Tatalaksana Stroke Iskemik Akut.docx

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tatalaksana Stroke Iskemik Akut.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,172
  • Pages: 32
Artikel Kajian Pembaruan pada Tatalaksana Dini dan Strategi Rperfusi dari Pasien dengan Stroke Iskemik Akut

Stroke iskemik akut (acute ischemic stroke/AIS) masih menjadi penyebab kematian dan disabilitas jangka panjang. Paradigma pada layanan pra-rumah sakit, terapi reperfusi, dan tatalaksana paskareperfusi dari pasien dengan AIS terus berkembang. Setelah publikasi dari uji klinis, tromboektomi endovaskular telah menjadi bagian dari pelayanan standar pada beberapa kasus AIS sejak 2015. Panduan stroke terbaru baru-baru ini dirilis, dan rentang waktu untuk tromboektomi sekarang telah diperpanjang hingga 24 jam. Kajian ini bertujuan untuk memberikan kajian up-to-date yang terfokus untuk tatalaksana dini dari pasien dengan AIS dan memperkenalkan bidang penelitian terbaru yang sedang berjalan.

1. Pendahuluan Stroke menjadi peringkat kelima dari semua penyebab kematian di Amerika Serikat (AS) dan juga penyebab utama disabilitas jangkat panjang yang serius. Rata-rata, setiap 40 detik, seseorang di AS mengalami stroke, dan setiap 4 menit, seseorang meninggal karena stroke. Stroke memerlukan biaya setidaknya $70 milyar tiap tahun di AS. Di seluruh dunia, stoke adalah penyebab utama kedua kematian. Dari semua stroke, 87% di antaranya adalah iskemik [1]. Karena beban

sosial dan ekonomi yang berat akibat stroke iskemik, pencegahan dan tatalaksana akut dari penyakit ini menjadi penting. Pada stroke akut, jarang terjadi stroke sempurna. Perfusi residual, yang tergantung pada pembuluh darah kolateral dan tekanan perfusi lokal, menghasilkan suatu wilayah, yang dinamakan penumbra, dimana perfusi residual berusaha untuk menyuplai oksigen yang cukup untuk mempertahankan konsentrasi ATP normal dengan beberapa tingkat kegagalan energi [2]. Berbeda dengan area oligemia benigna, penumbra merupakan jaringan otak hidup yang iskemik, namun tidak berfungsi, yang akan mati kecuali bila suplai darah dapat dikembalikan [3]. Tatalaksana stroke akut, seperti terapi reperfusi, bertujuan untuk mengembalikan suplai darah adekuat ke area yang berisiko infark tersebut. Hingga saat ini, alteplase intravena yang diberikan dalam 3-4.5 jam setelah onset terapi merupakan satu-satunya terapi reperfusi dengan efikasi yang terbukti pada pasien dengan stroke iskemik akut. Namun, setelah publikasi dari lima uji klinis [4-8], trombektomi endovaskular diterima sebagai pelayanan standar untuk pasien dengan oklusi pembuluh darah besar (large vessel occlusion/LVO) pada sirkulasi anterior [9]. Walau uji inisial menunjukkan bahwa trombektomi endovaskular tidak memberikan manfaat bila reperfusi tidak tercapai dalam 6-7 jam, dua uji terbaru, DAWN [10] dan DEFUSE 3 [11], telah menunjukkan bahwa rentang waktu untuk trombektomi endovaskular, pada beberapa pasien, dapat diperpanjang hingga 16-24 jam sejak keadaan normal dengan menggunakan pencitraan perfusi. Panduan stroke baru telah dirilis untuk mengimplementasi temuan ini dan rentang waktu potensial untuk trombektomi mekanik telah

diperpanjang hingga 24 jam [9]. Gambar 1 menunjukkan salah satu teknik endovaskular yang paling umum yang menggunakan suatu stent retriever untuk menangani stroke iskemik akut akibat LVO yang data pada 12 jam. Tujuan dari naskah ini adalah untuk memberikan kajian up-to-date terfokus untuk tatalaksana dini dari pasien dengan stroke iskemik arterial akut dan memperkenalkan bidang penelitian baru yang sedang berjalan.

2. Layanan Pra-Rumah Sakit Penggunaan Layanan Medis Gawat Darurat (Emergency Medical Service/EMS) telah berhubungan dengan rujukan rumah sakit yang lebih dini dan terapi yang lebih cepat [12]. Tujuan primer dari EMS pada stroke aku adalah evaluasi, triase, dan transport cepat ke rumah sakit pelayanan stroke. Panduan terkini memprioritaskan suplemen oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen adekuat (SpO2 > 94%), menentukan kadar glukosa, dan terapi bila <60 mg/dL untuk menyingkirkan potensi keadaan yang menyerupai stroke. EMS juga dapat melakukan akses IV dan mendapatkan sampel darah untuk uji labor. Walau rekomendasi tersebut adalah skenario yang ideal, penting bahwa intervensi tersebut tidak memperlambat transport pasien ke rumah sakit [9]. Alasan yang paling penting atas lewatnya terapi rekanalisasi adalah keterlambatan waktu pada fase pra-rumah sakit [13]. Mendapatkan informasi sebelum sampai di rumah sakit dapat membantu diagnosis pra-rumah sakit dari stroke atau yang menyerupai stroke dengan menggunakan sistem asesmen stroke, menilai komorbiditas, obat-obatan, dan

trauma atau pembedahan terkini yang mungkin berkontraindikasi dengan penggunaan IV tPA. Namun, informasi yang paling penting yang diperlukan untuk terapi reperfusi adalah waktu pasien terakhir kali normal. Pasien harus ditriase dan ditransport ke fasilitas terdekat yang mampu melakukan terapi reperfusi [9]. Juga, pelayanan pra-rumah sakit harus memberi tahu rumah sakit mengenai kedatangan pasien stroke, karena hal ini berhubungan dengan penurunan signifikan dari target waktu sroke dan pemberian tPA [9,14] Panduan terkini merekomenasikan transportasi pasien ke rumah sakit terdekat dengan kemampuan tPA [9]. Namun, hal ini penting untuk pasien dengan LVO karena keterlambatan waktu berhubungan dengan model “drip and ship” [15]. IV tPA menyebabkan tingkat rekanalisasi yang rendah pada pasien dengan oklusi LVO [16]. Suatu studi oleh Mokin dkk. [17] menunjukkan bahwa satu dari tiga pasien dengan LVO dengan pencitraan yang layak menjadi tidak layak untuk trombektomi endovaskular selama transfer antar rumah sakit berdasarkan kriteria ASPECTS. Dalam studi ini, kecuali tingkat keparahan NIHSS, tidak ada faktor dasar lain yang dapat mengidentifikasi pasien mana yang berisiko untuk deteriorasi ASPECTS selama transfer antar rumah sakit. Pada uji SWIFT PRIME, dengan membandingkan luaran pasien yang diterapi dengan paradigma drip and ship versus pusat endovaskular primer, luara secara signifikan lebih jelek untuk pasien yang ditransfer ke pusat dengan pelayanan trombektomi endovaskular setelah mendapat IV tPA di luar rumah sakit [6]. Pada era terapi endovaskular ini, evaluasi stroke pra-rumah sakit harus meliputi keparahan stroke dan tidak hanya diagnosisnya. Mentriase kasus berata langsung ke pusat layanan terapi

endovaskular akan memberikan kesempatan terbaik untuk mengoptimalkan trombektomi endovaskular [18]. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa pendekatan untuk pengenalian dini dari LVO telah dikembangkan, antara lain skala stroke pra-rumah sakit yang digunakan oleh personil pra-rumah sakit seperti 3ISS (3-Item Stroke Scale) [19], LAMS (Los Angeles Motor Scale) [20], RACE (Rapid Arterial Occlusion Evaluation Scale), [21], CPSSS (Cincinnati Prehospital Stroke Severity Scale) [22], dan PASS (Prehospital Acute Stroke Severity) [23], serta Mobile Stroke Unit (MSU), dan telemedisin. Panduan terkini mengintegrasikan temuan tersebut dan merekomendasikan (Kelas IIb) bahwa bila beberapa fasilitas dengan kemampuan tPA berada dalam wilayah tertentu, dapat dipertimbangkan untuk langsung merujuk pasien ke pusat pelayanan stroke seperti trombektomi mekanik [9]. RACECAT (Direct Transfer to an Endovascular Center Compared to Transfer to the Closest Stroke Center in Acute Stroke Patients with Suspected Large Vessel Occlusion) adalah suatu uji randomisasi klaster terkontrol, multisenter, prospektif, yang sedang dilakukan di Spanyol. Dalam studi ini, dua strategi pasien stroke akut dengan kecurigaan LVO akut yang diidentifikasi dengan EMS pada asesmen awal di lapangan akan dibandingkan: transfer ke pusat stroke lokal terdekat versus transfer langsung ke pusat stroke endovaskular. Demi memaksimalkan sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis LVO, EMS akan memanfaatkan skala RACE (Rapid Arterial oCclusion Evaluation) sebagai alat skrining pra-rumah sakit untuk mengidentifikasi pasien stroke akut dengan kecurigaan dan akan menghubungi ahli neurologi stroke dengan menggunakan sistem telesroke pra-rumah sakit dalam ambulans, yang

akan mengkonfirmasi kriteria inklusi untuk LVO dan akan merencanakan subjek untuk intervensi tertentu berdasarkan keadaannya. Gambar 2 menunjukkan alternatif potensial untuk paradigma stroke pra-rumah sakit terkini yang akan diterapkan ke depannya. Suatu pendekatan alternatif untuk meningkatkan triase dan proses terapi telah dilakukan selama implementasi Mobile Stroke Unit (MSU) dengan kemampuan pencitraan pada sejumlah besar perkotaan. Uji BEST-MSU (Benefits of Stroke Treatment Delivered Using a Mobile Stroke Unit) diluncurkan untuk membandingkan tatalaksana stroke menggunakan MSU versus tatalaksana standar. Sejauh ini, studi ini memberikan informasi penting untuk membantu desain akhir dari studi mereka. Mereka juga telah menunjukkan bahwa rerata waktu door-to-needle (25 menit) pada MSU sebanding dengan waktu door-toneedle ED tercepat yang dilaporkan dalam literatur [24]. Studi lain oleh Cleveland Clinic Membandingkan evaluasi dan terapi dari pasien pada MSU, dengan menggunakan telemedisin, terhadap kelompok kontrol yang dibawa ke departemen gawat darurat melalui ambulans. Waktu dari pintu hingga selesai CT (13 menit (IQR, 9-21 menit) versus 18 menit (IQR, 12-26 menit) dan dari pintu hingga IV tPA (32 menit (IQR, 24-47 menit) versus 58 menit (IQR, 53-68 menit) secara signifikan lebih cepat pada MSU dibandingkan dengan kelompok kontrol. Studi ini menunjukkan kelayakan melakukan asesmen stroke pra-rumah sakit dan terapi IV tPA menggunakan MSU dengan kemampuan telemedisin [25]. Beberapa studi menunjukkan bahwa sistem MSU dapat cost-effective, khususnya bila menurunkan jumlah staf dalam unit dengan menggunakan telemedisin [26,27].

Namun, efisiensi dari sistem ini, terkait dengan kepadatan penduduk, yang mana dapat membatasi manfaatnya pada area pedesaan [26]. Parallel dengan perkembangan terapi reperfusi, beberapa tindakan sedang dilakukan untuk mengoptimalkan rantai pertolongan stroke pra-rumah sakit. Tindakan untuk peningkatan seperti kampanye kesadaran publik berkelanjutan; edukasi personel layanan gawat darurat; penggunaan skala standar tervalidasi untuk mengenali gejala stroke dan untuk triase ke institusi yang tepat; meningkatkan pemberitahuan untuk rumah sakit penerima; ambulans dengan CT mobile yang diarahi oleh ahli neurologi stroke atau konsultasi telemedisin; dan biomarker darah [28-30]. Asesmen cepat dan triase adekuat dari pasien dengan storke iskemikk akut penting untuk pengiriman untuk terapi reperfusi dan luaran yang optimal.

3. Trombolitik Intravena Pada tahun 1995, uji National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) menunjukkan manfaat menggunakan aktivator plasminogen jaringan (tPA) intravena (IV) dibandingkan plasebo dalam 3 jam setelah onset gejala [31]. Berdasarkan hasil tersebut, pada tahun 1996, Food and Drug Administration (FDA) Mengakui penggunaan IV tPA (atau alteplase) untuk pasien dengan AIS yang timbul dalam kurun 3 jam onset gejala. Tabel 1 menunjukkan kriteria inklusi dan ekskllusi untuk penggunaan IV tPA dalam 3 jam setelah onset gejala. Pada tahun 2008, ECASS (European Cooperative Acute Stroke Study) III menunjukkan

manfaat IV tPA dibandingkan plasebo pada mereka yang diterapi dalam 3-4.5 jam onset gejala [32.33]. Walau FDA belum mengubah penggunaan IV tPA melebihi rentang 3 jam, panduan stroke terkini dari American Heart Association (AHA) merekomendasikan penggunaan IV tPA hingga 4.5 jam dari onset gejala pada pasien yang layak: pasien ≤ 80 tahun, tanpa riwayat diabetes mellitus dan stroke, dengan skor NIHSS ≤ 25, tidak mengkonsumsi antikoagulan oral, dan tanpa bukti radiologis cedera iskemik yang melibatkan lebih dari satu per tiga area MCA [9,34]. Keterlambatan terapi menurunkan kesempatan mendapat terapi reperfusi dan memperburuk luaran neurologis [35,36]. Suatu meta-analisis yang mengikutkan 3670 pasien, menjelaskan manfaat terapeutik dan risiko klinis dari IV tPA terkait waktu. Pada analisi ini, kemungkinan luaran 3-bulan yang baik meningkat seiring onset dimulainya terapi menurun (P = 0.0269). Adjusted odd untuk luaran 3-bulan yang baik sebesar 2.55 ((95% CI 1.44–4.52) untuk 0–90 menit, 1.64 (1.12–2.40) untuk 91–180 menit, 1.34 (1.06–1.68) untuk 181–270 menit, dan 1.22 (0.92–1.61) untuk 271–360 menit yang mendukung kelompok alteplase. Berdasarkan hasil tersebut, lima pasien perlu diterapi 0-90 menit, sembilan pasien 91-180 menit, atau 15 pasien 181-270 menit setelah onset gejala untuk salah satu di antara mereka memiliki luaran yang sangat baik (skor mRS 01) akibat terapi. Tidak ada manfaat terapi alteplase yang terlihat setelah sekitar 270 menit, dan melebihi 4.5 jam risiko menggunakan IV tPA dapat melebihi manfaatnya [36]. Sebagai catatan, kebanyakan pasien yang diikutkan dalam metaanalisis ini tidak memiliki LVO. Uji klinis lain yang mengevaluasi menggunakan tPA dosis rendah (0.6 mg/kg) dibandingkan dengan dosis standar (0.9 mg/kg).

Walau mereka menunjukkan risiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah dengan tPA dosis rendah, mereka tidak menunjukkan noninferiority dari tPA dosis rendah terhadap dosis standar berdasarkan kematian dan disabilitas pada 90 hari [37]. Baru-baru ini, uji WAKE-UP (Efficacy and Safety of MRI-Based Trombolysis in Wake-up Stroke) telah menunjukkan bahwa pemberian alteplase intravena menurunkan disabilitas fungsional saat 3 bulan pada pasien dengan stroke ringan hingga sedang berat dengan onset waktu yang tidak diketahui, bila pasien diseleksi berdasarkan kriteria MRI sederhana yang menunjukkan lesi pada pencitraan diffusion-weighted namun tanpa hiperintensitas pada fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) [38]. Terlepas dari rekomendasi untuk menurunkan waktu door-to-needle hingga < 60 menit, kurang dari satu per tiga pasien yang diterapi dengan IV tPA mendapatdalam kurun 60 menit, dan kurang dari 5% dari semua pasien stroke mendapat tPA [35,39]. Selain rentang waktu yang sempit, IV tPA memiliki sejumlah keterbatasan. IV tPA memiliki potensi renda untuk merekanalisasi pembuluh darah yang teroklusi dengan trombus besar (> 8 mm) [40], yang menyebabkan tingkat rekanalisasi yang jele (13% hingga 50%) pada stroke oklusi pembuluh darah besar dan tingkat yang rendah dari manfaat pada pasien yang menderita stroke dengan disabilitas berat [16]. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, terapi alternatif telah dipelajari. Beberapa alternatif tersebut telah diuji pada uji klinis seperti (1) penggunaan tenecteplase sitemik [41,42], atau desmolteplase [43,44] atau (2) augmentasi rekanalisasi IV tPA sistemik dengan ultrasuara. Tenecteplase (TNK) merupakan suatu rekayasa varian tPA yang yang

memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan lebih sepsifik fibrin daripada tPA. TNK memiliki sifat yang membuatnya menjadi agen trombolitik yang lebih cepat dan lebih lengkap, serta dengan komplikasi perdarahan dan reoklusi yang lebih rendah [45]. Selain itu, TNK dapat diberikan sebagai bolus tunggal tanpa memerlukan infus [46]. Pada uji Tenecteplase versus Alteplase for Acute Ischemic Stroke (TAAIS), 75 pasien, yang datang <6 jam setelah onset stoke iskemik, secara acak diberikan tPA (0.9 mg/kg) atau TNK (0.1 mg/kg atau 0.25 mg/kg). Pasien yang diterapi dengan TNK memiliki tingkat reperfusi yang lebih besar dan luaran klinis yang lebih baik pada 24 jam daripada pasien tPA, dan tidak ada perbedaan pada perdarahan intrakranial atau efek samping serius lainnya yang ditemukan antar kelompok. EXTEND-IA TNK adalah suatu uji randomisasi multisenter dimana pasien yang layak untuk trombektomi dirandomisasi untuk mendapat alteplase IV (0.9 mg/kg, maksimal 90 mg) atau tenecteplase (0.25 mg/kg, maksimal 25 mg) hingga 4.5 jam dari onset sebelum trombektomi. Pengukuran luaran primer adalah reperfusi pada angiogram kateter inisial, yang dinilai sebagai modified treatment in cerebral infarction (mTICI) 2b/3 atau tidak adanya trombus yang dapat diambil. Pasien yang mendapat TNK memiliki tingkat rekanalisasi yang lebih tinggi daripada pasien yang mendapat tPA (22% versus 10%) dengan tidak ada perbedaan pada perdarahan intrakranial (1% pada kedua kelompok). Walau beberapa terapi ini telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, IV tPA masih direkomendasikan sebagai pelayanan standar. Karena spesifisitas fibrin yang tinggi, nonaktivasi oleh β-amyloid, waktu paruh yang panjang, dan tidak adanya neurotoksisitas, desmoteplase merupakan alternatif untuk tPA untuk

terapi trombolitit sistemik dari AIS [47,48]. Baru-baru ini, DIAS (desmoteplase in acute stroke) menilai keamanan dan efikasi desmoteplase yang diberikan antara 3 jam dan 9 jam setelah onset gejala pada pasien dengan oklusi atau stenosis derajat tinggi pada areter serebri mayor. Terapi dengan desmoteplase tidak meningkatkan luaran fungsional yang diukur dengan modifikasi Skala Rankin dari 0-2 pada 90 hari. Karena itu, penggunaan desmoteplase pada terapi AIS masih menjadi bahan penelitian. Antagonis Glikoprotein IIb/IIIa mencegah agregasi platelet, sehingga mencegah reoklusi dan memfasilitasi pemecahan trombus [49]. Pada literatur kardiak, dalam studi fase IIb, agen tersebut telah menunjukkan perbaikan revaskularisasi koroner pada keadaan MI akut, namun tanpa perbaikan signifikan pada studi fase III [50-52]. Safety of Tirofiban in Acute Ischemic Stroke (SaTIS) merupakan suatu studi fase II dengan kontrol plasebo dari monoterapi dengan tirofiban intravena pada pasien yang data dengan onset stroke hingga 22 jam. Tidak terdapat manfaat neurologis/fungsional yang ditemukan dibandingkan dengan plasebo pada 5 bulan kecuali untuk mortalitas yang lebih rendah yang ditunjukkan pada kelompok terapi [50,53]. Abciximab in Emergency Treatment of Stroke Trial (AbESTT-II) merupakan suatu studi fase III dari monoterapi inhibitor GP IIb/IIIa yang dihentikan karena risiko-manfaat yang tidak berimbang pada kelompok perlakuan. Tidak terdapat manfaat pada penyembuhan neurologis pada kohort apapun (dalam onset 5 jam, antara 5 dan 6 jam, dan wake-up stroke) pada kelompok abciximab dibandingkan dengan plasebo. Namun, terdapat peningkatan bermakna pada perdarahan intrakranial simtomatis [50,54,55]. Efikasi dan

keamanan dari kombinasi tPA intravena dan eptifibatide dibandingkan dengan tPA intravena saja dinvestigasi pada studi stroke fase II Combined Approach to Lysis Utilizing Eptifibatide and Recombinant Tissue Plasminogen Activator in Acute Ischemic Stroke-Enhanced Regimen (CLEAR-ER). Kelompok terapi kombinasi memiliki tingkat perdarahan intrakranial simtomatis yang lebih rendah (2%) dan menunjukkan tren ke arah luaran fungsional yang lebih baik, dengan 49.5% mencapai mRS 0-1 versus 36% pada kelompok tPA standar [56]. Argatroban merupakan suatu inhibitor trombin yang menunjukkan keamanannya pada uji Argatroban Anticoagulation in Patients with Acute Ischemic Stroke (ARGIS-I) [57]. Penggunaan argatroban sebaga adjuvan dari tPA intravena diinvestigasi pada studi Argatroban TPA Stroke (ARTTS) dan menunjukkan 63% tingkat rekanalisasi sempurna pada 24 jam [50,57-63]. Pada ARTTS-2 (Randomized Controlled Trial of Argatroban with tPA for Acute Stroke) fase II, Barreto dkk. melakukan studi randomisasi untuk menilai keamanan dan probabilitas luaran yang baik dengan argatroban dan tPA pada pasien stroke iskemik akut. Pasien yang diterapi dengan tPA dosis standar versus tPA dan argatroban (100 µg/kg bolus) diikuti dengan infus baik 1 (dosis rendah) atau 3 µg/kg per menit (dosis tinggi) selama 48 jam. Mereka menemukan bahwa pada pasien yang diterapi dengan tPA, adjuvan argatroban tidak berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan intraserebral simtomatis. Namun, tidak terdapat perbedaan pada luaran berdasarkan mRS 90 hari [64]. Onset to Stroke Treatment Time (MOST) Stroke Trial adalah uji klinis fase 3 multikelompok multisenter StrokeNET yang akan mengevaluasi manfaat kombinasi argatroban atau

epitifibatide dengan tPA dibandingkan dengan tPA saja pada pasien dengan stroke akut.

4. Trombektomi Uji inisial yang dilakukan untuk menunjukkan efikasi dari intervensi endovaskular sebagai potensi terapi untuk stroke iskemik akut telah gagal. Namun baru-baru ini, efikasinya telah dibuktikan. Pada tahun 2013, tiga uji randomisasi terkontrol (RCT) prospektif multisenter gagal menunjukkan manfaat dari intervensi endovaskular untuk stroke iskemik akut: IMS (Interventional Management of Stroke) III [65], MR RESCUE (Mechanical Retrieval and Recanalization of Stroke Clots Using Embolectomy) [66], dan SYNTHESIS Expansion (Intra-arterial versus Systemic Trombolysis for Acute Ischemic Stroke). [67] Uji-uji tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai efikasi dari terapi endovaskular pada oklusi pembuluh darah besar. Namun, juga terdapat pertanyaan mengenai desain dan metode dari studi tersebut. Pertama, hanya satu dari tiga uji, MR RESCUE, yang secara rutin mengidentifikasi oklusi pembuluh darah besar dengan CTA atau MRA. Kedua, umumnya alat MT generasi pertama yang digunakan. Ketiga, pasien pada kelompok intervensi dari SYNTHESIS Expansion tidak mendapat IV-tPA dan diterapi terlambat dibandingkan dengan kelompok medis [68]. Dengan mempertimbangkan keterbatasan tersebut, uji baru didesain yang meliputi penggunaan alat stent retrever generasi kedua (Solitaire, ev3/Covidien, Trevo, Stryker) yang menunjukkan tingkat rekanalisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan alat

generasi pertama. Pada 2014, hasil MR CLEAN (Multicenter Randomized Clinical Trial of Endovascular Treatment for Acute Ischemic Stroke in the Netherlands) disajikan yang menunjukkan manfaat signifikan dari terapi strok endovaskular [4]. Mengikuti hasil tersebut, uji lain yang sedang berjala dihentikan dan dinilai efikasinya: ESCAPE [5], SWIFT PRIME [6], EXTEND-IA [7], dan REVASCAT [8]. MR CLEAN merandomisasi pasien stroke akut dengan onset 6 jam ke tatalaksana medis standar saja (n = 267) atau tatalaksana medis standar diikuti dengan MT (n = 233). Pasien yang layak memiliki oklusi arteri proksimal pada sirkulasi serebri anterior yang (1) dibuktikan pada pencitraan pembuluh darah dan (2) dapat diterapi secara intraarteri dalam 6 jam setelah onset gejala. Retrievable stent digunakan pada 190 dari 233 pasien (81.5%) yang dimasukkan ke terapi intraarteri. Terdapat perbedaan absolut dengan poin 13.5% (95% CI, 5.9 – 21.2) pada tingkat kemandirian fungsional (modifikasi skor Rankin (mRS), 0-2) pada 90 hari yang mendukung intervensi (32.6% versus 19.1%) [4]. Pada ESCAPE, 165 pasien menjalani intervensi dan 150 diikutkan dalam kelompok kontrol. 120 pada kelompok intervensi dan 118 pada kelompok kontrol mendapat IV tPA. Dalam uji ini, pasien dengan oklusi intrakranial proksimal pada sirkulasi anterior diikutkan hingga 12 jam paska onset gejala. Pasien dengan inti infark yang besar atau sirkulasi kolateral yang buruk pada tomografi terkomputerisasi (CT) dan CT angiografi dieksklusi. Pada kelompok intervensi, median waktu dari CT kepala hingga reperfusi pertama adalah 84 menit. Tingkat kemandirian fungsional (90 hari mRS 0-2) meningkat dengan intervensi (53.0%

versus 29.3% pada kelompok kontrol; P < 0.001). Intervensi juga berhubungan dengan penurunan mortalitas (10.4% versus 19.0% pada kelompok kontrol; P = 0.04) [5]. Pada SWIFT PRIME, 196 pasien (98 pasien pada tiap kelompok) menjalani randomisasi ke kelompok kontrol yang mendapat t-PA saja atau tPA plus trombektomi endovaskular dalam 6 jam setelah onset gejala (kelompok intervensi). Pasien memiliki bukti oklusi pada sirkulasi intrakranial anterior proksimal dan tidak ada lesi inti iskemik yang besar. Trombektomi dengan stent retriever plus tPA intravena menurunkan disabilitas pada 90 hari melebihi keseluruhan rentang skor pada modifikasi Skala Rankin (P < 0.001). Tingkat kemandirian fungsional (skor modifikasi Skala Rankin, 0-2) lebih besar pada kelompok intervensi daripada kelompok kontrol (60% versus 35%, P < 0.001) [6]. EXTEND-IA mengikutkan 70 pasien yang mendapat IV tPA dalam 4.5 jam yang dirandomisasi ke dalam kelompok kontrol yang mendapat IV tPA saja (n – 35) atau trombektomi endovaskular dalam 6 jam setelah onset stroke. Seperti pada studi sebelumnya, pencitraan vaskular noninvasif digunakan untuk mengidentifikasi oklusi pembuluh darah besar pada sirkulasi anterior. Pasien juga menjalani pencitraan CT perfusi, yang diproses dengan menggunakan peranti lunak otomatis (RAPID) untuk mengidentifikasi jaringan otak yang dapat diselamatkan. Pada 24 jam, persentase yang mencapai reperfusi lebih besar pada kelompok trombektomi mekanik daripada kelompok IV tPA saja (median, 100% versus 37%; P < 0.001). juga, terapi endovaskular meningkatkan luaran fungsional

pada 90 hari, dengan lebih banyak pasien mencapai kemandirian fungsional (skor 0-2 pada mRS, 71% versus 40%; P = 0.01) [7]. REVASCAT merandomisasi 206 pasien untuk mendapat terapi medis (seperti IV tPA bila layak) dan trombektomi mekanik (kelompok trombektomi) atau terapi medis saja (kelompok kontrol). Semua pasien memiliki bukti oklusi sirkulasi anterior proksimal yang dapat diterapi dalam 8 jam setelah onset gejala dan tidak memiliki infart besar pada neuroimaging. Awalnya, kriteria eksklusi pada pencitraan yaitu bukti adanya inti iskemik besar, yang ditunjukkan dengan Alberta Stroke Program Early Computed Tomography Score (ASPECTS) kurang dari 7 pada CT atau kurang dari 6 pada MRI diffusion-weighted. Setelah mengikutkan 160 pasien, kriteria inklusi dimodiikasi untuk memasukkan pasien hingga usia 85 tahun dengan skor ASPECTS lebih dari 8. Pada studi ini, trombektomi menurunkan keparahan disabilitas melebihi rentang mRS (adjusted odd ratio untuk perbaikan 1 poin, 1.7; 95% interval kepercayaan (CI), 1.05-2.8) dan menyebabkan tingkat kemandirian fungsional yang tinggi (mRS 0–2) pada 90 hari (43.7% versus 28.2%; adjusted odds ratio, 2.1; 95% CI, 1.1 to 4.0) [8]. PISTE (Pragmatic Ischaemic Trombectomy Evaluation) merupakan suatu uji klinis Peranci multisenter yang dirilis pada 2017. Pada studi ini, 65 pasien dengan LVO sirkulasi anterior yang mendapat IV tPA dalam 4.5 dari onset stroke dirandomisasi 1:1 menjadi kelompok pasien yang mendapat IV tPA saja (kelompok kontrol) dan pasien yang mendapat trombektomi mekanik tambahan dengan target interval waktu untuk IV tPA dimulai hingga punktur arteri < 90 menit. Dalam studi ini, pasien menjadi kandidat trombektomi bila pencitraan

vaskular noninvasif (CTA atau MRI) menunjukkan oklusi dari ICA intrakranial, segmen M1 dari MCA, atau cabang tunggal M2 MCA. Intervensi dimulai secepat mungkin, dan maksimal 90 menit dari awal IV tPA prosedur MT dimulai. Luaran primer adalah proporsi pasien yang mencapai kemandirian yang didefinisikan dengan skor mRS 0-2 pada hari 90. Pada analisis intention-to-treat, tidak terdapat perbedaan pada tingkat disability-free survival pada hari 90 dengan MT (perbedaan absolut 11%, adjusted OR 2.12, 95% CI 0.65-6.94; P = 0.20). Analisis sekunder menunjukkan kecenderungan penyembuhan neurologis sempurna (mRS 0-1) yang signifikan pada hari 90 (OR 7.6, 95% CI 1.6 to 37.2; P = 0.010) [69]. Kolaborasi HERMES dibentuk untuk mengumpulkan data pasien dari lima uji pertama (MR CLEAN, ESCAPE, REVASCAT, SWIFT PRIME, dan EXTEND-IA). Meta-analisis ini menyimpulkan bahwa trombetomi endovaskular menurunkan disabilitasi dari stroke sirkulasi anterior dengan LVO, dan manfaatnya terlihat kebanyakan pasien, terlepas dari karakteristik pasien seperti usia atau lokasi geografis [70]. Angka needed to treat dengan trombektomi endovaskular untuk menurunkan disabilitas setidaknya satu tingkat pada mRS untuk pasien sebesar 2.6. Lebih penting lagi, pada analisis subkelompok tertentu, HERMES menunjukkan bahwa terdapat manfaat signifikan pada kelompok yang memiliki inti infark besar yang diukur dengan skor ASPECT. Temuan ini menunjukkan fondasi untuk uji kedepannya yang akan mengevaluasi terapi endovaskular pada populasi tersebut. Tabel 2 menunjukkan perbandingan dari uji tersebut.

Selagi uji endovaskular penting tersebut sedang dijalankan, suatu literatur baru menunjukkan bahwa perkembangan penumbra iskemik menjadi inti iskemik dan tingkat progresi cedera ireversibel sangat beragam antar individu. Variabilitas ini cenderung dimediasi oleh kecukupan aliran darah kolateral dan lingkungan metabolik dari pasien stroke. Karena itu, dengan mengukur individualitas dari perkembangan penumbra, rentang waktu untuk terapi endovaskular dapat diperpanjang pada beberapa individu. DEFUSE 2 merekomendasikan bahwa luaran setelah trombektomi endovaskular berbeda antara pasien subkelompok berdasarkan gambaran MRI yang menunjukkan bahwa terdapat jaringan yang dapat diselamatkan (target mismatch). Studi ini mengikutkan pasien yang mana direncanakan terapi endovaskular dimulai dalam 12 jam dari onset gejala. Pasien dengan target mismatch memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk luaran radiografis dan fungsional yang baik setelah terapi reperfusi bila dibandingkan dengan pasien tanpa target mismatch [71]. Pada DEFUSE 2, tingkat pertumbuhan dari lesi DWI dini pada pasien tersebut sangat bervariasi. Tingkat yang lebih lambat dari pertumbuhan DWI berhubungan dengan penyelamatan jaringan yang lebih besar dan peningkatan luaran fungsional setelah revaskularisasi. Temuan ini mengesankan bahwa asesmen tingkat pertumbuhan infark akut dapat membantu identifikasi pasien yang cenderung mendapatkan manfaat daari revaskularisasi [72]. Studi ini membuat fondasi untuk desain dari dua uji klinis randomisasi dari trombektomi endovaskular pada pasien dengan target mismatch [71]. Uji randomisasi multisenter DAWN berusahan menentukan efikasi dari trombektomi endovaskular menggunkan stent retriever TREVO pada stroke akut

6-24 jam setelah onset gejala. Pasien yang memiliki bukti LVO pada sirkulasi anerior pada pencitraan vaskular noninvasif (CTA atau MRA), yang telah diketahui 6-24 jam sebelumnya, dan yang memiliki mismatch antara inti infark radiologis yang diukur dengan 30% penurunan absolut pada CBF atau DWI dan defisit klinis berdasarkan usia (< 80 tahun atau ≥ 80 tahun) diikutkan dalam studi. Hampir semua populasi meliputi pasien yang tidak mendapat IV tPA karena datang terlambat. Pasien dikelompokkan menjadi tiga kelompok: Kelompok A, ≥ 80 tahun, NIHSS ≥ 10, dan volume infark < 21 ml; Kelompok B, < 80 tahun, NIHSS ≥ 10, dan volume infact < 31 ml; dan Kelompok C, < 80 tahun, NIHSS ≥ 20, volume infarct 31 hingga < 51 ml. Volume infarct diproses menggunakan RAPID. Pada tiap tiga strata, pasien direndomisasi 1:1 menjadi trombektomi plus pelayanan medis standar (kelompok trombektomi, n = 107) atau ke pelayanan medis standar (kelompok kontrol, n = 107). Uji dihentikan karena hasil dari analisis menunjukkan probabilitas manfaat dengan tromboektomi yang tinggi. mRS pada 90 hari sebesar 5.5 pada kelopok trombektomi versus 3.4 pada kelompok kontrol. Tingkat kemandirian fungsional (mRS 0-2) pada 90 hari adalah 49% pada kelompok trombektomi vversus 13% pada kelompok kontrol. Perdarahan intrakranial simtomatis (6% pada kelompok trombektomi dan 3% pada kelompok kontrol, P = 0.50) dan mortalitas 90 hari (19% versus 18% P = 1.00) tidak berbeda signifikan antara kedua kelompok [10]. Angkat needed-to-treat untuk mencapai kemandirian fungsional pada 90 hari sebesar 2.8.

DEFUSE 3 merupakan uji randomisasi paling terkini yang menilai trombektomi pada pasien yang melebihi 6 jam dari onset gejala. Studi multisenter ini bertujuan untuk menilai efikasi trombektomi endovaskular mekanik menggunakan stent retriever generasi kedua dan/atau teknik aspirasi pada pasien dengan AIS yang data 6-16 jam setelah onset gejala. Uji ini mengikutkan pasien dengan LVO sirkulasi anterior proksimal, ukuran infark awal yang kurang dari 70 ml diukur dengan DWI atau penurunan CBF absolut < 30% dari jaringan normal, dan rasio volume jaringan iskemik pada pencitraan perfusi (didefinisikan sebata Tmaks > 6 detik) terhadap volume infark ≥ 1.8. Studi ini ditunda karena efikasinya. 182 pasien dirandomisasi, 92 pasien ke dalam kelompok terapi endovaskular dan 90 ke dalam kelompok terapi medis. Terapi endovaskular plus terapi medis standar berhubungan dengan distribusi skor mRS 90 hari yang lebih baik bila dibandingkan dengan terapi medis saja (OR, 2.77; P < 0.001). terapi endovaskular juga berhubungan dengan persentase pasien dengan kemandirian fungsional yang lebih besar (mRS 0-2) pada 90 hari (45% versus 17%, P < 0.001) [11]. Saat menyeleksi pasien untuk trombektomi mekanik pada pasien dengan onset AIS < 6 jam, panduan terkini tidak merekomendasikan neuroimaging tambahan selain CT dan CTA, atau MRI dan MRA [9]. Hal ini didasari pada fakta bahwa THRACE dan MR CLEAN memerlukan tidak hanya CT nonkontras namun juga gambaran LVO, dan keduanya menunjukkan manfaat pada kelompok terapi [4,73]. Karena itu, kriteria yang didasari pada pencitraan tambahan dapat menyingkirkan pasien yang mungkin mendapat manfaat dari terapi. Namun, pada pasien dengan AIS dalam 6-24 jam onset dan LVO anterior, pencitraan tambahan

(CT perfusi, DW-MRI, atau MRI perfusi) direkomendasikan untuk membantu menyeleksi pasien untuk MT berdasarkan kriteria DAWN dan DEFUE 3 [9]. Studi tersebut menujukkan suatu pendekatan baru berbasis pencitraan untuk seleksi pasien yang paling cenderung mendapatkan manfaat dari trombektomi endovaskular. Seperti yang dijelaskan oleh Hacke [74], rentang waktu 6 jam untuk terapi stroke digantikan dengan “rentang jaringan (viabilitas)”. Uji-uji tersebut menunjukkan dasar untuk panduan AHA 2018 terkini [9].

5. Anestesi untuk Trombektomi Endovaskular Pendekatan terbaik untuk sedasi pasien, analgesia, dan/atau anestesi selama trombektomi endovaskular (EVT) telah menjadi kontroversi. Hal ini karena sebagian besar, tetapi tidak semua, penelitian observasional menyarankan hasil yang lebih menguntungkan ketika sedasi secara sadar (CS) digunakan sebagai pengganti anestesi umum (GA) [73, 75, 76]. Pertanyaan-pertanyaan kunci dalam pengamatan ini adalah apakah efek buruk dari GA adalah karena (1) bias seleksi dan/atau (2) variabel proses (misalnya, alur kerja) atau variabel fisiologis (misalnya, tekanan darah) yang terkait dengan GA . Jawabannya tampaknya "mungkin ya" untuk semua penjelasan potensial ini. Dalam hal bias seleksi, sebagian besar penelitian observasional telah melaporkan pasien yang dilakukan GA memiliki keparahan stroke yang lebih serius (misalnya, NIHSS yang lebih besar). Bias lain hadir dalam banyak studi observasional termasuk (1) kondisi yang tidak proporsional dari sirkulasi posterior untuk GA; (2) admisi pasien yang memerlukan intubasi sebelum trombektomi

untuk GA; (3) admisi pasien yang gagal sedasi ke GA; (4) frekuensi yang lebih besar dari oklusi proksimal (atau tandem) ke GA; dan (5) perbandingan populasi nonkontemporan (pasien GA pada awal dan pasien CS kemudian). Beberapa meta-analisis telah berusaha untuk menyesuaikan NIHSS [77], termasuk meta analisis terbaru oleh Campbell et al. yang menunjukkan bahwa GA untuk EVT memberikan hasil yang lebih buruk bila dibandingkan dengan pasien yang tidak di bawah GA. Meskipun meta-analisis ini telah menyesuaikan untuk variabelvariabel dasar tertentu, bentuk-bentuk bias lain masih belum dieksplorasi. Metaanalisis belum sepenuhnya memberikan wawasan tentang pertanyaan-pertanyaan ini. Praktik alur kerja institusional kemungkinan berkontribusi pada hubungan nyata antara GA dan penundaan di awal perawatan dalam beberapa studi observasional. Dalam uji coba ESCAPE, di mana hanya 9% dari pasien EVT yang menerima GA, (1) waktu antara CTscan dan pungsi arteri adalah lebih 22 menit dengan GA (RR 1,43 (95% CI 1,05-1,93)); dan (2) waktu antara pungsi arteri dan reperfusi sedikit lebih besar dengan GA (∼5 menit), tetapi tidak signifikan, (RR = 1,15 (95% CI 0,77-1,70)) [78]. Sebaliknya, pada percobaan SWIFT PRIME, di mana 36% pasien EVT menerima GA, tidak ada waktu antara CT scan dan pungsi arteri (median 52 menit) atau waktu antara pungsi arteri dan reperfusi (median 32 menit) lebih besar dengan GA ; RRs 0,96 (95% CI 0,81-1,13), dan 0,91 (95% CI 0,74-1,13), masing-masing [79]. Kemungkinan cara dan waktu tim anestesi dimasukkan dalam alur kerja dan persiapan pasien sebelum EVT adalah dasar perbedaan antara studi observasional mengenai penundaan perawatan yang terkait

dengan GA. Khususnya, ketika tim anestesi berpartisipasi hanya ketika "penyelamatan" diperlukan, GA akan tampak tidak menguntungkan baik dalam hal alur kerja dan hasil. Kemungkinan juga bahwa perbedaan antara pusat lokasi intervensi (dekat versus jauh dari kamar operasi) dan ketersediaan tim anestesi untuk prosedur yang muncul dapat menjelaskan beberapa penundaan yang jelas terkait dengan GA. Namun demikian, jika GA dipilih, proses induksi GA dan intubasi endotrakeal yang tidak dapat dihindari memperlama penundaan dalam pengobatan. Seperti yang akan dibahas, penelitian random menunjukkan bahwa waktu penundaan tergolong kecil (10 menit). Kunci penentu efektifitas EVE adalah kecukupan perfusi kolateral terhadap penumbra sebelum reperfusi [80, 81]. Alasan yang paling mungkin adalah bahwa ia menghasilkan aliran darah otak yang lebih besar (CBF) ke penumbra iskemik [82, 83]. Aliran kolateral ke penumbra tergantung pada tekanan darah sistemik [84]. Karena perfusi kolateral sangat penting, maka penurunan tekanan darah sistemik sebelum reperfusi dapat merugikan. Hal tersebut telah diamati dalam dua studi observasi terbaru. Pertama, pada subset dari 60 pasien GA dari percobaan MR CLEAN, penurunan tekanan arteri intraprocedure (MAP) dikaitkan dengan hasil yang kurang menguntungkan (mRS) (per 10 mmHg menurun dari baseline MAP (yang 100 mmHg) ATAU 0,60 (95% CI 0,43-0,90); P 0,03) [85]. Dalam sebuah studi yang berbeda oleh Whalin dkk., semua pasien tidak mengalami EVT dengan CS (dexmedetomidine) [86]. Pasien dengan MAP 107 mmHg dan hasil yang fungsional, terkait dengan semua indeks penurunan MAP sebelum reperfusi. Hampir sama dengan hasil MR CLEAN, pada pasien yang menerima CS,

penurunan MAP di bawah 100 mmHg menurunkan kemungkinan hasil yang baik (per 10 mmHg penurunan OR 0,78 (95% CI 0,62-0,99); P 0,043). Dalam CS dan GA, setiap penurunan substantif dalam darah sebelum reperfusi dapat berbahaya. Perbedaan hasil antara CS dan GA dalam beberapa studi observasional dapat dijelaskan sebagai akibat perbedaan tekanan darah antara CS dan GA [87, 88]. Dengan latar belakang ini, temuan dari tiga uji klinis acak tunggal (RCT) dari CS versus GA untuk EVT dapat ditempatkan dalam konteks: SIESTA [89], ANSTROKE [90], dan GOLIATH [91]. Seperti yang diringkas dalam Gambar 3, ketiga percobaan menemukan bahwa GA tidak terkait dengan hasil fungsional yang kurang baik dalam 3 bulan. Semua tiga percobaan memiliki tujuan intraprosedur yang sama: SIESTA (tekanan sistolik 140-160 mmHg); ANSTROKE (tekanan sistolik 140-180 mmHg); dan tekanan sistolik GOLIATH ≥140 mmHg dan MAP ≥70mmHg. Kebanyakan pasien, termasuk yang menerima CS, membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan tekanan arteri, tetapi dengan frekuensi dan dosis yang jauh lebih besar pada pasien yang menerima GA. Namun demikian, pada ANSTROKE dan GOLIATH, nilai minimum untuk MAP intra-EVT dan persentase penurunan klinis pasien intra EVT yang >20% lebih besar pada pasien GA. Jauh lebih sulit untuk mempertahankan tekanan darah pada nilai pra-EVT dengan GA daripada dengan CS. Seperti dirangkum dalam Tabel 3, di ketiga RCT, GA meningkatkan waktu antara evaluasi dan pungsi arteri sekitar 10 menit — interval yang konsisten dengan waktu yang diperlukan untuk menginduksi GA dan intubasi pasien.

Reperfusi yang baik sedikit lebih besar dengan GA. Dalam SIESTA dan ANSTROKE, 14% dan 16% dari pasien sedasi memerlukan konversi ke GA selama EVT, terutama karena gerakan pasien yang merepotkan. Sebaliknya, dalam GOLIATH, hanya 6% dari perkiraan pasien yang membutuhkan konversi ke GA. Mengapa CS lebih berhasil dalam GOLIATH daripada di dua percobaan lainnya tidak jelas. Dalam ANSTROKE, ada insiden pneumonia yang lebih tinggi pada kelompok GA, sedangkan pada kelompok CS, kualitas angiografi lebih buruk. Dalam SIESTA, kelompok GA juga menunjukkan insiden pneumonia yang lebih tinggi (13,7% dibandingkan 3,9%, P 0,03), bersama dengan hipotermia (32,9% dibandingkan 9,1%, P <0,001) dan ekstubasi tertunda (49,3% dibandingkan 6,5%, P <0,001). Meskipun demikian, tidak satu pun dari studi ini mendukung penggunaan satu teknik di atas yang lain. Karena

ini

adalah

RCT,

tidak

diketahui

apakah

temuan

dapat

digeneralisasikan. Namun demikian, SIESTA, ANSTROKE, dan GOLIATH menunjukkan bahwa ketika (1) GA diintegrasikan ke dalam alur kerja standar pasien EVT dan (2) tekanan darah secara aktif dan dikelola secara intensif (terutama pada pasien GA), GA tidak menghasilkan hasil yang kurang menguntungkan dari CS. Dengan demikian, bukti terbaik menunjukkan bahwa tim neurointerventional dapat memutuskan untuk menggunakan GA ketika kondisi membutuhkannya, dengan sedikit kekhawatiran bahwa pasien akan selalu terpengaruh. Kunci sukses dengan CS dan GA terus menjadi inisiasi terapi dan penyelamat bagi penumbra (yaitu, dukungan tekanan darah) sebelum reperfusi. Pada saat ini, tidak ada bahwa setiap agen anestesi atau teknik tertentu lebih

unggul dari yang lain [92]. Pendekatan individual, berdasarkan kondisi pasien, komorbiditas, dan tantangan intraprosedur yang diharapkan, tampaknya lebih masuk akal.

6. Manajemen Terapi Post-Reperfusi Meskipun pedoman untuk manajemen pasien stroke setelah tPA IV telah ditetapkan selama beberapa tahun, banyak pendekatan pascaprosedur yang mengikuti trombektomi endovaskular tetap kontroversial karena kurangnya bukti. Terlepas dari jenis terapi reperfusi yang digunakan, pasien stroke harus menerima pemantauan neurologis, hemodinamik, pernapasan, dan metabolik intensif pada stroke yang ditunjuk atau unit perawatan intensif. Pasien stroke yang menerima perawatan di unit stroke lebih mungkin untuk bertahan hidup, mendapatkan kembali kemandirian, dan kembali ke rumah bila dibandingkan dengan pasien yang menerima perawatan di layanan yang kurang terorganisir atau bangsal umum [93]. Dukungan hemodinamik untuk mempertahankan jaringan penumbral iskemik pada pasien dengan rekanalisasi yang gagal atau sebagian berhasil setelah terapi reperfusi sangat penting. Namun, penting juga untuk membatasi risiko cedera postreperfusi dan risiko perdarahan intraserebral (ICH) [94]. Pedoman saat ini merekomendasikan bahwa untuk pasien yang menerima IV tPA dan/atau thrombektomi mekanik dan yang telah mencapai reperfusi yang sukses, adalah wajar untuk mempertahankan tekanan darah ≤180 / 105 mmHg [9]. Tingkat rekanalisasi dengan tPA IV berbeda dengan mereka dengan trombektomi

endovaskuler. Pada stroke oklusi pembuluh besar, tPA IV menghasilkan tingkat rekanalisasi yang bervariasi antara 13% dan 45% [16]. Di sisi lain, trombektomi mekanik dalam uji coba terbaru telah menunjukkan revaskularisasi yang berhasil (trombolisis pada infark serebral ≥2b) pada lebih dari 70% kasus. [70]. Dengan pemikiran ini, upaya untuk meningkatkan perfusi dengan hipertensi permisif hingga 24-48 jam umumnya dilakukan pada pasien yang menerima tPA IV saja [95]. Adaptasi dari kolateral untuk mengakomodasi aliran darah adalah memungkinkan untuk dilipatgandakan dalam mode yang tahan lama. Sebaliknya, tekanan darah tinggi yang menetap dalam rekanalisasi dan cedera iskemik yang ada dapat berbahaya. Sebuah analisis retrospektif baru-baru ini terhadap pasien yang menjalani thrombektomi endovaskular melaporkan bahwa nilai-nilai yang lebih besar dari tekanan darah sistolik (SBP) dalam 24 pascaprosedur pertama secara independen terkait dengan tingkat keparahan perdarahan yang lebih besar dalam 48 jam dan hasil fungsional yang buruk. Khususnya, perdarahan diamati pada nilai rata-rata lebih rendah dari puncak SBP pada pasien yang memiliki keberhasilan revaskularisasi dibandingkan dengan mereka yang tidak [95]. Dalam transformasi hemoragik, tekanan darah yang tinggi terus-menerus dapat menyebabkan perdarahan berlanjut, dan edema. Oleh karena itu, mempertahankan SBP <140 atau 160 mmHg adalah wajar ketika ada rekanalisasi dan/atau jika ada bukti atau kecurigaan perdarahan [94]. Komplikasi trombolisis yang paling ditakuti adalah ICH. Biasanya disertai dengan mual, muntah, sakit kepala, defisit neurologis yang memburuk, dan, pada kasus yang berat, dengan tingkat kewaspadaan yang sama.

Dalam uji coba NINDS tPA yang asli, tingkat ICH simptomatik (sICH), didefinisikan sebagai adanya perdarahan pada CT kepala dan penurunan status neurologis, hadir pada 6,4% dari mereka yang menerima r-tPA dan 0,6% pada mereka. menerima plasebo [31]. Dari pasien yang menderita sICH pada kelompok r-tPA, sekitar 50% meninggal pada 3 bulan. 4,4% pasien memiliki ICH asimtomatik. Perdarahan sistemik mayor jarang terjadi, sementara perdarahan ekstrakranial minor terjadi pada 23% pasien yang diobati dengan IV-tPA (hanya 3% pada plasebo). Faktor risiko untuk sICH setelah trombolisis sistemik adalah hipoattenuasi pada CT kepala, peningkatan glukosa serum dan riwayat diabetes, hipertensi, peningkatan keparahan stroke, dan pelanggaran protokol dengan pengobatan di luar waktu [96-99]. Manajemen sICH setelah tPA IV biasanya dimulai dengan penghentian infus tPA diikuti oleh CT kepala nonkontras langsung. Sebuah panel koagulasi lengkap termasuk fibrinogen dan hitung darah lengkap biasanya dipesan. Sayangnya, kebanyakan pasien biasanya telah menyelesaikan infus tPA IV mereka pada saat perdarahan terdeteksi pada CT. Tidak ada agen pembalikan yang terbukti untuk tPA IV. Namun, opsi pembalikan yang disarankan termasuk kriopresipitat (termasuk faktor VIII), asam traneksamat, atau asam aminokaproat pada kasus per kasus. Komplikasi tidak umum lain dari tPA IV adalah angioedema, yang terjadi pada 1-3% pasien. Biasanya terjadi 30–120 menit setelah infus tPA IV. Diperkirakan dimediasi oleh jalur serupa yang terlibat dalam angiotensinconverting enzymes (ACEs) dan cenderung terjadi kontralateral terhadap infark.

Pasien-pasien ini biasanya berisiko tinggi mendapat komplikasi yang sama dengan

inhibitor

ACE

[100].

Pengobatan

melibatkan

pemberian

di-

phenhydramine dan H2-blocker, diikuti oleh methyl-prednisolone IV atau epinefrin nebulisasi atau subkutan. Dalam kasus angioedema, tPA IV harus dihentikan, dan pasien mungkin memerlukan intubasi endotrakeal atau bahkan trakeostomi. Baru-baru ini, pedoman dari Society of Neurointervenional Surgery diterbitkan untuk manajemen pascaprosedural pasien yang menjalani trombektomi endovaskuler [94]. Menurut pedoman ini, pemantauan ICP tidak memiliki peran yang jelas dalam LVO karena edema serebral maligna dapat menyebabkan kerusakan klinis yang parah melalui sindrom herniasi meskipun nilai ICP normal. Oleh karena itu, pemantauan ICP berkelanjutan tidak menggantikan tindak lanjut klinis dan pencitraan [101]. Intervensi untuk edema serebral maligna yang ditunjukkan oleh pencitraan dapat mencakup pemantauan ICP, posisi kepala tempat tidur, agen hiperosmolar, hiperventilasi, dan kraniektomi dekompresi. Agen hiperosmolar dapat bermanfaat bagi pasien yang mengalami edema serebral setelah stroke dengan volume besar. Hiperventilasi memiliki efek jangka pendek (∼1-3 jam), dan harus digunakan sebagai terapi penghubung sebelum manajemen bedah.

Namun, hiperventilasi profilaksis

tidak

dianjurkan.

Kraniektomi

dekompresif harus dipertimbangkan pada pasien yang berusia <60 tahun dengan stroke volume besar yang dekompensasi atau yang berisiko dekompensasi [102]. Pada pasien >60 tahun, dengan stroke volume besar yang dekompensata atau yang berada pada risiko dekompresi, kraniektomi dekompresi dapat dipertimbangkan.

[103]. Penempatan EVD dan kraniektomi sub-occipital pada pasien dengan stroke serebelar yang memburuk atau risiko dekompensasi segera meskipun manajemen medis dapat dipertimbangkan [94]. Akhirnya, mengingat hasil neurologis yang lebih baik, upaya harus dilakukan untuk menempatkan pasien stroke di fasilitas rehabilitasi agresif [104], dan 90-hari tindak lanjut adalah tindak lanjut standar yang wajar dan sesuai dalam populasi ini [94].

7. Kesimpulan Telah terdapat kemajuan substantif dalam stroke iskemik akut. Penelitian baru-baru ini menunjukkan manfaat terapi endovaskular yang telah membawa era baru dalam pengobatan stroke. Sekarang trombektomi endovaskular telah ditetapkan sebagai bagian dari standar perawatan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk terus mengoptimalkan strategi yang ada pada tindakan prarumah sakit dan perawatan pasca-rumah sakit dan mengembangkan metode baru yang menggabungkan terapi reperfusi tambahan.

Gambar 1: (a) Gambaran skematik dari salah satu teknik endovaskular yang paling umum menggunakan suatu stent retriever untuk menangani stroke akut arteri serebri media sinistra akibat LVO yang datang pada 12 jam. (b) Identifikasi pusat infark dan jaringan yang dapat diselamatkan menggunakan peranti lunak otomatis (RAPID). (c,d) Angiogram emnunjukkan oklusi L MCA (tanda panah hitam) dan pemasukan stent retriever (tanda panah putih).

Gambar 2: Paradigma algortima stroke pra-rumah sakit. Gambar 3: Perbandingan uji klinis randomisasi dari sedasi umum versus sadar untuk trombektomi pada stroke iskemik akut (mRS pada 90 hari).

Tabel 1: Kriteria inklusi dan eksklusi untuk terapi stroke iskemik akut dengan IV tPA dalam kurun 3 jam dari onset gejala. Kriteria inklusi (i) diagnosis stroke iskemik menyebabkan defisit neurologis bermakna (ii) onset gejala < 3 jam sebelum terapi dimulai (iii) usia ≥ 18 tahun Kriteria eksklusi (i) trauma kepala signifikan atau stroke sebelumnya dalam 3 bulan sebelumnya (ii) gejala mengesankan SAH (iii) punktur arteri pada lokasi noncompressible dalam 7 hari sebelumnya (iv) riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya (v) neoplasma intrakranial, AVM, atau aneurisma (vi) riwayat bedah intrakrnial atau intraspinal baru-baru ni (vii) peningkatan tekanan darah (sistolik >185 mmHg atau diastolik > 110 mmHg) (viii) perdarahan internal aktif (ix) diathesis perdarahan akut, meliputi namun tidak terbatas (x) hitung platelet < 100.000/mm3 (xi) heparin diberikan dalam 48 jam yang menyebabkan peningkatan abnormal aPTT di atas batas atas normal (xii) penggunaan terkini dari antikoagulan dengan INR > 1.7 atau PT > 15 detik (xiii) penggunaan terkini dari inhibitor trombin langsung atau inhibitor faktor Xa langsung dengan peningkatan uji labor sensitif (seperti aPTT, INR, hitung platelet, ECT, TT, atau uji aktivitas faktor Xa) (xiv) konsentrasi glukosa darah < 50 mg/dL (2.7 mmol/L) (xv) CT menunjukkan infark multilobar (hipodensitas > 1/3 hemisfer serebri) Kriteria eksklusi relatif (1) pengelaman terkini menunjukkan bahwa pada beberapa keadaan, dengan pertimbangan yang hati-hati dan keseimbangan risiko terhadap manfaat, pasien mungkin mendapat terapi fibrinolitik walau ≥ 1 kontraindikasi. Pertimbangakan risiko terhadap manfaat dari pemberian tPA intravena secara hati-hati bila terdapat kontraindikasi relatif tersebut. (ii) hanya gejala stroke minor (sembuh spontan) (iii) kehamilan (iv) kejang pada onset dengan gangguan neurologis residual paskaiktal (v) bedah mayor atau trauma serius dalam 14 hari sebelumnya (vi) perdarahan saluran gastrointestinal atau kemih terkini (dalam 21 hari sebelumnya) (v) infark miokard akut terkini (dalam 3 bulan sebelumnya)

Catatan: Diadaptasi dari studi AHA [105].

Tabel 2: Perbandingan uji klinis randomisasi dari trombektomi endovaskular pada stroke iskemik akut. Tabel 3: Alur kerja dan reperfusi pada uji randomisasi dari sedasi sadar (CS) versus anestesi umum (GA) untuk trombektomi endovaskular. Variabel Waktu antara pintu,a CT,b dan MRIc hingga punktur arteri (menit)

Uji SIESTAa ANSTROKEb GOLIATHc

CS 66 ± 20 91 (55-123) 54 (40-75)

GA 76 ± 29

92 (68-121) 61 (48-73)

Nilai P 0.03 0.94 0.13

Waktu antara kedatangan pada lokasi intervensi hingga punktur arteri (menit) Reperfusi TICI 2b/3

ANSTROKE GOLIATH

25 (15-36) 15 (12-20)

34 (18-47) 24 (20-27)

0.06 < 0.001

SIESTA ANSTROKE GOLIATH

62/77 = 81% 40/45 = 89% 38/63 = 60%

65/73 = 89% 41/45 = 91% 50/65 = 77%

0.67 1.00 0.04

Nilai dilaporkan sebagai rerata ± SD, median (rentang interkuartil), atau persentase

Related Documents