Tatalaksanaan Daniel Part Final.docx

  • Uploaded by: Cia
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tatalaksanaan Daniel Part Final.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,881
  • Pages: 22
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Infeksi virus dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus yang berbeda yang disebut DEN-1, -2, -3, dan -4. Virus ini merupakan virus RNA, dari famili flaviviridae dan genus flavivirus. Virus dengue adalah arbovirus (arthropod-borne virus) yaitu virus yang menyebar ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes yang terinfeksi. Penyebaran juga dapat terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi atau dari transplantasi organ atau jaringan yang terinfeksi. Selain itu, dijelaskan oleh literatur juga dapat terjadi penyebaran vertikal dari ibu hamil yang terinfeksi kepada janinnya baik dalam uterus maupun pada saat persalinan. Demam dengue adalah demam akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala sakit kepala, nyeri pada tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia 1. Infeksi dari salah satu dari empat serotipe akan menghasilkan spektrum penyakit yang luas dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda pula. Gejala klinis yang muncul pada pasien dapat muncul mulai dari yang ringan, seperti sindrom demam yang tidak spesifik yang dikenal dengan demam dengue klasik, sampai pada bentuk penyakit dengan keparahan yang lebih berat, dikenal dengan demam berdarah dengue dan dengue syok sindrom

1,2

.

Dengue syok syndrom adalah komplikasi yang berbahaya dari infeksi virus dengue yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Setiap tahun sekitar 20 juta orang di seluruh dunia terinfeksi oleh virus dengue 2. Kasus

fatal pada infeksi dengue yang berat pada negara-negara Asia sendiri sekitar 0.5%-3.5%. Kepentingan pembahasan dengue syok sindrom adalah dari tingkat kegawatan penyakit yang tinggi, yang jika tidak ditangani dengan segera dan adekuat dapat mengancam jiwa penderita, termasuk dalam hal ini adalah deteksi dini yang baik terhadap perjalanan penyakit. Oleh karena itu, pembahasan ini menjadi penting dikarenakan kegawatan yang terjadi sebetulnya dapat dicegah dan ditangani bila mengenal dengan baik perjalanan penyakitnya dan penatalaksanaannya 3. Selain ancaman kegawatan, infeksi virus dengue memiliki bentuk klinis yang mirip satu sama lain antara demam dengue dan demam berdarah dengue serta dengue syok sindrom, dan ditambah lagi perkembangan perjalanan penyakit yang dapat terjadi secara singkat dari ringan ke berat yang mengancam jiwa, yaitu dari dengue fever kepada komplikasi dengue syok sindrom 1. Dengue syok sindrom dapat muncul dengan gejala infeksi yang tampak relatif ringan namun dapat berkembang menjadi kondisi yang mengancam jiwa dalam waktu yang singkat. Dengue syok sindrom adalah komplikasi dari demam berdarah dengue dengan kejadian yang khas berupa terjadinya plasma leakage. Demam berdarah dengue sendiri biasanya dapat dibedakan dari demam dengue dari tiga ciri fase patofisiologi, yaitu fase demam, fase kritis, dan fase convalescence. Maka penting juga untuk penatalaksanaan yang optimal bagi kita membahas dan mengetahui secara detil masing-masing dari tiga fase tersebut 1. Bentuk penyakit yang berbahaya seperti dengue syok sindrom biasanya muncul setelah dua sampai tujuh hari fase demam dan sering kali dapat dikenali secara klinis dan laboratoris. Pengenalan klinis yang dini dari infeksi dengue dan manajemen penatalaksanaan yang antisipatif dari infeksi dengue yang

berkembang menjadi dengue syok sindrom dapat menyelamatkan nyawa penderita 1. Pada infeksi dengue tidak terdapat agen terapi khusus yang dapat mematikan virus tersebut. Oleh karena tidak terdapat agen terapeutik, maka kunci dari keberhasilan penatalaksanaan adalah ketepatan waktu dan deteksi dini, termasuk manajemen administrasi dari cairan intravena isotonik (koloid), pengawasan yang ketat dari tanda-tanda vital dan status hemodinamik, dan parameter hematologik.1

1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Untuk mengetahui gejala klinis dan fase-fase klinis pada demam berdarah dengue yang berpotensi menjadi dengue syok sindrom. 2. Agar dapat melakukan pengenalan yang dini bilamana akan terjadi dengue syok sindrom, mengingat cepatnya perburukan kondisi penderita jika terjadi dengue syok sindrom. 3. Agar dapat melakukan penatalaksanaan yang optimal bila terjadi dengue syok sindrom, mengingat tidak adanya agen terapeutik. 4. Agar dapat mengurangi tingkat kematian pada kasus demam berdarah dengue yang seringkali disebabkan oleh dengue syok sindrom.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Demam dengue (DF) adalah penyakit virus akut ditandai dengan demam mendadak, sakit kepala parah, nyeri pada daerah mata, nyeri otot dan sendi , dan adanya ruam. Penurunan nafsu makan dan berat badan merupakan salah satu tanda yang mungkin terjadi pada orang dengan demam dengue. Gejala lainnya yang sering terjadi pada demam dengue adalah pembengkakan kelenjar getah bening, petechiae (perdarahan kecil-kecil di kulit), mimisan, dan gusi berdarah 1. Sedangkan demam berdarah (DHF) adalah bentuk yang lebih serius dari demam dengue. Demam berdarah ditandai dengan adanya demam mendadak selama kurang lebih 2 sampai 7 hari, tes tourniquet positif, perdarahan dari permukaan mukosa (misalnya pada mukosa hidung, gastrointestinal, vagina, gusi), hepatomegali, dan dalam kasus yang lebih parah mungkin terjadi kegagalan pada sirkulasi darah di dalam tubuh. Hal yang membedakan demam dengue dengan demam berdarah adalah pada demam berdarah terjadi perubahan dalam faktor pembekuan darah, jumlah platelet yang rendah (trombositopenia ≤ 100.000), dan terjadi kebocoran plasma (plasma leakage) yang ditandai dengan meningkatnya hematokrit ≥ 20% 1,2. Dengue Shock Syndrome (DSS) mencakup semua kriteria demam berdarah serta terjadi kegagalan pada sirkulasi. Pada dengue shock syndrome terjadi penurunan tekanan darah secara mendadak, nadi teraba cepat dan lemah, kulit lembab dan dingin serta gelisah. Gejala dan tanda-tanda tersebut

merupakan suatu keadaan shock dan dapat menyebabkan kematian secara mendadak 2.

2.2 Epidemiologi Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk ke manusia. Hal ini dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Epidemiologi dari demam dengue sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor host (manusia dan nyamuk), faktor agen (virus), dan faktor lingkungan (abiotik dan biotik). 3 faktor terpenting inilah yang akan menentukan tingkat endemisitas demam dengue dan demam berdarah di suatu daerah 3. Epidemi dengue shock syndrome dilaporkan pertama kali terjadi pada tahun 1953 di Filipina dan dengan cepat menyebar ke Thailand, Vietnam, Indonesia, dan negara-negara Asia lainnya. Pada tahun 1970 dilaporkan bahwa hanya 9 negara yang telah mengalami epidemi dengue shock syndrome, namun pada tahun 1995 angka tersebut meningkat lebih dari empat kali lipat. Berdasarkan data dari WHO 20 tahun terakhir, negara-negara di Asia tenggara khususnya di Indonesia, Myanmar, dan Thailand, penyebab dari demam dengue disebabkan oleh empat serotipe virus 4. Menurut WHO, angka kejadian demam dengue di dunia dilaporkan mencapai 100 juta kasus per tahunnya dan lebih dari 500.000 kasus adalah kasus demam berdarah dan kasus dengan dengue shock syndrome. Dilaporkan juga bahwa lebih dari 112 negara di dunia khususnya negara-negara di daerah tropis merupakan negara endemis demam dengue 4.

Jumlah kasus demam berdarah tidak pernah menurun di daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian khususnya pada anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, kematian yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137469 orang dengan kematian 1187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009

sebanyak 154855 orang dengan kematian 1384 orang atau CFR 0,89% 5. Gambar 2.1: negara dan daerah endemis demam dengue berdasarkan data WHO tahun 2011

Dari data departemen kesehatan Indonesia dalam lima tahun terakhir DKI Jakarta menempati posisi tertinggi kasus demam berdarah dan dengue shock syndrome yaitu sebanyak 313 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan angka insiden demam berdarah dan dengue shock syndrome terendah yaitu sebanyak 8 kasus per 100.000

penduduk 6.

Gambar 2.2: angka insiden demam berdarah dengan prevalensi high risk, medium risk, dan low risk di Indonesia 2.3 Etiologi Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue (DENV), yang merupakan virus RNA rantai tunggal (dengan panjang sekitar 11 kilobases) berbentuk nukleokapsid ikosahedral dan amplop lipid tertutup. Virus Dengue memiliki 4 serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV- 4. Sebuah penelitian genetika menunjukkan bahwa 4 serotipe ini berevolusi sekitar 1000 tahun yang lalu kemudian berkembak dan menular sekitar 500 tahun yang lalu baik di daerah Asia atau di Afrika. Di daerah-daerah endemis khususnya di daerah tropis, vektor nyamuk yaitu Aedes aegypti dan faktor manusia merupakan faktor resiko terpenting untuk penyebaran infeksi. Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan meningkatnya infeksi virus dengue adalah faktor kepadatan penduduk dan pertumbuhan penduduk. Hal ini akan mempercepat terjadinya infeksi virus dengue 7.

2.4 Klasifikasi Tabel 2.1 Klasifikasi dengue virus infection

Infeksi yang disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe dengue dapat bermanifestasi menjadi infeksi virus dengue dan dapat menyebabkan bermacam-macam derajat keparahan. Derajat keparahan dapat bercariasi dari adanya demam ringan, demam berdarah klasik nonspesifik (DF), demam dengan derajat lebih parah yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan dapat diikuti dengan adanya gejala-gejala shock yaitu dengue shock syndrome (DSS) 8. Infeksi asimptomatik (asymptomatic infection) terjadi lebih dari separuh orang yang terinfeksi dengue. Pada kondisi ini, orang yang terinfeksi tersebut tidak menunjukkan adanya tanda dan gejala klinis infeksi virus dengue. Sedangkan undifferentiated fever adalah kondisi dimana pasien mengalami demam dengan gejala non spesifik dan bersifat ringan dimana kondisi ini bisa saja dikarenakan oleh demam akut lainnya. Pada kondisi ini pasien tidak

memenuhi

kriteria

dengue

fever

baik

secara

klinis

maupun

dengan

menggunakan pemeriksaan penunjang sederhana. Untuk mendiagnosis secara pasti perlu dilakukan pemeriksaan secara serologis dan molekuler yang lebih spesifik untuk demam dengue. Kondisi ini banyak terjadi pada anak dan pada pasien dewasa yang pertama kali mengalami infeksi oleh dengue atau pada pasien yang pernah mengalami infeksi virus dengue dan sembuh sepenuhnya tanpa perawatan di rumah sakit 8. Demam dengue dengan atau tanpa pendarahan (dengue fever with or without hemorrhage) biasa terjadi sekitar 2 sampai 7 hari dan diikuti oleh dua atau lebih gejala-gejala seperi sakit kepala, nyeri pada daerah mata, myalgia, arthralgia, pethicae, pendarahan pada mukosa (gastrointestinal, mulut, gingiva dan genitourinary), epistaksis, ruam di kulit dan tes tourniquet positif. Pada kondisi ini tidak terjadi adanya kebocoran plasma 8. Tabel 2.2: derajat dan manifestasi klinik demam berdarah (dengue hemorrhagic fever)

Berdasarkan kriteria WHO demam berdarah (dengue hemorrhagic fever) harus memenuhi syarat adanya demam akut selama 2-7 hari dengan sifat bifasik, adanya manifestasi pendarahan yang dibuktikan dengan adanya

pethicae, hematemesis atau melena, pendarahan dari mukosa tubuh dan tes tourniquet positif. Pada pemeriksaan penunjang juga harus didapatkan adanya trombositopenia ≤ 100.000 dan adanya bukti kebocoran plasma (plasma leakage) yang disebabkan karena meningkatnya permeabilitas vaskular yang ditandai dengan meningkatnya hematokrit ≥ 20% dan mungkin didapatkan tandatanda kebocoran plasma misalnya efusi pleural, asites dan hipoproteinemia 4,9. Sedangkan untuk kriteria demam berdarah dengan shock (dengue shock syndrome) didapatkan adanya kriteria demam berdarah (dengue hemorrhagic fever) yaitu demam akut, trombositopenia, tanda-tanda pendarahan, dan kebocoran plasma ditambah dengan adanya kegagalan dalam sirkulasi. Kegagalan dalam sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, perbedaan tekanan darah yang sempit antara sistole dan diastole yaitu <20 mmHg, hipotensi < 80mmHg pada anak usia 5 tahun kebawah atau < 90 mmHg pada usia 5 tahun keatas, dan didapatkan adanya kulit yang lembab dan dingin serta gelisah 4.

2.5 Penatalaksaan 2.5.1 Strategi Pengobatan Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada

periode

kritis

tersebut

diperlukan

peningkatan

kewaspadaan.

Adanya

perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat. Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini danmemberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah

adanya

peningkatan

permeabilitas

kapiler

yang

menyebabkan

perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dankegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada

bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma danmerupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus danpenurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi,

tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5

fase

demam.

Pemeriksaan

kadar

hematokrit

berkala

merupakan

pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan

hematokrit

tidak

tersedia,

pemeriksaan

hemoglobin

dapat

dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang

tidak

ada

alat

pemeriksaan

Ht,

dapat

dipertimbangkan

dengan

menggunakan Hb. Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila terus menerus muntah, tidak mau minum, demam

tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematocrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.

Jenis

Cairan

yang

direkomendasikan oleh WHO.

paling

dianjurkan

adalah

yang

telah

Syok

merupakan

keadaan

kegawatan.

Cairan

pengganti

adalah

pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.

2.5.2 Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana

pasien

menjadi

lebih

kompleks.

Pada

umumnya,

apabila

penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

2.5.3 Transfusi darah Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage)

apabila

disertai

hemokonsentrasi.

Penurunan

hematocrit

(misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena

cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.

2.5.4 Ruang Rawat Khusus Untuk DBD Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dantrombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh orang tua pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya. Kreteria Memulangkan Pasien: Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini 1. Tampak perbaikan secara klinis 2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik 3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) 4. Hematokrit stabil

5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl 6. Tiga hari setelah syok teratasi 7. Nafsu makan membaik

2.6 Diagnosis Banding dan Komplikasi

Untuk memastikan diagnosis dengue syok sindrom, kita perlu terlebih dulu menegakkan diagnosis demam berdarah dengue, karena DSS sendiri adalah komplikasi dari demam berdarah dengue. Dalam menegakkan diagnosis demam berdarah dengue terdapat beberapa penyakit sebagai diagnosis pembanding, di antaranya adalah tifoid, campak, influenza, chikungunya, leptospirosis. Sudah kita ketahui bersama, diagnosis pasti dari demam berdarah dengue adalah pemeriksaan serologis di mana didapatkan organisme virus dengue, namun idealnya kita mampu melakukan diagnosis tanpa pemeriksaan penunjang serologis mengingat biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.(1) Berikut ini adalah gejala-gejala klinis dari kriteria WHO 1997 yang digunakan untuk menegakkan diagnosis DBD: 1. Demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik 2. uji bendung positif 3. ptekie, ekomosis, purpura 4. perdarahan mukosa, epistaksis atau perdarahan gusi 5. hematemesis atau melena 6. Trombositopenia

7. Terdapat tanda2 plasma bocor, hematocrit meningkat lebih dari 20%, penurunan hematocrit lebih dari 20% setelah terapi cairan, efusi pleura, asites, hipoproteinemia. DSS adalah seluruh kriteria di atas disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi cepat lemah, tekanan darah turun kurang dari sama dengan 20 mmHg, hipotensi dibandingkan standar umur, kulit dingin dan lembab, serta gelisah. DBD memiliki karakter demam akut, antara 2-7 hari. Di antara sekian penyakit yang memiliki karakter demam akut, seperti tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leptospirosis, DBD memiliki karakter yang khas yaitu demam yang bifasik, berupa demam yang naik turun dalam beberapa hari. (1) Tanda khas lain adalah uji bendung positif, yang dikenal dengan rumple leed test. Caranya dengan melakukan bendungan dengan tensimeter pada tekanan diantara sistolik dan diastolic selama 5 menit. Hasil tes dinyatakan positif jika dalam 1 inch persegi terdapat lebih dari 10-20 ptekie. (2) DBD adalah kondisi yang berpotensi fatal dari komplikasi infeksi dengue yang dapat menyebabkan pembesaran liver dan pada beberapa kasus dapat terjadi syok, yang kita kenal dengan dengue syok sindrom.(1,3) Berikut ini adalah tanda-tanda syok tersebut: 1. Penurunan mendadak dari tekanan darah 2. Kulit yang dingin 3. Nadi yang cepat dan lemah 4. Mulut kering 5. Napas yang tidak teratur 6. Pupil yang berdilatasi 7. Berkurangnya aliran dan pengeluaran urin

Komplikasi lainnya yang biasanya dapat muncul di antaranya pneumonia, kegagalan sumsum tulang belakang, hepatitis, perdarahan retina, dan orchitis. Depresi dan kemahan kronik lebih sering terjadi pada wanita tua. Komplikasi neurologis (seperti encephalitis, Guillain-Barre syndrome, subdural hematoma) lebih jarang terjadi. Superinfeksi bakteri terjadi lebih sering pada usia lanjut, demam tinggi, perdarahan saluran cerna, penyakit ginjal dan penurunan kesadaran.(3) Tingkat mortalitas dapat mencapai 40% jika komplikasi serius ini tidak ditangani dengan segera dan tepat. Jika komplikasi ini ditangani dengan optimal, maka angka mortalitas dapat turun menjadi sekitar 1-2%.(3)

2.7 Prognosis Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intracranial.

BAB 3 KESIMPULAN

3. Kesimpulan Demam berdarah dengue adalah demam berdarah yang disebabkan oleh Virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti. Manifestasi klinis dari penyakit ini mulai dari asipmtomatis sampai demam berdarah dengue yang disertai syok atau yang disebut sebagai dengue shock syndrome (DSS). Infeksi primer oleh Virus Dengue mungkin memberi gejala demam dengue, apabila terjadi re-infeksi oleh Virus Dengue dengan serotipe yang berbeda maka reaksi yang terjadi sangat berbeda. Teori patogenesis demam berdarah dengue yang banyak dianut saat ini adalah secondary heterologous infection. Menurut teori ini re-infeksi akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi. Patofisiologi utama yang membedakan demam dengue dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, serta diatesis hemoragik. Dasar penatalaksanaan DSS yang utama adalah penggantian volume plasma secepat mungkin untuk memperbaiki kehilangan volume plasma. Dengan memahami patogenesis DBD yang baik dan adanya keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis secara dini dan pengambilan keputusan yang tepat, akan menentukan keberhasilan pengobatan DBD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous.

2013.

Clinical

Guidance:

Dengue,

(online),

(http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html, diakses 16 Desember 2013 pukul 19.00) 2. 2nd Edition. World Health Organization; 19977. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 3. Halstead SB. Dengue. Lancet. 2007;370:1644–52. 4. http://health.utah.gov/epi/diseases/dengue/DengueDzPlan012411.pdf 5. http://epi.publichealth.nc.gov/cd/lhds/manuals/cd/casedefs/dengue_cd.pdf 6. http://nvbdcp.gov.in/doc/clinical%20guidelines.pdf 7. http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_FCH_CAH_05.13_eng.pdf 8. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan
Aryu Candra 9. http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20DBD.p df 10. http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview#aw2aab6b2b3, diakses 17 Desember 2013 pukul 20.00 11. http://www.phac-aspc.gc.ca/publicat/ccdr-rmtc/09vol35/acs-dcc-2/, diakses 17 Desember 2013 pukul 20.15 12. PAPDI 13. www.mdadvice.com.c25.sitepreviewer.com/library/test/medtest117.html, diakses 17 Desember 2013 pukul 22.00 14. Current medical diagnosis & treatment 2011. Stephen j. McPhee & Maxine A. Papadakis

Related Documents

Daniel
May 2020 36
Daniel
November 2019 41
Daniel
November 2019 52
Daniel
June 2020 27
Daniel
December 2019 40

More Documents from ""