Tanya-jawab-tentang-pembelajaran-pendidikan-ips-1.docx

  • Uploaded by: Meidita Sari
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tanya-jawab-tentang-pembelajaran-pendidikan-ips-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 23,017
  • Pages: 52
TANYA-JAWAB TENTANG PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS 1

Untuk mengajar ilmu ekonomi seorang guru disamping harus memahami pengertian dan makna, ia harus memahami “ method of thingking sturure dan body of knowledge” keilmuaannya coba jelaskan metohod of thingking, sturukture dan body of knowledge ilmu ekonomi itu ? Jawaban Method of thinking yaitu metode berfikir yaitu dengan menggunakan model matematik sebagai analisis dengan pendekatan grafis dan tabel sebagai alat untu menggambarkan fakta-fakta dan pendekatan diagramatis yang digunakan sebagai alat untuk menyederhanakan model berfikir dan metoda berfikir verbal dan kontekstual yaitu dengan menggunakan konteks sebagai alat Bantu untuk menjelaskan fenomena-fenomena sedangkan dilihat dari body of knowledge yaitu di pandang aksiomanya yaitu perlunya alokasi distribusi dan kajiannya bersifat analitis dengan menggunakan teori ata model : yaitu suatu penyederhanaan dari kenyataan yang digunakan ntuk membuat pkiran atas dunia nyata dan kategori ilmu ekonomi menjelaskan bagaimana suat operekonoman belangsung aau berbicara cara kerja perekonomian yait berdasarkan faktafakta yang kegunaan nya untuk menjelaskan, memprediksi, memberi arahan/landasan dan digunakan sebagai pegangan. Ilmu ekonomi dapat diringkas sebagai berikut : Ilmu ekonomi adalah suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang per orang dan kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Manusia mempunyai keinginan yang tidak terbatas. Untuk memuaskan berbacam ragam keinginan tersebut, tersedia seubmer daya yang dapat digunakan. Berbagai sumberdaya ini tidak tersedia dengan bebas. Karenanya, sumber daya ini langka dan mempunyai berbagai kegunaan laternatif. Pilihan kegunaan dapat terjadi antara penggunaan sekarang (hari ini) dan penggunaan hari esok (masa depan). Karen itu, cakupan pilihan atas sumberdaya yang tersdia meliputi penggunaan sekarang danpenggunaan masa depan. Selain itu, penggunaan semberdaya tersebut menimbulkan pula biaya dan manfaat. Mengingat adanya biaya dan manfaat, maka diperlukan pertimbangan efisiensi dalam penggunaan sumber daya (Gerardo F Sikat) Rumusan di atas merupakan difinisi paling lengkap mengenai subyek ilmu ekonomi pada masa-masa sebelumnya, orang sering mendifinisikan ilmu ekonomi dalam satu kalimat saja. Rumuan yang paling terkenal sebagai definisi ilmu ekonomi adalah studi mengenai manusia dalam mempertahankan kehidupannya sehari-hari. Definisi lain merumuskannya sebagai studi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan materil manusia. Setiap upaya untuk membuat definisi yang teridiri dari satu kalimat saja cenderung gagal karena masih ada sesuatu yangharus dijelaskan lebih lanjut agar dapat dipahami sepenuhnya. Hal yang paling penting sesungguhnya adalah mengenai aspek-aspek ilmu ekonomi berikut ini : 1. meruapakan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan prilaku manusia. 2. kajian utamanya adalah pilihan-pilihan baik sekarang maupun yang akan datang, yang mempengaruhi produksi barang, distribusi, imbalan yang timbul dari proodkuksi itu dan kahirnya konsumsi barang-barang tersesbut. Dalam kaitan demikian, ilmu ekonomi berkaitan dengan kesejahteraan materil umat manusia. body of knowledge : 1. Ilmu ekonomi menayakan barang-barang apa (what) yang akan diproduksi, bagaimana (how) barang-barang ini diproduksi dan untuk siapa (for home) diproduksi

2. ilmu ekonomi menganalisis setiap gerakan dan perubahan yang terjadi dalam keseluruhan ekonomi misalnya kecenderungan (trend) dalam harga, hasil produksi, pengangguran, dan perdagangan luar negeri.begitu gegala-gejala tadi bisa dipahami maka ilmu ekonomi dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengenbangkan kebijakan-kebiajakan ekonominya sehingga dapat memperbaiki perekonomian. 3. ilmu ekonomi mempelajari perdagangan diantara berbgai negera. Ilmu ini membantu menenrangkan mengapa negara-negara mengeksport koomoditi tertentu dan mengimpor yang lainnya.ilmuini juga menganalisis pengaruh pembaatasan terhadap perdagangan internasional. 4. Ilmu ekonomi merupakan ilmu mengenai pilihan.ilmu ini memperlajari bagaimana orang memilih menggunakan sumber daya prodksi yang langka atau terbatas (misalnya tenaga kerja, mesin, keteramplilan teknis). Untuk memproduksi berbagai komoditui dan menyalurkannya ke barbagai anggota masyarakat untuk segera dikonsumsikan. 5. Ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang uang, perbanakn, dan kekayaan. Kemukakan tujuan pendidikan IPS dan bagaimana kaitannya dengan karakteristik pembelajarannya ? Jawab : Tujuan merupakan ukuran untuk mengetahui tercapai tidaknya progam yang telah ditetapkan. Setiap kegiatan walaupun ruang lingkupnya kecil pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, lebih-lebih kegiatan yang berimplikasi terhadap kehidupan manusia secara luas, seperti kegiatan pendidikan. Pendidikan IPS sebagai bagian integral dari program pendidikan memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan secara umum. Banyak pendapat yang mengemukakan tentang tujuan pendidikan IPS, di antaranya oleh The Multi Consortium of Performance Based Teacher Education di AS pada tahun 1973 (Djahiri dan Ma’mun, 1978:8-10), yaitu sebagai berikut: 1. Mengetahui dan mampu menerapkan konsep-konsep ilmu sosial yang penting, generalisasi (konsep dasar) dan teori-teori kepada situasi dan data baru. 2. Memahami dan mampu menggunakan beberapa struktur dari suatu disiplin atau antar disiplin untuk digunakan sebagai bahan analisis data baru. 3. Mengetahui teknik-teknik penyelidikan dan metode-metode penjelasannya yang dipergunakan dalam studi sosial secara bervariasi serta mampu menerapkannya sebagai teknik penelitian dan evaluasi suatu informasi. 4. Mampu mempergunakan cara berpikir yang lebih tinggi sesuai dengan tujuan dan tugas yang di dapatnya. 5. Memiliki keterampilan dalam memecahkan permasalahan (Problem Solving). 6. Memiliki self concept (konsep/prinsip sendiri) yang positif. 7. Menghargai nilai-nilai kemanusiaan. 8. Kemampuan mendukung nilai-nilai demokrasi. 9. Adanya keinginan untuk belajar dan berpikir secara rasional. 10. Kemampuan berbuat berdasarkan sistem nilai yang rasional dan mantap. Sedangkan menurut Somantri (2001:199): “Tujuan pendidikan IPS, di antaranya untuk membantu tumbuhnya berpikir ilmuwan sosial dan memahami konsep-konsepnya, serta membantu tumbuhnya warga negara yang baik”. Selanjutnya Somantri (2001:75), mengemukakan bahwa: “Tujuan pendidikan IPS bisa bevariasi mulai dari penekanan pada: (a) pendidikan kewarganegaraan, (b) pemahaman dan penguasaan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial, (c) bahan dan masalah yang terjadi dalam masyarakat yang dikembangkan secara reflektif”.

Sementara menurut Wahab (1998:9): Tujuan pengajaran IPS di sekolah tidak lagi semata-mata untuk memberi pengetahuan dan menghapal sejumlah fakta dan informasi akan tetapi lebih dari itu. Para siswa selain diharapkan memiliki pengetahuan mereka juga dapat mengembangkan keterampilannya dalam berbagai segi kehidupan dimulai dari keterampilan akademiknya sampai pada keterampilan sosialnya. Pendapat tersebut senada dengan tujuan IPS menurut penjelasan pasal 37 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (2003:86), bahwa: “Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat”. Secara umum beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan IPS sebagaimana di uraikan di atas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional berdasarkan pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (2003:11). Dengan demikian jelas, bahwa Pendidikan IPS memegang peranan penting dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini karena mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan nasional, juga merupakan tujuan pendidikan IPS. Kemukakan dua pendekatan yang banyak digunakan untuk memperkuat mutu pembelajaran IPS ? Jawab : PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME : Seperti cendawan di musim hujan, kini terminologi ”konstruktivisme” telah merebak dalam dunia pendidikan. Merebaknya istilah ”konstruktivisme’ itu sejalan dengan kebingungan kita khususnya dalam menerapkan pada tataran praktis dunia pendidikan. Menurut Brooks & Brooks (1993) konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi dan bukan suatu strategi pembelajaran. ”Constructivism is not an instructional strategy to be deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or way of seeing the world”. Bahkan menurut Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktip menerima yang apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktip teruama dengan membangun pengetahuan. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk menemukan suatu tujuan kenyataan (von Glasersfeld, 1989). Hal ini berbeda dengan pandangan kaum objektivis bahwa pengetahuan adalah stabil sebab kekayaan esensial objek pengetahuan dan secara relatif tak berubah-ubah. Dengan demikian secara metafisik kaum objektivis berasumsi bahwa dunia adalah riil, hal itu adalah tersusun, dan bahwa struktur itu dapat dimodelkan untuk siswa. Objectivisme masih meyakini bahwa tujuan pikiran adalah untuk "cermin" bahwa kenyataan dan strukturnya itu melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan decomposable (tidak dapat diubah). Maksudnya bahwa hal itu diproduksi oleh proses berpikir yang di luar si pembelajar, dan ditentukan oleh struktur dunia nyata (Murphy, 1997: 28).

Hal ini berbeda dengan pandangan konstruktivisme yang beranggapan bahwa pengetahuan dan kenyataan itu tidak mempunyai suatu sasaran atau nilai mutlak atau, paling sedikit, bahwa kita tidak punya cara untuk mengetahui kenyataan ini. Von Glasersfeld (1995) menunjuk dalam hubungan ini dengan konsep kenyataan: "Hal itu terdiri dari jaringan sesuatu hal dan berhubungan bahwa kita bersandar pada hidup kita, dan yang lain-pun sama taerhadapnyaa, kita percaya, orang lain bersandar juga" (Murpy, 1997: 7). Siswa menginterpretasikan dan membangun suatu kenyataan berdasarkan pada interaksi dan pengalamannya dengan lingkungan. Bukannya berpikir tentang kebenaran dalam kaitannya dengan suatu pencocokan dengan kenyataan, von Glasersfeld malahan memfokuskan pada pemikiran-pemikiran kelangsungan hidup: "Untuk konstructivisme, konsep-konsep, modelmodel, teori-teori, dan seterusnya adalah dapat berkembang terus jika mereka dapat membuktikan cukup matang dalam konteks dengannya di mana mereka telah ciptakan". Oleh karena itu dalam kontinum secara epistemologis, bahwa objectivisime dan konstructivisme akan menghadirkan kebalikan yang ekstrim. Berbagai jenis konstruktivisme sudah dimunculkan. Kita dapat membedakan antara konstruktivisme radikal, sosial, phisik, evolusiner, konstruktivisme postmodern, konstruktivisme sosial, konstruktivisme pengolahan informasi, dan konstruktivisme sistem cybernetic (Steffe & Gale, 1995; Prawat, 1996; Heylighen,1993; Ernest,1995) Dengan demikian ruang lingkup epistemologi konstruktivisme secara jelas begitu luas dan sulit untuk dinamai. Tergantung pada siapa yang anda baca, anda boleh mendapatkan sesuatu penafsiran yang sedikit berbeda. Namun demikian, banyak para penulis, pendidik dan peneliti nampak memiliki persetujuan tentang bagaimana epistemologi konstructivisme ini seharusnya dapat mempengaruhi belajar dan praktek pendidikan. Bagian yang berikut ini mengingatkan kita, apa makna konstruktivisme untuk belajar. Hal itu penting untuk suatu pertimbangan jika kita mengambil suatu bentuk aktivitas tertentu maka disamping memberikan dalam aspek keingintahuan sebagai bagian nafsu akademisnya juga tidak kalah pentingnya memahami makna yang terkandung dalam upaya perbaikan suatu sistem pembelajaran yang memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat, padu, dan meyakinkan sebagai alternatif pendekatan pembelajaran yang lebih baik. Dalam perkembangannya, konstructivisme memang banyak digunakan dalam pendekatan-pendekatan pembelajaran. Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan yang didasarkan pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam Abbeduto, 2004). Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Schwandt (1994) bahwa konstruktivisme adalah seperti interpretivis dan konstruktivis. Hal ini sejalan pula dengan pendapat von Glaserfeld (1987) bahwa pengetahuan bukanlah suatu komunikasi dan komoditas dapat dipindahkan dan tak satu pengantar-pun itu ada. Belum banyak buku-buku yang beredar apalagi yang berbahasa Indonesia tentang pembelajaran konstruktivisme. Namun demikan kita dapat memeperoleh beberapa sumber tentang pembelajaran konstruktivisme dari literatur asing baik dari buku-buku maupun internet. Seperti kita lihat dalam bagian penjelasan, Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The case for constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci konstruktivist teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme: Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada kehidupan mereka.

Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh." Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan mereka. Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang secara tradisional mereka tidak bisa menduka serta menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan. Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adaah anggapan yang keiru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa”?, dan “bagaimana”?. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya evidesi-evidensi yang kuat sehingga dapa mengokohkan vaiditas jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik menjelaskan. Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme. Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa. Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya. Kebanyakan sekolah menengah para siswa akan temukan persiapan suatu naskah film atau suatu ringkasan tentang keaneka ragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Ketika para siswa terlibat dalam pembahasan topik, Anda harus memonitor jalannya dan proses pengembangan persepsi mereka dalam belajar. Prinsip 5; Nilai hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran. Geser/ubah peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar sedang terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kali menilai itu dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi, kadang-kadang optimis, periang, namun sesekali bisa pesimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat marahnya seorang guru dalam kerangka sedang mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah mengekspresikan kekesalan. Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada seseorang atau beberapa siswa, bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka mendidik, bukan sedang menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari seorang siswi yang cantik. Di siniah perlunya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para siswa.

PENDEKATAN INKUIRI Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat mengarahkan kepada terciptanya aktifitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar adalah metode Inkuiri. Adapun yang dimaksud dengan metode inkuiri adalah seperti dikemukakan oleh Muhammad Ali (1996:86), bahwa : Metode inquiry dan discovery pada dasarnya dua metode yang saling berkaitan satu sama lain. inquiry artinya penyelidikan, sedangkan discovery adalah penemuan. Melalui penyelidikan siswa akhirnya dapat memperoleh suatu penemuan. Sedangkan A. Kosasih Djahiri (1992:30) mengemukakan tentang pengertian metode pemecahan masalah dan metode inkuiri ini sebagai berikut : Inkuiri maupun pemecahan masalah pada hakekatnya metode mencari dan mengkaji (investigating) untuk selanjutnya diketemukan sesuatu berupa pemecahan masalah yang diyakini (nalar) kebaikan dan keunggulannya/kehandalannya. Metode inkuiri adalah metode belajar mencari pemecahan terbaik dari sesuatu masalah melalui proses pencarian, penyimpulan dan pembuktian. Sedangkan metode pemecahan masalah adalah metode belajar mencari berbagai pemecahan masalah melalui proses pencarian, perumusan dan penyimpulan. Dengan demikian bahwa metode pemecahan masalah atau “Problem Solving Method” dan metode inkuiri pada dasarnya merupakan metode belajar mencari pemecahan masalah. Perbedaan dari kedua metode ini terletak pada proses akhirnya serta hasil yang diperoleh dari penyelesaian suatu masalah. Dimana dalam metode inkuiri proses penyelesaian suatu masalah dilakukan sampai pada tahap pembuktian sehingga dapat diperoleh penyelesaian terbaik dari suatu masalah. Sedangkan dalam metode pemecahan masalah, proses penyelesaian suatu masalah hanya sampai pada tahap menyimpulkan, dan penyelesaian yang diperoleh berupa alternatif penyelesaian dari suatu masalah. Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa metode inkuiri adalah suatu cara penyampaian pelajaran dengan cara menekankan pada proses pemecahan masalah dengan penentuan alternatif pemecahannya yang paling tepat sehingga menciptakan kegiatan belajar mengajar yang mengarahkan kepada interaksi serta aktivitas siswa dalam merespon pelajaran yang disampaikan. Metode inkuiri dipandang sebagai metoda belajar yang paling tinggi karena respons tidak bergantung hanya pada asosiasi masa lalu dan conditioning, tetapi bergantung kepada kemampuan manipulasi ide-ide yang abstrak, menggunakan aspek-aspek dan perubahanperubahan dari belajar terdahulu, melihat perbedaan-perbedaan yang kecil dan memproyeksikan diri sendiri ke masa yang akan datang. Pemecahan masalah dalam metode inkuiri membutuhkan kreasi dan bukan pengulangan dari respon-respon apabila situasi yang timbul sedemikian kompleknya sehingga inisiatif dan sintesis mental diperlukan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi itu. Langkah-langkah yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang menggunakan metode inkuiri Menurut A. Kosasih Djahiri, (1993:57) dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Stimulation, bertanya/menyuruh siswa untuk memperhatikan uraian yang memuat permasalahan. 2. Problems Statement, mengidentifikasi masalah kemudian merumuskan dalam bentuk pertanyaan. 3. Data Collection, pengumpulan informasi yang relevan melalui bacaan/literature, pengamatan subjek, mewawancarai nara sumber dan uji coba.

4.

Data Processing, mengolah semua informasi, diacak, dikelompokan, ditabulasikan kemudian menghitung dengan cara tertentu. 5. Verivikation, menyatakan/pembuktian terhadap masalah yang telah diuraikan. 6. generalization, menghubungkan setiap masalah kemudian ditarik suatu kesimpulan. Urutan sistemik dari proses pengajaran ini menunjukan kadar belajar siswa dengan kadar tinggi, untuk hal ini sangat tepat kiranya dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran di kelas. Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan metode inkuiri yang dikemukakan oleh Umar Hamalik, (1992:145) adalah : 1. Adanya kebutuhan yang dirasakan (felt need) pada individu, 2. Mengenal dan merumuskan masalah sekhusus mungkin. 3. Mengumpulkan data. 4. Merumuskan hipotesis. 5. Menguji hipotesis. 6. Merumuskan generalisasi. Langkah-langkah tersebut di atas merupakan langkah kegiatan metode inkuiri dalam kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut juga harus didorong oleh kemahiran guru dalam memberikan stimulus kepada siswa serta pandai dalam meramu berbagai pertanyaan permasalahan sehingga mempermudah siswa untuk menelaah permasalahan sekaligus mencari alternatif pemecahannya. Adapun langkah-langkah umum yang harus dilakukan oleh guru dalam melaksanakan metode inkuiri adalah seperti dikemukakan Richard Suchman yang dikutip oleh Muhammad Ali (1996:87-88), sebagai berikut : 1. Identifikasi kebutuhan siswa. 2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari. 3. Seleksi bahan dan problema atau tugas-tugas. 4. Membantu memperjelas : - Tugas problema yang akan dipelajari - Peranan masing-masing siswa 5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan. 6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan. 7. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan. 8. Membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan. 9. Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasikan proses. 10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa. 11. Memuji dan membesarkan siswa yang tergiat dalam proses penemuan. 12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuan. Dengan memperhatikan langkah-langkah tersebut di atas maka seorang guru dalam menggunakan metode inkuiri akan dapat memberikan bantuan kepada siswa dalam menempuh langkah-langkah pemecahan masalah dari mulai identifikasi masalah sampai penemuan atau bahkan sampai generalisasi penemuan, sehingga metode inkuiri dapat memberikan kontribusinya bagi tercapainya tujuan dari suatu pembelajaran. Kemukakan dua model dalam pembelajaran pendidikan IPS ? Jawab : Model adalah suatu pola atau gaya dari suatu proses pembelajaran yang berlangsung untuk mencapai keberhasilan dari suatu program pembelajaran. Sedangkan pembelajaran adalah suatu upaya yang sistematik dan disengaja untuk menciptakan kondisi agar terjadi

proses belajar mengajar. Model Konvensional adalah model lama yang kering dengan variasi dan terjebak kedalam rutinitas metode ceramah pasif dan proses “menghafal” materi pelajaran. Hal ini diungkapkan oleh Al Mukhtar (1999:70) yang menyatakan : Proses belajar masih lemah dan terperangkap pada “proses menghafal”, menyentuh kognitif tingkat rendah. Proses belajar belum mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi…Kualitas partisipasi siswa dalam belajar masih rendah, mereka belum diperankan sebagai pembelajar secara mandiri melakukan kegiatan belajar. Lebih dari itu, belajar belum diartikan sebagai pengembangan potensi berfikir, posisi menerima masih banyak dilakukan oleh siswa. Begitu pula siswa belum dilibatkan secra optimal dalam pembentukan konsep berdasarkan potensi intelektual dan emosional dirinya sendiri. Slavin (1995:19) menjelaskan bahwa secara historis cooperative learning telah dikenal sejak lama. Pada saat itu guru mendorong para siswa untuk kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau tutor sebaya. Hal ini dilakukan karena didasarkan pada keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh siswa yang lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman lain yaitu teman sebaya. Hal ini dilakukan karena keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh siswa lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman sebaya. Cooperative adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim. Sedangkan Cooperative Learning artinya belajar bersamasama dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cooperative learning adalah menyangkut teknik pengelompokkan yang didalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang (Bernet dalam Broto Kiswoyo, 1995 :9) Cooperative Learning adalah model pembelajaran yang sistematis yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis (Davidson dan Warsharn :1992). Pada hakekatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok, oleh karena itu banyak guru mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun cooperative learning terjadi dlam bentuk kerja kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan cooperative learning. Ishak Abdullah (2001:19-20) menjelaskan bahwa pembelajaran cooperative dilaksanakan melalaui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat mewujudkan pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri. Menurut Bernet dalam Broto Kiswoyo (1995:9) ada lima unsur dasar yang dapat membedakan antara cooperative learning dengan belajar kelompok . 1. Positive interdependence, yaitu hubungan antar timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan yang sama diantara anggota kelompok dimana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya. 2. Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antara siswa tanpa adanya perentara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu dan yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa. 3. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam cooperative learning adalah menjadikan setiap anggota kelompok lebih kuat pribadinya.

4. Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok dan memelihara hubungan kerja yang efektif. 5. Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses kelompok), yaitu tujuan terpenting yang diharapkan dapat tercapai dalam cooperative learning adalah siswa belajar keterampilan bekerjasama dan berhubungan. Ini merupakan keterampilan yang penting dan diperlukan dalam masyarakat. Beberapa konsep dasar pengembangan Model Cooperative Learning seperti yang tertera berikut ini : 1. Kejelasan tujuan pembelajaran 2. Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar 3. Saling membutuhkan sesama anggota kelompok 4. Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran 5. Tanggung jawab individu 6. Heterogenitas kelompok 7. Sikap dan perilaku sosial yang positif 8. Defrefing (refleksi) 9. Kepuasan dalam belajar Menurut Al Muchtar (2003:13) pendidikan multikultural sebagai sebuah paradigma dalam pengembangan pendidikan yang diunggulkan dan dijadikan wacana berkaitan dengan bagaimana memperkuat peran pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai kemajemukan, pluralitas dan keragaman untuk membentuk sikap keterbukaan, toleransi dan memperkuat demokrasi, dengan demikian dapat memperkuat ketahanan budaya. Lebih lanjut Al Muchtar (2003:17) mengemukakan, bahwa pendidikan multikultural bertujuan memperkuat makna dan validitas sosial budaya pendidikan, menginternalisasikan nilai-nilai untuk menghargai pluralitas dengan menekankan ajaran etika nilai budaya yang bersumber dari ajaran agama, yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual serta pengamalan akhlak mulia. Sementara menurut Wiriaatmadja (2002:255) tujuan utama pendidikan multikultural ialah mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya. Adapun sasaran pendidikan multikultural menurut Banks sebagaimana dikutip oleh Skeel (1995:102) mengarahkan siswa tanpa memandang perbedaan jender, sosial, budaya, ras, dan etnik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan/pengalaman belajar siswa di sekolah; membantu siswa untuk mengembangkan sikap positif terhadap adanya perbedaan budaya, suku, dan agama/kepercayaan; memberikan kekuatan kepada siswa yang menjadi korban tindak kejahatan dengan mengajarkan kepada mereka bagaimana mengambil keputusan dan keterampilan sosial; membantu para siswa mengembangkan ketergantungan lintas budaya dan cara pandang mereka terhadap perbedaan kelompok. Langkah-langkah operasional pendidikan multikultural yang disajikan di kelas majemuk, miniatur Indonesia. Memberi penjelasan dan pemahaman kepada siswa bahwa kita (Indonesia) ditakdirkan menjadi bangsa yang majemuk, sehingga diharapkan siswa dapat menyadarinya. Kemajemukan bukan sesuatu hal yang dapat dijadikan alasan oleh kita untuk saling bermusuhan, tetapi justru sebagai aset bangsa yang dapat mempersatukan kita. Bagi kita bersatu dalam kemajemukan adalah suatu anugrah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang patut kita syukuri. a. Mengarahkan siswa akan keharusan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk, di antaranya saling menghormati/menghargai perbedaan, toleransi, dan tenggang rasa.

b. Menanamkan kesadaran/keyakinan kepada siswa, bahwa hidup damai tanpa konflik akan membuahkan ketenangan dan kesejahteraan. Perbedaan pendidikan global dengan pendidikan multikultural. Menurut Sapriya (2002:155), pendidikan global merupakan upaya untuk menanamkan suatu pandangan (perspective) tentang dunia kepada para siswa dengan memfokuskan bahwa terdapat saling keterkaitan antar budaya, umat manusia dan kondisi planet bumi. Pada umumnya, tujuan pendidikan setiap mata pelajaran untuk kondisi saat ini menekankan pada kemampuan siswa dalam berpikir kritis (critical thinking skill), namun ada hal yang unik dalam pendidikan global, yakni fokus substansinya yang berasal dari hal-hal mendunia yang semakin bercirikan pluralisme, interdependensi dan perubahan. Tujuan pendidikan global adalah untuk mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitudes) yang diperlukan untuk hidup secara efektif dalam dunia yang sumber daya alamnya semakin menipis dan ditandai oleh keragaman etnis, pluralisme budaya dan semakin saling ketergantungan. Sementara Kniep (Sapriya, 2002:158) mengemukakan bahwa isi pendidikan global dirumuskan dari realitas sejarah dan kondisi saat ini yang menggambarkan dunia sebagai masyarakat global. Dari hasil analisisnya ini, Kniep memperkenalkan empat unsur kajian yang dianggap esensial dan mendasar dari pendidikan global: (1) kajian tentang nilai manusia (the study of human values); (2) kajian tentang sistem global (the study of global systems); (3) kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu global (the study of global problems and issues); dan (4) kajian tentang sejarah hubungan dan saling ketergantungan antar orang, budaya, dan bangsa (the study of the history of contacts and interdependence among peoples, cultures, and nations). Perbedaan antara pendidikan global dengan pendidikan multikultural, yaitu bahwa pendidikan global ini lebih menekankan hal-hal yang sifatnya mendunia yang bercirikan pluralisme, interdependensi dan perubahan. Contoh materi pendidikan global: Isu-isu global seperti HAM, terorisme dan wabah HIV/AIDS; dan peranan organisasi-organisasi internasional. Sedangkan pendidikan multikultural lebih menekankan kepada keragaman budaya pada tingkat lokal dan nasional dalam rangka memperkuat ketahanan budaya dan integritas nasional. Contoh materi pendidikan multikultural: teloransi; dan pemahaman keragaman budaya, etnik dan agama. Kemukakan alasan mengapa pengembangan kemampuan berpikir dan nilai dipandang strategis untuk meningkatkan mutu pembelajaran IPS ? Jawab : Bagi ilmu-ilmu sosial, kajian-kajiannya tidak selalu dapat di amati oleh karena itu kemampuan berpikir abstrak merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mengkaji mengenai masalah-masalah sosial. Bagaimana manusia dapat memahami bendabenda teknologi atau pranata kehidupan sosial budaya manusia berdasarkan bentuk fisik yang terlihat dan terjadi, maka mereka dituntut berpikir abstrak sehingga mampu memahami dan menjelaskan apa yang ada dibalik fenomena yang diamati, dan memikirkan bagaimana alternatif yang dilakukan. Fenomena kehidupan yang dikembangkan dalam konsep-konsep ilmu sosial misalnya : rasa cinta tanah air, semangat nasionalisme, kekuasaan, kekuatan, rasa kecewa dan sebagainya adalah fenomena- fenomena yang abstrak. Bagaimana implementasi dalam pendidikan ?. Atas dasar sifat fenomena yang dikaji ilmu-ilmu sosial dan sifat hubungan yang tidak langsung, maka kemampuan berpikir abstrak dalam belajar disiplin ilmu sosial adalah suatu prasyarat yang mutlak harus dimiliki siswa. Tanpa kemampuan berpikir abstrak maka siswa hanya akan belajar sesuatu yang bersifat permukaan dari apa yang dihasilkan disiplin ilmu-ilmu sosial. Karena berpikir siswa

diarahkan pada permukaan saja, maka siswa tidak pernah di latih untuk berpikir abstrak, karena apa yang dilakukan siswa hannyalah menghafal saja. Artinya siswa kehilangan kesempatan terbaik belajar ilmu-ilmu sosial. Jean Piaget mengatakan bahwa : proses belajar terjadi apabila terjadi proses pengolahan data yang aktif di pihak yang belajar. Pengolahan data yang aktif itu merupakan aktivitas lanjut dari kegiatan mencari informasi dan dilanjutkan dengan kegiatan penemuanpenemuan. Piaget berpendapat bahwa apa yang suda ada pada diri seseorang adalah dasar untuk menerima yang baru. Dalam kaitan dengan proses perubahan pada siswa, maka Piaget mengemukakan dua skema yaitu : 1). Asimilasi. 2). Akomodasi. Tugas mengajar suatu mata pelajaran kepada anak didik pada usia manapun adalah memperkenalkan struktur keilmuan mata pelajaran tersebut sesuai dengan cara anak didik berpikir . (Bruner dalam bukunya “ The Process of Education” (1960:33)) Bruner ( 1960 : 23-26 ) mengatakan bahwa ada empat keuntungan pembelajaran disiplin ilmu. Keempat keuntungan tersebut adalah : 1. Pemahaman terhadap struktur keilmuan akan menyebabkan bahan pelajaran menjadi semakin konprehensif. Artinya, apabila siswa memahami struktur suatu disiplin ilmu maka ia akan memiliki kemampuan untuk melihat masalah secara lebih luas dan lebih mendalam. 2. Penguasaan struktur suatu disiplin ilmu akan menyederhanakan cara menyimpan dan menggunakan ingatan ( memory ). Peyederhanaan itu terjadi karena yang di simpan dalam ingatan bukan semua rincian fakta yang tidak punya arti tetapi garis besar yang satu sama lain membentuk hubungan dan memberi makna tertentu. Maka yang diberikan itu menyebabkan informasi yang disampaikan merupakan sesuatu yang dapat disimpan lama. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Phenix (1965:138) yang mengatakan bahwa ” Pengetahuan bukanlah sekedar akumulasi dari informasi yang bebas dan terakumulasi”. 3. Penguasaan struktur disiplin ilmu merupakan jembatan bagi tercapainya transfer of training. Dengan demikian, penguasaan suatu struktur disiplin ilmu tentu akan memberikan dasar yang memudahkan siswa mempelajari struktur disiplin ilmu lainnya. 4. Dengan mempelajari struktur disiplin ilmu secara tepat, baik di SMP maupun di SMA maka siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan ketajaman dalam analisis sehingga mereka dapat merasakan perbedaan yang sifatnya tipis tapi prinsipil antara ” pengetahuan dasar ” dengan ” pengetahuan yang lebih maju ”. (S. Hamid Hasan (1996)) Menurut pasal 1 ayat (19) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum menurut Sukmadinata (2001:150-154), yaitu: Prinsip-prinsip umum, meliputi relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip-prinsip khusus berkenaan dengan tujuan pendidikan, isi pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran, serta kegiatan penilaian. Selama ini pengembangan kurikulum di Indonesia lebih berorientasi pada materi (isi kurikulum) daripada proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan baik dalam budaya belajar maupun dalam budaya mengajar. Permasalahan tersebut antara lain: a. Budaya belajar lebih berorientasi pada bentuk menghapal daripada belajar berpikir; belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial daripada berpikir untuk mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya; motivasi belajar hanya sekedar mendapatkan nilai daripada

mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; belajar menerima informasi daripada mencari, mengolah dan menggunakan informasi; belajar pasif daripada belajar aktif; belajar santai daripada belajar kompetitif secara sehat; belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial dari pada memecahkan masalah sosial. b. Budaya mengajar yang selama ini tumbuh di lapangan, antara lain kebiasaan memberi matari pelajaran daripada menyajikan bahan pelajaran IPS dalam bentuk masalah sebagai media stimulus bagi perkembangan berpikir dan nilai; kebiasaan berperan sebagai satusatunya sumber daya belajar daripada berperan sebagai fasilitator belajar yang dapat memberi kemudahan belajar; kebiasaan menciptakan pola interaksi satu arah daripada menciptakan pola interaksi komunikasi serba arah; kebiasaan mengajarkan nilai daripada mengklarifikasi nilai; kebiasaan memberikan hapalan daripada merangsang untuk berpikir tingkat tinggi. Kondisi tersebut tidak/kurang mendukung pencapaian sasaran pembelajaran IPS. Menurut Djahiri dan Ma’mun (1978:36), sasaran pengajaran IPS antara lain membina insan sosial yang paripurna yang mampu hidup dalam arena kehidupan masyarakat serta dapat berpartisipasi secara aktif dan penuh tanggung jawab; membina kemampuan berpikir kritis dan mengambil keputusan-keputusan yang baik, kemampuan hidup mandiri, kemampuan melakukan hubungan dengan sesama (berinteraksi sosial), kemampuan ekonomis yang survive, rasa tanggung jawab sebagai insan mandiri/sosial dan politik, kemampuan teknis dalam mempelajari sesuatu (learning how to learn). Untuk itu pengembangan kurikulum IPS harus mengarah kepada upaya pencapaian sasaran tersebut. Secara empirik permasalahan dalam pengembangan kurikulum IPS, di antaranya: a. Pengembangan kurikulum IPS lebih berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu sosial, ketimbang pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan mengklarifikasi nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di masyarakat. b. Pendekatan sentralistik dalam pengembangan kurikulum (kurikulum 1994) pendidikan IPS mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya budaya belajar mengajar untuk mencapai target kurikulum sebagai tuntutan kedinasan. c. Muatan materi yang padat (kurikulum 2004) tidak diimbangi dengan alokasi waktu yang cukup, akibatnya guru sebagai pengembang kurikulum mengalami kesulitan dalam pembelajaran. d. Banyak guru IPS terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki kualifikasi atau kelayakan untuk mengemban tugas sebagai guru IPS, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengembangkan kurikulum IPS. Kondisi tersebut apabila terus dibiarkan akan memperlemah proses dan hasil pendidikan IPS serta memperkokoh anggapan sementara pihak bahwa pendidikan IPS kurang bermanfaat dibandingkan dengan MIPA. Untuk itu guru IPS harus berani mengambil terombosan di antaranya dengan menggunakan pendekatan pengembangan berpikir dan nilai dalam pembelajaran IPS. Hasil penelitian dan pengkajian akademis yang dilakukan oleh Al Muchtar (2004:233236) merupakan gagasan inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan IPS, yaitu: a. Pendidikan IPS memerlukan reorientasi dan transformasi dasar konseptual dari konsepsi yang lebih menekankan pada orientasi upaya mempersiapkan peseta didik untuk melanjutkan belajar ke perguruan tinggi dengan praktik pendidikan melatih mereka supaya berhasil dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) kepada orientasi yang harmonis antara mempersiapkan peserta didik untuk dapat belajar lebih lanjut dengan membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial untuk menjalani kehidupan di masyarakat. b. Ketidakjelasan dasar konseptual pendidikan IPS yang selama ini terjadi, perlu dihilangkan dengan cara dikembangkan suatu definisi dalam wawasan pengembangan

berpikir dan nilai secara konsisten. Difinisi tersebut bersifat kontekstual dan memungkinkan terjadinya dinamisasi pemikiran inovatif di kalangan para pelaku pendidikan IPS. Definisi yang dimaksud tidak dalam suatu rumusan formal yang kaku sehingga kreativitas para pengembang pendidikan IPS terbelenggu. Untuk itu perlu dikembangkan atas acuan: (1) tujuan yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir dan nilai; (2) tujuan dengan orientasi pengembangan IPTEK dan era informasi modern serta globalisasi, (3) tujuan dengan orientasi pengembangan ilmu sosial dan peran ilmu sosial. c. Gagasan ini dapat dikembangkan dengan cara mengembangkan ke arah budaya otonomisasi untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam perspektif nasional dan lokal dengan para guru dan kepala sekolah bertindak tidak hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetapi harus lebih bertindak sebagai pengembang kurikulum (curicullum developer). Adanya wawasan konseptual yang jelas, maka identifikasi dan pencarian alternatif pemecahan masalah dalam pendidikan IPS yang selama ini sulit dilakukan, akan mendapatkan konseptual yang jelas sehingga usaha peningkatan mutu mudah untuk dilaksanakan. Di samping itu perlu dikembangkan sikap guru untuk memberi makna terhadap pendekatan pengembangan sentralistik, dengan cara tidak berpikir tekstual dan sektoral yang dapat mempersempit wawasan dan semangat inovasi sebagai pengembang kurikulum. Untuk itu pengembangan IPS hendaknya diperankan sebagai bagian dari pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga pengembangan tidak terbatas pada lingkup pendidikan persekolahan semata. Sebaik apapun gagasan hasil kajian akademik untuk mengatasi permasalahan dalam pendidikan IPS apabila tidak didukung oleh political will dari pengambil kebijakan (pemerintah), hasilnya tidak akan optimal apalagi maksimal. Sedangkan menurut Wahab (1998:7), bahwa: Upaya perbaikan dalam arti reorientasi dan revitalisasi bagi refungsionalisasi PIPS di sekolah harus dimulai dari para guru IPS sendiri dengan menunjukkan kemampuan profesionalnya dalam pendidikan IPS melalui upaya perubahan dan perbaikan terhadap berbagai kekurangan dalam pengajaran IPS yang selama ini dilakukan di sekolah. Hal ini patut disadari bersama oleh karena guru merupakan ujung tombak dari berbagai kebijakan termasuk upaya reorientasi dan revitalisasi pengajaran IPS di sekolah tersebut. Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak inovasi pendidikan yang telah dilakukan namun gagal atau bahkan ditinggalkan sama sekali pada tingkat diseminasi dan implementasi hanya karena guru kurang memperoleh informasi dan karena kurangnya komitmen profesional guru. Antara political will dari pengambil kebijakan (pemerintah) dengan tekad dan semangat dari komunitas pendidikan IPS baik akademisi maupun praktisi harus berjalan secara simultan, tanpa itu upaya meningkatkan mutu pendidikan IPS sulit untuk diwujudkan. Jadi, political will pemerintah dan tekad serta semangat komunitas pendidikan IPS merupakan kunci utama untuk mengatasi permasalahan pendidikan IPS. Bahan pelajaran IPS akan lebih fungsional bagi pengembangan berpikir dan nilai jika diorganisir atas dasar acuan struktur ilmu-ilmu sosial sebagai sumber keilmuan dan masalah sosial budaya sebagai sumber nilai yang diorganisir secara “integrated” dalam kemasan problematis sebagai media stimulus bagi pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan pembinaan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai sosial budaya. Jika hal ini dilakukan maka anggapan bahwa pendidikan IPS sebagai bahan yang “paling tidak menarik” yang selama ini berkembang dikalangan peserta didik akan berubah menjadi mata pelajaran yang menantang dan menarik untuk dipikirkan dan dipelajari secara serius hal ini dapat dilakukan apabila para guru bertindak sebagai pengembang kurikulum yang memiliki wawasan penguasaan materi selain berupa konsep-konsep ilmu sosial, juga diperkaya dengan

penguasaan dan kemampuan pengetahuan sosial budaya dan perkembangannya (Al Muchtar, 2004:239-240). Lebih lanjut menurut Al Muchtar (2004:240), bahwa: Transformasi yang harus dilakukan oleh guru dan penulis buku IPS, adalah dari kebiasaan memberikan bahan pelajaran sebanyak-banyaknya dalam kemasan informasi dan pengetahuan kepada penyajian bahan yang diseleksi atas petimbangan esensial dalam kemasan problematik untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membina kemantapan internalisasi nilai. Dalam penyusunan materi pembelajaran, ada beberapa prinsip (Depdiknas, 2003:14) yang harus diperhatikan, yaitu: d. Relevansi, yaitu relevan atau sinkron antara materi pembelajaran dengan kemampuan dasar yang ingin dicapai. e. Konsistensi, yaitu konsisten, ada keajegan antara materi pembelajaran dengan kemampuan dasar dan standar kompetensi. f. Adequasi (kecukupan), berarti cakupan materi pelajaran yang diberikan cukup lengkap untuk tercapainya kemampuan yang telah ditentukan. Lebih lanjut dalam menentukan urutan materi pembelajaran (Depdiknas, 2003:13), perlu ditempuh pendekatan prosedural, dari materi pembelajaran yang sederhana ke yang sukar, konkrit ke abstrak, spiral, tematis, hirarkis, terpadu, dan terjala. Kemukakan beberapa masalah yang dihadapi dalam memperkuat proses pembelajaran pendidikan IPS ? Jawab : Salah satu praktek kependidikan di sekolah yang perlu dibenahi adalah kebiasaan anak dengan ‘budaya konsumtif’. Ini perlu dialihkan pada kebiasaan dengan ’budaya produktif’. Budaya konsumtif antara lain meliputi, kebiasaan siswa menerima informasi secara pasif: mencatat - mendengar - meniru sedangkan budaya produktif adalah kebiasaan siswa untuk menghasilkan karya/gagasan: menulis gagasan - merancang/ membuat model meneliti - memecahkan masalah - menemukan rumus/gagasan baru. Guru perlu menciptakan lingkungan belajar dengan budaya produktif kalau ingin meraih lulusan menjadi SDM yang profesional, produktif, dan efisien. Meskipun belum ada data akurat, disinyalir sejumlah lulusan sekolah kurang produktif. Mereka kurang mahir menulis gagasannya, kurang berani mengungkapkan gagasan, kurang terampil memecahkan masalah, kurang terampil merencanakan penelitian, kurang berani mengambil keputusan dengan mempertimbangkan risiko, kurang mahir berpikir alternatif untuk menemukan solusi masalah yang beragam, cenderung cepat putus asa jika menemui masalah yang sulit dipecahkan. Biasanya, suatu masalah baru dapat diselesaikannya jika dilengkapi dengan resep dan rumus yang operasional. Mengapa ini terjadi? Apakah anak kita tidak potensial untuk produktif atau apakah peluang untuk menjadi produktif belum tersedia secara optimal? Bagaimanapun juga, kebiasaan produktif merupakan sikap bawaan anak sejak kecil sebab setiap anak kecil memiliki dua sikap dasar: sikap ingin tahu dan sikap imajinatif. Kalau kedua sikap ini dikembangkan dengan serius anak akan terlatih menjadi produktif. Sikap pertama lazim teramati pada prilaku anak sehari-hari seperti bertanya tentang apa dan mengapa, mengamati benda dan bagian benda yang kecil-kecil, mencoba-coba mainan baru. Sikap ini mendorong anak untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan alam sekitar - yang kemudian berlanjut pada pembangunan pengetahuan , meskipun dalam wujud ‘gagasan naif’. Sedangkan, sikap imajinatif sering muncul sewaktu anak bermain-main. Anak sering membuat aneka ragam model bangunan pasir sewaktu bermain di pantai, sering melukis macam-macam gambar sesuai seleranya, sering berandai-andai dirinya menjadi makhluk

selain manusia. Dengan demikian, ketika bersekolah, sebenarnya anak sudah memiliki kedua sikap ini, suatu modal dasar untuk melatih anak menjadi produktif. Supaya peran siswa sebagai ‘produsen’ seimbang dengan peran ‘konsumen’, guru perlu melakukan pengajaran edukatif (educative teaching) dengan menempatkan diri dalam peran sebagai fasilitator. Para ahli membedakan pengajaran edukatif dengan pengajaran (teaching) yang berkonotasi pelatihan (training), pengkondisian (conditioning), dan indoktrinasi (indoctrination’). Pengajaran edukatif adalah pengajaran yang melibatkan dan menghargai pemikiran/tindakan siswa untuk menilai sesuatu yang akan dipelajari. Karena itu, penanaman keyakinan terhadap sesuatu konsep/prinsip tidak cukup hanya menyediakan bukti-bukti tetapi juga perlu mendorong siswa untuk mencari/menyediakan bukti sendiri dan menilai bukti yang disajikan sebelum suatu konsep/prinsip dapat diterima dan dipahaminya. Sementara itu, pengajaran dalam bentuk training/ drill lebih mengacu pada upaya peningkatan ketrampilan tentang tehnik dan cara (know how) dari pada pemahaman tentang hakekat apa dan mengapa (know what and why) suatu konsep. Lalu, pengajaran dalam bentuk conditioning adalah bentuk kegiatan yang menyediakan stimulus (S) supaya bentuk prilaku respon (R) yang dinginkan dapat ditunjukkan oleh siswa. Pemberian penghargaan (reward) kalau siswa berbuat baik merupakan bentuk conditioning. Bentuk lain pengajaran adalah indoctrination. Jenis pengajaran ini – yang beberapa ahli pendidikan mengelompokkannya dalam kategori cara mengajar yang tidak edukatif - mengacu pada pemaksaan keyakinan/ kepercayaan terhadap konsep tertentu. Dengan demikian, bentuk indoktrinasi ini bertentangan dengan baik metoda ilmiah maupun sikap ilmiah. Di sekolah, diduga guru yang mengajar dengan cara indoctrination dan training/drill untuk mata pelajaran dengan sasaran kognitif seperti kelompok mata pelajaran IPA dan IPS ini masih ada (dan bahkan mungkin masih banyak). Di antara ketiga jenis pengajaran ini mungkin bentuk conditioning agak lebih baik meski perlu ditingkatkan kearah bentuk educative teaching. Dengan demikian, pada masa mendatang dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan, guru perlu melakukan perubahan wawasan yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan perlakukan guru ke siswa, dari peran siswa sebagai konsumen ke peran siswa sebagai produsen. Dalam Tabel, disajikan beberapa contoh perlakuan yang disajikan dalam dua kutub ekstrim, yaitu kkutub siswa sebagai konsumen kutub siswa sebagai produsen. Perlakuan Guru Terhadap Siswa di Kelas Siswa Sebagai Konsumen Siswa Sebagai Produsen 

Mendengarkan penjelasan guru sepanjang hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap materi yang disajikan



Mengajukan pertanyaan, berkomentar terhadap suatu pendapat, menjawab pertanyaan secara kreatif



Mencatat semua informasi yang dituliskan guru di papan tulis dan didiktekan guru secara lisan tanpa sedikitpun memberikan pandangan dan catatan menurut pikirannya



Membuat karangan kreatif berdasarkan pengalaman dan imajinasinya. Kadangkala dalam karangan itu disertai gambar untuk memperjelas bahasa tulis.



Memberikan jawaban dengan mengulangi kata-kata yang pernah disampaikan guru atau mengulangi informasi yang tertuang dalam buku teks.



Memberikan jawaban sendiri secara kritis dengan alasan melalui hasil penelaran logis



Mengomentari jawaban guru sambil mengungkapkan alasan tanda kesetujuannya atau ketidaksetujuaan



Menghasilkan karya dalam bentuk



Mengulangi kata-kata guru secara koor sewaktu guru memberikan jawaban



sepotong-potong dan potongan jawaban yang lain dijawab bersama-sama seperti ‘Mahluk hidup selalu berna ………’ , kata guru dan anak meneruskan dengan ‘faaaas’



Menghasilkan karya dan solusi permasalahan setelah disajikan ‘resep’ rinci dari guru.

Membuat laporan dengan bahasa dan pola sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan uraian yang disajikan sangat lengkap dan rinci



Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, apakah ada kehidupan di planet Mars?’ Guru langsung mengajukan pertanyaan juga, ‘Menurutmu bagaimana, ada atau tidak ada kehidupan? ‘Kalau ada, apakah mahluk hidup di sana seperti mahluk hidup di bumi?’ ‘Kalau tidak ada, apakah tidak mungkin planet itu dijadikan objek pariwisata pada masa mendatang oleh umat di bumi?’



Membuat laporan dengan bahasa dan pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis laporan seperti ini cukup hanya melengkapi satu atau dua kata pada ruang kosong yang disediakan.



Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, apakah ada kehidupan di planet Mars?’ Guru langsung mengatakan, ‘Kamu tahu kan bahwa di planet Mars itu tidak ada udara maka disana tidak mungkin ada kehidupan, ya…kan’. Jawaban guru disertai wajah sinis yang terkesan menganggap pertanyaan siswa itu sebagai pertanyaan konyol.

model, tulisan, produk teknologi sederhana

Menurut pandangan constructivism, otak anak (siswa) pada dasarnya tidak seperti gelas kosong yang siap diisi dengan air informasi yang berasal dari pikiran guru. Otak anak tidak kosong. Otak anak berisi pengetahuan-pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan/peristiwa yang dialaminya. Meskipun beberapa pengetahuan yang dikonstruksi anak ini cenderung miskonsepsi, menurut anak pengetahuanpengetahuan ini cukup masuk akal (make sense). Pengetahuan-pengetahuan ini terikat dalam satu jaringan dan struktur kognitif anak. Driver, S ( 1986) menyebutkan struktur kognitif ini dengan schemata. Sayang sekali, masih ada guru yang memandang anak tidak memiliki pengetahuan/gagasan tentang materi yang diajarkan. Guru sering menampilkan diri sebagai sosok ‘maha tahu’ yang tidak mungkin salah sedangkan anak - secara tidak sengaja diperlakukan sebagai sosok ‘maha tidak tahu’ yang tidak boleh salah. Lalu, kegiatan mengajar dimaknai sebagai kegiatan mengalirkan informasi dari kepala guru ke ‘gelas’ kepala anak yang dianggap ‘kosong’. Hasil survei the British Council (Sukandi, U. Karhami SKA, Maskur, 2000) terhadap 192 guru SD diketahui bahwa 63,5 % masih menganggap mengajar sebagai kegiatan mentransfer informasi dan hanya 5,2 % yang menganggap mengajar sebagai menciptakan kondisi sehingga peristiwa siswa belajar dapat berlangsung. Barangkali karena pandangan ini, kegiatan mengajar lebih sering tampak sebagai kegiatan menceramahi melalui tirani indoktrinasi. Padahal, dengan cara ini guru sudah memerankan diri sebagai destroyer siswa akibat kegiatan belajar bermakna tidak terwujud. Dalam zaman yang serba berubah dewasa ini, guru perlu merubah peran dirinya dari peran destroyer menjadi peran facilitator siswa belajar. Peran facilitator ini dicirikan dengan disediakannya peluang seluas-luasnya bagi tiap anak (ingat semua anak bukan hanya anak pandai saja) untuk mengembangkan gagasannya secara kreatif supaya anak selalu aktif menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah.

Bersamaan dengan ini, guru senantiasa melatih anak untuk memiliki keterampilan dan sikap tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kalau ini berhasil, lulusan sekolah akan selalu belajar dan menjadikan lingkungannya sebagai sekolah alam tempat dirinya belajar sepanjang hayat. Dalam Tabel selanjutnya disajikan beberapa bentuk perlakuan guru terhadap siswa, dimana pada kolom kiri merupakan prilaku yang dikategorikan destroyer (pengganggu peristiwa belajar) dan pada kolom kanan yang dikategorikan ‘facilitator’ (pemermudah peristiwa belajar). Peran Guru di Kelas Sebagai Destroyer Sebagai Facilitator (Pengganggu Peristiwa Belajar) (Pemermudah Peristiwa Belajar) 

Guru yang menganggap masalah anak sebagai masalah guru sehingga kalau anak memperoleh masalah guru langsung menyelesaikannya lalu memberikannya jawaban langsung. Misalnya, ketika anak bertanya; ‘Pak, soal no. 3 PR kemarin sulit!’. Menanggapi keluhan ini guru langsung memberikan uraian jawaban secara panjang lebar sehingga tidak ada ruang bagi anak untuk menambahkan gagasannya.



Guru yang menempatkan masalah anak sebagai masalah anak. Pada keadaan ini guru hanya berperan menyediakan kondisi dan memberikan dorongan sehingga anak mau menyelesaikan masalahnya tanpa beban. Misalnya ketika anak memeperoleh PR/soal matematika tentang jual beli yang dianggapnya sulit guru hanya mengajukan pertanyaan seperti; ‘Apakah kamu sudah mencoba dengan rumus itu?’ atau, ‘Bagaimana kalau soalnya dirinci menjadi seperti ini?’ atau ‘Bagaimana kalau melakukan pengamatan langsung pada pedagang ke pasar?’



Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris bewilder itu?’ Menanggapi pertanyaan, seorang Ibu guru Bahasa Inggeris yang fasih berbahasa Inggeris langsung memberikan respon. ‘Masak tidak tahu, bewilder itu kan artinya mengembara’.



Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris bewilder itu?’, guru langsung memberikan kamus untuk mencarinya sendiri arti kata tersebut.

Dalam era kesejagatan yang penuh dengan perubahan dan yang kecepatan perubahannya pun berlangsung begitu cepat, prilaku dan lingkungan belajar peserta didik ikut berubah. Menyikapi situasi ini, praktisi pendidikan khususnya guru perlu melakukan perubahan pola pikir/pandangan dan pola tindak. Perubahan-perubahan itu meliputi: 1. Pola pikir dan pandangan tentang hakikat belajar-mengajar. Belajar lebih diartikan pada pembangunan gagasan yang bermakna oleh pebelajar (baca: siswa) dalam suatu jaringan schemata kognitif sedangkan peristiwa ‘mengajar’ baru terjadi kalau peristiwa ‘belajar’ benar-benar sudah berlangsung. Dengan kata lain, dalam konteks belajar mengajar, ‘mengajar’ sebagai dimensi ‘sebab’ dan belajar sebagai dimensi ‘akibat’.

2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, guru perlu menggeser peran siswa supaya menjadi lebih variatif dalam rentangan peran sebagai ‘konsumen’ (baca: meniru gagasan secara pasif) dan sebagai ‘produsen’ (baca: menggagas gagasan secara kreatif). Kurangi peran siswa yang melulu hanya diposisikan sebagai ‘konsumen’ yang lazim dicirikan dengan kebiasaan mengulangi kata-kata guru/buku, menyalin, mendengarkan. 3. Konsekuensi dari orientasi pada proses learning dari pada proses teaching mengharuskan guru untuk berperan sebagai facilitator peristiwa belajar. Untuk keperluan ini guru perlu menyediakan kegiatan teaching dalam wajah educative teaching atau conditioning sambil menghindari dominasi kegiatan teaching dalam wujud indoctrination ataupun training. Identifikasi masalah pembelajaran IPS yang sangat kritis dilihat dari aspek sumber daya pembelajaran yang tersedia dilapangan. Jawab : Menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT, 1977), sumber pembelajaran adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisien tujuan pembelajaran. Sumber pembelajaran dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan (learning resources by design), yakni semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem intruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal; dan 2. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by utilization), yakni sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar. Dinamika pendidikan nasional, agaknya masih menjadi kajian menarik untuk diangkat sebagai bahan perbincangan, lebih-lebih dihadapan dunia akademis. Akhir-akhir ini, dinamisasi pendidikan nasional sedang mencanangkan “gerakan peningkatan mutu pendidikan”, yang telah dimulai sejak 2 Mei 2002. Sebagai sebuah agenda era reformasi sekarang ini, sudah saatnya paradigma pendidikan harus memiliki relevansi dengan nilai-nilai masyarakat. Pendidikan yang berbasis masyarakat akan memungkinkan menjadi alternatif bagi terciptanya sumber daya manusia (SDM) seutuhnya. Sebab, secara filosofis, pendidikan merupakan upaya pewarisan, penyempurnaan dan pengembangan ilmu, pengalaman, kebiasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sesuai norma, nilai hukum yang menjadi acuan dalam kebudayaan masyarakat. Sejalan dengan hal itu, Rusman Tumanggor (2000) mensinyalir bahwa para ilmuan dan tokoh Indonesia terkemuka mencetuskan world-view bangsa: Mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya” yang oleh WHO (World Health Organization) dinyatakan world-view bagi kesempurnaan manusia sejagad, melalui konsep kesehatan meliputi kesehatan kesempurnaan: fisik, mental, sosial dan spiritual (Health is a state of physical, mental, social, and spiritual well being and not merely the absence of diseases or infirmity). Melalui gagasan tersebut, pendidikan berarti upaya terbaik untuk meraih kesempurnaan hidup manusia sesuai dengan realitas faktual yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Seiring dengan tuntutan otonomi daerah, perubahan paradigma pendidikan itu dimaksudkan untuk mengembalikan pendidikan kepada basis masyarakat. Masyarakat

dilibatkan untuk memahami program-program yang dilakukan pendidikan dengan tujuan agar mereka termotivasi untuk bisa memberikan bantuan yang maksimal terhadap pelaksanaan program-program pendidikan tersebut. Melalui konsep demikian, pendidikan pada dasarnya berbasis pada masyarakat. Abuddin Nata mendefinisikan konsep tersebut, sebagai sebuah alternatif untuk ikut memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ditangani pemerintah, dengan cara melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas. Jadi, masalah-masalah yang dihadapi sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat dipecahkan bersama dengan masyarakat. Masalah yang dihadapi lembaga pendidikan seperti siswa/mahasiswa, guru/dosen, perlengkapan keuangan dan perumusan tujuan sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat diatasi bersama-sama dengan masyarakat. Berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat seperti lapangan olah raga, bengkel kerja, masjid, tempat-tempat kursus ketrampilan, sumber daya manusia dan lain sebagainya dapat diakses dan dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan, tanpa harus membayar. Upaya untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat selaras dengan asas demokrasi, keadilan, dan keterkaitan pendidikan dengan kehendak masyarakat. Lebih dari itu, pendidikan berbasis masyarakat merupakan pilar untuk merealisasikan UU 22 dan nomor 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Peran serta masyarakat yang menjadi ciri konsep pendidikan era otonomi bukanlah hal yang baru. Karena jauh sebelum itu, di setiap sekolah pada umumnya sudah ada apa yang disebut BP3 (Badan Pembina dan Pengawasan Sekolah) yang anggotanya terdiri dari orangtua siswa, atau di Perguruan Tinggi disebut POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa) yang anggotanya terdiri dari para orangtua mahasiswa. Dengan membangun pendidikan berbasis masyarakat, diharapkan akan memberikan peluang bagi institusi pendidikan agar semakin meningkat peranannya, yakni dengan cara memberikan kemudahan kepada pimpinan sekolah atau Perguruan Tinggi untuk memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat, termasuk sumber daya manusia. Dengan cara demikian, antara lembaga sekolah atau Perguruan Tinggi dan masyarakat berada dalam satu visi, misi dan tujuan dalam ikut serta menyukseskan program pendidikan. Keharusan masyarakat ikut serta terlibat dalam menangani masalah-masalah pendidikan tersebut sebenarnya sudah di atur dalam undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Pada bab I, ketentuan umum, pasal 1, butir 10 misalnya dinyatakan bahwa sumber daya pendidikan adalah dukungan dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia dan diadakan serta didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (UUSPN,1993). Perlu diakui bahwa pendidikan yang bermental ‘swasta’ adalah corak pendidikan yang berbasis masyarakat. Pendidikan yang bermental swasta itu-baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta betulan telah teruji dilapangan dalam penerapan pendidikan yang berbasis masyarakat. Melalui pendidikan seperti inilah yang diharapkan mampu bertarung dalam kompetisi era global. Selama ini, pada umumnya pendidikan terbiasa menggantungkan batuan dari pemerintah. Dengan ketergantungan tersebut, mengakibatkan keterbatasan, kekurangan dan berbagai masalah muncul di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mengurangi ketergantungan itu pendidikan diharapkan dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi yang terdapat di masyarakat. Secara umum, pendidikan yang masih mengharapkan ‘pulung’ dari atas, selalu menpengaruhi kinerja sistem penyelenggaraan di sekolah/Perguruan Tinggi. Dengan kembali

kepada ‘mental’ swasta diharapkan mampu meningkatkan kemauan, kemampuan ketrampilan dan strategi dalam menggali sumber-sumber yang ada di masyarakat. Pengalaman yang cukup menjadi referensi bagi kita saat ini adalah sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara maju. Amerika misalnya, sejak lama telah menerapkan pendidikan semacam ini. Pendidikan tidak bergantung pada pemerintah, tetapi justru diserahkan kepada masyarakat. Karena pendidikan merupakan bagian dari cermin dan kultur masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya masyarakat diberikan ruang yang layak untuk mengelola, menilai dan menikmatinya. Masyarakat diberi ruang partisipasi yang luas, agar institusi penyelenggara pendidikan memperoleh dukungan dan mendapat legetimasi sosial. Sekali lagi, mengembalikan pendidikan kepada masyarakat berarti menghargai keragaman budaya, kultur dan segala sumber daya yang dimiliki masyarakat. Pendidikan harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ali Khalil memberikan apresiasi bahwa pendidikan adalah proses sosial. Karena itu, pendidikan dalam suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan karakter masyarakat itu sendiri. Dalam arti lain, pendidikan adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut. Adanya berbagai variasi lembaga sosial, tempat pariwisata, kesenian dan sejumlah aset masyarakat membuka seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Antara masyarakat dengan pihak lembaga pendidikan betul-betul bisa membangun kerjasama sinergis yang kompak dalam menunjukkan kegiatan pendidikan. Prinsip-prinsip pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan seumur hidup (long life education), pendidikan demokratis yang ditandai dengan adanya program yang disesuaikan dengan kesanggupan dan keinginan masyarakat, dan adanya otonomi yang luas bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan, sebagaimana diharapkan Tim Reformasi Pendidikan Nasional. Identifikasi penyebab rendahnya mutu pembelajaran IPS pada jenjang sekolah tertentu dianalisis dari aspek kemampuan guru. Jawab : Salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia dilakukan melalui pembaharuan Kurikulum dari Kurikulum 1994 menjadi Krikulum 2004. Dengan paradigma utamanya yaitu KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2004 secara mendasar diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah besar yang dialami di Indonesia. Salah satu masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendannya rata-rata prestasi belajar siswa. Masalah lain dalam bidang pendidikan di Indonesia yang, juga banyak diperbincangkan adalah bahwa pendekatan dalaria pembelajaran masih terlalu didominasi oleh peran guru (teacher centered). Guru lebih banyak menempatkan siswa sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada siswa dalam berbagai mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik (meinyeluruh), kreatif, objektif, dan logis. Pendidikan juga belum memanfaatkan quantum learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual. Demikian juga proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai anak menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Kebanyakan guru dalam mengelola pembelajarannya, begitu saja berpindah dari satuan pembelajaran satu ke satuan pembelajaran berikutnya, tanpa menghiraukan siswa-siswa yang lamban, kurang memahami, atau bahkan gagal mencapai kompetensi-kompetensi yang

direncanakan. Akibatnya, tidak aneh bila banyak siswa yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran pula kalau mutu pendidikan secara nasional masih rendah. Sistem persekolahan yang tidak memberikan pembelajaran sampai tuntas ini telah menyebabkan pemborosan anggaran pendidikan. Sesuai dengan cita-cita dan harapan dari tujuan pendidikan nasional, guru perlu memiliki beberapa prinsip mengajar yang mengacu pada peningkatan kemampuan internal siswa di dalam merangsang keterlibatan siswa dalam strategi pembelajaran ataupun melaksanakan pembelajaran. Peningkatan potensi internal itu misalnya dengan menerapkan jenis-jenis strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa mampu mencapai kompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual. Karena itu bila kita berbicara tentang rendahnya daya serap atau prestasi belajar, atau belum terwujudnya keterampilan proses dan pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa, maka sebenarnya inti persoalannya adalah pada masalah "ketuntasan belajar" yakni pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan bagi setiap kompetensi atau unit bahan ajaran secara perorangan. Masalah ketuntasan dalam belajar merupakan masalah yang penting, sebab menyangkut masa depan siswa, terlebih bagi mereka yang mengalami kesulitan belajar. Pendekatan pembelajaran tuntas adalah salah satu usaha dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi siswa mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu. Dengan menempatkan pembelajaran tuntas sebagai salah satu prinsip utama dalam mendukung pelaksanaan Kurikulum 2004, maka berarti pembelajaran tuntas ini merupakan sesuatu yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh warga sekolah. Pada kenyataannya, pembelajaran tuntas ini belum banyak dilaksanakan di sekolah, dan masih banyak sekolah yang melaksanakan pembelajarannya secara konvensional. Untuk itu perlu adanya pedoman yang membedakan arah serta petunjuk bagi guru dan warga sekolah tentang bagaimana pembelajaran tuntas (mastery learning) seharusnya dilaksanakan. Pembelajaran tuntas (mastery learning) sendiri diartikan sebagai sistem pembelajaran yang mengharapkan setiap siswa harus mampu menguasai kompetensi-kompetensi dasar (basic learning objectives) secara tuntas, yakni sekurang-kurangnya harus mencapai skor minimal 75. Identifikasi masalah pembelajaran IPS yang sangat kritis dilihat dari aspek kadar kegiatan peserta didik. Jawab : Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta. dipupuk secara efektif melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal. Oleh karena itu, strategi manajemen pendidikan perlu secara khusus memperhatikan pengembangan potensi peserta didik Yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (unggul), yaitu dengan cara penyelenggaraan program pembelajaran yang mampu mengembangkan keunggulan-keunggulan tersebut, baik keunggulan dalam hal potensi intelektual maupun bakat khusus yang bersifat keterampilan (gifted and talented). Strategi pembelajaran yang dilaksanakan selama ini masih bersifat massal, yang memberikan perlakuan dan layanan pendidikan Yang sama kepada semua peserta didik. Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan, kecerdasan, minat, bakat, dan kreativitasnya. Strategi pelayanan pendidikan seperti ini memang tepat dalam konteks pemerataan kesempatan, akan tetapi kurang menunjang usaha mengoptimalkan pengembangan potensi peserta didik secara cepat. Hasil beberapa penelitian Depdikbud (1994) menunjukkan sekitar sepertiga peserta didik yang dapat digolongkan sebagai peserta didik berbakat (gifted and talented) mengalami gejala “prestasi kurang” (underachiever). Hal sama dikemukakan oleh Munandar (1992) cukup banyak peserta didik berbakat yang prestasinya di sekolah tidak

mencerminkan potensi intelektual mereka yang menonjol. Salah satu penyebabnya adalah kondisi-kondisi ekstemal atau lingkungan belajar yang kurang menunjang, kurang menantang kepada mereka untuk mewujudkan kemampuannya secara optimal. Padahal, upaya untuk mencapai keunggulan, melalui strategi pelayanan pendidikan massal akan memiliki konsekuensi sumberdaya pendidikan (dana, tenaga dan sarana) yang kurang menguntungkan. Model strategi pelayanan pendidikan altematif perlu dikembangkan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul melalui pemberian perhatian, perlakuan dan layanan pendidikan berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya. Peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan kelompok kecil. Data di Balitbang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2 – 5 % dari seluruh peserta didik yang ada. Jumlah ini semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi. Di tingkat SLTP jumlah peserta didik berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa mencapai 8 %. Lebih lanjut dikemukakan berdasarkan intelegensi Wechsler peserta didik berbakat intelektual tergolong "sangat unggul" (IQ 130 keatas) berjumlah 2,2% dan tergolong "unggul" (IQ 120-129) berjumlah 6,7% dari populasinya. Jumlah ini memang masih tergolong kecil, namun secara potensial mereka unggul dalam salah satu atau beberapa bidang yang meliputi bidang-bidang intelektual umum, dan akademia khusus, berpikir kreatif produktif, kepemimpinan, seni dan psikomotorik. Strategi pelayanan pendidikan altematif dalam manajemen pendidikan perlu dikembangkan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul, melalui pemberian perhatian, perlakuan dan layanan pendidikan berdasarkan bakat minat dan kemampuannya. Agar pelayanan pendidikan yang selama ini diberikan kepada peserta, didik mencapai sasaran yang optimal, maka pembelajaran harus diaelaraskan dengan potensi peserta didik. Oleh karena itu guru perlu melakukan pelacakan potensi peserta didik. Mengajar atau "teaching" adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan peserta didik. Secara impliait dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan; mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasamya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau perancangan sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik. Itulah sebabnya dalam belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi juga dengan keseluruhan sumber belajar yang lain. Oleh karena itu pembelajaran menaruh perhatian pada "bagaimana membelajarkan peserta didik, dan bukan pada "apa yang dipelajari peserta didik". Dengan demikian pembelajaran menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteriatik peserta didik. Hakikat belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor misalkan bahan yang dipelajari, instrumental, lingkungan, dan kondisi individual si pelajar. Faktor-faktor tersebut diatur sedemikian rupa, agar mempunyai pengaruh yang membantu tercapainya kompetensi secara optimal. Proses belajar yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran merupakan proses yang kompleks dan senantiasa berlangsung dalam berbagai situasi dan kondisi. Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan dalam proses belajar, bahwa masukan (input) untuk sistem pendidikan, atau sistem belajar terdiri dari orang, informasi, dan sumber lainnya. Sedangkan keluaran (output) terdiri dari

orang/siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan dan keluaran terdapat kotak hitam (black box) yang berupa proses belajar atau pendidikan. Belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu: adanya perubahan tingkah laku, sifat perubahannya relatif tetap (permanen) serta perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi dcngan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yeng temporer sifatnya. Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah poses perubahan tingkah-laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar, baik sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar tidak hanya terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan guru. Hasil belajar yang maksimal dapat pula diperoleh lewat interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya. Untuk memberikan landasan akademik/filosofts terhadap pelaksanaan pembelajaran khususnya pada jenjang SMP, maka perlu dikemukakan sejumlah pandangan dari para ahli pendidikan serta pembelajaran. Ada tiga pakar pendidikan yang teori serta pandangannya bisa digunakan sebapi acuan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum 2004, yaitu John Dewey, Vygotsky, dan Ausubel. Menurut Dewey (2001), tugas sekolah adalah memberi pengalaman belajar yang tepat bagi siswa. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas guru adalah membantu siswa menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk yang baru dengan yang lama. Pengalaman belajar baru melalui pengalaman belajar yang lama akan melekat pada struktur kognitif siswa dan menjadi pengetahuan baru bagi siswa. Menurut Vygotsky (2001), terdapat hubungan yang erat antara pengalaman seharihari dengan konsep keilmuan (scientific), tetapi terdapat perbedaan secara kualitatif antara berpikir kompleks dan berpikir konseptual. Berpikir kompleks berdasarkan pada pengkategorisasian objek berdasarkan suatu situasi, dan berpikir konseptual berbasis pada pengertian yang lebih abstrak. Ditegaskan bahwa pengembangan kemampuan dalam hal menganalisis, membuat hipotesis, dan menguji pengalaman sehari-hari pada dasarnya terpisah dari pengalaman sehari-hari. Kemampuan ini tidak ditentukan oleh pengalaman sehari-hari saja, tetapi lebih tergantung pada tipe spesifik interaksi sosial. Menurut Ausubel (1969), pengalaman belajar baru akan masuk ke dalam memori jangka panjang dan akan menjadi pengetahuan baru apabila memiliki makna. Pengalaman belajar adalah interakasi antara subjek belajar dengan bahan ajar, misalnya siswa mengerjakan tugas membaca, melakukan pemecahan masalah, mengamati suatu gejala, peristiwa, percobaan, dan sejenisnya. Agar pengalaman belajar yang baru menjadi pengetahuan baru, semua konsep dalam mata pelajaran diusahakan memiliki nilai terapan di lapangan. Joyce, Weil, dan Showers (1992) menyatakan bahwa hakikat mengajar (teaching) adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Hasil akhir atau hasil jangka panjang dari proses mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar dengan mudah dan efektif di masa mendatang. Tekanan dari kegiatan mengajar tetap saja pada siswa yang belajar. Dengan demikian hakikat mengajar adalah memfasilitasi siswa dalam belajar agar mereka mendapadw kemudahan dalam belajar Ada beberapa alasan mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi pilihan dalam Kurikulum 2004 sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air, di antaranya: (1) potensi siswa berbeda-beda, dan potensi tersebut akan berkembang jika stimulusnya tepat; (2) mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta diabaikin aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta life skill. (3) persaingan global yang menyebabkan siswa/anak yang mampu akan berhasil/eksis, dan yang kurang mampu akan gagal;

(4)

persaingan pada kemampuan SDM (Sumber .Daya Manusia) produk lembaga pendidikan, serta (5) persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang jelas mengenai standar kompetensi lulusan. Upaya-upaya dalan rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum menuju Kurikulum 2004 meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten, serta model sosialisasi, yang lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi serta era yang terjadi saat ini. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum tersebut berlangsung secara bertahap dan terus-menerus, yang mengarah pada terwujudnya azas keluwesan dalam isi kurikulum dan pengelolaan proses belajar mengajar dalam rangka pengembangan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pendekatan pembelajaran dalam Kurikulum 2004 diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam mengelola perolehan belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses belajar lebih mengacu kepada bagaimana siswa belajar dan bukan lagi pada apa yang dipelajari. Sebagai sebuah, konsep, sekaligus sebagai sebuah program, Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil dan keberagaman; (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru tetapi unsur belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan suatu kompetensi (Siskandar, 2003). Kurikulum 2004 dengan paradigmanya pembelajaran berbasis kompetensi menempatkan siswa sebagai subjek didik, yakni lebih banyak mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa siswa memiliki potensi untuk berpikir sendiri dan potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi banyak kesempatan untuk berpikir sendiri. Oleh karena itu maka guru tidak boleh lagi dipandang sebagai orang yang paling tahu segalanya, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator terjadinya proses belajar pada individu siswa, dan siswa tentunya juga harus secara terus menerus berusaha menyempurnakan diri sehingga dari waktu ke waktu makin meningkat kemampuannya. Kemampuan atau keterampilan mendasar dalam belajar, atau bisa dikenal juga sebagai keterampilan proses antara lain adalah kemampuan atau keterampilan dalam : 1. mengobservasi/mengadakan pengamatan 2. menghitung 3. mengukur 4. mengklasifikasi 5. mencari hubungan ruang/waktu 6. membuat hipotesis 7. merencanakan penelitian/eksperimen 8. mengendalikan variabel 9. menginterpretasi atau. Menafsirkan data 10. menyusun kesimpulan sementara (inferensi) 11. meramalkan (memprediksi) 12. menerapkan (mengaplikasikan 13. mengkomunikasikan Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, anak akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituju. Seluruh irama, gerak atau

tindakan dalam pembelaiaran seperti ini akan menciptakan kondisi belajar yang mampu mengaktifkan siswa secara optimal. Mendasarkan pada uraian di atas maka pendekatan dalam pengembangan KBK sebagai ciri Kurikulum 2004, dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: a. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented) b. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar c. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/Lulusan d. Memperhatikan pengembangan kurikulum berdiversifikasi e. Mengembangkan kompetensi secara utuh dan menyelurah (holistik) f. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning) Identifikasi penyebab rendahnya mutu pembelajaran IPS pada jenjang sekolah tertentu dianalisis dari budaya belajar. Jawab : Dalam standar kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial Depdiknas (2003:5) dinyatakan “melalui mata pelajaran Pengetahuan Sosial, peserta didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang baik”. Menjadi warga negara dan warga dunia yang baik merupakan tantangan yang berat karena masyarakat global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat, untuk itulah Pengetahuan Sosial harus dirancang untuk membangun dan merefleksikan kemampuan peserta didik dalam kehidupan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang secara terus menerus. Kemajuan ilmu dan teknologi menambah pengetahuan kita tentang bumi. Namun demikian, kemajuan teknologi yang mendorong industrialisasi menghasilkan dampak negatif seperti polusi dan limbah industri yang mengotori tanah, air, dan udara tidak hanya di tempat sumber limbah akan tetapi juga secara global. Untuk menanamkan betapa berharganya bumi, dan bagaimana memelihara dan melestarikannya, sebaiknya kepada siswa dimasukkan pengetahuan dan pemahaman tentang bumi beserta subsistenmya seperti terbentuknya dan evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam semesta, siklus iklimnya, kekayaan energi bumi, dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga dipelajari tentang kesehatan masyarakat, kependudukan, kekayaan alam, ilmu dan teknologi dalam tantangan lokal, nasional. dan global. Topik-topik demikian harus masuk dalam kurikulum IPS. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi, serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan ini dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Karena itu melalui jalur pendidikan IPS, sejak dini peserta didik sudah harus dibiasakan berfikir global, melihat segala sesuatu dengan perspektif global. Menurut Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardi, (1999:14): “yang dimaksud dengan "perspektif global" adalah suatu cara pandang atau cara berpikir terhadap suatu masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut pandang global, yaitu dari sisi kepentingan dunia atau internasional. Oleh karena itu, sikap dan perbuatan kita juga diarahkan untuk kepentingan global.” Era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan semakin tajam, arus deras dari informasi dan komunikasi, keterbukaan merupakan salah satu pendorongnya, apabila kita tidak mengikutinya dengan seksama menyebabkan ketertinggalan. Ketertinggalan ini disebabkan juga karena globalisasi merupakan proses di mana manusia di bumi ini diinkorporasikan atau dimasukkan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, yaitu masyarakat global; dan dalam proses itu kejadian, keputusan, dan kegiatan di salah satu bagian dunia menjadi konsekuensi yang signifikan bagi individu atau masyarakat di daerah lainnya yang jauh di muka bumi ini (Nursyid:1999:15). Selain itu, globalisasi juga melahirkan masyarakat

yang terbuka, yang memberikan nilai kepada individu, kepada hak dan kewajiban sehingga semua manusia mempunyai kesempatan yang sama. untuk mengembangkan potensinya dan menyumbangkan kemampuannya bagi kemajuan bangsa. Landasan pemikiran lainnya adalah karena bumi tempat yang kita huni adalah planet yang sangat unik dan berharga. Keindahan dan nilai bumi bagi manusia dapat kita temui melalui bacaan dan lukisan. Untuk itulah manusia harus menunjukkan apresiasinya yang tinggi dengan penuh pengertian mengenai subsistem bumi dan dengan perilaku yang penuh tanggung jawab untuk kelestariannya. Selain itu bumi kita itu juga sangat rapuh dan sumberdaya alanya terbatas; penggunaannya oleh manusia seringkali berlebih lebihan dan disalahgunakan. Salah satu sikap, manusia yang demikian, tidak lain karena pertambahan jumlah penduduk, yang terus menerus, yang mempercepat habisnya kekayaan alam, pengrusakan lingkungan, dan pemusnahan makhluk" bumi lainnya. Sebenarnya kurikulum (IPS) 2004 sudah melihat kemungkinan (mengantisipasi), setidak-tidaknya untuk waktu sepuluh tahun kedepan dalam hal fenomena yang ada baik di tingkat masyarakat lokal, nasional, maupun global. Tetapi itu hanya kurikulum dalam bentuk ide dan dokumen, namun dalam bentuk kurikulum sebagai implimentasi (proses), masih akan sangat dipengaruhi oleh beberapa masalah, yaitu: 1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar seperti cooperative learning, inquiry, problem solving, atau dengan menggunakan pendekatan perspektif global misalnya. 2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah, ikut mempengaruhi proses belajar mengajar IPS. 3. Karena itu (point 1 dan 2), proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil secara fatual saja, dan tidak mendapat hasil proses. 4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakikat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya. 5. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap untuk mengadaptasi atau mengadopsi budaya dan peradaban asing yang mulai merambah secara global, karena berbenturan dengan nilai-nilai tradisi ataupun agama. Tujuan bidang studi IPS tidak berfokus pada penguasaan materi IPS semata melainkan menitik beratkan pada penguasaan kecakapan proses, yang dapat diunjukkerjakan dalam bentuk verbal (verbal performance), sikap (attitudinal performance), dan perbuatan (physical performance), atau adanya integrasi antara afektif, kognitif dan motorik. (Suderadjat,2003:47). Materi IPS yang dibelajar mengajarkan haruslah memiliki kualitas untuk dapat bersaing secara internasional, dengan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi di era perdagangan bebas, terutama AFTA dan APEC. Karena, dapat dikembangkan kompetensi, dalam hal ini (PIPS), dikembangkan kompetensi sosial, yang dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu hidup dengan berbagai keterampilan dan kecakapan (life skills), sehingga mampu bersaing dan menang dalam persaingan global, tanpa harus kehilangan jati diri, dan lepas dari nilai-nilai dan budaya bangsanya. Perlunya Pendidikan IPS yang berkualitas internasional, seperti yang dikatakan oleh Alvin Tofler “kita harus berfikir global, dan bertindak lokal”. Globalisasi merambah ke semua penjuru dunia, dan oleh karena itu tidak dapat kita bendung, dan kita harus masuk, ikut serta di dalamnya bertarung untuk menjadi pemenang (winner). Pasar bebas seperti AFTA, APEC, pasti datang karena itu kita harus mempersiapkan para peserta didik agar dapat menjadi pemenang dalam persaingan tersebut, sehingga dapat menjadi tuan di negara sendiri.

Bukan menjadi penonton di rumah sendiri sebagai pihak yang kalah (loser). Oleh karena itu Pendidikan IPS juga harus mempersiapkan kompetensi sosial bagi para peserta didiknya. Materi Pendidikan IPS yang berwawasan global tersebut, diantaranya adalah: a. Tentang Kesadaran diri; sebagai mahluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat sederajat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain). b. Tentang kacakapan berfikir seperti kecakapan; berfikir kritis, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. c. Tentang kecakapan akademik tentang ilmu-ilmu sosial, seperti kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan, serta twntang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia. d. Mengembangkan social skills, dengan maksud supaya pada masa datang kita tidak hanya menjadi objek penguasaan globlisasi belaka. Keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh peserta didik menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002:15) adalah; keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta keterampilan dalam membuat keputusan. Sedangkan keterampilan sosial yang telah dikembangkan oleh NCSS (1984:249) adalah “keterampilan dalam memperoleh informasi, (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat (keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama, berpartisipasi dalam masyarakat)”. Keterampilan sosial seperti ini nampaknya relevan untuk dikembangkan dalam kurikulum Pendidikan IPS di Indonesia, agar kelak para peserta didik dapat hidup sebagai warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi, serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan ini dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Sehingga sejak dini siswa sudah dibiasakan melihat, memahami, menganalisis, merefleksikan, memprediksi berbagai fenomena yang terjadi secara global. Dengan perspektif global, siswa mampu melihat dunia beserta penduduknya dengan pengertian dan kepedulian. Dengan perspektif ini siswa dididik untuk ikut bertanggung jawab terhadap berbagai kebutuhan hidup penduduk dunia dan komitmen untuk ikut menyelesaikan berbagai permasalahan dunia dengan adil dan damai. Dunia di sekitar kita berubah dengan cepat. Para siswa yang akan menjadi warga negara masa depan, hidup dan belajar di tengah-tengah kancah eksploitasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tiada bandingannya dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Mereka tidak dapat mempelajari semuanya atau seluruhnya bahan materi yang akan mereka perlukan selanjutnya, kecuali pedoman kemampuan, keterampilan dan sikap yang akan diperlukan untuk menghadapi zaman tersebut. Pemanfaatan secara efektif kurikulum yang kualitasnya baku, harus disertai dengan kualitas kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih bahan, menciptakan lingkungan belajar yang berkualitas, memperhatikan dan mengikuti perkembangan pengetahauan dan penelitian yang mutakhir dan menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan siswa di dalam membangun pengetahuan dan ilmunya.

Cara untuk membangkitkan budaya belajar di kalangan siswa. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk membangkitkan budaya belajar siswa di antaranya dengan menggunakan multi metode, media, dan evaluasi dalam pembelajaran. Cara lain dengan mengembangkan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Menurut Silberman (2004:19) proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut ini: a. Mengemukakan kembali infomasi dengan kata-kata mereka sendiri. b. Memberikan contohnya. c. Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi. d. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain. e. Menggunakannya dengan beragam cara. f. Memprediksikan sejumlah konsekuensinya. g. Menyebutkan lawan atau sebaliknya. Sementara menurut Al Muchtar (2004:251-252), bahwa: Peningkatan kualitas pendidikan IPS dengan pengembangan berpikir dan nilai, perlu adanya transformasi budaya belajar antara lain dari kebiasaan belajar hanya dalam bentuk menghapal menjadi budaya belajar berpikir; dari belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah berpikir untuk mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya. Peningkatan motivasi dan tujuan belajar dari hanya sekedar mendapatkan nilai yang cukup memadai menjadi budaya belajar yang berorientasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; dari kebiasaan belajar menerima informasi menjadi belajar mencari, mengolah, dan menggunakan informasi. Dari kebiasaan belajar pasif menerima informasi dari guru berkembang menjadi cara belajar aktif. Dari cara belajar santai ke arah belajar kompetitif dengan persaingan yang sehat. Dari cara belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah memecahkan masalah sosial. Lebih lanjut Al Muchtar (2004:252), mengemukakan bahwa: Proses transformasi tersebut dapat berjalan jika dilakukan pula transformasi budaya mengajar yang selama ini tumbuh di lapangan, antara lain dari kebiasaan memberi materi pelajaran ke arah menyajikan bahan pelajaran IPS dalam bentuk masalah sebagai media stimulus bagi pengembangan berpikir dan nilai. Dari kebiasaan berperan sebagai satu-satunya sumber daya belajar ke arah berperan sebagai direktur belajar yang dapat memberi kemudahan belajar. Dari kebiasaan menciptakan pola interaksi satu arah menjadi pola interaksi serba arah. Dari kebiasaan mengajarkan nilai ke arah mengklarifikasi nilai, dari kebiasaan memberikan hapalan ke arah merangsang untuk berpikir tingkat tinggi. Jadi, sebaik apapun pendekatan, metode, media yang digunakan untuk membangkitkan budaya belajar siswa, akhirnya terpulang kepada guru sebagai ujung tombak dalam proses belajar mengajar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahab (1998:7), bahwa: Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Pilih salah satu masalah dalam pembelajaran pendidikan IPS di sekolah, kemudian kemukakan factor dan alternative pemecahannya. Jawab : Masalah yang selalu dianggap menarik dalam pembelajaran IPS selama ini, adalah temuan dari beberapa penelitian (Hasan 2002), dan tulisan (Al Mukhtar, 2004. Azis, 2002, Supriatna, 2002) mengisyaratkan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses, karena itu pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan, dan oleh peserta didik dianggap sebagai pelajaran kelas dua (Somantri, 2001).

Aziz (2002) mengatakan “padahal dalam pembelajaran IPS proses itu amat penting. Dalam pembelajaran PIPS, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengetahuan, pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan demokratis, termasuk mepraktekkan berpikir dan pemecahan masalah.” Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang bersifat hafalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan “kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, (terutama hanya menekankan pada imformasi, fakta dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang diarahkan pada proses berfikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada pembelajaran yang bermakna dan berfungsi bagi kehidupannya), maka pembelajaran IPS tidak akan mampu membantu peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan masa datang. Oleh karena itu sudah semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan ke depan mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di di dunia secara global. Wiriaatmadja (2002: 276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skills). Di antara kamahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan lokakarya, seminar, atau pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Palajaran), dan lain-lain kemahirankemahiran itu dapat diupayakan dan diperoleh dengan mendatangkan nara sumber. Nana Supriatna (2002:18) menyebut terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative learning, konstruktivistik dan inquiry. Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga menyebutkan salah satu aspek dari kemahiran mengajar guru IPS yang dituntut untuk ditingkatkan dengan masuknya arus globalisasi adalah menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya dengan cooperative learning, maka pelajaran IPS tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber informasi - melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif, karena mereka akan diminta melakukan berbagai tugas seperti bekerja secara berkelompok, melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini berarti bahwa guru bukan satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam. berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam. semua kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment), tidak hanya untuk perolehan pengetahuan keIPSan (product) saja, melainkan menilai keterampilan sosial siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung (process), yang mencakup penilian untuk ranah afektif dan psikomotornya. Kedua, Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembang materi pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan

menganalisis, dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang mereka terima Di Era global ini sumber-sumber informasi yang tidak terbatas dapat digunakan sebagai materi pembelajaran IPS untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan informasi tersebut. Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan tersebut di dalam kelas. Ketiga, Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial dan intelektual, strategi ini menekankan peserta didik menggunakan keterampilan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan demikian keterampilan memperoleh informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai informasi atau pengalaman belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk mengembangkan keterampilan yang terkait untuk menguasai informasi. Selanjutnya Supriatna (2002:19), mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang terkait dengan penguasaan informasi diantaranya adalah: 1. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran libih realistik dan posistif ketika menganalisis dan mengaflikasikan data dalam memecahkan masalah. 2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan, serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi. 3. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar. Wiriaatmadja (2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu: a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah, b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan gagasan penting yang terdapat dalam topik-topik yang dibahas, demi pernahaman, apresiasi dan aplikasi siswa. c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara. penyajiannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif. d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi. e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari. f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/persiapan, pemberlakuan, dan asessment pembelajaran. Jelaskan tujuan inovasi pembelajaran dalam pendidikan IPS. Jawab : Sebagai program pendidikan, IPS memiliki misi khusus, yaitu : Pertama, membantu peserta didik mengembangkan kompetensi-kompetensi dirinya dalam menggali dan mengembangkan sumber-sumber fisik dan sosial yang ada di lingkungan sosialnya, sehingga mereka dapat hidup selaras dengannya, Kedua, mempersiapkan peserta didik menyongsong kehidupannya di masa depan dengan penuh harapan dan kemampuan diri dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapainya. IPS berkenaan dengan human being, proses pemanusiaan yang kedap terhadap keragaman sistem, pola kehidupan, bentuk dan struktur sosial, melalui penemuan makna di dalam aktivitasnya, dan kebutuhan-kebutuhan dasar, dengan perkembangan sistem sosialnya, di berbagai lingkungan yang berbeda.

Bertolak dari prinsip diatas, maka terdapat suatu pertanyaan yang sering kita dengarkan yakni : Mengapa pelajaran IPS dianggap sangat membosankan ?. Hal ini desebabkan oleh beberapa faktor yakni; Kelemahan pembelajaran IPS selama ini adalah kurang mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran. Guru tidak mengembangkan berbagai pendekatan maupun metode dalam pembelajaran. Kebanyakan para pendidik menempuh cara yang mudah saja dengan menggunakan metode ceramah dan mengandalkan penghafalan fakta-fakta belaka. a. Pendekatan ekspositori sangat menguasai keseluruhan proses belajar mengajar. Kalaupun ada diskusi tetapi tidak ada hubungannya dengan prosedur berpikir ilmu sosial. b. Hierarki belajar hampir tidak di temui baik dalam penyusunan satuan pelajaran, proses belajar, konstruksi tes maupun dalam buku pelajaran. c. Tingkat pengetahuan sebahagian besar peserta didik berada dalam kelompok peringkat satu (fakta) dan peringkat dua (konsep), sedang generalisasi sebagai peringkat tiga hampir tidak digunakan. d. Penyebaran kawasan tujuan instruksional tidak memungkinkan peserta didik belajar aktif. e. Mata pelajaran sejarah dan ilmu sosial lainnya sangat membosankan dan kurang membantu dalam permulaan di perguruan tinggi maupun manfaatnya bagi kehidupan masyarakat. (Numan Somantri, 2001 : 39) Kelemahan proses pembelajaran salah satu juga di titik beratkan pada guru. Guru dianggap tidak memiliki kemampuan mengembangkan proses pembelajaran IPS. Akibatnya, berbagai proyek untuk meningkatkan kemampuan guru IPS, dan guru lain, di laksanakan di berbagai daerah. Kemampuan guru setelah penataran meningkat tetapi proses pembelajaran IPS tetap saja tidak mejadi lebih baik. Beban guru IPS hampir tidak medapat perhatian. Berbagai metode mengajar diketahui dan dikuasai para guru tersebut menjadi sia-sia. Guru IPS menjadi ”lesu darah” dan mengambil prinsip alamiah yang universal yaitu ” melakukan yang dapat dilakukan ”. Keinginan untuk menyalahkan guru tampaknya melebihi kejernihan berpikir dalam mengidentifikasi masalah dan mennyelesaikan masalah yang sesuai dengan masalah yang di indentifikasi tadi. (S. Hamid Hasan, 2006 : 1-2 ) Faktor lain yang tidak pernah mendapat perhatian serius dan realisasi yang sungguh dalam memperbaiki pendidikan IPS adalah menerapkan prinsip pendidikan. Perubahan kurikulum yang sifatnya seragam untuk seluruh mata pelajaran, sebagaimana di tunjukan oleh sejarah kurikulum di indonesia, menyebabkan karakteristik tujuan dan mata pelajaran terabaikan kecuali kalau karakteristik materi tersebut dibuat seragam. Perubahan materi kurikulum berkenaan hannya dengan disiplin ilmu yang di ajarkan secara mengorganisasikan materi tersebut. Hal yang terjadi, materi IPS di SD dan SMP harus sama dengan materi di SMA, dan harus sama pula dengan mata pelajaran lainnya. Materi disiplin ilmu adalah materi yang memenuhi persyaratan tersebut dan oleh karena pendidikan IPS adalah pendidikan disiplin ilmu. Model kurikulum IPS adalah model kurikulum disiplin ilmu, sedangkan proses pembelajaran IPS adalah ” transfer of knowledge ” evaluasi hasil belajar adalah evaluasi mengenai kemampuan mengingat. Dengan demikian keseluruhan proses pendidikan IPS lengkap, dan dari beban mengajar guru sampai kepada lingkungan kerja yang tidak medukung guru untuk produktif, inovatif, dan mencapai hasil yang di tuntut masyarakat. ( S. Hamid Hasan, 2006 : 2 ) Penyebab lain siswa kurang bergairah mengikuti pelajaran IPS adalah karena pembelajaran IPS dianggap tidak dapat mengaplikasikan untuk mengetahui secara lebih jauh apa yang dipelajarinya, karena itu pembelajaran pendidikan IPS dinggap hannya sekedar

untuk kepentinggan ” sesaat ” tanpa ada manfaat praktis dalam kehidupan sehari- hari di masyarakat. Tantangan lain dalam pendidikan IPS adalah belum menjadi nilai sosial budaya yang berkembang di lingkungan masyarakat atau dilingkungan peserta didik menjadi sumber belajar. Sehingga kadang kala peserta didik tidak merespon kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat lingkungan peserta didik tidak dijadikan sumber pelajaran IPS. Kalaupun dilakukan amat terbatas hannya sebagai bahan pelengkap tidak merupakan inti bahasan untuk melatih kemampuan penalaran nilai. Dampaknya pendidikan IPS tidak mendekatkan dan mengakrapkan peserta didik dengan lingkungan sosial budayanya. Akibatnya pendidikan IPS belum mampu berperan sebagai media bagi pengembangan kemampuan penalaran nilai bagi peserta didik. ( Al-Muchtar, 2004 : 220 ) Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berhasil mengembangkan potensi seseorang siswa secara maksimum. Hal ini hanya akan tercapai apabila pendidikan dapat mengembangkan apa yang disebut ”Ausubel dan Robinson, (1969)” dengan istilah meaningful learning ( belajar bermakna ). . (S. Hamid Hasan (1996)). Bagi ilmu-ilmu sosial, kajian-kajiannya tidak selalu dapat di amati oleh karena itu kemampuan berpikir abstrak merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mengkaji mengenai masalah-masalah sosial. Bagaimana manusia dapat memahami bendabenda teknologi atau pranata kehidupan sosial budaya manusia berdasarkan bentuk fisik yang terlihat dan terjadi, maka mereka dituntut berpikir abstrak sehingga mampu memahami dan menjelaskan apa yang ada dibalik fenomena yang diamati, dan memikirkan bagaimana alternatif yang dilakukan. Fenomena kehidupan yang dikembangkan dalam konsep-konsep ilmu sosial misalnya : rasa cinta tanah air, semangat nasionalisme, kekuasaan, kekuatan, rasa kecewa dan sebagainya adalah fenomena- fenomena yang abstrak. Pengembangan kurikulum IPS, harus mampu mengakomodasi semua tujuan dari pendidikan IPS tersebut. Namun demikian perubahan kurikulum harus melihat realita kehidupan di masyarakat, sehingga pembelajaran IPS dapat disampaikan kepada siswa bukan hanya sebagai pengetahuan saja, akan tetapi dapat diterapkan langsung di masyarakat. Perubahan kurikulum yang dimaksud adalah merubah jenis pembelajarannya, gurunya, media dan sumber pelajarannya serta perilaku siswa yang tadinya sebagai penerima informasi, kini harus menjadi pelaku informasi. Mempersiapkan warga negara yang mampu menentukan pilihan yang cerdas diantara berbagai macam alternatif yang terdapat dalam suatu masyarakat, merupakan tugas utama dari Pendidikan IPS. Salah satu konsekuensinya dari suatu masyarakat yang demokratis adalah semakin luas dan kompleksnya pilihan-pilihan bagi setiap orang baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan masyarakat. Dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang mengikuti perkembangan zaman, maka semakin berat pula tanggung jawab pendidik. Hal ini berarti bahwa pendidikan IPS menjadi lebih penting sehingga harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Kemukakan masalah yang dihadapi dalam melakukan inovasi pembelajaran pendidikan IPS. Jawab : Sejak tahun pertama masuk sekolah para pelajar hendaknya diajak ikut serta untuk dapat memecahkan berbagai persoalan, khusnya yang timbul dalam masyarakat, agar mereka menjadi warga negara yang analitis, kritis serta menghargai nilai-nilai demokratis. Pelajar semacam itu hendaknya dimulai dari sekolah dasar, kemudian ke sekolah lanjutan serta

perguruan tinggi yang dimulai dari konsep sederhana, gagasan pengetahuan yang semakin sukar dan mendalam/dari yang konkrit menuju yang abstrak. Guna melaksanakan hal-hal tersebut maka diperlukan adanya alam lingkungan yang demokratis agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan itu sendiri harus meliputi serta mempraktekkan dasar-dasar demokrasi. Menurut Jacques Barzun bahwa “adalah tidak mungkin mengajarkan demokrasi, atau kewargaan negara/kehidupan perkawinan yang bahagia hanya melalui bahan-bahan yang harus dihafalkan saja, walaupun hal ini penting, melainkan melalui perwujudan dari diri dan tingkah laku seseorang. Bukan dari pelajaran, melainkan dari pelajaran, melainkan dari jiwa manusia. Berdasarkan pemikiran tersebut maka peranan pendidikan IPS menjadi fokus pembahasan, guna dapat mengembangkan; warga negara yang bertanggung jawab, warga negara yang analitis serta warga negara yang berpartisipasi. Akan tetapi walaupun demikian manusia dapat merasakan pengaruhnya implikasi tersebut. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi dirasakan baik langsung maupun tidak, karena cara hidup masyarakat, cara kerja, barang-barang kebutuhan yang dibeli, keadaan sekeliling dan bahkan nilai hidup yang dianut cepat berubah dan jelas terlihat dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan tersebut. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja dirasakan oleh individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan negara. Bagi negara-negara yang telah maju mengenai teknologinya pengaruh tersebut telah lama terasa karena dalam negara-negara berkembang pengaruh tersebut baru dirasakan sehubungan dengan pengaruh-pengaruh di atas, maka pendidikan serta sekolah tidak luput dari pengaruh-pengaruh itu. Sekolah bertanggung jawab dalam membekali para siswa dalam menghadapi perubahan zaman. Hal itu berarti akan terjadi perubahan-perubahan pada kurikulum, buku pelajaran, tujuan yang harus dicapai, metode mengajar, evaluasi pelajaran dan lain-lain. Demikian pula pengaruh-pengaruh itu terjadi dalam Pendidikan IPS. Tingkah laku pelajar dipengaruhi dan diwujudkan oleh pengertiannya kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan. Dengan demikian pengetahuan yang terdapat dalam pendidikan IPS akan dikembangkan pada konsep-konsep serta generalisasi penting mengenai permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Para pelajar hendaknya dibantu untuk mempergunakan fakta tertentu yang mereka pelajari agar dapat mengembangkan konsep-konsep dan generalisasigeneralisasi yang penting. Pada waktu melakukan hal-hal tersebut para pelajar harus diperkenalkan dengan tingkatan yang sesuai dengan kedewasaannya, kepada metode penyelidikan yang dipergunakan oleh para ahli ilmu dalam usaha mencari kebenaran. Kemukakan gambaran masalah pembelajaran pendidikan IPS yang menuntut dilakukannya inovasi pembelajaran. Jawab : Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini pembelajaran IPS di lapangan masih menemui kendala. Bebarapa kelemahan pembelajaran IPS di lapangan seperti diungkapkan oleh Suwarma (2001) diantaranya ialah : a) Proses pembelajaran kurang ditunjang dengan pengembangan dan penggunaan media dan alat pembelajaran. b) proses pembelajaran lebih menekankan kepada pengembangan aspek kognitif daripada efektif dan psikomotor. c) proses pembelajaran kurang menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial. d) Proses pembelajaran lebih menekankan kepada pencurahan isi buku dari pada proses penalaran isi buku. e) proses pembelajaran lebih menempatkan siswa sebagai penerima informasi dalam soal belajar satu arah dari pada melibatkan siswa dalam proses berfikir. f) proses pembelajaran lebih menempatkan guru sebagai sumber informasi yang dominan

disamping terbatasnya penggunaan sumber daya belajar lainnya. g) proses pembelajaran belum banyak mengakses pada penguatan sistem nilai keimanan dan ketakwaan. h) proses pembelajaran belum secara tegas mengakses kepada penguasaan IPTEK. Kelemahan-kelemahan tersebut kiranya dapat dicarikan alternatif pemecahannya, diantaranya dengan merubah paradigma belajar yang selama ini masih konvensional menjadi budaya belajar yang aktif, kreatif dan efektif. Antara lain dari kebiasaan belaiar hanya dalam bentuk menghapal menjadi budaya belaiar berfikir, dari belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial kearah berpikir untuk mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya. Budaya belajar yang berorientasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri dari kebiasaan belajar menerima informasi menjadi belajar mencari, mengolah dan menggunakan informasi. Dari kebiasaan belajar pasif menerima informasi dari guru berkembang menjadi cara belaiar aktif Dari cara belajar santai ke arah belajar kompetitif dengan persaingan yang sehat. Dari cara belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah memecahkan masalah sosial. Kemudian gurunyapun harus dapat merubah cara mengajarnya dengan melakukan transformasi budaya mengajar kebiasaan memberikan materi dari buku dalam kemasan informasi, ke arah sebagai penyaji masalah yang menjadikan buku pelajaran sebagai bahan untuk didiskusikan oleh peserta didik. Dari mengajar dengan monoton satu arah ke arah mengajar serba arah. Dari komunikasi verbal ke arah yang empri rasional. Apabila hal ini dapat dilaksanakan maka kelemahan-kelembahan pembelajaran IPS yang semala ini terjadi dapat kita atasi, tergantung apakah kita mau melaksanakannya atau tidak. Kemukakan karakteristik inovasi pembelajaran IPS berdasarkan masalah tersebut di atas. Jawab : Menurut Suwarma (2001) menyatakan beberapa prinsip dalam inovasi pendidikan diantaranya ialah : a) Inovasi pembelajaran harus bertumpu pada upaya pembelajaran peserta didik secara penuh baik intelektual maupun emosional dengan memperhatikan perkembangan dan psikologi social. b) Inovasi pembelajaran harus mengakses pada strategi pengembangan berpikir tingkat tinggi untuk dapat menguasai IPTEK seiring dengan pembinaan nilai untuk memperkuat system nilai agar dapat mengambil kompetitif dalam gerak perubahan social dan persaingan global. c) Inovasi pembelajaran dapat memungkinkan peserta didik memiliki kemampuan untuk mengakses berbagai sumber informasi. d) Inovasi pembelajaran perlu dijadikan unggulan dalam melakukan upaya peningkatan mutu pendidikan dengan dukungan kebijakan nasional untuk menjadi gerakan budaya pendidikan. e) Inovasi pembelajaran perlu dilakukan dengan berorientasi pada penyempurnaan dan peningkatan kualitas pembelajaran dari pengalaman yang ada dengan dukungan penelitian dan evaluasi implementasi kutikulum. f) Inovasi pembelajaran perlu melibatkan secara optimal guru sebagai inisiator dan innovator pembelajaran dengan memberikan peluang untuk mengembangkan kreatifitasnya. g) Inovasi pembelajaran perlu dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak dengan dilakukan secara berkesinambungan.

h) Inovasi pembelajaran memperhatikan aspek social budaya dan lingkungan peserta didik, factor psikologis diarahkan pada pengembangan kemampuan berfikir secara kreatif. i) Inovasi pembelajaran hendaknya mengembangkan secara optimal potensi berpikir peserta didik untuk menguasai IPTEK yang terintegrasi dengan IMTAQ. Dari pendapat tersebut jelas bahwa dalam inovasi pembelajaran harus memperhatikan berbagai aspek diantaranya memperhatikan aspek intelektual maupun emosional peserta didik, memberdayakan lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai media informasi, serta evaluasi yang berkesinambungan. Inovasi pembelajaran IPS yang demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan IPS. Kemukakan factor penentu keberhasilan inovasi pembelajaran dalam pendidikan IPS. Jawab : Inovasi dan kreativitas berpikir adalah nikmat yang dianugrahkan Allah dalam bentuk akal, langkah berani dan menggelora, yang mendobrak permanensi taglid, monotonitas kerja dan kejenuhan rutinitas, yang kadang benar dan salah. Ia memiliki sifat seperti seorang bayi yang masih merah ; membutuhkan seseorang yang akan mengayomi dan merawatnya, menjaganya dari terpaan angin kejumudan (kebekuan) yang akan meredupkan sinarnya dan mengacam perasaannya, serta melindungi harapan yang menyapanya dari jauh, yang seringkali mati oleh ketakutan yang bersemayam dalam batin kita, dan mendekam dalam dada kita. Akibatnya, seringkali kita berlepas diri dari gagasan inovatif dan kreatif ini hanya karena orang lain tidak mempercayainya. Pengetahuan tentang tokoh-tokoh pembaharu yang dapat memperkaya kehidupan budaya, sosial, keagamaan, pemikiran, keilmuan,dan kesenian kita telah menggugah kerinduan dan emosi kami untuk membahas tema ini dan menapak tilas jejak-jejak para tokoh mereka. Agar mata air peradaban kita yang dulu meluap-meluap jangan sampai kini menjadi kering ! Anda dan saya boleh saja bertanya-tanya di manakah figur-figur seperti Al Aqqad, Thaha Husein, Al Mazini, Shadiq Ar-Rafi’I, Hasan Al Banna, Mushthafa Musyrifah, Samirah Musa, Taufik Al Hakim, Muhammad Al Ghazali, Asy Sya’rawi dan pelita-pelita lain yang masih memancarkan sinarnya seperti Al Qardhawi, Ahmad Zuwail, Najib Mahfudz, dan Majdi Ya’qub serta simbol-simbol keahlian lainnya dalam berbagai aspek kemanusiaan ? Apakah mereka dan yang lainnya merupakan segelintir orang dari sekelompok komunitas yang sudah cukup untuk menutup fardhu kifayah di tengah masyarakat kita yang luas dimensinya, ataukah kita masih membutuhkan figur-figur lain untuk menutup kekurangan-kekurangan di berbagai bidang kehidupan ? Sebelum menjadi kreatif, maka perlu belajar berinovasi terlebih dahulu melalui 4 (empat) ‘channel’ yaitu : Penemu, Perakit, Pengembang atau Peniru. Apapun ‘channel’ yang anda pilih ketika kita bicara kreativitas dan inovasi, maka sangat terkait dengan kerja otak kanan. Bahasa otak kanan adalah imajinasi, futuris, acak, dan ketidakmungkinan. Sedangkan otak kiri adalah akademis, pragmatis, sistematis, dan kemungkinan-kemungkinan. Terus terang, pendidikan yang kita alami sejak kecil hingga dewasa lebih banyak menitikberatkan pada porsi otak kiri ketimbang otak kanan. Bahkan kecerdasan seseorang diukur dengan seberapa tinggi kemampuan akademisnya. Inilah yang sering saya sebut sebagai ‘ inbox thinking’ dan akhirnya akan melahirkan ‘manusia-manusia kardus’. Kreativitas dan inovasi akan tumbuh subur apabila anda memulai dengan ‘outbox thinking’. Dalam menuju proses inovasi, Abdul Jawwad mengatakan ada 4 (empat) aspek fudanmental yang harus dipenuhi yaitu : POSE (produktivitas, Orisinalitas, Sensitivitas dan Elastisitas). Produktif artinya kemampuan untuk menghasilkan jawaban-jawaban sebanyak mungkin untuk sebuah pertanyaan. Sedangkan orisinalitas adalah kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan

yang unik dan baru. Adapun sensitivitas adalah kepekaan dalam melihat fenomena yang ada disekeliling dirinya. Dan akhirnya elastisitas adalah kemampuan menghasilkan pemikiranpemikiran variatif sebanyak mungkin. Kreativitas dan inovasi dapat menjadi faktor penyelamat (safety factor) dalam suatu lembaga atau perusahaan dari ‘declining process’ proses penurunan kualitas bahkan sampai pada sebuah stagnasi. Kita semua percaya bahwa tidak pernah ada keberhasilan abadi sebagaimana sebagaimana tidak pernah ada kegagalan abadi. Oleh karena itu, kehadiran sebuah kreativitas dan inovasi merupakan pintu gerbang menuju change management. Hanya sumber daya manusia yang cerdaslah mampu bersaing di tengah persaingan global yang semakin tajam. Sifat-sifat apakah yang harus dimiliki para inovator dan kreator ? Abdul Jawwad menyatakan ada 50 (lima puluh) karakteristik, yang intisarinya dapat disingkat dengan : CODES Championship - Tekun dan tidak mudah menyerah serta berputus asa. Out of Status Quo - Anti kemampanan. Dynamic - Berusaha menjauhkan diri dari rutinitas kerja. Extraordinary - Siap menghadapi kekacauan, ketidakmenentuan dan tidak segan berbeda dengan main stream pemekiran yang ada. Strong motivation - Kepercayaan diri yang besar. Kita tidak hanya berbicara seputar hal-hal yang dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi tapi juga hal-hal yang dapat membunuhnya. Di istilahkan dalam hal ini sebagai The 3 Big Killers. 1. Motivasi terlalu rendah (Very Low Motivation). 2. Lingkungan yang buruk (Bad Environment) 3. Bahasa yang meracuni (Poisoned Language) Pernahkah mendengar kalimat-kalimat seperti ini, “kita tidak akan mampu melaksanakan gagasangagasan seperti ini, sesungguhnya hal itu di luar tanggung jawab kita, mengapa harus melakukan perubahan ?, gagasan ini terlalu dini untuk saat sekarang, pimpinan tertinggi pasti tidak setuju, berarti kita dituntut bekerja ekstra.” Boleh jadi kalimat-kalimat di atas terkesan sepele, tapi perlu anda ketahui bahwa untuk berpikir dan bertindakkreatif harus dimulai dengan bahasa positif. Tidak mudah untuk berbicara dengan bahasa positif karena seringkali anda dihadapkan pada mental block yang kuat. Dan, apakah anda tahu mental block no. 1 ? Ya, itulah yang dinamakan fear to failure (takut gagal). Dalam konteks kelembagaan satu departemen yang harus dihidupkan kembali peran dan fungsinya sebagai pembangkit kreativitas dan inovasi yaitu Departemen Litbang, bukan plesetan sulit berkembang, tapi penelitian dan pengembangan. Begitu signifikan departemen ini sehingga tidaklah heran kalau GE (General Electric), Top Ten Company in The World tercatat dalam Fortune Magazine menghabiskan hampir 30 – 40 % budget perusahaannya hanya untuk riset dan pengembangan produk serta SDM. Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlaq, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Pendidikan IPS adalah suatu program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Berdasarkan pengertian ini ditunjukkan bahwa salah satu ciri utama pendidikan IPS adalah kerjasama disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial. Menurut Djahiri (1993) mengkonsepsikan program Pendidikan IPS yang: (a) secara kognitif melatih dan membekali anak didik dengan conceptual-knowledge yang layak, kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang cukup; (b) secara metacognitiveawareness and skills membekali kemampuan penalaran dan belajar yang luas; (c) secara moral-afektual membina perbekalan tatanan nilai, keyakinan dan keadilannya maupun pengalaman dan kemampuan afektual siswa; dan (d) secara sosial membina ketegaran akan harga diri dan self-concept serta kemampuan melakukan interpersonal relationship. Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat. Sementara itu Wahab, (1986) menyatakan, guru IPS dalam merencanakan pelajaran dapat menciptakan suasana yang demokratis-kreatif, di mana siswa terlibat secara aktif sebagai subjek maupun objek pelajaran. Pengertian belajar demokratis ini dapat diartikan sebagai suatu upaya merubah diri siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa sesuai dengan potensi dan minatnya. Apapun strategi belajar-mengajar yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar haruslah diusahakan agar kadar keterlibatan mental siswa setinggi mungkin. Lebih jauh Djahiri (1993) mengemukakan bahwa kualitas suatu pengajaran diukur dan ditentukan oleh sejauh mana kegiatan belajar-mengajar tertentu dapat merupakan alat perubah tingkah laku individu ke arah yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan itu maka guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas hendaknya mampu mengembangkan pola interaksi antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Guru harus pandai memotivasi siswa untuk terbuka, kreatif, responsif, interaktif, dan evaluatif. Demikian pula menurut Suwarma (2004) Pendidikan IPS sebagai salah satu program pendidikan, dihadapkan kepada tantangan untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakat modern. Namun dewasa ini masih dihadapkan kepada masalah peningkatan kualitas yang amat serius, bahkan diduga dapat mengancam eksistensinya sebagai program pendidikan yang dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan apresiasi dan internalisasi nilai. Untuk melaksanakan sebagaimana yang diungkapkan di atas maka perlu adanya pengembangan kurikulum IPS, yang mampu mengakomodasi semua tujuan dari pendidikan IPS tersebut. Namun demikian perubahan kurikulum harus melihat realita kehidupan di masyarakat, sehingga pembelajaran IPS dapat disampaikan kepada siswa bukan hanya sebagai pengetahuan saja, akan tetapi dapat diterapkan langsung di masyarakat.

Analisis ketentuan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kemudian rumuskan arah pengembangan pembelajarannya. Jawab : Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berdampak pada sistem penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menuju desentralistik. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ini terwujud dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu substansi yang didesentralisasi adalah kurikulum. Lebih lanjut Pasal 36 ayat (1) dinyatakan bahwa “pengembangan

kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Sekolah harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Untuk itu, sekolah/daerah harus mempersiapkan secara matang, karena sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan dilaksanakan oleh sekolah/daerah. Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP (Pasal 16 ayat 1). Lebih lanjut dalam PP nomor 19 tahun 2005 Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa “kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup”. Ayat (2) pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) mencakup kecakapan personal (pribadi), kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. Sementara dalam panduan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP, kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Atas dasar itu, baik sekolah formal maupun non-formal memiliki kepentingan untuk mengembangkan pembelajaran berorientasi kecakapan hidup. Konsep kecakapan hidup sejak lama menjadi perhatian para ahli dalam pengembangan kurikulum. Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja. Pengembangan kecakapan hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1) kemampuan yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas, alat dan sumber belajar yang memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan peserta didik. Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam membantu memecahkan problematika kehidupannya, serta mengatasi problematika hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi dari permasalahannya. Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah/daerah memiliki kewenangan yang luas untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi peserta didik, keadaan sekolah, potensi dan kebutuhan daerah. Berkenaan dengan itu, Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll) merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa. Keanekaragaman harus selalu dilestarikan dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui upaya pendidikan kecakapan hidup. Pengenalan keadaan lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih mengakrabkan dengan lingkungan kehidupan peserta didik. Pengenalan dan pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik. Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program pendidikan kecakapan hidup dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dilandasi kenyataan bahwa dalam pendidikan tidak hanya mengejar pengetahuan semata tetapi juga pada pengembangan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai tertentu yang dapat direfleksikan dalam kehidupan peserta didik. Sekolah tempat program pendidikan dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan kecakapan hidup di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik mengenai keterampilanketerampilan tertentu yang berkaitan dengan pengalaman peserta didik dalam keseharian

pada lingkungannya. Untuk memudahkan pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup diperlukan adanya model pengembangan yang bersifat umum untuk membantu guru/sekolah dalam mengembangkan muatan kecakapan hidup dalam proses pembelajaran. Pendidikan kecakapan hidup bukan merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri melainkan terintegrasi melalui matapelajaran-matapelajaran, sehingga pedidikan kecapakan hidup dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran yang ada. Di samping itu perlu kesadaran bersama bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan pemerataan daya tampung pendidikan harus disertai dengan pemerataan mutu pendidikan sehingga mampu menjangkau seluruh masyarakat. Oleh kerenanya pendidikan harus dapat mengembangkan potensi peserta didik agar berani menghadapi problema yang dihadapi tanpa merasa tertekan, mau dan mampu, serta senang mengembangkan diri untuk menjadi manusia unggul. Pendidikan juga diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk memelihara diri sendiri, sambil meningkatkan hubungan dengan Tuhan YME, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan demikian jelas bahwa perlu dirancang suatu model pendidikan kecakapan hidup untuk membantu guru/sekolah dalam membekali peserta didik dengan berbagai kecakapan hidup, yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problema hidup peserta didik dalam kehidupan di masyarakat dan lingkungannya baik secara lokal maupun global. Panduan ini merupakan suatu model atau contoh yang dapat digunakan sebagai acuan sekolah atau guru dalam mengembangkan pembelajaran berorientasi kecakapan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah bersangkutan. Tujuan dari pendidikan kecakapan hidup terdiri atas, tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum pendidikan kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik dalam menghadapi perannya di masa mendatang. Secara khusus bertujuan untuk: 1. mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, misalnya: masalah narkoba, lingkungan sosial, dsb 2. memberikan wawasan yang luas mengenai pengembangan karir peserta didik 3. memberikan bekal dengan latihan dasar tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari 4. memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel dan kontekstual 5. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan. Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin (1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri. Pengertian kecakapan hidup tidak

semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi (Dikdasmen, 2002). Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praksis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan. Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri. Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu: a) Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan b) Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS). Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan. Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri (self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill). Kecakapan mengenal diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kecapakan berpikir mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Sedangkan dalam kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill). Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual. Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill). Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Apabila hal ini dapat dicapai, maka ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. (Depdiknas, diolah) Konsep kecakapan hidup sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Personal skill

Mengenal diri Berpikir rasional

Generic life skill

LIFE SKILL

Social skill

Academic skill

Specific life skill Vocational skill

Konsep pendidikan kecakapan hidup atau life skill education dalam kurun waktu 3-4 tahun menjadi wacana yang gencar dikumandangkan jajaran Departemen Pendidikan Nasional yang bahkan sampai hari ini telah menjadi suatu kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Tidak kalah pentingnya, dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) secara tersirat telah mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pencapaian kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Hal ini diperkuat dengan terbitnya PP nomor 19 Tahun 2005 Pasal 13 dan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa pada tingkat pendidikan dasar dan menengah atau sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Baik PP maupun dalam panduan BSNP tersebut tidak memberikan ketegasan bahwa sekolah diharuskan memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Namun demikian, apabila sekolah akan mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup dalam proses pembelajaran, hal ini berimplikasi terhadap perlunya sekolah menyiapkan seperangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran yang mengembangkan kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada kecakapan hidup. Pengembangan tersebut menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya yaitu pada aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup dalam KTSP terintegrasi melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang ada pada setiap mata pelajaran, sehingga tidak berdampak pada alokasi waktu yang ditetapkan. Pendidikan kecakapan hidup sudah menjadi suatu kebijakan seiring dengan berlakunya Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar isi dan standar kompetensi lulusan tersebut menjadi acuan daerah/sekolah dalam mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada masing-masing jenjang pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan kecakapan hidup dengan sendirinya harus mengacu kepada standar-standar yang telah ditetapkan pemerintah. Standar isi dan standar kompetensi lulusan merupakan salah satu bagian dari Standar Nasional Pendidikan. Standar isi terdiri dari: ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan. Dokumen standar isi mencakup: (1) kerangka dasar kurikulum, (2) struktur kurikulum, (3) standar kompetensi dan kompetensi dasar, (4) beban belajar, dan (5) kalender pendidikan. Muatan wajib yang harus ada dalam kurikulum adalah: pendidikan agama; pendidikan kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial; seni dan budaya; pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan; keterampilan/kejuruan;

muatan lokal; dan pengembangan diri. Masing-masing muatan memiliki tujuan pendidikan yang berbeda dan berpeluang untuk memasukkan kecakapan hidup secara terintegratif. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sangat ditentukan oleh program/rancangan yang disusun sekolah dan kreativitas guru dalam merumuskan dan menentukan metode pembelajarannya. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan program pembelajaran sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar 2. Mengidentifikasi bahan kajian/materi pembelajaran 3. Mengembangkan indikator 4. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang bermuatan kecakapan hidup 5. Menentukan bahan/alat/sumber yang digunakan 6. Mengembangkan alat penilaian yang sesuai dengan aspek kecakapan hidup Pendidikan kecakapan hidup dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal berikut: 1. Pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh baik keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia 2. Mengakomodasi semua mata pelajaran untuk dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, serta meningkatkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama dengan mempertimbangkan norma-norma agama yang berlaku 3. Memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat dan bakat, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya 4. Sesuai tuntutan dunia kerja dan kebutuhan kehidupan Program kecakapan hidup hendaknya memungkinkan untuk membekali peserta didik dalam memasuki dunia kerja/usaha serta relevan dengan kebutuhan kehidupan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik 5. Kecakapan-kecakapan yang perlu dikembangkan mencakup: kecakapan personal, sosial, akademis, dan vokasional Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni 6. Mempertimbangkan lima kelompok mata pelajaran berikut: a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi d) Kelompok mata pelajaran estetika e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pembelajaran/bahan kajian, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk proses penilaian. Dalam mengembangkan silabus dan perangkat lainnya mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan oleh BSNP. Langkah-langkah pengembangan silabus secara umum mencakup: 1. Menentukan standar kompetensi 2. Menentukan kompetensi dasar 3. Mengembangkan indikator, sebagai penjabaran dari SK dan KD 4. Menentukan materi pembelajaran 5. Merumuskan dan mengembangkan kegiatan pembelajaran yang berorientasi kecakapan hidup 6. Mempertimbangkan alokasi waktu 7. Menentukan media/alat/sumber/bahan yang sesuai 8. Menentukan jenis dan bentuk penilaian Uraian masing-masing langkah dalam pengembangan silabus adalah sebagai berikut:

a. Menentukan Standar Kompetensi Standar kompetensi adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai. Standar kompetensi yang dipilih atau digunakan sesuai dengan yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Sebelum menentukan atau memilih standar kompetensi, terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1) urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi; 2) keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran; 3) keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran. b. Menentukan Kompetensi Dasar Kompetensi dasar merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi. Kompetensi dasar yang digunakan atau dipilih sesuai dengan yang tercantum dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Sebelum menentukan atau memilih kompetensi dasar, terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1) urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi; 2) keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran; 3) keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran. c. Merumuskan Indikator Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tandatanda, perbuatan dan atau respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik. Indikator dirumuskan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan, potensi peserta didik, dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar dalam menyusun alat penilaian. Kriteria merumuskan indikator: 1) sesuai tingkat perkembangan berpikir peserta didik. 2) berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. 3) memperhatikan aspek manfaat dalam kehidupan sehari-hari 4) harus dapat menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik secara utuh [kognitif (pengetahuan dan pengembangan konsep), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan)] 5) memperhatikan sumber-sumber belajar yang relevan 6) dapat diukur/dapat dikuantifikasi 7) memperhatikan ketercapaian standar lulusan secara nasional 8) berisi kata kerja operasional 9) tidak mengandung pengertian ganda (ambigu) d. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran Dalam mengidentifikasi materi pembelajaran harus mempertimbangkan: 1) tingkat perkembangan fisik 2) tingkat perkembangan intelektual 3) tingkat perkembangan emosional 4) tingkat perkembangan sosial 5) tingkat perkembangan spritual 6) nilai guna dan manfaat 7) struktur keilmuan 8) kedalaman dan keluasan materi 9) relevansi dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan 10) alokasi waktu

Selain itu juga harus memperhatikan beberapa hal berikut: 1) validitas materi; artinya materi harus teruji kebenaran dan kesahihannya 2) tingkat kepentingan; materi yang diajarkan memang benar-benar diperlukan oleh peserta didik 3) kebermanfaatan : materi memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan pada jenjang berikutnya 4) layak dipelajari : materi layak dipelajari baik dari aspek tingkat kesulitan maupun aspek pemanfaatan bahan ajar 5) menarik minat (interest): materinya menarik minat peserta didik dan memotivasinya untuk mempelajari lebih lanjut e. Mengembangkan Kegiatan pembelajaran Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan peserta didik dalam berinteraksi dengan bahan ajar. Kriteria dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran sebagai berikut: 1) kegiatan pembelajaran disusun bertujuan untuk memberikan bantuan kepada guru, agar mereka dapat bekerja dan melaksanakan proses pembelajaran secara profesional sesuai dengan tuntutan kurikulum 2) kegiatan pembelajaran disusun berdasarkan atas satu tuntutan kompetensi dasar secara utuh 3) kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar 4) kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered) 5) mengandung kegiatan-kegiatan yang mendorong peserta didik mencapai kompetensi 6) materi kegiatan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan 7) perumusan kegiatan pembelajaran harus jelas materi/konten yang ingin dikuasai peserta didik 8) penentuan urutan langkah pembelajaran sangat penting artinya bagi materimateri yang memerlukan prasyarat tertentu 9) pendekatan pembelajaran yang digunakan bersifat spiral (mudah-sukar; konkret-abstrak; dekat-jauh) dan juga memerlukan urutan pembelajaran yang terstruktur 10) rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan kegiatan pembelajaran peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi Dalam memilih kegiatan peserta didik perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:  memberikan peluang bagi peserta didik untuk mencari, mengolah dan menemukan sendiri pengetahuan, di bawah bimbingan guru  mencerminkan ciri khas dalam pengembangan kemampuan mata pelajaran.  disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, sumber belajar dan sarana yang tersedia  bervariasi dengan mengkombinasikan kegiatan individu atau perorangan, berpasangan, kelompok, dan klasikal  memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual peserta didik seperti: bakat, minat, kemampuan, latar belakang keluarga, sosial-ekonomi dan budaya serta masalah khusus yang dihadapi peserta didik yang bersangkutan. f. Menentukan Jenis dan Bentuk Penilaian

Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Kriteria penilaian: 1) penulisan jenis penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan dinilai sehingga memudahkan dalam pembuatan soal-soalnya 2) penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator. 3) penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya. 4) sistem penilaian yang berkelanjutan, artinya semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik. 5) hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan, berupa program remedi. Apabila peserta didik belum menguasai suatu kompetensi dasar, ia harus mengikuti proses pembelajaran lagi (remedial), sedang bila telah menguasai kompetensi dasar, ia diberi tugas pengayaan. 6) dalam sistem penilaian berkelanjutan, guru harus membuat kisi-kisi penilaian dan rancangan penilaian secara menyeluruh untuk satu semester dengan menggunakan teknik penilaian yang tepat 7) penilaian dilakukan untuk menyeimbangkan berbagai aspek pembelajaran: kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan menggunakan berbagai model penilaian, formal dan tidak formal secara berkesinambungan. 8) penilaian merupakan suatu proses pengumpulan pelajaran dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan prinsip penilaian berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik. 9) penilaian merupakan proses identifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan hasil belajar peserta didik. 10) penilaian berorientasi pada standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator Dengan demikian hasil penilaian akan memberikan gambaran mengenai perkembangan pencapaian kompetensi. 11) penilaian dilakukan secara berkelanjutan (direncanakan dan dilakukan terusmenerus) guna mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan penguasaan kompetensi oleh peserta didik, baik sebagai efek langsung (main effect) maupun efek pengiring (nurturant effect) dari proses pembelajaran. 12) sistem penilaian harus disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara, maupun produk/hasil melakukan observasi lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan. g. Mempertimbangkan Alokasi Waktu Alokasi waktu adalah waktu yang dibutuhkan untuk ketercapaian satu kompetensi dasar, dengan memperhatikan: 1) minggu efektif per semester 2) alokasi waktu per mata pelajaran 3) jumlah kompetensi per semester

Apabila pendidikan kecakapan hidup dilakukan secara terintegrasi dengan mata pelajaran. h. Menentukan Sumber/Bahan/Alat/Media 1) Sumber Merupakan rujukan, referensi atau literatur yang digunakan dalam penyusunan silabus atau pembelajaran. 2) Bahan Bahan adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam proses praktikum atau pembelajaran lain, misalnya: milimeter blok, benang, daun, kertas, tanah liat, glukosa, dan bahan lain yang relevan 3) Alat/Media Alat/media adalah segala sesuatu yang digunakan dalam proses pembelajaran baik melalui praktikum maupun pembelajaran lainnya, misalnya: slide, alat bantu belajar, mikroskop, gelas ukur, globe, harmonika, matras, dan sebagainya. Dalam implementasinya, silabus perlu dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan masukan dari evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan pembelajaran), dan evaluasi rencana pembelajaran. Pada intinya pendidikan kecakapan hidup membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan, serta memecahkannya secara kreatif. Pendidikan kecakapan hidup bukanlah mata pelajaran, sehingga dalam pelaksanaannya tidak perlu merubah kurikulum dan menciptakan mata pelajaran baru. Yang diperlukan disini adalah mereorientasi pendidikan dari mata pelajaran ke orientasi pendidikan kecakapan hidup melalui pengintegrasian kegiatan-kegiatan yang pada prinsipnya membekali peserta didik terhadap kemampuan-kemampuan tertentu agar dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian peserta didik. Pemahaman ini memberikan arti bahwa mata pelajaran dipahami sebagai alat dan bukan tujuan untuk mengembangkan kecakapan hidup yang nantinya akan digunakan oleh peserta didik dalam menghadapi kehidupan nyata. Prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sebagai berikut: 1. Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku 2. Tidak mengubah kurikulum yang berlaku 3. Pembelajaran menggunakan prinsip empat pilar, yaitu: belajar untuk tahu, belajar menjadi diri sendiri, belajar untuk melakukan, dan belajar untuk mencapai kehidupan bersama 4. Belajar konstekstual (mengkaitkan dengan kehidupan nyata) dengan menggunakan potensi lingkungan sekitar sebagai wahana pendidikan 5. Mengarah kepada tercapainya hidup sehat dan berkualitas, memperluas wawasan dan pengetahuan, dan memiliki akses untuk memenuhi standar hidup secara layak. Keempat dimensi kecakapan hidup secara berkelanjutan harus dimiliki oleh peserta didik sejak TK hingga sekolah menengah, dan bahkan perguruan tinggi sekalipun. Akan tetapi dalam praktik pengembangannya, penekanan pendidikan kecakapan hidup tetap mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. Kecakapan hidup pada TK dan sekolah dasar (SD) berbeda dengan sekolah menengah pertama (SMP), demikian pula kecakapan hidup pada sekolah menengah pertama berbeda dengan sekolah menengah atas (SMA), bergantung kepada tingkat perkembagan psikologis dan fisiologis peserta didik. Gambar berikut ini merupakan contoh dominasi pendidikan kecakapan hidup pada jenis/jenjang pendidikan TK/SD/ SMP, SMA, dan SMK. Peningkatan mutu pendidikan merupakan sebuah komitmen bersama yang harus dipegang teguh. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup sebagai salah satu upaya dalam

melahirkan generasi yang bukan hanya mampu hidup tetapi juga mampu bertahan hidup, dan bahkan dapat unggul (excel) dalam kehidupan dikemudian hari. Contoh dominasi pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dipaparkan dalam gambar di atas, memperlihatkan bahwa pendidikan kecapakan hidup pada jenjang TK/SD/SMP lebih menekankan kepada kecakapan hidup umum (generic life skill), yaitu mencakup aspek kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini memberikan gambaran bahwa untuk jenjang yang lebih rendah lebih berorientasi pada kecakapan hidup yang bersifat dasar/umum sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bukan berarti bahwa pada jenjang ini tidak perlu dikembangkan kecakapan hidup spesifik (specific life skill), yakni kecakapan akademik dan vokasional, akan tetapi apabila dikembangkan maka baru pada tataran awal, misalnya berpikir kritis dan rasional, menumbuhkan sikap jujur dan toleransi. Aspek dasar yang harus dimiliki peserta didik pada jenjang pendidikan TK/SD/SMP adalah kecakapan personal dan sosial yang sering disebut sebagai kecakapan generik (generic life skill). Proses pembelajaran dengan pembenahan aspek personal dan sosial merupakan prasyarat yang harus diupayakan berlangsung pada jenjang ini. Peserta didik pada usia TK/SD/SMP tidak hanya membutuhkan kecakapan membaca-membaca-berhitung, melainkan juga butuh suatu kecakapan lain yang mengajaknya untuk cakap bernalar dan memahami kehidupan secara arif, sehingga pada masanya peserta didik dapat berkembang, kreatif, produktif, kritis, jujur untuk menjadi manusia-manusia yang unggul dan pekerja keras. Pendidikan kecakapan hidup pada jenjang ini lebih menekankan kepada pembelajaran akhlak sebagai dasar pembentukan nilai-nilai dasar kebajikan (basic goodness), seperti: kejujuran, kebaikan, kepatuhan, keadilan, etos kerja, kepahlawanan, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta kemampuan bersosialisasi. a. Kecakapan personal (personal skill) Kecapakan personal mencakup kesadaran diri dan berpikir rasional. Kesadaran diri merupakan tuntutan mendasar bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya di masa mendatang. Kesadaran diri dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) kesadaran akan eksistensi diri sebagai makhluk Tuhan YME, makhluk sosial, dan makhluk lingkungan, dan (2) kesadaran akan potensi diri dan dorongan untuk mengembangkannya. (Dikdasmen, 2004 diolah). (1) Kesadaran diri difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk melihat sendiri potret dirinya Pada tataran yang lebih rendah peserta didik akan melihat dirinya dalam hubungannya dengan lingkungan keluarga, kebiasaannya, kegemarannya, dan sebagainya. Pada tataran yang lebih tinggi, peserta didik akan semakin memahami posisi drinya di lingkungan kelasnya, sekolahnya, desanya, kotanya, dan seterusnya, minat, bakat, dan sebagainya. (2) Kecakapan berpikir merupakan kecakapan dalam menggunakan rasio atau pikiran. Kecakapan ini meliputi kecakapan menggali informasi, mengolah informasi, dan mengambil keputusan secara cerdas, serta mampu memecahkan masalah secara tepat dan baik. Pada jenjang pendidikan menengah (SMP dan SMA) ketiga kecakapan tersebut jauh lebih kompleks ketimbang dengan tingkat sekolah dasar (SD). Sebagaimana diketahui bahwa dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK), kemampuan berpikir mengambil keputusan secara cerdas dan memecahkan masalah secara baik dan tepat menjadi isue utama dalam pembelajaran kecakapan hidup pada peserta didik sekolah menengah (Wasino 2004, diolah). b. Kecakapan sosial (social skill) Kecakapan sosial dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu (1) kecakapan berkomunikasi, dan (2) kecakapan bekerjasama (1) Kecakapan berkomunikasi

Kecakapan berkomunikasi dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat tempat tinggal maupun tempat kerja, peserta didik sangat memerlukan kecakapan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Dalam realitasnya, komunikasi lisan ternyata tidak mudah dilakukan. Seringkali orang tidak dapat menerima pendapat lawan bicaranya, bukan karena isi atau gagasannya tetapi karena cara penyampaiannya yang kurang berkenan. Dalam hal ini diperlukan kemampuan bagaimana memilih kata dan cara menyampaikan agar mudah dimengerti oleh lawan bicaranya. Karena komunikasi secara lisan adalah sangat penting, maka perlu ditumbuhkembangkan sejak dini kepada peserta didik. Lain halnya dengan komunikasi secara tertulis. Dalam hal ini diperlukan kecakapan bagaimana cara menyampaikan pesan secara tertulis dengan pilihan kalimat, katakata, tata bahasa, dan aturan lainnya agar mudah dipahami orang atau pembaca lain. (2) Kecakapan bekerjasama Bekerja dalam kelompok atau tim merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan sepanjang manusia hidup. Salah satu hal yang diperlukan untuk bekerja dalam kelompok adalah adanya kerjasama. Kemampuan bekerjasama perlu dikembangkan agar peserta didik terbiasa memecahkan masalah yang sifatnya agak kompleks. Kerjasama yang dimaksudkan adalah bekerjasama adanya saling pengertian dan membantu antar sesama untuk mencapai tujuan yang baik, hal ini agar peserta didik terbiasa dan dapat membangun semangat komunitas yang harmonis. c. Kecakapan akademik (academic skill) Kecakapan akademik seringkali disebut juga kecakapan intelektual atau kemampuan berpikir ilmiah yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir secara umum, namun mengarah kepada kegiatan yang bersifat keilmuan. Kecakapan ini mencakup antara lain kecakapan mengidentifikasi variabel, menjelaskan hubungan suatu fenomena tertentu, merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penelitian. Untuk membangun kecakapan-kecakapan tersebut diperlukan pula sikap ilmiah, kritis, obyektif, dan transparan. d. Kecakapan vokasional (vocational skill) Kecakapan ini seringkali disebut dengan kecakapan kejuruan, artinya suatu kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat atau lingkungan peserta didik. Kecakapan vokasional lebih cocok untuk peserta didik yang menekuni pekerjaan yang mengandalkan keterampilan psikomotorik daripada kecakapan berpikir ilmiah. Namun bukan berarti peserta didik SMP dan SMA tidak layak untuk menekuni bidang kejuruan seperti ini. Misalnya merangkai dan mengoperasikan komputer. Kecakapan vokasional memiliki dua bagian, yaitu: kecakapan vokasional dasar dan kecakapan vokasional khusus yang sudah terkait dengan bidang pekerjaan tertentu seperti halnya pada peserta didik di SMK. Kecakapan dasar vokasional bertalian dengan bagaimana peserta didik menggunakan alat sederhana, misalnya: obeng, palu, dsb; melakukan gerak dasar, dan membaca gambar sederhana. Kecakapan ini terkait dengan sikap taat asas, presisi, akurasi, dan tepat waktu yang mengarah kepada perilaku produktif. Sedangkan vokasional khusus hanya diperlukan bagi mereka yang akan menekuni pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya pekerja montir, apoteker, tukang, tehnisi, atau meramu menu bagi yang menekuni pekerjaan tata boga, dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup yang diberikan sampai dengan jenjang sekolah menengah lebih berorientasi pada upaya mempersiapkan peserta didik menghadapi era informasi dan era globalisasi. Pada intinya pendidikan kecakapan hidup ini membantu dan membekali peserta didik dalam pengembangan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri, berani menghadapi problema

kehidupan, serta mampu memecahkan persoalan secara kreatif. Pendidikan kecakapan hidup bukan mata pelajaran baru, akan tetapi sebagai alat dan bukan sebagai tujuan. Penerapan konsep pendidikan kecakapan hidup terkait dengan kondisi peserta didik dan lingkungannya seperti substansi yang dipelajari, karakter peserta didik, kondisi sekolah dan lingkungannya. Lebih lanjut penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing jenjang dapat digambarkan sebagai berikut Kecakapan Hidup Substansi Matpel

| TK

| SD

| SMP

| SMA

| S1

| S2 dst ...

Gambar di atas menunujukkan penekanan porsi pembelajaran antara kecakapan hidup dan substansi mata pelajaran yang ada di masing-masing jenjang pendidikan. Pada jenjang TK/SD/SMP, porsi kecakapan hidup sangat besar dan porsi substansi mata pelajaran masih kecil. Sedangkan pada jenjang SMA, porsi kecakapan hidup makin berkurang dan substansi mata pelajaran semakin bertambah. Begitu pula pada jenjang S1 dan S2, porsi kecakapan hidup semakin berkurang karena porsi akademik semakin besar. Prinsip pembelajaran kecapakan hidup lebih kepada pembelajaran kontekstual, yaitu adanya keterkaitan antara kehidupan nyata dengan lingkungan dan pengalaman peserta didik. Lebih lanjut hubungan antara mata pelajaran, kecakapan hidup, dan kehidupan nyata dapat digambarkan sebagai berikut. MATA PELAJARAN

LIFE SKILL

Kontribusi hasil pembelajaran

KEHIDUPAN NYATA Pendidikan kecakapan hidup bukan sebagai mata pelajaran melainkan bagian dari materi pendidikan yang terintegrasi dalam mata pelajaran. Perangkat pembelajaran untuk semua jenis baik mata pelajaran maupun jenjang pendidikan yang mengintegrasikan kecakapan hidup, dirancang/disusun secara kontekstual, sebagaimana digambarkan dalam ilustrasi berikut ini.

Semua jenis mata pelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan

KONTEKSTUAL

Permasalahan dalam kehidupan nyata yang harus disikapi dan dihadapi dengan kecakapan-kecakapan tertentu

Perangkat pembelajaran yang mengintegrasikan Kecakapan Hidup

Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup terintegrasi dengan beragam mata pelajaran yang ada di semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya pada mata pelajaran Matematika yang mengintegrasikan pendidikan kecakapan hidup di dalamnya, selain mengajarkan peserta didik agar pandai matematika, juga pandai memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti: membaca data, menganalisis data, membuat kesimpulan, mempelajari ilmu lain, dan sebagainya. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menjabarkan kecakapan hidup yang terintegrasi dalam mata pelajaran, antara lain: a. melakukan identifikasi unsur kecakapan hidup yang dikembangkan dalam kehidupan nyata yang dituangkan dalam bentuk kegiatan pembelajaran b. melakukan identifikasi pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung kecakapan hidup c. mengklasifikasi dalam bentuk topik/tema dari mata pelajaran yang sesuai dengan kecakapan hidup d. menentukan metode pembelajaran e. merancang bentuk dan jenis penilaian  Penilaian dapat diklasifikasikan kedalam penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak melaksanakan proses pembelajaran. Penilaian eksternal dilakukan oleh suatu lembaga, baik dalam maupun luar negeri, dimaksudkan antara lain untuk pengendali mutu. Sedangkan penilaian internal adalah penilaian yang dilakukan dan direncanakan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung dalam rangka penjaminan mutu.  Penilaian kelas merupakan penilaian internal (internal assessment) terhadap hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru di kelas atas nama sekolah untuk menilai kompetensinya pada tingkat tertentu pada saat dan akhir pembelajaran, sehingga dapat diketahui perkembangan dan ketercapaian berbagai kompetensi peserta didik. Penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti tes tertulis (paper and pencil test), penilaian hasil kerja peserta didik melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portofolio), penilaian produk, penilaian proyek dan penilaian unjuk kerja (performance) peserta didik. Bentuk penilaian seperti ini disebut dengan penilaian hasil belajar. Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik tidak dianjurkan untuk

dibandingkan dengan peserta didik lainnya, tetapi dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelumnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu untuk mencapai apa yang diharapkan.  Penilaian kelas bertujuan untuk menilai kompetensi peserta didik pada tingkat tertentu pada saat proses dan akhir pembelajaran, sehingga dapat diketahui perkembangan dan ketercapaian berbagai kompetensi yang telah dicapai peserta didik. Dalam melaksanakan penilaian, sebaiknya guru perlu:  memandang penilaian dan kegiatan belajar-mengajar secara terpadu.  mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin diri.  melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pengajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.  mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.  mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.  menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Agar penilaian objektif, guru harus berupaya secara optimal untuk:  memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja peserta didik dan tingkah laku dari sejumlah penilaian.  membuat keputusan yang adil tentang penguasaan kompetensi peserta didik dengan mempertimbangkan hasil kerja (karya). Beragam teknik dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik, baik yang berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai. Penilaian kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian kompetensi yang memuat satu ranah atau lebih. Dengan indikator-indikator ini, dapat ditentukan penilaian yang sesuai. Untuk itu, ada tujuh teknik yang dapat digunakan, yaitu: (1) penilaian unjuk kerja, (2) penilaian sikap, (3) penilaian tertulis, (4) penilaian proyek, (5) penilaian produk, (6) penggunaan portofolio, dan (7) penilaian diri. Tindak lanjut merupakan langkah penting untuk dilakukan sebagai suatu rencana kegiatan (action plan) untuk memaksimalkan atau mengoptimalkan ketercapaian kompetensi peserta didik. Rencana tindak lanjut ini juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk "memantau dan mengevaluasi" efektifitas pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri. Dalam implementasinya, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan masukan hasil penilaian terhadap hasil belajar, proses, pelaksanaan pembelajaran, serta evaluasi rencana pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Azis Wahab, (1998). Reorientasi dan Revitalisasi Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah. Bandung: PPS IKIP Bandung (2002), Tantangan Pembelajaran PIPS di Sekolah, JPIS No. 19 Badeni, (2001), Masalah dan Solusi Pembelajaran IPS dengan Pendekatan Cooperative Learning, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Sosial (JPIS), No.18 Banks, James A. & Ambrose A. Clegg Jr, (1985), Teaching Strategies for the Social Studies, New York: Longman, Inc Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist classrooms. Alexandria, VA: ASCD Brown, J.S., Collins, A. & Duguid, S. (1989). Situated cognition and the culture of learning. Educational Researcher, 18(1), 32-42. Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Kurikulum 2004, Jakarta, Depdiknas. (2003), Kumpulan Pedoman Kurikulum 2004, Jakarta. (2003), Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran

Pengetahuan Sosial SMP dan MTS, Jakarta. (2004), Contoh Silabus Berdiversifikasi dan Penilaian Berbasis Kelas, Jakarta Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional Pusat Kurikulum, 2005. Model Integerasi Pendidikan Kecakapan Hidup Dewey, John (1964) John Dewey on education: Selected writings. Chicago: University of Chicago Press. Ernest, P. (1995). The one and the many. In L. Steffe & J. Gale (Eds.). Constructivism in education (pp.459486). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc. Gergen, K. (1995). Social construction and the educational process. In L. Steffe & J. Gale (Eds.). Constructivism in education, (pp.17-39). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc. Hasan S. Hamid, (1996), Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta, P2TA. (2002), Pendidikan IPS dan Ilmu Sosial di Masa Mendatang, JPIS, No. 19, Bandung. Hidayah, Zulyani (2001) Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES. Jarolimek, John, (1993), Social Studies in Elementary Education, New York: Macmillan Publishing Co. Ltd Koentjaraningrat, (1970) Manusia dan Kebudayaannya di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press. (1986) “Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed. , Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya. Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Mardi, (1999), Perspektif Global, Jakarta: Penerbit UT. Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Murphy, Elizabeth (1997) Constructivism Peacock, James L. (2005) Ritus Modernisasi Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, Penerjemah Eko Prasetyo, Depok: Desantara. Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya. Supriatna, Nana, (2002), Mengajarkan Keterampilan Sosisal yang Diperlukan Siswa Memasuki Era Global, JPIS No. 19 Suwarma Al Muchtar, (1999). Epistimologi Dasar Konseptual Strategi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Forum Pendidikan IKIP Bandung. (2003). Otonomi Daerah dan Multikulturalisme. Bandung: FPIPS UPI Bandung. (2004), Pengembangan Berpikir dan Nilai Dalam pendidikan IPS, Bandung, Gelar Pustaka Mandiri ----Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Sekolah Pascasarjana UPI Steffe, Leslie P. & and D'Ambrosio, Beatriz S. (1995). Toward a working model of constructivist teaching: A reaction to Simon. Journal for Research in Mathematics Education, 26, 146-159. Winataputra, U.S., et al. (2004). Kedudukan, Fungsi, Peran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: HISPISI. http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=45053 http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/mengubah_wawasan_peran.htm http://tiger.coe.missouri.edu/~jonassen/courses/CLE/ http://www.kn.pacbell.com/wired/fil/pages/listconstrucsa1.html. http://www.ctheory.com/

More Documents from "Meidita Sari"