Tenaga Kerja

  • Uploaded by: Claudia
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tenaga Kerja as PDF for free.

More details

  • Words: 3,801
  • Pages: 11
Tenaga kerja Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Artikel atau bagian artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktuwaktu oleh Pengurus. Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang

Klasifikasi Tenaga Kerja Berdasarkan penduduknya 

Tenaga kerja

Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan 64 tahun. 

Bukan tenaga kerja

Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003, mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak. Berdasarkan batas kerja 

Angkatan kerja

Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan



Bukan angkatan kerja

Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Contoh kelompok ini adalah: 1. anak sekolah dan mahasiswa 2. para ibu rumah tangga dan orang cacat, dan 3. para pengangguran sukarela Berdasarkan kualitasnya 

Tenaga kerja terdidik

Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan nonformal. Contohnya: pengacara, dokter, guru, dan lain-lain. 

Tenaga kerja terlatih

Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerjayang memiliki keahlian dalam bidang tertentudengan melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil ini dibutuhkan latihan secara berulang-ulang sehingga mampu menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain-lain. 

Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih

Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan sebagainya

Masalah Ketenagakerjaan Berikut ini beberapa masalah ketenagakerjaan di Indonesia. 

Rendahnya kualitas tenaga kerja

Kualitas tenaga kerja dalam suatu negara dapat ditentukan dengan melihat tingkat pendidikan negara tersebut. Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, tingkat pendidikannya masih rendah. Hal ini menyebabkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi rendah. Minimnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadaprendahnya kualitas hasil produksi barang dan jasa. 

Jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja

Meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi oleh perluasan lapangan kerja akan membawa beban tersendiri bagi perekonomian. Angkatan kerja yang tidak tertampung dalam

lapangan kerja akan menyebabkan pengangguran. Padahal harapan pemerintah, semakin banyaknya jumlah angkatan kerja bisa menjadi pendorong pembangunan ekonomi. 

Persebaran tenaga kerja yang tidak merata

Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berada di Pulau Jawa. Sementara di daerah lain masih kekurangan tenaga kerja, terutama untuk sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.Dengan demikian di Pulau Jawa banyak terjadi pengangguran, sementara di daerah lain masih banyak sumber daya alam yang belum dikelola secara maksimal. 

Pengangguran

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia banyak mengakibatkan industri di Indonesia mengalami gulung tikar. Akibatnya, banyak pula tenaga kerja yang berhenti bekerja. Selain itu, banyaknya perusahaan yang gulung tikar mengakibatkan semakin sempitnya lapangan kerja yang ada. Di sisi lain jumlah angkatan kerja terus meningkat. Dengan demikian pengangguran akan semakin banyak. Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang lowlife dan unskill yang bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, uganda dan somalia) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun, istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar karena TKI sejatinya memang adalah kumpulan tenaga kerja unskill yang merupakan program pemerintah untuk menekan angka pengangguran. TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW). TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60 triliun rupiah (2006) [1], tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti punutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan ini sudah dilarang) Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans.

Tenaga kerja global Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Tenaga kerja global mengacu pada persediaan angkatan kerja internasional, termasuk orangorang yang dipekerjakan oleh perusahaan multinasional dan terhubung melalui sistem jaringan global dan produksi, pekerja imigran, pekerja migran sementara, pekerja telekomuter, orang-

orang yang terlibat dalam pekerjaan berorientasi ekspor, pekerjaan kontingen, atau pekerjaan berbahaya.[1] Per 2012, persediaan angkatan kerja global mencapai kurang lebih 3 miliar orang, 200 juta di antaranya menganggur.[2]

Ciri-Ciri Manajemen Tenaga Kerja Jepang 1. Lifelong Employment. Komitmen besar karyawan untuk bekerja seumur hidup di perusahaan tersebut, begitu juga komitmen besar pihak pengusaha untuk mempekerjakan karyawan seumur hidup diperusahaannya. Karena karyawan merasa aman bekerja di perusahaan, maka sikap karyawan juga akan jauh lebih positif terhadap perusahaan. 2. Pendidikan dan Latihan Yang Terus Menerus. Meskipun pendidikan pekerja Jepang rata-rata tinggi, tetapi pada saat mulai masuk bekerja akan melalui tahap pelatihan. Setelah menjadi karyawan juga secara rutin akan memperoleh pelatihan pada setiap jenjang karir yang dilaluinya. Pelatihan itu bisa berupa pendidikan tambahan atau rotasi kerja. Di Jepang terkenal dengan kebudayaan Kaizen-nya yaitu perubahan yang dilakukan secara terus-menerus ke arah yang lebih baik. 3. Pengambilan Keputusan Dari Bawah Ke Atas. Segala permasalahan yang timbul diperusahaan biasanya dibahas oleh manajer tingkat menengah pada acara-acara tidak formal, misalnya pada saat makan siang. Kemudian konsensus-knsensus yang diperoleh dijadikan sebagai keputusan bersama. 4. Hubungan Yang Serasi Antara Atasan Dan Bawahan. Didalam perusahaan komunikasi vertikal antara atasan dan bawahan maupun komunikasi horizontal sangat terbuka dan dilakukan dengan intensitas yang tinggi. Pimpinan juga memperhatikan kesulitan-kesulitan yang dialami bawahannya termasuk kesulitan yang berhubungan dengan masalah pribadi karyawannya. (Nugraha, 4/1/13). Pada dasarnya ketenagakerjaan dapat diklasifikasikan minimal menjadi tiga macam yakni tenaga kerja terdidik (skill labour), tenaga kerja terlatih (trainer labour), tenaga kerja tidak terlatih (unskill labour). Pada kesempatan ini akan dijelaskan mengenai pengertian dan contoh tenaga kerja terdidik, terlati dan tidak terlatih beserta kelebihan dan kekurangannya.

Tenaga kerja terdidik (skill labour) Tenaga kerja terdidik (skill labour) adalah tenaga kerja yang pernah memperoleh pendidikan formal dalam bidang tertentu tetapi mereka belum pernah dilatih dalam bidang tersebut. Tenaga kerja terdidik ini diidentikkan dengan tenaga kerja yang belum berpengalaman. Guru dan dokter adalah contoh tenaga kerja terdidik. Keuntungan di dalam memilih tenaga kerja yang belum berpengalaman ini antara lain:

1. Tenaga kerja yang belum berpengalaman relatif lebih murah harganya karena tidak mempunyai kekuatan posisi tawar yang tinggi terhadap balas jasa atau upah yang diinginkan. 2. Tenaga kerja yang belum berpengalaman relatif banyak tersedia di masyarakat sehingga perusahaan akan lebih leluasa memilih tenaga kerja yang dianggap memenuhi persyaratan dan berpotensi untuk bisa ikut memajukan perusahaan. 3. Tenaga kerja yang belum berpengalaman lebih mudah untuk dibentuk dan diarahkan sesuai dengan tujuan perusahaan.

Sedangkan kelemahannya adalah: 1. Perusahaan harus merencanakan membuat program pelatihan tertentu kepada tenaga kerja yang belum berpengalaman agar benar-benar terampil dan menguasai di bidangnya. 2. Perusahaan harus rela mengeluarkan sejumlah uang guna membiayai jalannya program pelatihan yang telah direncanakan. 3. Untuk menjadikan tenaga kerja terdidik menjadi terlatih memerlukan proses waktu yang lama sehingga hasil yang dicapai oleh perusahaan tentu tidak seperti ketika merekrut tenaga kerja terlatih.

Tenaga kerja Terlatih (trained labour) Yang dimaksud tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerja yang telah bekerja dan pernah mengikuti latihan sesuai dengan bidangnya, misalnya seorang yang telah menamatkan studinya dalam bidang akuntansi, maka mereka dapat digolongkan sebagai tenaga kerja terlatih. Tenaga kerja terlatih ini dapat disamakan dengan tenaga kerja yang sudah berpengalaman. Contoh tenaga kerja terlatih adalah sopir dan montir. Keuntungan dalam memilih tenaga kerja yang sudah berpengalaman ini antara lain: 1. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman mempunyai tingkat produktivitas tinggi sehingga dapat secara langsung memberikan sumbangan yang besar bagi perusahaan. 2. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman ini tidak memerlukan pelatihan khusus dan hanya memerlukan penyesuaian-penyesuaian tertentu sehingga perusahaan tidak perlu membuat program pelatihan seperti yang terjadi pada tenaga kerja yang belum berpengalaman. 3. Sebagai akibatnya perusahaan tidak harus mengeluarkan biaya untuk pelatihan khusus bagi tenaga kerja yang sudah berpengalaman tersebut.

Sedangkan kelemahannya adalah : 1. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman ini pada dasarnya lebih sulit diperoleh atau didapat karena jumlahnya tidak banyak. 2. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman mempunyai daya tawar tinggi terhadap balas jasa atau upah yang diinginkan. Dengan demikian untuk mendapatkannya perusahaan harus siap memberikan imbalan yang cukup besar. 3. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman pada umumnya sudah terbentuk karakternya dan sudah jadi sehingga jika terjadi ketidaksesuaian dengan keinginan perusahaan biasanya sulit untuk diarahkan dan dibelokkan.

Tenaga kerja tidak terlatih (unskill labour) Yang dimaksud tenaga kerja tidak terlatih adalah tenaga kerja di luar tenaga kerja terdidik dan juga tenaga kerja terlatih. Tenaga kerja tidak terlatih ini merupakan bagian terbesar dari seluruh tenaga kerja yang ada. Mereka umumnya hanya mengenyam pendidikan formal pada tataran tingkat bawah dan tidak mempunyai keahlian yang memadai karena memang belum ada pengalaman kerja, sehingga pekerjaan yang dikerjakannyapun umumnya tidak memerlukan keahlian secara spesifik. Misalnya seorang pelajar (Tingkat Sekolah Dasar, Tingkat Sekolah Menengah, Tingkat Sekolah Lanjutan Atas) droup out, maka mereka dapat digolongkan pada tenaga kerja tidak terlatih. Buruh bangunan dan kuli panggul adalah contoh tenaga kerja yang tidak terlatih.

Keuntungan di dalam memilih tenaga kerja yang tidak terlatih antara lain: 1. Tenaga kerja yang tidak terlatih ini sangat murah harganya karena di samping tidak mempunyai pendidikan formal tingkat tinggi juga keterampilan yang dimiliki tidak ada. Dengan demikian posisi kekuatan tawar menawar menjadi sangat lemah dibanding dengan tenga kerja terdidik dan tenaga kerja terlatih. 2. Tenaga kerja yang tidak terlatih ini paling banyak tersedia di masyarakat, bahkan melebihi dari kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan, sehingga perusahaan akan sangat leluasa sekali untuk memilih tenaga kerja yang dianggap benar-benar memenuhi persyaratan dan berkomitmen untuk ikut mengembangkan perusahaan. 3. Tenaga kerja yang tidak terlatih ini sangat mudah untuk diarahkan sesuai tujuan perusahaan.

Sedangkan kelemahannya adalah :

1. Tenaga kerja yang tidak terlatih ini hanya dapat menjalankan perkerjaan yang bersifat umum dan tidak memerlukan keahlian. 2. Tenaga kerja tidak terlatih ini hanya dapat menjalankan pekerjaan yang bersifat rutin dan umunya tingkat inisiatif daya kreativitasnya rendah sehingga bila terjadi kendala di lapangan mereka akan merasa kesulitan untuk mencari jalan keluarnya 3. Tenaga kerja tidak terlatih ini kurang bisa menjalankan tugas dan tanggung- jawabnya, sehingga perlu pengawasan yang lebih teratur dari pihak perusahaan. ETOS KERJA JEPANG VS INDONESIA Oleh: Imam Rosadi, M.Eng Widyaiswara Badan Diklat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Etos kerja bangsa Jepang Hanya berkisar 40 tahun sejak Hiroshima dan Nagasaki diluluhlantakan hancur berkeping-keping oleh Nato, sekarang Jepang berubah 1800 menjadi negara adidaya dikawasan Asia bahkan dunia, para pemimpin Jepang waktu itu telah berhasil melakukan perubahan hebat terutama dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) nya. Mereka menyadari betul bahwa dengan peningkatan kualitas SDM maka dapat segera melakukan restorasi dan percepatan pembangunan, apalagi bangsa Jepang memaklumi kondisi negaranya yang kurang dalam kekayaan sumber daya alamnya. Jepang sekarang kita kenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki etos kerja yang hebat. Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampak kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi, serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara Jepang itu sendiri. Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri khas orang Jepang, hal ini disimbolkan dengan berbagai semboyan semacam “samurai” yang menyatakan “Lebih baik mati dari pada berkalang malu”, ada juga istilah MAKOTO yang artinya “bekerja dengan giat,semangat, jujur serta ketulusan“. Belum lagi semangat dan semboyan serta falsafah yang lain yang dapat memacu kerja dan membentuk etos kerja para pekerja di luar negara Jepang. Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya, kepemimpinan Jepang dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan negara atau organisasi yang berada di dalamnya. Diambil dari sumber yang ditulis oleh Ahmad Kurnia dari buku karya ANN WAN SENG, “RAHASIA BISNIS ORANG JEPANG (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia)”, diceritakan setelah bom atom Amerika menghunjam Hiroshima dan Nagasaki yang merupakan jantung kota Jepang tahun 1945, semua pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera mengalami kebangkrutan. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang bersaing ketat di belakang Amerika Serikat. Apalagi di bidang perteknologian, Jepang menjelma menjadi negara raksasa di atas negara-negara besar dan berkuasa lainnya. Dengan segala bentuk kekurangan secara fisik, tidak fasih berbahasa Inggris, kekurangan sumber tenaga kerja, dan selalu terancam bencana alam rupanya tidak menghalangi mereka menjadi bangsa yang dihormati dunia.

Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran atau imbalan. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja di Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang atau bangsa Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negerinya sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia mulai dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan “produk Barat” demi memenuhi kepentingan pasar dan kebutuhan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang lebih tinggi. Pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek “emosi dan intuisi” untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar. Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang. 1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji semata. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” oleh orang asing. 2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu” (Langganan adalah tuhan.) Kata itu dikenal oleh semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis di Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan secepat mungkin, dan berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.

3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang melawan perusahaan lain. Untuk menang perang, perlu strategi dan pandangan jangka panjang. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu” (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan geografis yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada ditangan kita dan bukan terletak pada negara. Etos kerja bangsa Indonesia. Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46. Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49). Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke 60, Business Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga kuat bahwa semuanya itu karena “mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing”. Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih lemah dan tidak merata. Bisa dibayangkan dengan kondisi krisis finansial global belakangan ini bisa-bisa posisi Indonesia akan bertahan kalau tidak ada proses remedi yang tepat. Produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja. Dalam pemahaman tentang produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek sistem nilai. Manusia produktif menilai produktivitas dan produktif adalah berdasarkan sikap mental. “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini“. Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan selalu berorientasi pada faktor produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan mampu untuk bertindak produktif. Itulah yang disebut dengan budaya kerja positif (produktif). Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen : (1) pemahaman substansi dasar tentang bekerja. (2) sikap terhadap karyawan. (3) perilaku ketika bekerja. (4) etos kerja. (5) sikap terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita (sebagai bangsa Indonesia) sudah berbudaya kerja produktif ?

Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini jugalah yang agaknya kurang mendukung terciptanya budaya produktivitas kerja. Perusahaan belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang perusahaan yang mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimumnya. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk yang terendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu ? Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dsan sebagainya. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara tetangga. Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan. Etos kerja orang Indonesia adalah : 1.Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati. 2.Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam. 3. Berjiwa feodal, gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi. 4. Percaya takhyul, gemar hal keramat, mistis dan gaib. 5. Berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu 6. Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya. Namun lanjutnya, dari 240 juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua memiliki etos kerja yang buruk seperti tersebut di atas. Masih ada organisasi yang peduli dan mau mengubah etos kerja

yang disematkan ke bangsa Indonesia saat ini. Kita harapkan etos kerja yang diterapkan tersebut bisa diimplementasikan dalam kerja nyata dan akan lebih baik lagi jika hal positif tersebut menyebar kepada semua Organisasi kerja di seluruh Indonesia. Lebih jauh lagi, bangsa Indonesia adalah negara yang kaya dan merupakan bangsa yang besar. Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar. Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Namun pada kenyataannya hingga saat ini rakyat miskin semakin bertambah banyak, pengangguran semakin meningkat, dan banyak anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah. Salah satu faktor rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu negatifnya keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpinnya. Mereka merupakan model bagi masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal yang justru sering disalahgunakan. Bukan bermaksud untuk membandingkan Negara kita dengan Negara Jepang, tetapi saya berharap dengan adanya perbandingan ini diharapkan kita dapat mengambil kebaikan didalamnya. Agar Negara kita bisa menjadi Negara yang memiliki etos kerja yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan bisa membuat Negara kita menjadi Negara yang maju sama seperti Negara Jepang tersebut. Tentunya itu semua akan terjadi apabila kita memiliki kesadaran dari diri kita masing-masing.

Related Documents

Tenaga Kerja
October 2019 53
Gizi Tenaga Kerja
December 2019 41
Kebutuhan Tenaga Kerja
October 2019 45
Bab 16 - Tenaga Kerja
December 2019 34

More Documents from "Erika Damayanti"

August 2019 42
May 2020 16
Documento1.docx
October 2019 32
April 2020 15