Jepang, Arab, dan Inggris), dan menghasilkan lulusan yang memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah. Pondok Pesantren Thawalib menerapkan sistem manejemen yang sesuai dengan sistem pondok pesantren yang ada di Indonesia. Karena Pondok Pesantren ini berada di bawah naungan Departemen Agama, maka manajemen dan sistem

pendidikan yang diselenggarakan adalah :

Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA). Pondok Pesantren Thawalib menerapkan manejemen salaf dan khlaf Metode pembelajarannya mengunakan sorongan, bandongan, halaqah, hafalan, dan klasikal. 2. Kurikulum yang dipakai di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung limau, yaitu dengan mengadopsi kurikulum Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional dan kurikulum kepesantrenan. Penerapan kurikulum ini mendapat respon dari masyarakat, sehingga adanya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pesantren. Di sisi lain pesantren dalam melakukan pengembangan kurikulum juga memperhatikan, mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti yang dirumuskan dalam UU, Keputusan Pemerintah, peraturan Daerah dan lain sebagainya. Menganalisis budaya masyarakat tempat pesantren berada. Menganalisis kekuatan serta potensi daerah. Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja. Menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat sekitar. 3. Proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib

145

Tanjung Limau masih mengunakan kompenen-komponen pendidikan Islam, seperti adanya Buya selaku pimpinan, ada ustadz untuk mengajar ilmu agama (kitab), guru untuk mengajar pelajaran umum, ada santri /siswa, ada Masjid sebagai sarana pegajian, ada sarana dan prasarana lainnya, mempunyai buku /kitab sebagai sumber belajar, dan juga mengunakan evaluasi untuk mengukur kemampuan santri dalam penguasaan materi yang telah diajarkan, baik tertulis maupun lisan dan praktek. 4. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki cita-cita untuk membangun generasi Islam, pondok pesantren ini dihadapkan pada faktor penghambat dan pendukung. Faktor Penghambat, seperti masalah ekonomi, kurangnya perhatian pemerintah darerah terhadap lembaga swasta, kompetisi yang tidak seimbang dengan sekolah umum, serta terjadinya perubahan nilai di masyarakat. Meskipun kendala banyak, namun pesantren tetap eksis dan optimis untuk mencerdaskan anak bangsa dan memberikan pengetahuan agama, karena pesantren ini masih didukung oleh beberapa faktor pendukung, seperti: Sarana dan prasarana yang sudah agak memadai, tenaga pendidik/ustadz yang berkompeten, serta adanya rencana kerja yang jelas (Master Pan Pondok Pesantren Thawalib). 5. Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang telah berusia 85 tahun, telah banyak menciptakan Alumni yang sudah bekerja sesuai dengan profesi dan nasib masing-masing, seperti menjadi Polisi, Pengacara, Hakim, Dosen/Guru, pengusaha, pedagang, dan lain-lain. Peranan yang telah berhasil dikembangkan di Pondok Pesantren Thawalib dalam bentuk kelembagaan berupa : terbentuknya Persantuan Mubaligh yang akan berdakwah ke setiap Masjid dan Mushala yang ada dalam Kabupaten Tanah Datar (Majlis Ta’lim) dan Lembaga Didikan Subuh Kecamatan Pariangan. Pengembangan dalam peningkatan Simber daya manusia, yaitu meberikan pelatihan dan seminar serta workshop bagi guru dan masyarakat. Pengembangan lain adalah di bidang pendidikan umum yaitu

146

diajarkannya ilmu-ilmu umum serta adanya jurusan umum di pesantren ini (jurusan IPS). Pengembangan terhadap sarana dan prasarana, yaitu menambah lokal dan mendirikan labor komputer dan bahasa bagi santri, serta menambah media pembelajaran. Dan pengembangan dalam pendidikan

keterampilan

yakni

dibuka/diadakannya

tempat

untuk

peningkatan ekonomi pesantren dalam bentuk Tempat Pendidikan Usaha Santri (TPUS) berupa Koperasi Pondok Pesantren, pengembangan bidang agrobisnis bidang peternakan sapi potong, TTG, dan pelatihan-pelatihan menjahit dan bordir, perbengkelan dan elektronik serta komputer. Usahausaha di atas berguna bagi santri dan masyarakat sekitarnya.

B.Saran-saran Mengingat peranan Pondok Pesantren Thawalib penting dalam proses pengembangan pendidikan Islam di masyarakat, maka dalam kerangka membangun eksistensi pesantren di tengah-tengah perubahan zaman yang sedang menglobalisasi ini, penulis menyarankan sebagai berikut : 1. Pesantren lebih memperhatikan dan mengembangkan wawasan berpikir keilmuan dari sistem pendidikan nasional, yaitu metode berpikir deduktif, induktif, kausalitas, dan kritis. Hal ini sangat penting artinya, jika kita masih mengangap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang komprehensif dalam mencetak kader ulama sebagai pendakwah umat dalam amar makruf dan nahi mungkar. 2.

Pesantren perlu melakukan inovasi-inovasi yang sifat untuk kemajuan santri selama inovasi tersebut masih dalam kerangka sistem pendidikan Islam dan konsep islam yang dianut. Hal ini dimaksudkan agar pesantren tidak selamanya dikatakan sebagai komunitas yang kolot dan terbelakang.

3. Dalam penerapan kurikulum yang diadopsi dari pemerintah dalam hal ini yang bersifat ilmu umum, sebaiknya pondok pesantren mewarnainya dengan pendidikan Islam itu sendiri,artinya pendidikan tersebut masih dalam ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.

147

4.

Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat akan tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap Islami, dan terasa bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis pembinaan umat. Materimateri kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat khotbah jum’ah dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan masa depan. Pondok pesantren dan mesjid perlu menggalang kerjasama dengan para ulama dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang tergabung dalam perguruan tinggi yang ada di sekitarnya.

5. Pendidikan Pesantren di masa depan harus menjadi pendidikan yang mampu melahirkan anak-anak didik yang tidak hanya cemerlang secara intelektual tetapi juga memiliki kecermelangan dalam sikap moral. Oleh karena itu, dari sudut pengembangan akademik, pendidikan pesantren ditantang

untuk

memberikan

muatan-muatan

ilmu

eksak

dalam

kurikulumnya, agar out putnya dapat menguasai IPTEK dengan baik, sehingga pesantren ini mampu mengharumkan dan mengangkat prestasi Kabupaten Tanah Datar diantara kabupaten-kabupaten lain yang ada di propinsi Sumatera Barat bahkan di tingkat nasional.

148

149

Related Documents

Tesis Perbaikan Sidang
June 2020 11
Tesis Perbaikan 12345
June 2020 10
Sidang Kp.pptx
May 2020 17
Sidang Semprol.pptx
June 2020 14
Data Sidang
May 2020 7
Sidang Video.
May 2020 21

More Documents from ""

Abstrak
June 2020 43
Tesis Perbaikan Sidang
June 2020 11