BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan maksud memperoleh pengetahuan serta untuk meningkatkan keterampilan yang dimiliki seseorang, kegiatan belajar dapat dilakukan dimana saja misalnya di perpustakaan, museum, sekolah maupun tempat rekreasi. Menurut Wertheimer proses belajar tidaklah tepat mempergunakan metode menghafal, tetapi lebih baik bila murid belajar dengan pengertian atau pemahaman. Kegiatan belajar harus berlandaskan pada teori-teori dan prinsip-prinsip belajar agar biasa mencapai tujuan dari kegiatan belajar tersebut. Teori belajar membahas dan menjelaskan bagaimana individu belajar dengan maksud memperoleh pengetahauan, keterampilan, sikap dan nilai dari suatu proses pembelajaran. Teori-teori belajar dapat digunakan sebagai landasan untuk menciptakan suatu proses atau kegiatan pembelajaran yang ingin dicapai oleh seorang guru khususnya dan oleh masyarakat luas pada umumnya. Teori-teori tersebut antara lain yaitu Teori Belajar Perilaku, Teori Belajar Kognitif, dan Teori Belajar Vigotsky. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apakah definisi dari teori belajar perilaku ? 2. Siapa sajakah yang mengemukakan teori belajar perilaku ? 3. Bagaimana prinsip-prinsip teori belajar perilaku ? 4. Bagaimana penerapan teori belajar perilaku di dalam kelas ? 5. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari teori belajar perilaku ? 6. Apakah pengertian teori pembelajaran kognitif? 7. Siapa saja tokoh-tokoh teori belajar kognitif? 8. Bagaimankah aplikasi teori kognitif dalam kegiatan pembelajaran? 9. Bagaimanakah implikasi teori kognitifistik dalam pembelajaran?
1
10. Bagaimana profil singkat Vygotsky? 11. Bagaimana teori perkembangan kognitif menurut teori Vygotsky? 12. Apa saja konsep-konsep perkembangan menurut Vygotsky? 13. Bagaimana implementasi teori perkembangan kognitif Vygotsky terhadap pembelajaran?
1.3 TUJUAN 1. Untuk mengetahui definisi dari teori belajar perilaku ? 2. Untuk mengetahui siapa sajakah yang mengemukakan teori belajar perilaku ? 3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip teori belajar perilaku ? 4. Untuk mengetahui teori belajar perilaku di dalam kelas ? 5. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari teori belajar perilaku ? 6. Untuk mengetahui pengertian dari teori pembelajaran kognitif? 7. Untuk mengetahui iapa saja tokoh-tokoh teori belajar kognitif? 8. Untuk mengetahui aplikasi teori kognitif dalam kegiatan pembelajaran? 9. Untuk mengetahui implikasi teori kognitifistik dalam pembelajaran? 10. Untuk mengetahui profil singkat Vygotsky? 11. Untuk mengetahui teori perkembangan kognitif menurut teori Vygotsky? 12. Untuk mengetahui apa saja konsep-konsep perkembangan menurut Vygotsky? 13. Untuk megetahui implementasi teori perkembangan kognitif Vygotsky terhadap pembelajaran?
2
BAB II TEORI BELAJAR PERILAKU
2.1 DEFINISI TEORI PERILAKU ( TEORI BEHAVIOR ) Teori Behavioristik merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai
aliran
behavioristik. Aliran
ini
menekankan
pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Menurut teori behavioristik atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulasi dan respons. Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
3
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan lingkungan.
2.2 TOKOH-TOKOH ALIRAN BEHAVIORISTIK 2.2.1 Teori Belajar Menurut Ivan P. Pavlov Pavlov menyumbangkan pikiran dan gagasannya dalam sebuah penelitiannya dalam bidang fsikologi yaitu tentang Refleks berkondisi yang di lakukannya di tempat yang berbeda-beda. Dan bagian yang paling terpenting dari penelitiannya adalah dengan berpura-pura memberi makan kepada anjing. . Percobaan dilanjutkan dengan pura-pura memberi makan melalui botol-botol kecil yang dimasukan dan diletakan di samping mulut anjing tersebut. Setelah diperhatikan ternyata anjing sebagai binatang percobaan selalu mengeluarkan air liurnya sebelum makanan diletakan dekat moncongnya dan pura-pura mulai makan. Anjing tersebut akan bertindak seperti itu jika ada makanan dan atau sekalipun tidak diberi makanan (purapura memberi makanan). Dari percobaannya tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa hampir semua organisme perilakunya terjadi secara refleks dan di batasi oleh rangsangan sederhana. Teori belajar classical conditioning kadang-kadang disebut juga respont conditioning atau Pavlovian Conditioning, merupakan teori belajar katagori Stimulus-Respon (S-R) tipe S. Esensi berlakunya classical conditioning adalah adanya dua stimulus yang berpasangan. Satu stimulus yang dinamakan conditioned stimulus (CS) atau kita sebut saja stimulus yang berkondisi. Stimulus ini dinamakan stimulus netral sebab kecuali untuk menjaga respon yang pertama kalinya diberikan dalam beberapa saat, tidak menghasilkan respon khusus. Stimulus lainnya adalah unconditioned stimulus (US) atau kita sebut saja stimulus yang tidak berkondisi. Stimulus ini menghasilkan respon yang sipatnya reflek yang kita namakan unconditioned response (UR) atau 4
kita sebut saja respon yang tidak berkondisi. Pasangan kedua stimulus ini yakni stimulus berkondisi dan tidak berkondisi (CS dan US) biasanya terjadi di mana stimulus berkondisi (CS) timbul atau datang pada waktu yang relatif singkat sebelum stimulus yang tidak berkondisi (US) diberikan. Selang waktu antara stimulus berkondisi dengan stimulus tidak berkondisi dinamakan interstimulus interval. Hasil daripada pasangan stimulus ini, di mana stimulus yang tidak berkondisi yang didahului oleh stimulus berkondisi adalah dimulainya respon yang sama yakni respon tidak berkondisi (unconditioned respon atau UR). Setelah terjadi proses belajar stimulus berkondisi menghasilkan respon. Respon tersebut dinamakan respon berkondisi(CR). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa situasi atau classical conditioning adalah sebagai berikut:apabila stimulus berkondisi dan stimulus tak berkondisi dipasangkan dalam jumlah waktu dan interval waktu dengan benar, stimulus berkondisi yang asli dan netral akan memulai menghasilkan respon yang sama dengan respon yang dihasilkan oleh stimulus tak berkondisi sebelum dipasangkan. Respon-respon khusus yang dihasilkanoleh stimulus berkondisi yang asli dan netral adalah apa yang dinamakan belajar classical conditioning. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa stimulus takl bersarat/tak berkondisi dapat menghasilkan respon atau tanggapan tak bersarat/berkondisi dan stimulus tambahan yakni stimulus berkondisi akan menghasilkan respon baru yakni respon atau tanggapan berkondisi. Dengan konsep ini maka stimulasi biasa yang asli dan netral sewaktu-waktu akan menghasilkan reson atau tanggapan asli atau respon berkondisi. Konsep lain yang perlu dijelaskan adalah pelenyapan dan penyembuhan spontan dalam teori classical conditioning dari percobaan Pavlov. Setelah respon berkondisi tercapai, apakah yang akan terjadi bila stimulus berkondisi diulang atau diberikan kembali tanpa diikuti oleh stimulus tak berkondisi ? Dalam hal ini akan terjadi pelenyapan atau padam atau hilang. Dengan kata lain pelenyapan adalah tidak terjadinya respon atau menurunnya kekuatan respon pada saat diberikan kembali stimulus berkondisi tanpa diikuti stimulus tak berkondisi setelah terjadinya respon.
5
Sedangkan penyembuhan spontan adalah suatu tindakan/usaha nyata untuk menghalangi terjadinya pelenyapan. Satu diantaranya ialah melalui rekonditioning atau mengkondisi kembali melalui pemberian kedua stimulus secara berpasangan. Konsep lain dari classical conditioning adalah stimulus generalisasi dan diskriminasi. Dalam hal ini Pavlov menyatakan bahwa respon berkondisi timbul terhadap stimulus yang tidak berpasangan atau tidak dipasangkan dengan stimulus tak berkondisi. Ini berarti ada semacam kecenderungan untuk menggeneralisasikan respon berkondisi terhadap stimulus lain apabila dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan stimulus berkondisi atau asli. Makin tinggi tingkat kesamaannya semakin tinggi pula generalisasinya. Diskriminasi adalah proses belajar untuk membuat satu respon tcrhadap satu stimulus dan membedakan respon atau bukan respon terhadap stimulus lainnya. Dengan demikian diskriminasi merupakan lawan dari generalisasi atau kebalikan generalisasi. Dalam praktek sehari-hari adanya generalisasi banyak ditemukan. Dalam pengertian setelah respon khusus terjadi akibat suatu stimulus, maka rangsangan yang sama akan menghasilkan respon yang sama. Contohnya, jika seekor anjing telah dilatih membengkokan kaki kirinya, maka ia juga akan memberikan respon membengkokan kaki kanannya seandainya respon yang asli (kaki kiri) menjadi penghalang. Konsep lain yang juga penting adalah perjumlahan. Artinya kombinasi dari stimulus sering mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada rangsangan atau stimulus yang terpisah-pisah. Sebagai contoh kedua penglihatan dan penciuman akan bereaksi kuat pada anjing untuk menghasilkan tanggapan terhadap makanan. 2.2.2 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie Edwin Guthrie menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering 6
mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Edwin Guthrie juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.
Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Tiga metode pengubahan tingkah laku yang dikemukakan oleh Edwin Guthrie adalah sebagai berikut: a. Metode respon bertentangan. Misalnya saja, jika anak takut terhadap sesuatu, misalnya kucing, maka letakkan permainan yang disukai anak dekatdengan kucing. Dengan demikian, lambat laun anak akan tidak takut lagi pada kucing, namun hal ini dilakukan berulang-ulang. b. Metode
membosankan.misalnya
seorang
anak
mencoba-coba
mengisap rokok, minta kepadanya untuk merokok terus sampaibosan; setelah bosan, ia akan berhenti merokok dengan sendirinya. c. Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, ubahlah lingkungan belajarnya dengan suasana lain yang lebih nyaman dan menyenangkan sehingga membuat ia menjadi betah belajar. Namun setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar. 2.2.3 Teori Belajar Menurut Watson John Watson 1878-1958; adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya
tentang
belajar
disejajarkan
dengan
ilmu-ilmu
lain
seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Teori Watson secara umum sama dengan teori Thorndike, tetapi ada perbedaan yang cukup signifikan yaitu pengakuan adanya terhadap stimulus dan respon yang dapat diamati dan dikukur. Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
7
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetep mengakui behwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati. Pandangan utama Watson: 1. Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud dgn stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned 2. Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting (lihat pandangannya yang sangat ekstrim menggambarkan hal ini pada Lundin, 1991 p. 173). Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will. 3. Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras,
8
namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer. 4. Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports. 5. Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anakanak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain. 6. Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah. 7. Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauh smana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah kebutuhan. 8. Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya. 9. Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku.
9
Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol 2.2.4 Teori Belajar Menurut B.F. Skinner Selanjutnya, Skinner mengembangkan teori conditioning dengan menggunakan
tikus
sebagi
percobaan.
Menurutnya,
suatu
respons
sesungguhnya juga menghasilkan sejumlah konsekuensi yang nantinya akan mempengaruhi tingkah laku manusia. Untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas menurut Skinner perlu memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya,memahami respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa mengguanakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambahnya rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Dari hasil percobaannya, Skinner membedakan respons menjadi dua yaitu: 1. Respons yang timbul dari stimulus 2. “operant (instrumental) responce”, yang timbul dan berkembang karena diikuti oleh perangsang tertentu. Teori Skinner dikenal dengan “operant conditioning”, dengan enam konsepnya, yaitu sebagai berikut. a. Penguatan positif dan negatif b. Shapping, proses pembentukan tingkah laku yang makin mendekati tingkah laku yang diharapakan. c. pendekatan suksesif, proses pembentukan tingkah laku yang menggunakan penguatan pada saat yang tepat, hingga respons pun sesuai dengan yang diisyaratkan. d. Extinction,
proses
penghentian
ditiadakannya penguatan.
10
kegiatan
sebagai
akibat
dari
e. Chaining of responce, respons dan stimulus yang berangkaian satu sama lain. f. Jadwal penguatan, variasi pemberian penguatan: rasio tetap dan bervariasi, interval tetap dan bervariasi. Skinner lebih percaya pada “penguat negatif’ (negative reinforcement), yang tidak sama dengan hukuman. Bedanya dengan hukuman adalah, bila hukuman harus diberikan (sebgai stimulus) agar respons yang timbul berbeda dari yang diberikan sebelumnya, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respons yang sama menjadi kuat. Misalnya seorang siswa perlu dihukum untuk suatu kesalahan yang dibuatnya, jika ia masih bandel, maka hukuman harus ditambah. Tetapi bila siswa membuat kesalahan dan dilakukan pengurangan terhadap sesuatu yang mengenakkan baginya (bukan malah ditambah), maka pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya.. inilah yang disebut “penguat negatif”. Eksperimen Skinner
2.2.5 Edward Leer Thorndike (Hukum Pengesahan) Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di dominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan
11
koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edwar L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kecil untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mulamula kucing tersebut mengeong, mencakardan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini juga terkenal dengan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila kita perhatikan secara seksama dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati 2 hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. 12
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubung dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar. Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box, merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut. Percobaan yang dilakukan berulang-ulang maka akan terlihat beberapa perubahan yaitu : a Waktu yang diperlukan untuk menyentuh engsel bertambah singkat. b Kesalahan-kesalahan (reaksi yang tidak relevan) semakin berkurang dan malah akhirnya kucing sama sekali tidak berbuat kesalahan lagi, begitu dimasukkan ke dalam kotak, kucing langsung menyentuh engsel. Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya. Ciri-ciri belajar dengan trial and error : 1. Ada motif pendorong aktivitas 2. Ada berbagai respon terhadap situasi 3. Ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah 4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu. Kemudian menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari seara ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. 13
Menurutnya mengajar yang baik adalah tahu apa yang hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diberikan, respon apa yang akan diharapkan dan kapan harus memberi hadiah/ reward. Ada beberapa aturan yang di buat Thorndike berkenaan dengan pengajaran, yaitu: 1. perhatikan situasi murid 2. perhatikan respon apa yang diharapkan dari respon tersebut 3. ciptakan
hubungan
respon
tersebut
dengan
sengaja,
jangan
mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya 4. situasi – situasi lain yang sama jaangan diindahkan sekiranya dapat memutuskan hubungan tersebut 5. bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan – hubungan lain yang sejenis 6. buat hubungan tersebut sedemikian rupa hingga dapat perbuatan nyata 7. ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari – hari. Thorndike mengemukakan beberapa hukum tentang belajar yaitu sebagai berikut : 2.2.5.1 Hukum Latihan (Law or Exercise) Hukum ini mengandung 2 hal yaitu : a The Law Of Use, yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat bila sering digunakan. Dengan kata lain bahwa hubungan antara stimulus dan respon itu akan menjadi kuat semata-mata karena adanya latihan. b The Law of Disuse, yaitu suatu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi lemah bila tidak ada latihan. Prinsip ini menunjukkan bahwa ulangan merupakan hak yang pertama dalam belajar. Makin sering suatu pelajaran yang diulang makin mantaplah bahan pelajaran tersebut dalam diri siswa. Pada prakteknya tentu diperlukan
14
berbagai variasi, bukan ulangan sembarang ulangan. Dan pengaturan waktu distribusi frekuensi ulangan dapat menentukan hasil belajar. Contoh : Siswa yang belajar Bahasa Inggris, semakin sering dia menggunakan Bahasa Inggrisnya,maka akan semakin terampil dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris.Tetapi jika tidak digunakan,maka ia tidak akan terampil berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. 2.2.5.2 Hukum Akibat (Law of Effect) Hukum ini juga berisikan 2 hal, yaitu : suatu tindakan/perbuatan yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan cenderung diulang, sebaliknya suatu
tindakan
(perbuatan)
menghasilkan
rasa
tidak
puas
(tidak
menyenangkan) akan cenderung tidak diulang lagi. Hal ini menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan bagi perbuatan itu sendiri. Dalam pendidikan, hukum ini diaplikasikan dalam bentuk hadiah dan hukuman. Hadiah menyebabkan orang cenderung ingin melakukan lagi perbuatan yang menghasilkan hadiah tadi, sebaliknya hukuman cenderung menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan, atau tidak mengulangi perbuatan. Contoh : siswa yang mendapat nilai tinggi akan semakin menyukai pelajaran, namun jika perolehan nilainya, maka siswa akan semakin malas belajar atau malah menghindari pelajaran tersebut. 2.2.5.3 Hukum Kesiapan (The law of readiness) Hukum ini menjelaskan tentang kesiapan individu dalam melakukan sesuatu. Yang dimaksud dengan kesiapan adalah kecenderungan untuk bertindak. Agar proses belajar mencapai hasil yang sebaik-baiknya, maka diperlukan adanya kesiapan organisme yang bersangkutan untuk melakukan belajar tersebut. Ada 3 keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini. Yaitu sebagai berikut : 1. Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.
15
2. Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan. 3. Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan. Contoh : Siswa yang siap ujian, ketika dilakukan ujian, maka ia akan puas, tetapi jika ujiannya ditunda, ia menjadi tidak puas. Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan Transfer of Training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajarai tidak akan bermakna. Oleh karena itu, apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah harus berguna dan dapat dipergunakan di luar sekolah. Misalnya, anak belajar membaca, maka keterampilan membaca dapat digunakan untuk membaca apapun di luar sekolah, walaupun di sekolah tidak diajarkan bagaimana membaca koran, tapi karena huruf-huruf yang diajarkan di sekolah sama dengan huruf yang ada dalam koran, maka keterampilan membaca di sekolah dapat ditransfer untuk membaca koran, untuk membaca majalah, atau membaca apapun. Selain ketiga hukum pokok di atas, Thorndike mengemukakan adanya 5 hukum tambahan, yaitu : 1. Law of Multiple response, yaitu individu mencoba berbagai respon sebelum mendapat respon yang tepat. 2. Law of attitude, yaitu proses belajar dapat berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada siswa. 3. Law of partial activity, yaitu individu dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Individu dapat memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah
16
lakunya kepada hal-hal yang pokok, dan meninggalkan hal-hal yang kecil. 4. Law of response by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai reaksi yang sama terhadap situasi baru, atau dengan kata lain individu bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya waktu yang lalu. 5. Law of assciative shifting, yaitu sikap respon yang telah dimiliki individu dapat melekat stimulus baru. Thorndike juga mengemukakan prinsip-prinsip belajar yaitu : a.
Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang bagi dia termasuk baru, berbagai ragam respon maka akan ia lakukan. Respon tersebut ada kalanya berbeda-beda sampai yang bersangkutan memperoleh respon yang benar.
b.
Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan, sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
c.
Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untu mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur penting dari yang kurang atau tidak penting hingga akhirnya dapat menentukan respon yang tepat.
d.
Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama.
e.
Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai hubungan.
f.
Manakala suatu respon cocok dengan situasinya relatif lebih mudah untuk dipelajari.
2.2.6 Teori Belajar Menurut Clark Hull Hull telah mengembangkan sebuah teori dalam versi behaviorisme. Ia mengatakan bahwa stimulus (S) memengaruhi organisme (O) dan menghasilkan respon (R) itu tergantung pada karakteristik O dan S. Dengan kata lain, Hull telah berminat terhadap studi yang mempelajari variabel 17
intervening yang memengaruhi perilaku seperti dorongan atau keinginan, insentif, penghalang, dan kebiasaan. Teori Hull ini disebut dengan teori mengurangi dorongan (drive reduction theory). Seperti teori-teori behavior yang lain, dalam terori ini, reinforcement merupakan factor utama yang menentukan belajar. Bedanya, dalam Drive Reduction Theory ini, pemenuhan dorongan atau kebutuhan lebih dikurangi dan mempunyai perang yang sangat penting dalam perilaku daripada dalam teori-teori belajar behaviorisme yang lain. Secara teoritis, kerangka teori Hull berisi postulat-postulat yang dinyatakan dalam bentuk matematik: 1) organism memiliki sebuah hierarki kebutuhan yang muncul karena adanya stimulation atau dorongan; 2) kebiasaan yang kuat meningkatkan aktivitas yang diasosiakan dengan reinforcement primer maupun sekunder; 3) stimulus diasosiasikan dengan penghentian sebuah respons menjadi penghalang yang dikondisikan; 4) lebih efektif reaksi potensi melampaui reaksi minimal lebih pendek terjadinya penundaan
respons
(Latency
respons).
Berdasarkan
postulat,
Hull
menyatakan berbagai macam tipe variabel seperti generalisasi, motivasi, dan variabelitas dalam balajar. Salah satu konsep yang paling penting dalam teori Hull adalah hierarki kebiasaan yang kuat bagi sebuah stimulus yang diberikan, sebuah organisme akan dapat merespon dengan sejumlah cara. Seperti sebuah respons yang spesifik mempunyai sebuah kmungkinann yang dapat diubah oleh hadiah dan dipengaruhi oleh berbagai macam variabel lain (seperti halangan). Dalam beberapa bacaan teori tentang Hull ini, hierarki kebiasaan yang kuat menyerupai komponen-komponen teori kognitif. Clark hull (1943) mengemukakan pula konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusinya Charles Darwin. Bagi Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati
posisi sentral.
Menurut Hull
(1943,
1952), kebutuhan
dikonsepkan sebagai dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, hilangnya
18
rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus hampir dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya. 2.2.7 Teori Belajar Menurut Albert Bandura (Teori Belajar Sosial) Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Kaum behaviorisme tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan lambak atau obyek yang punya makna (pelaziman klasik). Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Teori ini menerima sebagian besar prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan efek-efek dari isyaratisyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Teori belajar Bandura adalah teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. jadi, dalam teori ini akan menggunakan penjelasanpenjelasan reinforcement eksternal dan belajar kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dengan orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan. Melalui observasi tentang dunia social kita, melalui interpretasi kognitif dari dunia itu, banyak sekali informasi dan penampilam keahlian yang kompleks dapat dipelajari. Dalam pandangan belajar social, “manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulusstimulus lingkungan.Namun, fungsi psikologis diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan lingkungan” (Bandura, 1977:11-12). Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang, tidak random; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya.Suatu perspektif belajar sosial menganalisis hubungan kontinu antara variable-variabel lingkungan, ciri-ciri pribadi, dan perilaku terbuka dan tertutup seseorang. 19
Konsep-konsep utama teori belajar sosial : ` 1. Pemodelan (Modelling) Fenomena pemodelan yaitu meniru perilaku orang lain dan pengalaman “vicarious” yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Bandura merasa bahwa sebagian besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi melainkan manusia itu belajar dari suatu model.Misalnya, guru olahraga mendemonstrasikan loncat tinggi, kemudian para siswa menirunya. Bandura menyebut ini “no-trial learning” sebab para siswa tidak harus melalui proses pembentukan, tetapi dapat segera menghasilkan respons yang benar. 2. Fase belajar Menurut Bandura (1977), ada empat fase belajar dari model, yaitu fase perhatian, retensi, reproduksi dan motivasi. Fase-fase belajar adalah seperti pada gambar di bawah ini : a Fase Perhatian Pada umumnya para siswa memberikan perhatian pada model-model yang menarik, berhasil, menimbulkan minat, dan popular.Inilah sebabnya mengapa banyak siswa meniru pakaian, tata rambut dan sikap-sikap para bintang film, misalnya. b Fase Retensi Belajar observasional terjadi berdasarkan kontiguitas.Dua kejadian contiguous yang diperlukan ialah perhatian pada penampilan model dan penyajian simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka panjang.Bandura mengemukakan bahwa peranan kata-kata, namanama, atau bayangan yang kuat yang dikaitkan dengan kegiatankegiatan yang dimodelkan dalam mempelajari dan mengingat perilaku sangatlah
penting.
Pengulangan
tidak
selalu
harus
terbuka.Pengulangan tertutup dari perilaku yang dipelajari melalui belajar observasional kerap kali dilakukan oleh para mahasiswa calon guru yang mempersiapkan pelajaran mereka yang pertama. Dari guru pamong, mahasiswa sebagai calon guru belajar bagaimana berdiri di
20
muka
kelas,
bagaimana
memberikan
pelajaran
pendahuluan,
menuliskan konsep atau kata-kata baru di papan tulis, memberikan giliran
pada
siswa-siswa,
memberikan
rangkuman,
dan
lain
sebagainya.sebelum mahasiswa itu memberikan pelajarannya, dalam pikirannya ia membayangkan persiapan yang telah dibuatnya. Pengulangan tertutup semacam ini menolong mahasiswa itu mengingat
unsur-unsur
pokok
pola
perilaku
yang
harus
dikuasai.Pengulangan tertutup ini menolong terbentuknya kesesuaian antara perilaku mahasiswa itu dan perilaku model. c Fase Reproduksi Dalam fase ini bayangan atau kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh.Fase reproduksi mengizinkan model atau instruktur untuk melihat apakah komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh yang belajar.Ada kalanya hanya sebagian dari suatu
urutan
perilaku
yang
diberi
kode
yang
benar
dan
dimiliki.Misalnya, seorang guru mungkin menemukan bahwa setelah memodelkan
prosedur-prosedur
untuk
memecahkan
persamaan
kuadrat, beberapa siswa hanya dapat memecahkan sebagian dari persamaan itu.Mereka mungkin membutuhkan pertolongan dalam menguasai seluruh urutan untuk memecahkan persamaan kuadrat itu.Kekurangan penampilan hanya dapat diketahui bila siswa-siswa diminta
untuk
menampilkan.Itulah
sebabnya
fase
reproduksi
diperlukan. d Fase Motivasi Para siswa akan meniru suatu model sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat demikian, mereka akan meningkatkan kemungkinan untuk memperoleh reinforcement. Dalam kelas, fase motivasi belajar observasional kerap kali terdiri atas pujian atau angka untuk penyesuaian dengan model guru. Para siswa memperhatikan model itu,
melakukan
latihan
dan
menampilkannya
sebab
mereka
mengetahui bahwa inilah yang dikuasai guru dan menyenangkan guru. 21
3. Belajar Vicariuos Guru-guru
dalam
kelas
selalu
menggunakan
prinsip
belajar
vicarious.Bila seorang murid berkelakuan baik dan memuji mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang nakal melihat bahwa bekerja memperoleh reinforcement sehingga ia pun kembali bekerja.
4. Pengaturan Sendiri Bandura berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri, mempertimbangkan perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian memberi reinforcement atau hukuman pada dirinya sendiri. Teori belajar sosial mengemukakan bahwa sebagian besar dari kreteria yang kita miliki untuk perilaku kita, kita pelajari dari banyak hal-hal yang lain, seperti model-model dalam dunia sosial kita. Respons-respons
kognitif
kita
terhadap
perilaku
kita
sendiri
mengizinkan kita untuk mengatur perilaku kita sendiri.Dengan mengamati, kita mengumpulkan data tentang respons-respons kita. Melalui standarstandar panampilan yang sudah terinternalisasi, kerap kali dipelajari melalui observasi , kita pertimbangkan perilaku kita. Dengan memberi hadiah atau menghukum kita sendiri, kita dapat mengendalikan perilaku kita secara efektif.Kita tidak perlu dikendalikan oleh kekuatan lingkungan atau keinginan yang dating dari dalam.Kita dapat belajar menjadi manusia social yang berkepribadian.Dengan menerapkan gagasan-gagasan dari teori belajar social pada diri kita sendiri, kita dapat menjadi guru dan siswa yang lebih baik.
2.3 PRINSIP–PRINSIP TEORI-TEORI BELAJAR Beberapa prinsip yang melandasi teori-teori perilaku antara lain : konsekuensi-konsekuensi, kesegeraan (immediacy) konsekuensi-konsekuensi, pembentukan (shaping). 2.3.1 Konsekuensi-Konsekuensi
22
Prinsip yang paling penting dari teori-teori belajar perilaku ialah, bahwa perilaku berubah menurut konsekuensi-konsekuensi langsung.Konsekuensikonsekuensi yang menyenangkan “memperkuat” perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan “melemahkan” perilaku. Bila seekor tiukus yang lapar menerima butiran makanan waktu ia menekan sebuah papan, tikus itu akan menekan papan itu lebih kerap kali. Tetapi bila tikus itu menerima denyutan listrik, tikus itu akan menekan papan itu makin berkurang, atau berhenti sama sekali. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut reinforser, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (punishers). a. Reinforser-Reinforser Reinforser-reinforser dapat dibagi menjadi dua golongan: primer dan sekunder. Reinforser primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, misalnya makanan, air, keamanan, kemesraan, dan seks.Reinforser sekunder merupakan reinforser yang memperoleh nilainya setelah diasosiasikan dengan reinforser primer atau reinforser lainnya yang sudah mantap. Ada tiga kategori dasar reinforser sekunder, yaitu reinforsr sosial (seperti pujian, senyuman, atau perhatian), reinforser aktivitas (seperti pemberian mainan, permainan, atau kegiatan-kegiatan yang menyenangkan), dan reinforser simbolik (seperti uang, angka, bintang, atau points yang dapat ditukarkan untuk reinforser-reinforser lainnya). b. Hukuman Konsekuensi-konsekuensi yang tidak memperkuat perilaku disebut hukuman.Para
teoriwan
perilaku
berbeda
pendapat
mengenai
hukuman ini.Ada yang berpendapat, bahwa hukuman itu hanya temporer, bahwa hukuman menimbulkan sifat menentang atau agresi.Ada pula teoriwan-teoriwan yang tidak setuju dengan pemberian hukuman. Pada umumnya mereka setuju bahwa hukuman itu hendaknya digunakan, bila reinforsemen telah dicoba dan gagal, dan bahwa hukuman diberikan dalam bentuk selunak mungkin, dan 23
hukuman hendaknya selalu digunakan sebagai bagian dari suatu perencanaan yang teliti, tidak dilakukan karena frustasi. 2.3.2 Kesegeraan (Immediacy) Konsekuensi-Konsekuensi Salah satu prinsip dalam teori belajar perilaku ialah, bahwa konsekuensi-konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih mempengaruhi perilaku dari pada konsekuensi-konsekuensi yang lambat datangnya. Prinsip kesegeraan konsekuensi-konsekuensi ini penting artinya dalam kelas.Khususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik, dapat merupakan suatu reinforser yang lebih kuat dari pada angka yang diberikan kemudian. 2.3.3 Pembentukan (Shaping) Selain kesegeraan dari reinforsemen, apa yang akan diberi reinforsemen juga perlu diperhatikan dalam mengajar. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforsemen pada langkahlangkah yang menuju pada keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang disebut pembentukan. Istilah pembentukan atau “shaping” digunakan dalam teori-teori belajar perilaku dalam mengajarkan keterampilan-keterampilan baru atau perilakuperilaku dengan memberikan reinforsemen pada para siswa dalam mendekati perilaku akhir yang diinginkan. Ringkasan dari langkah-langkah dalam pembentukan perilaku baru adalah sebagai berikut: a Pilihlah tujuan – buat tujuan itu sekhusus mungkin. b Tentukan sampai di mana siswa-siswa itu sekarang. Apakah kemampuan-kemampuan mereka? c Kembangkan satu seri langkah-langkah yang dapat merupakan jenjang untuk membawa mereka dari keadaan mereka sekarang ke tujuan yang telah ditetapkan. d Berilah umpan balik selama pelajaran berlangsung. 24
2.4 PENERAPAN TEORI PERILAKU DALAM SITUASI KELAS 1. Pastikanlah bahwa murid memiliki kesiapan untuk belajar. Ms. Walker kelas empat, akan mengajar penambahan angka-angka pecahan. Namun, sebelum memulainya, ia memerikasa apakah meridmuridnya dapat menabahkan angka-angka penuh. Dua murid masih mengalami kesulitan menambahkan angka-angka penuh, sehingga ia menggunakan waktu eksternal untuk mengajarkan mereka hngga mereka dapat menambahkan angka-angka penuh secara penuh secara tepat. Mr. Tamborina mengatak kepada murid-murid kelas limanya bahwa, sesudah mereka mempelajari cara melakukan pembagian angka-angka, mereka akan mampu menghitung rata-rata pukulan kena yang dilakukan oleh para pemain kasti. Pada pertengahan tahun ajaran sekolah itu, ia merasa bahwa mereka dapat melakukan pembagian anngka-angka dengan cukup baik, sehingga ia mengajar kepada mereka cara menghitunng rata-rata pukulan kena (angka total pukulan kena dibagi dengan jumlah kesempatan memukul). 2. Buatlah murid membentuk asosiasi antara stimulasi dan respons. Seorang guru kelas tiga sedang mengajarkan murid-muridnya penulisan judul laporan. Ia meminta murid-muridnyamenuliskan judul pada semua mata pelajaran-matematika, mengarang mengeja, dan ilmu sosial. Ia ingin mereka bereka belajar bahwa, ketika mereka mulai mengerjakan sebuah laporan (stimulasi), mereka harus menuliskan sebuah judul (respons). Seorang guru tingkat sekolah dasar membantu murid-mridnya mempelajari perkalian angka-angka dengan memberikan kepada mereka soal-soal latihan pemeriksaan yang singkat setiap hari. Tujuan guru ini adalah agar mereka mengasolasikan stimulasi “9 x 7 =” dengan respon yang tepat, “63”. 3. Asosiasikanlah aktivitas belajar dan aktivitas di kelas dengan konsekuensi yang menyenangkan. Seorang guru kelas empat memutuskan untuk memulai mata pelajaran memasak dikelasnya setiap hari Jumat, untuk embantu murid-muridnya mempelajari 25
pengukuran. Setelah murid-muridnya ini menyiapkan berbagai bahan resep dengan ukuran-ukuran yang akurat, mereka mulai memasak masakan mereka tersebut. Ms. Kincaid., guru seni tingkat sekolah menengah, sedang membantu murid-muridnya mempelajari tekhnik memahat dan tekhnik membuat kerajinan gelas. Setelah mereka menyelesaikan beberapa proyek kecil, murid-murid ini mampu mengerjakan sebuah proyek yang lebih besar untuk ditempatkan di rumah mereka masing-masing. 4. Perkuatlah perilaku yang diinginkan dan padamkanlah perilaku yang tidak diinginkan. Mrs. Wazulski berkeliling kelas dan memonitor pengerjaan tugas mandiri murid-muridnya. Ia mengomentari aspekaspek yang diinginkan dari pekerjaan mereka (misalnya “itu bagus, Jim, kamu mengerjakannya dengan sangat baik.”) dan menunjukkan kepada murid-muridnya cara berkinerja yang lebih baik “Halaman itu dikerjakan dengan agak ceroboh, Mara. Lihatlah contoh ini. Cobalah mengerjakannya dengan cara seperti ini.” Jason mendorong Sam keluar dari barisan. Mr Christo melihat hal ini, lalu segera mengatakan “Jason, kita tidak mendorong individu lain. Kamu mengetahui bahwa penalti dikarenakan mendorong individu lain adalah tidak adanya waktu bebas., jadi kamu kehilangan waktu bebasmu hari ini.” Keesokannya, Jason tidak bertindak menyimpang ketika berjalan dalam barisan. Mr Christo mengatakan, “Jason, kamu bisa menjadi pemimpin barisan saat kembali dari ruang makan siang nanti, karena kamu bertingkah laku sangat baik ketika berjalan dalam barisan dan tidak mendorong.” 5. Perkuatlah kemajuan pembelajaran dan perilaku. Mr Green meminta murid-murid tingkat sekolah lanjutan di kelas bahasa Inggris-nya agar menyimpan portofolio karangan mereka. Secara periodik, is bertemu dengan masing-masing muridnya untuk meninjau hasil kerja mereka dan
menunjukkan
area-area
perbaikan.
Hasil
dari
sesi-sesi
perbincangan ini adalah mereka memahami bahwa diri mereka memenag mengalami kemajuan pada keterampilan mengarang. Mr.
26
Leland., guru musik tingkat sekolah dasar, memiliki murid-murid kelas dua yang sedang mengalami kesulitan mempelajari enam lagu yang diprogramkan pada musim semi itu. Mr. Leland membuat sebuah grafik yang mendaftarkan enam lagu tersebut. Ia mengatakan kepada murid-muridnya bahwa, setiap kali mereka mempelajari sebuah lagu, ia akan menempatkan sebuah bintang pada grafik tersebut. Setelah mereka mendapatkan enam bintang, mereka akan mengadakan pesta popcorn di kelas. 6. Jadikanlah “partisipasi murid dalam aktivitas yang dianggap bernilai olehnya” mensyaratkan “pelaksanaan aktivitas yang dianggap kurang bernilai olehnya”. Alfonso, murid kelas lima, tidak suka menyelesaikan tugas membacanya, namun ia senang menulis cerita dengan menggunakan komputer. Mr. Willet, gurunya, mengatakan kepadanya bahwa ia boleh memiliki waktu ekstra bekerja dengan menggunakan komputer asalkan ia menyelesaikan tugas membacanya. Mrs, Sherrill, guru seni drama tingkat sekolah lanjutan, mengatakan kepada murid-muridnya, bahwa untuk mendapatkan peran dalam pertunjukkan yang diselenggarakan oleh murid-murid kelas dua belas, mereka sedikitnya harus menghadiri 15 dari 20 sesi latihan pertunjukkan tersebut.
2.5 KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN TEORI-TEORI PERILAKU Telah diuraikan beberapa teori-teori perilaku. Sebagaimana setiap teori tidak akan pernah sempurna demikian halnya dengan teori-teori peilaku. Di samping kekuatan-kekuatannya ada pula kelemah-kelemahannya. Prinsip-prinsip yang melandasi teori-teori perilaku kedudukannya kuat dalam psikologi, dan hal ini telah ditunjukkan dalam berbagai situasi.Prinsipprinsip ini berguna untuk menjelaskan sebagian besar dari perilaku manusia dan bahkan lebih berguna dalam mengubah perilaku. Proses-proses belajar yang kurang tampak, seperti pembentukan konsep, belajar dari buku, pemecahan masalah, dan berfikir, sukar untuk
27
diamati secara langsung sehingga kurang diteliti oleh para teoretikus perilaku. Proses – proses ini termasuk ke dalam domain belajar kognitif. Teori-teori belajar perilaku dan kognitif kerap kali dikemukakan sebagai model-model yang bersaing dan bertentangan.Sebenarnya lebih baik melihat kedua macam teori ini sebagai teori-teori yang menanggapi masalahmasalah yang berbeda, jadi lebih bersifat komplimenter dari pada bersaing. Teori belajar perilaku ini sangat cocok dalam pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan spontanitas, kelenturan daya tahan dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak – anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Namun, penting untuk diketahui bahwa ruang lingkup teori belajar perilaku terbatas. Dengan pengecualian teoritikus – teoritikus sosial, para teoritikus belajar perilaku terutama memusatkan pada perilaku yang tampak. Pandangan teori belajar perilaku ini hanya mengakui adanya stimulus-respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur – unsur yang diamati tersebut. Menurut pandangan teori belajar peilaku, siswa dipandang sebagai pembelajar yang pasif dan kurang memberikan ruang gerak yang bebas untuk siswa dalam mengembangkan potensi dirinya. Kekurangan teori belajar ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil.Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter. Teori belajar ini juga cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukkan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
28
BAB III TEORI BELAJAR KOGNITIF 3.1 DEFINISI TEORI BELAJAR KOGNITIF Menurut Wundt kognitif adalah suatu proses aktif dan kreatif yang bertujian membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Wundt percaya bahwa pikiran adalah hasil kreasi para siswa yang aktif dan kreatif yang kemudian disimpan di dalam memori (Divesta, 1987). Teori belajar kognitif menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perceptual. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek kejiwaan lainnya. belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikiryang sangat kompleks (Budiningsih, 2005 : 34). Menurut pendekatan kognitif, dalam kaitan teori pemrosesan informasi, unsur terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki setiap individu sesuai dengan situasi belajarnya. Apa yang telah diketahui siswa akan menentukan apa yang akan diperhatikannya, dipersepsi olehnya, dipelajari, diingat atau bahkan dilupakan. Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut. 1. Pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan yang dapat dinyatakan dalam bentuk kata atau disebut pula pengetahuan yang konseptual. Pengetahuan yang deklaratif rentangnya luas, dapat tentang fakta, konsep, generalisasi, pengalaman pribadi atau tentang hukum dan aturan. 2. Pegetahuan procedural, yaitu pengetahuan tentang tahap-tahap atau proses-proses yang harus dilakukan, atau pengetahuan tentang
29
bagaimana melakukan (how to do). Pengetahuan ini dicirikan oleh adanya praktik atau implementasi dari suatu konsep. 3. Pengetahuan kondisional, yaitu pengetahuan tentang kapan dan mengapa
(when and why) suatu pengetahuan deklaratif dan
pengetahuan procedural digunakan. Pengetahuan ini terkait dengan bagaimana
mengimplementasikan
baik
pengetahuan
deklaratif,
maupun procedural. Pengetahuan ini amat penting karena menentukan kapan penggunaan konsep dan prosedur yang tepat dalam pemecahan masalah. Dalam konteks kognivisme yang dianggap pengembanagan teori pemrosesan informasi yang justru Robert M. Gagne, yang kemudian dikembangkan oleh Geoerge Miller. Menurut Gangne, dalam pembelajaran terjadi proses peerimaan informasi yang selanjutnya diolah sehingga menghasilkan keluaran berupa hasil belajar. Dalam pengolahan informasi terjadi interaksi antara kondisi-kondisi internal dengan kondisi eksternal individu. Kondisi internal adalah kondisi dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal serta proses kognitif yang terjadi dalam diri individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsanag dari luar yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Model pengolahan informasi merupakan model dalam teori belajar yang menjelaskan kerja motorik manusia yang meliputi Tiga macam system penyimpanan ingatan, yaitu : 1. Memori sensori, suatu sistem mengingat stimuli secara cepat. 2. Memori kerja, yaitu memori jangka pendek. 3. Memori jangka panjang. Berfungsi menyimpan informasi yang sangat besar dalam waktu yang lama.
30
3.2 TEORI-TEORI BELAJAR BERBASIS KOGNITIVISME 3.2.1 Teori Kognitif Gestalt Pokok pandangan gestalt bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi. Pandangan gestalt lebih menekankan kepada perilaku molar. Implementasi teori Gestalt dalam pembelajaran, antara lain : 1. Pengalaman tilikan (insight), kemampuan tilikan adalah kemapuan mengenali keterkaitan unsur-unsur dalam suatu peristiwa. 2. Pembelajaran bermakana (meaningful learning), kebermakaa unsureunsur yang terkait dalam proses pembelajaran akan semakin efektif sesuatu yang dipelajari, hal ini akan sangat penting dalam pemecahan masalah. 3. Perilaku bertujuan (purposive behavior), maknanya perilaku terarah pada tujuan. Proses pembelajaran akan sangat efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapai dari suatu proses pembelajaran tersebut. 4. Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan
dengan
lingkungan
di
mana
ia
berada.
Materi
pembelajaran hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan ditempat siswa tinggal dan hidup. Konsep ini dikembangkan oleh Lewin. 5. Transfer dalam belajar, transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu maslah dan menemukan
generalisasi
untuk
kemudian
digunakan
dalam
pemecahan masalah. 3.2.2 Teori belajar medan kognitif dari kurt lewin Kurt lewin mengembangkan teori belajar medan kognitif (cognitive feld menitikberatkan perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial, karena pada hakikatnya masing-masing individu berada didalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis, yang disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya orang yang dijumpai, fungsi kejiwaan yang dimiliki dan objek material yang dihadapi.
31
Jadi, tingkah laku merupakan hasil inteaksi antar kekuatan, baik yang berasal dari dalam diri individu, seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun yang berasal dari luar diri individu, seperti tantangan dan permasalahan yang dihadapi. Dalam pencapaian tujuan seorang individu selalu ada hambatan atau tantangan yang harus dihadapi. Sehingga motivasi internal akan muncul karena untuk mencapai suatu tujuan dengan menghadapi hambatan diperlukan motivasi dalam diri, dengan demikian peran motivasi jauh lebih penting daripada hadiah. 3.2.3 Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget Teori perkembangan kognitif disebut pula teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan mental. Menurut Piaget, perkembangan kognitif adalah suatu proses genetik yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem saraf. Piaget cenderung menganut teori psikogenesis, artinya pengetahuan sebagai hasil belajar berasal dari dalam individu. Proses berpikir anak merupakan suatu aktivitas gradual, tahap demi tahap dari fungsi intelektual, dari konkret menuju abstrak. Menurut Piaget Secara garis besar skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya dibagi dalam empat periode utama atau tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Tahap sensori motor ( sejak lahir sampai sekitar 2 tahun) 2. Tahap pra-operasional ( sekitar usia 2 – 7 tahun) 3. Tahap operasional konkret ( sekitar 7- 11 tahun) 4. Tahap operasional formal ( usia 11 tahun dan seterusnya) Perkembangan skema adalah universal dalam urutannya, artinya semua pembelajar di seluruh dunia memang harus melewati tahap sensori motor sampai kepada tahap operasional formal. Menurut Piaget (Semiawan, 2002 : 51-52) semua perkembangan skema bersifat universal bagi seluruh umat manusia, sehingga implikasinya bagi pendidikan adalah kita tidak dapat mengajarkan sesuatu pada seseorang bila belum ada kesiapan yang merujuk kepada kematangannya. Piaget mengembangkan konsep adaptasi dengan dua varian yaitu asimilasi dan akomodasi. Adaptasi yaitu struktur fungsional, sebuah istilah
32
yang digunakan Piaget untuk menunjukkan pentingnya pola hubungan individu dengan lingkungannya dalam proses pengembangan kognitif. Akomodasi yaitu menciptakan langkah baru atau memperbaharui atau menggabungkan isitlah/konsep lama menghadapi tantangan baru. Jadi, asimilasi terjadi perubahan pada objeknya, sedangkan pada akomodasi perubahan pada subjeknya, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan objek yang ada diluar dirinya. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut : a Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. b Anak-anak akan belajar lebih baik bila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. c Bahan yang harus dipejarai anak hendaknya dirasakan sebagai bahan baru tetapi tidak asing. d Berikan
peluang
agar
anak
belajar
sesuai
dengan
tahap
perkembangannya. e Didalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya. Konsep Piaget langkah-langkah pembelajaran meliputi aktivitas sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan pembelajaran 2. Memilih materi pembelajaran 3. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif 4. Menentukan kegiatan belajar yang sesuai dengan topik-topik 5. Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreativitas dan cara berpikir siswa 6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa 3.2.4 Teori Discovery Learning dari Jerome S. Bruner Dasar teori Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif saat belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar dengan menemukan, siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang
33
dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir anak. Menurut Bruner seiring dengan terjadinya pertumbuhan kognitif para pembelajar harus melalui tiga tahapan perkembangan intelektual itu menurut Bruner meliputi : 1. Enaktif, seseorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi terhadap suatu objek. 2. Ikonik, pembelajarn terjadi melalui penggunaan model dan gambargambar dan visualisasi verbal. 3. Simbolik, siswa mampu menggambarkan kapasitas berpikir dalam istilah yang abstrak. Tujuan pokok pendidikan menurut Bruner adalah guru harus memandu para siswa sehingga mereka dapat membangun basis pengetahuannya sendiri dan bukan karena diajari melalui memorisasi hafalan. Teori pembelajaran dari Jerome Bruner adalah teori pembelajaran konsep atau pembelajaran kategori atau dikenal sebagai pemerolehan konsep. Jadi, pembelajaran konsep adalah strategi yang mempersyaratkan seorang pembelajar untuk membandingkan dan mengontraskan seorang pembelajar untuk membandingkan dan mengontraskan kelompok-kelompok atau kategori-kategori yang mengandung cirri-ciri konsep yang relevan dengan kelompok atau kategori yang tidak mengandung cirri-ciri konsep yang relevan. Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan pembelajaran 2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa 3. Memilih materi pelajaran 4. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif 5. Mengembangkan bahan-bahan belajar 6. Mengatur topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, dari tahap enaktif, ikonik, ke simbolik 7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
34
3.3 APLIKASI TEORI KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpihak pada teori belajar kognitif
ini
sudah
banyak
digunakan.
Dalam
menemukan
tujuan
pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut: a Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahaptahap tertentu. b Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik terutama jika mendengarkan benda-benda kongrit. c Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. d Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah memiliki si belajar. e Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke komplek. f Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar mneghafal. g Adanya perbedaan individual pada diri siswa pelu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. 3.4 IMPLIKASI TEORI BELAJAR KOGNITIF DALAM PEMBLAJARAN Dalam perkembangan setidaknya ada empat teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: Teori perkembangan Gestalt, teori
35
kognitif Brunner, Teori Piaget dan Teori Kurt Lewin. Keempat tokoh teori penting ini yang dapat mengembangkan teori belajar kognitif. Teori Kognitif Piaget, Brunner, Gestalt dan Kurt Lewin, Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap: 1. Asimilasi (penyesuaian (peleburan) sifat asli yg dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar; lingkungan perubahan bunyi konsonan akibat pengaruh konsonan yg berdekatan 2. Akomodasi (penyesuaian mata untuk menerima bayangan yang jelas dari objek yg berbeda; Antara penyesuaian manusia dalam kesatuan sosial untuk menghindari dan meredakan interaksi ketegangan dan konflik; Sos penyesuaian sosial dalam interaksi antara pribadi dan kelompok manusia untuk meredakan pertentangan 3. Equilibrasi. Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaranan bukan ditentukan oleh umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap: a
Enaktif (aktivitas)
b
Ekonik (visual verbal)
c
Simbolik
Dari keempat macam teori diatas jelas masing-masing mempunya implikasi yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitif siswa dan ini tidaklah mudah, Dengan memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajaran bahasa disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu, juga model penyusunan materi pelajaran hendaknya disusun berdasarkan pola dan logika tertentu agar lebih mudah dipahami. Penyusunan materi pelajaran di buat bertahap mulai dari yang paling sederhana ke kompleks. hendaknya dalam proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya terfokus pada hafalan, tetapi juga memahami apa yang sedang dipelajari, dengan demikian jauh akan lebih baik dari sekedar menghafal kosakata.
36
BAB IV TEORI BELAJAR VYGOTSKY 4.1 PROFIL SINGKAT VYGOTSKY Nama lengkap Vygotsky adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan berketurunan Yahudi. Ia tertarik pada psikologi saat berusia 28 tahun. Sebelumnya, ia lebih menyukai dunia sastra. Awalnya, ia menjadi guru sastra di sebuah sekolah, namun pihak sekolah juga memintanya untuk mengajarkan psikologi. Padahal, ia sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal di fakultas psikologi sebelumnya. Namun, inilah skenario yang membuatnya menjadi tertarik untuk menekuni psikologi, hingga akhirnya ia melanjutkan kuliah di program studi psikologi Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925. Judul disertasinya mengenai ”Psychology of Art”. Lev Vygotsky adalah seorang psikolog yang berasal dari Rusia dan hidup pada masa revolusi Rusia. Vygotsky dalam menelurkan pemikiranpemikirannya di dunia psikologi kerap menghadapi rintangan oleh pemerintah Rusia saat itu. Perkembangan pemikirannya meluas setelah ia wafat pada tahun 1934, dikarenakan menderita penyakit TBC. Vygotsky pun sering dihubungkan dengan psikolog Swiss bernama Piaget. Lahir pada masa yang sama dengan Piaget,seorang psikolog yang juga mempunyai keyakinan bahwa keaktifan anak yang membangun pengetahuan mereka. Vygotsky meninggal dalam usia yang cukup muda, yaitu ketika masih berusia tiga puluh tujuh tahun.Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan.
37
4.2 TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF VYGOTSKY Perkembanagan kognitif terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka beruasaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan. Dalam upaya mendapatkam pemahaman, individu berusaha menagaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya kemudian membangun pengertian baru. Perkembangan kognitif dalam pandangan Vygotsky diperoleh melalui dua jalur, yaitu proses dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat sosiobudaya. Vygotsky percaya bahwa perkembangan anak mencakup perubahan kualitatif dan kuantitatif. Saat perubahan kualitatif terjadi, seluruh sistem fungsi mental mengalami restrukturisasi besar, yang berakibat pada munculnya bentuk kognitif dan sosial-emosional baru atau pencapaian perkembangan. Demikian juga dengan adanya periode dimana tidak ada pembentukan baru yang terjadi, tapi anak-anak masih mengembangkan kemampuan mereka yang ada. Selama periode ini, pertumbuhan terjadi sebagai perubahan kuantitatif dalam jumlah hal yang bisa diingat dan diproses oleh anak. Meskipun secara tegas bukan “stage theory” (teori bahwa perkembangan berlangsung melalui beberapa tahap), pandangan Vygotsky mencakup konsep “periode usia” masa bayi, usia prasekolah dan taman kanak-kanak, usia sekolah dasar dan remaja, setiap masa berdasar pada masa sebelumnya dan setiap masa ditentukan oleh rangkaian pencapaian perkembangannya yang unik (Roopnarine, 2011:253) Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development (Yohanes, 2010: 134).
38
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat konsep, yaitu: 4.2.1 Konsep Sosiokultural Teori
belajar
mengakomodasi
vgotsky,
merupakan
sociocultural-revolution
pandangan dalam
teori
yang
mampu
belajar
dan
pembelajaran. Lev vgotsky mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, bukan dari individu (Budiningsih, 2003: 42-43) . Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang
39
lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut Vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilanketerampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang. Studi Vygotsky fokus pada hubungan antara manusia dan konteks sosial budaya di mana mereka berperan dan saling berinteraksi dalam berbagi pengalaman atau pengetahuan. Oleh karena itu, teori Vygotsky yang dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural menekankan pada interaksi sosial dan budaya dalam kaitannya dengan perkembangan kognitif. Perkembangan pemikiran anak dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di mana ia dibesarkan (Danoebroto, 2015: 194). Menurut Vygotsky (Salkind, 2004: 278), setiap fungsi dalam perkembangan budaya anak akan muncul dua kali yaitu pada mulanya di tingkat sosial dalam hubungan antarmanusia atau interpsikologi, kemudian muncul di tingkat personal dalam diri anak atau intrapsikologi. Hal ini berarti, perlu mengetahui proses sosial dan budaya yang membentuk anak untuk memahami perkembangan kognitifnya. Kemajuan perkembangan kognitif anak diperoleh sebagai hasil interaksi sosial dengan orang lain. Orang lain di sini tidak selalu orangtua, melainkan bisa orang dewasa lain atau bahkan teman sebaya yang lebih memahami tentang sesuatu hal. Menurut Slavin (2000:270). Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Konsep ini oleh Vygotsky dinamakan pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship). Pemagangan kognitif mengacu pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud di sini adalah orang yang menguasai permasalahan yang dipelajari. Menurut Vygotsky, setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua perkembangan intelektual yang mencakup makna, ingatan, pikiran,
40
persepsi, dan kesadaran bergerak dari wilayah interpersonal ke wilayah intrapersonal. Mekanisme yang mendasari kerja mental tingkat tinggi itu merupakan salinan dari interaksi sosial. Dalam pandangan Vygotsky, semua kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia mempunyai asal-usul dalam interaksi sosial setiap individu dalam konteks budaya tertentu. Kognisi merupakan internalisasi dari interaksi sosial. Teori kognisi sosial dari Vygotsky ini mendorong perlunya landasan sosial yang baru untuk memahami proses pendidikan(Yohanes, 2010: 129). Lingkungan sosial yang menguntungkan anak adalah orang dewasa atau anak yang lebih mampu yang dapat member penjelasan tentang segala sesuatu sesuai dengan nilai kebudayaan. Sebagai contoh, bila anak menunjuk suatu objek, orang dewasa tidak hanya menjelaskan tentang obyek tersebut, namun juga bagaimana anak harus berperilaku terhadap objek tersebut (Rita, dkk, 2008:134). Vygotsky membedakan proses mental menjadi 2, yaitu : a. Elementary. Masa praverbal, yaitu selama anak belum menguasai verbal, pada saat itu anak berhubungan dengan lingkungan menggunakan bahasa tubuh. b. Higher. Masa setelah anak dapat berbicara. Pada masa ini, nak akan berhubungan dengan lingkungan secara verbal. 4.2.2 Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) Vygotsky juga mengemukakan konsepnya tentang zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) atau dapat diartikan sebagai daerah perkembangan terdekat (DPT). Menurutnya, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Ini disebut sebagai kemampuan instrumental, sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk meyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Ini disebut sebagai kemampuan
41
intermental. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal (Budiningsih, 2003:44). Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual
development dan potensial
development.Vygotsky
(Taylor,
1993: 5) mendefinisikan Zone of Proximal Development (ZPD) sebagai berikut. Zone of proximal development is the distance between the actual developmental level as determined through independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers. Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara kemampuan siswa untuk melakukan tugas di bawah bimbingan orang dewasa dan atau dengan kolaborasi temansebaya dan pemecahan masalah secara mandiri sesuai kemampuan siswa. Dalam definisi di atas, batas bawah dari Zone of Proximal Development (ZPD) adalah tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara mandiri (perkembangan aktual). Batas atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur (taraf perkembangan potensial). Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak (Danoebroto, 2015:195).Vygotsky juga mencatat bahwa dua anak yang mempunyai taraf perkembangan aktual sama, dapat berbeda taraf perkembangan potensialnya. Jadi ZPD (DPT) mereka masing-masing berlainan meskipun berada dalam situasi belajar yang sejenis (Jones & Thornton, 1993:20).
Gambar 2.1. Zona Perkembangan Proksimal Oakley (2004:41)
42
Kunci utama dari teori ini adalah peran guru atau orang lain yang lebih berpengalaman. Ide Vygotsky adalah peran penting guru dalam menyediakan bimbingan kepada siswa, memberikan masukan dan saran serta menawarkan berbagai
macam
strategi
dalam
memecahkan
masalah
Oakley
(2004:41).Trianto (2011:39) juga menambahkan bahwa menurut Vygotsky proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugastugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka yang disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Vygotsky menciptakan konsep Zone Proximal Development (ZPD) sebagai cara psikolog untuk pendidik untuk memikirkan pengembangan anakanak dan bagaimana mereka belajar dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah diperlukan untuk melaksanakan bidang tugas kaitannya dengan pengembangan. ZPD mengembangan suatu hubungan perspektif psikologis umum pada pengembangan anak dengan suatu perspektif bersifat pendidikan pada instruksi. Istilah ini sebenarnya mengacu kepada proses dengan mana seseorang yang sedang belajar secara tahap demi tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar, pakar itu bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya. Dalam banyak pekerjaan, pekerja-pekerja baru mempelajari pekerjaan mereka melalui proses pemagangan, di mana seorang pekerja baru bekerja didampingi dengan pekerja yang sudah berpengalaman, yang bertindak sebagai model, memberikan umpan balik kepada pekerja yang belum berpengalaman, dan tahap demi tahap memperkenalkan pekerja baru itu ke dalam norma dan perilaku profesi itu. Mengajar siswa di kelas adalah suatu bentuk pemagangan (Mappalotteng, 2008:3-4). Definisi ZPDdi atas dipahami dalam pendidikan sebagai berikut: jika sebuah masalah dapat diselesaikan secara mandiri (tanpa bantuan orang lain atau guru) oleh siswa, maka siswa tersebut telah berada pada taraf
43
kemampuan aktualnya. Tetapi, jika masalah tersebut baru dapat diselesaikan oleh siswa dengan bantuan orang lain (guru atau teman sebaya) yang lebih memahami masalah, maka siswa tersebut telah berada pada taraf kemampuan potensialnya. Jika guru mengajukan masalah untuk dipecahkan oleh siswa sebaiknya masalah itu berada di antara taraf kemampuan aktual dan taraf kemampuan potensial, atau masalah berada pada daerah jangkauan kognitif siswa. Demikian juga dalam pembelajaran Matematika yang memiliki sifat hierarki dalam suatu struktur tertentu, misalkan siswa akan mempelajari materi P untuk pertama kalinya. Jika siswa telah menguasai dengan baik materi prasyarat untuk mempelajari materi P, maka siswa telah berada pada taraf kemampuan aktualnya. Jika siswa menguasai secara tuntas materi P setelah mengikuti proses pembelajaran, maka siswa berada pada tingkat kemampuan potensialnya (Yohanes, 2010: 132). Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemmpuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Ibaratnya sebagai embrio, kuncup atau bunga, yang belum menjadi buah. Tunas-tunas perkembangan ini akan menjadi matang melalui interaksinya dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Untuk menafsirkan konsep zona perkembangan proksimal ini dengan menggunakan scaffolding interpretation, yaitu memandang zona perkembangan proksimal sebagai perancah, sejenis wilayah penyanggah atau batu
loncatan
untuk
mencapai
taraf
perkembangan
yang
semakin
tinggi.Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat independen atau saling terkait, perkembangan seseorang bersifat context dependent atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial (Budiningsih, 2003:44). Berpijak pada konsep zona perkembangan proksimal, maka sebelum terjadi internalisasi dalam diri anak, atau sebelum kemampuan intermental terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa 44
dan/atau teman sebaya yang lebih kompeten perlu membantu dengan berbagai cara seperti memberikan contoh, memberikan feedback, menarik kesimpulan, dan
sebagainya
dalam
rangka
perkembangan
kemampuannya
(Budiningsih:45). Menurut Tharp & Gallimore (1988:35) yang dikutip oleh Yohanes (2010:131-132) tingkat perkembangan ZPD (DPT) terdiri atas empat tahap, yaitu: a. Tahap Pertama: More Dependence to Others Stage Tahapan dimana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain, seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan kognisi anak secara konstruktif. b. Tahap Kedua: Less Dependence External Assistence Stage Tahap dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri. c. Tahap Ketiga: Internalization and Automatization Stage Tahap dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kasadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang. d. Tahap Keempat: De-automatization Stage Tahap dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolakbalik, recursion. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya. Keempat
45
tahapan perkembangan ZPD (DPT) di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Empat Tahap Perkembangan ZPD (Tharp & Gallimore, 1988:35) yang dikutip oleh Yohanes (2010:131-132) Fenomena dari ZPD menekankan pada peranan pokok dari pendidikan dalam perkembangan intelektual. Menurut Vigotsky dalam Agustiani (2006) yang dikutip oleh Katminingsih (2009: 97) bahwa,“Pendidikan mempunyai pengaruh hanya bila berada di depan perkembangan”. Maksud dari pernyataan ini adalah, bagi anak-anak yang mempunyai kemampuan intelektual istimewa (luar biasa) dan di dalam dirinya ada ZPD, maka praktik pendidikan, misalnya berbagai pengalaman belajar, stategi pembelajaran yang diterapkan, materi pembelajaran atau kurikulum yang diberikan harus satu tingkat di atas perkembangan anak-anak normal. Dengan menerapkan konsep ZPD pada pendidikan, maka pembelajaran akan memajukan perkembangan anak, karena isi ZPD diubah, diperbaiki, dikembangkan, dan ditempatkan pada tahapan perkembangan sebenarnya yang menyebabkan pemelajar bergerak maju ke suatu tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Konsep Vygotsky perkembangan ZPD hanya dapat dilakukan dan berarti jika pelaksanaan pendidikan satu tingkat berada di atas perkembangan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Katminingsih (2009: 97) mengingatkan betapa penting untuk diperhatikan pada sisi siswa berbakat (yang mempunyai kecerdasan luar biasa) bahwa segumpalan konten pengetahuan yang diperolehnya tanpa mampu mengolahnya untuk perkembangan lebih lanjut adalah pengetahuan sesaat yang manfaatnya kurang dirasakan sebagai
46
pengetahuan yang siap diperlukan bagi setiap pengembangan ilmu. Karena interes
siswa
seperti
itu
justru
berbeda,
yaitu “ingin
lebih
tahu
lagi” (curiosity), yang bersifat konsisten. Berikut contoh yang mencerminkan zona perkembangan proksimal , (Frede, 1995: 125) yang dikutip oleh Santrok (2009:64). Seorang anak berussia 5 tahun sedang mendorong sebuah kereta belanja kecil melewati area kebutuhan rumah tangga di prasekolahnya. Gurunya memperhatikan ketika ia menempatkan buah dalam keranjang kecil dan semua barang belanjaan lainnya. Guru tersebut telah melihatnya memilah-milah objek selama beberapa minggu terakhir dan berpikir bahwa anak tersebut mengkin sekarang mampu untuk mengklasifikasikan sesuatu berdasarkan dua dimensi pada waktu yang bersamaan, dengan sedikit bantuan darinya. Guru tersebut pergi kemesin kasir untuk berpura-pura menjadi kasir an berkata “kita harus berhati-hatu untuk membagi barang belanjaanmu ke dalam kantong-kantong. Kita akan menggunakan satu kantong untuk barang-barang yang disimpan dalam kulkas, dan kantong lain untuk barang-barang yang disimpan dalam lemari”. Bersama-sama mereka merencanakan sebuah sistem dengan satu kantong untuk masing-masing kategori berikut: makanan dalam karton akan dismpan dalam lemari pendingin, sayur-sayuran dan buah-buahan untuk disimpan dalam kulkas, makanan dalam kardus yang akan disimpan dalam lemari, dan kaleng makanan untuk disimpan dalam lemari. Dalam contoh ini, tingkat klasifikasi anak akan menjadi sangat nyata bila tanpa diberikan bantuan-yaitu buah versus nonbuah, dengan bantuan guru, ia mampu untuk menerapkan bentuk klasifikasi yang lebih rumit. 4.2.3 Scaffolding Dimana pada konsep ini menekankan dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal penting dalam pemikiran konstruktivitas modern (Mappalotteng, 2008:7). Menurut Horowitz (2005) yang dikutip oleh Santrok (2009:64), scaffolding berhubungan erat dengan ZDP. Scaffolding berarti mengubar tingkat dukungan. Di sepanjang sesi pengajaran, seseorang yang lebih terampil (seorang guru atau teman sebaya yang lebih ahli) menyesuaikan jumlah bimbingan sesuai dengan kinerja anak
47
yang ada. Ketika siswa sedang mempelajari sebuah tugas baru, orang yang lebih terampil dapat melakukan pengajaran langsung. Seiring meningkatnaya kompetensi siswa, bimbingan yang diberikan lebih sedikit. Scaffolding sering kali digunakan untuk membantu siswa mencapai batas atas dari zona perkembangan proksimal mereka. Bruner dalam Oakley (2004:42) mengembangkan ide Vygotsky lebih jauh. Ia menyarankan agar guru menggunakan Scaffolding dalam pembelajaran. Menurut Ruseffendi (1992:34) Scaffolding adalah bantuan atau support kepada seseorang anak dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten dengan maksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugastugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif yang actual dari anak yang bersangkutan. Selanjutnya Winataputra, dkk (2008:6.21) menanmbahkan bahwa Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarangsudah diketahui. Berdasarkan pemahaman guru terhadap kemampuan siswa, siswa didorong dan ditugaskan untuk mengerjakan tugas yang sedikit lebih sulit, dan selangkah lebih tinggi dari kemampuan yang saat ini dmiliki dengan intensitas bimbingan yang semakin berkurang. Dengan cara ini, kemampuan berpikir siswa akan berkembang, di samping sesuai dengan perkembangan intelektual siswa, juga dipengaruhi oleh tantangan berpikir dalam penugasan oleh guru. Dalam pendidikan usia dini, scaffolding mengambil peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran di setiap aspek menuju pada pencapaian tahap perkembangan anak (child development). Setiap kali seorang anak mencapai tahap perkembangan yang ditandai dengan terpenuhinya indikator dalam aspek tertentu, maka anak membutuhkan scaffolding. Vygotsky menuliskan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anak
mengerjakan
puzzle,
membangun
miniature
bangunan,
mencocokkan gambar dan tugastugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar
48
berlangsung,
scaffolding
kadang
dibutuhkan
secara
bersamaan
dan
terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual, seni dan emosional (Abidin, :4). Dialog adalah sebuah alat scaffolding
yang penting dalam zona
perkembangan proksimal. Dalam pandangan Vygotssky, anak-anak memiliki konsep-konsep yang kaya, tetapi tidak sistematis, tidak terorganisasi, da spontan. Dalam sebuah dialog, konsep tersebut bertemu dengan konsep pembimbing yang lebih sistematis, logis, dan rasional. Hasilnya, konsep anak menjadi lebih sistematis, logis, dan rasional. Sebagai contoh, sebuah dialog mungkin berlangsung antara guru dan anak ketika guru menggunakan scaffolding untuk membantu anak memahami sebuah konsep seperti “transportasi”. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam adalah sebuah cara yang sangat baik untuk menunjang pembelajaran siswa dan membantu ereka mengembangkan keterampilan berfikir yang lebih rumit.sseorang guru dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa seperti “Apakah contoh hal tersenbut?” “Mengapa kamu berpikir demikian?” dan “Bagaimana kamu menghubungakan hal-hal itu?” Seiring waktu , siswa harus mulai menginternalisasi penyelidikan semacam ini dan lebih membantu kerja mereka sendiri (Santrok, 2009: 64). 4.2.4 Bahasa dan Pikiran Penggunanan dialog sebgai alat scaffolding hanyalah satu contoh dari peran penting bahasa dalam perkembangan anak. Menurut Vygotsky, anakanak menggunakan percakapan tidak hanya untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk membantu mereka memecahkan tugas. Vygotsky lebih percaya bahwa anak-anak menggunakan bahasa untuk merencanakan, membimbing, dan membantu perilaku mereka. Penggunaan bahasa untuk pengaturan diri (self-regulation) ini dinamakan private speech. Sebagai contoh, anak-anak kecil berbicara keras-keras kepada diri mereka sendiri mengenai hal-hal seperti mainan mereka dan tugas-tugasyang sedang berusaha mereka selesaikan. Jadi, ketika mereka mengerjakan sebuah puzzle, seorang anak mungkinb erkata, “potongan ini tidak cocok; mungkin aku akan mencoba yang itu”. Beberapa menit kemudian ia megatakan, “ini sulit”. Bagi Piaget, private speech adalah egosentris dan tidak dewasa, tetapi bagi Vygotsky, hal
49
ini merupakan sebuah alat penting dari pemikiran selama tahun-tahun pada masa kanak-kanak awal. Ketika anak-anak berbicara kepada diri sendiri, mereka menggunaka bahasa untuk mengatur perilaku mereka dan membimbing diri sendiri.
Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan
pemikiran pada awalnya berkembang secara independen satu sama lain dan kemudian bergabung. Ia menekankan bahwa semua fungsi mental memiliki asal-usul eksternal atau sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka dapat berfokus pada pemikirann-pemikiran mereka sendiri (Santrok, 2009: 65). Vygotsky mengemukakan bahwa bahasa berperan penting dalam proses perkembangan kognitif anak. Menurutnya pula, ada hubungan yang jelas antara perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif. Ia menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan bahasa. Tiga tahap perkembangan tersebut dideskripsikan dalam tabel berikut : Tabel Tahap PerkembanganBahasa Vygotsky Tahap Social
speech
Perkiraan Usia Sampai 3 tahun
(eksternal speech)
Deskripsi Bicara biasanya dilakukan
untuk
mengontrol tingkah laku,
dan
untuk
mengekspresikan pemikiran sederhana Created By: Amalia
seperti emosi Anak-anak
3-7 tahun
lebih
Nurjannah
sering
Egocentric speech
dengan diri mereka sendiri,
berbicara mereka
membicarakan yang
mereka
lakukan mengapa
dan mereka
melakukannya
50
apa
Inner speech
Di
atas
7
tahun Inner speech atau
sampai dewasa
pembicaraan
batin,
merupakan
proses
hubungan
antara
pikiran dan bahasa, pada tahap ini setiap individu sampai
telah pada
tipe
fungsi mental yang lebih tinggi Selanjutnya,
Vygotsky
menurut
Oakley
(2004:40)
menentukan
perbedaan antara fungsi mental dasar dan fungsi mental lebih tinggi. Fungsi mental dasar adalah alami dan tidak dipelajari, sedangkan fungsi mental lebih tinggi dipengaruhi dan berkembang melalui belajar, seperti bahasa dan memori,
pemikiran,
pemusatan
perhatian
dan
lain-lain.
Seseorang
membutuhkan inner speech dan budaya yang ditransmisikan melalui bahasa dan bantuan orang lain yang lebih ahli untuk mengubah fungsi mental dasar menjadi fungsi mental yang lebih tinggi. Vygotsky dalam Dahar (2011:153) menyarankan bahwa interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi siswa dalam menginternalisasi pemahamanpemahaman yang sulit, masalah-masalah dan proses. Selanjutnya, proses internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologis dengan dasar penggunaan bahasa. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi siswa untuk menegosiasi kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka. 4.3 IMPLIKASI TEORI VYGOTSKY DALAM PEMBELAJARAN Implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran menurut Oakley (2004:48-50) yaitu sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran yang diberikan oleh guru harus sesuai dengan tingkat perkembangan potensial siswa. Siswa seharusnya diberikan
51
tugas yang dapat membantu mereka untuk mencapai tingkat perkembangan potensialnya. 2. Vygotsky mempromosikan penggunaan pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, dimana siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing ZPD mereka. Menurut Ruseffendi (1992:34) menjelaskan implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran diantaranya adalah guru bertugas menyediakan atau mengatur lingkungan belajar siswa dan mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, serta memberikan dukungan dinamis, sedemikian hingga setiap siswa bisa berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan proksimal. Contoh dalam pembelajaran, jika seseorang siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan di mana letak kesalahan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang siswa menyatakan bahwa untuk sebarang bilangan real x dan y berlaku (x-y)2 = x2 - y2. Guru tidak perlu langsung menyatakan bahwa itu salah. Lebih baik guru memberi pernyataan yang sifatnya menuntun, misalnya: “apakah (3-2)2 = 32 – 22?”. Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan bisa menemukan sendiri letak kesalahannya yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran siswa bisa berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa. Guru kiranya bisa memanfaatkan baik teori Piaget maupun teori Vygotsky dalam upaya untuk melakukan proses pembelajaran yang efektif. Di satu pihak, guru perlu mengupayakan supaya siswa berusaha agar bisa
mengembangkan
diri
masing-masing
secara
maksimal,
yaitu
mengembangkan kemampuan berpikir dan bekerja secara independen (sesuai dengan teori Piaget), di lain pihak, guru perlu juga mengupayakan supaya
52
tiap-tiap siswa juga aktif berinteraksi dengan siswa-siswa lain dan orangorang lain di lingkungan masing-masing (sesuai dengan teori Vygotsky). Jika kedua hal itu dilakukan, perkembangan kognitif tiap-tiap siswa akan bisa terjadi secara optimal. Contoh aplikasi teori Vygotsky beberapa diantaranya adalah menurut Katminingsih (2009:104): a Bimbingan ahli dalam pembelajaran b Peran guru sebagai pembantu dan mediator dalam pembelajaran siswa c Melibatkan anak dalam berdiskusi dan berpikir (reasoning) dalam mempelajari segala kejadian d Pengetahuan
yang
diberikan
kepada
anak
harus
merupakan
pengetahuan baru yang sedikit di atas kemampuan yang dimiliki anak. Sehingga anak menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk memperoleh pengetahuan baru. e Belajar kelompok/ pembelajaran kerjasama (yang menambah interaksi siswa dengan siswa lain) f Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa g Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis. h Pembelajaran menekankan pada proses.
53
BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan tujuan penulisan makalah ini, dapat disimpulkan bahwa: 1) Teori belajar perilaku atau teori belajar behavioristik merupakan teori tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini merupakan teori belajar yang berdasarkan atas perilaku. Teori belajar ini dikembangkan atas dasar peruabahan perilaku individu yang diberikan stimulus tertentu. 2) Pendapat para ahli yang mengemukakan tentang teori belajar perilaku, yaitu: Ivan P. Pavlov, Edwin Guthrie, Watson, B.F. Skinner, Edward Leer Thorndike, Clark Hull, dan Albert Bandura. 3) Beberapa prinsip yang melandasi teori-teori perilaku antara lain : konsekuensi-konsekuensi,
kesegeraan
(immediacy)
konsekuensi-
konsekuensi, pembentukan (shaping). 4) Yang harus dilakukan pada penerapan teori belajar adalah pastikan semua peserta didik siap untuk belajar, peserta didik membentuk asosiasi antara stimulasi dan respon, dari asosiasi tersebut dibuat menyenangkan, perkuatkanlah
perilaku
yang
diinginkan,
perkuatkanla
kemajuan
pembelajaran dan perilaku, serta meningkatkan partisipasi peserta didik. 5) kelebihan dan kekurangan teori belajar perilaku, antara lain: cocok dalam pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan spontanitas, kelenturan daya tahan dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak – anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Namun, teori belajar juga mempunyai kekurangan hanya mengakui adanya stimulus-respon yang dapat diamati. 6) Teori belajar kognitif lebih
menekankan bahwa perilaku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar.
54
7) Tokoh dalam teori belajar kognitivisme dari Gestalt yang memandang bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi, teori belajar medan kognitif dari Kurt Lewin yang memandang bahwa setiap individu berada didalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis, teori belajar perkembangan Jean Piaget yang memandang bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme bilogis, perkembangan sistem saraf, teori belajar discovery learning dari Jerome S. Bruner yang memandang bahwa anak haus berperan secara aktif saat belajar dikelas. 8) Konsep teori kognitif adalah belajar dengan menemukan siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir anak. 9) Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. 10) Proses belajar teori kognitif terjadi melalui tahap-tahap Asimilasi (penyesuaian (peleburan), (penyesuaian mata untuk menerima bayangan yang jelas dari objek yg berbeda dan Equilibrasi proses belajar terjadi melalui tahap-tahap aktivitas, visual verbal, simbolik 11) Teori belajar Vygotsky sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru, dalam usaha menemukan konsep-konsep dan pemecahan masalah.
12) Teori Vygotsky beranggapan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak-anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugastugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya, atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development ( perkembangan kemampuan siswa sedikit di atas kemampuan yang sudah dimilikinya).
13) Vygotsky lebih menekankan scaffolding, yaitu memberikan bantuan penuh kepada anak dalam tahap-tahap awal pembelajaran yang kemudian berangsurangsur dikurangi dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya.
55
5.2 SARAN Pemahaman terhadap teori-teori belajar merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi seorang pendidik/guru. Proses pembelajaran yang baik dan efektif sangat diperlukan dalam peningkatan mutu pendidikan. Oleh sebab itu sangat penting bagi kita untuk lebih memahami beberapa teori belajar, agar dapat menjadi penunjang dalam melaksanakan proses pembelajaran yang baik dan efektif.
56
DAFTAR PUSTAKA Abidin, A Rahmania. Peranan ZDP dan Scaffolding Vygotsky dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Makalah. Ambon. Budiningsih, C. Asri. 2003. Perkembangan Teori Belajar dan Pembelajaran Menuju Revolusi-Sosiokultural Vygotsky. Jurnal: Dinamika Pendidikan No 01: 37-48. Dahar, R.W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Erlangga. Djaali, 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Hariyanto, Suyono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Remaja Rosdakarya. Jones, G.A. & Thornton, C.A., 1993, “Vygotsky Revisited: Nurturing Young Children’s Understanding of Number”, Focus on Learning Problems in Mathematics, Vol. 15, Pages 18–28. Katminingsih, Yuni. 2009. Vygotsky dan Teorinya dalam Mempengaruhi Desain Pembelajaran Matematika. Jurnal: Cakrawala Pendidikan Vol 11 No 1: 93-105. Lestari, Asih. “Makalah Teori Pembelajaan Kognitif”. 20 Februari 2019. https://www.academia.edu Mappalotteng, Abdul Muis. 2008. Sumbangan Vygotsky’s Terhadap Pemahaman Pemagangan Kognitif Sebagai Suatu Proses Pengembangan Pendidikan Vokasi Orang Dewasa Di Era Global. Seminar Nasional Pendidikan tanggal 26 Januari. Lampung: FKIP UNILA. Oakley, Lisa. 2004. Cognitive Development. London: Routledge-Taylor & Francis Group Rita E.I.,dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta : UNY Press. Roopnarine, L. Jaipaul, dan James E. Johnson. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Berbagai Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media. hlm 251252. Salkind, N.J. 2004. An Introduction to Theories of Hunan Development. London: Sage Publications, Inc.
57
Schunk, Dale H., dkk. 2012. “Motivasi dalam Pendidikan Teori, Penelitian, dan Aplikasi. Edisi Ketiga”. Jakarta: Indeks Siregar, Eveline dan Hartini Nara. 2010. “ Teori Belajar dan Pembelajaran”. Bogor: Ghalia Indonesia. Slavin, R.E., 2000, Educational Psychology: Theory and Practice, Edisi 6, Boston: Allyn and Bacon. Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara. Winataputra, U.S, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka. Yohanes, Rudi Santoso. 2015. Teori Vygotsky dan implikasinya Terhadap Pembelajaran Matematika. Jurnal: Widya Warta No 2: 127-135.
58