1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya rumput di Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat dalam beberapa tahun ini. Salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan adalah rumput laut. Rumput laut mudah dibudidayakan, dan empunyai prospek pasar yang baik serta dapat digunakan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat pantai. Komoditas ini merupakan salah satu komoditas perdagangan internasional yang telah diekspor lebih 30 negara. Dengan potensi yang dimiliki Indonesia yaitu 17.504 pulau dan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, maka usaha budidaya rumput laut mempunyai prospektif yang cerah untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatan dan perolehan devisa Negara. Perairan Indonesia sebagai wilayah tropis, memiliki sumberdaya plasma nutfah rumput laut kurang lebih 555 jenis (ekspedisi Laut Siboga 1899-1900 oleh Van Bosse). Jenisw yang banyak terdapat di perairan Indonesia adalah
Glacilaria, Gelidium,
Eucheuma, Hypnea, Sargasum, dan Turbinaria. Jnis-jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis dan telah dibudidayakan adala Eucheuma spp dan Gracilaria sp yaitu dari jenis alga merah. Selain itu dari jenis alga merah yang bernilai ekonomis tetapi belum dapat dibudidayakan adalah Gelidium sp, Sargassumsp, dan Turbunaria sp. Eucheuma sp, dibudidayakan dui perairan laut atau pantai, sedangkan Gracilaria sp di budidayakan di tambak.
2
1.2 Manfaat Rumput Laut
Eucheuma spp mengandung ekstrak karagenan yang bermanfaat sebagai bahan pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengontrol tekstur dan kelembaman, penetral, dan pemadat. Misalnya pembiatan bir, wine, susu coklat, ice cream, dessert gel, saus, beef daging kaleng, ikan kaleng, pasta gigi, air freshener, cream, coffee creamer, serta berfungsi sebaga pupuk. Selain itu jenis Eucheuma spp adalah jenis rumput laut yang mudah di budidayakan di perairan pantai atau laut Indonesia. Sebagai contoh ekstrak karageenan digunakan sebagai bahan dasar dari agar-agar.
1.3 Jenis Rumput Laut Ekonomis Penting
Jenis rumput laut yang juga termasuk ekonomis penting adalah jenis Gracilaria dan Sargassum. Agar-agar yang dihasilkan dari Gracilaria, Gelidium, dan Geliopsis dimanfaatkan sebgai media tumbuh, industry tekstil, industry kulit dan makanan. Algin atau alginat dihasilkan dari Sargassum, Turbinaria, Dictyota, dan Laminaria digunakan sebagai stabilisator dalam produk susu dan bir, pengemulsi dan pengental bumbu salad, pengempuk struktur dalam candy gels, industri farmasi, kosmetik, dan industry kertas serta tekstil.
1.4 Pengembangan Rumput Laut
Pengembangan budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1980-an dalam rangka mengubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan
3
sumberdaya alam ke budidaya rumput laut yang ramah lingkungan. Usaha budidaya ini dapat
meningkatakan
pendapatan
pembudidaya.
Juga
dapat
digunakan
untuk
mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai. Budidaya rumput laut cocok diterapkan dengan skala rumah tangga karena perputaran usahanya relatif cepat, merupakan kegiatan yang terus menerus dan tidak memerlukan kerja secara penuh, serta dapat melibatkan wanita atau keluarga nelayan. Berdasarkan kenyataan yang ada saat ini, budidaya rumpit laut telah menjadi mata pencaharian sebagian besar pembudidaya yang tinggal di daerah pesisir. Kegiatan ini dapat berlanjut tanpa terpengaruh oleh krisis moneter yang melanda Indonesia, bahkan dapat menyelamatkan masyarakat dalam menghadapi krisis tersebut. Dengan demikian pengembangan budidaya rumput laut perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh melalui program INBUDKAN rumput laut, mulai dari segi teknis produksi sampai pada penanganan pasca panennya. Untuk mendukung keberhasilan usaha budidaya rumput laut banyak faktor yang harus dipelajari.
4
BAB II BIOLOGI RUMPUT LAUT
2.1 Eucheuma cottonii Sinonim E. alvarezii, Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty Jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam kelas
Rhodophycea,
ordo
Gigartinales,
family
Silieraceae mempunyai thallus yang silindris, berduri kecil-kecil dan menutupi thallus, percabangannya tidak teratur sehingga merupakan lingkaran, ujungnya runcing berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina Eucheuma cottonii tidak teratur, menutupi thallus dan cabang- cabangnya. Ujung cabangnya runcing atau tumpul dan percabangannya tidak teratur. Thallus silindris, permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Penampakkan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus mirip seperti pada E spinosum tetapi tidak tersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerahbasal (pangkal). Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun sengan ciri khusus mengarah kea rah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk. Ada dua cara dalam pengembangbiakan rumput laut Eucheuma spp. Yaitu secara kawin dan tidak kawin. Perkembangbiakan secara vegetative dapat dilakukan dengan cara stek. Secara alami Eucheuma cottonii banyak dijumpai di perairan laut Sulawesi, kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, Irian Jaya, dan kepulauan Riau. Jenis ini hidup di daera pasang surut dengan kedalaman air antara 30-50 cm saat pasang surut terendah.
5
Cara hidupnya dengan cara menempel pada substrat (batu karang, kulit kerang, ataupun benda keras lainnya). Untuk pertumbuhannya rumput laut membutuhkan sinar matahari yang berguna bagi proses fotosintesisnya, sehingga rumput laut lebih baik hidup di perairan dangkal yang mana penetrasi matahari dapat mencapai dasar perairan. Rumput laut mendapatkan makanan dari nutrisi yang terkandung dalam air dan tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai gerakan air yang memadai dan sinar matahari yang cukup untuk proses fotosintesis.
2.2 Eucheuma edule Eucheuma edule disebut juga dengan agar-agar besar di Kepulauan Seribu. Cirinya memiliki thallus silindris, permukaan licin, gelatinaeus-cartilaginaeus, warna hijau kuning atau coklat hijau. Percabangan berselang-seling dengan interval yang jarang. Pada thallus terdapat benjolan-benjolan yang sebagian berkembang menjadi semacam duri-duri besar. Ukuran thallus percabangan berlawanan, berselang-seling, dan timbul teratur umumnya lebih besar dari pada jenis Eucheuma lainnya, sehingga rumpun tampak lebih kokoh tetapi tidak begitu rimbun Habitat Eucheuma edule biasanya tumbuh di alam dengan menempel pada batu di perairan rataan terumbu karang. Kelimpahannya rendah, nilai dan potensi ekonomi nya yaitu sebagai penghasil kappa karaginan yang merupakan komoditas ekspor seperti halnya dengan Kappaphycus alvarezii hasil budidaya. Produksinya masih bersifat alami, belum ada hasil budidaya. Populasinya di alam tidak begitu banyak.
6
2.3 Eucheuma serra Eucheuma serra di Bali disebut dengan Bulung lipan memiliki ciri: thallus gepeng, pinggiran
bergerigi,
permukaan
licin,
cartilagineus, warna merah atau merah pucat. Ciri khusus secara morfologis adalah bentuknya menyerupai lipan. Percabangan berselang-seling tidak beraturan dan membentuk rumpun yang rimbun. Rumput laut jenis ini banyak ditemukan tumbuh pada perairan yang selalu kena gerakan air, di bagian ujung luar terumbu, melekat pada batu. Banyak terdapat tumbuh di perairan Bali dan Lombok. Jenis ini belum banyak dimanfaatkan secara komersial.
2.4 Eucheuma denticulatum (sinonim: E spinosum) Eucheuma spinosum disebut juga agaragar patah tulang. Memiliki ciri: thallus silindris, permukaan licin, cartilagineus, warna coklat tua, hijau kuning, atau merah ungu. Ciri khusus secara morfologis adalah memiliki duri yang tumbuh berderet melingkari thallus dengan interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus diantara lingkaran duri. Pada deretan duri antar ruas serta merupakan kepanjangan dari duri tersebut. Cabang dan duri ada juga yang tumbuh pada ruas thallus tetapi agak pendek. Ujung percabangan meruncing dan setiap percabangan mudah melekat pada substrat yang merupakan ciri khas E spinosum.
7
BAB III PEMILIHAN LOKASI
Lokasi yang digunakan untuk kegiatan budidaya rumput laut sangat mempengaruhi keberhasilan usaha. Ketepatan dalam memilih dan menentukan lokasi budidaya menjadi kunci keberhasilan usaha tersebut. Dalam pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut ada 3 faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor resiko, kemudahan, dan faktorekologis. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Dalam menentukan lokasi budidaya harus memperhatikan daya dukung perairan di wilayah tersebut. Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya laut dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan tersebut untuk menopang kehidupan dan pertumbuhan rumput laut secara maksimal, sehingga diperoleh produksi biomassa yang optimal dan berkelanjutan. Daya dukung budidaya rumput laut dapat dinyatakan dalam biomassa atau unit budidaya per satuan luas.
3.1 Faktor Resiko 3.1.1 Keterlindungan Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya didapatkan di perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh adanya penghalang atau pulau di depannya.
3.1.2 Keamanan
8
Masalah pencurian dan perbuatan sabotase mungkin dapat terjadi, sehingga upaya pengamanan baik secara individual maupun bersama-sama harus dilakukan. Pemilik usaha harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar lokasi budidaya . 3.1.3 Konflik kepentingan Beberapa kegiatan perikanan (penangkapan ikan, pengumpul ikan hias) dan kegiatan non perikanan (pariwisata, perhubungan laut, industri, taman nasional laut) dapat berpengaruh negatif terhadap aktivitas usaha rumput laut.
3.2 Faktor Kemudahan Pemilik usaha budidaya rumput laut biasanya memilih lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggal, sehingga kegiatan monitoring dan penjagaan keamanan dapat dilakukan dengan mudah. Lokasi diharapkan berdekatan dengan prasarana jalan, karena dapat mempermudah dalam pengangkutan bahan, sarana budidaya, bibit, dan hasil panen. Hal tersebut dapat mengurangi biaya pengangkutan.
3.3 Faktor Ekologis Parameter ekologis yang perlu diperhatikan antara lain: arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran, dan ketersediaan bibit serta tenaga kerja yang terampil. 3.3.1 Arus Rumput laut merupakan organisme yang mendapatkan makanan (nutrient) melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup dapat membawa nutriens yang cukup pula sekaligus mencuci kotoran yang menenmpel pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi suhu air yang besar. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah 20-280C. Besarnya kecepatan arus air yang ideal antara
9
20-40 cm3/ detik. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik yaitu adanya tumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah. 3.3.2 Dasar Perairan Perairan yang memiliki pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma spp. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Jenis dasar perairan dapat dijadikan indikator gerakan air laut. Dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras menunjukkan dasar itu dipengaruhi oleh gelombang yang besar sebaliknya bila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan adanya gerakan air yang kurang. 3.3.3 Kedalaman Air Kedalaman perairan yang baik untuk bididaya rumput laut Eucheuma spp adalah 0,3-0,6 m pada waktu surut terendah (lokasi yang berarus kencang) untuk metode lepas dasar, dan 2-15 m untuk metode rakit apung, 5-20 m untuk metode rawai (long line) dan sisitem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. 3.3.4 Salinitas Eucheuma spp adala rumput laut yang bersifat stenohaline. Ia tidak dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik untuk rumput laut ini berkisar antara 28-35 ppt. Untuk memperoleh perairan denga kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai. 3.3.5 Kecerahan
10
Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintetik. Dalam proses fotosintetik terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh dapat menghalangi tembusnya matahari ke dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Disamping itu, kotoran dapat menutupi permukaan thallus, dan menyebabkan thallus tersebut membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. 3.3.6 Pencemaran Perairan yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut harus dihindari. Semua bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. 3.3.7 Ketersediaan Bibit Bibit rumput laut yang baik harus tersedia. Apabila di lokasi budidaya tidak terdapat sumber bibit, maka harus didatangkan dari lokasi lain. Pada lokasi di mana Eucheuma cottonii bisa tumbuh, biasanya terdapat pula jenis lain seperti Gracilaria, ulva, Sargassum, dan lain-lain. 3.3.8 Tenaga Kerja Tenaga kerja sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi budidaya terutama pembudidaya lokal. Menggunakan tenaga lokal dapat menghemat biaya produksi dan sekaligus membuka peluang atau kesempatan kerja. Berikut ini adalah persyaratan lokasi budidaya laut menurut Kep. Men 02/MenKLH/I/1998 tentang kualitas air laut untuk budidaya laut, akan tetapi ubtuk
11
budidaya rumput laut ada perbedaan parameter yang harus disesuaikan dengan lokasi dan metode budidaya yang digunakan. Sebagai contoh budidaya rumput laut dengan metode lepas dasar, kedalaman perairan cukup 0,5-1 meter pada saat surut terendah. Tabel 1. Persyaratan Lokasi Budidaya Laut No
Parameter
Satuan
1 2 3 4
Kedalaman Arus Substrat Dasar Keterlindungan
M m/det * *
1 2 3
Suhu Salinitas pH Total Solid
C mg/l *
Diperbolehkan A. Oseanografi 5 s.d 40 0.15-0,50 pasir terlindung B. Kualitas Air alami 10 ppt 6 s.d 9
mg/l
80
Suspended
Diinginkan 7 s.d 15 0.25-0.35 karang sangat terlindung alami alami 6,5-8,5 <25
12
BAB IV PENGIKATAN BIBIT DAN PENANAMAN
4.1 Bibit Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha budidaya rumput laut adalah bibit yang digunakan. Oleh sebab itu bibit yang digunakan sebaiknya bibit yang baik sehingga akan menghasilkan panen yang baik pula. Bibit yang digunakan adalah tanaman muda hasil budidaya dengan kriteria:
Bercabang banyak dan rimbun
Tidak terdapat bercak dan tidak terkelupas
Warna spesifik (cerah)
Umur 25-35 hari
Berat bibit 50-100 gr/ rumpun
Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi kegiatan usaha dan jumlahnya disesuaikan sengan luas area budidaya. Jika tidak memungkinkan dapat didatangkan dari lokasi lain.
13
4.2 Pengikatan Bibit Pada saat pengangkutan diupayakan agar bibit tetap terendam di dalam air laut. Apabila pengangkutan dilakukan melaui udara dan darat, bibit sebaiknya dimasukkan ke dalam kotak karton yang berlapis plastik. Kemudian bibit disusun secara berlapis dan berselang-seling yang dibatasi dengan lapisan kapas atau kain yang dibasahi air laut. Bibit dijaga agar tidak terkena minyak, kehujanan, ataupun terhindar dari kekeringan. Dalam menjaga kualitas produksi rumput laut sebaiknya dilakukan penggantian bibit. Apabila tanaman sudah terlihat kurus, maka sebaiknya bibit diganti dengan yang baru., sedangkan untuk mendapatkan bibit yang berkualitas baik, sebaiknya bibit yang akan ditanam berasal dari dari bibit yang khusus disediakan di lokasi budidaya. 4.3 Penanaman Sebelum dilakukan penanaman, sebaiknya bibit dikumpulkan terlebih dahulu pada tempat-tempat tertentu, misalnya keranjang atau jaring dengan ukuran mata jaring yang kecil. Pada saat penyimpanan, sebaiknya bibit terhindar dari minyak, kehujanan, maupun kekeringan. Setelah bibit tersedia maka dilanjutkan dengan kegiatan penanaman. Untuk metoda lepas dasar, penanaman bibit langsung dilakukan di lokasi budidaya, sedangkan untuk metode jalur, rakit apung dan long line kegiatan penanaman rumput laut dilakukan di rumah apung atau di darat pada tempat sejuk sehingga tidak terkena sinar matahari langsung.
14
Pada saat pengikatan, bibit harus terus dalam keadaaan basah. Agar mendapatkan keseragaman pertumbuhan, sebaiknya bibit ditimbang terlebih dahulu. Setelah dipotong dan ditimbang bibit diikatkan pada tali PE 0,2 mm ata tali rafia dan seterusnya diikatkan pada kerangka rakit ataupun tali ris (metode longline). BAB V PERAWATAN TANAMAN
Keberhasilan usaha budidaya rumput laut sangat tergantung kepada perawatan. Kegiatan yang harus dilakukan terhadap tanaman rumput laut selama perawatan adalah sebagai berikut: 1. Perawatan harus dilakukan setiap hari untuk membersihkan tanaman dari tumbuhan pengganggu dan menyulam atau menyisip tanaman yang mati dan terlepas yang dilakukan pada minggu pertama setelah rumput laut ditanam. 2. membersihkan tali tanam dan tanaman dari tumbuhan pengganggu dan hewan pengganggu yang dapat menghalangi sinar matahari, arus air, serta makanan bagi tanaman. 3. mengganti tali yang sudah lapuk atau rusak, atau kuatkan jangkar yang sudah goyah. 4. menguatkan tali ikatan tanam, karena tali tanaman yang lepas atau longgar, dapat saling kait satu dengan yang lain dan mengakibatkan tanam menjadi patah.
15
5. mengguncang atau bersihkan lumpur yang melekat pada tanaman dan tali. Lumpur yang menempel pada tanaman akan menurunkan kecepatan tumbuh karena menghalangi tanaman dari sinar matahari dan makanan. 6. mengganti tangaman yang sakit atau mengandung penyakit. Tanaman yang sedang sakit akan memutih lunak (ice-ice) yang dapat menularkan penyakit kepada tanaman sekelilingnya. Buanglah tanaman yang sakit dari pertanaman secepat mungkin. Monitoring pertumbuhan rumput laut perlu dilakukan beberapa kali dengan cara sampling. Sampling dilakukan setiap dua minggu. Penentuan sampel dilakukan secara acak. Suatu kegiatan budidaya Eucheuma cottonii dikatakan baik jika laju pertumbuhan rata-rata harian minimal > 3 %. Untuk mengetahui persentase laju pertumbuhan harian dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: G= Laju pertumbuhan Wt= bobot rata-rata akhir Wo= Bobot rata-rata awal t = Waktu pengujian
16
BAB VI METODA BUDIDAYA
Metode budidaya yang diterapkan akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5 metode budidaya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar perairan. Metode- metode tersebut meliputi: metoda lepas dasar, metoda rakit apung, metoda longline, metode jalur, dan metoda keranjang (kantung). Namun dalam penerapan semua macam metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana lokasi budidaya rumput laut akan dilaksanakan. Uraian metodametoda tersebut adalah sebagai berikut.
6.1 Metode Lepas Dasar Metode ini dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok atau pancang. Namun hal ini akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang.
6.2 Metode Rakit Apung
17
Metode rakit apung adalah cara membudidayakan rumput laut dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu / kayu. Metode ini cocok diterapkan pada peraira berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari kayu atau bambu. Untuk menahan agar rakit tidak hanyut, digunakan jangkar atau patok dengan tali PE yang berukuran 10 mm sebagai penahannya. Pertumbuhan tanaman dengan menggunakan metode ini umumnya lebih baik dibanding dengan metode lepas dasar karena pergerakan air dan intensitas cahaya cukup memadai bagi pertumbuhan rumput laut.
6.3 Metode Longline Metode Longline adalah metode budidaya dengan menggunakan tali panjang yang dibentangkan. Metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat dan bahan yang digunakan lebih tahan lama dan mudah untuk didapat. Teknik budidaya ini ialah dengan menggunakan tali sepanjang 50-100 m yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 m diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik. Pada setiap jarak 5 m diberi pelampung berupa potongan styrofoam atau yang lainnya.
6.4 Metoda Jalur Metode ini merupakan kombinasi dari metode rakit dan metode longline.
18
6.5 Metoda Keranjang Metode kantong jaring adalah metode budidaya rumput laut dengan menggunakan jaring sebagai wadah produksi. Kantong jaring tersebut digantungkan pada tambang apung (longline) atau rakit. Metode ini merupakan solusi budidaya rumput laut dalam mengatasi masalah serangan hama ikan baronang dan penyu.
19
BAB VII HAMA DAN PENYAKIT
7.1 Hama Hama rumput laut umumnya adalah organisme rumput laut yang memangsa rumput laut sehingga akan menimbulkan kerusakkan fisik terhadap thallus, dimana thallus akan mudah terkelupas, patah, atau pun habis dimakan hama. Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi 2 menurut ukuran hama yaitu hama mikro (merupakan organisme laut yang berukuran kurang dari 2 cm) dan hama makro yang terdapat di lokasi budidaya itu sendiri dan sudah dalam bentuk atau ukuran dewasa. Hama mikro hidup menumpang pada thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.) yang bersifat planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman rumput laut. Contoh lainnya adalah teripang (Holothuria sp.) yang mula-mula menempel dan menetap pada thallus rumput laut, kemudian tumbuh menjadi besar. Larva yang sudah besar tersebut dapat memakan thallus rumput laut secara langsung dengan cara menyisipkan ujungujung cabang rumput laut kedalam mulutnya. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah ikan beronang (Siganus sp), bintang laut ( Protoreaster nodosus), bulu babi (Diademasetosum sp), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp), penyu hijau (Chalonia mydas), da ikan kerapu (Epinephellus sp).
20
Untuk menanggulangi serangan dari ikan baronang dan penyu hijau dapat dilakukan dengan memasang pagar yang terbuat
dari jaring. Serangan dari hama bulu babi,
teripang, dan bintang laut pengaryhnya relatif kecil pada areal budidaya yang cukup luas, namun perlu diwaspadai demi keberhasilannya. Penyu hijau merupakan hama perusak terbesar menyerang
pada
malam
hari
dibandingkan lainnya, sampai
habis.
Untuk
menanggulangi tanaman, maka areal budidaya dipagar dengan jaring.
7.2 Penyakit Penyakit terjadi di daerah dengan kecerahan yang tinggi biasanya dikenal dengan iceice dengan gejala timbulnya bintik-bintik atau bercak-bercak pada sebagian thallus, namun lama- kelamaan akan menyebabkan kehilangan warna sampai menjadi putih dan mudah terputus. Penyakit ini menyerang pada Eucheuma spp. Terutama disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan (arus, suhu, kecerahan, dan lain-lain) di lokasi budidaya dan berjalan dalam waktu yang cukup lama. Cara pencegahan dari penyakit ini adalah dengan memonitor adanya perubahanperubahan lingkungan, terutama pada saat terjadinya perubahan lingkungan. Di samping itu dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari.
21
22
BAB VIII PANEN DAN PENANGANAN HASIL PANEN
Beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian saat panen rumput laut adalah umur dan cuaca. Umur berkaitan erat dengan kualitas rumput laut, jika digunakan untuk bibit maka baru dipanen setelah berumur 25-30 hari. Agar kandungan karagenan tersedia lebih banyak, maka panen sebaiknya dilakukan saat berumur 45 hari.
8.1 Cara Panen Panen dapat dilakukan dengan memotong sebagian tanaman. Panen dengan cara ini memilki keuntungan, yaitu penghematan tali rafia pengikat bibit, namun cara ini memerlukan waktu kerja yang lebih lama. Sisa-sisa tanaman thallus yang tua akan menyebabkan rumput laut siap panen
pertumbuhannya
menjadi
lambat,
sehingga kandungan karaginan dari hasil panen tersebut cenderung lebih rendah. Pemotongan tanaman sebaiknya dilakukan dengan alat pemotong yang tajam agar pada bekas potongan sisa tanaman tersebut dapat tumbuh percabangan baru dengan baik. Cara panen dengan mengangkat seluruh tanaman (sekaligus) akan memerlukan waktu kerja lebih singkat. Pelepasan tanaman dari tal ris dilakukan di darat dengan cara memotong
23
tali rafia. Selain itu panen dengan cara ini mempunyai keuntungan tersendiri, yaitu dapat melakukan penanaman kembali bibit-bibit rumput laut dengan memilih bagian-bagian dari tanaman yang muda dengan laju pertumbuhan yang tinggi sehingga kandungan karaginan yang dihasilkan akan relatif lebih tinggi. 8.2 Penanganan Hasil Jika panen dilakukan pada cuaca yang cerah, maka kualitas rumput laut akan terjamin, sebaliknya panen pada saat mendung akan mengakibatkan fermentasi sehingga mutunya menurun. Oleh karena itu mutu rumput laut kering sangat dari cuaca penanganan pasca panen. Perlakuan Proses pengeringan rumput laut
sebelum
penjemuran
selalu
mengikuti
permintaan pasar, yaitu langsung dijemur setelah panen, terlebih dahulu dicuci dengan air tawar, dilakukan fermentasi terlebih dahulu. Rumput laut langsung di jemur sesaat setelah
panen di bawah terik matahari langsung. Diletakan diatas para-para atau dialas agar hasil panen tersebut tidak tercampur dengan pasir dan tanah ataupun benda-benda asing lainnya. Dalam keadaan cuaca baik biasanya pengeringan akan berlangsung selama 2-3 hari dengan kadar air 30-35%. Di samping itu juga dilakukan kegiatan sortasi dan membersihkan rumput laut dari benda-benda asing yang menempel seperti hypnea, Sargassum, Ulva, dan lain-lain. Pasir dan garam akan dipisahkan melalui pengayakan, yaitu setelah selesainya proses pengeringan. Ciri atau warna rumput laut yang sudah kering adalah ungu keputihan dilapisi kristal garam. Setelah kering disimpan dalam gudang yang tidak lembab. Hasil pengeringan dengan cara ini disebut kering asalan.
24
Pengeringan rumput laut dengan cara fermentasi dengan cara membersihan rumput laut terlebih dulu, kemudian dibungkus dengan plastik dan direndam atau dijemur 2-3 hari sehingga menjadi putih transparan. Selannjutnya diletakan dan dijemur di atas para atau alas selama 3-4 hari sampai berwarna putih krem dilapisi kristal garam dengan kadar air 20-25 %. Hasil ini disebut dengan kering putih disimpan dalam gudang yang tidak lembab. Sedangkan rumput laut yang dicuci dahulu dengan air tawar sebelum dijemur, dijemur selama 1-2 hari, dicuci kembali dengan air tawar untuk melarutkan kadar garam, kemudian dijemur kembali 1-2 hari sampai berwarna putih. Jika masih belum putih dilakukan pencucian ulang dan Rumput laut kering dijemur 1-2 hari sehingga berwarna putih kekuningan dengan kadar air 15-20%, baru disimpan di gudang yang terhindar dari lembab.
25
DAFTAR PUSTAKA
Istini, Sri, dkk. 2006. Rumput Laut. Pemberdayaan Swadaya: Jakarta Aslan, Laode M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Kanisius: Jakarta nn. 2005.
Petunjuk Teknis Budidaya Laut Rumput Laut. Direktorat Jendral Budiddaya:
Jakarta Winarno, F. G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta Anggadireja, Jana T. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya: Jakarta
26
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Karena atas berkat rahmatnya lah paper ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Tujuan disusunnya paper ini adalah sebagai prasayrat untuk mengikuti seminar yang diadaka oleh program studi akuakultur. Selain itu juga untuk mengetahui dasar-dasar teknik budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Banyak sekali halangan dan hambatan dalam proses penyusunan paper ini. Namun karena dukungan dari berbagai pihak, maka akhirnya paper ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Rahmatun selaku dosen pengampu mata kuliah dasar-dasar budidaya; 2. Ir. Hj. Effi A. Thaib, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah dasar-dasar budidaya dan sekaligus sebagai ketua jurusan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dan semua pihak yang telah membantu menyukseskan penyusunan laporan ini. Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam penulisan paper yang akan dating. Akhirnya penulis berharap bahwasanya paper ini dapat berguna bagipara pembaca yang membutuhkan literature mengenai dasar-dasar budidaya rumput laut Eucheuma cottonii.
Jakarta, Juni 2009
Penyusun
27
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………… i Daftar isi………………………………………………………………………………ii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1 1.5 Latar Belakang……………………………………………………………………… 1 1.6 Manfaat Rumput Laut………………………………………………………………… 2 1.7 Jenis Rumput Laut Ekonomis Penting………………………………………………… 2 1.8 Pengembangan Rumput Laut………………………………………………………… 2
BAB II BIOLOGI RUMPUT LAUT……………………………………………………… 4 2.1 Eucheuma cottonii Sinonim E. alvarezii, Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty……… 4 2.2 Eucheuma edule………………………………………………………………………………… 5 2.3 Eucheuma serra……………………………………………………………………………………6 2.4 Eucheuma denticulatum (sinonim: E spinosum)……………………………………… 6 BAB III PEMILIHAN LOKASI………………………………………………………… 7 3.1 Faktor Resiko……………………………………………………………………… 7 3.1.1 Keterlindungan……………………………………………………………… 7 3.1.2 Keamanan…………………………………………………………………… 8 3.1.3 Konflik kepentingan………………………………………………………… 8 3.2 Faktor Kemudahan………………………………………………………………… 8 3.3 Faktor Ekologis……………………………………………………………………… 8 3.3.1 Arus……………………………………………………………………… 8 3.3.2 Dasar Perairan……………………………………………………………… 9 3.3.3 Kedalaman Air……………………………………………………………… 9
28
3.3.4 Salinitas…………………………………………………………………… 9 3.3.5 Kecerahan…………………………………………………………… 10 3.3.6 Pencemaran…………………………………………………………… 10 3.3.7 Ketersediaan Bibit………………………………………………………10 3.3.8 Tenaga Kerja…………………………………………………………… 10 BAB IV PENGIKATAN BIBIT DAN PENANAMAN…………………………… 12 4.1 Bibit…………………………………………………………………………… 12 4.2 Pengikatan Bibit………………………………………………………………… 13 4.3 Penanaman…………………………………………………………………… 13 BAB V PERAWATAN TANAMAN……………………………………………… 14 BAB VI METODA BUDIDAYA………………………………………………… 16 6.1 Metode Lepas Dasar…………………………………………………………… 16 6.2 Metode Rakit Apung…………………………………………………………… 17 6.3 Metode Longline………………………………………………………………… 17 6.5 Metoda Jalur…………………………………………………………………… 18
6.5 Metoda Keranjang……………………………………………………………… 18 BAB VII HAMA DAN PENYAKIT…………………………………………………19 7.1 Hama……………………………………………………………………………… 19 7.2 Penyakit…………………………………………………………………………… 20 BAB VIII PANEN DAN PENANGANAN HASIL PANEN………………………… 22 8.1 Cara Panen………………………………………………………………………… 22 8.2 Penanganan Hasil…………………………………………………………………… 23 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………… 25
29
DISUSUN OLEH: Rifandi Nugroho Suryana Zamzami Willyarta Yidisti
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA TAHUN AJARAN2008/2009