2.2
2.2.1
Manajemen Persalinan
Tata Laksana Persalinan
Sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara
persalinan bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya
penularan vertikal. Adanya trauma dan kerusakan pada jaringan tubuh ibu maupun
bayi akan mengakibatkan terjadinya penularan vertikal. Untuk menghindari
penularan vertikal, maka pecah ketuban dini dan penggunaan elektrode kepala
perlu dihindari. Selain itu, jangan melakukan pertolongan persalinan yang
mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk persalinan
lama dengan penyulit.37
Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu
untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load
dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus
mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan.
35
Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu sebelum onset persalinan atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan untuk wanita yang telah mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang masih > 1000 kopi/ml, wanita yang mendapatkan monoterapi alternative dengan zidovudin.14, 37 Operasi seksio sesarea elektif dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Pemberian zidovudin intravena diberikan sesuai indikasi, dimulai 4 jam sebelum operasi dimulai sampai dengan pemotongan tali pusat. b. Sedapat
mungkin
meminimalisir perdarahan
selama operasi dan diusahakan
kulit ketuban dipecah sesaat sebelum kepala dilahirkan c. Antobiotika spectrum luas diberikan sebelum operasi sebagaimana umumnya. Persalinan pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Pada persalinan pervaginam, amniotomi harus dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah lebih disarankan untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil.
2.2.2
Tatalaksana Postnatal
Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasi penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit CD4 diatas 200 dan 400. Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan seksual. Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif dengan stadium kronik, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV. Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi
2.2.3
Tatalaksana Neonatal Semua bayi harus diterapi dengan ARV < 4jam setelah lahir. Kebanyakan bayi diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten terhadap ZDV, obat alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV positif tanpa indikasi terapi ARV. Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV, seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati atau ibu dengan plasma viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama. Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib dilakukan. Tes IgA dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR merupakan serangkaian tes yang harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6 minggu dan 12 minggu.
Jika semua tes ini negatif dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka tidak terinfeksi HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.38
PROGRAM KEHAMILAN DENGAN HIV
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif dan berkesinambungan dalam empat komponen (prong) sebagai berikut. 1. Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi. 2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV. 3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil (dengan HIV dan sifilis) kepada janin/bayi yang dikandungnya. 4. Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
2.3.1
Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia
Reproduksi
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi tertular HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer. Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual.
Hal ini
berarti mencegah perempuan muda pada usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya untuk tidak terinfeksi HIV. Dengan demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi dijamin bisa dicegah. Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai berikut. 1.
A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan
seks bagi yang belum menikah. 2. B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan).
3. C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom. 4. D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba. 5. E (Education): artinya pemberian Edukasi
dan informasi yang
benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai berikut. 1.
KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara
individu atau kelompok dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan pasangannya. 2.
Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang mempunyai perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular HIV
(misalnya
penerima
donor
darah,
pasangan
dengan
perilaku/pekerjaan berisiko) agar bersedia melakukan tes HIV. 3. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif.
2.3.2
Prong 2: Mencegah Kehamilan Tidak Direncanakan pada
Perempuan dengan HIV
Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak.
Perempuan
dengan HIV memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil, bersalin, nifas dan menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi kehamilan akibat keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi. Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan kehidupannya, bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan pengobatan dan perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak yang bebas dari HIV bila kehamilannya direncanakan dengan baik.
Untuk itu, perempuan
dengan HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan yang
menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.