Tembakau

  • Uploaded by: Yusup Wibisono
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tembakau as PDF for free.

More details

  • Words: 3,483
  • Pages: 15
TEMBAKAU

Ketersediaan Bahan Baku Tabel . Luas lahan dan produksi tembakau di Indonesia, tahun 1999 Propinsi

Luas Share Pertumb. Produksi Share Pertumb. lahan(ha) (%) (% (ton) (%) (% perth) perth) Daerah Istimewa Aceh 455 0,28 -20,02 215 0,21 -28,04 Sumatera Utara 3.307 2,00 -0,31 1.779 1,70 -1,63 Sumatera Barat 832 0,50 3,40 379 0,36 1,15 Jambi 130 0,08 -7,33 43 0,04 -13,25 Sumatera Selatan 74 0,04 -25,58 26 0,02 -24,37 Bengkulu 79 0,05 6,20 24 0,02 3,26 Lampung 255 0,15 -18,88 122 0,12 -22,29 Jawa Barat 5.180 3,13 1,08 2.607 2,49 2,20 Jawa Tengah 47.983 29,04 -1,15 22.023 21,07 -2,57 Daerah Istimewa 0,60 0,42 988 -9,98 442 -10,14 Yogyakarta Jawa Timur 87.752 53,11 -1,03 65.638 62,80 0,65 Bali 1.897 1,15 3,33 1.161 1,11 2,02 Nusa Tenggara Barat 13.609 8,24 4,65 9.190 8,79 2,48 Nusa Tenggara Timur 2.079 1,26 0,59 447 0,43 -4,01 Kalimantan Timur 16 0,00 -0,49 3 0,00 -20,39 Sulawesi Selatan 550 0,01 -13,14 394 0,00 -15,06 Sulawesi Tenggara 54 0,33 5,34 27 0,38 5,85 NASIONAL 165.240 100,00 -1,02 104.520 100,00 -0,15 Sumber : Deptan, 2001, data diolah

Pada indutri rokok, bahan baku utamanya adalah tembakau. Tabel 1 menunjukkan luas lahan dan produksi tembakau di tiap propinsi di Indonesia tahun 1999 dan juga tingkat pertumbuhannya selama periode 1990-1999. Produksi tembakau nasional pada tahun 1999 adalah sebesar 104.520 ton dengan luas lahan sebesar 165.240 ha. Tingkat pertumbuhan luas lahan dan produksi selama periode 1990-1999 cenderung turun, yaitu masing-masing adalah sebesar –1,02 % per tahun dan – 0,15 % per tahun. Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan penyubambang pertama dan kedua dalam produksi tembakau nasional, yaitu masing-masing dengan konstribusi sebesar 62,80 % dan 21,07 % terhadap

produksi nasional. Sedangkan Nusa Tenggara Barat dengan kontribusi 8,79 % dari produksi nasional menempati urutan ketiga dalam kontribusinya terhadap produksi tembakau nasional. Propinsi Bengkulu walaupun kontribusinya terhadap produksi tembakau nasional cukup rendah yaitu hanya 0,05 %, tetapi tingkat pertumbuhan luas lahannya selama periode 1990-1999 adalah yang tertinggi yaitu sebesar 6,20 % per tahun. Sedangkan tingkat pertumbuhan produksi tembakau yang tertinggi adalah Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 5,85 % per tahun. Sebagian besar dari pabrik rokok yang ada di Indonesia berada di Jawa terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini karena di Jawa terutama di kedua propinsi tersebut merupakan daerah penghasil bahan baku utama pada industri rokok yaitu tembakau, selain itu juga karena pengusaha lebih suka menanamkan modalnya untuk mendirikan pabrik di Jawa, mengingat sebagian besar konsumen berada di Jawa dan juga karena fasilitas infrastruktur di Jawa relatif lebih baik jika di banding di Luar Jawa.

Ekspor dan Impor Rokok Produksi rokok Indonesia tidak semua diserap untuk konsumsi dalam negeri, namun sebagian dari kelebihan produksinya di ekspor ke beberapa negara lain. Untuk rokok kretek, yang menjadi negara tujuan utamanya adalah Malaysia.

Tabel 1. Volume ekspor rokok di Indonesia, tahun 1996 – 2000 Tahun

Rokok kretek Ton Perubahan (%) 3.839 3.240 -15,60 2.542 -21,54 6.319 148,58 6.618 4,73 19,14

Rokok putih Ton Perubahan (%) 23.079 29.086 26,03 21.390 -26,46 17.480 -18,28 15.855 -9,30 -12,19

1996 1997 1998 1999 2000 Pertumb. (% per th) Sumber : Deperindag, 2001, data diolah

Rokok cerutu Ton Perubahan (%) 213 329 54,46 128 -61,09 346 170,31 459 32,66 17,25

Berdasarkan volume ekspor rokok, dari tiga jenis rokok yang ada yaitu rokok kretek, rokok putih dan rokok cerutu, ternyata volume ekspor tertinggi adalah rokok putih kemudian diikuti dengan rokok kretek dan rokok cerutu. Volume ekspor rokok kretek selama periode tahun 1996 – 2000 mengalami kecenderungan yang meningkat, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 19,14 % per tahun. Walupun pertumbuhan volume ekspor rokok kretek tahun 1996-2000 cenderung meningkat, tetapi pada tahun 1997 dan 1998, volume ekspor rokok jenis ini mengalami penurunan masing-masing sebesar 15,60 % dan 21,54 % dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 1999 volume ekspor rokok kretek mengalami peningkatan yang cukup besar dibanding tahun sebelumnya yaitu dari 2.542 ton tahun 1998 menjadi 6.319 ton tahun 1999 atau meningkat 148,58 %. Pada tahun 2000, volume ekspor rokok kretek sedikit mengalami peningkatan yaitu sebesar 4,73 %. Volume ekspor rokok putih walaupun lebih tinggi dibanding volume ekspor jenis rokok lain, tetapi mempunyai kecenderungan menurun. Selama periode tahun 1996 – 2000, volume ekspor rokok putih turun dari 23.079 ton tahun 1996 menjadi 15.855 ton pada tahun 2000. Tingkat pertumbuhan volume ekspor rokok putih adalah sebesar –12,19 % per tahun. Pada tahun 1997, volume ekpor rokok putih mengalami peningkatan sebesar 26,03 % dari tahun sebelumnya. Namun kemudian mengalami penurunan 26,46 % pada tahun 1998 dan pada tahun 1999 dan 2000 mengalami penurunan masing-masing sebesar 18,28 % dan 9,30 % dari tahun sebelumnya. Rokok cerutu Indonesia sudah diekspor walaupun dalam jumlah yang relatif masih sedikit. Volume ekspor rokok jenis ini seperti halnya pada rokok kretek, juga mempunyai kecenderungan meningkat yaitu dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17.25 % per tahun. Pada periode 1996 – 2000, volume ekspor rokok cerutu meningkat dari 213 ton pada tahun 1996 menjadi 459 ton pada tahun 2000.

Tabel 2. Nilai ekspor rokok di Indonesia, tahun 1996 – 2000 (US$ 000) Tahun

Rokok kretek

Rokok putih

Rokok cerutu

1996

55.135

72.063

1.216

1997

46.947

89.979

1.000

1998

31.406

68.573

2.270

1999

57.668

54.846

3.678

2000

73.390

65.832

3.919

8,93

-6,77

33,45

Pertumb. (% perth)

Sumber : Deperindag, 2001, data diolah

Berdasarkan nilai ekspornya, tampak bahwa tingkat pertumbuhan nilai ekspor rokok kretek dan rokok cerutu selama periode 1996-2000, seperti halnya pada volumenya, mempunyai kecenderungan meningkat yaitu dengan tingkat pertumbuhan masing-masing sebesar 8,93 % per tahun dan 33,45 % per tahun. Sedangkan pertumbuhan nilai ekspor rokok putih mempunyai kecenderungan menurun, dengan tingkat pertumbuhan sebesar –6,77 % per tahun.

Tabel 3. Ekspor rokok kretek Indonesia menurut beberapa negara tujuan, tahun 1996-2000 Kg, US$ Negara tujuan Malaysia Singapura Amerika Serikat Jepang Vietnam Thailand Saudi Arabia

1996

1997

1998

1999

2000

3.191.081 (46.078.128) 195.781 (2.921.785) 210.388 (2.733.488) 38.045 (618.510) 0 (0) 0 (0) 83.122 (1.171.864)

2.771.233 (40.341.828) 113.148 (1.786.868) 186.002 (2.639.787) 22.041 (376.930) 38 (198) 0 (0) 40.875 (552.310)

2.046.799 (23.874.443) 130.935 (2.013.180) 235.248 (4.217.600) 24.630 (315.600) 0 (0) 795 (5.250) 0 (0)

5.086.498 (47.722.487) 406.346 (2.494.302) 308.581 (4.544.385) 74.857 (893.670) 0 (0) 1.170 (6.752) 41.809 (351.232)

5.041.217 (61.184.464) 764.738 (5.788.095) 173.878 (2.305.546) 91.241 (879.279) 41.496 (850.120) 118.016 (767.497) 61.930 (525.309)

Kamboja

0 38 (0) (198) Negara 158.852 106.250 lain (1.611.310) (1.249.009) Total 3.839.224 3.239.625 (55.135.085) (46.947.128) Sumber : Depperindag, 2001

6.690 (22.202) 96.596 (957.283) 2.541.693 (31.405.558)

282.115 (860.100) 117.437 (795.521) 6.318.813 (57.668.449)

72.765 (226.800) 252.432 (862.426) 6.617.713 (73.389.536)

Keterangan : Angka dalam kurung adalah nilai ekspor (US$)

Selama ini ekspor rokok kretek Indonesia ditujukan ke beberapa negara. Malyasia merupakan negara tujuan ekspor rokok kretek terbesar. Pada tahun 1996 volume ekspor rokok kretek ke Malaysia sebesar 3.191.081 kg (83 %) dengan nilai 46.078.128 US$ (84 %), kemudian pada tahun 2000 meningkat menjadi 5.041.217 kg (76 %) dengan nilai ekspor 61.184.464 US$ (83 %). Sedangkan negara tujuan ekspor lainnya untuk ekspor rokok kretek adalah Singapura, Amerika Serikat, Jepang, Vietnam, Thailand, Saudi Arabia dan Kamboja.

Tabel 4. Volume dan nilai impor rokok Indonesia, tahun 1996 – 2000 Tahun

Rokok kretek Ton

Rokok putih

US$

Ton

Rokok cerutu

US$ 000

Ton

US$

000

000

1996

105

512

20

140

-

-

1997

7

53

111

576

1

7

1998

-

-

22

239

-

-

1999

7

108

163

519

-

-

2000

-

-

560

1693

2

93

64,61

48,14

Pertumb. (%perth) Sumber : Deperindag, 2001, data diolah

Impor rokok di Indonesia relatif kecil, hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara produsen rokk dengan jumlah industri rokok yang cukup banyak. Dari ketiga jenis rokok, hanya jenis rokok putih saja setiap tahunnya rutin

melakukan impor. Berdasarkan volume maupun nilainya, impor rokok putih menunjukkan kecenderungan meningkat selama periode tahun 1996 – 2000. Tingkat pertumbuhan volume impor rokok putih selama periode tersebut adalah 64,61 % per tahun, sedangkan tingkat pertumbuhan nilai impor rokok putih adalah sebesar 48,14 % per tahun.

Konsumsi Rokok Tabel. Konsumsi rokok kretek di Indonesia, tahun 1995 – 1999 (juta batang) Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 Pertumb. (% per tahun) Sumber : InfoRDev, 2001

Konsumsi rokok kretek 158.770 166.597 196.099 198.926 206.113 6,85

Perubahan (%) 4,9 17,7 1,5 3,6

Dari data yang ada menunjukkan bahwa konsumsi rokok mempunyai kecenderungan meningkat. Tampaknya kampanye tentang bahaya merokok tidak banyak berpengaruh terhadap konsumsi rokok. Hal ini terlihat dari konsumsi yang mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Tingkat pertumbuhan konsumsi rokok kretek selama periode 1995-1999 adalah sebesar 6,85 % per tahun. Pada periode sebelum tahun 1980, konsumen lebih cenderung memilih rokok putih dibanding rokok kretek. Pada saat itu, orang mengkonsumsi rokok putih lebih banyak karena faktor image sedangkan orang mengkonsumsi rokok kretek karena faktor rasa. Kemudian pada periode 1980-1985, industri rokok kretek berusaha memperbaiki faktor image sehingga bisa diterima konsumen yaitu dengan dimunculkannya jenis rokok kretek mesin dan perbaikan pada sistem pemasaran. Pada periode ini rokok kretek mempunyai keunggulan baik pada rasa maupun image. Pada periode setelah tahun 1985, rokok kretek mengembangkan jenis rokok kretek mild, dimana rokok kretek ini dari segi rasa kurang dibanding rokok kretek mesin tetapi dari segi image bagus karena kadar nikotinnya lebih rendah dibanding rokok kretek biasa. Dengan adanya rokok kretek jenis mild,

maka perbedaan rokok kretek dengan rokok putih menjadi semakin tipis, sehingga konsumen dihadapkan pada pilihan selera Pada industri rokok terdapat dua asosiasi yaitu asosiasi industri rokok kretek dengan nama Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) dan asosiasi rokok putih dengan nama Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO). Peranan GAPPRI maupun GAPRINDO antara lain adalah untuk menjembatani hubungan antara perusahaan dengan pemerintah. GAPPRI sebagai asosiasi pabrik rokok kretek mempunyai 151 anggota. Walaupun anggota GAPPRI relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah perusahaan rokok kretek yang ada di Indonesia, tetapi total produksi anggota GAPPRI memiliki kontribusi lebih 90 % dari total produksi rokok kretek Indonesia. Sedangkan sampai tahun 2001 ini, anggota dari GAPRINDO adalah 12 perusahaan. Anggota dari masing-masing asosiasi meliputi perusahaan besar, menengah dan kecil. Penggolongan perusahaan ini mengikuti aturan pemerintah yaitu berdasarkan produksi rokok per tahun. Perusahaan rokok dikatakan sebagai perusahaan besar jika produksinya lebih dari 6 milyar batang per tahun, sedang perusahaan sedang jika produksinya antara 2 sampai 6 milyar batang per tahun dan perusahaan kecil jika produksinya kurang dari 2 milyar batang per tahun. GAPRINDO sebagai asosiasi industri rokok putih memahami bahwa merokok mengandung resiko kesehatan sehingga sebaiknya yang merokok adalah orang yang sudah tahu resiko mengkonsumsi rokok yaitu orang dewasa (usia di atas 18 tahun). Untuk itu GAPRINDO berusaha melakukan kampanye untuk mencegah anak-anak merokok melalui beberapa media maupun sekolah-sekolah. Untuk tujuan ini GAPRINDO telah menetapkan kode etik

langkah-langkah

mencegah anak di bawah umur merokok. Adapun isi dari kode etik itu adalah sebagai berikut 1. Semua iklan rokok disemua media tidak akan ditujukan kepada mereka yang masih berusia dibawah 18 tahun. Pelaksanaannya pada televisi akan berdasar program, bioskop berdasar pada penggolongan dari Badan Sensor Film untuk film yang diputar – pesanan penayangan iklan kepada bioskop harus dibuat dengan penegasan bahwa iklan tidak boleh ditayangkan apabila film yang diputar ditujukan kepada anak-anak dibawah 18 tahun –

sedangkan pada radio dan media cetak berdasar pada sasaran pendengar/pembaca seperti yang diberikan oleh stasiun radio/penerbit. 2. Semua model yang digunakan dalam iklan rokok harus berusia dan betulbetul nampak berusia lebih dari 26 tahun. 3. Tidak akan ada contoh-contoh rokok yang ditawarkan kepada mereka yang berusia dibawah 18 tahun. 4. Tidak akan ada kegiatan baik sampling maupun, promosi dilakukan ditempat atau dekat dengan tempat-tempat umum dan sekolahan yang terutama dikunjungi oleh mereka yang berusia dibawah 18 tahun. 5. Iklan rokok tidak boleh dipasang pada billboard pada jarak kurang dari 100 m dari SD, SMP dan SMU atau sederajat dan fasilitas-fasilitas pendidikan yang dikunjungi oleh siswa yang berumur dibawah 18 tahun. Hal ini berlaku juga bagi fasilitas-fasilitas lain yang terutama dikunjungi oleh anak-anak. 6. Tidak ada barang-barang promosi dengan merek rokok yang secara sengaja dibuat yang berhubungan dengan anak-anak. Dalam hal ini termasuk barang-barang pakaian denga ukuran anak-anak atau barangbarang lain yang diminati oleh anak-anak. 7. Iklan rokok ridak boleh dengan sengaja mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok. Iklan harus ditujukan kepada perokok dewasa yang telah ada dan semata-mata dimaksudkan untuk mempengaruhi perpindahan merek dan/atau mempertahankan kesetian terhadap merek. 8. Iklan rokok tidak boleh menyarankan bahwa tidak merokok adalah hal yang tidak wajar. 9. Iklan rokok tidak boleh menggambarkan orang merokok dalam kegiatankegiatan yang membahayakan keselamatan. 10. Iklan rokok tidak boleh menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat-manfaat kepada kesehatan dan atau bebas dari bahaya kesehatan. Para penjual rokok diharuskan untuk memajang informasi atau petunjuk tentang larangan penjualan rokok kepada anak dibawah umur.

Permasalahan Industri Rokok Permasalahan yang dihadapi industri rokok, baik rokok putih maupun rokok kretek adalah kurangnya konsistensi dari kebijakan pemerintah terutama mengenai tarif cukai rokok. Sehingga hal ini menyulitkan dalam perencanaan produksi maupun investiasi pada jangka panjang menjadi sesuatu yang sulit. Permasalahan yang lain adalah berkaitan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999 tanggal 5 Oktober 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain berisi tentang aturan kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang berada di wilayah Indonesia tidak boleh lebih dari 1.5 mg untuk nikotin dan 20 mg untuk kadar tar, penetapan batas waktu penyesuaian kadar nikotin dan tar bagi pabrik-pabrik Sigaret Kretek Mesin (SKM) paling lambat 2 tahun dan pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan kecil 10 tahun, aturan bahwa iklan rokok hanya dapat dilakukan dimedia cetak atau media luar ruangan. Adanya batasan maksimum kandungan nikotin dan tar yang diberlakukan untuk semua jenis rokok menjadi kurang adil dan sangat memberatkan bagi pabrikan rokok kretek khususnya SKT, oleh karena ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan WHO berdasarkan standar rokok putih. Selain itu adanya larangan iklan di media elektronik (TV) dirasa akan menghambat industri rokok dalam mempromosikan produk baru dengan kadar nikotin dan tar yang rendah sesuai dengan yang dikehendaki dalam PP tahun 1999. Dalam pengadaan bahan baku untuk industri rokok, relatif tidak ada masalah karena biasanya sudah ada kerja sama antara industri rokok dengan petani tembakau. Kerjasama ini dalam bentuk kemitraan ini telah dilakukan antara lain oleh perusahaan seperti PT. Gudang Garam, PT. HM. Sampoerna, PT. Djarum, PT. Bentoel dan PT. BAT Indonesia, yaitu dengan daerah binaan yang tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Meskipun demikian sering kali timbul permasalahan yang berkaitan dengan mutu, harga dan jenis tembakau yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. Khusus pada industri rokok kretek saat ini menghadapi permasalah yaitu adanya kenaikan harga cengkeh. Hal ini berakibat terhadap total biaya produksi. Untuk

pendistribusian hasil produksi pada industri rokok, terdapat permasalah yang berkaitan dengan keamanan. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada supply di beberapa daerah yang relatif rawan.

C. KOMODITI YANG DIKENDALIKAN C.1. ROKOK 1. Industri rokok secara nasional terdiri dari rokok kretek dan rokok putih . Rokok kretek yang merupakan rokok khas Indonesia dikenal sejak tahun 1870 dan menurut cara pembuatanya dibedakan menjadi Sigare Kretek tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Rokok kretek dibuat dari campuran tembakau + cengkeh dan saos, sedangkan rokok putih dibuat dari campurasaos tanpa penambahan cengkeh. Dalam perkembangnya sampai dengan tahun 2000 posisi industri rokok adalah sebagai berikut: 2. Jumlah Unit Usaha : •

Sigaret Kretek : 799 perusahaan



Sigaret Putih Mesin : 14 perusahaan Sebaran Lokasinya : Sunatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat.

1. Kapasitas Produksi : •

Sigaret Kretek (SKT & SKM) sebesar 359.582 juta batang/tahun.



Sigaret Mesin Putih (SPM) sebesar 88.550 juta batang/tahun.

PERMASALAHAN ROKOK A. Cukai Rokok •

Terbitnya Kap.Men Keuangan No. 89/KMK.05/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Harian Perubahan dianggap merupakan perlakuan yang kurang adil bagi pabrikan SPM dan dinyatakan tidak konsisten lagi dengan kesepakatan interdep yang telah ditetapkan sebelunnya sesuai degan Surat edaran menteri Keuangan No. 37-S-3/MK.01/1999 tanggal 7 Oktober 1999 yang menetapkan bahwa rasio HJE/batang SPM terhadap SKM sebesar 45% yang berlaku sampai

tanggal 31 Maret 2002 dan 64% mulai 1 April 2002. Sedangkan dalam Kep.Men keuangan No. 89/KMK.05/2000. Namun dipihak lain pabrikan sigaret kretek menuntuk agar HJE Sigaret Putih disamakan dengan HKE Sigaret Kretek. •

Kep.Men Keuangan No. 89/KMK-05/2000 tersebut telah berulang kali dirubah terakhir kali dengan kep.Men Keuangan No.384/KMK.04/2001 tanggal 29 Juni 2001.

LANGKAH-LANGKAH PENINGKATAN KINERJA •

Masalah penetapan cukai hasil tembakau diusulkan agar ketentuan tarif cukai diberlakukan pada tahun anggaran 2001 dan berkutnya agar dapat melibatkan instansi terkait termasuk Depprindag.

DUKUNGAN INSTANSI TERKAIT Ditjen Bea & Cukai, Depprindag. 1. Utilitas produksi : •

Sigaret Kretek (SKT & SKM) sebesar 54,7%



Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 32,5%

1. Produksi Riil (jutaan Batang) Tahun

SKT + SKM

SPM

1996

187.641,2

28.667,0

1997

198.958,0

26.205,6

1998

196.468,9

32.521,0

1999

196.620,0

28.796,8

2000

206.682,0

25.785,3

2. Realisasi Ekspor (nilai US$.000) Tahun

SKT + SKM

SPM

1996

55,135.10

72,062,66

1997

46,947.17

89,979.35

1998

31,405.56

69,550.80

1999

57,668.45

55,851.13

2000

73,390.00

65,832.00

3. Realisasi Impor (nilai US$.000) Tahun

SKT + SKM

SPM

1996

512

154

1997

53

592

1998

0

239

1999

107

542

2000

0

1.693

Penerimaan cukai rokok (Rp. Milyar) Tahun

SKT + SKM

SPM

Total

1996

3.744,1

409,4

4.153,5

1997

4.342,9

449,1

4.7982,0

1998

6.699,5

691,5

7.391,0

1999

8.802,1

986,6

9.64,0

2000

12.460,0

1.310,0

13.770,0

Target 2001 17.600,0

A. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi kesehatan yang direvisi dengan PP. No 38 Tahun 2000. •

Dalam PP. 81 Tahun 1999 Khususnya Pasal 4 dinyatakan bahwa Kandungan tar dan nikotin pada setiap batang rokok tidak boleh melebihi 20 mg dan 1,5 mg sangat memberatkan pabrikan sigaret kretek Tangan (SKT), oleh karna kandungan tar dan nikotin yang di capai lebih tinggi yaitu untuk SKT rata-rata 45,0 mg dan 2,5 mg sehingga hal ini sulit

dipenuhi oleh pabrikan rokok kretek meskipun telah di berikan masa transisi 7 (tujuh) tahun untuk SKM dan 10 (sepuluh) tahun untuk SKT •

Dalam PP.81/1999 pasal 9 dan Kepmen Kes Sos No. 1755 /MenKesKesos/SK/XII/2000 tentang Tulisan Peringatan Kesehatan pada Label Rokok antara lain dinyatakan bahwa peringatan tersebut harus dicantumkan pada sisi lebar di dalam keras yang bergaris hitam dengan dasar kotak berwarna putih dan tulisan digunakan berwarna hitam. Hal tersebut masih menjadi kandala bagi pabrikan rokok karena alasan teknis dalampersiapan pencetakan kemasan dan batas waktu peralihan dengan ketentuan baru yang semakin mendesak yaitu s/d akhir tahun 2001 yang sampai dengan saat ini masih belum ada solusi pemecahan.



Berkaitan dengan ketentuan dalam PP 81/1999 joto PP No. 38/2000 Depperindag cq. Dit. Ind. Agro telah mengantisipasi kepada pabrikan rokok sesuai dengan ketentuan tersebut yaitu melalui kegiatan proyek pembangunan dil akukan daerah dengan melakukan sosialisasi kepada pabrikan rokok kretek.



Berkaitan dengan ketentuan penulisan label peringatan kesehatan pada kemasan rokok telah di lakukan pertemuan antara instansi terkait (Depperindag, Badan POM, Ditjen Bea Cukai) dengan GAPRI dengan GAPRINDO untuk membahas solusi terbaik dan mengatasi kendala teknis yang dihadapi pabrikan rokok. Pada prinsipnya masalah yang bersifat substansial yangnberhubungan dengan kemesan kesehatan dapat diterima oleh semua pihak namun maasalah teknis yang menyangkut ketentuan penggunaan kemasan baru masih menunggu pembahasan lebih lanjut dengann tim Interdep. Badan POM, Depperindag, Ditjen Bea & Cukai.

Akses Pemasaran Pemasaran hasil industri rokok untuk pasar lokal relatif tidak mengalami masalah. Pemasaran rokok dibatasi oleh peraturan tentang kadar tar dan nikotin yang mengacu pada ketentuan WHO berdasarkan standar rokok putih, yang pada saat ini telah masuk pada PP tahun 1999. Kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap rokok yang berada di wilayah Indonesia tidak boleh lebih dari 1,5 mg untuk

nikotin dan 20 mg untuk kadar tar. Penetapan batas kadar nikotin dan tar ini berlaku untuk pabrik sigaret kretek mesin paling lambat 2 tahun dan untuk pabrik sigaret kretek tangan golongan kecil 10 tahun. Pada industri rokok, pemerintah menetapkan cukai rokok berdasarkan jenis rokok dan skala usaha dari industri tersebut. Selain cukai rokok, pemerintah tidak melakukan intervensi dalam mengatur mekanisme pasar rokok. Untuk impor rokok, pemerintah menetapkan bea impor sebesar 15 % dan PPN 10 % untuk cerutu, sigaret kretek mesin dan jenis rokok lainnya.

Peluang pada Industri Rokok Sampai saat ini investor yang ingin masuk ke industri ini masih terus bertambah, hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk pengembangan industri rokok masih terbuka. Dari segi ketersediaan bahan baku, yaitu tembakau, relatif tidak mengalami kesulitan karena dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Dari segi permintaan terhadap rokok, menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan peringatan pemerintah akan bahaya merokok nampaknya tidak berpengaruh banyak terhadap permintaan rokok. Disamping itu dengan semakin banyaknya wanita perokok juga merupakan salah satu peluang pengembangan rokok dilihat dari sisi permintaan. Pada saat ini pengembangan produk rokok cenderung mengarah ke jenis rokok yang mempunyai kadar tar dan nikotin yang rendah, yaitu jenis mild. Dengan pengembangan rokok jenis mild diharapkan akan dapat memenuhi peraturan pemerintah tentang kandungan tar dan nikotin. Industri rokok banyak terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah hal ini berkaitan dengan ketersediaan bahan baku. Dimana di kedua propinsi tersebut produksi tembakau mencapai 83 % dari total produksi tembakau nasional tahun 1999. Untuk itu di Jawa Timur dan Jawa Tengah layak digunakan sebagai wilayah pengembangan kawasan agroindustri terpadu yang berbasis tembakau. Karena disamping ketersediaan bahan baku dan banyaknya jumlah industri rokok yang sudah ada, di kedua propinsi tersebut ketersediaan tenaga kerja industrial juga relatif cukup besar

Related Documents


More Documents from "Hanik Luthfiya"