Tarekat_dalam_tasawuf.docx

  • Uploaded by: Dhika Wahyu Trisna Putra
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tarekat_dalam_tasawuf.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,583
  • Pages: 17
TAREKAT DALAM TASAWUF Pengertian, Latar Belakang, Dan Sejarah Perkembangan Oleh : Zaenal Muttaqin Makalah sederhana ini menyajikan definisi, tujuan, dan latar belakang kelahiran organisasi persaudaraan mistik Islam (tarekat). Selain itu, makalah juga menyajikan profil beberapa persaudaraan sufi yang berkembang di dunia Islam, dulu dan kini.

Pendahuluan: Makna dan Tujuan Secara etimologis, istilah tarekat diserap dari kata bahasa Arab thoriqoh dengan bentuk plural thoroiq, yang berarti jalan atau jalan kecil (way, path), cara, garis, kedudukan, keyakinan dan agama. Pengertian seperti ini terdapat pada beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya QS an-Nisa (ayat 168 dan 169), QS Thaha (ayat 63, 77 dan 104), QS al-Ahqaf (ayat 30), QS al-Mu’minin (ayat 17), QS al-Jin (ayat 11 dan 16). Dalam Ensiklopedia Islam, kata tarekat juga diartikan sebagai jalan, cara (al-kaifiyah), metode atau sistem (al-Uslub), mazhab, aliran, haluan (al-Mazhab), pohon kurma yang tinggi (an-Nahlah at-Thawilah), tiang tempat berteduh, tongkat payung (‘Amud al Mizallah), yang mulia, terkemuka dari kaum (Syarif al-Qaum).1 Arti yang sama disampaikan Louis Ma’luf mengartikannya dengan jalan, keadaan, aliran dalam garis pada sesuatu. 2 Penggunaan tarekat selanjutnya popular digunakan untuk menunjuk gerakan persaudaran spiritual Islam (tasawuf). Ia menjadi terma khusus yang menunjuk ordo tasawuf atau ajaran mistikal dan praktik-praktik spiritual Islam dalam rangka mencapai makna/tujuan paling ultim (ultimate truth/haqiqat) dalam keberagamaan. Ali bin Muhammad bin Ali alJurjani mendefinisikan tarekat sebagai metode khusus yang digunakan para Salik (para penempuh jalan) menuju Allah yang dilakukan dengan melalui berbagai tahapan (maqomat).3 Tarekat juga dimaknai sebagai proses menjalankan amal yang lebih berhati-hati dan tidak memilih kemurahan (keringanan) syara’ seperti sifat wara’ serta ketetapan hati yang kuat. Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mendefinisikan tarekat sebagai: 1) pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah; 2) menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan yang dhohir maupun yang batin; dan, 3) meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung), menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang arif (syaikh) dan (sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.4 Tarekat juga didefinisikan sebagai jalan/petunjuk yang terlembagakan dalam organisasi esoterik dalam menempuh kewajiban keagamaan guna mencapai tujuan tertinggi, kedekatan dengan Allah SWT. Jalan yang ditempuh berupa pengamalan ajaran dan praktik keagamaan yang telah dicontohkan Nabi SAW, dilaksanakan para sahabat, tabi’in, tabi’ 1

Ensikpoledi Nasional Jilid 16, 1997. Jakarta: Delta Pamungkas, hal. 112 Lihat Luis Makluf, 1986. Al-Munjid fi al Lughat wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyria, hal. 465 3 Lihat Ali ibn Muhammad al-Jurjani, 1978. Ta’rifat. Beirut: Matkabat Lebanon 4 Lihat A. Mustofa, 2007. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, hal.280. 2

1

tabi’in, dan para syaikh Sufi.5 Definisi yang cukup jelas diungkapkan Michon (dalam Nasr, 1997). Menurutnya, tarekat merupakan jalan untuk mempersingkat jarak tak terbatas yang memisahkan manusia dari Tuhan. Menurutnya, pengertian ini mengandung dua macam arti. Pertama, tarekat sebagai bentuk pengembaraan mistik secara umum, yakni gabungan seluruh ajaran dan aturan praktik yang diambil dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan pengalaman para guru spiritual. Kedua, tarekat dalam makna terbatas sebagai persaudaraan sufi yang lazim dinamai sesuai dengan nama pendirinya, misal Tarekat Qadariyyah yang didirikan ‘Abd al-Qadir al-Jilani dan Tarekat Syadziliyyah yang dirintis Abu Al-Hasan Asy-Syadzili.6 Tarekat sebagai persaudaran dimungkinkan karena pembelajaran dan pengamalan tarekat dilakukan bersama-sama murid di bawah bimbingan seorang murshid. Tidak hanya soal ibadah dan zikir, persaudaraan makin erat karena kepesertaan tarekat memungkinkan mereka memiliki kesamaan dalam cara bergaul dan berpakaian. Dari berbagai definisi, kehadiran tarikat dalam praktek tasawuf bertujuan untuk memelihara konsistensi para salik (penempuh jalan tasawuf) dalam menempuh tangga-tangga menuju Tuhan tanpa mengabaikan pemenuhan aspek syari’ah (fiqih). Hal ini bisa dilihat pada struktur pembagian keilmuan tasawuf yang merangkum dimensi formal dan substansial keberagamaan, yakni syari’at, tarikat, dan hakikat, dan makrifat. Syeikh Najmuddin AlKubra dalam kitab Jami'ul Auliya' (Mesir, 1331 M) menyebutkan, syari'at merupakan uraian, tarekat sebagai pelaksanaan, hakikat sebagai keadaan, dan ma'rifat sebagai tujuan pokok (fase terakhir), yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Pemberian teladan berupa thaharah dengan air atau tanah, secara hakikat bermakna kebersihan hati dari hawa nafsu atau selain Allah, yang seluruhnya bertujuan mencapai tangga ma'rifat terhadap Allah. Dengan demikian, keberislaman tidak cukup hanya sampai pada tangga syari’at, melainkan juga mengambil tarekat atau hakikat saja. Tentang relasi keempat hal ini, Atjeh memberikan perumpamaan syari'at dengan sampan yang digunakan untuk berlayar, tarekat sebagai lautan yang dilayari, hakikat sebagai mutiara yang terpendam di kedalaman lautan. Hakikat yang dianalogikan dengan mutiara sebagai tujuan akhir dan mengharuskan keberadaan kapal dan lautan dalam pencariannya (Abubakar Aceh, 71.)7 Konsekuensinya, maka tarekat tasawuf harus merangkum beberapa beberapa hal pokok yang menjadikannya diakui. Pertama, memungkinkan para murid mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan pelaksanaan semua perintah. Kedua, mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk melihat bagaimana cara melaksanakan ibadah. Ketiga, meninggalkan segala rukhsah dan ta'wil untuk menjaga dan memelihara kesempurnaan amal. Keempat, memelihara dan memanfaatkan waktu dengan berbagai bentuk ibadah seperti wirid dan do'a dengan tujuan menebalkan ke-khusyu'an dan hudhur. Kelima, kontrol diri pada setiap murid dari berbagai hawa nafsu dan berbagai perilaku salah lainnya (Abubakar Aceh, 70-72).8

5

Lihat Abu Bakar Aceh, 1986. Pengantar Ilmu Tarekat. Bandingkan dengan Annemarie Schimmel, h. 133-134, bahwa para sufi/salik tidak menghilangkan ritus formal keagamaan (syari’at) tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang bathiniah. 6 Jean-Louis Michon, Praktik Spiritual Tasawuf dalam Seyyed Hossein Nasr (Ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Terj. Rahmani Astuti). Bandung: Mizan, Cet. I, 2002, h. 364-365 7 Aboebakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani, 1985. Cet III., hal. 71 8 Aboebakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tarekat. hal. 70-72

2

Ujian dan Titian Jalan Spiritual Sebelum menempuh jalan spiritual (tarekat), sang penempuh jalan mistik (thalib) biasanya harus terlebih dahulu memenuhi syarat agar ia bisa diterima dalam kelompok tarekat. Al-Hujwiri menuturkan, ada tiga syarat yang harus dipenuhi sebelum menempuh jalan spiritual sekaligus penanda awal perjalanan spiritualnya. Pertama, melayani masyarakat, yakni mengetahui bagaimana ia menempatkan diri sebagai pelayan dan menganggap setiap orang adalah majikan. Pada fase ini, sang penempuh jalan mistik dituntut untuk menekan ego, rasa keakuannya, sehingga ia mencapai titik kesadaran kesetaraan atau bahkan kerendahan diri dibanding yang lain. Kedua, melayani Allah, yaitu memutuskan keterikatan dengan segala sesuatu yang menyibukkan kehidupan seseorang di masa sekarang dan masa mendatang kecuali terhadap kekuasan Yang Maha Tinggi. Ketiga, mengetahui cara menjaga hati agar tetap dalam keadaan berkonsentrasi dalam mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Bila ketiga syarat ini sudah dilaksanakan, maka penempuh berhak mengikuti suatu tarekat sufi dengan syarat menjalankan ketaatan kepada Sang Guru Spiritualnya (Syaikh, Murshid, Pir).9 Penjelasan Muhammad Hasyim Asy'ari seperti lebih jelas dibanding Al-Hujwiri. Menurutnya, terdapat delapan syarat dalam mempelajari tarekat. Pertama, qashd shahih, menjalani tarekat dengan tujuan yang benar. Yaitu menjalaninya dengan sikap ‘ubudiyyah, dan dengan niatan menghambakan diri kepada Tuhan. Kedua, shidq sharis, penempuh harus memandang gurunya memiliki rahasia keistimewaan yang akan membawanya ke hadapan Ilahi. Ketiga, adab murdhiyyah, orang yang mengikuti tarekat haruslah menjalani tata-krama yang dibenarkan agama. Keempat, ahwal zakiyyah, bertingkah laku yang bersih dan sejalan dengan ucapan dan tingkah-laku Nabi Muhammad SAW. Kelima, hifz al-hurmah, menjaga kehormatan, menghormati gurunya, baik ada maupun tidak ada, hidup maupun mati, menghormati sesama saudaranya pemeluk Islam, hormat terhadap yang lebih tua, sayang terhadap yang lebih muda, dan tabah atas permusuhan antar-saudara. Keenam, husn alkhidmah, bahwa yang mempelajari tarekat haruslah mempertinggi pelayanan kepada guru, sesama, dan Allah SWT dengan jalan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketujuh, raf' al-himmah, orang yang masuk tarekat haruslah membersihkan niat hatinya, yaitu mencari khashshah (pengetahuan khusus) dari Allah, bukan untuk tujuan duniawi. Kedelapan, nufudz al-'azimah, orang yang mempelajari tarekat haruslah menjaga tekat dan tujuan, demi meraih makrifat khashshah tentang Allah. 10 Apa yang diungkapkan Hujwiri dan Asy’ari diungkapkan juga Schimmel. Saat sang salik memutuskan jalan tarekat, ia akan mendapatkan ujian terlebih dahulu dari syaikh atau murshid yang membimbingnya. Ujian dilakukan untuk mengukur kemurnian niat, kesediaan, dan kemampuan murid untuk menempuh jalan tarekat. Selain harus menunggu berhari-hari untuk menemui guru dan diperlakukan kasar saat bertemu, ia juga harus melewati masa-masa pengabdian selama lebih kurang tiga tahun agar bisa diterima masuk tarikat. Ketigatahun ini dihabiskan masing-masing untuk mengabdikan diri kepada ummat manusia, pengabdian kepada Tuhan (ibadat), dan menjaga hati. Lebih dari itu, mereka juga melalui masa-masa ‘penghinaan dan perendahan hati’ sehingga sampai pada kondisi seperti diungkapkan Shibli Syaikh ‘Ali Al-Hujwiri, Revealing The Mystery terj. R.A. Nicholson dari Kasyful Mahjub, Muhammad Sholikhin, 2008. Mukjizat dan Misteri Lima Rukun Islam: Menjawab Tantangan Zaman. Yogyakarta: Penerbit Mutiara Media, hal. 17-18 9

10

3

“aku menganggap diriku makhluk Tuhan yang paling Hina” saat ia memutuskan berguru kepada Junayd. Setelah menyelesaikan masa pengabdiannya dengan baik, si murid akan menerima khirqa, sebuah jubah bertambal pertanda dimasukinya dunia tasawuf. 11 Proses inisiasi (penasbihan)-nya, seorang penempuh tarekat dilakukan secara berbedabeda bergantung kepada garis silsilahnya. Inisiasi paling lazim adalah dengan cara berjabattangan (mushafahah), merujuk apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat dalam Perjanjian Hudaibiyah yang berisi janji setia (bai’at) mereka dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT dan Nabi SAW dalam keadaan apapun. Saat menjabat tangan murid, syaikh biasanya membaca QS al-Fath: 10 : “Orang-orang berjanji setia kepada kamu, mereka itu sesungguhnya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barang siapa yang melanggar janji-Nya, niscaya akibatnya akan menimpa dirinya sendiri. Dan barang siapa menepati janji kepada Allah, Allah akan memberinya pahala yang besar.” Dalam kesempatan inisiasi tersebut, penempuh biasanya akan mendapatkan nama baru yang disandangkan pada nama aslinya. Nama ini melambangkan kelahirannya kembali dalam dunia ruh. Selain khirqah yang berupa tunik tambalan (muraqqa’ah) yang mencerminkan kefakiran lahiriah di kalangan tarekat Darqawa Maroko, penasbihan pada beberapa tarekat ditandai dengan penyematan beberapa benda sebagai penanda inisiasi seperti tasbih atau kertas yang bertuliskan bait-bait pujian (aurad) yang khas tarekat tersebut.12 Dalam perkembangannya, mereka juga menggunakan Sabzpush, warna hijau sebagai perlambang ditempuhnya jalan spiritual sekaligus tingkatan rohaniah para salik.13 Suluk: Perjalanan Ruhani Dalam mendekatkan diri kepada Yang Maha Tinggi, seorang Salik menjalani perjalanan ruhani (suluk) dengan tujuan mendekatkan diri, memohonkan pengampunan dan kerelaan Tuhan melalui berbagai tahapan penyucian jiwa (tazkiyat an–nafs) yang dilakukan dalam pelbagai latihan ruhani (riadlatur-ruhaniah) secara istiqamah dan mudawamah. Praktik ini berakar dari kebiasaan iktikaf Nabi SAW di Mesjid. Jangka waktu suluk bisa dilakukan bervariasi antara 10 hari, 20 hari atau 40 hari di bawah bimbingan Syekh Mursyid. Suluk merupakan jalan seorang mencapai makrifatullah dan kebersihan hati sehingga mampu musyahadah kepada yang dicintai (mahbub), yaitu Allah SWT. Sebab melalui Suluk, seorang salik yang menghambakan dirinya kepada Allah SWT semata-mata, bisa sampai kepada yang dimaksud.14 Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa suluk bertujuan memperkuat keyakinan terhadap tuhan, menghapuskan sifat-sifat yang buruk pada seseorang, menanamkan sifat-sifat yang baik, sehingga ia menjadi manusia yang sempurna; memperbaiki akhlaq, dan menumbuhkan sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah. Menurut Amin Al Kurdi, sekurangnya 11

Dalam perkembangannya, Khirqa sebagai jubah simbolik restu dan keberkahan guru terbagi dalam tiga jenis. Pertama, khirqa-yi irada, didapatkan murid dari guru setelah ia bersumpah setia kepadanya. Jubah ini hanya diberikan oleh guru mistik yang paling bertanggungjawab atas perkembangan spiritual murid. Kedua, khirqa-yi tabarruk, jubah yang didapat murid dari guru-guru yang ia kunjung dalam pengembaraan spiritualnya karena kepantasannya menerima keberkahan. Lihat Annemarie Schimmel, h. 126-129. 12 Jean-Louis Michon, Praktik Spiritual Tasawuf, h. 366 13 Annemarie Schimmel. Dimensi Mistik dalam Islam. h. 128. 14 Amin Al Kurdi, Tanwir al Qulub fi Muamalati Allami al Ghuyub, h. 430

4

ada 20 syarat yang harus dipenuh dalam menempuh proses suluk. Diantaranya : 1) Berniat ikhlas, tidak riya dan sum’ah baik lahir maupun batin; 2) Mohon ijin dan do’a dari syaikh mursyidnya; 3) ‘Uzlah (mengasingkan diri), membiasakan jaga malam, lapar dan berzikir sebelum suluK; 4) Memelihara wudlu; 5) Tidak berangan-angan untuk memperoleh keramat; 6) Senantiasa menghadirkan musyid; 7) Berpuasa; 8) Diam; 9) Senantiasa waspada terhadap musuh yang empat, yaitu syetan, dunia, hawa nafsu, dan syahwat; dan 10) Tetap menjaga shalat jum’at dan shalat berjama’ah karena sesungguhnya tujuan pokok dari khalwat adalah mengikuti Nabi SAW. Terdapat sejumlah jenis suluk yang diciptakan oleh ahli tarekat guna memperbaiki kesalahan-kesalahan seorang salik, yaitu: 1) Ibadah: jalan yang ditempuh oleh seorang salik untuk memperbaiki syari’at yang merupakan kehidupan orang Islam sehari-hari yang bertujuan untuk menjalankan ibadah-ibadah menjadi lebih sempurna. 2) Riyadhah: jalan yang ditempuh seorang salik untuk memperbaiki akhlaknya, dengan mengerjakan segala kekurangan-kekurangan tingkah lakunya yakni dengan menahan syahwat, latihan diri dengan bertapa, mengurangi makan & minum, tidur, mengurangi berkata-kata dan adu domba. 3) Thariqul khidmah wa bi-uzlah: sebuah pendidikan yang diberikan oleh seorang mursyid agar para muridnya atau salik untuk berbuat khidmat dan kebajikan terhadap manusia. Dengan menyembunyikan kemegahan-kemegahan keturunan atau kedudukannya. Sehingga terjadi hubungan yang akrab antara seorang salik dengan masyrakat dalam pergaulan. 5) Thariqul mujahidat wa ruku bil-ahwal: Sebuah pengajaran yang diberikan mursyid kepada salik untuk melatih mereka agar tidak menjadi pengecut dalam peperangan melainkan menjadi pahlawanpahlawan yang pemberani untuk mempertahankan kedaulatan nusa dan bangsa, melenyapkan kedzaliman. Yang harus ditakuti umat manusia hanyalah Allah SWT dan ulil amrinya. Ikatan Murshid dan Murid Dalam praktek tarekat, kehadiran seorang pembimbing dalam menjalani kehidupan tarekat sangat penting. Ia yang disebut Syaikh, Pir, atau Murshid merupakan pemandu yang bertugas menuntun para murid melalui berbagai persinggahan dan menunjukkan arah tujuannya. Bimbingan terus menerus dari sang penuntun mistik dalam perjalanan seorang murid merupakan syarat mutlak bagi kemajuan spiritualnya. Pentingnya seorang murshid dalam praktek tarekat adalah ibarat Nabi bagi ummatnya seperti disebutkan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW : “Seorang Syaikh dalam kalangannya adalah seperti Nabi di antara ummatnya…”. Bahkan Maulana Abdurrahman Jami’ mengungkapkan : “Seluruh Nabi datang untuk membuka mata hati manusia agar melihat kesempurnaan Tuhan, melihat kelemahan dirinya dan melihat kekuatan Tuhan, melihat ketidakadilan dirinya dan melihat keadilan tuhuan..dan Syaikh pun ada di situ untuk membuka mata hati muridnya…”15 Pentingnya kedudukan dan peran membimbing spiritual murid, maka jabatan Syaikh hanya bisa ditempati oleh guru spiritual terpilih. Salah satu kriterianya adalah seorang yang ditunjuk sebagai syaikh adalah yang sudah mencapai maqom rijalul kamal, dimana ia sudah mencapai fase kesempurnaan suluk dalam syariat maupun hakikat menurut al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’, dan mendapat izin serta ijazah untuk menyampaikan ajaran kepada para Lihat Maulana ‘Abdurrahman Jami, Nafahat al-Uns. Teheran, 1336 H/1957 h. 441 bandingkan dengan Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Terj. Sapardi Djoko Damono dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000. H. 126-127 15

5

murid.16 Pentingnya peran Murshid karena luasnya tanggungjawab yang dipikul dalam membimbing para muridnya dimana ia harus mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang daripada ajaran-ajaran Islam dan terjerumus pada kemaksiatan, bahkan ia merupakan perantara murid dan Tuhan.17 Mengingat pentingnya peran membimbing murid-murid, maka Sang Mursyid memiliki beberapa kewajiban yang menjaga murid dari perilaku maksiat, berkurangnya perhatian beribadah, dan menjauhkan mereka dari godaan dunia. Diantanya yaitu : 1. Murshid harus memiliki kealiman dan keluasan pengetahuan yang dibutuhkan dalam memberikan tuntunan bagi para murid baik di bidang fiqh, aqa'id, tauhid, dan berbagai disiplin ilmu yang dapat menghilangkan keragu-raguan/mengundang pertanyaan para murid. 2. Mengenal sifat-sifat kesempurnaan hati, adab perilakunya, kegelisahan jiwa dan penyakitnya sekligus metode penyembuhannya. 3. Berlaku baik pada murid-murid dengan mengedepankan sikap permaafan terlebih dulu bila mereka melakukan kesalahan. 4. Menyimpan rahasia murid dan mengawasinya secara tajam sehingga dapat diperbaiki dengan arif kelalaian/kealpaan mereka. 5. Tidak menyalahgunakan amanah murid seperti menggunakan harta milik mereka dan mengingininya. 6. Murshid harus menjadikan ahwal dan dzauq-nya sebagai ukuran sebelum disampaikan kepada murid, dimana ia tidak menyuruh dan melarang suatu perbuatan kecuali ia sudah menjalankannya. 7. Membatasi pergaulannya dengan murid dan memperbanyak waktu untuk berzikir dan beribadat. 8. Menjaga kebersihan hati dan lisan dari segala nafsu. 9. Senantiasa berlapang dada, ikhlas, dan tidak memberikan perintah yang tidak disanggupi murid. 10. Mendorong murid yang terlalu dekat dengan dirinya dan mengagungkan kemulian mursid untuk berkhalwat. 11. Menyiasati dengan bijak untuk memperbaiki kehormatan dirinya yang bisa mengurangi kepercayaan murid-murid. 12. Memberi petunjuk tertentu pada waktu-waktu tertentu dalam memperbaiki ahwal/keadaan mereka. 13. Membimbing dan mengarahkan murid ketika mereka mendapatkan rukyah, musyahadah tentang pelbagai keistimewaan. 14. Mengawasi murid dari membicarakan keistimewaan yang bisa merusak mereka dalam ketakaburan. 15. Menyediakan tempat berkhalwat untuk dirinya dan murid-muridnya dan menjaga agar tidak ada yang masuk kecuali kepentingan khusus. 16. Menjaga perilaku dan adab kesehariannya dari pandangan murid yang bisa mendorong mereka dalam kegiatan pergunjingan. 16

Lihat Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi, terj., 2013. Tanwir al Qulub fi Muamalati Allami al Ghuyub. Jakarta-Pustaka Hidayah, hal. 385-386 17 Abu Bakar Atjeh, h. 79-80

6

17. Mencegah murid dari banyak makan sehingga mengganggu kegiatan latihan spiritualnya. 18. Membatasi hubungan murid dengan syaikh lain yang bisa menyebabkan akibat kurangbaik bagi sang murid. 19. Melarang dan mengawasi kedekatan murid dengan penguasa yang dapat mendorong nafsu dunia mereka. 20. Mursyid harus bertuturkata lembut, bijak, dan sejauh mungkin menghindari katakata yang bisa menjauhkan murid darinya. 21. Memenuhi undangan dengan penghormatan dan ketawadhu’an. 22. Menjaga sikap baik dan menghindari perilaku yang bisa mengurangi rasa hormat murid saat duduk bersama mereka. 23. Jangan memalingkan muka ketika bertemu murid dan memanggil mereka meski tidak ada sesuatu yang akan ditanyakannya. Apabila ia datang kepada murid, hendaklah dijaga adab sopan-santun dan tingkah-lakunya dalam keadaan sebaikbaiknya. 24. Memberi perhatian penuh kepada murid dengan menengok ketika sakit dan membantu ketika butuh pertolongan.18 Di sisi lain, seorang murid juga memiliki kewajiban penghormatan terhadap Sang Mursyid. Penghormatan terhadap guru merupakan bagian tak terpisahkan dalam meniti jalan tarikat. Pada tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah misalnya, adab-adab seorang murid kepada guru antara lain; pertama, memuliakan guru baik lahir maupun batin. Kedua, Meyakini bahwa keinginan murid tidak akan berhasil bila tidak didahului tawasul terhadap gurunya. Ketiga, Pasrah dan patuh serta ridlo terhadap apa yang diperintahkan oleh gurunya dengan mengikhlaskan harta dan badannya. Keempat, Tidak melawan terhadap setiap hal yang dilakukan guru walaupun itu bertentangan. Kelima, Tidak boleh punya keinginan terhadap apa yang jadi keinginan gurunya, baik itu ibadah, atau wadah juziyah atau kulliyah. Keenam, Tidak membeberkan aib gurunya walaupun aib tersebut sudah di ketahui orang banyak. Ketujuh, Tidak menikahi wanita yang disukai oleh gurunya. Kedelapan, Menjauhi perkara yang tidak disukai oleh gurunya, dan melakukan semua yang di perintahkan oleh gurunya.19 Tarekat : Sejarah dan Latar Belakang Seperti halnya organisasi-organisasi hukum keagamaan (fiqih) dan teologi (kalam), ajaran tasawuf selanjutnya melembaga dalam organisasi spiritual tarekat. Kemunculan dan kediriannya dilakukan secara bertahap sehingga mencapai puncak kemapanan sebagai sebagai suatu organisasi tarekat. Fase penting pembentukan tarekat berlangsung mulai abad ke–9 M sampai 11 M dengan munculnya para tokoh tasawuf sebagai pendiri gerakan spiritual tersebut. Selain rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual, tarekat-tarekat sufi abad ini mulai menggunakan pusat-pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan mereka seperti Khaneqah atau Zawiyya, Tekke (Turki), Ribath (Afrika

18

Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi, terj., 2013. Tanwir al Qulub fi Muamalati Allami al Ghuyub. JakartaPustaka Hidayah, hal. 386-390. Lihat juga Abu Bakar Atjeh, h. 80 - 84 19 Hambali Sumardi, Risalah Mubarakah, Menara Kudus: Kudus, tt, hal. 31-32.

7

Utara), Jama'at Khana atau Khaneqah (anak benua India). Selain menjadi pusat pengajaran, tempat-tempat ini menjadi benteng para pengikut tarekat dalam membela ajaran sufi. Terdapat beberapa faktor di balik kemunculan gerakan persaudaraan spiritual tasawuf. Pertama, kemajuan dunia Islam dan massifnya pemahaman dan pengamalan keislaman yang terlalu berorientasi hukum (fiqih oriented) yang mengabaikan aspek kedalaman spiritual. Aktifisme dunia Islam di Baghdad abad ke-3 dan ke-4 H, melahirkan berbagai kemajuan dalam sains dan material, sedang di saat yang sama iman dan spiritual masyarakat Muslim mengalami penurunan. Kondisi demikian menarik perhatian para ulama mengembalikan pemaknaan dan pengamalan Islam yang tidak kaku. Dalam hal ini berkembang kelompokkelompok keislaman di bawah bimbingan seorang ulama yang memberikan pengajaran tentang ajaran Islam, mulai dari fiqih hingga tasawuf. Kelompok kelompok ini biasanya belajar pada tempat khusus belajar dan ibadah, yakni ribath atau zawiyah. Kedua, masih berlangsungnya gengsi politik dan spiritual keagamaan antar Klan Hasyim dan Klan Umayah sejak pra-Islam sampai Islam sendiri mendirikan berbagai dinasti politik. Naik turun kedua klan dalam wilayah politik telah turut mempengaruhi lahirnya gerakan persaudaraan spiritual. Hal ini menemukan konteksnya ketika konflik kedua klan berujung pada kematian Ali RA dan teror terhadap keturunannya, sedang di saat yang sama Klan Ummayah naik ke panggung politik dan menjadikan keturunan Ahli Bayt sebagai musuh yang harus diperangi. Mengingat kondisi demikian, wilayah penguasaan spiritual berupa persaudaraan tarekat menjadi wilayah yang paling mungkin diisi keturunan Klan Hasyim. Ini dibuktikan dengan banyaknya anak turunan Ali yang terlibat sekaligus menjadi pusat jalur tarekat. Ketiga, besarnya pengaruh dari luar/guru sufi yang lahir dan tumbuh di wilayah dengan tradisi mistik non-Islam yang sudah mapan sebelumnya seperti Persia dan India. Dalam hal ini, tersebarnya pengaruh sufi tidak lepas dari para ulama tarekat yang lahir dan besar di wilayah bekas peradaban Persia, Hindi sendiri, sehingga meskipun muslim tetapi cara berpikir sangat dekat dengan keyakinan agama-agama Persia atau Hindu. 20 Berkaca pada latar belakang sejarah kelahirannya, perkembangn tarekat terbagi dalam tiga fase penting. Pertama, tahap Khanaqah. Khanaqah dalam istilah sufi/tarekat adalah sebuah tempat atau pusat pertemuan. Seorang Syekh hidup dengan muridnya dalam ikatan peraturan yang tidak terlalu ketat. Syekh menjadi mursyid atau guru. Amalan-amalan/zikir dan metode yang mereka lakukan tidak semuanya bersumber dari ajaran guru. Mereka melakukan kontemplasi kadang-kadang secara individual atau sebaliknya bersama-sama. Hal ini terjadi sekitar abad ke-10 M. Kedua, fase Tarekat. Pada fase ini ajaran-ajaran, metode, peraturan-peraturan sudah mulai terbentuk. Semua amalan yang dilakukan berpusat pada ajaran guru. Guru adalah sosok kharismatik yang wajib dipatuhi. Guru memiliki silsilah tarekat yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Dalam tahap ini para sufi mencapai kedekatannya dengan Tuhan dengan istilah-istilah tertentu seperti ma’rifat, mahabbah, dan sebagainya. Fase ini berlangsung sekitar abad 13 M. Tahap ketiga, fase tha’ifah. Pada tahap ini, tarekat memiliki arti lain yaitu organisasi sufi yang bertujuan melestarikan ajaran Syekh. Murid, setelah masa tertentu, tidak lagi harus bersama gurunya. Mereka boleh mendirikan cabang di tempat lain. Bahkan banyak cabang tarekat yang pada akhirnya berbeda dengan tarekat asalnya. Dalam kaitan inilah muncul dan berkembangnya berbagai organisasi atrekat 20

Aboebakar Atjeh, h.

8

atau aliran tasawuf hingga saat ini. Fase ini dimulai abad ke-15 M. Pada masa ini terjadi transisi ajaran dan peraturan kepada pengikut.21 Para awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Model Iraq, diasaskan pada Syekh Junaid al-Baghdadi, sedang Model Khurasan diasaskan kepada Bayazid al-Bhistami. Perbedaan paling awal kedua model ini adalah dalam mengartikan tawakkul. Perbedaan paling jelas adalah pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety). Model Mesopotamia merupakan kelanjutan tradisi spiritual yang dipusatkan pada ribath, pos perhentian dan atau tangsi tentara. Sedangkan model Khurasan berasal dari para sufi biasa berkumpul di khanaqah, pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang kaya yang berfungsi sebagai rumah pristirahatan sekaligus pertemuan informal.22 Di dunia Islam kini, berkembang sejumlah organisasi persaudaraan sufi. Beberapa tarekat yang cukup populer di dunia Islam diantaranya 23: 1. Tarekat Qadiriyah Qadiriyah didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (l. 470 – w. 561H/l. 1077 – w. 1166 M) atau dikenal sebagai Quthb al-Awliya. Selain sebagai seorang ulama fiqih yang sangat dihormati di kalangan Sunni, ia juga dianggap wali dalam dunia tarekat dan tasawuf Islam. Sebagai seorang ulama, ia banyak menuliskan karya seperti al-Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, al-Fath ar-Rabbani, Sirr al-Asrar, Asror Al-Asror, Malfuzhat, dan Mukhtasar ‘Ulumuddin. Sedang sebagai sufi dan pemimpin tarekat, ia menghabiskan masa selama 25 tahun menjadi pengembara sufi di Padang Pasir Iraq, memimpin madrasah dan ribath di Baghdad sejak 521 H hingga wafatnya. Madrasah ini terus bertahan di bawah asuhan anak-anaknya seperti Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M. Ciri khas dari Tarekat Qadiriyah ini adalah sifatnya yang luwes, tidak sempit sehingga tuan syekh atau Syekh Mursyid yang baru dapat menentukan langkahnya menuju kehadirat Allah SWT guna mendapat keridlaan-Nya. Keluwesan dan kemandirian inilah, yang menyebabkan tarekat ini cepat berkembang di sebagian besar dunia Islam. Terutama di Turki, Yaman, Mesir, India, Suria, Afrika dan termasuk ke Indonesia. Bahkan, beberapa kelompok tarekat mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari tarekat ini seperti Banawa (abad ke-19 M), Ghawtsiyah (1517 M), Junaidiyah (1515 M), dan Kamaliyah (1584 M) yang seluruhnya berkembang di India; Hindiyah dan Khulusiyah di Turki; Ahdaliyah, Asadiyah, dan Mushariyyah di Yaman; Tarekat Ammariyah dan Tarekat Bakka'iyah di Afrika.

21

Lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam. 1971. Oxford: The Clarendon Press. Lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam. 1971. Oxford: The Clarendon Press. 23 Lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam. 1971. Oxford: The Clarendon Press. Bandingkan dengan Sri Mulyati (et.all), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2011. 22

9

Sementara di wilayah nusantara, perkembangan tarekat ini tidak lepas dari peran Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi yang kemudian mengabungkannya dengan tarekat Naqsyabandiyah sehingga menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah. Setelahnya, tarekat ini dikembangkan para muridnya di beberapa daerah nusantara seperti Syaikh Abdul Karim di Banten, Syaikh Ahmad Thalhah di Cirebon, Syaikh Ahmad Hasbullah di Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim di Bali, Syaikh Yasin di Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad di Lampung, dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib di Palembang. 2. Syadziliyah Perkembangan jtarekat ini dirintis oleh ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd Al-Jabbar alHasan al-Syadzili atau biasa dikenal Abu Al-Hasan Asy-Syadzili (l. 593 – w. 656 H/l. 1196 – 1258 M). Dalam mengembangkan pengaruh sufistiknya, Asy-Syadzili tidak meninggalkan catatan sistematis berupa kitab maupun risalah penting. Praktik dan ajaran tasawufnya seperti doa dan hizb tersebar secara lisan, bahkan pada murshid kedua tarekat ini Abul Abbas al-Mursi (w. 686 H/1288 M) tidak meninggalkan karya yang secara sistematis menuliskan prinsip penting ajaran tarekat ini. Namun menurut Schimmel, AsySyadzili memiliki sebuah karya berjudul Hizb al-Bahr yang berisi sekumpulan doa/hizb yang sepertinya dipakai juga oleh Ibn Batuta.24 Ajaran dan praktik tarekat ini baru mulai terkodifikasikan dengan baik melalui tangan Ibn Atha'illah as-Sukandari (l. 648 H/1250 M – w. (w. 709 H/1309 M). Ibn Atha'illah, murshid ketiga tarekat ini, adalah orang pertama yang mengkodifikasikan ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi kedua murshid sebelumnya, sehingga gagasan dan praktek tasawuf tareqat ini tetap terpelihara. Ibn Atha'illah menyusun karya-karya paripurna tentang aturan-aturan, pokok-pokoknya, prinsip-prinsip tarekat yang bisa dibaca para pengikut tarekat Syadzhiliah hingga saat ini. Dua diantara karyanya yaitu Latha’if al-Minan, yang didedikasikan khusus bagi kaum Syadziliyyah, dan Al-Hikam yang memuat 262 aphorisma yang memuat ajaran-ajaran tasawuf.25 Selain Latha’if al-Minan yang memuat biografi dua guru pertama tarekat ini dan Al-Hikam rangkuman ajaran sufistik, Ibn Atha'illah juga menulis sejumlah karya lain bagi kelangsungan tarekat ini yaitu al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, Al-Qashd al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, dan Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah.26 Sekurangnya terdapat tujuh poin pemikiran al-Syadzili dalam yang berpengaruh besar pada nuansa praktik dan pemikiran tarekat Syadziliah. Diantaranya, tidak dianjurkannya para pengikut tarekatnya meninggalkan profesi dan kewajiban duniawi, penekanan ketaatan menjalankan syari’at Islam, kezuhudan sebagai pengosongan hati dari selain Tuhan, ketiadaan larangan anggota tarekat untuk memiliki kekayaan (bahkan jabatan tinggi), tidak menafikan pentingnya aktifitas dalam realitas sosial di’bumi’, tasawuf sebagai latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT, penempatan al-Ma’rifah (Gnosis) sebagai salah satu tujuan tarekat yang

24

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, hal. 317-318. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, hal. 318. 26 Lihat Mohammad Ardani, Tarekat Syadziliyah: Terkenal dengan Variasi Hizb-nya, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 69 25

10

dapat melalui jalan mawahib atau ‘ain al-Jud (kemurahhatian Tuhan) dan makasib atau badzi al-riyadhah (kerja keras).27 Karakter penting aliran tarekat ini adalah ketenangannya dalam menjalankan praktek tasawuf. Karakter ini tidak lepas dari pengaruh beberapa karya yang menjadi sumber penjelasan tasawuf seperti Kitab bar-Ri’aya yang berisi analisis psikologis tentang Islam di masa awal karya Al-Muhasibi, Quth al-Qulub karya Maki, dan Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali.28 Karakter tenang juga tidak lepas dari dua figur utama murshid tarekat ini, yaitu Ibn Atha'illah as-Sukandari sendiri dan Ibn Abbad dari Ronda (l. 1332 – w. 1390 M). mengutip Asin Palacois, Ibn Abbad dilukiskan sebagai tokoh tarekat yang gemar terhadap kondisi qabd, yakni sikap menahan diri terhadap segala sesuatu. Bahkan kata Schimmel, penulis Syarh Al-Hikam ini dengan rendah hati mengakui kalau dirinya tidak pernah menikmati dhauq atau pengalaman mistis sebagai kebahagiaan yang tak terucapkan. Kedua tarekat ini adalah tidak ditekankannya tapabrata, kehidupan menyendiri atau berzikir dengan suara lantang. Para anggota tarekat juga tidak diharapkan mengemis atau bahkan mendukung kemiskinan. Ciri lainnya adalah keyakinan bahwa seorang Syadziliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tarekat ini sudah sejak di alam Azali.29 Tarekat Syadziliyah berkembangluas di sebagian besar Dunia Muslim, mulai dari Tunisiai, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah, dan Semenanjung Arabia.30 Di Indonesia, tarekat ini terutama berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.31 Ia diwakili di Afrika Utara terutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan Darqawiyah serta berkembang pesat di Mesir, tempat 14 cabangnya dikenal secara resmi pada tahun 1985. 3. Tarekat Naqsabandiyah Kebangunan tarekat ini tidak lepas dari Muhammad bin Muhammad Bahauddin AnNaqsabandi Al-Uwaisi Al-Bukhari Nasyabandi (l. 717 H/1318 M - w. 791 H/1389M).32 Tarekat ini mempunyai pengaruh sangat besar di kalangan masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Beberapa tokoh penting yang menyebarkan tarekat ini antara lain Ya’quf Carkhi, ‘Ala’ al-Din ‘Aththar, dan Muhammad Parsa, Khwaja ‘Ubaidillah Ahrar, Sa’id al-Din Kashghari’, ‘Abd al-Rahman Jami, Baqi Billah, dan Syaikh Sirhindi. Di Nusantara, Syaikh Yusuf al-Maqossari alBantany (l. 1626 – w. 1699 M) adalah tokoh awal yang mengenalkan tarekat ini. 27

Lihat Mohammad Ardani, Tarekat Syadziliyah: Terkenal dengan Variasi Hizb-nya, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 73-75 28 Beberapa kitab tasawuf yang diajarkan al-Syadzili kepada murid-muridnya, antara lain Ihya ‘Ulum al-Din karya Abu Hamid al-Ghazaly, Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Khatm al-Auliya karya Hakim alTirmidzi, al-Mawaqif wa al-Mukhathabah karya Muhammad ‘Abd al-Abbar, al-Syifa karyaQadhli ‘Iyadh, arRisalah karya al-Qusyairi, dan al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn ‘Athiah. Lihat Mohammad Ardani, Tarekat Syadziliyah: Terkenal dengan Variasi Hizb-nya, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 59-60 29 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, hal. 316-322 30 Hasan Muarif Ambari, 1996. Ensiklopedi Islam Jakarta: PT IKhtiar Baru Van Hoeve, hal. 193 31 Lihat Mohammad Ardani, Tarekat Syadziliyah: Terkenal dengan Variasi Hizb-nya, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 65-66 32 Untuk biografi lengkapnya lihat HA Fuad Said, 1996. Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah. Jakarta: Husna Zikra, h. 23

11

Selanjutnya dikembangkan Syaikh ‘Utsman al-Puntiani di Kalimantan (Pontianak), Syaikh Fath al-Bari di Madura, Jalaluddin dari Cangking dan ‘Abd al-Wahab di Sumatera (Padang), dan Muhammad Ilyas dan Muhammad Hadi di Jawa Tengah.33 Ciri menonjol Tarekat Naqsabandiyah adalah : Pertama, mengikuti syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah sehingga menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari-tarian dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekati Negara pada agama. Ciri terakhir membuat tarekat ini cenderung tidak mengisolasi diri dari lingkungan kekuasaan politik di sekitarnya. Dalam prakteknya, tarekat ini menempatkan zikir sebagai titik berat pengamalan berupa menyebut nama Allah (la ilaha illalloh) secara berulang-ulang dengan tujuan kesadaran akan Allah dalam sanubarinya. Praktek ini dilakukan secara diam dan tersembunyi (khafiy). Ada dua jenis zikir yang dilakukan dalam tarekat ini, yaitu Zikir Ism al-Dzat dan Zikir Tauhid. Zikir pertama berupa mengingat Allah dengan melafalkan nama-nama Allah dalam hati ribuan kali sambil memusatkan kesadaran akan Allah. Sedangkan zikir kedua dilakukan dengan kesadaran mengingat kesaan-Nya melalui pembacaan kalimat la ilaha illalloh dengan cara dan teknik tertentu.34 4. Tarekat Rifa’iyah Tarekat ini didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’i (l. 1106 M - w. 1182 35 M). Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl al-Manufi, ar-Rifa’i meletakkan tigas ajaran dasar Tarekat Rifa'iyah, yaitu : 1) Tidak meminta sesuatu, 2) Tidak menolak, dan 3) Tidak menunggu. Menurut asy-Syarani, tiga hal sangat ditekankan dalam tarekat yaitu zuhud, tentang ma’rifat dan cinta ilahi. Zuhud dimaknai sebagai maqam dari berbagai tingkatan maqam yang disunnahkan dimana hal ini menjadi langkah pertama yang harus ditempuh oleh siapapun yang ingin berjalan menuju Tuhan. Orang yang belum menguasai perilaku kezuhudan tidak akan benar untuk melakukan langkah selanjutnya. Adapun ma’rifat difahami sebagai penyaksian kehadiran Tuhan dalam makna kedekatan disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat realitas secara benar-benar yakin. Sedangkan cinta ilahi mengantar kepada kerinduan dan ma’rifat mengantar pada kefanaan atau ketiadaan diri. Tarekat Rifa’iyah berkembang di berbagai pelosok dunia Islam, seperi Turki, Suriah, Mesir, dan Indonesia. Salah satu murid Syaikh ar-Rifa’i, Abu al Fath al Wasiti (w. 580 H) menjadi salah satu penyebar penting pengaruh tarekat ini di Iskandariyah, Mesir. Dalam 33

Lihat Wiwi Siti Sajaroh, Tarekat Naqsyabandiyah: Menjalin Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 91-102 34 Lihat Wiwi Siti Sajaroh, Tarekat Naqsyabandiyah: Menjalin Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 102-111. Bandingkan dengan Muhammad Amin al-Qurdi, Tanwir al-Qulub. Kairo. 35 Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’i lahir di Qaryah Hasan, Basrah sekitar tahun 500 H/1106 M, riwayat lain ia lahir pada tahun 512 H / 1118 M. Ia berguru kepada kedua pamannya Mansur al-Bathaihi dan Abu al-Fadl Ali al-Wasiti, baik tasawuf maupun fikih mazhab Imam Syafi'i. Pada usia 21 tahun, ia sudah mendapatkan ijazah dan khirqah (ijazah) dari pamannya al-Bathaihi, sebagai pertanda telah mendapat wewenang untuk mengajarkan tasawuf. Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk arRifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.

12

perkembangannya, Tarekat Rifa’iyah berkembang menjadi beberapa kelompok, mulai dari Al-Haririyah (pendirinya Al Hariri), Sa’diyah (pendirinya Sa’duddin Jibawi (w. 1335 M), dan Sayyadiyah. Di Mesir sendiri, tarekat ini terdiri dari beberapa aliran seperti Baziyah, Malikiyah, dan Habibiyah. Di Indonesia, tarekat ini juga tersebar di Nusantara, mulai di Aceh, Jawa, Sumatera Barat, dan Sulawesi. Tarekat ini di Indonesia terkenal dengan sejumlah ritualnya seeprti permainan debus dan tabuhan rebana Rifa’i di Aceh, atau Badabuih di Sumatra Barat, dan debus di Banten. Ritual debus sepertinya mengacu pada kata Bahasa Arab, Dabbus atau sepotong besi yang tajam). Ini juga terlihat dari jenis permainannya yang dilakukan para pengikut Rifa’iyah dengan menikam diri mereka dengan benda-benda tajam sambil berdzikir. Ketika berdzikir mereka diiringi dengan suara gemuruh tabuhan rebana (meskipun mereka ditikam benda tajam mereka tidak terluka). Jadi permainan debus dan rebana, erat kaitannya dengan tarekat rifa’iyah. Dan salah satu ciri dari tarekat ini adalah dzikir yang nyaring dan lantang bahkan keras dan meraung-raung.36 5. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Kemunculan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah tidak lepas dari peran keagamaan ulama asal Nusantara, Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abdul Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Pada mulanya, imam Masjidil Haram ini merupakan sufi besar dari Tarekat Qadariyah. Kemudian dia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqoh Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada muridmuridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia. Setelah mencapai tingkatan tertinggi dalam tarekatnya, Syaikh Ahmad Khatib mengabungkan ajaran tarekat qadariyah dan Naqsyabandiyah karena sejumlah alasan mendukung. Selain karena kedua memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dan metode dzikirnya, kedua tarekat juga memiliki kecenderungan sama, yaitu menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud, Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahar Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Sebetulnya seperti disebutkan dalam kitab Fath al-'Arifin, penggabungan ajaran bukan hanya kedua tarekat ini, melainkan juga memasukan unsur-unsur ajaran tasawuf lain yaitu Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Namun karena ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah yang paling besar pengaruhnya, maka tarekat ini disebut Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dengan gabungan berbagai ajaran, tarekat ini mencatatkan empat ajaran pokok yaitu kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah. Sementara penyebarannya lebih banyak di di kalangan Muslim Asia Tenggara.37 6. Tarekat Sammaniyah

36

Lihat M. Abdul Mujieb dkk., 2009. Ensiklopedi Tasawuf Imam al-Ghazali. Jakarta: Hikmah, hal. 377-381 Paparan lebih lengkap bisa dilihat dalam Ismail Nawawi, 2009. Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Surabaya: Karya Agung. 37

13

Kedirian tarekat ini tidak lepas dari peran Syaikh Samman atau Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Madani Al-Syafi’i As-Sammani (l. 1130 H/1718 M-w. 1189H/1775M).38 Sebelum mendirikan tarekat sendiri, Syaikh Samman pernah mempelajari dan mempraktekan jalan mistik baik dalam organisasi Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Qadiriyah, dan Tarekat Syadziliyyah. Sebagai anggota Tarekat Qadariyah, ia misalnya dikenal juga dengan nama Muhammad bin ‘Abd Al-Karim AlQadiri As- Sammani. Sedang mempelajari Tarekat Qadiriyah, ia cukup dipengaruhi seorang guru tarekat tersebut yang berpengaruh pada masanya, yaitu ‘Abd al-Ghani alNabulusi. Adapun Tarekat Syadziliah, ia pelajari sebagai organisasi spiritual ini karena kekhasan Maghribi-nya. Dari berbagai ajaran dan praktek tarekat ini, Syaikh Samman selanjutnya meracik sendiri tarekatnya dengan nama al-Muhammadiyah (jalan Nabi Muhammad).39 Salah satu ajaran yang melekat dalam Syaikh Samman adalah ia merupakan pengikut aliran wahdat al-wujud (pantheism). Syaikh Samman diceritakan sering mengalami ekstase dan mengucapkan kalimat-kalimat syathahat. Namun berbeda dengan syathahat para sufi lain, dalam syathahat-nya Syaikh Samman mengaku sebagai ‘Muhammad’. Dengan demikian, keyakinan wahdat al-wujud-nya tidak berbenturan dengan syariat. Dari sisi ritual/praktek bertarekatnya, Tarekat Sammaniyah mempraktekan zikr yang terdiri dari zikir naïf itsbat, zikir ism al-jalalah, zikir ism al-‘isyarah, dan zikir khusus atau zikir Ah Ah. Zikir naïf itsbat adalah pengucapan berulang la ilaha illalloh sebagai zikir yang menafikan selain Allah SWT sekaligus menetapkan-Nya dan diberikan bagi pengikut pemula. Zikir ism al-jalalah dilakukan dengan membaca Allah Allah dan khusus diberikan kepada murid yang sudah meningkat dari posisi pemula. Zikir ism al-‘isyarah, yaitu zikir dengan membaca Huwa Huwa yang diberikan kepada murid yang sudah mencapai tingkatan tinggi/mursyid. Adapun zikir khusus, membaca Ah Ah, diperuntukan bagi murid yang sudah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam tertinggi (ma’rifatullah).40 Seperti halnya tarekat-tarekat muktabarah lain, tarekat ini berkembang cukup luas di dunia Islam, termasuk Nusantara. Penyebaran tarekat ke wilayah Nusantara terkait dengan peranan tiga ulama Nusantara yang berguru langsung kepada Syaikh Samman, yaitu Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani, Tuan Haji Ahmad, dan Muhyiddin bin Syihabuddin. Dalam kerangka tarekat inilah al-Palimbani menulis Hidayah al-Salikin yang berisi tata cara berzikir dan Sair al-Salikin yang berisi catatan tentang lingkungan intelektual Syaikh Samman, termasuk kitab-kitab dan ulama-ulama yang dekat dengan Syaikh tersebut. Hingga kini, ajaran tarekat ini masih dipraktekan sejumlah kalangan 38

Syaikh Samman lahir di Madinah dengan nasab yang bersambung pada keluarga Quraisy. Ia memiliki sejumlah guru sesuai bidang keilmuan yang diminatinya. Untuk ilmu fiqih, ia belajar kepada Muhammad AlDaqqaq, Sayyid ‘Ali al-‘Aththar, Ali al-Qurdi, ‘Abd Wahab al-Thanthawi, dan Said Hilal al-Makki. Untuk ilmu hadits, bersama Muhammad Ibn Abdul Wahab (pendiri Wahabism), ia belajar kepada Muhammad Hayat. Sedangkan tasawuf, ia belajar kepada Musthafa bin Kamal al-Din al-Bakri. Lihat Azyumardi Azra, 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta, Prenada, h. 159. 39 Martin van Bruinessen, 1999. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, hal. 56-57 40 Yulita Mansyur, 1995. Tarikat Khalwatiyah Yusuf dan Tarikat Khalwatiyah Samman di Desa Kassi dan Desa Pattene. Skripsi. UI: Fakultas Sastra, hal. 4-47

14

Muslimin di beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan berbagai daerah lain.41 7. Tarekat Tijaniyah Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani (l. 1150 H/1737 M – w. -1230 H/1815 M).42 Melalui banyak murid dan organisasi spiritualnya, tarekat ini berkembang luas di beberapa belahan dunia Islam, termasuk Nusantara. Beberapa negara yang menjadi persebaran tarekat ini seperti Aljazair, Tunisia, Senegal, Mauritania, Guinea, Nigeria, Gambia. Di Indonesia, beberapa tokoh yang menjadi penyebar antara lain seperti Syaikh ‘Ali bin ‘Abd Allah al-Thayyib di Tasikmalaya dan Cirebon, KH Umar Baidawi di Jawa Timur. Secara umum, praktek zikir (wirid) dalam tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yakni istghfar, shalawat, dan hailalah. Ketiganya menjadi satu kesatuan sistematis ajaran taswauf tarekat ini. Istighfar difahami sebagai proses menghilangkan noda-noda rohaniah sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Shalawat difahami sebagai materi pengisian setelah penyucian jiwa yang mengantarkan manusia yang bermunajat mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi media perantara antara manusia (sebagai salik) dengan Allah (zat yang dituju). Sedangkan hailalah (tahlil) merupakan jalan efektif bagi manusia untuk menghadap dan menyatukan diri dengan Allah. Ketiganya menjadi satu kesatuan penting sang salik untuk berada pada sisi Tuhan. Sementara dalam praktiknya, Tijaniyah mengembangkan dua jenis wirid, yaitu wirid wajibah,yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan pengikutnya, dan wirid ikhtiariyah sebagai wirid yang tak memiliki ketentuan khusus. Wirid pertama memiliki tiga jenis, yaitu wirid lazimah, wirid wazhfiyah, dan wirid hailalah. Setiap jenis wirid ini memili ketentuan waktu, isi dan teknik berbeda-beda.43 8. Tarekat Chistiyah Chistiyah adalah salah satu tarekat sufi utama di Asia Selatan. Tarekat ini meyebar ke seluruh kawasan yang kini merupakan wilayah India, Pakista dan Banglades. Namun, tarekat ini hanya terkenal di India. Pendiri tarekat ini di India adalah Khwajah Mu’in AdDin Hasan, yang lebih populer dengan panggilan Mu’in Ad-Din Chisti (Sijistan, 536-633 H/1142 – 1236 M). Ia berguru kepada Khwajah Usman Harwani dan Syaikh ‘Abd alQadir Jilani. Di awal pendiriannya, tarekat ini berideologi Sunni dengan menjadikan beberapa karya Sufi sebagai bacaan populer seperti ‘Awarif al-Ma’arif karya Syihab alDin Abu Hafsh ‘Umar Syuhrawardi (539 H-632 H/1145-1234 M) dan Kasyful Mahjub karya Al-Hujwiri. Belakangan, setelah Sang Pendiri wafat, kelompok tarekat ini mulai 41

Lihat Ahmad Abrori dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal.191-196 bandingkan dengan Miftah Arifinh, 2013. Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, hal. 87-105. 42 At-Tijani lahir di ‘Ain Madi, selatan Aljazair, dan wafat di Fez, Maroko. Sebelum menjadi tokoh sufi besar, at-Tijani banyak melakukan perjalanan panjang untuk bertemu dan berguru ke sejumlah sufi besar di masanya. Lihat Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal.217222. 43 Lihat A. Fauzan Adhiman Fathullah, 2007. Thariqah Tijaniyah: Mengemban Amanat lil-‘Alamin. Kalimantan Selatan: Yayasan al-Anshari Banjarmasin, hal. 195. Bandingkan dengan Syamsuri, Tarekat Tijaniyah, dalam Sri Mulyati (ed.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hal.234-238.

15

terpengaruh doktrin Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi. Syaikh Muhibb Allah dari Allahabad sebagai tokoh Chistiyah yang paling berpengaruh dalam mengikuti ideologi wahdat alWujud ini. 9. Tarekat Mawlawiyah Nama Mawlawiyah berasal dari kata ‘Mawlana’ (guru kami), yaitu gelar yang diberikan murid-muridnya kepada Muhammad Jalal Ad-Din Ar-Rumi (l. 1207 - w. 1273 M). Rumi mendirikan tarekat ini di 15 tahun terakhir hidupnya, searah dengan perkembangan pemikirannya dari seorang teolog menjadi penyair dan mistikus setelah bertemu dengan seorang darwisy, Syams al-Din Tabrizi.44 Berbeda dengan tarekat lain yang menekankan penyempurnaan diri dengan menjadi derajat insan kamil baik melalui ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru dan penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujud) yang berkembang sebelumnya, Rumi yang seorang hakim dan faham syariat, lebih menekankan seni sebagai titik tekan dalam mencapai kedekatan dengan Tuhan. Ia memanfaatkan puisi, tarian, dan musik dari seruling dan rebab untuk mengiringi dzikir (sema’) sambil menari memutar-mutar. Dengan karakter khasnya yang menari secara berutar, tarekat Rumi di Barat dikenal sebagai The Whirling Darvish (Para Darwisy yang Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh para Darwish (fuqara’) dalam pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai dukungan eksternal terhadap upacara-upacara (ritual mereka). Dalam praktiknya, Sama’ terbagi dalam dua bagian. Pertama terdiri dari Naat (sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad), improvisasi Ney (seruling), atau taksim dan “Lingkaran Sultan Walad”. Adapun bagian kedua terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Quran, dan doa. Sementara pemikiran penting dalam tarekat ini terakumulasi dalam tiga gagasan, yaitu Tuhan, alam semesta, dan manusia. Tuhan dalam pemikiran tarekat ini difahami sebagai Yang Awal, Yang Akhir, Yang Dhohir dan Yang Bathin. Tuhan menjadi muasal sekaligus muara semesta (baca, manusia). Sementara alam, diciptakan Tuhan dengan motif kecintaannya. Menurut Rumi, alam semesta bukan benda mati, melainkan hidup, berkembang, dan berfikir. Sedangkan manusia merupakan bagian istimewa dalam hubungannya Tuhan dan semesta. Dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia menempati posisi tinggi sebagai wakil-Nya, sedangkan hubungannya dengan alam adalah bahwa karena manusia merupakan alasan di balik penciptaan alam sebagai tempat manusia beribadah bagi manusia.45 Khatimah : Dari Spiritualitas, Perlawanan Kolonial dan Wajah Moderat Islam Dalam perkembangannya, tidak hanya menjadi basis gerakan keagamaan yang bertujuan penyucian spiritual dan kedekatan makhluk dengan pencipta, tarekat Sufi juga berafiliasi dengan gerakan politik dan militer lokal. Tarekat menjadi motor penggerak gerakan politik dan militer di berbagai belahan dunia Islam saat kolonialisme Barat 44

Sri Mulyati, 2004. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana, hal. 321 untuk biografi lebih lengkap bisa dibaca William Chittick, 1974. The Sufi Doctrine of Rumi; an Introduction. Tehran: Aryamehr University Press. 45 Sri Mulyati, 2004. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana, hal. 321

16

berlangsung. Dalam konteks ini, tarekat-tarekat yang tumbuh dan berkembang suburnya mendorong fanatisme keagamaan ditambah gagasan-gagasan eskatologis Islam sehingga mendorong para anggota tarekat menjadi kelompok-kelompok revolusioner militan, yang bertujuan menggulingkan kekuasaan pemerintah Kolonial.46 Dalam era modern, jaringan Sufi dalam tarekat dipromosikan untuk menghadirkan gambaran Islam moderat. Pemerintahan negara-negara Eropa mempromosikan Sufisme dan Tarekat sebagai perlawanan kultural otentik Islam yang moderat terhadap Gerakan Politik Islam berhaluan keras seperti Ikhwan al-Muslimin. Meski tidak seluruhnya, sufisme sebagai jalan penyucian spiritual individu dinilai sesuai dengan sekulerisme Barat yang memisahkan agama dari wilayah publik ke dalam wilayah privat.47 Jauh sebelum tren pemerintahan Barat mendorong Sufisme, sufisme telah lebih dulu tumbuh menjadi gerakan spiritual yang memungkinkan masyarakat Muslim dan Non-Muslim sekalipun meniti perjalanan spiritual dari guru spiritual yang sama.48 Beberapa tokoh sufi dari Timur seperti Hazrat Inayat Khan dan beberapa Sufi Tarekat menjelajah Barat untuk menyebarluaskan ajaran sufistik universal (universal Sufism) sebuah kecenderungan relatif sama dengan universalisasi mistik kabbalah dalam tradisi Yahudi.49

46

Di Indonesia, tak kurang dari 400 gerakan perlawanan fisik kepada Pemerintah Kolonial Belanda dipimpin para ulama tarekat. Salah satu yang terbesar adalah peristiswa pemberontakan petani di Cilegon Banten tahun 1888. Pemberontakan ini dipimpin tiga serangkai ulama sekaligus murid Syaikh Abdul Karim dan Syaikh Nawawi Al-Bantani, Mursyid Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah (TQN), yaitu KH Wasith, H Marjuki dan KH Tubagus Ismail. Lihat Hendri F Isnaeni, Doktrin Agama Syekh Abd Karim Al-Bantani Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888. Bandingkan juga Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: 1888. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984 47 Pasca pemboman jalur kereta bawah tanah Juli 2005 dan kekuatiran terorisme 9 September 2001, Inggris mendorong berdirinya Dewan Sufi Muslim (Sufi Moslem Council) di negara tersebut. Kehadiran dewan ini diharapkan mendorong sikap masyarakat Muslim yang moderat, meski kehadiran lembaga ini mengundang banyak pertanyaan kalangan Muslim Inggris. Lihat http://www.pewforum.org/2010/09/15/muslim-networksand-movements-in-western-europe-sufi-orders/ lihat juga http://www.theguardian.com/politics/2006/ jul/19/immigrationpolicy.religion 48 lihat Zaenal Muttaqin, Titik Temu Agama-Agama dalam Pemikiran Sufistik Hazrat Inayat Khan. Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2006. 49 Zaenal Muttaqin, 2006. Titik-Temu Agama-Agama dalam Pemikiran Sufistik Hazrat Inayat Khan. Skripsi Jurusan Perbandingan Agama. UIN Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

17

More Documents from "Dhika Wahyu Trisna Putra"