Tesis Mba Widi

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tesis Mba Widi as PDF for free.

More details

  • Words: 7,291
  • Pages: 46
HUBUNGAN PENGUASAAN STRUKTUR BAHASA DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KETERAMPILAN BERBICARA Sebuah Survei Siswa Kelas V SD di UPT Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Unit Kecamatan Petanahan Usulan Penelitian Tesis ini Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh Widi Riani S 840908127

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

HUBUNGAN PENGUASAAN STRUKTUR BAHASA DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KETERAMPILAN BERBICARA Sebuah Survei Siswa Kelas V SD di UPT Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Unit Kecamatan Petanahan

Disusun oleh Widi Riani S 840908127 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing Jabatan Pembimbing I

Nama Dr. Budhi Setiawan , M.Pd. NIP. 131809046

Pembimbing II

Dr. Retno Winarni, M.Pd. NIP. 131127613

Tanda tangan

Mengetahui Ketua Program Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP. 130692078

Tanggal

DAFTAR ISI

JUDUL....................................................................................................................i PENGESAHAN.....................................................................................................ii DAFTAR ISI.........................................................................................................iii BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................1 B. Perumusan Masalah........................................................................4 C. Tujuan Penelitian............................................................................4 D. Manfaat Penelitian..........................................................................5

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Teori....................................................................................6 1. Hakikat Keterampilan Berbicara..............................................6 2. Hakikat Penguasaan Struktur Bahasa.....................................13 3. Hakikat Motivasi Belajar........................................................16 B. Penelitian yang Relevan...............................................................24 C. Kerangka Berpikir........................................................................25 1. Hubungan antara Penguasaan Struktur Bahasa dengan Keterampilan Membaca.............................................25 2. Hubungan antara Motivasi Belajar dan Keterampilan Berbicara...................................................25 3. Hubungan antara Penguasaan Struktur Bahasa dan Motivasi secara Bersama-sama dengan Keterampilan Berbicara..........26 D. Hipotesis Penelitian .....................................................................28

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................29 1. Tempat Penelitian ...................................................................29 2. Waktu Penelitian .....................................................................29 B. Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel........................30 1. Populasi ..................................................................................30 2. Sampel ....................................................................................30 3. Teknik Penarikan Sampel .......................................................30 C. Desain Penelitian..........................................................................31 D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...............................31 1. Variabel Penelitian ..................................................................31 2. Definisi Operasional ...............................................................32 E. Teknik Pengumpulan Data...........................................................33 F. Instrumen Penelitian ....................................................................33 G. Validitas dan Reabilitas Instrumen ..............................................35 1. Validitas Instrumen .................................................................35 2. Reabilitas Instrumen ...............................................................36 H. Uji Normalitas .............................................................................37 I. Teknik Analisis Data ....................................................................38 J. Hipotesis Statistik.........................................................................39 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi yang umum dalam masyarakat. Tidak ada masyarakat di manapun mereka tinggal yang tidak memiliki bahasa. Bagaimanapun wujudnya sikap masyarakat pastilah memiliki bahasa sebagai alat komunikasi. Sekalipun ada diantara kita yang membayangkan tulisan bila mendengarkan pembicaraan tentang bahasa, namun bahasa sebenarnya adalah ucapan. Bahasa diucapkan dan didengar, bukan ditulis dan dibaca, hanya pada masyarakat yang sudah relatif maju, yang sudah menemukan tulisan, bahasa itu kemudian ditulis dan dibaca, disamping tetap ada yang diucapkan dan didengarkan. Pada masyarakat yang belum mengenal tulisan dan ini cukup banyak jumlahnya bahasa selalu diucapkan dan didengarkan. Keterampilan berbicara yang merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa memiliki peran yang strategis. Nanang Edi Wasono (1997: 7.1) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki keterampilan berbicara mudah dalam menyampaikan ide dan gagasan kepada orang lain, keberhasilan menyampaikan ide dan gagasan sehingga dapat diterima oleh orang yang mendengarkan atau yang diajak berbicara. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa keterampilan berbicara sangat layak untuk dikuasai. Untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa dengan

baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosakata yang bersangkutan. Di samping itu diperlukan juga penguasaan masalah dan atau gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahami bahasa lawan bicara. Untuk dapat menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara selain menguasai masalah yang dibicarakan, juga harus memperlihatkan keberanian dan kegairahan. Selain itu pembicara harus berbicara dengan jelas dan tepat. Dalam hal ini ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh pembicara yaitu aspek kebahasaan meliputi pengucapan vokal, pengucapan konsonan, penempatan tekanan, pilihan kata, pilihan ungkapan, variasi kata, tata bentuk, struktur kalimat, dan ragam kalimat. Serta aspek nonkebahasaan meliputi keberanian dan motivasi, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan mata, gerak-gerik dan mimik, keterbukaan, penalaran dan penguasaan topik. Berdasarkan

kenyataan-kenyataan

sebagaimana

yang

dikemukakan

di atas, dapat dikatakan bahwa keterampilan berbicara telah menjadi kebutuhan bagi setiap individu dalam kehidupan. Namun, perlu disadari bahwa keterampilan berbicara itu tidaklah diperoleh secara alamiah, tetapi melalui proses pembelajaran yang sebagian besar merupakan tugas dan tanggung jawab pengajar. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia baik di berbagai jenjang maupun jenis sekolah, dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, keterampilan berbicara sangat diperhatikan pembinaannya. Dalam Permendeiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI mata pelajaran Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

dan

bahasa

menggunakannya

negara.

dengan

tepat

(3) dan

Memahami kreatif

bahasa untuk

Indonesia

berbagai

dan

tujuan.

(4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperluas budi pekerti,

serta

meningkatkan

pengetahuan

dan

kemampuan

berbahasa.

(6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Di sekolah dasar telah ditetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar berbicar dengan tujuan setelah siswa lulus SD telah menguasai keterampilan berbicara dengan baik. Meskipun telah dirancang sedemikian rapi, namun pada kenyataannya keterampilan siswa SD masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Purwanto menunjukkan rendahnya keterampilan berbicara pada siswa ini antara lain disebabkan kurangnya pembinaan keterampilan berbicara. Rendahnya motivasi belajar juga diduga menjadi faktor penting dalam keterampilan berbicara. Untuk dapat berbicara dengan baik diperlukan penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar yang tinggi. Jawaban-jawaban yang diketengahkan di atas belum teruji kebenarannya. Oleh karena itu, untuk memastikan ada tidaknya hubungan yang positif antara

penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar dengan keterampilan berbicara, diperlukan penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di muka, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan positif antara penguasaan struktur bahasa dengan keterampilan berbicara? 2. Apakah terdapat hubungan positif antara motivasi belajar dengan keterampilan berbicara? 3. Apakah terdapat hubungan positif antara penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh informasi tentang penguasaan struktur bahasa, motivasi belajar siswa, dan keterampilan berbicara. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Ingin mengetahui ada tidaknya hubungan positif antara penguasaan struktur bahasa dan keterampilan berbicara.

2. Ingin mengetahui ada tidaknya hubungan positif antara motivasi belajar dengan keterampilan berbicara, 3. Ingin mengetahui ada tidaknya hubungan positif antara penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi serta seni budaya, khususnya di bidang pendidikan, terfokus lagi dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan bagi pimpinan sekolah untuk mengarahkan siswanya dalam meningkatkan keterampilan berbicara. b. Bagi orang tua, sebagai bahan masukan agar orang tua aktif mendorong motivasi belajar anaknya agar keterampilan berbahasanya baik. c. Bagi guru, memberi gambaran tentang arti pentingnya penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar bagi pengembangan keterampilan berbahasa.

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Hakikat Keterampilan Berbicara Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah kemudian manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara (Burhan Nurgiyantoro, 2001: 276). Lebih lanjut dinyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasa, dan perasaan (Henry Guntur Tarigan, 1981: 15). Sejalan dengan pendapat Tarigan adalah pendapat Mulgrave (1954: 3-4) yang mengacu pada kamus dan berbunyi: ‘menurut kamus, berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyibunyi bahasa atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran. Keterangan lebih lanjut dari batasan ini adalah, berbicara merupakan system tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otot-otot dan jaringan otot manusia untuk mengkomunikasikan ide-ide. Selanjutnya berbicara merupakan bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis fisik, psikis, neorologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat dianggap sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan control soaial’.

Jadi pada hakikatnya, berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. ‘Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara ini dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara (Depdiknas, 2005: 8)’. Seseorang yang mengucapkan bunyi-bunyi bahasa berbicara cenderung membutuhkan pendengar sehingga dapat terjadi komunikasi. Untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosa kata yang bersangkutan. Disamping itu diperlukan juga penguasaan masalah dan atau gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahami bahasa lawan bicara. Kemampuan berbicara dalam hal ini dipandang bukan lagi sebagai ilmu melainkan lebih dipandang sebagai keterampilan karena memperolehnya perlu dipraktikkan atau digunakan. Hanya melalui praktik dan latihan berbicara secara memadai, kemampuan siswa dalam berbicara bisa meningkat (Mark D. Offiner, 2001; 2). Menurut Sarwiji Suwandi dan Budhi Setiawan (2003: 7), pengertian berbicara tidak sama dengan wicara. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Berbicara tidak hanya sekedar sarana komunikasi. Sehubungan dengan itu, Suyanto (1988: 189) mengatakan efektif tidaknya seseorang dalam berbicara tergantung pula pada alat-alat ujar apakah dapat berfungsi dengan

baik ataukah terganggu yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran berbicara. Menurut Burhan Nurgiyanto (2001: 252) dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan. Henry Guntur Tarigan (1985: 15) menyatakan bahwa, berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neulogist, semantik dan linguistik sedemikian ekstensif. Secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Pendapat Arthur Hugher (2003: 113) sebagai berikut: “The objective of teaching spoken language is the development of the ability to interact succesfully in that language” Tujuan pengajaran berbicara adalah untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi atau berkomunikasi secara berhasil dalam bahasa tersebut. Komunikasi dapat dipandang sebagai suatu kombinasi perbuatan atau tindakan-tindakan serangkaian unsur-unsur yang mengandung maksud dan tujuan. Proses berbicara berlangsung dalam dua tahap, yaitu (1) proses pemerolehan bahasa, dan (2) proses produksi bahasa, yang keduanya mempunyai kaitan erat, karena pemerolehan bahasa akan diwujudkan dalam kemampuan memproduksi bahasa. Berbicara bukan sekedar menggerakkan alat ucapk, lebih dari itu, berbicara berarti mengekspresikan gagasan dalam pikiran manusia dan mengekspresikan kognisinya.

Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan. Lambang yang berupa tanda-tanda visual tidak seperti yang dibutuhkan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya orang yang buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para penutur asli. Penutur demikian mungkin bahkan tidak menyadari kompetensi kebahasaannya, tidak mengerti sistem bahasanya sendiri. Kenyataan itu membuktikan bahwa penguasaan bahasa lisan lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kemampuan berbicara seharusnya mendapatkan perhatian yang cukup dalam pengajaran bahsaa. Berbicara dalam situasi yang formal, tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Walaupun secara alamiah setiap orang mampu berbicara, namun berbicara secara formal atau dalam situasi yang resmi menimbulkan kegugupan sehingga gagasan yang dikemukakan menjadi tidak teratur dan akhirnya bahasanya pun menjadi tidak teratur. Dengan demikian berbicara dalam situasi yang resmi memerlukan persiapan dan menuntut keterampilan. Kegiatan berbicara bukanlah sekedar merupakan hal penguasaan masalah atau gagasan yang akan disampaikan dan mampu memahami lawan bicara, tetapi juga harus mampu menguasai lafal, struktur, dan kosa kata. Selain itu tujuan seseorang berbicara adalah ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, atau ingin memberikan reaksi terhadap sesuatu yang didengarnya. Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain atau lawan bicaranya. Agar dapat menyampaikan pembicaraan secara

efektif, sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya. Karena pembicara ingin disimak, ingin di dengar. Kegiatan berbicara tidak hanya menyampaikan pokok pembicaraannya, tetapi juga harus komunikatif dengan pendengarannya agar kegiatan berbicara lebih efektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan berbicara yaitu pembicara, pendengar, dan pokok pembicaraan yang dipilih. Pembicara harus memperhitungkan siapa pendengarnya dan menyesuaikan bahasanya dengan pendengarnya, baik diksi maupun strukturnya. Menurut Henry Guntur Tarigan, dkk, ada lima unsur dasar pengklasifikasian berbicara (1997/1988) yaitu: 1) Berdasarkan situasi, (diskusi kelompok, simposium, seminar, curah pendapat). 2) Berdasarkan tujuan, 3) Berdasarkan jumlah pendengar, 4) Berdasarkan peristiwa khusus, 5) Berdasarkan metode penyampaian. Untuk mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata dalam mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran harus disertakan kemampuan untuk pelaksanaanya. Tanpa kemampuan memanfaatkan faktorfaktor fisik, psikologis dan neurologist, banyak informasi yang tidak dapat diserap oleh pendengar dalam proses komunikasi. Dalam berbicara penutur berusaha untuk menyampaikan gagasan dan idenya kepada orang lain dalam bentuk bahasa lisan Richard (1983: 226) dalam Nunan (1992: 72) menulis: Dalam wacana lisan tidak direncanakan sebelumnya, tetapi diproduksi dalam waktu yang sinambung dengan saling kerjasama oleh karena itu, wacana lisan menyajikan makna dengan acara yang sama sekali berbeda dengan wacana tulisan. Topik dikembangkan berangsur-angsur dan konvesi pengembangan topik dan perubahan topik adalah distingtif

terhadap laras budaya lisan, dalam wacana lisan yang mempunyai sifat yang sesaat dan biasanya interaktif pembicara lebih banyak bervariasi tentang keadaan pengetahuan mutakhir pendengarannya. Jadi pengetahuan skematis menyediakan hal yang penting, mengenai pengetahuan skematis Brown dan Yule (1983) dalam Nunan (1992: 79) menulis: “Penutur asli dalam konteks situasi. Ia menghadapi konteks itu dengan seperangkat pengetahuan yang berbentuk tetap yang telah dikembangkan sejak pertama kali ia belajar bahasa, sebagai kanak-kanak dalam budaya. Bagi penutur asli skema kultural tersebut sudah dikembangkan sepanjang hidup mereka menggunakan pengetahuan tetap mereka akan komponen-komponen ini untuk menentukan pemahamannya, serta mengambil kesempatan mengenai apa yang mungkin dikatakan oleh pembicara.” Yang dimaksud dengan konteks situasi mencakup komponen berikut: (1) pembicara, (2) pendengar, (3) tempat, (4) waktu, (5) jenis, (6) topik. Tempat, waktu dan topik akan menciptakan harapan dalam pikiran pendengar berdasarkan pengalaman sebelumnya. Mengacu pada pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa inti dari wacana lisan adalah berbicara, sedangkan inti dari berbicara adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide dalam bahasa lisan, dan penentuan pemahaman bagi pendengar yang disebut situasi pembicaraan. Maidar G. Arsyad (1997: 7) menyatakan bahwa faktor-faktor penunjang keefektifan berbicara meliputi faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Untuk mengukur kemampuan berbahasa siswa dalam mempergunakan aspek keterampilan berbahas digunakan tes integrative. Teori integrative timbul dari reaksi teori diskrit yang memecah-mecah unsur kebahasaan, bersamaan waktunya dengan populernya pendekatan komunikatif yang bersifat alami dalam pengajaran berbahasa. Ternyata bahwa untuk mengetahui

kemampuan berbicara siswa dapat dilakukan dengan cara mengukur keterampilan berbicara. Untuk dapat menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara selain menguasai masalah yang dibicarakan, juga harus memperlihatkan keberanian dan kegairahan. Selain itu pembicara harus berbicara dengan jelas dan tepat. Dalam hal ini ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh pembicara. Untuk keefektifan berbicara, perlu diperhatikan aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Untuk menyampaikan ide/gagasan yang diungkap oleh pembicara kepada orang lain dalam bentuk wacana lisan mutlak diperlukan kegiatan berbicara, tanpa adanya kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan, banyak informasi yang tidak dapat dimengerti oleh pendengar. Seorang pembicara dapat mengungkapkan pikiran dari isi hatinya kepada orang lain dalam kemampuan berbahasa sebagai suatu bentuk berkomunikasi. Dari berbagai pendapat pakar dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk menghasilkan ujaran untuk mengungkapkan pendapat, ide-ide, atau gagasan dengan memperhatikan aspek kebahasaan dan non kebahasaan dalam rangka mempertahankan hubungan sosial atau menyampaikan informasi. Sasaran utama tes kemampuan berbicara perlu dipastikan tingkatannya. Tujuan pokok penyelenggaraan tes berbicara adalah untuk mengetahui dan mengukur kemampuan bahasa yang aktif dan produktif dalam pengungkapan isi dan makna dari pesan yang diungkapkanya.

Sebagai halnya tes untuk kemampuan bahasa dan komponen bahasa yang lain tes untuk menyatakan tingkat kemampuan berbicara dapat diselenggarakan dengan menggunakan berbagai format tes yang tersedia. Tes berbicara dapat disajikan dalam berbagai bentuk, dengan cara meniru, (mimicry), tes ingatan (memorization), wawancara, tes bergambar, tes intonasi, dan tes tekanan kalimat. Pedoman untuk penilaian kegiatan berbicara berdasarkan faktor-faktor panjang antara lain: 1)

Faktor kebhasaan, yang mencakup: (a) pengungkapan vokal; (b) pengungkapan konsonsn; (c) penetapan tekanan; (d) penempatan persendian; (e) penggunaan nada irama; (f) pilihan kata; (g) variasi kata; (h) tata bentukan; (i) struktur kalimat dan (j) ragam kalimat.

2)

Faktor nonkebahasaan mencakup: (a) keberanian dan semangat; (b) kelancaran; (c) penyaringan suara; (d) pandangan mata; (e) gerakgerik dan mimik; (f) keterbukaan; (g) penalaran dan (h) penguasaan topik.

2. Hakikat Penguasaan Struktur Bahasa Setiap bahasa mempunyai struktur yang khas bagi bahasa yang bersangkutan. Saskatchewan Education Government of Saskatchhewan menyatakan bahwa setiap bahasa adalah unit dalam kosakata dan kalimatkalimat yang disusun dan diujarkan untuk menciptakan dan menyampaikan makna. Grammar atau tata bahasa mengacu pada analisis bahasa secara

deskriptif yang mencoba menjelaskan prinsip-prinsip struktur bahasa dan susunan kata-kata. Tata bahasa adalah deskripsi formal dari struktur bahasa (http://www.susked.gov.sk.ca/docs/ella_gram.html). Struktur mempunyai penting dalam bahasa. Istilah struktural adalah nama susunan (atau konstituen di dalamnya) dari kiri ke kanan, yaitu sebagai susunan segmen-segmen (Verhaar, 1996: 369). Struktur sering diistilahkan dengan tata bahasa, struktur gramatikal, atau kaidah bahasa (Burhan Nurgiyantoro, 1988:184). Lewat struktur struktur bahasa seseorang dapat memahami (reseptif) dan menyampaikan (produktif) makna komunikasi. Karena struktur bahasa merupakan hal yang penting maka penguasaan terhadap struktur bahasa sangat diperlukan. Struktur bahasa menunjukkan aturan atau kaidah bahasa. Apabila kaidah bahasa tersebut dipahami dan dikuasai oleh seseorang memungkinkan untuk memahami pembicaraan dari pihak lain dengan tepat, dan dapat menyampaikan ide, gagasan, perasaan, dan kemauan kepada pihak lain dengan tepat pula. Terdapat berbagai pendapat mengenai cakupan struktur bahasa. Ada ahli yang menyatakan bahwa struktur bahasa terdiri dari morfologi dan sintaksis saja, ada pula yang memasukkan unsur fonologi Verhaar (1996: 12) menyatakan bahwa struktur bahasa meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis. Selanjutnya ia menegaskan bahwa yang termasuk dalam tata bahasa adalah morfologi dan sintaksis, sedangkan fonologi tidak bermakna, tetapi berfungsi sebagai pembeda makna. Lyons (1995: 167) menyebutkan bahwa

tata bahaa tradisional bekerja dengan dua satuan dasar deskripsi gramatikal yaitu kata dan kalimat, atau dengan kata lain tata bahasa mencakup morfologi dan sintaksis. Pendapat-pendapat di atas menyatakan bahwa struktur bahasa terdiri dari morfologi dan sintaksis, sedangkan fonologi tidak termasuk dalam struktur bahasa karena tidak mengandung makan tetapi hanya berfungsi sebagai pembeda makna. Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, Samsuri (1987: 44) menyatakan bahwa struktur bahasa mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis. Selanjutnya ia menyatakan bahwa tata bahasa tidak lain adalah kepandaian membuat kalimat-kalimat gramatikal, terutama bagi para murid. Pendapat lain dinyatakan oleh Chomsky (1964: 16) yang menyatakan bahwa gramatika meliputi tiga komponen, yaitu komponen fonologis, komponen sintaksis, dan komponen semantis. Pendapat-pendapat tersebut menyatakan bahwa cakupan struktur bahasa meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping itu juga semantis. Berbagai pendapat sehubungan dengan cakupan struktur bahasa yang telah dipaparkan di atas tampak ada perbedaan, namun bila dicermati dengan seksama pada hakikatnya sama bahwa struktur bahasa terdiri dari morfologi dan sintaksis. Dimasukkannya fonologi ke dalam struktur bahasa dapat dijelaskan bahwa di dalam kenyataan berbahasa, morfologi dan sintaksis tersusun dari gabungan atau susunan fonem-fonem secara bersistem. Fonem-

fonem sendiri tidaklah mempunyai makna, baik secara leksikal maupun gramatikal. Fonem-fonem tersebut hanya berfungsi sebagai pembeda makna. Istilah kemampuan memahami struktur bahasa mencakup konsep, yakni kemampuan, memahami, dan struktur bahasa kata ‘kemampuan’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan (2001: 707). Kata pemahaman oleh Mackey (1969: 127) diartikan sebagai masalah penafsiran dan harapan, yaitu penafsiran terhadap apa yang diperoleh dari proses belajar Clark dan Clark (1977: 43) senada dengan Mackey memberikan batasan pemahaman sebagai suatu proses pembentukan interpretasi atau pembentukan pengertian. Senada dengan dua pendapat tersebut, Smith dalam Henry Guntur Tarigan (1987: 43) mengartikan pemahaman atau comprehension sebagai suatu penafsiran atau penginterpretasian pengalaman, menghubungkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahui, dan menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kognitif. Bertolak dari pemaparan teori di atas, maka pada hakikatnya kemampuan memahami struktur bahasa adalah kecakapan atau kemampuan menguasai sistem kaidah atau aturan-aturan dalam bahasa yang meliputi kaidah morfologi, dan sintaksis (struktur kalimat), dan memahami hubungan antar satu satuan kebahasaan. Serta mengenai bagian-bagian kalimat seperti kata, frasa, klausa dan sebagianya sesuai dengan sistem bahasa yang berlaku.

3. Hakikat Motivasi Belajar

Mengawali pembahasan tentang hakikat motivasi belajar berikut dipaparkan pendapat beberapa ahli Sumadi Suryabrata (1984: 70) berpendapat bahwa motif adalah “Keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan”. Pengertian motivasi yang lain dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1984: 174), ia berpendapat bahwa “Motivasi merupakan proses psikologis yang terjadi pada diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang”. Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2001: 71) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan Mc. Donald itu mengandung tiga elemen penting, yakni (1) bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia, (2) motivasi ditandai dengan munculnya rasa/feeling, afeksi seseorang; dan (3) motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yaitu tujuan. Dengan ketiga elemen di atas, maka dapat dikatakan motivasi itu sebagai sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian

bertindak atau melakukan sesuatu. Semua ini didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan. Berdasarkan pendapat Mc. Donald tersebut, Sardiman (2001: 73) berpendapat bahwa motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang itu mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Dari empat pendapat ahli tersebut dapat dibuat simpulan bahwa: 1) motivasi itu menyangkut segala situasi dan kondisi yang berasal dari dalam diri individu maupun dari luar diri individu yang mendorong dan menggerakkan individu untuk melakukan tindakan, perbuatan tertentu; 2) motivasi itu muncul apabila ada kebutuhan dari dalam diri individu dan situasi-situasi tertentu yang merangsang 3) tujuan dari tindakan bermotivasi adalah memuaskan kebutuhan yang muncul di dalam diri individu. Setelah pemaparan teori motivasi, berikut dikemukakan beberapa pandangan tentang belajar. Ada beberapa definisi tentang belajar. Beberapa definisi yang dikutip Sardiman (2001: 20) diantaranya definisi belajar dari Cronbach, Harold Spears, dan Geoch. Cronbach (dalam Sardiman, 2001: 20) memberikan definisi: “Learning is shown by a change in behavior as a result of experience”. Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil pengalaman.

Harol Spears (dalam Sardiman, 2001: 20) memberikan batasan: “Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselvesm to listen, to follow direction”. Belajar adalah pengamatan, membaca, meniru, mencoba sesuatu benda pada dunianya sendiri, mendengarkan mengikuti petunjuk-petunjuk. Geoch (dalam Sardiman, 2001: 20) mentakan “Learning is a change in performance as a result of practise”. Belajar adalah perubahan perbuatan sebagai sebuah hasil praktik. Dari ketiga definisi di atas, maka dapat dinyatakan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan/perbuatan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Di samping definisi-definisi tersebut, ada definisi belajar secara luas, yakni belajar adalah kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya atau belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya (Sardiman, 2001: 20-21). Brown (1994: 38) membedakan sumber motivasi menjadi dua, yakni motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Senada dengan pendapat tersebut, Pasaribu dan Simanjtak (1983: 53) mengutip pendapat dari B. Bonton yang membagi sumber motivasi menjadi 3, yaitu motif intrinsik, motif ekstrinsik, dan motif sosial. Yang dimaksud motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi

aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar sedangkan motivasi sosial adalah motifmotif yang aktif karena kemampuan diterima, dihargai, disetujui, rasa aman dan sebagainya. W. Huilt (http://chiron.voldosta.edu/whuit) menyatakan bahwa sumber motivasi antara lain: 1) Perilaku eksternal yakni perilaku yang (a) didorong oleh rangsangan yang terkait dengan rangsangan secara innate (sudah terbentuk sedari diri); (b) memperoleh konsekuensi yang menyenangkan dan yang diinginkan (penghargaan, atau terhindar dari konsekuensi uang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan; (c) meniru model yang positif. 2) Biologis, yakni sumber kebutuhan motivasi untuk (a) meningkatkan/ menurunkan stimulasi (pembangkit); (b) mengaktifkan indera/rasa. Sentuhan, bau, dan lain-lain; (c) mengurangi rasa lapar), haus, ketidaknyamanan, dan lain-lain; (d) mempertahankan keseimbangan. 3) Kognitif, yakni sumber kebutuhan motivasi untuk (a) mempertahankan atensi terhadap sesuatu yang menarik atau menakutkan; (b) mengembangkan makna/ pemahaman; (c) meningkatkan/mengurangi ketidakpastian; (d) memecahkan masalah atau membuat keputusan; (e) memahami sesuatu; (f) menghilangkan ancaman atau resiko.

4) Afektif, yakni sumber kebutuhan motivasi yang berguna (a) meningkatkan/ menurunkan “disonansi afektif; (b) meningkatkan perasaan baik; (c) mengurangi perasaan buruk; (d) meningkatkan rasa aman atau mengurangi ancaman terhadap harga diri; (e) mempertahankan level optimisme atau antusiasme. 5) Konatif, yaitu sumber kebutuhan motivasi yang berguna untuk (a) memenuhi tujuan yang telah dikembangkan, (b) mencapai impian pribadi; (c) mengontrol diri sendiri; (d) menghilangkan ancaman untuk memenuhi tujuan/impian; (e) menguasai kontrol orang lain terhadap diri sendiri. 6) Spiritual, yakni sumber kebutuhan motivasi yang berfungsi untuk memahami tujuan hidup dan mengaitkan diri sendiri dengan sang pencipta. Sardiman (2001: 82) menyatakan bahwa hasil belajar akan menjadi optimal, kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa motivasi bertalian dengan suatu tujuan. Dengan demikian, motivasi itu mempengaruhi adanya kegiatan seseorang berdasarkan tujuannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Sardiman (2001: 83) memberikan tiga fungsi motivasi. Ketiga fungsi motivasi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. 3) Menyeleksi perbuatan, yakni mencamtukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain sepeda atau menonton televisi, sebab tidak cocok dengan tujuan. Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain. Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang akan melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain bahwa dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seseorang akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya (Sardiman, 2001: 84).

Woodworth dan Marquis (dalam Sardiman, 2001: 86) membagi motivasi menjadi 3 jenis, yakni: (1) Motif atau kebutuhan organis, (2) Motif-motif darurat, dan (3) Motif-motif objektif. Pembagian motivasi dari Fransen yang dikutip Sardiman: (2001: 85) ada tiga, yakni: 1) Cognitive Motives Motif ini menunjuk pada gejala instrinsik, yakni menyangkut kepuasan individual. Jenis motif ini sangat primer dalam kegiatan belajar di sekolah terutama yang berkaitan dengan perkembangan intelektual.

2) Self-expression Penampilan diri adalah sebagian dari perilaku manusia. Yang penting kebutuhan individu itu tidak sekedar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi juga mampu membuat suatu kejadian. Untuk ini memang diperlukan kreativitas, penuh imajinasi. Jadi, dalam hal ini seseorang itu ada keinginan untuk aktualisasi diri. 3) Self-enhancement Melalui aktualisasi diri dan pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang. Ketinggian dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu. Dalam belajar dapat diciptakan suasana kompetensi yang sehat bagi anak dirik untuk mencapai suatu prestasi.

Pembagian motivasi yang lain adalah motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Brwon (1994: 38) membedakan motivasi menjadi dua, yakni motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Senada dengan pendapat tersebut, Pasaribu dan Simanjutak (1983: 53) mengutip pendapat dari B. Borton yang membagi motivasi menjadi 3, yaitu motif instrinsik, motif ekstrinsik, dan motif sosial. Yang dimaksud motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar sedangkan motivasi sosial adalah motifmotif yang aktif karena keinginan untuk diterima, dihargai, disetujui, rasa aman, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa teori tentang motivasi dan belajar yang telah diuraikan di atas, maka dapat disintesiskan bahwa pada hakikatnya motivasi belajar adalah dorongan atau rangsangan pada diri individu untuk kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya atau belajar dimaksudnya sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Pregi Wuryaningsih dari PPS Universitas Sebelas Maret Surakarta

dengan judul “Hubungan antara Derajat Ekstrofersi dan Penguasaan Kosakata dengan Kemampuan Berbicara Siswa SMP Negeri se-Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri”. Penelitian ini dilakukan pada siswa SMP Negeri se-Kecamatan Baturetno Kecamatan Wonogiri Tahun 2007. Penelitian ini mempunyai persamaan dengan penelitian tersebut di atas, persamaan tersebut terletak pada: (1) variabel bebasnya yaitu kemampuan berbicara; (2) metode penelitian yang digunakan yaitu metode survei melalui studi korelasional; (3) teknik analisis data dengan menggunakan teknik analisis regresi dan korelasi, baik sederhana maupun ganda; (4) teknik pengambilan sampel yaitu cluster random sampling. Sementara perbedaannya terletak pada: (1) variabel terikatnya; (2) hipotesisi yang diajukan; (3) tempat, waktu, data, dan sumber data penelitian; (4) jumlah sampel penelitian. C. Kerangka Berpikir

1. Hubungan antara Penguasaan Struktur Bahasa dan Keterampilan Berbicara Berbicara pada hakikatnya berkaitan erat dengan tiga aspek keterampilan berbahasa yang lain. Mackey menyatakan bahwa meluasnya domain pemakaian bahasa akan berhubungan positif dengan kemampuan ekspresinya. Keterampilan berbicara pada hakikatnya adalah keterampilan seseorang menuangkan gagasannya dalam bentuk lisan. Keterampilan berbicara seseorang berkaitan dengan kemampuan berbahasa yang lain diantaranya penguasaan struktur bahasa.

Penuangan gagasan seseorang dalam bentuk lisan akan mudah dipahami oleh orang lain apabila media yang digunakan dalam hal ini bahasa mengikuti kaidah bahasa yang benar. Dengan kata lain, penuangan gagasan secara lisan yang menggunakan struktur bahasa yang benar akan mudah dipahami oleh orang lain. Oleh karena itu, keterampilan berbicara seseorang didukung oleh penguasaan struktur bahasa yang digunakannya. Dari uraian di atas, maka dapat diduga ada hubungan positif antara penguasaan struktur bahasa dengan keterampilan berbicara. 2. Hubungan antara Motivasi Belajar dan Keterampilan Berbicara. Keterampilan berbahasa, baik menyimak, berbicara, membaca dan menulis agar dapat berkembang dengan baik perlu latihan atau belajar. Kegiatan berbahasa anak tersebut dapat terjadi di sembarang tempat. Maka dari itu, diperlukan motivasi dari siswa untuk belajar. Dengan motivasi belajar yang tinggi akan mengarahkan siswa untuk menguasai berbagai bidang ilmu dan mendapatkan banyak fakta dan informasi. Dengan banyaknya informasi yang dikuasai seseorang akan mempermudah orang tersebut untuk menyampaikan kepada orang lain. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diduga ada hubungan positif antara motivasi belajar dan keterampilan berbicara. 3. Hubungan antara Penguasaan Struktur Bahasa dan Motivasi Secara Bersamasama dengan Keterampilan Berbicara Berbicara pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang amat kompleks. Dalam berbicara, seluruh kemampuan dan penguasaan bahasa

seseorang disatupadukan dalam bentuk upaya penuangan gagasan secara runtut, cermat, dan lancar. Agar gagasan yang dituangkan dalam bentuk lisan tersebut dapat dipahami oleh orang lain maka penuangan gagasan tersebut harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh orang lain, tidak menimbulkan penafsiran ganda. Bahasa yang dijadikan media penuangan gagasan mempunyai struktur tersendiri, maka dari itu struktur bahasa tersebut harus dikuasai oleh seorang penulis agar hasil tulisannya dapat dipahami oleh orang lain. Dengan kata lain dengan kemampuan memahami struktur bahasa akan semakin terampil menuangkan gagasannya dalam bentuk lisan. Di lain pihak dapat dikatakan bahwa keterampilan berbahasa yang tidak perlu dilatih atau dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan berbahasa anak sehari-hari dapat berlaku di sembarang tempat. Kemampuan memahami struktur bahasa dan keterampilan menulis di keluarga atau di rumah perlu ditingkatkan. Peningkatan itu perlu didukung motivasi belajar yang tinggi. Dengan motivasi belajar yang tinggi seseorang akan mendapatkan banyak ilmu pengetahuan dan informasi yang nantinya dapat dijadikan bahan dalam berbicara. Dalam pengertian motivasi belajar termasuk belajar berbicara. Belajar menulsi yang dilakukan dengan motivasi Naik yang tinggi akan mengarahkan seseorang akan terampil berbicara. Berdasarkan uraian di atas dapat diduga ada hubungan positif antara Naik Naik penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara siswa. Kemampuan Motivasi Keterampilan Memahami Belajar Berbicara StrukturSecara Bahasavisual, kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas dapat digambarkan sebagai berikut: Turun 1a

3a

Turun 2a

Turun 1b

3b

2b

Gambar 1. Pola Alur Berpikir

Keterangan 1a. Kemampuan memahami struktur bahasa naik, keterampilan berbicara naik juga 1b. Kemampuan memahami struktur bahasa turun, keterampilan berbicara turun juga. 2a. Motivasi belajar naik, keterampilan berbicara naik juga. 2b. Motivasi belajar turun, keterampilan berbicara turun juga. 3a. Kemampuan memahami struktur bahasa dan motivasi belajar naik, keterampilan berbicara naik juga. 3b. Kemampuan memahmai struktur bahasa dan motivasi belajar turun, keterampilan berbicara turun juga. D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Ada hubungan positif antara penguasaan struktur bahasa dan keterampilan berbicara. 2. Ada hubungan positif antara motivasi belajar dan keterampilan berbicara. 3. Ada hubungan positif antara penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian A. Tempat Penelitian Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri UPT Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Unit Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen yang dilakukan pada siswa kelas V. Adapun lokasi penelitian adalah di Gugus Puntadewa , Gugus Werkudara, Gugus Arjuna, Gugus Nakula, dan Gugus Sadewa.

B. Waktu Penelitian Adapun rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

No

Jenis Kegiatan

Mei

Juni

Tahun 2009 Juli Agustus

Sept

Okto

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Penyusunan proposal x x x x 2. Pengakajian dan penyusunan teori 3. Penyusunan instrumen 4. Uji coba dan analisis hasil uji coba 5. Pengumpulan data penelitian 6. Pengolahan dan analisis data 7. Penyusunan penelitian

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

B. Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel

1. Populasi Populasi adalah keseluruhan gejala atau satuan yang ingin diteliti. Populasi penelitian ini diambil dari seluruh siswa kelas V SD UPT Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Unit Kecamatan Kebumen, jumlah populasi dalam penelitian ini sebesar 800 siswa dari 31 SD.

2. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang ingin diteliti untuk menentukan jumlah anggota sampel yaitu jika peneliti mempunyai beberapa ratus subyek dalam populasi. Namun demikian dalam penelitian ini ditetapkan 80 siswa sebagai sampel. Untuk mengambil sampel dilakukan secara random dengan teknik undian.

3. Teknik Penarikan Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik multiple random sampel. Menurut Moh. Nasir (1999 : 332) dengan teknik sampel ditarik dari kelompok populasi menjadi anggota sampel, dan hanya sebagian dari anggota subpopulasi menjadi anggota sampel.

C. Desain Penelitian

Bertolak dari pemikiran tersebut peneliti mempunyai paradigma hubungan antara variabel bebas dan terikat sebagai berikut : 1 Penguasaan Struktur Bahasa (X1) 3

Motivasi Belajar (X2)

Keterampilan Berbicara (Y)

2

Gambar 2. Desain Penelitian Korelasi Keterangan : 1. Hubungan penguasaan struktur bahasa dengan keterampilan berbicara. 2. Hubungan motivasi belajar dengan keterampilan berbicara. 3. Hubungan penguasaan struktur bahasa dan motivasi belajar secara bersamasama dengan keterampilan berbicara.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas yaitu (1) Penguasaan struktur bahasa (X1) dan (2) Motivasi belajar (X2), dan satu variabel terikat yaitu keterampilan berbicara. (Y).

2. Definisi Operasional a. Keterampilan Berbicara Keterampilan berbicara merupakan keterampilan mengucapkan buyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Adapun unsur yang diukur dalam keterampilan berbicara adalah : (1) Penguasaan lafal, (2) Penguasaan struktur, (3) Penguasaan kosa kata, (4) Penguasaan masalah dan atau gagasan yang akan disampaikan, dan (5) Kemampuan memahami bahasa lawan bicara. b. Penguasaan Struktur Bahasa Pemahaman bacaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan struktur bahasa. Kemampuan menguasai struktur bahasa adalah pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan struktur bahasa yang dikuasai. c. Motivasi Belajar Motivasi belajar adalah dorongan atau rangsangan pada diri individu untuk kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya atau usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan

sebagian

kegiatan

menuju

terbentuknya

kepribadian

seutuhnya. Indikator untuk mengukur motivasi adalah : 1. Situasi dan kondisi siswa berbicara. (2) Gagasan yang disampaikan. (3) Fasilitas penunjang, dan penyediaan waktu. (4) Frekuensi berbicara.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1.

Teknis subjektif bentuk unjuk kerja berpidato Tes ini digunakan untuk mendapatkan data tentang keterampilan berbicara siswa.

2.

Tes objektif bentuk pilihan ganda Tes ini digunakan untuk mendapatkan data tentang penguasaan struktur bahasa siswa.

3. Angket Angket ini digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya motivasi belajar siswa, dan penskorannya menggunakan skala Likert.

F. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini terdapat tiga instrumen penelitian yang akan diteliti yaitu : 1. Instrumen keterampilan berbicara Untuk mengetahui keterampilan berbicara digunakan teknik subjektif bentuk unjuk kerja berpidato. Penilaian hasil berpidato menggunakan model penilaian tugas dengan cara pembobotan masing-masing unsur. Adapun usur-

unsur yang dinilai antara lain: (1) Keruntutan ide atau gagasan, (2) Penggunaan kosa kata, (3) Pelafalan, dan (4) Kelancaran. 2. Instrumen penguasaan struktur bahasa Untuk mengetahui penguasaan struktur bahasa digunakan tes objektif bentuk penelitian ganda. Adapun jumlah yang dikembangkan ada 60 butir dengan 4 alternatif jawaban dan kriteria jawabannya jika benar dinilai satu, jika salah dinilai nol. 3. Instrumen motivasi belajar Untuk mengetahui minat membaca siswa digunakan angket yang terdiri dari item yang bersifat positif dan negatif. Masing-masing butir pernyataan dalam angket terdiri dari 5 alternatif jawaban. 1. Item yang bersifat positif : jawaban a mendapat skor 5, jawaban b mendapat skor 4, jawaban c mendapat skor 3, jawaban d mendapat skor2, jawaban e mendapat skor 1. 2. Item yang bersifat negatif : jawaban a mendapat skor 1, jawaban b mendapat skor 2, jawaban c mendapat skor 3, jawaban d mendapat skor 4, jawaban e mendapat skor 5.

G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Validitas instrumen Validitas menentukan sejauh mana suatu instrumen mampu mengukur apa yang seharusnya diukur (Muh. Nasir, 1999 : 281). Untuk menguji validitas instrumen penguasaan struktur bahasa, peneliti menggunakan rumus Korelasi Point Biseral, sebagai berikut : rbis ( i ) =

Xi − Xt St

pi qi

(Djaali, Pudji Mulyono, dan Ramly, 2000 : 122) Keterangan : rbis (i) : Koefisien korelasi antara skor butir soal nomor 1 dengan skor total X1

: Rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir soal nomor i

Xt

: Rata-rata skor total semua responden

St

: Standar deviasi semua responden

Pi

: Porporsi jawaban benar untuk butir soal nomor i

qi

: Proporsi jawaban salah untuk butir soal nomor i

Untuk menguji validitas instrumen angket motivasi belajar dilakukan terhadap validitas isi dengan menggunakan rational judgement yaitu menentukan butir-butir angket telah menggambarkan indikator-indikator

dalam variabel motivasi belajar atau belum uji validitas angket motivasi belajar dicari dengan teknik korelasi product moment angka kasar. Berikut ini rumus korelasi product moment angka kasar yang dimaksudkan untuk melakukan analisis uji validitas motivasi belajar : rxixt =

N ∑ X i − X t − ( ∑ X i )( ∑ X i )

{N ∑ X

2 i

− (∑ Xi )

2

}{N ∑

2 t

−( ∑ X t )

2

}

Untuk menguji validitas instrumen keterampilan berbicara tidak ditentukan secara empiris, tetapi menggunakan validitas isi. Dalam hal ini validitas isi mengukur sampai seberapa besar siswa mampu berbicara menggunakan indikator-indikator penilaian keterampilan berbicara.

2. Reliabilitas instrumen Reliabilitas mengacu kepada sejauh mana suatu alat pengukur secara ajeg (konsisten) mengukur apa saja yang hendak diukurnya (Muh. Nasir, 1999 : 281). Dalam hal ini untuk menghitung reliabilitas instrument penguasaan struktur bahasa dan keterampilan berbicara, digunakan rumus K R.20 sebagai berikut : rii =

k  ∑ ρ i qi  1 −  k −1  St  (Djaali, Pudji Mulyono, dan Ramly, 2000 : 145)

Keterangan : rii

: koefisien reliabilitas tes

k

: jumlah soal yang valid

piqi

: hasil perkalian jawaban benar dan salah

St2

: standar deviasi total Untuk menguji realibilitas angket motivasi belajar dilakukan dengan

menggunakan formula Alpha Cronbach sebagai berikut : rii =

k  ∑ S12  1 − 2  k −1  S1  (Djaali, Pudji Mulyono, dan Ramly, 2000 : 145)

Keterangan : rii

: koefisien reliabilitas tes

k

: cacah butir

Si2

: standar deviasi butir

St2

: standar deviasi total

Instrumen keterampilan berbicara tidak diuji dengan rumus reliabilitas, karena instrumen ini tidak berupa sejumlah item soal, tetapi berupa perintah untuk berpidato. H. Uji Normalitas

Dalam hal ini uji persyaratan sebelum rumus-rumus di atas digunakan untuk menganalisis data, sebelumnya data yang diperoleh perlu duji persyaratannya. Uji persyaratan dalam penelitian ini dengan uji normalitas masing-masing data dengan menggunakan teknik Lilliefors.

I. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data secara deskriptif digunakan untuk pemaparan atau penyajian data. Analisis data secara deskriptif meliputi tendensi dan dan penyajian data. Tendensi ini mencakup tendensi sentral dan penyebaran data. Sementara itu penyajian data mencakup destribusi frekuensi, histogram/polygon atau frekuensi nilai dan diagram pencar regresi. Teknik analisis data secara interfensial digunakan untuk pengujian hipotesis atau penarikan kesimpulan. Analisis data secara interensial dengan menggunakan teknik regresi (sederhana dan ganda). Adapun model atau bentuk persamaan garis regresi linear yang akan dicari adalah : 1. Regresi Y atas X1 dengan model Ŷ = a + b X1 2. Regresi Y atas X2 dengan model Ŷ = a + b X2 3. Regresi Y atas X1, X2 dengan model Ŷ = bo + b1 X1 + b2 X2 Untuk menghitung koefisien korelasi sederhana antara X1 dan Y serta X2 dan Y digunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut : rxy =

{ N (∑ X

N ∑ XY − ( ∑ X )( ∑ Y ) 2

) − (∑ X )

2

} { N (∑ Y

2

) − (∑ X )

2

}

Keterangan : rxy

: koefisien reliabilitas tes keterampilan berbicara

N

: banyaknya responden

X

: nilai pertama

Y

: nilai kedua

XY

: hasil perkalian antara nilai pertama dan kedua Sedangkan untuk menghitung koefisien ganda antara X1 X2 dengan Y.

Peneliti menggunakan rumus sebagai berikut : JK (reg ) ∑ y2

R=

JK(reg) = a1x1y1 + a2x2y2 Keterangan : R

: koefisien determinasi untuk X1 dan X2

JK (reg)

: jumlah kuadrat regresi

∑ y2

: skor total tes keterampilan berbicara

J. Hipotesis Statistik

Adapun hipotesis statistik yang dikemukakan adalah : 1. H0 : ρy.1

=0

H1 : ρy.1

>0

Keterangan : ρy.1 = koefisien antara X1 dan Y 2. H0 : ρy.2

=0

H1 : ρy.2

>0

Keterangan : ρy.2 = koefisien antara X2 dan Y 3. H0 : ρy.12

=0

H1 : ρy.12

>0

Keterangan : ρy.12 = koefisien antara X1, X2 dan Y

DAFTAR PUSTAKA Bingham, Walter V. 1989. Aptitudes and Aptitude Testing. New York : Harper and Brother. Brown, Douglas. 1994. Teaching by Principles An Interactive Approach to Language Pedagogy. New Jersey: Prentice Hall Regent. Budhi Setiawan. 1997. Hubungan antara Penguasaan Struktur Bahasa dan Kemampuan Penalaran dengan Kemampuan Membaca Pemahaman. Tesis PPS IKIP Jakarta. Burhan Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Yogyakarta: BPFE. Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Thoery of Syntax. Cambridge : MIT Press. CLARK, Herbert H. & Eve V. 1977. Psychology and Language: An Introduction to Psycholinguistics. New York: Harcourt, Brace & Jovanovich. Depdiknas. 1998. Bahasa Indonesia SD Kelas V. Jakarta : Balai Pustaka. Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djaali, Puji Mulyono dan Ramly. 2000. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta : PPs UNJ H. Douglas Brown. 1994. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. Prentice Hall Regent H. J. Mackey and J. R. Sybert. 1969. Magnetoconductivity of a Fermi Ellipsoid with Anisotropic Relaxation Time. Texas: Department of Physics, North Texas State University. Henry Guntur Tarigan. 1987. Teknik Keterampilan Pengajaran Bahasa. Bandung: Angkasa. Hockett, Charles F. 1958. A Course in Modern Linguistics. New York : Mac Millan. Lado, Robert. 1967. Language Testing. London : Longman. Lee Joseph Cronbach. 1957. American Psychological Association. Chicago: University of Chicago.

Lyons, John. 1995.Linguistic semantics: An introduction. Cambridge, England: Cambridge University Press Moh Nasir, 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nunan, David. 1989. Designing Tasks for the Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press Poerwodarminto, W.J.S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Sardiman, A.M. 2001. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sarwidji dan Suhita, Raheni. 1992. Pengantar Pragmatik. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Slameto. 1991. Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Balai Pustaka. Tarigan, Djago dan Tarigan, Henry Guntur. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Berbicara Sebagai suatu ketrampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Verhaar, J.W.M. 1992. Pengantar Linguistik. Yogyakarta : Gajah Mada W. Huilt. 1999. Educational Psychology Interactive. Valdosta: Valdosta State University diunduh dari (http://chiron.valdosta.edu/whuitt/) tanggal 16 Mei 2009 pukul 11.00 WIB. Winkel. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Gramedia. Wuryaningsih. Pregi. 2007. Hubungan antara Derajat Ekstroversi dan Penguasaan Kosakata dengan Kemampuan Berbicara siswa SMP Negeri se-Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Surakarta: UNS.

Related Documents

Tesis Mba Widi
May 2020 26
Widi Ariawan.docx
June 2020 29
Mba
October 2019 61
Mba
May 2020 33
Mba
May 2020 31
Mba
April 2020 34