Team Assisted Individualization (tai) Matematika Modern

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Team Assisted Individualization (tai) Matematika Modern as PDF for free.

More details

  • Words: 1,532
  • Pages: 6
TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) MATEMATIKA MODERN Fungsi guru di dalam era global ini, lebih penting meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan dengan hasil teknologi itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan guru yang profesional dalam bidangnya. Guru merupakan salah satu komponen yang berpengaruh dan memiliki peran penting serta merupakan kunci pokok bagi keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu kemampuan profesional guru perlu ditingkatkan dan dikembangkan dengan berbagai upaya, antara lain melalui pendidikan, pelatihan dan pembinaan teknis yang dilakukan secara berkesinambungan di sekolah dan wadah-wadah pembinaan profesional (Yamin, 2008:99). Dengan demikian guru perlu meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan orang lain dalam hal ini siswa. Guru juga dituntut unuk dapat mengikuti perkembangan pendidikan yang semakin global dalam informasi dan teknologi. Ada beberapa tujuan pembelajaran matematika antara lain memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Menurut Jaworski (dalam Departemen Pendidikan Nasional 2007:1) penyelenggaraan pembelajaran matematika tidak mudah karena fakta menunjukkan bahwa para siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Agar pembelajaran matematika sesuai dengan harapan maka perlu kiranya dibedakan anatara matematika dan matematika sekolah. Pandangan memberikan

tentang

hakekat

karakteristik

dan

mata

karakteristik

pelajaran

matematika

matematika

secara

sekolah

akan

keseluruhan.

Kemudian Ebbutt dan Straker, (dalam Departemen Pendidikan Nasional 2007:1) mendefinisikan matematika sekolah yang selanjunya disebut sebagai matematika, sebagai berikut: (1) Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan. (2) Matematika sebagai kreaktifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan. (3) Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (Problem solving). (4) Matematika sebagai alat berkomunikasi. Klasifikasi materi digolongkan atas fakta, pengertian, ketrampilan penalaran, ketrampilan algoritmik, ketrampilan

penyelesaiaan masalah, dan ketrampilan melakukan penyelidikan. Menunjuk matematika yang mendasari perkembangan teknologi modern dan mencipta teknologi dimasa depan diperlukan penguasaan matematika sejak dini. Untuk menetahui penguasaan matematika secara luas TIMSS sebagai wadah penelitian mengatakan bahwa hasil penelitian pada tahun 1999 diantara 38 negara, peserta siswa SMP Indonesia berada pada urutan 34 untuk matematika (Zakimath 2007: 2). Pencapaian Matematika untuk Grade 8 dalam TIMSS tahun 2003 yang diikuti oleh 46 negara peserta, Indonesia berada pada urutan ke 34. (Institute of Education Science, US Departement of Education 2008) dan peringkat Indonesia dalam perbandingan Internasional Prestasi Literasi Matematika berada pada urutan ke 39. Programme for International Student Assessment PISA 2003 (Hendarnam, 2008). Sementara hasil nilai matematika pada ujian Nasional, terletak pada angka yang rendah. Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan mengingat matematika merupakan induk ilmu pengetahuan dan ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang disukai siswa. Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) masih ada pada siswa tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan tinggi. Sebenarnya matematika itu bukan pelajaran yang sulit seperti yang dikatakan oleh ahli matematika ITB Iwan Pranoto, setiap orang bisa bermatematika. Menurut Iwan, masalah fobia matematika dianggap krusial dibandingkan bidang studi lain karena sejak SD bahkan TK, siswa sudah diajarkan matematika (Zakimath, 2007:1). Selama ini yang diketahui kebanyakan orang matematika adalah ilmu dasar sains dan teknologi. Ada dua penafsiran dari kata matematika yaitu: matematika (makin tekun makin tidak kabur), dan matematika (makin tekun makin tidak karuan). Untuk matematika (makin tekun makin tidak kabur), banyak kalangan yang mau menerima, karena siapa yang dalam kesehariannya rajin dan tekun dalam belajar matematika mengerjakan soal-soal latihan, memahami konsep hingga aplikasinya maka dipastikan akan mampu memahami materi secara tuntas. Untuk matematika (makin tekun makin tidak karuan), kondisi ini lebih cocok diterapkan pada siswa

yang kurang berminat dalam belajar matematika tapi siswa tersebut memiliki keunggulan dibidang ilmu yang lain. Terikat dengan rasa apriori berlebihan terhadap matematika ditemukan beberapa penyebab fobia matematika diantaranya adalah yang mencakup penekanan berlebihan pada penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pembelajaran otoriter kurangnya variasi dalam proses pembelajaran matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Untuk mengatasi hal ini peran guru sangat penting. Karena begitu pentingnya perang guru dalam mengatasi fobia matematika maka pembelajaran matematika harus diubah. Jika sebelumnya pembelajaran matematika terfokus pada hitung aritmatika saja, maka saat ini guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan menggunakan logika matematis. Perlu diketahui bahwa matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian karena bermatematika di zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern. Karena itu materi matematika bukan lagi sekadar aritmatika tapi beragam jenis topik dan persoalan yang akrap dengan kehidupan. Dari aspek psikologi, menurut psikolog Alva Handayani (dalam Zakimath 2007:2) peranan orang tua dibutuhkan untuk mengatasi fobia matematika. Pembelajaran matematika bukan hanya mengenal angka dan menghafalnya tapi bagaimana anak memahami makna bermatematika. Orang tua harus memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi, observasi dalam keadaan rileks. Yang terpenting dalam menumbuhkan

cinta

anak

pada

matematika

adalah

terbiasanya

anak

menumbuhkan konsep matematika melalui permainan dalam suasana santai dirumah dalam rangka mempersiapkan masa depan anak. Peran guru dalam pembelajaran matematika secara umum, adalah: materi pelajaran diberikan kepada siswa sesuai dengan standar kurikulum, proses pembelajaran berlangsung dengan melibatkan peran siswa secara penuh dan aktif. Rumusan oleh National Council of Teachers of Matematics (NCTM, 2003), bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk mewujudkan hal itu Yaminati (dalam Zakimath, 2007:3) merumuskan lima

tujuan dalam pembelajaran matematika yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi (matematical comunication), (2) belajar untuk bernalar (matematical reasoning), (3) belajar untuk memecahkan masalah (matematical problem solving), (4) belajar untuk mengkaitkan ide (matematical connections), (5) pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward matematical) kemudian disebut matematical power (daya matematika). Arnold, S. (1996:724). Menyebutkan terdapat satu set bentuk ketrampilan-ketrampilan inti dalam matematika. Secara umum digambarkan di dalam bidang-bidang, aplikasi bilangan (application of number), komunikasi (communication), meningkatkan kemampuan belajar dan kinerja (improving own learning and performance), pemecahan masalah (problem solving), penggunaan informasi teknologi (use of information technology), dan bekerja sama (working with others). Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran matematika diperlukan suatu proses yang meliput tentang pemecahan masalah, bekerja dengan yang lain, komunikasi, dan aplikatif agar dapat menciptakan dan menerapkan ide-ide baru. Pembelajaran yang diperlukan adalah bagaimana dapat menciptakan siswa menjadi pro aktif ikut serta di dalam pembelajaran secara kontinu dan guru hanya diperlukan sebagi fasilisator, membantu

siswa

yang

membutuhkan

bantuan.

Proses

pembelajaran

yang

melibatkan peran siswa secara penuh dan aktif dengan menetapkan model pembelajaran yang efektif. Pada dasarnya atmosfir pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen guru dan fasilitas pembelajaran. Ketiga komponen tersebut akhirnya bermuara

pada proses

dan

model

pembelajaran.

Model

pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika antara lain memiliki nilai relevansi dengan pencapaian daya matematika dan memberi peluang untuk bangkitnya kreaktivitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana mandiri selain dapat menarik perhatian siswa dan sejauh mungkin memanfaatkan momentum

kemajuan

teknologi

khususnya

dengan

mengoptimalkan

fungsi

teknologi informasi. Berkaitan dengan uraian di atas, maka perlu dipikirkan strategi atau cara penyajian dan suasana pembelajaran matematika yang membuat siswa terlibat aktif dan merasa senang dalam belajar matematika. Strategi tersebut bertumpu pada optimalisasi

interaksi

antar

semua

elemen

pembelajaran

dan

optimalisasi

keikutsertaan seluruh indera, emosi, karsa, karya dan nalar. Pembelajaran

matematika perlu diarahkan pada aktivitas-aktivitas yang mendorong siswa belajar aktif baik secara mental, fisik maupun sosial. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah lebih mengakrabkan matematika dengan lingkungan anak. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika, keterkaitan konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual, yang telah diteliti dan dikembangkan di Amerika dikenal dengan Contextual Teaching & Learnin (CTL). CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh, CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian itu terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagianbagiannya secara terpisah. Bagian-bagian CTL yang terpisah melibatkan prosesproses yang berbeda, yang ketika digunakan secara bersam-sama memampukan para siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah.

Secara

bersama-sama

mereka

membentuk

suatu

sistem

yang

memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan mengingat meteri akademik, (Johnson, 2008:65). Dalam pembelajaran dan pengajaran kontektual memberikan dua pernyataan penting bagi para siswa yaitu: kanteks-konteks apakah yang tepat untuk dicari oleh manusia?, dan langkah-langkah kreaktif apakah yang harus saya ambil untuk membentuk dan memberi makna pada konteks?. CTL suatu pendekatan pendidikan yang berbeda, melakukan lebih daripada sekadar menuntun para siswa dalam menggabungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan mereka sendiri. CTL juga melibatkan para siswa dalam mencari makna “konteks” itu sendiri. CTL mendorong mereka melihat bahwa mausia sediri memiliki kapasitas dan tanggungjawab untuk mempegaruhi dan membentuk sederetan konteks yang meliputi keluarga, kelas, higga tempat kerja masyarakat, dan lingkungan tempat tinggal, hingga ekosistem. Sistem CTL mencakup 8 komponen yaitu: Untuk

mencapai

suatu

keberhasilan,

bahwa

dalam

kegiatan

pembelajaran

tampaknya guru mulai meninggalkan pembelajaran konvensional, menerapkan penyesuaian

terhadap

perubahan

kurikulum,

dan

juga

pembelajaran

yang

berorientasi siswa aktif (student oriented), membangkitkan interaksi berdemensi,

dan kemampuan sosial, serta memuat konstruktivisme, maka pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) membawa suatu pembelajaran mengantarkan

siswa

belajar

secara

kooperatif

untuk

mencari

makna

dan

mengkonstruk pengetahuannya sendiri dengan melalui kontekstual. Keberhasilan dari penerapan pembelajaran kooperatif tipe TAI bergantung kepada peran dan kesiapan guru di dalamnya. Melalui pembelajaran kooperatif tipe TAI siswa dalam belajar dapat saling memberi informasi dalam kelompok dan antar kelompok. Dengan demikian mereka akan merasa saling membutuhkan satu sama lain. Sifat menghargai orang lain akan terbentuk sebagai salah satu tujuan afektif dalam pembelajaran

Related Documents