BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sirosis
hepatis
adalah
suatu
keadaan
patologis
yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Lebih dari 40% pasien sirosis hepatis asimptomatik dan sering ditemukan pada waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi.1 Di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian.4 Sementara di negara maju, sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Angka kejadian sirosis hepatis dari hasil otopsi sekitar 2,4% di negara Barat, sedangkan di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk dan menimbulkan sekitar 35.000 kematian pertahun.1 Kejadian di Indonesia menunjukkan bahwa pria lebih banyak dari wanita (2,4-5:1) . Walaupun belum ada data resmi nasional tentang sirosis hepatis di Indonesia, namun dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia secara keseluruhan prevalensi sirosis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat di bangsal. Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819 (4%) dari seluruh pasien di bagian penyakit dalam.1 Penyebab utama sirosis di Amerika adalah hepatitis C (26%), penyakit hati alkoholik (21%), hepatitis C plus penyakit hati alkoholik (15%), kriptogenik (18%), hepatitis B yang bersamaan dengan hepatitis D (15%) dan penyebab lain (5%)1. Data WHO (2008) menyebutkan bahwa diperkirakan 3-4 juta orang terinfeksi dengan virus hepatitis C (VHC) setiap tahun. Sekitar 130-170 juta orang terinfeksi kronis VHC dan 1
berisiko menjadi sirosis hepatis dan/atau kanker hati. Infeksi kronis VHC terjadi pada 70-80% pasien dan sekitar 20% pasien infeksi kronis VHC akan berkembang menjadi sirosis dalam 20 tahun. Ko-infeksi virus hepatitis B diduga dapat meningkatkan progresivitas infeksi kronis terkait VHC sirosis.2 Menurut data WHO (2008), pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis B sekitar 25% akan meninggal karena kanker hati atau sirosis karena infeksi kronis yang dialaminya semenjak anak-anak.2 Penyebab sirosis hepatis di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B dan C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 3040%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui, alkohol sebagai penyebab sirosis hepatis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya1. Risiko sirosis pada pasien dengan infeksi hepatitis C kronik dapat diperburuk oleh konsumsi alkohol yang berlebihan.2 Hati sangat terganggu dengan masuknya zat alkohol (metanol dan etanol) ke dalam tubuh karena alkohol yang masuk akan dieliminasi oleh hati. Konsumsi alkohol dapat memperberat kerja hati dan merusak fungsi hati secara perlahan dan terus menerus. Keadaan ini dapat menjadi lebih parah dan berkembang menjadi sirosis hepatis. Jika penggunaan alkohol dihentikan, hepatitis alkoholik akan perlahan-lahan membaik dalam beberapa minggu.2
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sirosis Hepatis 2.1.1 Definisi Kata sirosis berasal dari kata kirrhos yang merupakan bahasa Yunani, yang berarti oranye atau kuning kecoklatan, dan osis, berarti kondisi. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826. Definisi sirosis berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah suatu proses difus yang ditandai dengan fibrosis dan perubahan arsitektur hati normal menjadi struktur nodul abnormal yang tidak memiliki organisasi lobular yang normal. Sirosis hati adalah penyakit hati yang menahun yang difus yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Progresifitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun.5 2.1.2
Epidemiologi Prevalensi sirosis hati sulit untuk dinilai karena stadium awalnya bersifat asimtomatis. Namun, sirosis tercatat sebagai penyakit kematian ke- 14 tersering di dunia, dengan angka kematian sekitar 1,04 juta jiwa per tahun. Sirosis juga menjadi indikasi utama untuk 5.00 kasus transplantasi hepar per tahun di negara maju.1 Sirosis merupakan penyebab kematian ketiga pada penderita yang berusia 45-46 tahun. Penderita sirosis hati lebih banyak laki-laki jika dibandingkan perempuan rasionya sekitar 1,6:1. Insiden sirosis hati di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebab SH sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. Di Indonesia data prevalensi penderita SH secara keseluruhan belum ada. Di Asia Tenggara penyebab utama SH adalah hepatitis B dan hepatitis C. Angka kejadian di Indonesia akibat
3
hepatitis B berkisar antara 2,12-46,9% dan hepatitis C berkisar 38,773,9%.1 2.1.3
Etiologi Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat mengakibatkan sirosis hati.2 Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.1 Penyebab sirosis hati yaitu : a. Penyakit hati alkoholik b. Hepatitis C kronik c. Hepatitis B kronik d. Steatohepatitis non alkoholik, hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid e. Sirosisbilier primer f. Hepatitis autoimun g. Galaktosemia h. Hepatotoksik akibat obat i. Infeksi parasit tertentu (Schistomiosis).1
2.1.4
Patofisiologi 1. Alkohol Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan 4
protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi. Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini disbanding individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak dari pada wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun. Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik2.
2. Virus Kerusakan hati akibat virus belum jelas namun beberapa bukti menunjukan
adanya
mekanisme
imunologis
yang
menyebabkan
kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen dan mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis. Adanya bukti bukti ini menyebabkan kontroversi. Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut, pada infeksi 5
kronis, reaksi CTL yang relatif lemah mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak dapat menghilangkan virus maupun menekan evolusi virus sehingga kerusakan hati terus berlangsung. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper (Th). Adanya pergeserah dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL. Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro inflamsi seperti TNF-α, TNF-β akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel stelata di ruang disse sel hati. Sel sel khas ini sevelumnya tenang kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks
kolagen
sehingga
terjadi
fibrosis
dan
berperan
aktif
menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekasnisme ini dapat timbul terus menerus karna reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel- sel hati yang semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati6.
2.1.5
Klasifikasi Sirosis secara klinis diklasifikasikan :
Sirosis Kompensata (Gejala klinis belum ada atau minimal)
Sirosis Dekompensata (Gejala dan tanda klinis jelas).1
2.1.5.1 Sirosis Kompensata Kebanyakan bersifat asimtomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui pemeriksaan fungsi hati. Bila ada, gejala yang muncul berupa kelelahan non-spesifik, penurunan libido atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis juga sering kali belum tampak pada tahap ini. Sebenarnya 40% kasus sirosis kompensata telah mengalami varises esofagus, namun belum menunjukkan tanda-tanda perdarahan.1
6
2.1.5.2 Sirosis Dekompensata Disebut sirosis dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu dari manifestasi berikut, ikterus, asites dan edema perifer, hematemesis melena (akibat perdarahan varises esofagus), jaundice, atau ensefalopati (baik tanda dan gejala minimal hingga perubahan status mental). Asites merupakan tanda dekompensata yang paling sering ditemukan (sekitar 80%).1 Sesuai
dengan
consensus
Baveno
IV,
sirosis
hati
dapat
diklasifikasikan menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan perdarahan varises : a) Stadium 1 (tidak ada varises, tidak ada asites). b) Stadium 2 (ada varises tanpa asites). c) Stadium 3 (asites dengan atau tanpa varises). d) Stadium 4 (perdarahan dengan atau tanpa asites). Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis dekompensata.4
2.1.6
Manifestasi Klinis
1. Kompensata a. Perasaan mudah lelah dan lemas b. Selera makan berkurang c. Perasaan perut kembung d. Mual e. Berat badan menurun f. Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas 2. Dekompensata a. Spider angioma atau spider nevi merupakan suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol. 7
b. Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Tanda ini dikaitkan dengan perubahan metabolism hormon estrogen. c. Kuku-kuku muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui dikaitkan dengan akibat hipoalbuminemia. d.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia.
e. Splenomegali,
sering
ditemukan
terutama
pada
sirosis
yang
penyebabnya non alkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta. f. Ikterus pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia.1
2.1.7
Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Jenis Pemeriksaan Aminotransferase:
Hasil
ALT Normal atau sedikit meningkat
dan AST Alkali fosfatase / ALP
Sedikit meningkat
Gamma-glutamil
Korelasi dengan ALP, spesifik khas akibat
transferase
alkohol sangat meningkat
Bilirubin
Meningkat pada SH lanjut prediksi penting mortalitas
Albumin
Menurun pada SH lanjut
Globulin
Meningkat terutama IgG
Waktu Prothrombin
Meningkat / penurunan produksi faktor V/VII dari hati
Natrium darah
Menurun akibat peningkatan ADH dan aldosteron
Trombosit
Menurun (hipersplenism) 8
Leukosit dan netrofil
Menurun (hipersplenism)
Anemia
Makrositik, normositik dan mikrositik
2. Pemeriksaan radiologi (non-invasif). Bertujuan untuk : a. Deteksi nodul hati atau tanda hipertensi porta: USG abdomen 1. Gambaran USG pada hati : terdapat iregularitas penebalan permukaan hati, membesarnya lobus kaudatus, dan asites. Didapati juga lobus hati mengecil atau mengkerut. 2. Gambaran USG pada lien : tampak peningkatan struktur limpa karena adanya jaringan fibrosis, pelebaran diameter vena Lienalis serta tampak lesi sonolusen multipel pada daerah hilus lienalis akibat adanya kolateral.5 b. Penilaian kekakuan jaringan hati ( derajat fibrosis); transien elastografi, MR elastrografi. 3. Pemeriksaan esofago-gastroduodenoskopi (EGD). Baik untuk deteksi varises esofagus.1
2.1.8
Diagnosis Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik, laboratorium, USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati.1 Pada stadium dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnose sirosis hati diantaranya : 1. Splenomegali 2. Asites 3. Edema pretibial 9
4. Laboratorium khususnya albumin 5. Tanda kegagalan berupa eritema palmaris, spider naevi, vena kolateral. Sirosis hati dekompensasi sudah dapat ditegakkan apabila terdapat 5 dari 7 tanda dibawah ini :
2.1.9
1.
Asites
2.
Splenomegali
3.
Perdarahan varises
4.
Albumin yang merendah
5.
Spider naevi
6.
Eritema palmaris
7.
Vena kolateral.
Penatalaksanaan 1. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi
progresi
kerusakan
hati.
Terapi
ditujukan
untuk
menghilangkan etiologi, diantaranya : a) Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaaannya. Pemberian asetominofen, kolkisin dapat menghambat kolagenik. b) Hepatitis autoimun dapat diberikan steroid atau imunosupresif. c) Penyakit hati non alkoholik, menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. d) Hepatitis virus B, interferon alfa dan lamivudin (analop nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh. e) Hepatitis virus C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon alfa diberikan secara suntikan 10
subkutan dengan dosis 5 MIU, tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan. f) Pengobatan fibrosis hati, pengobatan anti fibrotic pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama.1 2.
Pengobatan sirosis dekompensata
Asites
Tirah baring
Diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
Obat antideuretik : diawali dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.
Apabila
respon
tidak
adekuat
dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 2040 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya apabila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari
Paresintesis bila asites sangat besar, hingga 4-6 liter dan dilindungi pemberian albumin
Restriksi cairan
Ensefalopati
Laktulosa 30-45 mL sirup 3-4 kali/hari.pc
hepatikum
Neomisin 4-12 g oral/hari dibagi tiap 6-8 jam
Varises
Propanolol 40-80 mg oral 2x/hari.
esophagus
Isosorbid mononitrat 20 mg oral 2x/hari
Saat perdarahan akut diberikan somatostatin
Albumin 2gr IV tiap 8 jam, 1,5gr/kg IV dalam 6
Peritonitis Bakterial Spontan
jam, 1gr/kg IV hari ke 3
Norfloksasin 400 mg oral 2x/ hari untuk terapi, 400 mg oral 2x/sehari selama 7 hari untuk 11
perdarahan gastroinstetinal, 400mg oral per hari untuk profilaksis.
Trimetoprim/ Sulfameethoxazole 1 tab oral per hari untuk profilaksis, 1 tab oral 2x/ hari selama 7 hari untuk perdarahan gastroinstetinal
Sindrom Hepato
Renal
Transjugular intrahepatic portosystemic shunt efektif
menurunkan
memperbaiki
hipertensi
sindrom
porta
dan
hepatorenal,
serta
menurunkan perdarahan gastroinstetinal. Bila terapi medis gagal, dipertimbangkan untuk transplantasi hati merupakan terapi definitife.
2.1.10 Komplikasi a. Hipertensi portal b. Asites c. Varises gastroesofagus d.Peritonitis bacterial spontan e. Ensefalopaty hepatikum f. Sindrom hepatorenal.1 2.1.11 Prognosis Prognosis sirosis sangat bervariasi di pengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi. Beberapa sistem scoring dapat digunakan untuk menilai keparahan sirosis hati dan menentukan prognosisnya. Klasifikasi Sistem scoring ini antara lain skor Child Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage Liver Disease (MELD).1 Klasifikasi child-Turcotte-Pugh Parameter
Nilai 1
2
3
12
Ensefalopati
Asites
Tidak ada
Tidak ada
Terkontrol
Kurang
dengan terapi
terkontrol
Terkontrol
Kurang
dengan terapi
terkontrol
Bilirubin (mg/dl)
<2
2-⌂
>3
Albumin (gr/L)
>3.5
2.8-3.5
<2.8
INR
<1.7
1.7-2.2
>2.2
Penderita SH dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-9 poin), CTP-C (10-15 poin). Penderita SH dengan CTP kelas A menunjukkan penyakit hatinya terkompensasi baik, dengan angka kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2 tahun sebesar 100% dan 85%. Sedang CTP kelas B angka kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2 tahun sebesar 81% dan 60% dan CTP kelas C kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2 tahun sebesar 45% dan 35%.
13