TEORI DALAM PENELITIAN KUALITATIF
Variasi Penggunaan Teori Dalam Penelitian Kualitatif. Para peneliti kualitatif menggunakan teori dalam penelitian untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Pertama,dalam penelitian kualitatif, teori sering kali digunakan sebagai penjelasan atas perilaku dan sikap-sikap tertentu. Teori ini bisa jadi sempurna dengan adanya variabel-variabel, konstruk-konstruk,
dan
hipotesis-hipotesis
penelitian.
Misalnya,
para
ahli
etnografi
memanfaatkan tema-tema kultural atau “aspek-aspek kebudayaan” (Wolcott, 1999:113) untuk dikaji dalam proyek penelitian mereka, seperti kontrol sosial, bahasa, stabilitas dan perubahan, atau organisasi sosial, seperti kekerabatan atau keluarga (lihat pembahasan Wolcott:1999 tentang sejumlah penelitian antropologi yang mengangkat topik-topik kebudayaan). Tema-tema ini dapat memberikan serangkaian hipotesis siap pakai untuk diuji dengan literatur-literatur yang ada. Meskipun para peneliti kualitatif tidak merujuk pada tema-tema tersebut sebagai teori mereka, tema-tema ini umumnya menyediakan penjelasan lengkap yang sering kali dimanfaatkan oleh antropolog untuk meneliti perilaku culture-sharing dan tingkah laku manusia. Pendekatan ini sangat populer dalam penelitian ilmu kesehatan kualitatif dimana peneliti biasanya mengawali penelitianya dengan model-model teoretis, seperti adopsi dalam praktek-praktek kesehatan atau kualitas dalam orentasi kehidupan umat manusia. Kedua,para peneliti kualitatif sering kali mengunakan perspektif teoritis sebagai panduan umum untuk meneliti gender, kelas, dan ras (atau isu-isu lain mengenai kelompok-kelompok marginal). Perspektif ini biasanya digunakan dalam penelitian advokasi/partisipatoris kualitatif atau dapat membantu peneliti untuk merancang rumusan masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, serta membentuk call for action and change (panggilan untuk melakukan aksi dan perubahan). Penelitian kualitatif pada 1980-an mengalami transformasi besar-besaran yang ditandai munculnya perspektif-perspektif teoretis seperti ini sehingga memperluas ruang lingkup penelitian yang muncul sebelumnya. Perspektif-perspektif teoretis ini menuntun peneliti pada isu-isu penting yang perlu diteliti (seperti, perempuan, anak jalanan,dan kelompok-kelompok minoritas lain). Perspektif-perspektif juga menunjukkan bagaimana peneliti harus memosisikan diri mereka dalam penelitian kualitatif (seperti, berada diluar atau tidak condong pada konteks pribadi, kultural, atau historis tertentu) dan bagaimana menulis laporan akhir (seperti, dengan
tidak memarjinalisasi lebih jauh individu-individu yang diteliti, atau dengan cara berbaur langsung dengan mereka). Dalam penelitian etnografi kritis, peneliti memulai dengan satu teori yang menjelaskan keseluruhan proses penelitian. Teori kausatif seperti ini bisa berupa teori emansipasi atau represi (Thomas, 1993). Beberapa perspektif teoritis yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut (Creswell, 2007):
Perspektif feminis mengugat kaum wanita saat ini yang ditindas dengan sewenangwenang dan institusi yang turut membentuk kondisi tersebut. Topik-topik penelitian bisa mencangkup isu-isu kebijakan yang berhubungan dengan realisasi keadilan sosial bagi kaum wanita dengan ranah-ranah tertentu atau pengetahuan tentang kondisi-kondisi ketertindasan yang dialami oleh mereka (Ollesen, 2000).
Wacana rasial memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang tentang kontruksi dan kontrol atas pengetahuan yang berbau ras, khususnya tentang orang-orang dan komunitas-komunitas kulit berwarna (Ladson-Bilings, 2000)
Perspektif teori kritis fokus pada pemberdayaan umat manusia agar dapat bebas dari kungkunghan rasial, kelas, dan gender yang diletakkan pada mereka (Fay, 1987)
Teori queer-begitulah istilah yang digunakan dalam literatur ini berfokus pada individuindividu yang menanamkan pada dirinya sebagai kelompok lesbian, gay, biseksual, atau trans gender. Penelitian-penalitian yang menerapkan perspektif teoritis ini bukan berarti menjadikan individu-individu diatas sebagai objek mentah yang dapat diperlakukan begitu saja, melainkan lebih berusaha mencari sisi-sisi kultural dan politis apa yang membuat mereka terkucilkan dalam ranah sosial. Teori ini bahkan menyuarakan kembali hak-hak dan pengalaman-pengalaman individu yang tertindas (gamson, 2000)
Studi ketidak mampuan berfokus pada makna inklusi dalam sekolah, yang melibatkan para pengurus sekolah, guru dan orang tua yang memiliki anak-anak dengan ketidak mampuan tetentu (Mertens, 1998).
Rossman dan Rallis (1998) mengartikan teori dalam penelitian kualitatif sebagai perspektif pos modern dan kritis: Menjelang abad 20, ilmu-ilmu sosial tradisional mulai dikritik dan dipertanyakan oleh perspektif-perspektif pos modern dan kritis yang menantang asumsi-asumsi objektif dan
norma-norma tradisional dalam penelitian. Ada empat hal yang menjadi fokus utama dalam kritik ini: a). Penelitian pada dasarnya melibatkan isu-isu kekuasaan, b). Laporan penelitian tidak transparan dan netral, tetapi dikuasai oleh individu-individu yang secara teoritis berorentasi pada ras, gender, merupakan aspek-aspek penting dalam memahami pengalaman manusia dan d). Penelitian historis tradisional telah membungkam kelompok-kelompok yang tertindas dan marginal (hlm. 66)
Ketiga dalam penelitian kualitatif, teori sering kali digunakan sebagai poin akhir penelitian. Dengan menjadikan teori sebagai poin akhir penelitian, berarti peneliti menerapkan proses penelitianya secara induktif yang berlangsung mulai dari data, lalu ke tema-tema umum, kemudian menuju teori atau model tertentu (lihat punch, 2005). Logika pendekatan induktif ini dapat dilihat pada gambar 3.5.
Peneliti mengemukakan generalisasi-generalisasi atau teori-teori dari literatur-literatur dan pengalamanpengalaman pribadinya
Peneliti mencari pola umum, generalisasi-generalisasi atau teori-teori dari tema-tema atau kategori-kategori yang dibuat
Peneliti menganalisis data berdasarkan tema-tema dan kategori-kategori
Peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka pada partisipasi dan merekam catatan-catatan lapangan
Peneliti mengumpulkan informasi (misalnya, dari wawancara atau observasi)
Gambar 3.5. Logika Induktif Dalam Penelitian Kualitatif
Peneliti memulai penelitianya dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari para partisipan, lalu membentuk informasi ini menjadi pola-pola, teori-teori, atau generalisasigeneralisasi untuk nantinya diperbandingkan dengan pengalaman-pengalaman pribadi atau dengan literatur-literatur yang ada. Usaha mengembangkan tema-tema dan kategori-kategori menjadi pola-pola, teori-teori atau generalisasi-generalisasi ini menunjukkan bahwa penelitian kualitatif memiliki point akhir yang berbeda-beda. Misalnya, dalam penelitian studi kasus, Stake (1995) menyebut tuntutan (assertion) sebagai generalisasi proporsional (kesimpulan peneliti dari hasil interpretasi dan klaim-klaimnya) dan generalisasi naturalistik (pengalaman-pengalaman pribadi peneliti) (hlm. 86). Sebagai contoh lain, grounded theory memiliki poin akhir yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti berharap dapat menemukan satu teori yang didasarkan pada informasi dari para partisipan (Stauss dan Corbin, 1998). Bahkan, Lincoln dan Guba (1985) menyebut pattern theory (teori pula) sebagai pemikiran-pemikiran awal yang terus berkembang selama penelitian kualitatif ini justru merepresentasikan pemikiran-pemikiran yang saling berhubungan atau bagian-bagian yang berhubung dengan keseluruhan. Neuman (2000) memberikan informasi tambahan mengenai pattern theory ini:
Pattern theory tidak menemukan aspek penalaran deduktif. Sebaliknya, mirip dengan teori kausatif, pattern theory justru berisi konsep-konsep dan relasi-relasi yang saling berhubungan, namun teori ini tidak membutuhkan pernyataan kausatif. Malahan, teori ini mengunakan metafora dan analogi-analogi agar relasi-relasi ini “memiliki arti.” pattern theory merupakan sistem gagasan-gagasan. Konsep-konsep dan relasi-relasi di dalamnya membentuk sejenis mutual-reinforcing dan sistem tertutup. Pattern theory mengurutkan setiap tahapan atau menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan (hlm. 38)
Keempat, beberapa penelitian kualitatif tidak mengunakan teori yang terlalu eksplisit. Kasus ini bisa saja terjadi disebabkan dua hal: (1) karena tidak ada satupun penelitian kualitatif dilakukan dengan observasi yang “benar-benar murni” dan (2) karena struktur konseptual sebelumnya yang disusun dari teori dan metode tertentu telah memberikan starting point bagi keseluruhan observasi (Schwandt, 1993). Bahkan, tidak sedikit orang memandang penelitian kualitatif sebagai penelitian yang tidak memiliki orientasi teori yang eksplisit, seperti dalam
penelitian fenomenologi, yang didalamnya peneliti berusaha untuk membangun esensi pengalaman dari para partisipasi (lihat, misalnya, Riemen, 1986). Dalam penelitian-penelitian semacam ini, peneliti hanya membuat sesuatu deskripsi yang kaya dan rinci tentang fenomena tertentu. Tips penelitian saya tentang pengunaan teori dalam penelitian kualitatif ini antara lain sebagai berikut:
Pastikan apakah teori tersebut dapat diterapkan dalam penelitian kualitatif atau tidak.
Jika bisa diterapkan, identifikasilah bagaimana teori tersebut akan dijabarkan dan digunakan dalam penelitian anda; apakah sebagai penjelasan up-front, sebagai end point penelitian, atau sebagai perspektif advokasi.
Tempatkan teori tersebut dalam naskah penelitian anda dibagian yang tepat, sesuai
dengan tujuan yang digunakanya teori tersebut. Menempatkan Teori Dalam Penelitian Kualitatif
Bagaimana teori itu digunakan, akan turut memengaruhi penempatanya dalam sebuah penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif yang mengunakan tema kultural atau perspektif teoretis, teori muncul diawal dan dapat dimodifikasi atau disesuaikan dengan sedemikian rupa berdasarkan pandangan dari para partisipan. Akan tetapi, untuk sebagian besar rancangan kualitatif yang berorientasi teori, seperti etnografi kritis, Lather (1986) mengulifikasi pengunaan teori sebagai berikut:
Melakukan penelitian grounded theory secara empiris membutuhkan relasi timbal balik antara data dan teori. Data harus diolah secara dialektik agar dapat menghasilkan proposisi-proposisi baru yang memungkinkan munculnya kerangka teoretis, dengan tetap menjaga kerangka tersebut secara ketat agar tidak tercampur-baur dengan data penelitian (hlm. 276)
Seperti yang tanpak pada contoh diatas, kami telah mengembangkan suatu model visual yang menghubungkan variabel-variabel, merancang model ini secara induktif dari komentar-komentar infor man, dan meletakkan model tersebut di akhir penelitian, yang di dalamnya proposisi utama dapat dibedakan dengan teori-teori dan literatur-literatur yang sudah ada.
Contoh 3.2 Teori di Bagian Awal Penelitian Kualitatif
Murguia, Padilla, dan Pavel (1991) meneliti 24 siswa yang berasal dari Spayol