Tanah.pdf

  • Uploaded by: dewanda
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tanah.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 37,730
  • Pages: 161
PENINGKATAN KUALITAS ULTISOL JASINGA TERDEGRADASI DENGAN PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN BAHAN ORGANIK

OLEH : NENENG LAELA NURIDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

ABSTRAK NENENG LAELA NURIDA. Peningkatan Kualitas Ultisol Jasinga Terdegradasi dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA, SITANALA ARSYAD, SUDARSONO, UNDANG KURNIA dan GUNAWAN DJAJAKIRANA. Keberlanjutan pengusahaan tanah secara intensif pada tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut seperti Ultisol sangat tergantung pada upaya konservasi bahan organik, agar kualitas tanah dapat terjaga dan keberlanjutan usahatani dapat terjamin. Upaya perbaikan kualitas Ultisol Jasinga yang relatif murah adalah pemanfaatan sumber bahan organik in situ, seperti mukuna, flemingia dan sisa tanaman di mana masing-masing mempunyai kualitas yang berbeda (kadar lignin, selulosa dan unsur hara). Penelitian ini bertujuan: 1) memahami pengaruh berbagai sumber bahan organik dengan kualitas berbeda dalam memperbaiki kualitas tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman, 2) mengetahui hubungan perubahan particulate organic matter (POM) dan biomassa mikroorganisme (Cmic) dengan indikator kualitas tanah, dan 3) memahami pengaruh pengolahan tanah dan pemberian bahan organik terhadap kualitas tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman pada berbagai tingkat kerusakan Ultisol Jasinga. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan dua penelitian yaitu: 1) pengaruh cara pemberian dan sumber bahan organik terhadap kualitas tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman jagung, dilaksanakan di rumah kaca, dan 2) pengaruh pengolahan tanah dan pemberian bahan organik terhadap kualitas tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman, dilaksanakan pada Ultisol Jasinga terdegradasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Ultisol Jasinga terdegradasi, nisbah C/N bahan organik yang diberikan merupakan salah satu parameter kualitas bahan organik yang dominan mempengaruhi kualitas tanah berupa fraksi bahan organik (C-organik, POMp, dan Cmic), sifat fisik (BI dan RPT), dan sifat kimia (Ntotal), serta pengaruhnya ditentukan oleh cara pemberian bahan organik. Parameter kualitas bahan organik lainnya yang berpengaruh adalah kadar lignin, kadar P dan K. Perubahan fraksi labil bahan organik (biomassa mikroorganisme) dan nisbah POMt/Corg mampu merubah beberapa sifat kimia dan fisik tanah, namun tergantung pada cara pemberian bahan organik. Pada pemberian bahan organik dengan cara dicampur, semakin tinggi nisbah POMt/Corg , semakin rendah ruang pori total, pori drainase cepat, K-tersedia dan N-total, namun berat isi semakin tinggi. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa pemberian bahan organik secara periodik sepanjang tahun (19,51 t ha -1) belum mampu memperbaiki kualitas tanah yang telah kehilangan lapisan atas akibat pengupasan tanah setebal 10 cm dan erosi sebesar 1,86 cm. Pada Ultisol Jasinga terdegradasi, penerapan tanpa olah tanah selama dua musim tanam yang disertai dengan rehabilitasi dengan mukuna dan pemberian bahan organik secara periodik sepanjang tahun (21,13 t ha -1), menghasilkan kualitas tanah dan hasil tanaman yang lebih baik, serta secara ekonomi lebih menguntungkan. Kata kunci: degradasi tanah, kualitas tanah, kualitas bahan organik, pengolahan tanah

ABSTRACT NENENG LAELA NURIDA. Quality Improvement of Degraded Ultisol in Jasinga by Soil Tillage and Organic Matter Amandement. Under the supervision of: OTENG HARIDJAJA, SITANALA ARSYAD, SUDARSONO, UNDANG KURNIA, and GUNAWAN DJAJAKIRANA. The sustainability of intensively used soils such as the highly weathered Ultisols depends on organic matter conservation and in order to maintain soil quality and to assure the farming sustainability. Among the inexpensive efforts to improve the soil quality are through utilization of in situ organic matters, such as Mucuna sp., Felimingia sp, and plant residues that differ in quality (in terms of lignin, cellulose and nutrients contents). The aims of this research were to study: 1) the effects of various sources and quality of organic matters on soil quality and plant productivity, 2) the relationships between the changes of particulate organic matter and C-microbes (POM and Cmic) and soil quality indicators, and 3) the effects of soil tillage and organic matter application on Ultisol in Jasinga with different levels of soil degradation soil quality and on plant productivity. Two sets of experiments were conducted: 1) effect of sources and method of organic matter application on soil quality and plant productivity, conducted in greenhouse, and 2) effect of soil tillage and organic matter application on soil quality and plant productivity, conducted in the field on Ultisol Jasinga. The results showed that C/N ratio was one of the organic matter quality parameters dominantly influenced the quality of organic matter fractions (soil organic C, POMp, and C mic, lignin and P and K contents), soil physical properties (bulk density and total soil pores), and soil chemical properties (total N). The labile fractions of organic matters (Cmic) and POMt/Corg ratio influenced some soil physical and chemical properties depending on the method of organic matters application. When organic matter was incorporated, the higher the POMt/Corg ratio, the lower were the total soil pores, drainage soil pores, available K and total N, but the higher was the soil bulk density. The results showed that periodic application of organic matters within one year (19,51 t ha -1) was not able to improve the quality of 10 cm desurfaced and 1.86 cm eroded soils. No tillage treatme nt for two planting seasons in combination with soil rehabilitation with Mucuna sp. and periodic application of organic matters for one year (21,13 t ha -1) resulted in better soil quality and plant productivity as well as economic viability. Key words: Soil degradation, soil quality, organic matter quality, soil tillage

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : Peningkatan Kualitas Ultisol Jasinga Terdegradasi dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik adalah gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2006

Neneng Laela Nurida

PENINGKATAN KUALITAS ULTISOL JASINGA TERDEGRADASI DENGAN PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN BAHAN ORGANIK

OLEH : NENENG LAELA NURIDA

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Judul Penelitian

:

Nama Mahasiswa Nomor Registrasi Pokok Program Studi

: : :

Peningkatan Kualitas Ultisol Jasinga Terdegradasi dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik Neneng Laela Nurida P 026 00006 Ilmu Tanah

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Anggota

Prof. Dr. Ir. Sitanala Arsyad, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc. Anggota

Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu tanah

Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.Sc.

Tanggal Lulus:

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 29 Desember 1963 sebagai anak kedua dari pasangan Ali Salmin dan Musa’adah. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1999, penulis diterima pada Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, IPB. Pada tahun 2000, penulis diberi kesempatan untuk langsung melanjutkan pendidikan ke program doktor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Litbang Pertanian, melalui Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP). Pada tahun 1988 sampai 1992, penulis terlibat dalam kegiatan Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air (P3HTA) DAS Citanduy dan Brantas. Sejak tahun 1992, penulis bekerja sebagai peneliti di Bidang Konservasi Tanah dan Air pada Balai Penelitian tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (sekarang Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian). Selama mengikuti pendidikan pada sekolah pascasarjana, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia (MKTI) Cabang Bogor.

UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana IPB. Selama melaksanakan pendidikan, penelitian dan penyusunan disertasi ini, banyak pihak baik individu maupun institusi yang telah membantu penulis. Dengan tulus hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Dr. Ir Oteng Haridjaja, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing; Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Sitanala Arsyad, M.Sc., Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc., Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing; yang telah memberikan bimbingan, saran, nasihat, dan arahan sejak penyusunan rencana penelitian sampai penulisan disertasi ini. Dr. Ir. Basuki Sumawinata M.Agr. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc. selaku Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan penguji luar komisi pada ujian terbuka; yang telah memberikan pertanyaan dan saran untuk perbaikan penulisan disertasi ini. Dr. Ir. Achmad Rachman, M.Sc, selaku Kepala Balai Penelitian Tanah yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; dan selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan pertanyaan dan saran untuk perbaikan penulisan disertasi ini. Dr. Ir. Abdurachman Adimihardja (Mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat), Dr. Ir. Fahmudin Agus (Mantan Kepala Balai Penelitian Tanah) dan Dr. Kasdi Subagyono yang turut memberikan rekomendasi kepada saya untuk melanjutkan studi Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Komisi Pembinaan Tenaga, Badan Litbang Pertanian di Jakarta; yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Doktor di Institut Pertanian Bogor; serta Pengelola Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP)-Badan Litbang Pertanian, yang telah memberikan beasiswa dan bantuan dana penelitian. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ketua dan seluruh staf Kelompok Peneliti Konservasi, Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan, Balai Penelitian Tanah, yang telah membantu dan memberikan dorongan moril selama saya mengikuti pendidikan dan penelitian Program Doktor di IPB. Seluruh staf Balai Penelitian Tanah, yang telah memberikan bantuan baik saat penelitian, analisis tanah di laboratorium maupun saat penulisan disertasi ini.

9.

10.

11. 12.

Seluruh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB yang telah membantu dan memberikan fasilitas selama saya mengikuti pendidikan dan penelitian Program Doktor di IPB. Lili Suhaeli, Dedi , rekan-rekan kelompok G-8, Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah SPs-IPB, khususnya Angkatan 1999 dan 2000, yang telah membantu baik saat penelitian, analisis data maupun kaitannya dengan penulisan disertasi ini. Orangtua, kakak dan adik; atas bantuan materi, dorongan moril, doa, pengertian serta perhatiannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Khusus untuk Almarhum Ayahanda Ali Salmin dan Obed Salmin, Almarhumah Ibunda Musaadah dan Almarhum Kakak Muhammad Yusuf Salmin, yang telah menyertai di awal namun tidak sempat menyaksikan berakhirnya masa pendidikan saya di IPB, karena Allah SWT telah memanggil mereka.

Semoga Allah SWT mencatat seluruh amal kebaikan Bapak/Ibu dan mendapat balasan-Nya. Amin ya Robbal a’lamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2006

Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

xv

PENDAHULUAN …………………………………………………………..

1

Latar Belakang ………….................................................................... Tujuan ................................................................................................. Hipotesis ……….................................................................................

1 4 5

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................

7

Degradasi Tanah ................................................................................. Hubungan Kualitas Tanah dengan Pengelolaan Tanah ...................... Indikator Kualitas Tanah ......................................................... Bahan Organik Tanah.......................................................................... Pengaruh Bahan Organik Tanah terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah ................................................................... Komponen-komponen Bahan Organik Tanah.......................... Pengaruh Pengolahan Tanah terhadap Kadar Bahan Organik ...........

7 9 10 14

BAHAN DAN METODE................................................................................

26

Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. Metode Penelitian............................................................................... Pengaruh Cara Pemberian dan Sumber Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Jagung............... Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman ...

26 26

HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... Karakteristik Lokasi Penelitian …………………………………….. Tanah ………………………………………………………. Curah Hujan, Erosivitas dan Evapotranspirasi …………….. Kualitas Bahan Organik yang Diberikan …………………………... Pengaruh Cara Pemberian dan Sumber Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Jagung ...………………... Fraksi Bahan Organik……………………………………….. Sifat Fisik Tanah ……………………………………………. Sifat Kimia Tanah…………….……………………………... Tinggi Tanaman Jagung …………………………………….. Hasil Tanaman Jagung ……………………………………… Korelasi Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Tanah ……………….. Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Kimia Tanah ………….. Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Fisik Tanah ……………

14 19 22

26 31 42 42 42 43 45 47 47 58 62 70 72 73 73 75

Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman .............… Fraksi Bahan Organik ………………………………………. Sifat Fisik Tanah ……………………………………………. Sifat Kimia Tanah …………………………………………... Tinggi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah ………………... Hasil Tanaman Jagung dan Kacang Tanah …………………. Analisia Anggaran Parsial…………………………………....

77 77 85 98 105 108 111

PEMBAHASAN UMUM …………………………………………………...

115

KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………...

122

Kesimpulan ………………………………………………………… Saran ………………………………………………………………..

122 123

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

124

LAMPIRAN ……...........................................................................................

133

x

DAFTAR TABEL Nomor

Halaman

1

Indikator Kualitas Tanah Potensial pada Skala Petak …………..

11

2

Klasifikasi Sif at-Sifat Tanah sebagai Indikator Kualitas Tanah Berdasarkan Sifat Permanen dan Tingkat Sensitivitas terhadap Pengelolaan ……………………………………………………..

12

3

Jumlah Tanah Tererosi Sejak Tahun 1993/1994 s/d 2000/2001 ..

32

4

Jumlah Bahan Organik Segar dan Kering yang Diberikan pada Masing-Masing Perlakuan Selama MT 2002/2003 …………….

35

Jumlah Bahan Organik Segar yang Diberikan Sejak Tahun 1993/1994 s/d 2000 ……………………………………………..

37

Sifat-Sifat Fisik dan Kimia Tanah Typic Haplohumult di Lokasi Penelitian ......................................................................................

43

Curah Hujan, Indeks Erosivitas, dan Evapotranspirasi di Jasinga dan Hasil Pengukuran di Lokasi Penelitian …………………….

44

Hasil Analisis Tanaman yang Digunakan Sebagai Bahan Organik pada Penelitian Rumah Kaca ………………………….

45

Kandungan Unsur Hara dan Komponen Organik Utama Bahan Organik yang Digunakan pada Penelitian Rumah Kaca (Setara 2% C-Organik Tanah) …………………………………………..

48

Pengaruh Interaksi antara Cara Pemberian dengan Sumber Bahan Organik terhadap C-Organik, Cmic dan C mic/C org Tanah....

49

Kadar Particulate Organic Matter (POM) Tanah pada Kedalaman 0-20 Cm Setelah Panen Jagung ……………………

55

Pengaruh Interaksi antara Cara Pemberian dengan Sumber Bahan Organik terhadap BI dan RPT Setelah Panen Jagung …..

58

Kadar Air Kapasitas Lapang (KA), PDC, PAT, Permeabilitas dan ISA Setelah Panen Jagung .....……………………………...

61

14

Kadar K-tersedia dan pH H2O Setelah Panen Jagung ………….

63

15

Pengaruh Interaksi antara Cara Pemberian dengan Sumber Bahan Organik terhadap P-tersedia dan N-Total ……………….

64

5

6

7

8

9

10

11

12

13

xi

16

Tinggi Tanaman Jagung pada Umur Dua minggu sampai Delapan Minggu ..........................................................................

71

Berat Tongkol Kering, Pipilan Kering dan Bahan Organik Segar Jagung ..........................................................................................

73

18

Korelasi Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Kimia Tanah .....…

74

19

Korelasi Fraksi Bahan Organik Tanah dengan Sifat Fisik Tanah

76

20

Kadar C-organik, C mic dan Cmic/C org pada Perlakuan Pengupasan Tanah Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu ...…………………………………

78

Kadar POMt dan POMt/C org pada Perlakuan Pengupasan Tanah (Kedalaman 0-20 cm) di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu ……

79

Pengaruh Interaksi antara Tingkat Pengupasan Tanah dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Cmic/C org Setelah Panen Kacang Tanah …………………………

79

Kadar C-organik, C mic dan Cmic/C org pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu ……...................................................................................

82

Kadar POMt dan POMt/C org pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik (Kedalaman 0-20 cm) di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu …………………………………………

82

Indeks Stabilitas Agregat (ISA), MWD dan ASA pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu .

86

Indeks Stabilitas Agregat (ISA), MWD dan ASA pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu …………………………………...

88

Berat Isi (BI), RPT, PDC, dan PAT pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu ……………...........

92

Permeabilitas Tanah pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu ...

92

17

21

22

23

24

25

26

27

28

xii

29

30

31

32

33

34

35

36.

37 38

39

40

41

Pengaruh Interaksi antara Pengupasan Tanah dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Permeabilitas Tanah Setelah Panen Kacang Tanah …………….

93

Berat Isi (BI), RPT, PDC dan PAT pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu …………………………………………………………...

94

Permeabilitas Tanah pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu …………………...………………

95

Kadar K-tersedia, pH H2O, dan N-total pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu …………….

99

Kadar P-tersedia pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu ……….

99

Pengaruh Interaksi antara Tingkat Pengupasan Tanah dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Ptersedia Setelah Panen Kacang Tanah …………………………

100

Kadar K-tersedia, pH H2O, dan N-total pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu …………………………………………

102

Kadar P-tersedia pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu …………………………………...

103

Tinggi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Perlakuan Pengupasan Tanah ……………………………………………...

106

Tinggi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik ……………..

107

Hasil Tanaman pada Perlakuan Pengupasan Tanah dan Pengolahan Tanah serta Pemberian Bahan Organik ….....……...

109

Hasil Tanaman dan Produksi Bahan Organik Segar Jagung serta Kacang Tanah ………..…………………………........................

112

Analisis Anggaran Parsial Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik ..…………………………………….

114

xiii

DAFTAR GAMBAR Nomor

Halaman

1

Alur Pemikiran Penelitian ………………………………………

6

2

Lokasi Penelitian pada Ultisol Jasinga di Desa Jasinga, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor...……………………….

27

Hubungan Curah Hujan dengan Pola Tanam pada MT 2002/2003 ………........................................................................

34

Alur Pelaksanaan Penelitian Rumah kaca dan Penelitian Lapangan………….......................................................................

41

Pengaruh (a) Nisbah C/N dan (b) Kadar Lignin Bahan Organik yang Diberikan terhadap Kadar C-organik Tanah ………...……

50

Pengaruh (a) Nisbah C/N dan (b) Kadar Lignin Bahan Organik yang Diberikan terhadap Cmic Tanah …………………………...

53

Pengaruh (a) Nisbah C/N dan (b) Kadar Lignin Bahan Organik yang Diberikan terhadap Nisbah C mic/C org Tanah …...…………

53

Pengaruh Nisbah C/N Bahan Organik yang Diberikan terhadap (a) POMp dan (b) POMt/C org Tanah ……………………………

57

Pengaruh Nisbah C/N Bahan Organik yang Diberikan terhadap (a) Berat Isi dan (b) Ruang Pori Total Tanah …………………..

60

Pengaruh (a) Kadar K dan (b) Kadar Selulosa Bahan Organik terhadap K-tersedia Tanah ……………………………………...

64

11

Pengaruh Kadar P Bahan Organik terhadap P -tersedia Tanah ....

66

12

Pengaruh Nisbah C/N Bahan Organik terhadap N-total Tanah ...

68

3

4

5

6

7

8

9

10

xiv

DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1

Halaman Hasil Analisis Tanah yang Digunakan untuk Penelitian Rumah Kaca …………………………………………………………….

134

Jumlah Bahan Organik Segar yang Diberikan pada Penelitian Rumah Kaca (Setara 2% C-organik Tanah).…………………….

134

Jenis dan Dosis Pupuk yang Digunakan pada Penelitian Rumah Kaca …………………………………………………………….

135

Jarak Tanam, Jenis dan Dosis Pupuk yang Diberikan pada Penelitian Lapangan ……………………………………………

135

Berat Kering, Kandungan Hara dan Komponen Organik Utama dari Bahan Organik yang Diberikan pada Penelitian Lapangan ..

136

Jumlah Bahan Organik Segar yang Diberikan pada MasingMasing Kombinasi Perlakuan pada MT 2002/2003 ……………

137

7

Parameter dan Metode Analisis yang Digunakan ........................

137

8

Morfologi dan Klasifikasi Tanah Lokasi Penelitian di Kampung Kebon Panas, Desa Jasinga, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor ……………………………………………………………

138

Korelasi Kualitas Bahan Organik dengan Sifat Tanah pada Penelitian Rumah Kaca …………………………………………

139

Korelasi Kualitas Tanah dengan Berat Kering Jagung (Pipilan) dan Berat Kering Kacang Tanah (Polong)..……………………..

140

Analisis Ragam Sifat Tanah dan Tanaman pada Penelitian Rumah Kaca …………………………………………………….

141

Analisis Peragam/Ragam Sifat Tanah Awal pada Penelitian Lapangan …………………………………………………….….

142

Analisis Peragam/Ragam Sifat Tanah Setelah Panen Jagung pada Penelitian Lapangan ………………………………………

143

Analisis Peragam/Ragam Sifat Tanah Setelah Panen Kacang Tanah pada Penelitian Lapangan ……………….............………

144

Analisis Ragam Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Penelitian Lapangan …………………………………………….

145

2

3 4

5

6

9

10

11 12

13

14

15

xv

PENDAHULUAN Latar Belakang Luas tanah pertanian di Indonesia yang telah terdegradasi diperkirakan mencapai 21,3 juta hektar (60,5%), meliputi potensial kritis sampai sangat kritis (Sinukaban, 1999). Penyebab degradasi tanah antara lain: (1) kemunduran sifat kimia tanah karena kehilangan unsur hara dan bahan organik, penggaraman, pemasaman, dan pencemaran, (2) kemunduran sifat fisik tanah karena erosi, pemadatan, waterlogging, serta penurunan permukaan air tanah, dan (3) kemunduran sifat biologi karena penurunan populasi dan aktivitas organisme tanah. Proses-proses tersebut menyebabkan kemunduran kualitas tanah yang akan menurunkan produktivitas tanah (Staben et al., 1997). Ultisol termasuk salah satu ordo tanah yang peka terhadap erosi dengan nilai erodibilitas berkisar antara 0,16 dan 0,33 (Kurnia dan Suwardjo, 1984; Kurnia, Abdurachman, dan Sukmana, 1986). Erosi yang terjadi pada sebidang tanah pertanian akan mempercepat penurunan produktivitas tanah, karena dalam waktu relatif singkat lapisan atas tanah yang tebalnya terbatas akan cepat hilang. Tanah yang telah mengalami penurunan produktivitas dicirikan oleh berkurangnya kemampuan tanah menahan air dan kadar hara tanah, memburuknya struktur tanah, dan rendahnya populasi dan aktivitas organisme. Hasil penelitian Kurnia (1996) pada Ultisol Jasinga mendapatkan bahwa setelah 1,5 tahun terjadi peningkatan berat isi dan penurunan kadar C-organik pada tanah tererosi 10 sampai 15 cm.

Kesuburan Ultisol Jasinga tergantung pada tanah lapisan atas yang tebalnya sangat terbatas dan mengandung sedikit bahan organik. Potensi terjadinya penurunan produktivitas Ultisol Jasinga cukup besar, karena selain terletak di wilayah beriklim basah dengan curah hujan tinggi, juga karena kurang tepatnya pengelolaan tanah seperti intensitas pengolahan tanah yang tinggi, rotasi tanaman yang rendah dan pengelolaan residu tanaman yang tidak tepat (dibuang atau dibakar).

Penurunan

produktivitas tanah menyebabkan rendahnya hasil tanaman dan produksi bahan organik, sehingga input bahan organik yang berasal dari akar dan serasah tanaman yang dikembalikan ke tanah semakin kecil. Rendahnya produksi bahan organik yang diikuti oleh hilangnya bahan organik akibat pengolahan tanah, diangkut panen, pemindahan residu tanaman, dan hilang melalui erosi, menyebabkan semakin besar penurunan kadar bahan organik tanah dan berakibat pada penurunan stabilitas agregat (Oades, 1990; Lal, 1994; Haridjaja, 1996; Zhang, Hartge, dan Ringe, 1997). Penerapan sistim pertanaman lorong di Ultisol Jasinga selama delapan tahun (1993-2001) menghasilkan sumber bahan organik berupa flemingia yang dipangkas secara teratur dari tanaman pagar, mukuna dan sisa tanaman. Masing-masing bahan organik tersebut mempunyai kualitas yang berbeda. Perbedaan kualitas bahan organik, terutama kandungan lignin, selulosa dan unsur hara, menentukan perubahan kadar bahan organik dalam tanah, khususnya fraksi labil sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap sifat-sifat tanah (Oyedele et al., 1999). Hasil penelitian Arshad (1992) pada Ultisol Jambi menunjukkan bahwa setelah enam bulan pemberian pupuk kandang hingga dosis 20 t ha-1 tidak berpengaruh terhadap berat isi tanah, ruang pori total, indeks stabilitas agregat dan aliran permukaan. Kurnia (1996)

2

mendapatkan bahwa pemberian mulsa jerami pada Ultisol Jasinga efektif dalam mempertahankan stabilitas agregat dan unsur-unsur hara N, P dan K setelah 12 bulan. Pengaruh pengolahan tanah terhadap kadar bahan organik tanah telah banyak diteliti dalam kaitannya dengan perubahan stabilitas struktur tanah, erosi, ketersediaan unsur hara dan kehilangan hara (Doran, Sarrantino, dan Liebig, 1996) juga pengaruhnya terhadap biomassa mikroorganisme (Angers, Pesant, dan Vigneux, 1992; Collin, Rasmussen, dan Douglas, 1992). Pengolahan tanah akan menyebabkan dinamika temporal fraksi bahan organik terutama bila terjadi perubahan distribusi agregat antara makroagregat dan mikroagregat (Franzluebbers dan Arshad, 1997). Pengolahan tanah minimum sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air, diharapkan dapat mengurangi kehilangan bahan organik tanah. Menurut Arsyad (1989), pengolahan tanah seperlunya dan penerapan pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau merupakan contoh teknik konservasi tanah dan air. Dalam sistem pertanian berkelanjutan, bahan organik tanah memegang peranan penting khususnya dalam meningkatkan kualitas tanah. Kadar bahan organik tanah pada waktu tertentu ditentukan oleh keseimbangan antara penambahan bahan organik dan kehilangan melalui dekomposisi dan pencucian, yang selanjutnya dapat menunjukkan terjadi penurunan (degradation) atau peningkatan (aggradation), baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian dari pool bahan organik tanah (Wander et al., 1994). Keberlanjutan pengusahaan tanah secara intensif pada tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut seperti Ultisol sangat tergantung pada upaya konservasi bahan organik, agar kualitas tanah dapat terjaga dan keberlanjutan usahatani dapat

3

terjamin (Suwardjo dan Sinukaban, 1986). Upaya perbaikan kualitas tanah yang relatif murah adalah pemanfaatan bahan organik in situ, seperti pengembalian sisa tanaman. Penambahan bahan organik secara terus menerus dan terdistribusi secara baik sepanjang tahun sangat diperlukan untuk meningkatkan suplai bahan organik ke dalam tanah dan untuk mengimbangi jumlah yang hilang dari tanah yang tidak dapat dihindari, khususnya pada tanah-tanah yang telah mengalami degradasi. Penelitian ini menitikberatkan pada upaya perbaikan kualitas Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi melalui pengurangan intensitas pengolahan tanah, disertai penutupan tanah lapisan atas dengan sisa tanaman dan bahan organik in situ secara terus menerus sepanjang tahun. Rendahnya gangguan mekanik pada tanah seperti pengolahan tanah konservasi (pengolahan tanah mi nimum atau tanpa olah) disertai pengembalian sisa tanaman secara kontinu terbukti dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kadar bahan organik dan populasi biota tanah. Secara ringkas alur pemikiran penelitian tertera pada Gambar 1. Tujuan 1. Memahami pengaruh berbagai sumber bahan organik dengan kualitas berbeda dalam memperbaiki berat isi, porositas, permeabilitas tanah lapisan atas, pH, Particulate Organic Matter (POM), P-tersedia, K-tersedia, C-organik, N-total, biomassa mikroorganisme (Cmic) dan pertumbuhan serta hasil tanaman. 2. Mengetahui hubungan perubahan kadar bahan organik dalam bentuk POM dan C mic dengan indikator kualitas tanah berupa berat isi, porositas, permeabilitas tanah lapisan atas, indeks stabilitas agregat, P-tersedia, K-tersedia, dan N-total.

4

3. Memahami pengaruh pengolahan tanah dan pemberian bahan organik yang diberikan secara periodik terhadap berat isi, porositas, permeabilitas tanah lapisan atas, indeks stabilitas agregat (ISA), agregat stabil tahan air (ASA), ukuran ratarata tertimbang agregat tanah (Mean Weighted Diameter/MWD), pH, POM, Ptersedia, K-tersedia, C-organik, N-total, biomassa mikroorganisme dan pertumbuhan serta hasil tanaman pada berbagai tingkat kerusakan tanah (Ultisol Jasinga). Hipotesis 1. Perbedaan kualitas bahan organik (nisbah C/N, kandungan lignin, selulosa, P, K, N, serta nisbah lignin/selulosa) nyata mempengaruhi setiap indikator kualitas tanah (berat isi, porositas, permeabilitas lapisan atas, pH, POM, P-tersedia, Ktersedia, C-organik, N-total dan biomassa mikroorganisme), pertumbuhan dan hasil tanaman. 2. Perubahan indikator kualitas tanah (berat isi, porositas, permeabilitas tanah lapisan atas, pH, P-tersedia, K-tersedia, Corganik dan N-total) berhubungan erat dengan perubahan kadar bahan organik dalam fraksi POM dan C mic. 3. Tanpa melakukan pengolahan tanah, namun hanya dengan memberikan bahan organik secara periodik pada Ultisol Jasinga terdegradasi mampu menurunkan berat isi, meningkatkan ISA, ASA, porositas, permeabilitas lapisan atas tanah, MWD, pH, POM, P-tersedia, K-tersedia, C-organik, N-total, Cmic, dan pertumbuhan serta hasil tanaman.

5

Lahan kering Ultisol Jasinga : - Curah hujan tinggi - Peka erosi - Kesuburan tanah rendah - Intensitas pengolahan tinggi - Rotasi tanaman kurang - Residu tanaman dibuang/dibakar

Degradasi tanah: • Kehilangan unsur hara, bahan organik • Pemadatan • Penurunan populasi dan aktivitas organisme tanah • Erosi

Penurunan kadar BOT

Penurunan kualitas tanah: Indikator: sifat fisik, kimia dan biologi

Alternatif perbaikan: • Pemberian bahan organik (kualitas dan kuantitas) • Pengolahan tanah (minimum atau tanpa olah)

Dinamika temporal bahan organik tanah • Cmic • POM

Sifat kimia: C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, pH Sifat fisik: BI, porositas, permeabilitas, ASA, MWD dan ISA

Perbaikan dan peningkatan kualitas tanah

Produktivitas tanah : Pertumbuhan dan hasil tanaman Pendapatan petani

Gambar 1. Alur Pemikiran Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA Degradasi Tanah Degradasi tanah (soil degradation) adalah proses kemunduran kemampuan tanah saat ini atau saat akan datang akibat pengaruh manusia dalam mendukung kehidupannya (Dent, 1993). Peneliti lain mengemukakan bahwa degradasi tanah adalah proses atau fenomena penurunan kapasitas tanah untuk mendukung kehidupan atau penurunan fungsi tanah (Arsyad, 1989; Oldeman, 1993, Rapa-FAO, 1993). Definisi yang tepat dan pasti sangat sulit untuk diformulasikan karena adanya berbagai faktor penyebab terjadinya degradasi tanah. Menurut Blaikie dan Brookfield (1987 dalam Barrow, 1991), suatu tanah dikategorikan telah terdegradasi apabila tanah tersebut kehilangan kualitas alaminya atau menurun kemampuannya dalam menopang pertumbuhan tanaman. Penurunan produktivitas tanah terjadi akibat pengaruh tindakan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab utama terjadinya degradasi tanah adalah erosi dan kurang tepatnya pengelolaan pertanian khususnya di lahan kering (Suwardjo dan Nurida, 1993). Sementara itu Arsyad (1989) mengemukakan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi karena (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging) dan (4) erosi. Degradasi tanah dapat terjadi akibat salah satu proses atau kombinasi dari proses-proses tersebut yang mengakibatkan kemunduran kualitas tanah baik sifat fisik, kimia maupun biologi dan

selanjutnya menyebabkan lahan menjadi kritis. Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa penurunan produksi pada berbagai jenis tanah merupakan fungsi interaksi antara sifat fisik, kimia dan biologi. Pertemuan Expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils di Bangkok (Rapa-FAO, 1993) mencapai suatu kesepakatan bahwa terdapat dua kategori proses degradasi tanah yakni: 1) berkaitan dengan pemindahan bahan/materi tanah (erosi oleh air dan angin), dan 2) kaitannya dengan kemunduran kualitas tanah setempat (in situ). Berkaitan dengan proses degradasi tersebut, Oldeman (1993) mengemukakan beberapa tipe degradasi tanah yaitu: (1) erosi air; meliputi kehilangan lapisan atas tanah dan perubahan bentuk terrain, (2) erosi angin; meliputi kehilangan lapisan atas tanah, perubahan bentuk terrain dan overblowing, (3) degradasi kimia; meliputi kehilangan hara dan bahan organik, salinisasi, pemasaman, dan (4) degradasi fisik; meliputi pemadatan, crusting, sealing, waterlogging dan subsidence pada tanah organik. Menurut Arsyad (1989) degradasi tanah dapat terjadi karena kehilangan lapisan tanah oleh erosi. Kerusakan tanah akibat erosi tersebut dikelompokkan menjadi (1) tidak ada erosi, (2) ringan, kurang dari 25% lapisan atas hilang, (3) sedang, 2575% lapisan atas hilang, (4) agak berat, lebih dari 75% lapisan atas dan kurang dari 25% lapisan bawah hilang, (5) berat, lebih dari 25% lapisan bawah hilang dan (6) sangat berat, terjadi erosi parit. Di Indonesia degradasi tanah merupakan masalah yang sangat serius terutama di wilayah pertanian lahan kering. Penyebab utama degradasi tanah di lahan kering adalah erosi dan pengelolaan tanah yang kurang tepat sehingga lahan produktif men-

8

jadi kurang produktif. Penelitian Suwardjo (1981) pada Latosol Citayam menunjukkan rata-rata kehilangan tanah pada lereng 16% setebal 2,5 cm th-1. Berkurangnya ketebalan tanah lapisan atas sangat membahayakan dan dapat menurunkan produktivitas lahan kering pertanian, karena dalam waktu relatif singkat lapisan atas (top soil) yang terbatas menjadi hilang. Tingkat degradasi yang berbeda di lahan kering memerlukan pengelolaan yang berbeda untuk meningkatkan produktivitasnya melalui manipulasi kimia, biologi dan fisik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan Kualitas Tanah dengan Pengelolaan Tanah Definisi kualitas tanah (soil quality) yang secara luas telah diterima adalah kapasitas tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem alami atau ekosistem yang dikelola, dalam menunjang produktivitas tanaman dan hewan, memelihara dan me mperbaiki kualitas air dan udara serta mendukung kehidupan manusia dan lingkungannya (Karlen et al., 1997). Konsep ini digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi pengaruh dari strategi pengelolaan tanah terhadap sifat fisik, kimia dan biologi serta proses-proses yang terjadi di dalam tanah (Karlen et al., 1999). Larson dan Pierce (1994) menyatakan terdapat dua aspek dalam dinamika kualitas tanah yaitu: (1) kuantifikasi kualitas tanah (besar dan dinamikanya), sangat berkaitan dengan respon kualitas tanah terhadap pengelolaan, dan (2) desain dan kontrol proses perubahan kualitas tanah akibat pengelolaan yang ditekankan pada penilaian dampak pengelolaan terhadap kualitas tanah sejalan dengan proses-proses yang terjadi akibat perbedaan pengelolaan. Kualitas tanah tidak dapat diukur secara

9

langsung tetapi dapat diduga dari sifat-sifat tanah yang dapat diukur dan dijadikan sebagai indikator kualitas tanah (Acton dan Padbury, 1993 dalam Islam dan Weil, 2000). Indikator Kualitas Tanah Indikator kualitas tanah adalah nilai beberapa sifat tanah yang diukur meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Parr et al., 1992; Islam dan Weil, 2000). Secara spesifik Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi kriteria: (1) mencakup proses-proses dalam suatu ekosistem dan berkorelasi dengan proses berorientasi modeling, (2) mengintegrasikan sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta proses-proses yang berlangsung dalam tanah, (3) mudah diakses oleh pengguna dan dapat diaplikasikan di lapang, (4) sensitif terhadap perubahan pengelolaan dan iklim, dan (5) sedapat mungkin merupakan komponen dari basis data yang ada. Indikator kualitas tanah sangat penting untuk: (1) memudahkan upaya konservasi dan peningkatan kondisi tanah, (2) mengevaluasi strategi dan teknik pengelolaan tanah, (3) mengaitkan kualitas tanah dengan sumberdaya lain, (4) mengumpulkan informasi penting untuk menduga arah perkembangan, (5) pegangan bagi pengelola dalam pengambilan keputusan (USDA, 1996). Penilaian kualitas tanah dapat dilakukan bila indikator yang sensitif terhadap perubahan pengelolaan tanah telah diidentifikasi (Karlen et al., 1999). Karlen, Gardner, dan Rosek (1998) mengemukakan hirarkhi evaluasi kualitas tanah berdasarkan skala dengan tujuan yang berbeda yaitu untuk monitoring (skala

10

regional/nasional, daerah aliran sungai/watershed, lapangan) dan untuk pemahaman kualitas tanah (skala plot atau respon perlakuan dan point scales). Indikator yang diukur pada tingkat plot (petak) dan point scales (titik) harus lebih specifik dan tepat. Untuk penilaian kualitas tanah pada skala petak dan skala titik, Karlen et al. (1998) memberikan kelompok indikator yang potensial untuk diukur (Tabel 1). Banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan indikator kualitas tanah, namun pemilihan indikator kualitas tanah tersebut sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi tersebut. Setelah tujuan penilaian ditentukan, langkah selanjutnya adalah memilih indikator yang sesuai dan sensitif terhadap pengelolaan dan dapat dideteksi dalam waktu relatif singkat (Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce, 1994). Idealnya indikator tersebut dapat dideteksi perbedaannya dalam waktu singkat (1-5 tahun) setelah dilakukannya perubahan (Karlen et al., 1997). Tabel 1. Indikator Kualitas Tanah Potensial pada Skala Petak Biologi

Kimia

Fisik

Biomassa mikroorganisme Respirasi Laju dekomposisi Potensi mineralisasi N Fiksasi N Bahan organik partikulat (Particulate organic matter) Struktur komunitas mikroorganisme Fungi VA mikoriza Bakteri Collembola Cacing tanah Enzim tanah Profil asam lemak Profil asam nukleat Ergosterol

pH C-organik N-organik N-terekstrak P, K, Fe, Al-terekstrak Daya hantar listrik Distribusi Cesium KTK Salinitas Toksisitas Karbonat Senyawa radioaktif Logam berat

Ukuran agregat Stabilitas agregat Berat isi Porositas Ketahanan penetrasi Ruang pori berisi air Hantaran hidrolik dalam kondisi jenuh (Saturated hydraulic conductivity) Ketebalan lapisan kerak Kedalaman tanah Kedalaman perakaran Ketersediaan air tanaman Infiltrasi Retensi air Temperatur

Sumber : Karlen et al. (1998)

11

Islam dan Weil (2000) membuat klasifikasi sifat-sifat tanah yang dapat dijadikan indikator kualitas tanah berdasarkan sifat permanen dan tingkat sensitivitas terhadap pengelolaan (Tabel 2). Beberapa sifat tanah berubah dalam jangka waktu harian (ephemeral) atau mudah berubah akibat praktek pengelolaan yang rutin seperti irigasi, pemupukan, pemberian bahan organik dan pengolahan tanah atau karena pengaruh cuaca. Sifat-sifat tanah lainnya merupakan sifat inherent tanah pada lokasi tertentu sehingga bersifat permanen dan hampir tidak dipengaruhi oleh pengelolaan tanah. Untuk menilai perubahan kualitas tanah akibat pengelolaan tanah digunakan parameter peralihan (intermediate) dari kedua sifat ekstrim tersebut. Tabel 2. Klasifikasi Sifat-Sifat Tanah sebagai Indikator Kualitas Tanah Berdasarkan Sifat Permanen dan Tingkat Sensitivitas terhadap Pengelolaan Ephemeral (berubah dalam jangka waktu harian)

• • • • • •

Kadar air Respirasi tanah N-mineral K-tersedia P-tersedia Berat isi

Permanence

Intermediate

(bersifat permanen atau inherent)

(berubah akibat pengelolaan tanah)

• • • • • •

Agregat Biomassa mikroorganisme Respirasi basal Kuosien respirasi spesifik C-aktif Kadar bahan organik

• • • • • •

Lereng Iklim Lapisan penghambat Tekstur Batuan Mineralogi

â peningkatan kepermanenan â

Sumber: Islam dan Weil (2000) Kualitas tanah sering dikaitkan dengan degradasi tanah yang didefinisikan sebagai laju perubahan kualitas tanah berdasarkan waktu (Parr et al., 1992). Degradasi kualitas tanah akibat pengolahan tanah dimanifestasikan melalui erosi, penurunan kadar bahan organik tanah, kehilangan hara, pemadatan tanah dan penurunan populasi mikroorganisme (Staben et al., 1997). Islam dan Weil (2000) menyim-

12

pulkan bahwa dari 13 sifat tanah intermediate yang dievaluasi sebagai indikator kualitas tanah dari pengelolaan lahan konservasi maka CTMB (Total Microbial Biomass Carbon), CAMB (Active Microbial Biomass Carbon), dan qCO 2 (Specific Respiration Quotient) dan stabilitas agregat merupakan indikator umum kualitas tanah pada lahan pertanian. Pengukuran biomassa mikroorganisme (Cmic) dan aktivitas enzim tanah dapat mendeteksi perubahan fraksi aktif (C aktif) akibat berbagai pengolahan tanah (Bergstorm, Monreal, dan King, 1998; Karlen et al., 1999). Perubahan fraksi karbon aktif dan fraksi labil sangat mudah dideteksi karena sangat sensitif terhadap perbedaan pengelolaan (Gowin et al., 1999). Indikator biologi dari kualitas tanah ini digunakan karena memberikan respon yang konsisten dan sangat sensitif terhadap pengelolaan lahan. Parameter total karbon tidak cukup sensitif untuk mendeteksi perubahan jangka pendek, namun dapat menggambarkan perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang. Stabilitas agregat merupakan indikator kualitas tanah yang baik karena sangat sensitif terhadap perubahan yang disebabkan pengolahan tanah dan sistim pertanaman (Islam dan Weil, 2000). Karlen et al. (1999) menyatakan bahwa berdasarkan kemampuannya mendeteksi perbedaan secara nyata dari 50% serangkaian data maka pengukuran agregat tanah disarankan sebagai indikator kualitas tanah. Berat isi (bulk density) merupakan indikator kualitas tanah karena bukan hanya berkaitan dengan sifat fisik tanah tetapi juga sebagai alat untuk mengkonversi data konsentrasi ke dalam unit volumetrik yang relevan secara ekologi.

13

Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan komponen kecil dari tanah mineral, namun mempunyai fungsi dan peranan sangat penting di dalam menentukan kesuburan dan produktivitas tanah melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Stevenson, 1982). Salah satu usaha untuk memperbaiki tanah terdegradasi dapat dilakukan melalui penambahan bahan organik sehingga diharapkan terjadi peningkatan kadar bahan organik tanah. Bahan organik tanah erat kaitannya dengan kondisi ideal tanah baik secara fisik, kimia dan biologi yang selanjutnya menentukan produktivitas suatu tanah (Wander et al., 1994). Menurut Lal (1994), tanah memiliki produktivitas yang baik apabila kadar bahan organik berkisar antara 8 sampai 16%. Oleh karena itu untuk meningkatkan jumlah bahan organik tanah secara bertahap, bahan organik harus dikembalikan ke tanah sehingga akan terjadi akumulasi bahan organik tanah. Pengaruh Bahan Organik terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi Tanah Sifat Kimia Tanah Bahan organik merupakan sumber utama unsur-unsur hara esensial yang dihasilkan dari proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Semakin tinggi laju dekomposisi bahan organik atau semakin cepat turn over bahan organik maka semakin cepat unsur hara menjadi tersedia (Cambardella dan Elliot, 1992; Obi, 1999). Pada kondisi yang sesuai dengan organisme tanah maka proses dekomposisi bahan organik mulai terjadi secara kimia dan biologi baik dalam kondisi aerob maupun

14

anaerob. Hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik berupa sejumlah unsur yang akan menyuplai tanah. Dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asam humat dan fulvat yang dapat menyumbangkan muatan negatif tanah yang berfungsi sebagai koloid organik.

Asam humat dan fulvat berturut-turut memiliki muatan

negatif rata-rata 670 dan 1030 me 100g-1 (Stevenson, 1982). Selain meningkatkan ketersediaan unsur hara dari hasil dekomposisinya, Stevenson (1982) menyatakan peranan bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah: (1) membentuk kelat dengan ion logam penting seperti Cu, Fe, Al dan Mn, sehingga menjadi bentuk yang stabil dalam tanah dan pada kondisi tanah tertentu dapat dimanfaatkan tanaman atau mikroorganisme tanah, (2) sebagai penyangga perubahan pH tanah, (3) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan (4) bereaksi dengan senyawa organik lain seperti senyawa dari pestisida atau herbisida yang akhirnya ada yang menyebabkan perubahan bioaktivitasnya. Pengaruh pemberian bahan organik dalam memperbaiki sifat-sifat kimia tanah juga ditunjukkan oleh berbagai penelitian.

Pemberian bahan organik Flemingia

congesta mampu mempertahankan kadar bahan organik tanah dan KTK tanah (Sukristyonubowo et al., 1993), meningkatkan pH dan P-tersedia (Irianto, Abdurachman, dan Juarsah, 1993), sedangkan pemberian jerami padi mampu meningkatkan kadar N tanah (Sudarsono, 1991; Utomo, Sitompul, dan Nordwijk, 1992).

Hasil penelitian Situmorang (1999) menunjukkan bahwa penambahan

Mucuna sp. dan alang-alang mampu meningkatkan Ca, Mg, K dan Na serta menurunkan Al dd dan Fedd. Penurunan kadar bahan organik di dalam tanah dapat berakibat buruk pada sifat-sifat tanah tersebut, sehingga kadar bahan organik dapat dijadikan

15

sebagai salah satu parameter penting dalam kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah (Sombroek dan Nacktergaele, 1993). Sifat Fisik Tanah Menurut Stevenson (1982) peranan bahan organik pada sifat fisik tanah adalah: (1) memberikan warna gelap sehingga mampu mempengaruhi serapan energi panas matahari, (2) meningkatkan daya retensi air karena bahan organik tanah mampu menjerap air hingga 20 kali bobotnya, dan (3) memantapkan agregat tanah karena pengikatan partikel primer oleh senyawa organik. Berbagai penelitian menunjukkan perbaikan sifat-sifat fisik tanah akibat pemberian bahan organik antara lain meningkatnya persentase partikel tanah yang berbentuk agregat (Suwardjo, Abdurachman, dan Abunyamin, 1989), meningkatnya persentase agregat mantap yang berukuran besar dan menurunkan persentase agregat yang berukuran lebih kecil, serta menurunkan berat isi (Oades, 1990; Kurnia, 1996; Zhang et al., 1997), meningkatnya stabilitas agregat (Haridjaja, 1996; Kurnia, 1996; Lu et al., 1998; Obi, 1999) menurunkan tahanan penetrasi tanah (Purnomo et al., 1992; Haridjaja, 1996). Peranan bahan organik sebagai pemantap agregat tanah dapat mempertahankan dan memperbaiki kondisi fisik tanah dengan bantuan organisme tanah yang memanfaatkannya sebagai sumber energi. Perbaikan agregat tanah terjadi karena bahan organik dapat berperan sebagai pemantap mikroagregat, mesoagregat maupun makroagregat.

Posisi dan komposisi bahan organik sangat menentukan pemben-

tukan, distribusi dan stabilitas agregat (Emmerson dan Greenland, 1990; Beare et al., 1994a). Posisi bahan organik dapat berada: (1) di antara domain liat di dalam mikro-

16

agregat, (2) di antara mikroagregat tetapi di dalam mesoagregat, (3) di antara mesoagregat di dalam makroagregat, dan (4) di antara makroagregat (Emmerson dan Greenland, 1990; Oades, 1990).

Peningkatan ukuran dan stabilitas agregat akan

berpengaruh positif terhadap sifat fisik tanah lainnya antara lain: meningkatnya kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia, meningkatnya pori makro dan meso, meningkatnya porositas total, perbaikan aerasi tanah serta meningkatnya permeabilitas tanah maupun infiltrasi. Selain itu, perbaikan agregasi tanah menyebabkan kepekaan tanah terhadap erosi menurun (Hafif et al., 1993; Kurnia, 1996). Stevenson (1982) mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga mekanisme yang berjalan dari unsur pokok bahan organik yang dapat mempengaruhi agregat tanah yakni: (1) bahan organik sebagai pengikat untuk kohesi dari partikel liat melalui ikatan–H dan koordinasi dengan kation polivalen. Flokulasi liat merupakan prasyarat pembentukan agregat melalui pengendapan atau flokulasi dengan koloid liat. Asam humat dan fulvat dapat membentuk ikatan kompleks liat-logam-humus, (2) lendir bahan organik (gelatinous organic materials) menyelimuti partikel tanah dan mengikatnya melalui penyemenan.

Polisakarida memegang peranan dalam

proses ini, dan (3) partikel-partikel tanah diikat bersama-sama melalui ikatan fisik oleh hypha fungi dan akar-akar halus tumbuhan. Sifat Biologi Tanah Selain terhadap sifat kimia dan fisik tanah, pemberian bahan organik juga memperbaiki sifat biologi tanah, antara lain meningkatnya jumlah dan aktivitas mikroorganisme, mesoorganisme maupun makroorganisme tanah.

Bahan organik

17

merupakan sumber energi bagi aktivitas mikroorganisme tanah tertentu (Stevenson, 1982). Ketersediaan bahan makanan (sumber C) baik dalam bentuk organik maupun anorganik sangat menentukan tingkat populasi, keragaman dan aktivitas mikroorganisme. Sumber energi berupa bahan organik yang cukup merupakan salah satu faktor yang menentukan agar mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang (Anas, Santosa, dan Widyastuti, 1997). Selain itu komposisi dan aktivitas mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh lingkungan mikro tanah yaitu lingkungan fisik, kimia dan biologi di mana organisme tersebut berada pada waktu tertentu (Killham, 1994). Perbaikan sifat fisik dan kimia tanah akibat pemberian bahan organik dapat mempengaruhi kehidupan organisme di dalam tanah karena lingkungan fisik dan kimia tanah dapat berpengaruh langsung terhadap jenis dan jumlah mikroorganisme. Peningkatan jumlah dan aktivitas mikroorganisme ditunjukkan oleh meningkatnya biomassa mikroorganisme (Cmic), dan meningkatnya evolusi CO 2 (Chantigny et al., 1996; Joergensen, 1996; Chantigny et al., 1997; Fragoso et al., 1997). Biomassa mikroorganisme berkaitan erat dengan kadar bahan organik tanah sehingga sangat dipengaruhi oleh penambahan bahan organik seperti sisa tanaman dan pupuk kandang (Franzluebbers dan Arshad, 1997). Pengaturan kuantitas dan kualitas input residu tanaman sangat mempengaruhi biomassa mikroorganisme. Semakin besar peningkatan input residu tanaman, semakin besar peningkatan biomassa mikroorganisme tanah pada lapisan atas (Dalal, 1998; Rasiah dan Kay, 1999).

18

Komponen-Komponen Bahan Organik Tanah Fraksionasi bahan organik tanah telah banyak dilakukan untuk mengetahui susunan fraksi-fraksi yang dikandungnya dengan menggunakan kriteria yang berbeda-beda seperti laju turn over (perubahan perombakan), ukuran, berat jenis (density) dan sifat kelarutan. Secara umum Cambardella dan Elliot (1992) membagi bahan organik tanah berdasarkan laju turn over yaitu fraksi dengan turn over lambat dan cepat. Fraksi dengan laju turn over cepat (fraksi aktif) dapat diukur dengan mengisolasi fraksi ringan dengan cara teknik densimetrik (Janzen et al., 1992). Berdasarkan sifat kelarutannya dalam alkohol, alkali dan asam, bahan organik tanah dibedakan atas asam humat, asam fulvat, asam hematomelanat dan humin (Stevenson, 1982). Meijboom, Hassink, dan Noordwijk (1995) membagi bahan organik tanah berdasarkan berat jenis menjadi (1) fraksi ringan (light fraction) dengan berat isi < 1,13 g cm-3, mengandung residu tanaman yang masih jelas; (2) fraksi sedang (intermediate fraction) dengan berat isi 1,13–1,37 g cm-3, merupakan bahan organik yang telah mengalami humifikasi sebagian dan (3) fraksi berat (heavy fraction) dengan berat isi > 1,37 g cm-3, merupakan bahan organik yang sudah tidak berbentuk. Pengelompokan fraksi bahan organik tanah berdasarkan ukurannya telah banyak dilakukan. Dalal dan Mayer (1986) mengelompokkan bahan organik tanah menjadi dua fraksi berdasarkan ukurannya yaitu bahan organik makro (macroorganic matter, > 150 µm) dan bahan organik di dalam agregat mikro (microorganic matter, < 150 µm). Bahan organik makro lebih cepat terdekomposisi dibandingkan bahan

19

organik yang berada pada liat dan lempung. Bahan organik makro terdiri dari fraksi ringan dan fraksi berat. Fraksi ringan mengandung sisa tanaman yang telah terdekomposisi sebagian, turn over cepat, hanya sedikit yang berasosiasi dengan mineral tanah sehingga proteksi secara fisik masih rendah. Fraksi berat mengandung bahan organik yang telah terdekomposisi lebih lanjut, turn over lebih lambat, tingkat proteksi secara fisik cukup tinggi (Angers, Voroney, dan Cote, 1995). Sementara itu, bahan organik yang terdapat pada agregat mikro sangat terlindungi dari degradasi oleh mikroba (Golchin et al., 1994). Hasil penelitian Cambardella dan Elliot (1992) melalui studi isotop memperlihatkan bahwa fraksi bahan organik makro (macroorganic fraction) merupakan bahan yang lebih muda dan mudah terdekomposisi dibandingkan bahan organik yang telah berasosiasi dengan mineral (microorganic fraction). Mengikuti terminologi yang disusun dalam Century model, Parton et al. (1987) menyatakan bahwa secara umum bahan organik tanah mengandung tiga fraksi yaitu: (1) fraksi aktif yang mengandung mikroorganisme hidup dan produk metabolismenya, mempunyai turn over pendek (1-5 tahun); (2) fraksi lambat yaitu bahan organik tanah yang terproteksi secara fisik dan atau dalam bentuk kimia yang lebih resisten terhadap dekomposisi biologi, mempunyai turn over sedang (20-40 tahun), dan (3) fraksi pasif yang juga terproteksi secara fisik namun mempunyai turn over lebih panjang (200-1500 tahun). Jumlah fraksi aktif sangat terbatas tetapi peranannya sangat penting dalam siklus hara karena mempunyai turn over yang relatif pendek. Fraksi lambat merupakan bahan organik yang telah terdekomposisi sebagian, dapat diestimasi dari fraksi particulate organic matter (POM), sedangkan fraksi pasif meru-

20

pakan bahan organik tanah yang sangat stabil (Anderson dan Ingram, 1993) dan hampir bersifat inert (Gisjman, 1996). Fraksi dengan turn over cepat (fraksi aktif) seperti biomassa mikroorganisme memegang peranan utama dalam dinamika unsur hara (Parton et al., 1987; Hassink, 1995). Fraksi ringan dan biomassa mikroorganisme tidak terproteksi secara fisik dan terletak pada agregat makro sehingga mudah terjadi mineralisasi C dan N bila tanah diolah (Hassink, 1995). Namun hal ini sangat tergantung pada tekstur tanah karena pada tekstur liat dan lempung mikroorganisme lebih terlindungi dibandingkan pada tekstur pasir, sehingga mineralisasi lebih banyak terjadi pada tekstur kasar. Biomassa mikroorganisme menyusun sekitar lima persen bahan organik tanah, berubah paling cepat, bagian utama yang aktif, dan sumber unsur hara, sehingga dapat menjadi indikator kesuburan tanah (Anderson dan Ingram, 1993). Berdasarkan fraksi-fraksi bahan organik tanah, pada tanah yang diusahakan atau diolah maka fraksi bahan organik yang paling cepat berubah adalah biomassa mikroorganisme (Cmic). Biomassa mikroorganisme sangat rentan terhadap perubahan pengelolaan lahan sehingga perubahan Cmic dapat digunakan dalam memantau perubahan kadar bahan organik tanah (Daly et al., 1993; Yakovchenko, Sikora, dan Kaufman, 1996; Karlen et al., 1999; Islam dan Weil, 2000). Perbandingan antara C mic dengan kadar total bahan organik tanah (Cmic/Corg ) juga dapat digunakan untuk menilai perubahan dari bahan organik tanah (Yakovchenko et al., 1996; Anas et al., 1997; Anderson dan Domsch, 1998; Dalal, 1998). Dengan demikian, ciri mikrobiologi tanah dapat digunakan dalam menilai perubahan kadar bahan organik tanah, yang juga berarti digunakan untuk menilai perubahan sifat tanah secara umum

21

(Franzluebbers, Zuberer, dan Hons, 1995). Penurunan atau peningkatan kadar bahan organik akibat habisnya dan adanya tambahan bahan organik segar pengaruhnya terhadap perubahan fraksi ini akan segera terlihat (Stevenson, 1982). Kehilangan fraksi labil yang nyata lebih rentan terhadap pengaruh pengelolaan telah menjadi perhatian utama. Beberapa hasil studi telah menggunakan fraksi labil untuk mengevaluasi perbedaan pengaruh pengelolaan tanah terhadap kualitas bahan organik (Janzen et al., 1992; Beare, Hendrix dan Coleman, 1994b; Balesdent, Chenu dan Balabane, 2000). Di antara fraksi-fraksi bahan organik, fraksi labil atau Particulate Organic Matter (POM) merupakan fraksi yang sangat sensitif terhadap perubahan pengelolaan tanah dan menurun cepat akibat pengolahan tanah (Cambardella dan Elliot, 1992; Chan, 1997).

Hasil penelitian Hassink (1995)

memperlihatkan bahwa pengaruh pemberian bahan organik terhadap kualitas dan kuantitas fraksi bahan organik tanah menurun berdasarkan urutan fraksi ringan, fraksi sedang dan fraksi berat. Fraksi berat berubah paling lambat atau merupakan bagian pasif dan menyusun 30-50 persen bahan organik tanah (Anderson dan Ingram, 1993). Pengaruh Pengolahan Tanah terhadap Kadar Bahan Organik Pengolahan tanah ditujukan untuk mengontrol struktur tanah pada saat persemaian dan mencampurkan residu tanaman dan gulma ke dalam tanah serta memudahkan kontak antara fraksi bahan organik dengan matrik tanah (Balesdent et al., 2000). Pengaruh pengolahan tanah terhadap kadar bahan organik telah banyak diteliti untuk melihat konsekuensinya terhadap stabilitas struktur tanah, erosi, ketersediaan unsur hara, kehilangan hara dan polusi (Doran et al., 1996; Lu et al., 1998; Obi,

22

1999). Perbedaan pengolahan tanah akan mempunyai pengaruh yang spesifik terhadap kadar dan turn over bahan organik tanah karena adanya perbedaan produksi bahan kering yang dihasilkan dan penempatan residu tanaman pada masing-masing pengolahan tanah (Angers et al., 1995). Rendahnya pengembalian bahan organik pada tanah yang diolah dibandingkan tanah yang tidak diolah seperti hutan dan padang penggembalaan disebabkan rendahnya produksi bahan kering akar pada tanah yang diolah dan besarnya bahan yang diangkut saat panen. Umumnya kadar bahan organik tanah menurun ketika tanah diolah pertama kali (Stevenson, 1982). Upaya pengurangan intensitas pengolahan tanah dan adanya penutupan lapisan atas dengan sisa tanaman akan menghambat hilangnya bahan organik tanah (Havlin et al., 1990). Menurut Dao (1998) pengolahan tanah akan mengekspose bahan organik di zone inter dan intra agregat dan mendorong evolusi CO2 dan turn over biomassa mikroorganisme dalam jangka pendek. Selain itu, semakin baiknya aerasi tanah dan kondisi fisik tanah sesaat setelah diolah dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi karena lebih tersedianya O2 (Jastrow, Boutton dan Miller, 1996) dan memineralisasi bahan organik fraksi labil (Angers et al., 1992), fraksi yang tidak terlindungi secara fisik (Balesdent et al., 2000), khususnya biomassa fungi yang mengikat mikroagregat menjadi makroagregat (Cambardella dan Elliot, 1992). Angers et al. (1992) menyatakan bahwa penurunan kadar bahan organik tanah melalui pengolahan tanah dapat terjadi melalui mekanisme: 1) terjadi pencampuran antara horison atas yang kaya bahan organik dengan lapisan bawah yang relatif

23

miskin bahan organik, 2) percepatan mineralisasi karena intensitas pengolahan meningkat, 3) erosi, dan 4) rendahnya input C. Bukti bahwa pengolahan tanah dapat menyebabkan penurunan kadar bahan organik telah banyak dilaporkan. Pengolahan tanah mampu mengubah kuantitas dan kualitas bahan organik pada lapisan atas (Angers et al., 1995). Hasil penelitian Novotny et al. (1999) memperlihatkan adanya perbedaan kualitas, kuantitas dan distribusi bahan organik tanah pada tanah yang diolah dengan tanah hutan di lapisan atas tanah. Pada lapisan atas tanah yang diolah (0-10 cm) intensitas humifikasi sangat rendah karena rendahnya aktivitas biologi, sedangkan pada tanah hutan derajat humifikasi sangat tinggi. Hasil penelitian pada berbagai jenis tanah dan kondisi iklim menunjukkan bahwa pengolahan tanah kurang berpengaruh terhadap total bahan organik tanah atau C-organik total (Cambardella dan Elliot, 1992; Novotny et al., 1999; Balesdent et al., 2000). Kehilangan bahan organik akibat pengolahan tanah terutama terjadi pada fraksi ringan yang merupakan fraksi labil yang terdapat pada agregat makro (Gijsman, 1996). Bahan organik partikulat (Particulate Organic Matter) merupakan fraksi bahan organik tanah yang paling banyak hilang akibat pengolahan tanah (Cambardella dan Elliot, 1992; Balesdent et al., 2000). Fraksi aktif berupa biomassa mikroorganisme merupakan bagian bahan organik yang paling cepat berubah karena fraksi ini paling rentan terhadap aplikasi pengolahan tanah (Islam dan Weil, 2000). Perubahan biomassa mikroorganisme segera dapat dideteksi sebelum terjadi perubahan C-organik pada perlakuan pengolahan tanah (Scholes, Powlson, dan Tian, 1997). Hasil penelitian yang dila-

24

kukan Franzluebbers dan Arshad (1997) me ndapatkan bahwa pengolahan tanah memberikan biomassa mikroorganisme (Cmic) lebih rendah (9 %) dibandingkan tanpa pengolahan tanah. Pengolahan tanah menyebabkan hancurnya agregat makro atau menurunkan proporsi agregat makro di lapisan atas tanah sehingga populasi dan aktivitas mikroorganisme berkurang karena sebagian besar mereka hidup dan berkembang pada lapisan tersebut (Gisjman, 1996). Hasil penelitian Balesdent et al. (2000) menunjukkan bahwa mineralisasi bahan organik tanah pada tanah yang diolah secara konvensional selama 17 tahun mencapai 0,95 kg C m-2 dua kali lebih besar dibandingkan tanpa olah (0,45 kg C m-2). Penurunan kadar bahan organik terjadi karena adanya peningkatan mineralisasi bahan organik yang semula terlindungi secara fisik di dalam mikroagregat menjadi terbuka terhadap serangan mikroorganisme (Gijsman, 1996). Hasil penelitian Emmerson dan Greenland (1990) memberikan bukti adanya perlindungan secara fisik di dalam makroagregat pada tanah yang tidak diolah terlihat dari lokasi dan komposisi agregat yang berasosiasi dengan bahan organik tanah. Pembentukan dan stabilisasi makroagregat pada perlakuan tanpa olah merepresentasikan pentingnya mekanisme untuk melindungi dan memelihara bahan organik tanah yang mungkin hilang bila tanah diolah secara konvensional (Beare et al., 1994a).

25

BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian terdiri dari dua kegiatan, yakni penelitian rumah kaca dan penelitian lapangan. Penelitian rumah kaca dilaksanakan di rumah kaca Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Sindangbarang, Bogor pada bulan Januari–Mei 2003. Penelitian lapangan dilaksanakan pada Ultisol yang telah terdegradasi di Kampung Kebon Panas, Desa Jasinga, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat yang terletak pada ketinggian 100 m dpl. dan pada 106o 27’ 18” BT dan 6o 28’ 32” LS. Penelitian lapangan dilaksanakan pada musim tanam (MT) 2002/2003, mulai bulan Juni 2002 sampai Juni 2003. Peta lokasi penelitian lapangan tertera pada Gambar 2. Metode Penelitian Pengaruh Cara Pemberian dan Sumber Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Jagung Bahan organik yang dihasilkan dari sistim pertanaman lorong pada Ultisol Jasinga selama delapan tahun (1993-2001) adalah flemingia (Flemingia congesta), mukuna (Mucuna sp.), dan sisa tanaman jagung (Zea mays L.). Ketiga jenis bahan organik tersebut merupakan sumber bahan organik yang diaplikasikan pada penelitian ini. Analisis pendahuluan berupa analisis tanaman (flemingia, mukuna dan jagung) dilakukan untuk mengetahui kualitas bahan organik seperti kandungan senyawa organik (lignin dan selulosa) dan kadar unsur hara ( C, N, P dan K).

Ke Tangerang

Dari Bogor

Ke Rangkasbitung

Gambar 2. Lokasi Penelitian pada Ultisol Jasinga di Desa Jasinga, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor

Gambar 2. Lokasi Penelitian pada Ultisol Jasinga di Desa Jasinga, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca, bertujuan untuk melihat perubahan kualitas tanah dan hasil tanaman akibat pemberian bahan organik mukuna, flemingia dan sisa tanaman jagung dengan kualitas yang berbeda (kandungan senyawa organik dan unsur hara), baik diberikan secara tunggal maupun campuran dari dua atau tiga jenis bahan organik tersebut. Bahan organik diberikan dengan cara berbeda yaitu disebar atau dicampur dengan tanah agar pene mpatan bahan organik di lapangan dapat dilakukan dengan tepat, apakah bahan organik akan digunakan sebagai mulsa di permukaan tanah dan tanpa pengolahan tanah atau diinkorporasikan pada saat pengolahan tanah. Pada penelitian di rumah kaca, pengaruh perbedaan kualitas bahan organik yang diberikan terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah diharapkan dapat dipahami secara jelas, tanpa dipengaruhi perbedaan lingkungan mikro seperti di lapang. Hasil penelitian di rumah kaca ini diharapkan dapat membantu menjelaskan mekanisme atau proses yang terjadi pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi bila diberi bahan organik yang berbeda kualitasnya. Di samping itu, hasil penelitian rumah kaca digunakan sebagai dasar untuk menentukan perlakuan aplikasi pengolahan tanah dan pemberian bahan organik di lapangan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan perlakuan disusun secara faktorial, dan tiga (3) ulangan. Perlakuan terdiri atas: faktor pertama adalah cara pemberian bahan organik (A): disebar di permukaan tanah, sebagai gambaran tanpa pengolahan tanah (A1), dan diinkorporasikan/dicampur dengan tanah, sebagai gambaran pengolahan tanah

(A2).

Faktor kedua adalah sumber bahan

organik, dengan dosis setara 2% C-organik tanah yaitu: mukuna (2% C-organik

28

tanah, B 1), flemingia (2% C-organik tanah, B 2), sisa tanaman jagung (2% C-organik tanah, B 3), campuran mukuna dan flemingia (1%:1% C-organik tanah, B 4), campuran flemingia dan sisa tanaman jagung (1%:1% C-organik tanah, B5), campuran mukuna dan sisa tanaman jagung (1%:1% C-organik tanah, B 6), dan campuran mukuna, flemingia dan sisa tanaman jagung (0,67%:0,67%:0,67% C-organik tanah, B 7). Penelitian menggunakan bahan tanah Typic Haplohumult yang berasal dari Jasinga, diambil dari bagian sub soil (kedalaman 5-20 cm). Bahan tanah tersebut dikeringudarakan dan diayak sehingga lolos ukuran 2 mm, selanjutnya bahan tanah yang lolos ayakan 2 mm dicampur merata agar homogen. Bahan tanah yang telah dicampur dimasukkan ke dalam pot, dan masing-masing pot diisi bahan tanah seberat ± 10 kg pot-1. Pot yang digunakan berupa ember plastik dengan kapasitas 15 kg. Sebelumnya, dilakukan analisis sifat-sifat kimia dan biologi tanah menggunakan contoh tanah komposit dan sifat-sifat fisik tanah menggunakan contoh tanah tidak terganggu, kesemuanya diambil pada kedalaman tanah 5-20 cm. Hasil analisis tanah awal tertera pada Lampiran 1. Dosis bahan organik yang diberikan adalah setara Corganik tanah 2%. Perbedaan kadar C-organik dan kadar air dari masing-masing bahan organik (flemingia 65,9%, sisa tanaman jagung 71,2% dan mukuna 75,0%) menyebabkan jumlah bahan organik segar yang diaplikasikan pada masing-masing pot berbeda sesuai dengan masing-masing perlakuan (Lampiran 2). Mukuna dan jagung ditanam pada awal musim hujan di lapangan, sedangkan flemingia diperoleh dari tanaman pagar, selanjutnya ketiga sumber bahan organik tersebut digunakan pada penelitian rumah kaca. Sebelum diaplikasikan ke dalam pot,

29

ketiga jenis sumber bahan organik yang dihasilkan dari lapang dipotong-potong sepanjang ± 1 cm dalam keadaan segar, diaplikasikan ke dalam pot sesuai dengan masing-masing perlakuan, diinkubasi selama empat minggu, kemudian dilakukan penanaman jagung. Tanama n jagung yang digunakan adalah varietas Pioneer. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan tertera pada Lampiran 3. Pengamatan tanah dan tanaman dilakukan pada akhir percobaan. Sifat-sifat fisik tanah yang diamati adalah berat isi (BI), porositas, permeabilitas dan indeks stabilitas agregat (ISA). Sifat kimia tanah meliputi C-organik, fraksi labil (POM), pH, N-total, P-tersedia dan K-tersedia, sedangkan sifat biologi tanah yang diukur adalah biomassa mikroorganisme (Cmic). Tinggi tanaman, berat tongkol kering, berat kering jagung (pipilan) dan berat bahan organik segar digunakan sebagai peubah pertumbuhan dan hasil tanaman. Analisis data dilakukan secara statistik terhadap sifat fisik, sifat kimia, sifat biologi tanah dan tinggi serta hasil tanaman, menggunakan analysis of variance (ANOVA) atau uji keragaman dengan selang kepercayaan 95%.

Untuk melihat

pengaruh beda nyata dari peubah akibat perlakuan serta interaksinya dilakukan uji jarak berganda Duncan (DMRT= Duncan Multiple Range Test), pada taraf nyata 5%. Model analisis statistik yang digunakan berupa model linier aditif dari rancangan acak lengkap faktorial: Yijk = µ + αi + β j + γ k + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk

=

nilai pengamatan pada kelompok k yang mendapat perlakuan faktor pertama ke i (cara pemberian bahan organik) dan perlakuan faktor kedua

30

µ αi βj γk (αβ)ij εijk

= = = = = =

ke j (sumber bahan organik); yang mana i = 1,2; j = 1,2,3,...,7; k = 1,2,3 rataan umum pengaruh faktor pertama perlakuan cara pemberian bahan organik ke i pengaruh faktor kedua perlakuan sumber bahan organik ke j pengaruh dari kelompok ke k interaksi antara faktor pertama ke i dan faktor kedua ke j pengaruh acak pada kelompok ke k dengan perlakuan faktor pertama ke i dan perlakuan faktor kedua ke j

Analisis regresi dan korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara kualitas bahan organik dan sifat-sifat tanah.

Untuk mengetahui hubungan

antara peubah fraksi-fraksi bahan organik dengan sifat tanah dilakukan uji korelasi Pearson. Hasil penelitian rumah kaca dijadikan dasar untuk menentukan perlakuan pada penelitian lapangan. Di lapang, sumber bahan organik yang berbeda kualitasnya diberikan melalui teknik pengolahan tanah konservasi yang memungkinkan pemberian bahan organik dengan cara disebar sebagai mulsa atau dicampur saat pengolahan tanah. Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Tujuan penelitian adalah untuk memahami pengaruh pengolahan tanah (minimum atau tanpa olah tanah) dan pemberian bahan organik yang diberikan secara periodik terhadap kualitas tanah dan hasil tanaman pada berbagai tingkat kerusakan tanah (Ultisol Jasinga). Penelitian Musim Tanam (MT) 2002/2003 merupakan bagian dari rangkaian penelitian jangka panjang yang dimulai pada tahun 1993 yang menerapkan sistim pertanaman lorong.

Tanaman pagar adalah flemingia dengan jarak antara dua

31

tanaman pagar 7,3 m. Lahan penelitian terdiri dari tiga blok atau kelompok yang berfungsi sebagai ulangan yaitu blok I (lereng 6%), blok II (lereng 12%) dan blok III (lereng 8%). Perlakuan yang diuji adalah pengupasan tanah lapisan atas (artificial desurfacing) mengikuti cara FAO-UN (1985) dan rehabilitasi tanah (tahun 19931998), sedangkan mulai tahun 1998/1999 diterapkan perlakuan kombinasi teknik pengolahan tanah dan pemberian bahan organik.

Pengupasan tanah lapisan atas

dilakukan pada tahun 1993 setebal 5 cm (A1), 10 cm (A2) dan tanah tidak dikupas (A0) sebagai kontrol. Sejak tahun 1993/1994 sampai tahun 2002 telah terjadi erosi setebal 0,16-5,47 cm, sehingga terjadi peningkatan tebal tanah yang hilang. Jumlah tanah tererosi pada masing-masing petak dari tahun 1993/1994 sampai dengan tahun 2000/2001 tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Tanah Tererosi Sejak Tahun 1993/1994 s/d 2000/2001 Perlakuan

A0

A1 A2 --------------------3,79 5,47

Rata-rata Rata-rata per th cm ----------------4,56 0,57

R0

4,42

R1

0,76

0,64

0,99

0,80

0,10

R2

0,36

0,16

0,18

0,23

0,03

R3

0,44

0,52

0,80

0,59

0,07

Rata-rata

1,49

1,28

1,86

Rata-rata per th

0,19

0,16

0,23

Rancangan percobaan yang digunakan adalah petak terpisah dengan rancangan dasar acak kelompok, tiga (3) ulangan. Perlakuan pada tahun 2002/2003 adalah:

32

Petak utama adalah tingkat pengupasan tanah (A): A0 = A1 = A2 =

tanah dikupas 0 cm (tahun 2002, telah hilang setebal 0,36 – 4,42 cm) tanah dikupas 5 cm (tahun 2002, telah hilang setebal 5,16 – 8,79 cm) tanah dikupas 10 cm (tahun 2002, telah hilang setebal 10,18 – 15,47 cm) Anak petak adalah pengolahan tanah dan pemberian bahan organik (R):

R0 =

tanah diolah, sebelumnya pada saat bera ditanami mukuna, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m R1 = tanah tidak diolah, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m R2 = tanah diolah, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m R3 = tanah tidak diolah, sebelumnya pada saat bera ditanam mukuna, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m Petak percobaan berukuran 22 m x 3 m dengan jarak antar petak 30 cm dan jarak antar petak utama 50 cm. Perlakuan tingkat pengupasan tanah adalah sebagai representasi tingkat degradasi tanah, sedangkan pemberian bahan organik in situ dan teknik pengolahan tanah diformulasikan sebagai suatu paket teknologi rehabilitasi tanah.

Pada bulan Pebruari 2002, ditanami sengon (Paraserianthes falcataria)

sebagai tanaman utama dengan jarak tanam 2,0 m x 1,3 m. Tanaman pangan diusahakan di antara tanaman sengon berumur kurang dari satu tahun. Pola tanam tanaman pangan yang diterapkan adalah jagung (Zea mays L.)–kacang tanah (Arachis hypogeae). Pada perlakuan R0 dan R3, selama musim kemarau direhabilitasi dengan mukuna, sedangkan pada perlakuan R 1 dan R2 dibiarkan bera. Hubungan curah hujan bulanan dengan pola tanam dapat dilihat pada Gambar 3. Jarak tanam, jenis dan dosis pupuk yang digunakan tertera pada Lampiran 4.

33

Jumlah bahan organik mukuna, flemingia dan sisa tanaman yang diberikan sesuai dengan produksi bahan organik yang dihasilkan pada masing-masing petak (Tabel 4). Kualitas bahan organik yang diberikan pada masing-masing petak dan waktu pemberian masing-masing bahan organik tertera pada Lampiran 5 dan 6. Pada perlakuan R 0 dan R3, penanaman mukuna dilakukan pada musim kemarau dan dipanen umur tiga bulan. Bahan organik mukuna ditimbang dan disebarkan kembali di atas permukaan tanah. Sebelum disebarkan, bahan organik mukuna dipotongpotong sepanjang 20-30 cm.

Setelah dibiarkan selama dua minggu kemudian

dilakukan pengolahan tanah (perlakuan R0 dan R2), sehingga terjadi pencampuran bahan organik. Curah hujan

Hari hujan

450

0 0

0

2

400

4

4

4

6 9

10

8

9

20

300

276 247

250

231

30

244 225

40 200 50 150

Hari hujan (hari)

Curah hujan (mm)

350

10

11 336

130 90

100

91

60

81

70

50 0

0

Juli

Agst

0

80 Juni

Sept

Okt

Nov

Des

Jan

2002

Feb

Mar

Apr

Mei

Juni

2003

R0 dan R3

Mukuna

Jagung

Kc. tanah

R1 dan R2

Bera

Jagung

Kc. tanah

Gambar 3. Hubungan Curah Hujan dengan Pola Tanam pada MT 2002/2003

34

Pengolahan tanah dilakukan dua minggu sebelum tanam jagung dengan menggunakan cangkul sedalam 15-20 cm. Pada pertanaman kacang tanah tidak dilakukan pengolahan tanah, tetapi dibuat larikan untuk penanaman kacang tanah dan pembersihan gulma seperlunya dengan menggunakan sabit dan cangkul. Ketika jagung berumur 15-20 HST, flemingia dipanen dan bahan organiknya ditimbang kemudian disebar di permukaan tanah untuk seluruh perlakuan. Flemingia dipangkas kembali pada saat panen jagung, bahan organik ditimbang lalu disebar di permukaan tanah. Setelah panen jagung, sisa tanaman jagung ditimbang dan disebar di permukaan tanah kemudian kacang tanah ditanam. Bahan organik flemingia disebar ketika kacang tanah berumur 15-20 HST. Setelah panen kacang tanah, bahan organik kacang tanah ditimbang dan disebar di permukaan tanah dan dibiarkan sampai melapuk. Tabel 4. Jumlah Bahan Organik Segar dan Kering yang Diberikan pada MasingMasing Perlakuan Selama MT 2002/2003 Bahan organik segar Perlakuan

Selama jagung

Selama kacang tanah

Bahan organik kering Total

Selama jagung

Selama kacang tanah

Total

A0=dikupas 0 cm A1=dikupas 5 cm A2=dikupas 10 cm

----------------------------------- t ha-1 ----------------------------------10,38 8,02 18,40 3,45 2,52 5,97 11,83 9,49 21,32 3,93 2,99 6,92 11,60 7,91 19,51 3,84 2,44 6,28

R0= Diolah+Mukuna R1= Tidak diolah-Mukuna R2= Diolah-Mukuna R3= Tidak diolah+Mukuna

9,56 11,73 10,16 13,64

7,88 9,76 8,73 7,49

17,44 21,49 18,89 21,13

3,07 4,00 3,47 4,43

2,52 2,96 2,74 2,37

5,59 6,96 6,21 6,80

Pada anak petak yang digunakan pada penelitian tahun 2002/2003 telah diaplikasikan cara rehabilitasi tanah dan kombinasi pengolahan tanah dan pemberian

35

bahan organik selama delapan tahun. Perlakuan yang diterapkan pada anak petak sejak tahun 1993/1994 sampai tahun 2001/2002 adalah sebagai berikut: Tahun 1993/1994 dan 1994/1995: R0 = R1 = R2 =

tanpa rehabilitasi rehabilitasi tanah dengan pupuk kandang 20 t ha-1 th-1 rehabilitasi dengan mulsa jerami padi 5 t ha-1 th-1 + bahan hijauan hasil panen dijadikan mulsa R3 = rehabilitasi dengan mulsa mukuna setiap tahun Tahun 1995/1996 dan 1996/1997: R0 = R1 =

R2 = R3 =

tanpa rehabilitasi rehabilitasi tanah dengan pupuk kandang 20 t ha-1 th-1+ mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m rehabilitasi dengan mulsa jerami padi 5 t ha-1 th-1 + mulsa sisa tanaman + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m, rehabilitasi dengan mulsa mukuna setiap tahun + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m

Tahun 1997/1998: R0 = R1 = R2 = R3 =

tanpa rehabilitasi rehabilitasi dengan mulsa jerami padi 5 t ha-1 th-1 + mulsa sisa tanaman + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m rehabilitasi dengan mulsa sisa tanaman + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m rehabilitasi dengan mulsa mukuna setiap tahun + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m

Tahun 1998/1999 sampai 2001/2002: R0 = R1 = R2 = R3 =

tanah diolah, sebelumnya pada saat bera ditanami mukuna, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m tanah tidak diolah, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m, tanah diolah, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m tanah tidak diolah, sebelumnya pada saat bera ditanam mukuna, sisa tanaman digunakan sebagai mulsa + mulsa flemingia dari pertanaman pagar berjarak 7,3 m

36

Jumlah bahan organik yang diberikan sejak tahun 1993/1994 sampai tahun 2000 dicantumkan pada Tabel 5.

Jumlah bahan organik masing-masing petak

percobaan beragam tergantung pada produksi bahan organik yang dihasilkan.

Tabel 5. Jumlah Bahan Organik Segar yang Diberikan Sejak Tahun 1993/1994 s/d 2000 Perlakuan

R0

Pupuk kandang

Jerami padi+sisa tanaman jagung

-------------------------------7,5 -

Flemingia

t ha-1

Mukuna

Total

--------------------------------33,3 9,8 16,0

R1

60

32,1

112,9

-

204,0

R2

-

53,1

113,1

-

166,2

R3

-

13,6

114,5

43,8

171,9

Data curah hujan berupa data sekunder dan hasil pengukuran di lapangan dengan alat pengukur hujan manual atau ombrometer, sedangkan data suhu bulanan merupakan data sekunder.

Perhitungan evapotranspirasi menggunakan metoda

Thornthwaite (1948) dalam Arsyad (1989) sebagai berikut : e = 1,6 (10t/I) a di mana: e=evapotranspirasi bulanan (mm); t=temperatur bulanan ( 0C), I= indeks panas. Indeks erosi hujan diperoleh dengan menggunakan persamaan Lenvain (1975) dan Bols (1978) dalam Abdurachman (1989) yaitu : Persamaan Lenvain (1975):

EI30 = 2,34 R1,98

di mana: EI30=indeks erosi hujan bulanan, R=curah hujan bulanan (cm) Persamaan Bols (1978):

EI30 = 6,119 (RAIN) 1,21 (DAYS )-0,47 (MAXP) 0,53

37

di mana: EI30=indeks erosi hujan bulanan, RAIN=curah hujan rata-rata bulanan (cm), DAYS=jumlah hari hujan rata-rata per bulan, dan MAXP=curah hujan maksimum selama 24 jam. Pengamatan tanah dilakukan: (1) sebelum ditanami mukuna, menggambarkan kondisi awal sifat-sifat tanah sebelum percobaan dimulai, (2) setelah panen jagung, (3) setelah panen kacang tanah. Karakteristik tanah.

Pengamatan dilakukan pada sifat fisik, kimia dan

biologi tanah. Sifat fisik tanah diambil di tiga tempat, yaitu lereng atas, tengah dan bawah berupa contoh tanah tidak terganggu, menggunakan ring sample berukuran diameter 7,5 cm dan tinggi 4 cm.

Sifat kimia dan biologi diketahui melalui

pengambilan contoh tanah komposit, menggunakan bor berukuran 1 inci. Semua contoh tanah diambil dari kedalaman 0-20 cm (lapisan atas). Peubah-peubah yang diamati adalah: (1) sifat kimia tanah yaitu pH, Corganik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia; (2) sifat fisik tanah terdiri dari berat isi, porositas, indeks stabilitas agregat, agregat stabil tahan air (ASA), MWD dan permeabilitas tanah lapisan atas.

Metode analisis yang digunakan tertera pada

Lampiran 7. Peubah tanaman yang diamati adalah tinggi dan hasil tanaman jagung dan kacang tanah. Pengukuran tinggi tanaman jagung dan kacang tanah dilakukan dua minggu sekali. Hasil tanaman diamati pada saat panen dengan cara ubinan. Fraksionasi bahan organik.

Fraksionasi bahan organik menjadi bentuk

POM dan C mic sebagai indikator kualitas tanah yang paling sensitif terhadap pengelolaan lahan.

38

Analisis anggaran parsial.

Analisis anggaran parsial dilakukan untuk

mengetahui tingkat kelayakan ekonomi masing-masing perlakuan. Analisis data. Analisis data dilakukan secara statistik terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta tinggi dan hasil tanaman. Petak percobaan merupakan petak penelitian jangka panjang sehingga terdapat pengaruh sisa percobaan sebelumnya, sehingga untuk melihat keragaman data dari tiap peubah dilakukan analysis of covariance (ANCOVA) atau analisis peragam dengan selang kepercayaan 95%. Data awal penelitian dan jumlah erosi yang terjadi pada masing-masing petak percobaan digunakan sebagai peragam (kovarian). Untuk melihat pengaruh beda nyata dari peubah akibat perlakuan serta interaksinya dilakukan uji jarak berganda Duncan (DMRT= Duncan Multiple Range Test) taraf nyata 5%.

Model analisis

statistik yang digunakan berupa model linier aditif dari rancangan acak kelompok petak terpisah: Yijk = µ + αi +β j + γ k +δ ik + (αβ)ij + θijk + ε ijk Keterangan : Yijk

=

µ αi βj γk δik (αβ)ij

= = = = = =

θijk

=

εijk

=

nilai pengamatan pada kelompok k yang mendapat perlakuan ke i (tingkat pengupasan tanah) dan anak petak perlakuan ke j (pengolahan tanah dan pemberian bahan organik); yang mana i = 1,2,3; j = 1,2,3,4; k = 1,2,3 rataan umum pengaruh petak utama perlakuan pengupasan tanah taraf ke i pengaruh anak petak perlakuan ke j pengaruh dari kelompok ke k pengaruh perlakuan acak petak utama perlakuan ke i dan kelompok ke k interaksi antara petak utama perlakuan ke i dan anak petak perlakuan ke j pengaruh kovarian pada kelompok ke k dengan petak utama perlakuan ke i dan anak petak perlakuan ke j pengaruh acak pada kelompok ke k dengan petak utama perlakuan ke i dan anak petak perlakuan ke j

39

Untuk melihat dinamika kualitas tanah selama satu tahun dilakukan uji T-test pada data awal dengan setelah jagung (AvsSJ), setelah jagung dengan setelah kacang tanah (AvsSKT) dan data awal dengan setelah kacang tanah (AvsSKT). Besarnya perubahan antar waktu dinyatakan dalam persentase. Secara ringkas alur pelaksanaan penelitian tertera pada Gambar 4.

40

Penelitian Rumah Kaca

Penelitian Lapangan

Mukuna Diolah dengan Mukuna

Dicampur C a r a P e m b e r i a n

Disebar

Flemingia Jagung

MK: Mukuna MH I : Jagung (diolah) MH II : Kacang tanah (tidak diolah)

Tanah Tidak dikupas

Tidak diolah tanpa Mukuna

Sumber bahan organik (Setara 2% C-organik tanah)

MK: Bera MH I : Jagung (tidak diolah) MH II : Kacang tanah (tidak diolah) Tanah Dikupas 5 cm Diolah tanpa Mukuna

Jagung Flemingia Mukuna

MK: Bera MH I : Jagung (diolah) MH II : Kacang tanah (tidak diolah)

Tidak diolah dengan Mukuna

Tanah Dikupas 10 cm

MK: Mukuna MH I : jagung (tidak diolah) MH II : Kacang tanah (tidak diolah)

Gambar 4. Alur Pelaksanaan Penelitian Rumah Kaca dan Penelitian Lapangan 41

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Penelitian Tanah Lokasi penelitian lapang terletak pada bentuk wilayah berombak (lereng 35%) sampai bergelombang (lereng 5-15%), pada fisiografi perbukitan lipatan. Menurut Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor, jenis tanah adalah Podsolik Merah Kuning (LPT, 1966), sedangkan berdasarkan pengamatan penampang tanah dan hasil analisis tanah di laboratorium, klasifikasi tanahnya adalah Typic Haplohumults atau setara dengan Podsolik Merah Kuning (Kurnia, 1996). Tanah bertekstur liat, sangat masam, struktur tanah gumpal, dan solumnya tergolong sedang (110 cm). Pada Tabel 6 diperlihatkan bahwa berat isi di lapisan atas tanah (0-11 cm) adalah 0,82 g cm-3 dan di lapisan bawah (11-40 cm) sebesar 0,85 g cm-3, sedangkan pori aerasi tanah lapisan atas sedang (15,8% vol.) dan lapisan bawah rendah (8,9% vol.). Kandungan Corganik dan fosfor sedang (2,63% C dan 22 mg P 2O5 100g-1), nitrogen rendah (0,26% N), kalium sedang (24 mg K2O 100g-1), kejenuhan basa rendah (29%) dan kapasitas tukar kation tanah sangat tinggi (48,6 me 100g-1)(Tabel 6). Berdasarkan data sifat-sifat fisik dan kimia tanah tersebut, status kesuburan tanah di lokasi penelitian tergolong rendah. Di samping itu, tanah di lokasi penelitian mempunyai kandungan aluminium sangat tinggi (16-25 me Al 100g-1 tanah). Hasil pengamatan Kurnia (1996) mengenai morfologi penampang tanah sebelum aplikasi perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 6. Sifat-Sifat Fisik dan Kimia Tanah Typic Haplohumult di Lokasi Penelitian Sifat tanah

0-11 cm

11-40 cm

40-77 cm

77-110 cm

>110 cm

Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%)

7,9 22,6 69,5

7,1 18,3 74,6

11,2 17,9 70,9

13,3 23,0 63,7

52,4 25,2 22,4

pHH2O

4,3

4,5

4,7

4,7

4,2

Bahan organik C-organik (%) N-organik (%) C/N

2,63 0,26 10

1,74 0,18 10

1,01 0,12 8

0,82 0,10 8

0,34 0,04 9

Ekstraksi HCl 25 % P 2O5 (mg 100g-1) K2O (mg 100g-1)

22 24

20 19

25 23

17 28

16 17

Ekstraksi Bray-1 P 2O5 (ppm)

2,6

1,5

2,1

1,9

1,2

Susunan kation Ca (me 100g-1) Mg (me 100g-1) K (me 100g-1) Na (me 100g-1)

8,64 4,77 0,30 0,23

6,19 3,11 0,20 0,25

8,71 3,38 0,24 0,19

14,15 5,44 0,30 0,22

10,67 4,03 0,18 0,25

48,59

49,39

48,99

67,79

50,44

29

20

26

30

30

Aluminium dapat ditukar (me 100g-1) Bobot isi (g cm-3)

16,12 0,82

19,39 0,85

17,89

25,07

19,33

Pori aerasi (% vol.)

15,75

8,85

Pori air tersedia (% vol.)

18,80

21,30

Kapasitas tukar kation (me 100g-1) Kejenuhan basa (%)

Sumber: Kurnia (1996) Curah Hujan, Erosivitas dan Evapotranspirasi Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, daerah Jasinga termasuk tipe hujan A, dengan curah hujan rata-rata tahunan 2 905 mm. Hasil pengukuran dari bulan Juli 2002 sampai dengan Juni 2003 di lokasi penelitian tercatat curah hujan sebesar 1951 mm th-1 (Tabel 7). Dibandingkan dengan rata-rata curah hujan di

43

Jasinga selama 9 tahun (1979-1987), maka curah hujan yang terjadi pada Juli 2002Juni 2003 tergolong tidak normal (lebih kering). Pada Tabel 7 juga diperlihatkan bahwa hujan di lokasi penelitian bersifat erosif dilihat dari nilai EI30 bulanan maupun tahunan yang cukup tinggi, baik pada kondisi normal (tahun 1979-1987) maupun pada kondisi lebih kering yaitu selama penelitian berlangsung. Suhu udara bulanan berkisar antara 25,3oC dan 26,2oC, dengan rata-rata bulanan 25,8oC, suhu tersebut akan berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi. Tabel 7. Curah Hujan, Indeks Erosivitas, dan Evapotranspirasi di Jasinga dan Hasil Pengukuran di Lokasi Penelitian

Bulan Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari Februari Maret April Mei Juni

Curah hujan1 (mm)

208 170 200 225 302 321 299 195 221 376 218 170 2 905

Jasinga (90 m dpl.) EvapoIndeks transpirasi2 Erosivitas (mm) (EI 30)3

113,3 112,3 110,7 115,4 107,6 109,2 97,1 94,9 108,1 109,6 116,4 113,7 1308,4

137,1 104,2 130,0 152,5 227,6 247,3 224,5 125,6 148,9 306,7 146,1 104,2 2054,6

Kebon Panas (100 m dpl.) Curah hujan (mm)4

0 0 90 91 247 81 231 225 244 276 336 130 1951

Evapotranspirasi2 (mm)

115,1 115,4 116,3 119,2 113,2 112,6 111,3 101,4 118,7 116,6 123,4 113,6 1376,8

Hari hujan (hari)

0 0 2 4 10 4 6 9 8 9 11 4 67

Indeks Erosivitas (EI 30)5

0 0 170,1 108,3 209,4 96,0 388,3 237,1 352,1 312,0 378,8 166,7 2418,8

1

Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika 1979-1987 Berdasarkan rumus Thornthwaite (1948) dalam Arsyad (1989) 3 Berdasarkan rumus Lenvain dalam Abdurachman (1989) 4 Sumber : Hasil pengukuran dari Juli 2002 sampai dengan Juni 2003 5 Berdasarkan rumus Bols (1978) dalam Abdurachman (1989) 2

Ditinjau dari neraca air (curah hujan dikurangi evapotranspirasi), selama periode tahun 1979-1987 tidak terdapat bulan yang mengalami defisit air, di Jasinga selalu mengalami surplus air sehingga tanaman tidak kekurangan air, namun potensi

44

untuk terjadinya aliran permukaan relatif tinggi.

Berbeda kondisinya pada saat

penelitian berlangsung atau selama MT 2002/2003, di mana pada bulan Juli, Agustus, September, Oktober dan Desember terjadi defisit air karena curah hujan lebih rendah dari evapotranspirasi. Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

Pada bulan-bulan lainnya di mana curah hujan lebih besar dari

evapotranspirasi, terdapat surplus air sehingga selama penelitian berlangsung peluang terjadinya aliran permukaan cukup besar. Kualitas Bahan Organik yang Diberikan Bahan organik yang diberikan pada penelitian rumah kaca bersumber dari mukuna, flemingia dan sisa tanaman jagung. Hasil analisis tanaman menunjukkan bahwa ketiga sumber bahan organik tersebut mempunyai kualitas yang berbeda dilihat dari senyawa organik utama (kandungan lignin dan selulosa) maupun kandungan unsur hara (C, N, P, dan K). Hasil analisis tanaman dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Analisis Tanaman yang Digunakan Sebagai Bahan Organik pada Penelitian Rumah Kaca Peubah Kadar air (%) C (%) N (%) C/N P (%) K (%) Selulosa (%) Lignin (%) Lignin/selulosa

Jagung 75,0 40,86 2,18 19 0,28 1,57 45,03 4,13 0,09

Mukuna 71,2 46,99 2,77 17 0,17 0,65 31,14 12,08 0,39

Flemingia 65,9 48,08 1,88 26 0,17 0,93 34,37 19,65 0,57

45

Pada Tabel 8 diperlihatkan bahwa ditinjau dari kandungan senyawa organik, flemingia mempunyai kadar lignin yang paling tinggi yaitu 19,65%, kadar selulosa sebesar 34,37% sehingga menghasilkan nisbah lignin/selulosa paling tinggi yaitu 0,57. Sebaliknya pada sisa tanaman jagung, nisbah lignin/selulosa tergolong paling rendah yaitu 0,09, karena kadar ligninnya tergolong paling rendah (4,13%). Mukuna mempunyai kadar selulosa paling rendah, namun kadar ligninnya cukup besar yaitu 12,08% sehingga nisbah lignin/selulosa sebesar 0,39. Lignin dan selulosa merupakan senyawa organik pada tanaman yang menghasilkan C-organik di mana lignin tergolong senyawa yang sukar didekomposisi, sedangkan selulosa lebih mudah didekomposisi (Stevenson, 1982).

Dengan demikian, flemingia akan lebih sulit

didekomposisi dibandingkan mukuna dan sisa tanaman jagung. Ditinjau dari kandungan hara C, N, P dan K, ternyata bahan organik flemingia mengandung kadar C paling tinggi yaitu sebesar 48,08%, tetapi mengandung kadar N paling rendah yaitu hanya 1,88%, akibatnya nisbah C/N flemingia tergolong paling tinggi yaitu 26. Kandungan C dalam bahan organik mukuna dan sisa tanaman jagung lebih rendah dari bahan organik flemingia, tetapi kadar N yang ada lebih tinggi yaitu sebesar 2,77% dan 2,18%. Rendahnya kadar N dalam bahan organik flemingia mengakibatkan lebih sulit didekomposisi, dan peluang terjadinya immobilisasi lebih besar.

Sisa tanaman jagung mengandung kadar P dan K relatif lebih tinggi

dibandingkan bahan organik flemingia dan mukuna, sehingga potensinya untuk meningkatkan kadar P-tersedia dan K-tersedia tanah lebih besar. Perbedaan kandungan senyawa organik maupun unsur hara dari bahan organik flemingia, mukuna dan sisa tanaman jagung menyebabkan terjadinya

46

perbedaan kualitas bahan organik yang diberikan pada masing-masing perlakuan. Pada penelitian rumah kaca, bahan organik tersebut diberikan secara tunggal dan campuran dua atau tiga jenis bahan organik tersebut dengan dosis setara 2% Corganik tanah. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 8, kandungan senyawa organik utama dan unsur hara dari masing-masing bahan organik yang diberikan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Pengaruh Cara Pemberian dan Sumber Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Jagung Fraksi Bahan Organik Fraksi bahan organik seperti C-organik, biomassa mikroorganisme (Cmic), nisbah Cmic/Corg , particulate organic matter (POM) dipilih sebagai indikator perbaikan kualitas tanah. Semakin besar kadar masing-masing fraksi bahan organik tersebut dalam tanah maka semakin baik kualitas tanah. Interaksi antara perlakuan cara pemberian bahan organik dengan sumber bahan organik berpengaruh nyata terhadap Corganik, biomassa mikroorganisme (Cmic) dan nisbah Cmic/Corg (Tabel 10). Sumber bahan organik yang berbeda menghasilkan kadar C-organik yang tidak berbeda nyata bila bahan organik diberikan dengan cara disebar, sedangkan bila dicampur flemingia menghasilkan kadar C-organik yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan mukuna dan campuran mukuna+jagung. Pada cara pemberian disebar, kadar C-organik tidak dipengaruhi oleh kualitas bahan organik sehingga kadar C-

47

Tabel 9. Kandungan Unsur Hara dan Komponen Organik Utama Bahan Organik yang Digunakan pada Penelitian Rumah Kaca (Setara 2% C-Organik Tanah) Kandungan unsur hara

Kandungan komponen organik utama

Perlakuan

C

N

C/N

P

---- t ha-1 ----

K

Lignin

Selulosa

Lignin/selulosa

--------------------- t ha-1 ---------------------

Mukuna

40

2,36

17

0,15

0,55

10,28

26,51

0,39

Flemingia

40

1,56

26

0,14

0,77

16,35

28,59

0,57

Jagung

40

2,13

19

0,27

1,44

4,04

44,08

0,09

Mukuna+flemingia

40

1,96

20

0,14

0,66

13,32

27,55

0,48

Flemingia+jagung

40

1,85

22

0,15

1,16

10,20

36,34

0,28

Mukuna+jagung

40

2,25

18

0,16

1,05

7,16

35,29

0,20

Mukuna+flemingia+jagung

40

2,02

20

0,19

0,96

10,23

33,06

0,31

48

organik yang dihasilkan tidak berbeda nyata di antara sumber bahan organik, sedangkan pada pemberian bahan organik dicampur, kualitas bahan organik (kandungan lignin, selulosa, nisbah C/N) berpengaruh terhadap kadar C-organik (Lampiran 9). Lignin dan selulosa merupakan komponen organik utama yang menghasilkan Corganik, sehingga kadar kedua senyawa tersebut mempengaruhi kadar C-organik tanah. Pada proses dekomposisi, selulosa akan dirombak mikroorganisme pada tahap awal, sedangkan lignin dimanfaatkan mikroorganisme pada tahap akhir (Stevenson, 1982). Tabel 10. Pengaruh Interaksi antara Cara Pemberian dengan Sumber Bahan Organik terhadap C-organik, C mic dan C mic/Corg Tanah Cara pemberian

Sumber Bahan organik Mu

Fle

Jg

3,41 Aa 3,46 Ab

3,19 Ba 4,19 Aa

3,49 Aa 3,54 Aab

Mu+Fle

Fle+jg

Mu+jg

Mu+Fle+jg

3,51 Aa 3,82 Aab

3,37 Aa 3,29 Ab

3,29 Aa 3,84 Aab

99,0 Abc 178,2 Aa

112,2 Ab 46,2 Bb

118,8 Bb 145,2 Aa

0,28 Abc 0,46 Aa

0,34 Ab 0,14 Bb

0,36 Ab 0,38 Aa

C-organik(%) Disebar Dicampur

3,46 Aa 3,57 Aab

Cmic ( µg g-1 tanah) Disebar Dicampur

69,3 Acd 59,4Ab

39,6 Bd 165,0 Aa

178,2 Aa 138,6 Ba

198,0 Aa 184,8 Aa

Cmic/Corg (%) Disebar Dicampur

0,20 Acd 0,17 Ab

0,12 Bd 0,41 Aa

0,51 Aa 0,39 Ba

0,57 Aa 0,52 Aa

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut baris dan huruf besar sama menurut kolom dalam kelompok peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Mu = mukuna, Fle = flemingia, dan Jg = jagung

Bahan organik flemingia mengandung lignin paling tinggi sebesar 16,35 t ha-1 dan mengandung selulosa sebesar 28,58 t ha-1 tergolong rendah (Tabel 9), sehingga laju dekomposisinya berjalan lambat. Pencampuran dengan tanah sangat membantu mempercepat proses dekomposisi flemingia sehingga mineralisasi unsur hara lebih cepat berlangsung dibandingkan bila flemingia disebar di permukaan tanah, karena

49

lebih mudah dijangkau oleh mikroorganisme.

Dalam jangka waktu 4,5 bulan,

sebagian bahan organik flemingia belum terdekomposisi sempurna, terlihat pada saat panen jagung dilakukan masih terdapat tumpukan bahan organik flemingia di dalam pot.

Pada cara pemberian dicampur, bahan organik flemingia yang baru

terdekomposisi sebagian tersebut (berukuran < 2 mm) memberikan kontribusi terhadap besarnya C-organik tanah. Disebar

Dicampur

Disebar

5.0

5.0 y = 0.0852x + 1.9457 R2 = 0,4113 r=0,647**

y = 0.0452x + 3.1987 R2 = 0,2216 r=0,471*

4.5 C-organik (%)

4.5 C-organik (%)

Dicampur

4.0 3.5 3.0

4.0 3.5 3.0

y = -0.0206x + 3.8027 R2 = 0,0611 r=-0,253

2.5

y = -0.0167x + 3.5581 R2 = 0,0766 r=-0,276

2.5

2.0

2.0 15

17

19 21 23 Nisbah C/N BO

(a)

25

27

3

5

7 9 11 13 15 Nisbah lignin BO (t ha-1)

17

(b)

Gambar 5. Pengaruh (a) Nisbah C/N dan (b) Kadar Lignin Bahan Organik yang Diberikan terhadap Kadar C-organik Tanah Pada Gambar 5 diperlihatkan bahwa bila bahan organik disebar, nisbah C/N dan kadar lignin bahan organik tidak berkorelasi dengan C-organik tanah (r=-0,253 dan r=-0,276), artinya C-organik tanah tidak dipengaruhi oleh perbedaan kualitas bahan organik yang diberikan. Pada pemberian dengan cara dicampur, nisbah C/N dan kadar lignin bahan organik yang diberikan mempunyai korelasi tinggi dengan C-

50

organik tanah, yaitu masing-masing dengan nilai r=0,647 (P< 0,01) dan r=0,471 (P< 0,05) sehingga pengaruhnya cukup besar (Lampiran 9). Pada Tabel 10 terlihat bahwa kadar C-organik yang diberi bahan organik flemingia dengan cara dicampur mencapai 4,19%, sedangkan bila diberikan dengan cara disebar hanya 3,19%. Hal ini disebabkan nisbah C/N dan kadar lignin flemingia yang relatif tinggi yaitu 26 dan 16,35 t ha-1 (Tabel 9), sehingga untuk menghasilkan C-organik yang lebih tinggi harus diberikan dengan cara dicampur. Nisbah C/N dan kadar lignin yang tinggi menyebabkan laju dekomposisi berjalan lambat, sehingga untuk memineralisasi C dibutuhkan waktu yang lebih lama.

Hasil penelitian

Handayanto, Giller, dan Cadish (1997) pada Ultisol Lampung menunjukkan bahwa penggunaan tanaman legum dengan nisbah C/N tinggi akan menghasilkan efek residu pada musim tanam berikutnya, karena proses dekomposisinya berlangsung lambat. Bahan organik yang mempunyai nisbah C/N rendah seperti mukuna dan campuran mukuna+jagung laju dekomposisinya berjalan lebih cepat, sehingga dalam selang waktu 4,5 bulan dari aplikasi sebagian telah hilang dari tanah (respirasi mikroorganisme) akibatnya C-organik yang diperoleh lebih rendah. Biomassa mikroorganisme (Cmic) dapat menggambarkan jumlah C-organik yang berasal dari mikroorganisme yang hidup dalam tanah. Semakin besar jumlah bahan organik mikroorganisme dalam tanah dan proporsinya terhadap C-organik (Cmic/Corg ) menunjukkan bahwa kemampuan tanah tersebut dalam mendukung kehidupan mikroorganisme semakin baik, sehingga proses transformasi unsur hara dapat terus berlangsung.

51

Tanah yang diberi bahan organik flemingia dengan cara disebar mempunyai C mic sebesar 39,6 µg g-1 tanah dan nisbah C mic/Corg sebesar 0,12% nyata lebih rendah dibandingkan dengan cara dicampur (165,0 µg g-1 tanah dan 0,41%), sedangkan pemberian

bahan

organik

campuran

mukuna+jagung

dengan

cara

disebar

menghasilkan Cmic (112,2 µg g-1 tanah) nyata lebih tinggi dibandingkan bila bahan organik tersebut dicampur yaitu 46,2 µg g-1 tanah (Tabel 10). Tingginya C mic dan nisbah C mic/Corg pada tanah yang diberi bahan organik dengan cara dicampur maupun disebar berkorelasi dengan nisbah C/N dan kadar lignin dari bahan organik yang diberikan (Gambar 6 dan 7). Pada pemberian bahan organik dengan cara dicampur, pengaruh nisbah C/N terhadap C mic dan nisbah C mic/Corg cukup besar terlihat dari koefisien korelasinya (r) > 0,500. Pada pemberian bahan organik dengan cara disebar, nilai r < 0,500 artinya pengaruhnya lebih kecil dibandingkan bila bahan organik dicampur (r > 0,500). Koefisien korelasi kadar lignin dengan C mic dan nisbah C mic/Corg lebih kecil dari 0,500, baik pada pemberian bahan organik dicampur maupun disebar, artinya pengaruhnya tidak terlalu besar. Bila bahan organik disebar, semakin tinggi kadar lignin bahan organik yang diberikan maka semakin kecil Cmic dan nisbah C mic/Corg. Lignin merupakan bagian tanaman yang lebih resisten terhadap serangan mikroorganisme. Flemingia mempunyai kadar lignin tinggi sehingga bila tidak dicampur, karbon dalam bahan organik flemingia tersebut menjadi sulit dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi. Keterbatasan sumber energi menghambat kelangsungan hidup mikroorganisme sehingga baik jumlah mikroorganisme yang

52

hidup (Cmic) maupun proporsinya terhadap C-organik (nisbah C mic/Corg ) pada tanah yang diberi flemingia nyata lebih rendah. Disebar 250

Cmic (ug g-1 tanah)

-1

y = 6.1452x + 68.227 R2 = 0,16 r=0,400++

200

150

100 y = -7.085x + 259.09 R2 = 0,1201 r=-0,388 ++

50

Dicampur

250

y = 13.741x - 145.59 R2 = 0,4176 r=0,618**

200

Cmic (ug g tanah)

Disebar

Dicampur

150

100 y = -6.2287x + 180.13 R2 = 0,1779

50

r=-0,421 ++

0

0

15

17

19

21

23

25

27

0

3

6

9

12

15

18

Kadar lignin BO (t ha-1)

Nisbah C/N BO

(a)

(b)

Gambar 6. Pengaruh (a) Nisbah C/N dan (b) Kadar Lignin Bahan Organik yang Diberikan terhadap C mic Tanah Disebar

Dicampur

Disebar

0.45

0.30 y = -0.0201x + 0.7471 R2 = 0,1171 r=-0,388 ++

0.15

Dicampur y = 0.0131x + 0.2199 R2 = 0,1072 r=0,326+

0.60

y = 0.031x - 0.269 R2 = 0,3112 r=0,524*

Cmic/Corg (%)

Cmic/Corg (%)

0.60

0.45

0.30

y = -0.0174x + 0.5201 R2 = 0,1678 r=-0,415 ++

0.15

0.00

0.00 15

17

19 21 23 Nisbah C/N BO

(a)

25

27

0

3

6 9 12 15 Kadar lignin BO (t ha-1)

18

(b)

Gambar 7. Pengaruh (a) Nisbah C/N dan (b) Kadar Lignin Bahan Organik yang Diberikan terhadap Nisbah C mic/Corg Tanah

53

Bila flemingia diberikan dengan cara dicampur, karbon sebagai sumber energi lebih mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme dan sampai 4,5 bulan sejak aplikasi masih dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme, akibatnya jumlah mikroorganisme yang hidup nyata lebih tinggi. Tingginya nilai Cmic berkontribusi terhadap besarnya C-organik tanah. Pada cara pemberian disebar, bahan organik sisa tanaman jagung dan campuran mukuna+sisa tanaman jagung dengan kadar lignin rendah (4,04 t ha-1 dan 7,16 t ha -1) menghasilkan C mic nyata lebih tinggi karena mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi. Salah satu bentuk fraksi bahan organik yang bersifat labil atau mudah dipengaruhi pengelolaan tanah adalah Particulate Organic Matter (POM). Bahan organik yang terdapat pada agregat yang berukuran 53-250 µm ini terdiri dari POM total (POMt), dan POM yang terproteksi secara fisik dalam agregat (POMp). Selain kedua bentuk POM tersebut, nisbah POMt/Corg juga dapat menggambarkan perubahan kualitas bahan organik yang terjadi dalam tanah pada waktu yang relatif singkat. Pada Tabel 11 disajikan pengaruh perlakuan terhadap POMt, POMp dan nisbah POMt/Corg . Cara pemberian bahan organik disebar memberikan POMt, POMp dan nisbah POMt/Corg yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan cara dicampur. Pemberian bahan organik tanpa pencampuran dapat melindungi C labil yang berada dalam mikroagregat dari serangan mikroorganisme sehingga kehilangan C labil melalui respirasi mikroorganisme dapat ditekan. Gijsman (1996) mengemukakan bahwa proses pencampuran bahan organik melalui pengolahan tanah menyebabkan hancurnya mikroagregat yang berukuran 50-250 µm sehingga C labil yang terlindungi

54

secara fisik di dalam mikroagregat tersebut menjadi lebih terbuka terhadap serangan mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi labil tersebut sangat rentan terhadap pengolahan tanah dan jumlah yang hilang melalui proses pencampuran nyata lebih tinggi. Tabel 11. Kadar Particulate Organic Matter (POM) Tanah pada Kedalaman 0-20 Cm Setelah Panen Jagung Perlakuan Cara pemberian Disebar Dicampur Sumber bahan organik Mukuna Flemingia Jagung Mukuna+flemingia Flemingia+jagung Mukuna+jagung Mukuna+flemingia+jagung

POMt (g m-2)

POMp (g m-2)

POMt/Corg (%)

494,19 a 369,86 b

390,29 a 270,81 b

9,3 a 7,7 b

422,67 a 363,67 a 419,17 a 489,33 a 381,17 a 520,33 a 427,83 a

338,67 ab 279,33 b 318,67 ab 371,17 ab 254,67 b 429,83 a 321,50 ab

8,2 b 7,2 b 8,2 b 9,3 ab 7,2 b 10,8 a 8,7 ab

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. POMt : Particulate Organic Matter total; POMp : Particulate Organic Matter yang secara fisik terproteksi dalam agregat tanah.

Secara total POM tidak dipengaruhi oleh sumber bahan organik, tetapi bentuk C labil yang terproteksi secara fisik dalam agregat (POMp) dan nisbah POMt/Corg dipengaruhi oleh sumber bahan organik (Tabel 11). Pemberian campuran bahan organik mukuna+jagung menghasilkan POMp nyata lebih tinggi (429,83 g m-2) dibandingkan pemberian flemingia (279,33 g m-2) dan campuran bahan organik flemingia+jagung (254,67 g m-2). Selain itu, pemberian campuran bahan organik mukuna+jagung juga memberikan nisbah POMt/Corg yang nyata lebih tinggi (10,8%) dibandingkan pemberian mukuna (8,2%), flemingia (7,2%), jagung (8,2%) dan campuran flemingia+jagung (7,2%). Fakta tersebut menunjukkan bahwa meskipun

55

POMt tidak berbeda nyata namun campuran mukuna+jagung mempunyai proporsi C labil yang terlindungi dalam agregat mikro nyata lebih tinggi. Pada Gambar 8 diperlihatkan bahwa POMp dan POMt/Corg berkorelasi negatif dengan nisbah C/N bahan organik yang diberikan. Tingginya POMp dan POMt/Corg bahan organik campuran mukuna+jagung disebabkan rendahnya nisbah C/N (18), sedangkan rendahnya POMp dan POMt/Corg disebabkan tingginya nisbah C/N flemingia (26). Korelasi antara POMp dan POMt/Corg dengan nisbah C/N bahan organik tidak terlalu besar terlihat dari koefisien korelasinya sebesar 0,287 (P<0,2) dan 0,314 (P<0,1), hal ini berarti pengaruh nisbah C/N bahan organik terhadap POMp dan POMt/Corg tidak terlalu besar. Tingginya nilai POMp dan nisbah POMt/Corg menunjukkan bahwa fraksi bahan organik labil masih cukup banyak yang terlindungi dalam agregat dan proporsinya terhadap C-organik total masih cukup banyak. Campuran bahan organik dengan nisbah C/N yang rendah seperti mukuna+jagung merupakan bahan yang mudah terdekomposisi sehingga memungkinkan lebih cepat berinteraksi dengan partikel-partikel tanah melalui jembatan kation polivalen yang berada dalam mikroagregat dan posisinya pada mikroagregat lebih terlindungi. Flemingia dengan nisbah C/N tinggi mengalami laju dekomposisi lebih lambat sehingga sebagian besar bahan organik masih dalam bentuk fraksi ringan (residu tanaman yang masih jelas bentuknya) dan tidak berasosiasi dengan partikel tanah. Oades (1990) menyatakan bahwa fraksi ringan merupakan bahan organik yang tidak berasosiasi/terikat dengan liat atau masih dalam bentuk bebas.

56

15

700

y = -0.2314x + 12.998

y = -12.022x + 548.67 R2 = 0,0766 r=-0,287++

600

R2 = 0,0899 r=-0,314*

12 POMt/Corg (%)

-2

POMp (g m )

500 400 300

9

6

200

3 100

0

0 15

18

21 Nisbah C/N BO

(a)

24

27

15

18

21

24

27

Nisbah C/N BO

(b)

Gambar 8. Pengaruh Nisbah C/N Bahan Organik yang Diberikan terhadap (a) POMp dan (b) POMt/Corg Tanah Pada Ultisol yang telah terdegradasi, dalam jangka waktu 4,5 bulan sejak aplikasi, pemberian bahan organik mukuna dan campuran mukuna+jagung (nisbah C/N rendah) dengan cara dicampur menghasilkan jumlah karbon sebagai sumber energi yang cepat berkurang sehingga mengganggu kehidupan mikroorganisme. Laju mineralisasi C pada pemberian campuran bahan organik mukuna+jagung berjalan lebih cepat sehingga lebih cepat berinteraksi dengan partikel tanah, akibatnya keberadaan C labil dalam mikroagregat lebih terlindungi dari serangan mikroorganisme. Bahan organik flemingia (nisbah C/N tinggi) merupakan sumber energi yang lambat dimanfaatkan oleh mikroorganisme, sehingga laju dekomposisi berjalan lambat, akibatnya jumlah C labil dalam mikroagregat nyata lebih rendah.

57

Sifat Fisik Tanah Cara pemberian bahan organik berpengaruh nyata terhadap berat isi (BI), porositas, permeabilitas tanah lapisan atas, dan indeks stabilitas agregat baik pada pengaruh tunggal cara pemberian maupun interaksinya dengan sumber bahan organik.

Pemberian bahan organik dengan cara disebar memberikan kadar air

kapasitas lapang, pori air tersedia (PAT) dan indeks stabilitas agregat (ISA) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan bila bahan organik dicampur. Tabel 12. Pengaruh Interaksi antara Cara Pemberian dengan Sumber Bahan Organik terhadap BI dan RPT Setelah Panen Jagung Cara pemberian

Sumber Bahan organik Mu

Fle

Jg

Mu+Fle

Fle+jg

Mu+jg

Mu+Fle+jg

BI (g cm-3) Disebar

0,75 Ab

0,76Aab

0,80 Aab

0,81Aa

0,78 Aab

0,77 Aab

0,80 Aab

Dicampur

0,74 Aa

0,63 Bb

0,65 Bab

0,66 Bab

0,66 Bab

0,67 Aab

0,60 Bb

RPT (% vol.) Disebar

71,8Aa

71,4 Bab

69,9 Bab

69,3 Bb

70,5 Bab

70,8 Aab

69,7 Bab

Dicampur

72,0Ab

76,4 Aa

75,4 Aab

75,2 Aab

75,3 Aab

74,9 Aab

77,6 Aa

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut baris dan huruf besar sama menurut kolom dalam kelompok variabel yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Mu : mukuna, Fle : flemingia., dan Jg : jagung

Pengaruh sumber bahan organik terhadap BI dan RPT ditentukan oleh cara pemberian bahan organik. Pengaruh pemberian bahan organik mukuna, dan campuran mukuna+jagung terhadap BI dan RPT, tidak dipengaruhi cara pemberian, sedangkan bahan organik dari sumber lainnya bila diberikan dengan cara disebar akan menghasilkan BI yang nyata lebih tinggi dan RPT yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan cara dicampur (Tabel 12).

58

Dalam selang waktu 4,5 bulan sejak aplikasi, bahan organik campuran mukuna+jagung menghasilkan POMp nyata lebih tinggi.

Hal ini menunjukkan

bahwa hasil dekomposisi bahan organik tersebut dapat segera berinteraksi dengan partikel-partikel tanah, dan letaknya terlindungi dalam mikroagregat.

Berbeda

dengan bahan organik lainnya, bila diberikan dengan cara dicampur, sebagian bahan organik dalam bentuk fraksi ringan (residu tanaman yang masih jelas bentuknya) belum berasosiasi dengan partikel-partikel tanah.

Itulah sebabnya dalam jangka

waktu 4,5 bulan sejak aplikasi, cara pemberian bahan organik yang mudah melapuk seperti mukuna dan campuran mukuna+jagung tidak mempengaruhi BI dan RPT, sedangkan pemberian bahan organik lainnya dengan cara dicampur mengha-silkan BI nyata lebih rendah dan RPT nyata lebih tinggi. Pada pemberian bahan organik dengan cara disebar, nisbah C/N bahan organik tidak berkorelasi nyata dengan BI dan RPT, dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar r=-0,056 dan r=0,054 (Gambar 9). Artinya perbedaan BI dan RPT tidak ada kaitannya dengan nisbah C/N bahan organik yang diberikan. Jika bahan organik dicampur dengan tanah, nisbah C/N bahan organik yang diberikan nyata berkorelasi dengan BI dan RPT. Perubahan BI dan RPT dipengaruhi oleh nisbah C/N bahan organik, walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar terlihat dari koefisien korelasi (r) masing-masing sebesar -0,386 (P<0,1) dan 0,395 (P<0,1) (Gambar 9). Pemberian bahan organik dengan nisbah C/N yang relatif tinggi, bila dicampur dengan tanah akan menghasilkan BI yang nyata lebih rendah dan RPT nyata lebih tinggi dibandingkan bila disebar. Namun demikian, pengaruh pemberian bahan organik dengan cara dicampur terhadap BI dan RPT masih perlu dilihat dalam

59

jangka panjang yaitu pada saat proses dekomposisi bahan organik telah berjalan sempurna. Dalam jangka waktu 4,5 bulan, proses dekomposisi belum berjalan sempurna sehingga pengaruhnya terhadap granulasi tanah pun belum berlangsung sempurna. Disebar

Dicampur

Disebar

1.0

-3

Berat Isi (g cm )

0.9 0.8 0.7 0.6

y = -0.0086x + 0.8297 R2 = 0,1474

0.5

r=0,395++

Ruang Pori Total (% vol.)

y = -0.0004x + 0.7897 R2 = 0,0011 r=-0,056

Dicampur y = 0.3315x + 68.558 R2 = 0,1533

80

77

74

71 y = 0.0136x + 70.216 R2 = 0,0008 r=0,054

68

r=-0,386++ 0.4

65

15

17

19

21

23

Nisbah C/N BO

(a)

25

27

15

17

19

21

23

25

27

Nisbah C/N BO

(b)

Gambar 9. Pengaruh Nisbah C/N Bahan Organik yang Diberikan terhadap (a) Berat Isi dan (b) Ruang Pori Total Tanah Pemberian dengan cara disebar menghasilkan PDC dan permeabilitas yang nyata lebih rendah, namun memberikan KA kapasitas lapang, PAT dan ISA yang nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara dicampur (Tabel 13). Pada proses pencampuran, terjadi gangguan mekanik yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah dan berdampak pada turunnya ISA. Pencampuran bahan organik juga menyebabkan persentase volume pori aerasi meningkat dan persentase volume pori air tersedia menurun. Pencampuran sebagai refleksi dari teknik pengolahan tanah lebih memberikan ruang gerak bagi air untuk masuk ke lapisan bawah tanah karena kondisi aerasi tanahnya yang jauh lebih baik, akibatnya infiltrasi dan perkolasi meningkat.

60

Hal tersebut menyebabkan permeabilitas tanah lapisan atas meningkat dan kadar air kapasitas lapang menurun.

Penyebaran bahan organik di atas permukaan tanah

mampu mengurangi laju evaporasi, dan tidak adanya gangguan mekanik melalui pengolahan tanah menyebabkan laju pergerakan air ke lapisan bawah berjalan lebih lambat. Tabel 13. Kadar Air Kapasitas Lapang (KA), PDC, PAT, Permeabilitas dan ISA Setelah Panen Jagung Perlakuan Cara pemberian Disebar Dicampur Sumber bahan organik Mukuna Flemingia Jagung Mukuna+flemingia Flemingia+jagung Mukuna+jagung Mukuna+flemingia+jagung

KA (%)

PDC (% vol.)

PAT (% vol.)

Permeabilitas

(cm jam-1)

ISA

34,6 a 29,8 b

33,0 b 40,7 a

8,0 a 7,2 b

12,5 b 25,9 a

55,5 a 20,1 b

34,0 a 31,1 a 31,2 a 32,7 a 32,6 a 32,4 a 31,7 a

33,1 a 37,9 a 36,8 a 34,9 a 35,8 a 35,3 a 40,6 a

7,9 a 7,2 a 7,3 a 7,4 a 7,4 a 7,7 a 8,0 a

22,1 a 20,1 a 19,3 a 20,3 a 19,6 a 19,4 a 15,9 a

46,7 a 23,2 a 58,3 a 24,3 a 20,2 a 41,7 a 58,3 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Kadar air kapasitas lapang, PDC, PAT, permeabilitas dan ISA dari Ultisol Jasinga tidak dipengaruhi oleh sumber bahan organik yang diberikan. Dalam selang waktu 4,5 bulan dari aplikasi atau satu musim tanam, perbedaan kualitas bahan organik yang diberikan (Tabel 9) tidak mempengaruhi peubah-peubah tersebut, artinya sumber bahan organik menjadi tidak penting selama jumlah bahan organik segar yang diberikan cukup besar (244,0-390,8 t ha-1). Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa peubah-peubah tersebut tidak berkorelasi dengan kualitas bahan organik yang diberikan (Lampiran 9). Dalam selang waktu 4,5 bulan dari aplikasi,

61

proses dekomposisi bahan organik yang diberikan dan proses reagregasi mungkin belum berjalan sempurna. Dalam kurun waktu tersebut, pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi, cara pemberian bahan organik lebih berpengaruh terhadap peubahpeubah KA kapasitas lapang, PDC, PAT, permeabilitas dan ISA dibandingkan sumber bahan organik. Namun demikian, dengan berjalannya waktu mungkin akan terjadi perubahan respon sifat fisik tanah tersebut terhadap kualitas bahan organik yang diberikan, mengingat proses dekomposisi belum berjalan sempurna. Sifat Kimia Tanah Peningkatan kualitas sifat kimia tanah terutama mineralisasi unsur hara (Ktersedia, P-tersedia, dan N-total) pada tanah yang diberi bahan organik secara dicampur nyata lebih tinggi dibandingkan bila bahan organik diberikan dengan cara disebar. Pengaruh sumber bahan organik terhadap P-tersedia dan N-total tergantung pada cara pemberian, sedangkan pengaruh sumber bahan organik terhadap K-tersedia dan pH H2O tidak ditentukan oleh cara pemberiannya. Pemberian bahan organik dengan cara disebar menghasilkan pH H2O tanah yang nyata lebih tinggi, tetapi memberikan K-tersedia nyata lebih rendah dibandingkan dengan bila bahan organik dicampur (Tabel 14). Proses inkorporasi bahan organik juga menyebabkan mineralisasi unsur hara terjadi lebih cepat sehingga kadar K-tersedia pada tanah yang diberi bahan organik dengan cara dicampur nyata lebih tinggi dibandingkan bila bahan organik disebar. Perbedaan kualitas bahan organik yang diaplikasikan tidak berpengaruh terhadap pH H2O, tetapi berpengaruh nyata terhadap kadar K-tersedia (Lampiran 9).

62

Pada Gambar 10 ditunjukkan bahwa kadar K dan kadar selulosa dari bahan organik yang diberikan besar pengaruhnya terhadap K-tersedia dalam tanah, seperti terlihat dari koefisien korelasinya masing-masing sebesar 0,598 (P<0,01) dan 0,578 (P<0,01). Tabel 14. Kadar K-tersedia dan pH H 2O Setelah Panen Jagung Perlakuan Cara pemberian Disebar Dicampur Sumber bahan organik Mukuna Flemingia Jagung Mukuna+flemingia Flemingia+jagung Mukuna+jagung Mukuna+flemingia+jagung

pH H2O

K-tersedia (ppm)

4,24 a 4,10 b

37,6 b 55,0 a

4,17 a 4,22 a 4,20 a 4,20 a 4,26 a 4,09 a 4,09 a

30,9 d 43,9 bcd 64,0 a 37,4 bcd 56,1 ab 44,0 bcd 47,8 bc

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Pada Tabel 14 diperlihatkan bahwa bahan organik yang berasal dari jagung baik tunggal maupun campuran dengan flemingia dan mukuna memberikan Ktersedia nyata lebih tinggi. Bahan organik dengan kadar K dan selulosa tinggi seperti jagung memberikan K-tersedia nyata lebih tinggi dibandingkan dengan mukuna dengan kadar K dan selulosa rendah. Kalium dari bahan organik dilepaskan dalam bentuk ion (K+), sehingga ketika bahan organik didekomposisi oleh mikroorganisme, ion K+ yang terdapat dalam bahan organik mudah tersedia dalam larutan tanah. Penggunaan bahan organik yang berasal dari rumput-rumputan seperti jagung dengan kandungan K dan selulosa tinggi lebih mampu meningkatkan K-tersedia, sehingga sangat menguntungkan bila diaplikasikan pada tanah yang mempunyai masalah kahat kalium.

63

80

100

y = 31.904x + 15.827 R2 = 0,3573 r= 0,598**

y = 1.6593x - 8.5728 R2 = 0,3343 r=0,578**

60

K-tersedia (ppm)

K-tersedia (ppm)

80

60

40

40

20

20 0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

25

30

35

40

45

Kadar selulosa BO (t ha-1)

Kadar K BO (t ha-1)

(a)

(b)

Gambar 10. Pengaruh (a) Kadar K dan (b) Kadar Selulosa Bahan Organik terhadap K-tersedia Tanah Tabel 15. Pengaruh Interaksi antara Cara Pemberian dengan Sumber Bahan Organik terhadap P-tersedia dan N-Total Cara pemberian

Sumber Bahan organik Mu

Fle

Jg

Mu+Fle

Fle+jg

Mu+jg

Mu+Fle+jg

P-tersedia (ppm) Disebar Dicampur

6,9 Ab 15,2 Adc

7,1 Ab 18,3 Abcd

15,0 Aa 25,7 Aabc

12,3 Aab 10,1 Ad

7,8 Bab 34,0 Aa

5,8 Ab 7,5 Ad

6,0 Bb 32,4 Aab

0,37 Aa 0,44 Aab

0,38 Aa 0,38 Ab

0,38 Aa 0,44 Aab

N-total (%) Disebar Dicampur

0,41 Aa 0,37 Ab

0,37 Ba 0,46 Aa

0,40 Aa 0,42 Aab

0,38 Aa 0,41 Aab

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut baris dan huruf besar sama menurut kolom dalam kelompok peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Mu : mukuna, Fle : flemingia, dan Jg : jagung

Kadar P-tersedia pada tanah yang diberi bahan organik campuran flemingia+jagung dan campuran mukuna+flemingia+jagung dengan cara dicampur nyata lebih tinggi dibandingkan dengan cara disebar masing-masing sebesar 34,0 ppm dan 32,4 ppm (Tabel 15), sedangkan pemberian bahan organik dari sumber lainnya tidak

64

dipengaruhi cara pemberian. Bahan organik jagung mengandung P paling tinggi sehingga walaupun diberikan dengan cara disebar, mampu menghasilkan P-tersedia paling tinggi dibandingkan sumber bahan organik lainnya. Pada Gambar 11 diperlihatkan bahwa kadar P dalam bahan organik nyata mempengaruhi besarnya P-tersedia dalam tanah, dengan nilai r=0,351 (P<0,2) dan r=0,410 (P<0,1) masing-masing pada pemberian bahan organik dengan cara dicampur dan disebar. Rendahnya koefisien korelasi dan taraf nyata antara kadar P bahan organik dengan P-tersedia tanah, menunjukkan bahwa pengaruh kadar P bahan organik terhadap P-tersedia tidak terlalu besar.

Selain kadarnya dalam bahan

organik, bentuk unsur P dalam bahan organik menentukan besarnya P-tersedia dalam tanah. Bahan organik jagung, campuran bahan organik flemingia+jagung dan campuran mukuna+flemingia+jagung yang mengandung P relatif tinggi yaitu masingmasing 0,27 t ha-1; 0,15 t ha -1 dan 0,19 t ha -1 (Tabel 9), mampu menghasilkan Ptersedia yang nyata lebih tinggi bila diberikan dengan cara dicampur (Tabel 15). Bentuk unsur P bahan organik berasal dari komponen organik berupa gula fosfat, fosfolipid dan inositol fosfat, di mana gula fosfat dan fosfolipid tergolong bahan yang cepat terdekomposisi, sedangkan inositol fosfat lebih sulit didekomposisi (Stevenson, 1982). Dengan demikian, selain kadarnya yang tinggi, kandungan komponen organik utama tersebut sangat menentukan potensinya terhadap peningkatan P-tersedia, karena semakin besar kandungan komponen organik yang mudah didekomposisi maka semakin cepat akan meningkatkan P-tersedia dalam tanah.

65

60

Disebar

Dicampur

P-tersedia (ppm)

50 40

y = 106,87x + 2,4934 R2 = 0,1234 r=0,351+

30

y = 44.465x + 1.5216 R2 = 0,1684 r=0,410++

20 10 0 0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

Kadar P BO (t ha-1 )

Gambar 11. Pengaruh Kadar P Bahan Organik terhadap P-tersedia Tanah Pengaruh

kualitas

bahan

organik

yang

berasal

dari

campuran

flemingia+jagung dan campuran mukuna+jagung+flemingia terhadap P-tersedia sangat tergantung pada cara pemberiannya, sedangkan untuk bahan organik lainnya tidak tergantung pada cara pemberian.

Proses pencampuran meningkatkan pori

drainase cepat (Tabel 13) sehingga O2 lebih banyak tersedia bagi mikroorganisme, akibatnya proses mineralisasi bahan organik berjalan lebih cepat dibandingkan pada tanah yang disebar.

Hal tersebut juga didukung oleh besarnya jumlah

mikroorganisme yang hidup (Cmic) pada tanah yang diberi bahan organik campuran flemingia+jagung dan campuran bahan organik mukuna+flemingia+jagung (Tabel 10). Jastrow et al. (1996) mengemukakan bahwa akibat semakin baiknya aerasi tanah, oksigen (O2) lebih tersedia sesaat setelah pengolahan tanah, sehingga terjadi peningkatan aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik.

66

Pada cara pemberian disebar, sumber bahan organik tidak berpengaruh terhadap N-total (Tabel 15). Jumlah karbon dari bahan organik yang diberikan pada seluruh perlakuan sebesar 40 t ha-1 atau setara 2% C-organik, sehingga kadar N bahan organik akan menentukan besarnya nisbah C/N bahan organik. Pemberian bahan organik flemingia dengan cara dicampur nyata meningkatkan kadar N-total. Pencampuran sangat membantu mikroorganisme untuk merombak bahan organik flemingia, laju dekomposisinya meningkat sehingga mineralisasi nitrogen lebih cepat berlangsung dibandingkan bila bahan organik disebar di permukaan tanah. Nisbah C/N bahan organik nyata mempengaruhi kadar N-total, seperti terlihat dari koefisien korelasinya sebesar 0,596 (P<0,01) dan -0,385 (P<0,1) masing-masing pada pemberian bahan organik dengan cara dicampur dan disebar (Gambar 12). Semakin besar nisbah C/N bahan organik yang diberikan, semakin besar N-total tanah bila bahan organik diberikan dengan cara dicampur, namun kondisi sebaliknya terjadi bila bahan organik disebar. Bahan organik yang mempunyai nisbah C/N rendah seperti mukuna dan campuran mukuna+jagung lebih cepat termineralisasi, sehingga dalam selang waktu 4,5 bulan sejak aplikasi, kemungkinan sebagian telah hilang dari tanah akibatnya N-total yang diperoleh lebih rendah (Gambar 12). Pemberian bahan organik dengan cara dicampur sangat menguntungkan bagi ketersedian unsur hara makro (N, P dan K) pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi.

Pemberian bahan organik yang berasal dari kelompok Gramineae

seperti jagung dengan kandungan P dan K yang relatif tinggi akan membantu meningkatkan P-tersedia dan K-tersedia. Ketersediaan P dan N dalam larutan tanah lebih tinggi bila diberikan dengan cara dicampur, terutama bila diberi bahan organik

67

flemingia. Selain kandungan unsur N dan P dalam bahan organik yang diberikan, komponen organik utama penghasil unsur-unsur tersebut sangat menentukan ketersediaannya dalam tanah. Disebar

Dicampur

0.50

y = 0.0093x + 0.2299 R2 = 0,345 r=0,596**

N-total (%)

0.45

0.40

0.35 y = -0.004x + 0.466 R2 = 0,1483 r=-0,385 ++

0.30

0.25 15

17

19

21 Nisbah C/N BO

23

25

27

Gambar 12. Pengaruh Nisbah C/N Bahan Organik terhadap N-total Tanah Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa cara pemberian bahan organik berpengaruh terhadap fraksi bahan organik, sifat fisik dan sifat kimia tanah, baik pada pengaruh tunggal maupun interaksinya dengan sumber bahan organik. Perbaikan sifat fisik Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi tidak ditentukan oleh sumber bahan organik yang diberikan, tetapi lebih dipengaruhi oleh cara pemberiannya.

Dengan demikian, di lapangan, bahan organik mukuna, jagung dan

flemingia dapat diberikan dengan cara disebar di permukaan tanah atau dicampur saat pengolahan tanah. Bila bahan organik dicampur saat pengolahan tanah, maka akan menghasilkan RPT, PDC dan permeabilitas yang lebih tinggi tetapi menghasilkan BI, KA, PAT dan ISA yang lebih rendah.

68

Cara pemberian bahan organik dengan nisbah C/N rendah seperti mukuna dan jagung tidak berpengaruh terhadap C-organik, Cmic dan Cmic/Corg , sedangkan pencampuran flemingia (nisbah C/N tinggi) akan menghasilkan C-organik, C mic dan C mic/Corg yang lebih tinggi. Fraksi bahan organik berupa POM yang diperoleh, lebih rendah bila bahan organik dicampur, dan tidak dipengaruhi oleh sumber bahan organik. Pemberian bahan organik dengan kadar P dan K relatif tinggi seperti jagung akan membantu meningkatkan P-tersedia dan K-tersedia pada Ultisol Jasinga, bila diberikan dengan cara dicampur. Proses pencampuran tanah dengan bahan organik mempermudah akses mikroorganisme untuk mendapatkan energi dan hara, sehingga proses dekomposisi dan mineralisasi akan meningkat. Dengan demikian, di lapangan, pemberian bahan organik yang berasal dari mukuna dan jagung dapat diberikan dengan cara disebar atau dicampur, sedangkan flemingia akan lebih menguntungkan untuk ketersediaan hara (P dan N) bila diberikan dengan cara dicampur. Jika bahan organik mukuna, jagung dan flemingia di lapang diberikan dengan cara dicampur pada saat pengolahan tanah, maka kemungkinan K-tersedia akan meningkat tetapi cadangan karbon yang ada di mikroagregat (POM) akan menurun. Di lapangan, proses pencampuran bahan organik dilakukan melalui pengolahan tanah. Pemberian bahan organik mukuna, jagung dan flemingia di lapang perlu disesuaikan dengan prioritas penanganan masalah yang ada pada Ultisol Jasinga. Mengingat Ultisol Jasinga mempunyai kepekaan erosi yang cukup tinggi, maka teknik pengolahan tanah yang dilakukan adalah pengolahan tanah konservasi yaitu pengolahan tanah minimum (pengolahan tanah hanya dilakukan pada musim tanam pertama) atau tanpa olah tanah (selama dua musim tanam tidak dilakukan pengolahan

69

tanah). Pengolahan tanah minimum memungkinkan untuk mengaplikasikan bahan organik dengan cara dicampur, sedangkan bila diterapkan tanpa olah tanah, bahan organik diberikan dengan cara disebar di permukaan tanah.

Namun demikian,

karena sifat hujan di Jasinga cukup erosif (Tabel 7), maka penerapan olah tanah minimum di lapangan sangat memerlukan adanya penutupan permukaan tanah oleh bahan organik (mulsa) guna melindungi tanah dari energi hempasan butir-butir hujan dan mengurangi penyumbatan pori (soil sealing). Pada penelitian di rumah kaca, jumlah bahan organik yang diberikan sangat besar yaitu 244,0-390,8 t ha-1, sehingga pengaruhnya nyata terhadap sifat tanah. Di lapangan jumlah bahan organik mukuna, jagung dan flemingia sangat terbatas, sehingga pengaruhnya tidak sebesar di rumah kaca. Pada Ultisol Jasinga, flemingia merupakan sumber bahan organik utama yang diperoleh dari tanaman pagar, di samping mukuna dan sisa tanaman jagung, sehingga pengaruh flemingia lebih dominan.

Pemberian bahan organik tersebut dikombinasikan dengan pengolahan

tanah konservasi merupakan paket alternatif pengelolaan tanah yang dapat diterapkan pada tanah yang telah terdegradasi seperti Ultisol Jasinga.

Pemilihan teknik

pengolahan tanah dan pemberian bahan organik di lapangan perlu disesuaikan dengan sifat tanah dan kondisi curah hujan pada Ultisol Jasinga. Tinggi Tanaman Jagung Sampai dengan umur jagung enam minggu, cara pemberian bahan organik dengan disebar menghasilkan tinggi tanaman yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan cara dicampur, sedangkan sumber bahan organik belum berpengaruh terhadap

70

tinggi tanaman jagung (Tabel 16). Setelah tanaman jagung mencapai tinggi maksimum yaitu umur delapan minggu, cara pemberian bahan organik tidak berpengaruh lagi terhadap tinggi tanaman. Dalam selang waktu 6 hingga 12 minggu setelah aplikasi, ketujuh jenis bahan organik yang digunakan yaitu saat jagung berumur 2-6 minggu, pencampuran bahan organik belum mampu mendorong pertumbuhan tanaman, karena proses dekomposisinya belum berjalan sempurna. Tabel 16. Tinggi Tanaman Jagung pada Umur Dua Minggu sampai Delapan Minggu Perlakuan Cara pemberian Disebar Dicampur Sumber bahan organik Mukuna Flemingia Jagung Mukuna + Flemingia Flemingia+jagung Mukuna+jagung Mukuna+flemingia+jagung

Dua

Umur tanaman jagung (minggu) Empat Enam Delapan --------------- Cm ---------------

48,13 a 42,53 b

97,64 a 84,20 b

151,49 a 140,43 b

220,93 a 219,78 a

45,16 a 45,34 a 45,98 a 46,59 a 44,33 a 48,60 a 41,29 a

91,08 a 87,17 a 95,65 a 94,12 a 89,49 a 94,26 a 84,67 a

139,05 a 145,42 a 151,08 a 149,83 a 144,31 a 149,30 a 142,74 a

221,36 abc 205,83 bc 220,38 abc 229,85 abc 241,38 ab 241,46 a 199,41 c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Pengaruh sumber bahan organik terhadap tinggi tanaman jagung nyata terlihat pada saat jagung mencapai tinggi maksimum yaitu umur 8 minggu. Dalam selang waktu tiga bulan setelah aplikasi bahan organik (satu bulan inkubasi dan delapan minggu setelah tanam), hasil dekomposisi bahan organik mulai berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Pemberian bahan organik yang berasal dari campuran tiga jenis bahan organik (mukuna+flemingia+jagung) menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih

71

rendah dibandingkan dengan sumber bahan organik lainnya pada umur delapan minggu (Tabel 16). Hasil Tanaman Jagung Pemberian bahan organik dengan cara disebar me nghasilkan bahan organik segar yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan cara dicampur, namun tidak mempengaruhi berat tongkol kering dan pipilan kering (Tabel 17). Dalam selang waktu 4,5 bulan setelah aplikasi bahan organik, penyebaran bahan organik di permukaan tanah ternyata lebih mampu memberikan bahan organik segar nyata lebih tinggi dibandingkan dengan cara dicampur. Penyebaran bahan organik di permukaan tanah menghasilkan beberapa sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang lebih menguntungkan bagi tanaman. Pemberian bahan organik dengan cara disebar nyata menghasilkan POM (Tabel 11), kadar air kapasitas lapang, PAT, ISA (Tabel 13), dan pH H2O (Tabel 14) lebih tinggi, serta mempunyai C-organik, N-total dan P-tersedia umumnya tidak berbeda nyata dengan pemberian dicampur (Tabel 10 dan 15). Sumber bahan organik tidak berpengaruh terhadap komponen hasil jagung dalam selang waktu satu musim. Hal ini berarti pemberian bahan organik setara Corganik 2% yang berasal dari sumber yang berbeda memberikan hasil jagung yang tidak berbeda nyata. Dengan demikian, sumber bahan organik mukuna, jagung atau flemingia baik diberikan secara parsial maupun campuran dapat digunakan untuk meningkatkan hasil jagung pada Ultisol Jasinga terdegradasi, tetapi diberikan dengan jumlah setara 2% C-organik tanah, bukan berdasarkan jumlah bahan segar yang sama.

72

Tabel 17. Berat Tongkol Kering, Pipilan Kering dan Bahan Organik Segar Jagung Perlakuan Cara pemberian Disebar Dicampur Sumber bahan organik Mukuna Flemingia Jagung Mukuna + Flemingia Flemingia+jagung Mukuna+jagung Mukuna+flemingia+jagung

Tongkol Pipilan Bahan organik kering kering segar -------------- g phn-1 --------------45,49 a 33,16 a

30,40 a 21,38 a

181,68 a 140,53 b

43,77 a 29,33 a 44,10 a 38,68 a 27,87 a 51,70 a 39,82 a

28,97 a 12,59 a 31,93 a 29,82 a 18,43 a 35,24 a 24,25 a

152,82 a 216,83 a 153,66 a 162,46 a 167,74 a 153,67 a 120,57 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Korelasi Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Tanah Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Kimia Tanah Fraksi aktif (biomassa mikroorganisme) dan fraksi labil (Particulate organic matter) merupakan substrat yang penting dalam proses mineralisasi dalam tanah sehingga memegang peranan utama dalam dinamika hara. Particulate organic matter dan biomassa mikroorganisme merupakan fraksi bahan organik yang labil sehingga mudah terjadi mineralisasi C dan N bila tanah diolah (Hassink, 1995). Selain kualitas bahan organik yang diberikan akan mempengaruhi secara langsung ketersediaan hara dalam tanah, perubahan pada fraksi bahan organik tersebut juga secara tidak langsung akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam tanah. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa pengaruh faksi-fraksi bahan organik terhadap peubah P-tersedia, Ktersedia, dan N-total tergantung cara pemberian bahan organik (Tabel 18).

73

Tabel 18. Korelasi Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Kimia Tanah Pemberian bahan organik disebar Peubah

Pemberian bahan organik dicampur

Cmic

Corg

POMt

POMt/ Corg

Cmic

Corg

POMt

POMt/ Corg

P-tersedia

0,623**

0,495*

0,079

-0,067

0,383

0,396

-0,366

-0,391

K-tersedia

0,287

0,405

0,357

0,187

0,235

0,156

-0,533*

-0,449*

N-total

0,170

0,607**

0,278

0,131

0,487*

0,717**

-0,656**

-0,675**

Keterangan : * = P<0,05; ** = P<0,01. POMt : Particulate Organic Matter total

Pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi, ketersediaan P dalam tanah ditentukan oleh semakin banyaknya jumlah mikroorganisme yang hidup (Cmic) dan Corganik dalam tanah bila bahan organik diberikan dengan cara disebar, tetapi tidak ada pengaruhnya bila bahan organik dicampur. Hal ini berarti bila bahan organik diberikan dengan cara dicampur, dalam selang satu musim tanam, perubahan yang terjadi pada fraksi bahan organik tidak mempengaruhi P-tersedia. Sebaliknya terjadi pada K-tersedia, fraksi-fraksi bahan organik tidak mempengaruhi K-tersedia bila bahan organik diberikan dengan cara disebar, sedangkan bila bahan organik dicampur, K-tersedia ditentukan oleh besarnya POMt dan POMt/Corg. Perubahan pada fraksi bahan organik sangat menentukan kadar N-total pada pemberian bahan organik dengan cara dicampur, sementara bila bahan organik disebar N-total hanya dipengaruhi oleh C-organik. Proses pencampuran memberikan akses kepada mikroorganisme untuk menjangkau C-organik yang terlindungi secara fisik dalam agregat mikro (53-250 µm). Dengan demikian, proses mineralisasi bahan organik pada tanah yang dicampur berjalan lebih cepat dibandingkan bila bahan organik disebar di permukaan tanah. Itulah sebabnya, bila terjadi penurunan kadar

74

POMt dalam tanah maka K-tersedia dan N-total dalam tanah akan meningkat, artinya semakin banyak K-tersedia dan N-total dalam larutan tanah maka cadangan unsur hara yang berada pada agregat mikro semakin berkurang. Pengaruh fraksi-fraksi bahan organik terhadap unsur-unsur tersebut hanya berlangsung dalam selang waktu satu musim tanam di mana kemungkinan proses dekomposisi belum berlangsung sempurna. Namun demikian, kualitas bahan organik yang diaplikasikan mempunyai nisbah C/N yang berkisar antara 17-26 sehingga memungkinkan untuk terjadinya mineralisasi dan imobilisasi. Verstrate (1989) mengemukakan bahwa jika nisbah C/N berkisar 20 sampai 30 maka akan terjadi keseimbangan antara mobilisasi dan imobilisasi. Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Fisik Tanah Peranan bahan organik sebagai pemantap agregat tanah dapat mempertahankan dan memperbaiki kondisi sifat fisik tanah. Fraksi bahan organik baik dalam bentuk C mic (biomassa mikroorganisme), C-organik, POMt maupun nisbah POMt/Corg hanya berpengaruh terhadap BI, RPT dan PDC (Tabel 19), namun tidak terhadap sifat fisik tanah lainnya seperti pori air tersedia, permeabilitas dan indeks stabilitas agregat.

Pengaruh fraksi-fraksi bahan organik terhadap sifat fisik tanah tersebut

ditentukan oleh cara pemberian bahan organik. Pada tanah yang diberi bahan organik dengan cara disebar, perubahan pada fraksi bahan organik akan berpengaruh terhadap BI dan RPT (Tabel 19). Semakin besar fraksi bahan organik berupa C mic, C-organik dan nisbah POMt/Corg dalam tanah, semakin besar BI dan semakin rendah RPT. Bila bahan organik diberikan

75

dengan cara dicampur, perubahan pada fraksi bahan organik berupa POMt dan nisbah POMt/Corg akan mempengaruhi BI, RPT dan PDC.

Proses pencampuran akan

mengganggu keberadaan agregat mikro sehingga C labil me njadi terbuka terhadap mikroorganisme. Semakin berkurang proporsi kadar particulate organic matter total terhadap C-organik (POMt/Corg ) akan menyebabkan penurunan BI dan peningkatan RPT dan PDC. Tabel 19. Korelasi Fraksi Bahan Organik dengan Sifat Fisik Tanah Pemberian bahan organik disebar Peubah

Pemberian bahan organik dicampur

Cmic

Corg

POMt

POMt/ Corg

Cmic

Corg

POMt

POMt/ Corg

BI

0,478*

0,503*

0,463*

0,310

-0,367

0,373

0,691**

0,568**

RPT

-0,477*

-0,507*

-0,486*

-0,332

0,374

-0,369

-0,691**

-0,569**

PDC

-0,214

-0,083

-0,107

-0,079

0,405

-0,390

-0,638**

-0,513*

Keterangan : * = P<0,05; ** = P<0,01. POMt : Particulate Organic Matter total, BI : Berat isi tanah, RPT : ruang pori total, PDC : Pori drainase cepat

Pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi, pemeliharaan kualitas fraksi bahan organik sangat perlu dilakukan, karena berpengaruh terhadap perubahan sifat fisik tanah (BI, RPT dan PDC) dan kimia tanah (P-tersedia, K-tersedia dan N-total). Pemeliharan fraksi labil berupa biomassa mikroorganisme (Cmic) dan particulate organic matter total (POMt) dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik secara terus menerus sepanjang tahun. Pemberian dengan cara dicampur, akan meningkatkan ketersediaan hara tanah, tetapi berdampak buruk terhadap sifat fisik tanah.

76

Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Kualitas Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Penelitian lapangan pada musim tanam (MT) 2002/2003 merupakan tahun kesembilan dari penelitian jangka panjang yang dilakukan pada Ultisol Jasinga. Kehilangan tanah akibat pengupasan tanah yang dilakukan pada tahun 1993 telah bertambah karena terjadinya erosi selama penelitian berlangsung. Jumlah tanah yang hilang pada masing-masing petak telah mengalami peningkatan seperti yang tertera pada Tabel 3. Penerapan perlakuan pengolahan tanah dan pemberian bahan organik merupakan aplikasi tahun keempat. Perubahan kualitas tanah selama satu tahun (MT 2002/2003) dilihat dari kuantifikasi kualitas tanah, yaitu besar dan dinamikanya yang erat kaitannya dengan respon kualitas tanah terhadap pengelolaan tanah. Fraksi Bahan Organik Fraksi bahan organik yang dijadikan indikator kualitas tanah adalah Corganik, biomassa mikroorganisme (Cmic) dan Particulate Organic Matter (POM). Jumlah POMt (Total Particulate organic matter) dalam tanah merupakan gambaran tentang keseimbangan antara input sisa tanaman dan mineralisasi bahan organik (Okalebo, Gathua dan Woomer, 1993). Total Particulate organic matter (POMt) merupakan fraksi labil dari C-organik sehingga nisbahnya terhadap C-organik (POMt/Corg ) merefleksikan keseimbangan input organik dengan kehilangan Corganik dalam waktu relatif panjang. Fraksi C-organik tersebut sangat penting untuk proses mineralisasi. Semakin rendah proporsinya terhadap C-organik (POMt/Corg ) dapat mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kesuburan tanah.

77

Pada awal musim tanam 2002/2003 terlihat bahwa perbedaan jumlah tanah yang hilang selama delapan tahun menyebabkan C-organik lebih rendah dan C mic lebih tinggi pada yang dikupas 10 cm dibandingkan pada tanah yang dikupas 5 cm dan tanah tidak dikupas.

Erosi yang terjadi pada perlakuan pengupasan 10 cm

tergolong paling tinggi yaitu 0,23 cm th-1 (Tabel 3), sehingga kemungkinan Corganik yang terangkut sedimen pun lebih tinggi. Erosi bersifat selektif dan akan mengangkut partikel-partikel liat halus yang mengandung C-organik, sedangkan Cmic berada dalam mikroagregat, sehingga kemungkinan terangkut sedimen lebih terbatas. Tabel 20. Kadar C-organik, C mic dan Cmic/Corg pada Perlakuan Pengupasan Tanah Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

A1)

SJ

SKT

C-organik (%) Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

3,16 a 3,07 a 2,77 b

2,68 a 2,57 a 2,37 a

Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

0,5 a 0,7 a 0,8 a

0,9 a 1,0 a 1,4 a

SJ vs SKT

A vs SKT

Perubahan C-organik (%) 2,45 a 2,41 a 2,55 a

Cmic (µg g-1 tanah) 144,98 b 227,70 b 311,85 a 178,20 b 237,60 b 318,45 a 206,06 a 315,15 a 130,35 b Cmic/Corg (%)

A vs SJ

-8,6 * -6,2 tn 7,6 tn Perubahan Cmic (%) 51,8 tn 37,0 tn 115,1 tn 34,0 tn 78,7 tn 33,3 tn -58,6 * -36,7 tn 52,9 tn Perubahan Cmic/Corg (%) 80,0 tn 42,9 tn 75,0 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. 1) C-organik diukur dengan CHNS Analyser. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05.

Setelah panen jagung tanah yang dikupas 10 cm mempunyai Cmic dan POMt nyata lebih tinggi yaitu 315,15 µg g-1 tanah dan 589,58 g m-2, namun setelah panen kacang tanah, Cmic turun drastis menjadi lebih rendah dari tanah yang tidak dikupas

78

dan dikupas 5 cm (Tabel 20 dan 21). Fraksi bahan organik berupa POMt, C-organik dan POMt/Corg , setelah panen kacang tanah tidak dipengaruhi pengupasan tanah (Tabel 20 dan 21). Nisbah Cmic/Corg pada tanah yang dikupas 10 cm masih cukup tinggi bila tanah diolah tanpa rehabilitasi dengan mukuna (Tabel 22). Tabel 21. Kadar POMt dan POMt/Corg pada Perlakuan Pengupasan Tanah (Kedalaman 0-20 cm) di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

A

SJ SKT -2 POMt (g m ) 329,75 a 383,83 c 416,83 a 311,75 a 505,42 b 429,17 a 299,00 a 589,58 a 369,00 a POMt/Corg (%) 5,9 a 8,3 b 10,1 a 5,8 a 11,9 a 10,7 a 6,5 a 14,3 a 9,9 a

A vs SJ SJ vs SKT A vs SKT Perubahan POMt (%) 15,4 * 8,6 tn 26,4 tn 62,1 tn -15,3 tn 37,7 tn 97,2 tn -37,4 * 23,4 tn Perubahan POMt/Corg (%) 39,4 tn 22,2 tn 71,2 tn 104,5 tn -10,5 tn 84,5 tn 120,5 tn -30,8 tn 52,3 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. POMt : Particulate Organic Matter total. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05.

Tabel 22. Pengaruh Interaksi antara Tingkat Pengupasan Tanah dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Cmic/Corg Setelah Panen Kacang Tanah Perlakuan

Diolah+ Mukuna

Tidak diolahDiolahMukuna Mukuna ------------------- % -------------------1,5 Aa 1,0 Aa

Tidak diolah+Mu

Dikupas 0 cm

1,1 ABa

Dikupas 5 cm

1,8 Aa

0,8 ABb

1,1 Aab

1,6 Aa

Dikupas 10 cm

0,6 Bb

0,3 Bb

1,0 Aa

0,4 Bb

1,5 Aa

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut baris dan huruf besar sama menurut kolom dalam kelompok variabel yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

79

Ditinjau dari perubahannya selama MT 2002/2003, perubahan fraksi labil bahan organik (Cmic dan POMt) lebih fluktuatif. Setelah panen jagung, POMt pada tanah yang tidak dikupas meningkat, sedangkan setelah panen kacang tanah terdapat penurunan Cmic dan POMt pada tanah yang dikupas 10 cm (Tabel 20 dan 21). Hal tersebut menunjukkan bahwa fraksi bahan organik labil dipengaruhi oleh tingkat pengupasan tanah. Semakin besar jumlah tanah yang hilang (> 10 cm), maka fraksi C mic dan POMt semakin fluktuatif. Namun demikian, jika dibandingkan dengan kondisi awal baik C-organik total maupun fraksi labil bahan organik seperti Cmic dan POMt dan nisbah keduanya terhadap C-organik tidak dipengaruhi oleh tingkat pengupasan tanah, walaupun telah terjadi erosi sebesar 0,16-0,23 cm th-1. Selama delapan tahun, tanah yang hilang melalui pengupasan dan erosi pada tanah yang dikupas 10 cm adalah sebesar 11,86 cm, sementara pada tanah yang tidak dikupas dan dikupas 5 cm masing-masing sebesar 1,49 cm dan 6,28 cm. Kehilangan tanah yang semakin besar kurang mendukung kehidupan mikroorganisme tanah meskipun sumber energi dari bahan organik yang diberikan selama MT 2002/2003 relatif sama (Tabel 4). Jumlah mikroorganisme yang hidup dalam tanah tergantung pada (1) jumlah bahan organik sebagai sumber energi, (2) kondisi lingkungan dan (3) kompetisi. Dengan demikian, pengusahaan pola tanam jagung-kacang tanah dalam sistim pertanaman lorong pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi setebal 11,86 cm (> 10 cm) perlu dilakukan dengan hati-hati.

Hal tersebut disebabkan pada Ultisol

Jasinga yang telah terdegradasi setebal 11,86 cm (>10 cm), kehidupan mikroorganisme sangat rentan terhadap pengusahaan pola tanam tersebut.

80

Perlakuan sebelumnya selama delapan tahun berpengaruh terhadap C-organik, tetapi tidak berpengaruh terhadap fraksi labil bahan organik (Tabel 23 dan 24). Pada kondisi awal penelitian, C-organik pada tanah yang tidak direhabilitasi dengan mukuna (dengan dan tanpa olah tanah) nyata lebih tinggi, sebaliknya terjadi pada tanah yang diolah dan direhabilitasi dengan mukuna (Diolah+Mukuna), C-organik yang diperoleh nyata paling rendah (Tabel 23). Rendahnya C-organik pada tanah yang

diolah

dan

direhabilitasi

dengan

mukuna

pada

musim

kemarau

(Diolah+Mukuna) disebabkan selama lima tahun (tahun 1993-1998) tidak pernah direhabilitasi dan jumlah bahan organik segar yang diberikan tergolong paling rendah yaitu 33,3 t ha-1 (Tabel 5). Jumlah erosi yang terjadi pada perlakuan tersebut juga tergolong paling tinggi yaitu 4,56 cm atau 0,57 cm th-1 (Tabel 3), akibatnya lebih banyak partikel-partikel liat halus yang mengandung bahan organik yang terangkut bersama sedimen tanah. Setelah panen jagung MT 2002/2003, fraksi bahan organik berupa POMt pada tanah yang tidak diolah dan tidak direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolahMukuna) nyata lebih tinggi (561,44 g m-2), sedangkan Cmic dan C-organik tidak dipengaruhi oleh pengolahan tanah dan pemberian bahan organik (Tabel 23 dan 24). Hasil penelitian Sherrod et al. (2003) mendapatkan bahwa penerapan tanpa olah tanah yang disertai penutupan permukaan tanah dengan residu tanaman pada pola tanam gandum-jagung ma mpu meningkatkan POM pada kedalaman tanah 0-15 cm. Jumlah bahan organik flemingia (berat kering) yang diberikan pada perlakuan tersebut tergolong paling tinggi yaitu 4,0 t ha -1 yang diberikan empat bulan sebelum tanam jagung (52,3%) dan saat jagung berumur dua minggu (47,7%). Bahan organik flemi-

81

Tabel 23. Kadar C-organik, C mic, dan C mic/Corg pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

A1)

SJ

SKT

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

2,53 c 3,24 a 3,33 a 2,90 b

C-organik (%) 2,36 a 2,61 a 2,63 a 2,55 a

2,19 a 2,43 a 2,46 a 2,80 a

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

Cmic (µg g-1 tanah) 185,90 a 275,00 a 266,20 a 153,56 a 297,00 a 206,80 a 198,00 a 250,80 a 255,20 a 174,90 a 217,80 a 286,00 a Cmic/Corg (%) 1,2 a 0,8 a 1,1 a 0,5 a 1,0 a 0,6 a 0,9 a 0,6 a

A vs SJ

SJ vs SKT

A vs SKT

Perubahan C-organik (%) 7,2 tn -6,9 tn -6,5 tn 9,8 tn Perubahan Cmic (%) 47,9 tn -3,2 tn 43,2 tn 93,4 tn -30,4 tn 34,7 tn 26,7 tn 1,8 tn 29,9 tn 24,5 tn 31,3 tn 63,5 tn Perubahan Cmic/Corg (%) 51,4 tn 131,2 tn 63,9 tn 39,1 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. 1) C-organik diukur dengan CHNS Analyser. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata.

Tabel 24. Kadar POMt dan POMt/Corg pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik (Kedalaman 0-20 cm) di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

A

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

276,33 a 299,78 a 356,44 a 321,44 a

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

6,6 a 5,3 a 6,1 a 6,3 a

SJ POMt (g m-2) 508,00 ab 561,44 a 452,78 b 449,56 b POMt/Corg (%) 13,0 a 12,1 a 10,4 a 10,4 a

SKT 385,89 a 391,56 a 411,33 a 431,22 a 10,8 a 9,4 a 9,9 a 10,8 a

A vs SJ

SJ vs SKT

A vs SKT

Perubahan POMt (%) 83,8 tn -24,0 tn 39,6 tn 87,3 tn -30,0 tn 30,6 tn 27,0 tn -9,2 tn 15,4 tn 39,9 tn -4,1 tn 34,2 tn Perubahan POMt/Corg (%) 98,2 tn -17,1 tn 63,6 tn 127,2 tn -22,0 tn 77,4 tn 70,9 tn -5,3 tn 62,3 tn 64,9 tn 3,3 tn 71,4 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. POMt : Particulate Organic Matter total. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata.

82

ngia dengan nisbah C/N tinggi (26) yang diberikan empat bulan sebelum tanam jagung, kemungkinan sebagian besar telah terdekomposisi dan berinteraksi dengan partikel tanah saat setelah panen jagung, sehingga menyebabkan jumlah C dalam mikroagregat lebih tinggi. Hasil penelitian Handayanto et al. (1997) pada Ultisol Lampung menunjukkan bahwa penggunaan tanaman legum dengan nisbah C/N tinggi akan menghasilkan efek residu pada musim tanam berikutnya, karena proses dekomposisinya berlangsung lambat. Setelah panen kacang tanah di mana pengolahan tanah tidak dilakukan lagi, fraksi bahan organik tidak berbeda nyata di antara perlakuan. Jumlah bahan organik kering yang diberikan relatif sama yaitu 2,37-2,96 t ha -1 (Tabel 4) dan sekitar 77,682,6% merupakan bahan organik flemingia. Selama MT 2002/2003, tidak terda-pat perubahan fraksi bahan organik yang nyata baik setelah panen jagung maupun setelah panen kacang tanah, walaupun setelah panen jagung, nilai POMt pada tanah yang tidak diolah tanpa rehabilitasi (Tidak diolah-Mukuna) nyata paling tinggi.

Di-

bandingkan dengan kondisi awal, fraksi bahan organik pada seluruh perlakuan tidak menunjukkan adanya perubahan yang nyata (Tabel 23 dan 24). Artinya, penerapan teknik pengolahan tanah konservasi (pengolahan tanah minimum dan tanpa olah tanah) dengan pola tanam jagung-kacang tanah tidak mempengaruhi besarnya fraksi bahan organik pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi, selama bahan organik diberikan secara terus menerus dengan kuantitas dan kualitas yang relatif sama. Nisbah C mic/Corg pada tanah yang tidak diolah yang disertai rehabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) dipengaruhi oleh tingkat pengupasan tanah (Tabel 22).

Perlakuan tanpa pengolahan tanah yang disertai rehabilitasi dengan

83

mukuna (Tidak diolah+Mukuna) jika diterapkan pada tanah yang dikupas 10 cm menghasilkan nisbah Cmic/Corg yang nyata lebih rendah (0,4%) dibandingkan bila diterapkan pada tanah yang tidak dikupas (1,5%) dan dikupas 5 cm (1,6%). Selama pertanaman kacang tanah, jumlah bahan organik segar yang diberikan pada perlakuan tanpa olah tanah yang disertai rehabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) yang diaplikasikan pada tanah yang dikupas 10 cm lebih rendah yaitu sekitar 7,07 t ha-1 dibandingkan dengan tanah yang tidak dikupas (7,45 t ha -1) dan tanah yang dikupas 5 cm (8,02 t ha -1) (Lampiran 6). Jumlah bahan organik kering yang diberikan selama pertanaman jagung sebesar 3,07-4,43 t ha -1, dan 2,37-2,96 t ha -1 selama pertanaman kacang tanah, umumnya berasal dari bahan organik flemingia yang disebar di permukaan tanah. Potensi karbon dari bahan organik yang dapat disumbangkan ke dalam tanah adalah sebesar 2,64-3,27 t ha -1 untuk dua musim (MT 2002/2003). Pada penelitian di rumah kaca untuk meningkatkan C-organik tanah sebesar 2% dibutuhkan karbon dari bahan organik sebesar 40 t ha -1, dan agar dapat meningkatkan C-organik tanah harus diberikan dengan cara diinkorporasikan, terutama bahan organik flemingia (Tabel 10). Pemberian bahan organik di lapangan tergolong rendah dan diberikan dengan cara disebar sehingga pengaruhnya terhadap fraksi bahan organik tidak nyata. Penanaman mukuna tidak mempengaruhi fraksi bahan organik pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi karena jumlahnya yang diberikan sangat rendah yaitu hanya 1,031,25 t ha -1. Hasil penelitian Winarso (1996) pada Typic Haplohumult Gajrug menunjukkan bahwa pemberian 10 ton bahan organik mukuna dalam waktu enam bulan justru menurunkan kadar C-organik.

84

Peubah C-organik tidak sensitif untuk mendeteksi perubahan kualitas tanah dalam jangka pendek (satu musim tanam), tetapi dapat memberikan gambaran perubahan dalam jangka panjang. Kadar C-organik pada Ultisol Jasinga telah mengalami peningkatan dibandingkan dengan kondisi pada MT 1993/1994. Pada musim tanam 1993/1994, kadar C-organik pada tanah yang tidak diolah sebesar 2,36-2,41% (Kurnia, 1996), pada akhir MT 2002/2003 menjadi 2,43-2,80% (Tabel 22). Menurut Six, Elliot, dan Paustian (1999) peningkatan C-organik pada tanpa olah tanah adalah sebagai akibat kombinasi berkurangnya laju dekomposisi bahan organik dan tidak adanya gangguan mekanik terhadap tanah. Sifat Fisik Tanah Kualitas Agregasi Tanah Stabilitas makroagregat atau agregat stabil tahan air berukuran > 250 µm (ASA > 250 µm ) merupakan agregat berukuran > 250 µm (agregat makro) yang tahan air atau agregat yang tidak hancur oleh pembasahan, sedangkan Mean Weighted Diameter (MWD) adalah ukuran rata-rata tertimbang diameter agregat tanah. Agregat stabil tahan air (ASA), Mean Weighted Diameter dan indeks stabilitas agregat (ISA) digunakan sebagai indikator kualitas agregasi tanah. Makin tinggi persentase agregat stabil tahan air dan indeks stabilitas agregat serta makin besar ukuran MWD, makin baik kualitas agregasi tanah. Pada kondisi awal terlihat bahwa tidak ada perbedaan ISA dan MWD yang nyata di antara ketiga tingkat pengupasan. Erosi yang terjadi selama delapan tahun akibat pengusahaan tanaman mencapai 0,16-5,47 cm dengan rata-rata per tahun se-

85

besar 0,16-0,23 cm (Tabel 3), ternyata tidak menyebabkan terjadinya perbedaan yang nyata pada kualitas agregasi di antara tingkat pengupasan tanah (Tabel 25). Indeks stabilitas agregat pada ketiga tingkat pengupasan tanah tergolong stabil. Tabel 25. Indeks Stabilitas Agregat (ISA), MWD dan ASA pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

A

SJ

63,7 a 62,1 a 67,8 a

ISA 57,0 a 53,8 a 54,7 a

SKT 39,1 a 47,2 a 49,2 a

MWD (mm) Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

3,4 a 2,9 a 3,3 a

2,6 a 2,8 a 2,4 a 88,6 a 90,2 a 89,3 a

SJ vs SKT

A vs SKT

Perubahan ISA (%) -10,4 tn -31,5 * -38,6 ** -13,4 tn -12,2 tn -24,0 tn -19,3 tn -10,1 tn -27,4 tn Perubahan MWD (%)

3,8 a 4,5 a 4,0 a

ASA (%) Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

A vs SJ

-22,4 tn -4,8 tn -28,4 *

42,6 * 60,1 ** 66,7 *

11,6 tn 55,2 ** 21,2 tn

Perubahan ASA (%) 96,2 a 97,3 a 94,5 a

8,6 ** 7,9 ** 5,8 *

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05, ** = P<0,01.

Perbedaan tingkat pengupasan tanah tidak berpengaruh terhadap ISA, MWD dan ASA > 250 µm, baik setelah panen jagung maupun setelah panen kacang tanah. Jika digunakan klasifikasi Lembaga Penelitian Tanah (1979) terlihat penurunan kualitas agregat di mana di awal tergolong stabil (62,1-67,8%) menjadi agak stabil (53,857,0%) setelah panen jagung dan menurun lagi menjadi kurang stabil (39,1-49,2%) setelah panen kacang tanah. Ukuran MWD menurun menjadi lebih kecil (2,4-2,8 cm) setelah diusahakan satu musim tanam, namun meningkat kembali (3,8-4,5 cm) setelah diusahakan dua musim tanam dan hal tersebut terjadi pada ketiga tingkat

86

pengupasan tanah. Peningkatan ukuran MWD setelah panen kacang tanah sejalan dengan me-ningkatnya persentase ASA > 250 µm (Tabel 25). Setelah panen jagung, tidak ada perubahan ISA pada ketiga tingkat pengupasan, tetapi klasifikasinya menurun menjadi agak stabil.

Setelah panen kacang

tanah terjadi penurunan kualitas agregat (ISA) yang nyata pada tanah yang tidak dikupas. Tanah yang dikupas 10 cm mengalami perubahan ukuran MWD paling fluktuatif selama dua musim tanam, di mana pada musim tanam pertama terjadi penurunan yang nyata sebesar 28,4%, dan peningkatan yang nyata sebesar 66,7% pada musim kedua (Tabel 25). Setelah panen kacang tanah, persentase ASA > 250 µm meningkat nyata pada seluruh tingkat pengupasan tanah. Jika dibandingkan dengan kondisi awal, selama musim tanam 2002/2003 terjadi penurunan ISA pada tanah yang tidak dikupas dan peningkatan MWD pada tanah yang dikupas 5 cm. Tanah yang dikupas 10 cm mempunyai kualitas agregasi yang lebih fluktuatif, walaupun dibandingkan dengan kondisi awal perubahannya tidak nyata (Tabel 25). Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan bahan organik segar yang kontinu sebesar 19,51-21,32 t ha-1 (Tabel 4) mampu memelihara agregat makro yang sangat tergantung pada pemantap organik sementara (extracellular polysaccharides yang dikeluarkan mikroorganisme, jaringan hifa dan akar tanaman). Pada partikel tanah berukuran lebih dari 200 µm, komponen utama bahan organik berupa lignin, selulosa dan komponen tanaman seperti akar tanaman, hifa dan sisa tanaman dengan nisbah C/N tinggi (Oades, 1990). Pada ketiga tingkat pengupasan penanaman kacang tanah dilakukan dengan tanpa olah tanah, sehingga pemantap agregat temporer tidak rusak akibat adanya pengolahan tanah.

87

Tabel 26. Indeks Stabilitas Agregat (ISA), MWD dan ASA pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

A 58,7 b 58,5 b 64,8 b 76,2 a

SJ ISA 62,7 a 50,9 a 56,0 a 51,1 a

SKT 35,7 a 50,6 a 55,3 a 39,0 a

MWD (mm) Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

3,5 a 3,2 a 2,9 a 3,2 a

2,4 a 2,7 a 2,5 a 2,8 a 87,4 b 91,0 a 87,9 b 91,0 a

SJ vs SKT

A vs SKT

Perubahan ISA (%) 6,8 tn -43,1 ** -39,2 ** -12,8 tn -0,6 ** -13,3 ** -13,6 tn -1,2 tn -14,6 tn -32,9 ** -23,7 * -48,8 ** Perubahan MWD (%)

3,4 b 3,7 ab 4,2 ab 4,8 a

ASA (%) Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

A vs SJ

-31,1 tn -17,1 tn -15,1 tn -11,7 tn

39,3 tn 39,7 tn 69,4 ** 70,9 **

-2,9 tn 15,6 tn 44,8 tn 50,0 tn

Perubahan ASA(%) 93,7 a 95,7 a 96,7 a 98,0 a

7,2 * 5,2 * 10,0 ** 7,7 **

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05; ** = P<0,01.

Pada kondisi awal tahun 2002/2003, tanah telah direhabilitasi selama lima tahun dan perlakuan pengolahan tanah minimum yang disertai pemberian bahan organik telah diaplikasikan selama tiga tahun.

Perlakuan yang diterapkan sebe-

lumnya tersebut, berpengaruh terhadap ISA, di mana tanah yang tidak diolah yang direhabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau (Tidak diolah+Mukuna) mempunyai ISA yang nyata lebih tinggi (Tabel 26). Rehabilitasi dengan mukuna setiap musim kemarau dan tidak adanya gangguan mekanik melalui pengolahan tanah selama tiga tahun menghasilkan ISA yang nyata lebih tinggi. Dalam selang waktu satu musim tanam, persentase ASA > 250 µm nyata lebih rendah pada tanah yang diolah dibandingkan tanah yang tidak diolah. Pemberian

88

bahan organik yang lebih tinggi pada tanah yang tidak diolah menyebabkan persentase ASA > 250 µm lebih tinggi, sedangkan rehabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau tidak memberikan pengaruh terhadap persentase ASA > 250 µm. Pengaruh pengolahan tanah yang dilakukan pada musim tanam pertama nyata terlihat dalam menurunkan jumlah agregat tahan air (Tabel 26). Pengolahan tanah menghancurkan fraksi bahan organik yang tidak terlindungi secara fisik dalam makroagregat berupa pemantap agregat sementara yang berfungsi mengikat mikroagregat menjadi makroagregat (Balesdent et al., 2000; Sainju et al., 2003). Setelah panen kacang tanah, ukuran MWD pada perlakuan tanpa olah tanah yang disertai rehabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) nyata lebih besar dibandingkan tanah yang diolah dan direhabilitasi dengan mukuna (Diolah+Mukuna) (Tabel 26). Tanah yang tidak diolah selama dua musim tanam yang disertai rehabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) mempunyai ISA dan ASA > 250 µm yang sama, tetapi mempunyai ukuran MWD yang nyata lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut mampu mempertahankan kualitas agregasi setelah aplikasinya pada tahun keempat.

Penanaman mukuna, penyebaran bahan

organik mukuna, jagung dan flemingia sepanjang tahun dan disertai rendahnya gangguan mekanik terhadap tanah mampu mempertahankan ukuran agregat yang berukuran besar. Bahan organik tersebut dapat berperan sebagai pemantap mikroagregat, mesoagregat dan makroagregat sehingga tanpa gangguan mekanik, agregat berukuran besar lebih terlindungi. Setelah satu musim tanam, penurunan ISA nyata terjadi pada tanah yang tidak diolah yang direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna), sedangkan

89

setelah musim tanam kedua, persentase ASA > 250 µm nyata meningkat pada seluruh perlakuan, peningkatan tertinggi terjadi pada tanah yang diolah dan tanpa rehabilitasi dengan mukuna (Diolah-Mukuna). Peningkatan ukuran MWD nyata terjadi pada tanah yang diolah dan tanpa rehabilitasi dengan mukuna (Diolah-Mukuna) yaitu sebesar 69,4% dan tanah yang tidak diolah yang direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) sebesar 70,9% (Tabel 26). Setelah dua musim tanam, ISA nyata menurun pada seluruh perlakuan kecuali pada tanah yang diolah tanpa direhabilitasi dengan mukuna (Diolah-Mukuna). Pengaruh pengolahan tanah terhadap kemantapan agregat bersifat langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung terjadi melalui perubahan kadar bahan organik tanah baik jumlah maupun posisinya. Secara tidak langsung pengolahan tanah akan mengekspose bahan organik yang ada di zone inter dan intra agregat (Dao, 1998). Pada Ultisol Jasinga terdegradasi, pengembalian bahan organik sangat penting untuk mempertahankan kuantitas dan kualitas agregat. Penerapan pengolahan tanah minimum, yaitu pengolahan tanah dilakukan pada saat tanam jagung, dan saat penanaman kacang tanah tidak dilakukan pengolahan tanah, walaupun tanpa direhabilitasi mukuna mampu mempertahankan kualitas agregasi tanah. Tidak adanya gangguan mekanik selama pertanaman kacang tanah kemungkinan menyebabkan pemantap organik temporer tidak hancur sehingga mampu mempertahankan agregat tahan air pada semua perlakuan. Itulah sebabnya pengaruh pengolahan tanah hanya nyata pada saat tanah baru diolah, tapi tidak nyata setelah tidak dilakukan lagi pengolahan tanah pada musim berikutnya.

90

Berat Isi, Porositas dan Permeabilitas Tanah Beberapa sifat fisik tanah lainnya yang potensial dijadikan indikator kualitas tanah dalam selang waktu satu tahun adalah berat isi (BI), porositas dan permeabilitas.

Sifat-sifat fisik tanah tersebut merupakan indikator kualitas tanah

skala petak yang diperkirakan mengalami perubahan dalam waktu singkat sebagai respon terhadap pe-ngelolaan tanah. Pada kondisi awal penelitian tahun 2002/2003 yaitu setelah delapan tahun dari aplikasi pengupasan tanah dan setelah terjadi penambahan jumlah tanah yang hilang karena erosi, sifat fisik tanah seperti BI, porositas dan permeabilitas tidak berbeda nyata di antara ketiga tingkat pengupasan (Tabel 27 dan 28). Perbedaan tingkat pengupasan dan adanya erosi sebesar 0,16-0,23 cm th-1 (Tabel 3) tidak menyebabkan perbedaan sifat fisik tanah walaupun tanah telah diusahakan selama delapan tahun. Pada tahun kesembilan penerapan pengupasan tanah, sifat fisik tanah yang berbeda nyata di antara perlakuan adalah BI dan permeabilitas. Pada musim pertama atau setelah panen jagung, BI pada tanah yang dikupas 10 cm nyata lebih tinggi (0,92 g cm-3) dibandingkan tanah yang tidak dikupas (0,88 g cm-3) dan dikupas 5 cm (0,87 g cm-3), dan tidak terdapat perbedaan nyata sifat fisik tanah lainnya di antara ketiga tingkat pengupasan (Tabel 27 dan 28). Setelah musim tanam kedua atau setelah panen kacang tanah, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada peubah BI dan porositas (Tabel 27), sedangkan laju permeabilitas lapisan atas pada tanah yang dikupas 10 cm dan dilakukan pengolahan tanah berbeda nyata dibandingkan dengan tanah tidak dikupas dan dikupas 5 cm (Tabel 29).

91

Tabel 27. Berat Isi (BI), RPT, PDC, dan PAT pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

A

SJ

SKT

A vs SJ

-3

Berat Isi (g cm ) 0,88 b 0,87 b 0,92 a

A vs SKT

Perubahan BI (%)

Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

0,86 a 0,86 a 0,88 a

Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

Ruang pori total (% vol.) 67,4 a 67,3 a 68,2 a 67,8 a 67,3 a 67,3 a 67,0 a 65,1 a 67,4 a

0,86 a 0,85 a 0,87 a

2,3 tn 1,2 tn 4,5 *

26,6 a 25,1 a 25,2 a

Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

22,0 a 20,7 a 21,6 a

Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

Pori air tersedia (% vol.) 11,8 a 10,6 a 9,0 a 12,7 a 11,8 a 9,9 a 11,5 a 11,4 a 10,8 a

-2,3 tn -2,3 tn -5,9 **

0 tn -1,2 tn -1,1 tn

Perubahan RPT (%) -0,4 tn 1,3 tn 0,9 tn -0,7 tn 0,0 tn -0,7 tn -2,8 * 3,5 ** 0,6 tn

Pori drainase cepat (% vol.) 21,3 a 21,2 a 18,6 a

SJ vs SKT

Perubahan PDC (%) -3,2 tn 2,7 tn -13,9 tn

24,9 ** 18,1 tn 35,5 **

20,9 ** 21,3 ** 16,7 tn

Perubahan PAT (%) -9,6 tn -15,3 ** -23,7 ** -7,7 tn -15,9 ** -22,0 ** -1,1 tn -5,4 ** -6,1 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05, ** = P<0,01.

Tabel 28.

Permeabilitas Tanah pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu

Perlakuan

Awal (A)

Setelah panen jagung (SJ) -1

--------- cm jam

Perubahan (A vs SJ)

Dikupas 0 cm

5,2 a

--------6,5 a

(%) 25,0 tn

Dikupas 5 cm

3,6 a

6,7 a

84,5 *

Dikupas 10 cm

5,4 a

5,1 a

-6,7 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05.

Perubahan atau dinamika sifat fisik tanah yang dihasilkan berfluktuasi di antara musim tanam. Setelah panen jagung, pada tanah yang dikupas 10 cm terjadi peningkatan BI dan penurunan RPT yang nyata, sedangkan pada tanah yang dikupas

92

5 cm terjadi peningkatan nyata permeabilitas lapisan atas tanah.

Setelah panen

kacang tanah, terjadi penurunan BI dan PAT dan peningkatan RPT dan PDC yang nyata pada tanah yang dikupas 10 cm, sedangkan pada tanah yang dikupas 5 cm, terjadi penurunan PAT yang nyata.

Pada tanah yang tidak dikupas, PDC nyata

meningkat dan PAT nyata menurun. Tabel 29. Pengaruh Interaksi antara Pengupasan Tanah dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Permeabilitas Tanah Setelah Panen Kacang Tanah Perlakuan

Diolah+ Mukuna

Tidak diolahDiolahTidak diolah+ Mukuna Mukuna Mukuna -1 --------------- cm jam --------------10,9 Aa 9,8 Ba 13,6 Aa

Dikupas 0 cm

10,0 Aa

Dikupas 5 cm

16,9 Aa

10,7 Aa

12,7 Ba

12,0 Aa

Dikupas 10 cm

12,0 Ab

8,2 Ab

16,7 Aa

10,0 Ab

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut baris dan huruf besar sama menurut kolom dalam kelompok variabel yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Perubahan sifat fisik tanah pada tanah yang dikupas 10 cm lebih fluktuatif, berbeda dengan tanah yang tidak dikupas dan dikupas 5 cm yang relatif stabil. Hal tersebut membuktikan bahwa tanah yang dikupas 10 cm mempunyai resistensi yang lebih rendah terhadap pengusahaan jagung (MT I) dan kacang tanah (MT II) sehingga dalam jangka panjang pengelolaan tanah tersebut perlu dilakukan dengan hati-hati. Ditinjau dari perubahannya terhadap kondisi awal, baik BI maupun RPT tidak mengalami perubahan yang nyata pada seluruh tingkat pengupasan, artinya perubahan BI dan porositas yang terjadi pada tanah yang dikupas 10 cm bersifat sementara akibat perbedaan jenis tanaman yang diusahakan. Pada tanah yang tidak dikupas dan dikupas 5 cm telah terjadi perubahan PDC dan PAT secara gradual sehingga ter-

93

lihat adanya peningkatan PDC dan penurunan PAT yang nyata dibandingkan dengan kondisi awal (Tabel 27). Tabel 30. Berat Isi (BI), RPT, PDC dan PAT pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

A

SJ

SKT -3

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

A vs SJ

SJ vs SKT

A vs SKT

Berat Isi (g cm ) 0,84 a 0,89 a 0,84 a 0,86 a 0,90 a 0,87 a 0,85 a 0,87 a 0,89 a 0,86 a 0,90 a 0,87 a Ruang pori total (% vol.) 68,8 a 66,6 a 67,9 a 66,4 a 65,8 a 67,2 a 67,8 a 67,0 a 67,3 a 67,6 a 66,8 a 67,5 a Pori drainase cepat (% vol.) 27,5 a 20,3 a 24,2 a 24,4 b 19,3 a 19,5 a 26,6 a 22,1 a 20,6 a 24,1 b 19,3 a 21,4 a

Perubahan BI (%) 0 tn -5,6 * 6,0 tn -1,1 tn -4,4 tn 3,4 tn -4,5 tn -2,3 tn -2,2 tn -1,1 tn -4,4 * 3,4 tn Perubahan RPT (%) 1,3 tn 3,3 * -1,9 tn -1,2 tn 0,9 * -2,1 tn 0,7 tn 1,2 * -0,4 tn 0,1 tn 1,2 * -1,0 tn Perubahan PDC (%) 13,6 tn 35,2 ** -16,1 tn 25,1 tn 26,5 ** -1,2 tn 29,1 ** 20,6 * 7,0 tn 12,6 tn 24,7 * 10,7 tn

Pori air tersedia (% vol.)

Perubahan PAT (%)

10,6 a 12,8 a 13,0 a 11,6 a

11,8 a 11,1 b 10,9 b 11,3 ab

9,2 c 10,0 ab 9,8 ab 10,6 a

10,7 tn -13,5 tn -16,0 * -2,8 *

-21,6 ** -9,8 ** -10,3 tn -6,3 tn

-13,2 tn -21,9 tn -24,6 ** -8,6 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05, ** = P<0,01.

Setelah dilakukan rehabilitasi tanah selama lima tahun dan penerapan teknik pengolahan tanah minimum selama tiga tahun atau pada kondisi awal penelitian, tidak terdapat perbedaan BI, porositas dan permeabilitas yang nyata di antara perlakuan yang diaplikasikan (Tabel 30 dan 31). Penerapan pengolahan tanah minimum dan pemberian bahan organik pada tahun keempat atau pada tahun 2002/2003 tidak

94

menimbulkan perbedaan BI dan RPT yang nyata, baik setelah panen jagung maupun setelah panen kacang tanah (Tabel 30). Tabel 31. Permeabilitas Tanah pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

Awal

Setelah panen jagung -1

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

--------- cm jam 6,7 a 4,0 a 3,8 a 4,5 a

--------7,7 a 6,0 a 6,2 a 4,5 a

Perubahan (%) 13,8 tn 51,1 tn 62,2 * 0,0 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05.

Perbedaan PDC hanya terjadi setelah panen kacang tanah di mana tanah yang diolah mempunyai PDC nyata lebih tinggi. Pengaruh pengolahan tanah terhadap PDC tampak jelas setelah panen kacang tanah, sementara pengaruh rehabilitasi dengan mukuna tidak berpengaruh terhadap PDC. Tanah yang tidak diolah mempunyai PDC yang nyata lebih rendah dibandingkan tanah yang diolah. Rendahnya persentase pori aerasi pada tanah yang tidak diolah menunjukkan bahwa lapisan atas tanah lebih padat, karena selama dua musim tanam tidak dilakukan pengolahan tanah, walaupun pada musim kemarau direhabilitasi dengan mukuna. Setelah panen jagung, pori air tersedia (PAT) pada tanah yang diolah dan tidak diolah tidak berbeda nyata walaupun pada musim kemarau direhabilitasi dengan mukuna (Tabel 30). Penanaman mukuna pada musim kemarau berpengaruh nyata apabila pada saat tanam jagung dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah tanpa rehabilitasi dengan mukuna (Diolah-Mukuna) menghasilkan PAT yang nyata lebih

95

rendah. Setelah musim tanam kedua di mana tidak lagi dilakukan pengolahan tanah, ternyata tanah yang diolah dan direhabilitasi dengan mukuna (Diolah+Mukuna) mempunyai PAT nyata lebih rendah. Permeabilitas lapisan atas tanah setelah panen jagung tidak berbeda nyata di antara perlakuan, tetapi setelah panen kacang tanah, tanah yang diolah dan tanpa rehabilitasi (Diolah-Mukuna) yang diterapkan pada tanah yang dikupas 10 cm nyata lebih tinggi dibandingkan bila diterapkan pada tanah yang tidak dikupas`dan dikupas 5 cm (Tabel 29). Setelah diusahakan satu musim tanam (MT 2002/2003), dibandingkan dengan kondisi awal, perubahan secara temporal terlihat terjadi pada PAT dan permeabilitas lapisan atas (Tabel 30 dan 31). Penurunan PAT yang nyata sebesar 16% terjadi pada tanah yang diolah tanpa direhabilitasi dengan mukuna (Diolah-Mukuna), sedangkan pada tanah yang tidak diolah dan direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) terjadi penurunan PAT sebesar 2,8% (Tabel 30). Besarnya penurunan PAT pada tanah yang diolah tanpa direhabilitasi dengan mukuna (DiolahMukuna) disebabkan oleh besarnya peningkatan permeabilitas lapisan atas tanah (62,2%) (Tabel 31). Tanah yang diolah tanpa rehabilitasi dengan mukuna (DiolahMukuna) memberikan peningkatan permeabilitas yang paling tinggi. Setelah musim tanam kedua, pengaruh penananam mukuna di musim kemarau kurang efektif terhadap peningkatan permeabilitas tanah baik pada tanah yang diolah maupun tidak diolah. Setelah panen kacang tanah, terjadi penurunan BI yang nyata pada tanah yang direhabilitasi mukuna (dengan dan tanpa diolah), peningkatan RPT dan PDC pada seluruh perlakuan. Selain itu, terjadi penurunan PAT pada tanah yang diolah dan di-

96

rehabilitasi dengan mukuna (Diolah+Mukuna) dan tanah yang tidak diolah tanpa direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah-Mukuna). Jika dibandingkan dengan kondisi awal, baik BI maupun RPT tidak mengalami perubahan yang nyata pada seluruh perlakuan (Tabel 30), artinya pengaruh perlakuan terhadap BI dan porositas bersifat sementara karena setelah diusahakan dua musim tanam atau setelah pada musim kedua tidak dilakukan pengolahan tanah, BI dan RPT kembali pada kondisi semula. Berbeda dengan peubah PDC dan PAT, ternyata pada tanah yang diolah tanpa direhabilitasi dengan mukuna (Diolah-Mukuna) terjadi peningkatan PDC dan penurunan PAT yang nyata, sedangkan pada perlakuan lainnya tidak terjadi perubahan yang nyata (Tabel 30). Pada Ultisol Jasinga penerapan pengolahan tanah minimum tanpa direhabilitasi dengan mukuna pada tahun keempat (MT 2002/2003) mampu mempertahankan BI dan RPT, meningkatkan PDC, tetapi sekaligus menurunkan PAT. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum tersebut (pengolahan tanah pada saat penanaman jagung dan tanpa olah tanah pada saat penanaman kacang tanah), disertai pemberian bahan organik segar hingga 18,89 t ha -1. Setelah empat tahun, penerapan tanpa olah tanah selama dua musim tanam yang disertai rehabilitasi mukuna pada musim kemarau (Tidak diolah+Mukuna) tidak memperlihatkan adanya proses pemadatan tanah, seperti terlihat dari BI dan porositas yang relatif stabil. Penanaman mukuna di musim kemarau, penyebaran bahan organik segar mukuna dan flemingia sebanyak 13,64 t ha -1 (selama pertanaman jagung) dan jagung dan flemingia sebanyak 7,49 t ha -1 (selama pertanaman kacang tanah) mampu mengelimi nir proses pemadatan yang mungkin terjadi karena tanah tidak diolah selama dua musim.

97

Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa proses pencampuran bahan organik menghasilkan PDC yang lebih tinggi dan PAT lebih rendah dibandingkan tanpa pencampuran bahan organik (Tabel 13). Di lapangan, kondisi tersebut terjadi setelah panen kacang tanah atau setelah dua musim tanam di mana tanah yang tidak terganggu secara mekanik selama dua musim tanam mempunyai PAT yang lebih tinggi dan PDC yang lebih rendah walaupun jumlah bahan organik yang diaplikasikan di lapangan jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan di rumah kaca. Sifat Kimia Tanah Pada awal musim tanam (MT) 2002/2003 atau setelah aplikasi pengupasan selama delapan tahun, tidak terdapat perbedaan sifat kimia tanah di antara tingkat pengupasan tanah (Tabel 32 dan 33), kecuali pada N-total. Pengupasan tanah setebal 10 cm pada tahun 1993 dan ditambah dengan hilangnya tanah melalui erosi setebal 0,23 cm th-1 (Tabel 3) menyebabkan N-total pada tanah yang dikupas 10 cm nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang tidak dikupas dan dikupas 5 cm (Tabel 32). Selain lebih tebalnya tanah yang dikupas, jumlah erosi yang terjadi pada tanah yang dikupas 10 cm tergolong paling tinggi (Tabel 3) sehingga kemungkinan hara yang terangkut melalui erosi juga lebih banyak. Pemberian pupuk anorganik yang sama pada setiap musim tanam, menghasilkan P-tersedia dan K-tersedia yang tidak berbeda nyata di antara ketiga tingkat pengupasan tanah (Tabel 32 dan 33). Pada Tabel 32 diperlihatkan bahwa tingkat pengupasan tanah tidak berpengaruh terhadap pH H2O, K-tersedia dan N-total, baik setelah panen jagung maupun

98

setelah panen kacang tanah. Setelah panen kacang tanah, P-tersedia pada tanah yang dikupas 5 cm, dan diterapkan perlakuan tanpa olah tanah dan direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 34). Tabel 32. Kadar K-tersedia, pH H2O, dan N-total pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

A1)

SJ SKT pH H 2O 4,73 a 4,41 a 4,67 a 4,69 a 4,32 a 4,54 a 4,71 a 4,29 a 4,54 a K-tersedia (ppm) 41,5 a 37,1 a 43,5 a

58,7 a 67,5 a 73,2 a

37,8 a 48,0 a 52,2 a

A vs SJ SJ vs SKT A vs SKT Perubahan pH H 2O (%) -6,8 ** 5,9 * -1,3 tn -7,9 ** 5,1 ** -3,2 ** -8,9 ** 5,8 ** -3,6 ** Perubahan K-tersedia (%) 41,4 * 81,9 ** 68,3 **

0,33 a 0,33 a 0,30 b

0,32 a 0,32 a 0,29 a

-8,9 tn 29,4 tn 20,0 tn

Perubahan N-total (%)

N-total (%) Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

-35,6 * -28,9 * -28,7 *

0,26 a 0,25 a 0,26 a

-18,8 ** -21,9 ** -10,3 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. 1) N-total diukur dengan CHNS Analyser. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05, ** = P<0,01.

Tabel 33. Kadar P-tersedia pada Perlakuan Pengupasan Tanah di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

Awal

Setelah panen jagung

Perubahan (%)

Dikupas 0 cm

---------- ppm ---------2,9 a 8,9 a

206,9 *

Dikupas 5 cm

2,4 a

9,0 a

276,3 **

Dikupas 10 cm

1,7 a

5,6 a

238,8 **

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Hasil T-test : * = P <0,05, ** = P<0,01.

99

Secara umum setelah panen jagung, pH tanah nyata mengalami penurunan dan meningkat kembali setelah panen kacang tanah, sebaliknya terjadi pada Ktersedia. Saat penanaman kacang tanah diberikan KAPTAN sebanyak 1 t ha -1 sehingga dapat berkontribusi terhadap peningkatan pH tanah. Akar jagung menghasilkan asam oksalat, malonat dan fumarat (Nursyamsi, Osaki, dan Tadano, 2002) yang akan berpengaruh terhadap pH tanah. Selain itu, asam-asam organik (oksalat, malonat dan fumarat) yang dihasilkan tersebut, juga mampu melepaskan Ktdd menjadi Kdd (Zhu dan Lou, 1993), sehingga dapat meningkatkan K-tersedia. Tabel 34. Pengaruh Interaksi antara Tingkat Pengupasan Tanah dengan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap P-tersedia Setelah Panen Kacang Tanah Perlakuan

Diolah+ Mukuna

Tidak diolahDiolahTidak diolah+ Mukuna Mukuna Mukuna -------------------- ppm -------------------7,5 Aa 8,0 Aa 5,3 Ba

Dikupas 0 cm

8,1 Aa

Dikupas 5 cm

6,8 Ab

10,5 Aab

5,4 Ab

13,5 Aa

Dikupas 10 cm

4,2 Aa

6,0 Aa

6,0 Aa

6,2 Ba

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut baris dan huruf besar sama menurut kolom dalam kelompok peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Ditinjau dari perubahannya berdasarkan waktu, pH H2O pada tanah yang dikupas 10 cm paling fluktuatif (Tabel 32). Jika dibandingkan dengan kondisi awal, selama dua musim tanam (MT 2002/2003) terjadi penurunan pH H2O pada tanah yang dikupas 5 dan 10 cm, sedangkan sifat kimia tanah lainnya relatif stabil. Tanah yang hilang melalui erosi pada tanah yang dikupas 10 cm sebesar 1,86 cm sehingga jumlah tanah yang hilang menjadi 11,86 cm. Pada kedalaman tanah 11-40 cm pada Ultisol Jasinga, kandungan Al dd mencapai 19,39 me 100g-1 dan kejenuhan basanya

100

sekitar 20% (Tabel 6), sehingga berkontribusi pada rendahnya pH H2O pada tanah yang dikupas 10 cm. Menurut Tisdale dan Nelson (1975), di samping basa-basa dan bahan organik, faktor lain yang mempengaruhi pH adalah oksida Fe dan Al dd. Pada Tabel 32 dan 33 diperlihatkan bahwa setelah panen jagung, K-tersedia dan P-tersedia nyata meningkat pada ketiga tingkat pengupasan. Peningkatan tertinggi terjadi pada tanah yang dikupas 5 cm yaitu K-tersedia meningkat sebesar 30,4 ppm atau 81,9%, sedangkan P-tersedia meningkat sebesar 6,6 ppm atau 276,3%. Hal tersebut sejalan dengan lebih besarnya suplai bahan organik yang diberikan pada tanah yang dikupas 5 cm (Tabel 4). Bahan organik yang diberikan mampu menyuplai 35,03 kg K ha -1 dan 6,69 kg P ha -1, lebih tinggi dibandingkan pada tanah yang tidak dikupas dan dikupas 10 cm (Lampiran 5). Selain itu, selama delapan tahun erosi yang terjadi pada tanah yang dikupas 5 cm relatif paling rendah yaitu rata-rata 0,16 cm th-1 (Tabel 3), sehingga kemungkinan hara P dan K yang terangkut melalui sedimen lebih rendah. Perlakuan sebelumnya yang diaplikasikan mengakibatkan tanah yang tidak direhabilitasi mukuna (dengan dan tanpa olah tanah) mempunyai K-tersedia dan Ntotal

nyata lebih tinggi dibandingkan tanah yang direhabilitasi dengan mukuna

(Tabel 35). Jumlah bahan organik jerami padi dan jagung yang telah diberikan pada tanah yang tidak direhabilitasi mukuna sebesar 32,1 t ha -1 (Tidak diolah-Mukuna) dan 53,1 t ha-1 (Diolah-Mukuna) lebih tinggi dibandingkan pada tanah yang direhabilitasi dengan mukuna yaitu sebesar 7,5 t ha -1 (Diolah+Mukuna) dan 13,6 t ha -1 (Tidak diolah+Mukuna) (Tabel 5).

Hasil penelitian di rumah kaca yang menggunakan

101

bahan Ultisol Jasinga terdegradasi, mendapatkan bahwa tingginya kadar K-tersedia dalam tanah dipengaruhi oleh tingginya kadar K dalam bahan organik jagung (Tabel 14). Tabel 35. Kadar K-tersedia, pH H2O, dan N-total pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal, Setelah Panen Jagung dan Setelah Panen Kacang Tanah serta Perubahan antar Waktu Perlakuan Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

A1)

SJ

SKT

pH H 2O 4,30 a 4,56 a 4,36 a 4,61 a 4,29 a 4,59 a 4,40 a 4,59 a K-tersedia (ppm) 45,8 a 67,1 a 34,7 b 49,0 a 74,9 a 49,3 a 53,6 a 80,6 a 47,9 a 35,6 a 43,2 a 30,9 b N-total (%) 0,23 a 0,29 a 0,28 c 0,24 a 0,32 a 0,34 ab 0,26 a 0,32 a 0,35 a 0,30 a 0,31 a 0,32 b 4,64 a 4,78 a 4,76 a 4,66 a

A vs SJ SJ vs SKT A vs SKT Perubahan pH H 2O (%) -7,3 ** 6,0 ** -1,7 tn -8,8 ** 5,7 ** -3,6 ** -9,9 ** 7,0 ** -3,6 tn -5,6 tn 4,3 tn -1,5 tn Perubahan K-tersedia (%) 32,0 tn -31,7 * 93,4 ** -0,6 tn -34,6 tn 51,9 * 11,9 tn -33,5 ** 68,3 * 15,2 tn -17,6 tn 39,8 ** Perubahan N-total (%) -20,7 * -25,0 ** -18,8 ** -3,2 tn

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. 1) N-total diukur dengan CHNS Analyser. A: kondisi awal; SJ: setelah panen jagung; SKT: setelah panen kacang tanah. Hasil T-test : tn= tidak nyata, * = P <0,05, ** = P<0,01.

Aplikasi pengolahan tanah dan pemberian bahan organik dalam satu musim tanam tidak berpengaruh terhadap sifat kimia tanah. Setelah musim tanam kedua, perlakuan tanpa olah tanah dan direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) yang diaplikasikan pada tanah yang dikupas 5 cm menghasilkan P-tersedia tertinggi, sedangkan sifat kimia lainnya tidak dipengaruhi oleh perlakuan yang diterapkan (Tabel 35 dan 36). Secara umum, tanah yang direhabilitasi dengan mukuna mempunyai kadar K-tersedia lebih rendah dibandingkan dengan tanpa rehabilitasi baik setelah panen jagung maupun setelah panen kacang tanah. Keadaan tersebut ke-

102

mungkinan disebabkan adanya pengaruh dari perlakuan sebelumnya yaitu selama periode tahun 1993-2000, pemberian bahan organik padi dan jagung pada tanah yang tidak direhabilitasi lebih besar dibandingkan dengan tanah yang direhabilitasi dengan mukuna (Tabel 5). Tabel 36. Kadar P-tersedia pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik di Awal dan Setelah Panen Jagung serta Perubahan antar Waktu Perlakuan

Awal

Setelah panen jagung

Perubahan (%)

---------- ppm ---------Diolah+Mukuna

2,7 a

6,4 a

134,7 *

Tidak diolah-Mukuna

2,2 a

10,2 a

375,8 *

Diolah-Mukuna

2,2 a

6,5 a

195,0 **

Tidak diolah+Mukuna

2,2 a

8,3 a

274,0 **

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Hasil T-test : * = P <0,05, **= P<0,01.

Secara temporal, pH H20 menurun setelah panen jagung dan meningkat kembali setelah panen kacang tanah pada seluruh perlakuan kecuali pada tanah yang tidak diolah yang direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna).

Selama dua

musim tanam, pH H20 pada tanah yang tidak diolah yang direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) relatif stabil (Tabel 35). Peubah K-tersedia nyata meningkat pada seluruh perlakuan dan peningkatan pada tanah yang diolah lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang tidak diolah.

Kandungan K dari bahan

organik yang diberikan pada tanah yang tidak diolah mencapai 37,19-37,64 kg ha -1, sedangkan pada tanah yang diolah sebesar 25,66-32,23 kg ha -1 (Lampiran 5). Setelah

103

panen kacang tanah, penurunan nyata terjadi pada tanah yang diolah, sedangkan pada tanah yang tidak diolah penurunannya tidak nyata. Setelah panen jagung, peningkatan P-tersedia pada tanah yang tidak diolah nyata lebih tinggi dibandingkan tanah yang diolah dengan atau tanpa rehabilitasi dengan mukuna (Tabel 36). Peningkatan P-tersedia sejalan dengan besarnya jumlah P yang disumbangkan dari bahan organik yaitu 6,80-7,51 kg ha -1 pada tanah yang tidak diolah dan 5,22-5,89 kg ha -1 pada tanah yang diolah. Di lapangan, pengolahan tanah dilakukan sebelum aplikasi bahan organik yang disebarkan di permukaan tanah, sehingga kurang mendorong terjadinya mineralisasi unsur hara.

Berbeda dengan

yang dilakukan di rumah kaca, bahan organik yang dicampur menghasilkan unsur hara makro (N, P dan K) yang lebih tinggi (Tabel 14 dan 15). Setelah panen jagung, N-total nyata menurun pada semua perlakuan kecuali pada tanah yang tidak diolah yang direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) yang relatif stabil (Tabel 35).

Tanpa olah tanah yang disertai

rehabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) mampu mempertahankan kadar N-total dalam tanah karena dekomposisi bahan organik berjalan lebih lambat dan adanya suplai N-organik dari mukuna. Hasil penelitian lapang pada Ultisol Lampung menunjukkan bahwa penanaman mukuna mampu meningkatkan kadar N-total tanah (Utomo et al., 1992). Tanah yang tidak diolah dan direhabilitasi dengan mukuna mempunyai pori aerasi yang paling rendah baik setelah panen jagung maupun setelah panen kacang tanah (Tabel 27), sehingga kemungkinan N hilang melalui mineralisasi dapat ditekan. Kondisi tersebut kemungkinan menyebabkan N-total pada perlakuan tersebut lebih stabil.

104

Selama musim tanam 2002/2003 atau setelah tahun keempat penerapan pengolahan minimum dan pemberian bahan organik, sifat kimia tanah tidak mengalami perubahan yang nyata dibandingkan dengan kondisi awal penelitian, kecuali pada pH H2O (Tabel 31 dan 35). Tanah yang dikupas 5 dan 10 cm dan tanah yang tidak diolah dan tidak ditanami mukuna pada musim kemarau (Tidak diolah-Mukuna) mengalami penurunan pH H2O. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah bahan organik segar total yang diberikan selama pertanaman jagung dan kacang tanah pada tanah yang dikupas 5 cm dan 10 cm lebih tinggi dibandingkan tanah yang tidak dikupas yaitu 21, 32 t ha-1 (dikupas 5 cm), 19,51 t ha -1 (dikupas 10 cm) dan 18,40 t ha -1 (tidak dikupas). Hal yang sama juga terjadi pada tanah yang tidak diolah dan tidak ditanami mukuna (Tidak diolah-Mukuna) selama sembilan tahun, jumlah bahan organik segar yang diberikan mencapai 21,49 t ha -1 dan merupakan jumlah tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 4). Tinggi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah Pengaruh perlakuan tingkat pengupasan tanah terhadap tinggi tanaman jagung terlihat mulai tanaman jagung berumur empat minggu. Tinggi tanaman jagung pada tanah yang dikupas 5 cm nyata lebih tinggi baik pada umur 4, 6 dan 8 minggu (Tabel 37). Pada tinggi tanaman maksimum (umur 8 minggu), tanah yang dikupas 10 cm mempunyai tinggi tanaman jagung nyata lebih rendah. Selama pertanaman jagung, kuantitas dan kualitas bahan organik yang diberikan pada tanah yang dikupas 5 cm lebih baik dibandingkan dengan tanah yang tidak dikupas dan dikupas 10 cm (Lampiran 5).

105

Setelah dua musim tanam, pengaruh tingkat pengupasan tanah hanya terlihat pada saat kacang tanah berumur 4 minggu. Tinggi tanaman pada tanah yang tidak dikupas nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang dikupas 5 cm dan 10 cm (Tabel 37). Setelah tanaman berumur 6 minggu, pengupasan tanah tidak lagi berpengaruh terhadap tinggi tanaman kacang tanah. Tabel 37. Tinggi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Perlakuan Pengupasan Tanah Perlakuan

Dua

Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

25,58 a 29,67 a 27,58 a

Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

12,00 a 11,54 a 11,52 a

Umur tanaman (minggu) Empat Enam Tinggi tanaman jagung (cm) 80,48 b 134,65 b 89,05 a 145,88 a 80,53 b 125 44 b Tinggi tanaman kacang tanah (cm) 23,61 a 34,70 a 21,91 b 33,39 a 21,93 b 33,57 a

Delapan 173,67 a 176,40 a 153,65 b 42,49 a 41,70 a 43,27 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Pengaruh pengolahan tanah dan pemberian bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman jagung (Tabel 38). Perbedaan pengolahan tanah pada musim tanam pertama dan tindakan rehabilitasi pada musim kemarau tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman jagung. Hal ini berarti bahwa selama fase vegetatif tanaman jagung, perlakuan pengolahan tanah dan pemberian bahan organik tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman jagung. Pada musim tanam kedua atau pada saat penanaman kacang tanah tidak dilakukan pengolahan tanah, tetapi hanya dibuat larikan untuk menanam kacang tanah, perbedaannya terdapat pada jumlah bahan organik yang diberikan (Tabel 4). Penga-

106

ruh perlakuan pengolahan tanah dan pemberian bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman terlihat pada musim tanam kedua seperti tampak pada Tabel 38. Tabel 38. Tinggi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik Perlakuan

Umur Tanaman (minggu) Empat Enam

Dua

Delapan

Tinggi tanaman jagung (cm) 167,63 a 133,03 a 82,59 a 165,46 a 133,01 a 84,28 a 161,52 a 131,89 a 79,64 a 177,01 a 143,37 a 86,90 a Tinggi tanaman kacang tanah (cm)

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

25,30 a 27,88 a 27,79 a 29,11 a

Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

11,56 ab 11,22 b 12,07 a 11,90 a

23,22 a 21,37 b 22,59 a 22,75 a

34,95 a 33,25 a 32,52 a 34,82 a

44,37 a 40,09 b 42,36 ab 43,13 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Tanah yang tidak diolah dan tidak direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah-Mukuna) menghasilkan tinggi tananam kacang tanah yang nyata lebih rendah, sedangkan perlakuan lainnya mempunyai tinggi tanaman yang tidak berbeda (Tabel 38). Hal ini membuktikan bahwa bila tanpa olah tanah akan diterapkan maka rehabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau harus dilakukan, karena tanpa rehabilitasi pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Selain itu, pada tanpa olah yang tidak direhabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah-Mukuna) terjadi proses penurunan kualitas tanah baik sifat fisik, kimia dan biologi selama pertanaman kacang tanah. Penurunan kualitas tanah terlihat pada peubah-peubah POMt (Tabel 24), PAT (Tabel 28), dan N-total (Tabel 35).

107

Hasil Tanaman Jagung dan Kacang Tanah Secara umum, hasil berat kering jagung (pipilan) dan berat kering kacang tanah (polong) pada MT 2002/2003 kurang memuaskan.

Hal tersebut berkaitan

dengan kondisi curah hujan pada MT 2002/2003 tergolong tidak normal yaitu hanya 1951 mm, lebih rendah dari rata-rata tahunan sebesar 2905 mm (Tabel 7). Tanaman jagung mengalami kekeringan, karena saat jagung berumur 38-52 HST (selama 15 hari), dan umur 54-77 HST (selama 24 hari) tidak ada hujan, sehingga pengisian biji tidak berjalan sempurna. Kekeringan pertama terjadi pada bulan Desember, saat terjadi defisit air (curah hujan lebih rendah dari evapotranspirasi), sedangkan kekeringan kedua terjadi pada bulan Januari, saat terjadi surplus air tetapi hujan terdistribusi pada akhir bulan setelah masa kekeringan tersebut (satu hari di awal bulan sebesar 66 mm dan 5 hari di akhir bulan sebesar 165 mm) (Tabel 7). Saat pertanaman kacang tanah, kanopi tanaman (lebar tajuk) sengon mencapai 30,57-56,77 cm (umur 3 bulan) dan 133,42-172,10 cm (umur 6 bulan) mulai menaungi tanaman kacang tanah, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kacang tanah. Penghalangan radiasi matahari yang lebih besar akan semakin mengurangi pembentukan biomas dan menurunkan indeks panen (Sumarno dan Slamet, 1993). Selain itu, distribusi hujan sangat berpengaruh terhadap hasil kacang tanah, bila curah hujan terlalu tinggi pada fase vegetatif akan menurunkan hasil kacang tanah (Nugrahaeni, 1993). Selama pertanaman kacang tanah di Jasinga, curah hujan selama fase vegetatif cukup tinggi (Gambar 3 dan Tabel 7), sehingga berkontribusi terhadap rendahnya hasil kacang tanah yang diperoleh.

108

Tanah yang dikupas 10 cm menghasilkan pipilan kering jagung nyata lebih rendah dibandingkan tanah yang dikupas 5 cm. Pengupasan tanah setebal 5 cm tidak menurunkan hasil jagung bahkan menghasilkan pipilan kering nyata paling tinggi, sedangkan pengupasan tanah setebal 10 cm kurang mendukung pengusahaan tanaman jagung (Tabel 39).

Tanah yang tidak dikupas tidak memberikan pipilan kering

jagung paling tinggi, kemungkinan disebabkan bahan organik yang diberikan pada tanah yang tidak dikupas mempunyai kuantitas dan kualitas yang lebih rendah dibandingkan tanah yang dikupas 5 cm (Lampiran 5). Tabel 39. Hasil Tanaman pada Perlakuan Pengupasan Tanah dan Pengolahan Tanah serta Pemberian Bahan Organik Perlakuan

Pipilan kering jagung (t ha -1)

Polong kering kacang tanah (t ha -1)

Tingkat pengupasan tanah Dikupas 0 cm Dikupas 5 cm Dikupas 10 cm

1,59 ab 2,58 a 0,86 b

0,505 a 0,453 a 0,490 a

Pengolahan tanah dan pemberian bahan organik Diolah+Mukuna Tidak diolah-Mukuna Diolah-Mukuna Tidak diolah+Mukuna

1,32 a 1,83 a 1,81 a 1,73 a

0,523 a 0,439 a 0,415 a 0,554 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama dalam kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.

Selang waktu satu musim tanam perlakuan pengolahan tanah dan pemberian bahan organik belum mempengaruhi berat pipilan kering jagung. Hasil pipilan kering jagung sangat penting bagi petani karena akan menentukan pendapatan yang diperoleh petani. Aplikasi perlakuan pengolahan tanah dalam satu musim tanam tidak

109

berpengaruh terhadap berat pipilan kering jagung selama bahan organik segar yang diberikan berkisar 9,56-13,64 t ha -1. Tingkat pengupasan tanah tidak berpengaruh terhadap hasil tanaman kacang tanah. Pada Ultisol Jasinga, perbedaan tingkat pengupasan tanah dan adanya erosi sebesar 0,16-0,23 cm th-1 tidak berpengaruh terhadap berat polong kering kacang tanah. Pengusahaan kacang tanah masih dapat diterapkan pada tanah yang telah kehilangan tanah setebal 11,86 cm selama bahan organik segar diberikan cukup besar yaitu sekitar 7,49-9,76 t ha -1 (Tabel 4). Hal tersebut dapat dilihat dari berat polong kering kacang tanah yang dihasilkan tidak berbeda dibandingkan tanah yang tidak dikupas dan dikupas 5 cm. Pengolahan tanah dan rehabilitasi dengan mukuna tidak memberikan pengaruh terhadap hasil kacang tanah. Pada Tabel 39 diperlihatkan bahwa berat polong kering kacang tanah yang diperoleh dari tanah yang tidak diolah tapi direhabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau (Tidak diolah+Mukuna) relatif lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Aplikasi tanpa olah tanah pada musim pertama dan rehabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau ternyata mampu memberikan berat polong kering kacang tanah yang relatif lebih tinggi bahkan lebih tinggi dari tanah yang diolah dan direhabilitasi dengan mukuna. Tanpa olah tanah yang dilakukan selama dua musim tanam tidak berpengaruh terhadap berat polong kering kacang tanah tetapi tanah harus direhabilitasi pada musim kemarau dan diberikan bahan organik secara terus menerus sepanjang tahun. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa berat pipilan kering jagung berkorelasi nyata dengan BI dan RPT, sedangkan berat polong kacang tanah berkorelasi dengan

110

RPT (Lampiran 10). Penurunan BI dan peningkatan RPT menyebabkan terjadinya peningkatan berat pipilan kering jagung terlihat dari koefisien korelasinya dengan BI (r=-0,474; P<0,01) dan RPT (r=0,475; P<0,01), sedangkan peningkatan berat polong kering kacang tanah dipengaruhi oleh semakin meningkatnya RPT (r=0,403; P<0,05). Hal tersebut juga menunjukkan bahwa respon tanaman terhadap perbaikan kualitas tanah tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan. Baik pada perlakuan pengupasan tanah maupun pengolahan tanah dan pemberian bahan organik, perbedaan berat pipilan kering jagung dan kacang tanah sejalan dengan perbedaan BI dan RPT. Analisis Anggaran Parsial Pemilihan alternatif teknologi pengolahan tanah dan pemberian bahan organik perlu divaluasi secara ekonomi guna mendapatkan pilihan teknologi yang mempunyai peluang besar untuk direkomendasikan.

Analisis ekonomi dilakukan dengan

menggunakan analisis anggaran parsial yaitu suatu metode analisis yang hanya memperhitungkan biaya yang berubah (total cost that vary) pada setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil jagung dan kacang tanah pada seluruh perlakuan kurang memuaskan.

Pada musim tanam 2002/2003, jagung dan

kacang tanah merupakan tanaman sela yang ditanam di antara tanaman sengon. Hasil pipilan kering jagung yang diperoleh pada musim tanam 2002/2003 sebesar 1,32-1,83 t ha-1 dan tergolong tidak memuaskan karena mengalami kekeringan pada saat pengisian biji, sedangkan kacang tanah yang ditanam pada musim tanam kedua menghasilkan polong kering sebesar 0,415-0,554 t ha -1 juga tergolong tidak memuaskan. Hasil penelitian Kurnia (1996) di lokasi yang sama, hasil pipilan kering jagung yang

111

dihasilkan pada MH 1994/1995 mencapai 2,40-3,34 t ha -1, sedangkan berat polong kering kacang tanah sebesar 1,40-1,98 t ha -1. Hasil tanaman dan produksi bahan organik segar tanaman yang dihasilkan selama musim tanam 2002/2003 dapat dilihat pada Tabel 40. Perlakuan

pengolahan

tanah

yang

direhabilitasi

dengan

mukuna

(Diolah+Mukuna) menghasilkan pipilan kering jagung paling rendah, namun menghasilkan bahan organik segar paling tinggi. Perlakuan tanpa olah tanah yang disertai rehabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) menghasilkan berat polong kering kacang tanah tertinggi, namun berat bahan organik segar yang dihasilkan tergolong rendah. Rendahnya bahan organik segar yang dihasilkan membawa konsekuensi rendahnya tingkat pengembalian residu organik ke dalam tanah. Perlakuan pengolahan tanah tanpa rehabilitasi mukuna menghasilkan bahan organik segar kacang tanah lebih tinggi. Evaluasi ekonomi hanya berdasarkan produk primer yang dihasilkan dan harga produk di pasaran, sehingga bahan organik segar yang dihasilkan tidak diperhitungkan secara langsung. Tabel 40. Hasil Tanaman dan Produksi Bahan Organik Segar Jagung serta Kacang Tanah Perlakuan Diolah+Mukuna

Hasil tanaman (t ha-1) Jagung1) Kacang tanah2) 1,32 0,523

Bahan organik segar (t ha-1) Jagung Kacang tanah 6,02 1,15

Tidak diolah-Mukuna

1,83

0,439

5,72

1,86

Diolah-Mukuna

1,81

0,415

6,15

1,54

Tidak diolah+Mukuna

1,73

0,554

5,39

1,31

1)

: pipilan kering, 2) polong kering

112

Secara agronomis, hasil tanaman tidak memuaskan, namun evaluasi ekonomi dilakukan untuk menentukan pilihan teknologi alternatif yang akan direkomendasikan. Evaluasi ekonomi merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan, namun fungsi lingkungan akibat adanya perbaikan kualitas tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam pemilihan teknologi di lahan kering yang telah terdegradasi.

Menurut Haridjaja (2005), dalam mengelola sumberdaya lahan perlu

dijaga keseimbangan antara azas manfaat dan azas pelestarian agar tercapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Analisis anggaran parsial dilakukan untuk menentukan pilihan teknologi yang akan direkomendasikan.

Perlakuan tidak diolah tanpa mukuna (Tidak diolah-

Mukuna) dijadikan perlakuan kontrol, dan perlakuan lainnya dibandingkan dengan perlakuan kontrol.

Pendapatan bersih marjinal (PBM) merupakan selisih dari

pendapatan bersih total perlakuan tertentu dengan pendapatan bersih total perlakuan kontrol, sedangkan biaya marjinal (BM) merupakan selisih biaya total perlakuan tertentu dengan biaya total perlakuan kontrol. Penentuan pilihan teknologi dilihat dari nilai kembali marjinal (NKM) dari tiap pilihan investasi biaya dan produksi. Nilai kembali marjinal adalah nisbah pendapatan bersih marjinal dengan biaya marjinal (PBM/BM). Petani lahan kering umumnya tidak mau menanam investasi untuk usahatani pertanian jika tingkat pengembalian marjinal kurang dari 200%. Perlakuan tanpa pengolahan tanah yang disertai rehabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau (Tidak diolah+Mukuna) memberikan NKM lebih dari 200% (Tabel 41), sehingga layak untuk direkomendasikan kepada petani pada Ultisol Jasinga.

113

Tabel 41. Analisis Anggaran Parsial Perlakuan Pengolahan Tanah dan Pemberian Bahan Organik Perlakuan

Pendapatan bersih total 1)

Biaya total

PBM

Perubahan BM NKM

---------- Rp. 1 000,- ha-1 ----------

(%)

Tidak diolah-Mukuna

5 708

4 810,2

0

0

-

Diolah+Mukuna

5 768

5 524,2

60

714

8

Diolah-Mukuna

5 492

5 214,2

-216

404

-53

Tidak diolah+Mukuna

6 508

5 120,2

800

310

258

Keterangan : 1) Produksi jagung dan kacang tanah tertera pada Tabel 40. Harga jagung : Rp 1200,-/kg (pipilan kering); Harga kacang tanah = Rp 8000,-/kg (polong kering). PBM = Pendapatan Bersih Marjinal ; BM = Biaya Marjinal; NKM = Nilai Kembali Marjinal

Tanah yang diolah tanpa rehabilitasi dengan mukuna (Diolah-Mukuna) memberikan nilai kembali marjinal negatif, artinya secara ekonomi, perlakuan tersebut kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan tanpa olah tanah. Hal ini disebabkan biaya pengolahan tanah yang cukup tinggi bahkan merupakan porsi terbesar dari seluruh biaya tenaga kerja yang diperlukan. Penerapan tanpa olah tanah yang disertai rehabilitasi dengan mukuna (Tidak diolah+Mukuna) merupakan teknologi yang paling menguntungkan dilihat dari nilai NKM, walaupun tidak menghasilkan hasil tanaman tertinggi.

114

PEMBAHASAN UMUM Sistem pertanaman lorong pada Ultisol Jasinga, mempunyai potensi yang cukup besar dalam memperbaiki kualitas tanah karena mampu menyuplai bahan organik yang cukup tinggi, yaitu berupa flemingia sebagai hasil pangkasan tanaman pagar, mukuna sebagai tanaman rehabilitasi dan sisa panen tanaman jagung. Selama MT 2002/2003, penerapan sistim pertanaman lorong menghasilkan bahan organik segar sebesar 17,44-21,49 t ha-1 th-1 dengan komposisi 79,3% berasal dari flemingia, 11,7% berupa bahan organik jagung dan hanya sekitar 9% bersumber dari mukuna. Ketiga sumber bahan organik tersebut mempunyai kualitas yang berbeda dilihat dari komponen senyawa organik utama (lignin, selulosa) dan kandungan haranya (C, N, P, dan K). Perubahan indikator kualitas tanah berupa sifat fisik, kimia dan biologi tanah menunjukkan respon yang berbeda terhadap masing-masing parameter kualitas bahan organik yang diberikan. Selain itu, pengaruh kualitas bahan organik tersebut sangat tergantung pada cara pemberian bahan organik (disebar atau dicampur dengan tanah). Parameter kualitas bahan organik yang dominan mempengaruhi kualitas tanah adalah nisbah C/N bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemberian bahan organik dengan cara dicampur, nisbah C/N bahan organik berkorelasi positif dengan C-organik, Cmic dan Cmic/Corg , N-total dan RPT, namun berkorelasi negatif dengan BI dan POM. Blanco-Canqui dan Lal (2004) menyatakan bahwa kadar lignin dan nisbah C/N merupakan parameter yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik, di mana pada tahap awal, dekomposisi bahan organik tergantung pada nisbah C/N, sedangkan dekomposisi tahap lanjut dikendalikan oleh kadar lignin.

Itulah sebabnya dalam jangka waktu 4,5 bulan aplikasi bahan organik, pengaruh nisbah C/N bahan organik nyata pengaruhnya. Selain nisbah C/N, Handayanto et al. (1997) mendapatkan bahwa nisbah lignin/polyphenol bahan organik juga nyata berpengaruh terhadap tingkat kecepatan dekomposisi. Kualitas bahan organik tidak berpengaruh terhadap beberapa sifat fisik tanah, sedangkan cara pemberian bahan organik nyata mempengaruhi sifat fisik tanah. Penyebaran mulsa di permukaan tanah berkorelasi positif dengan pori air tersedia, kadar air kapasitas lapang, dan indeks stabilitas agregat, namun berkorelasi negatif terhadap pori drainase cepat (pori aerasi) dan permeabilitas. Namun demikian, aplikasi bahan organik dengan nisbah C/N tinggi seperti flemingia (nisbah C/N=26) atau bahan organik berkadar P dan K tinggi seperti sisa tanaman jagung (mengandung 0,28% P dan 1,57% K) sebagai mulsa di permukaan tanah kurang menguntungkan bagi ketersediaan unsur C, N, P dan K pada Ultisol Jasinga terdegradasi karena laju mineralisasinya berjalan lebih lambat. Implikasi dari hasil penelitian tersebut adalah perlu adanya selektivitas dalam pemberian bahan organik di lapangan, artinya baik jenis maupun cara pemberian bahan organik harus disesuaikan dengan sifat-sifat tanah yang telah terdegradasi. Perubahan kualitas tanah akibat pemberian bahan organik dalam jangka pendek dapat dilihat dari perubahan fraksi bahan organik labil (particulate organic matter dan biomassa mikroorganisme). Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa bila bahan organik dicampur dengan tanah, POMt dan POMt/Corg berkorelasi positif dengan BI, tetapi berkorelasi negatif dengan RPT, PDC, K-tersedia dan Ntotal. Bila bahan organik disebar di permukaan tanah, Cmic berkorelasi positif dengan

116

kadar P-tersedia. Perubahan pada fraksi labil (Cmic dan POMt) mudah dideteksi dalam waktu singkat sehingga perubahan sifat fisik dan ketersediaan unsur hara makro tersebut lebih mudah diduga. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan fraksi bahan organik labil sangat berkaitan dengan tingkat kesuburan tanah (Sombroek dan Nacktergaele, 1993), dinamika unsur hara C dan N (Hassink, 1995), agregasi tanah (Beare et al., 1994b, Ding et al., 2002), sedangkan Anger et al. (1992) mendapatkan korelasi yang rendah antara C-organik dengan stabilitas agregat. Fakta tersebut menunjukkan bahwa untuk mempertahankan atau meningkatkan sifat-sifat tanah seperti BI, RPT, PDC, K-tersedia dan N-total, maka perlindungan terhadap fraksi labil bahan organik harus terus ditingkatkan. Informasi tersebut sangat berguna untuk mendeteksi terjadinya penurunan kualitas tanah dalam jangka pendek, semakin rendah kadar fraksi bahan organik dalam tanah maka dapat diduga terjadi penurunan sifat fisik dan kimia lainnya. Aplikasi di rumah kaca dalam jangka waktu 4,5 bulan, baik proses dekomposisi maupun reagregasi tanah belum berlangsung sempurna. Oleh karena itu, untuk melihat pengaruh kualitas bahan organik terhadap sifat fisik Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi masih perlu diamati dalam waktu yang lebih lama. Dalam jangka pendek, tidak terdapat pengaruh perbedaan nisbah C/N bahan organik, namun menurut Blanco-Canqui dan Lal (2004), pengaruh nisbah C/N bahan organik terhadap agregasi tanah dalam jangka panjang akan berbeda karena pengaruh bahan organik dengan nisbah C/N rendah bersifat sementara (transient), sedangkan pengaruh bahan organik dengan nisbah C/N tinggi bersifat gradual dan bertahan lama dalam tanah.

117

Di lapangan, aplikasi bahan organik flemingia, mukuna dan sisa tanaman jagung dikombinasikan dengan penerapan pengolahan tanah konservasi (pengolahan tanah minimum dan tanpa olah tanah). Mengingat Ultisol termasuk ordo tanah yang memiliki erodibilitas cukup tinggi (0,16 dan 0,33) dan sifat hujan yang cukup erosif, maka sebagian besar bahan organik diaplikasikan sebagai mulsa di permukaan tanah guna melindungi tanah dari energi hempasan butir-butir hujan dan mengurangi penyumbatan pori (soil sealing). Bahan organik segar flemingia diaplikasikan secara periodik yaitu sebelum tanam mukuna, dua minggu setelah tanam jagung dan dua minggu setelah tanam kacang tanah, sedangkan sisa tanaman jagung diaplikasikan dua minggu setelah tanam kacang tanah. Sebagian besar bahan organik tersebut diaplikasikan sebagai mulsa di permukaan tanah. Efek residu dari pemberian bahan organik flemingia (nisbah C/N tinggi) terjadi sepanjang tahun, karena diberikan secara bertahap. Hal ini, sejalan dengan yang dikemukan Handayanto et al. (1997) bahwa dampak penggunaan tanaman legum dengan nisbah C/N tinggi akan terlihat pada musim tanam selanjutnya.

Dampak kurang menguntungkan dari aplikasi bahan organik

sebagai mulsa seperti terhambatnya mineralisasi unsur hara makro N, P dan K, dapat disubstitusi dengan pemberian pupuk anorganik, sedangkan fungsinya dalam melindungi permukaan tanah dari energi hempasan hujan sulit digantikan, sehingga keberadaannya sebagai mulsa pada penerapan pengolahan tanah konservasi mutlak diperlukan. Penerapan pengolahan tanah konservasi (pengolahan tanah minimum dan tanpa olah tanah) pada Ultisol Jasinga belum mampu memperbaiki kualitas tanah

118

yang telah kehilangan tanah setebal 11,86 cm (dikupas 10 cm dan tererosi setebal 1,86 cm), meskipun telah diberi bahan organik segar sebanyak 19,51 t ha-1. Kualitas tanah seperti berat isi, porositas, agregat stabil tahan air, MWD, P-tersedia, Particulate organic carbon, dan C mic pada tanah tersebut hampir tidak mengalami perbaikan. th-1.

Erosi yang terjadi pada tanah tersebut relatif lebih tinggi yaitu 0,23 cm

Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Seybold, Hemick dan Brejda

(1999), tanah yang telah dikupas 10 cm dan tererosi 1,86 cm atau tanah yang telah kehilangan lapisan olah setebal 11,86 cm tergolong tanah yang mempunyai kapasitas untuk pulih (soil resilience) lebih rendah. Oleh karena itu, pengusahaan pola tanam jagung+kacang tanah pada Ultisol Jasinga yang telah kehilangan tanah setebal 11,86 cm perlu dipertimbangkan lagi atau jika akan tetap diusahakan maka pemberian bahan organik perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Pada tahun keempat (MT 2002/2003), penerapan tanpa olah tanah yang disertai rehabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau dan diberi bahan organik segar secara kontinu sebesar 21,13 t ha -1 menghasilkan kualitas tanah yang lebih baik. Hal tersebut terbukti dari adanya peningkatan kualitas agregat yang terlihat dari semakin meningkatnya ukuran MWD `dan persentase ASA. Beberapa penelitian mendapatkan hasil yang sama yaitu adanya dampak positif penerapan tanpa olah tanah dan pemberian bahan organik terhadap kualitas agregat tanah (Beare et al.,1994b; Oyedele et al.,1999; Six et al., 1999). Selain itu, hasil penelitian Novotny et al. (1999) membuktikan bahwa penerapan tanpa olah tanah dan pemberian bahan organik segar akan meningkatkan senyawa humat berukuran besar sehingga agregat tanah lebih terlindungi. Peningkatan kualitas agregat tanah ini akan meningkatkan

119

permeabilitas dan infiltrasi tanah (Kurnia, 1996; Zhang et al., 1997). Selain itu, dengan adanya perbaikan agregasi tanah maka kepekaan tanah terhadap erosi akan menurun (Hafif et al., 1993; Kurnia, 1996), dan kondisi ini sangat berguna bagi Ultisol yang merupakan ordo tanah yang peka terhadap erosi. Dengan demikian, untuk mempertahankan kualitas tanah pada Ultisol Jasinga yang telah terdegradasi, penerapan tanpa olah tanah selama dua musim tanam harus disertai dengan rehabilitasi dengan mukuna pada musim kemarau dan penyebaran bahan organik di permukaan tanah secara kontinu sebanyak 21,13 t ha-1 th-1. Kondisi curah hujan pada MT 2002/2003 tergolong tidak normal (1951 mm) lebih rendah dari curah hujan rata-rata tahunan (2905 mm). Selain jumlahnya, distribusinya selama pertanaman jagung dan kacang tanah kurang menguntungkan sehingga berdampak negatif terhadap hasil tanaman. Tanaman jagung mengalami kekeringan pada fase pengisian biji, sedangkan selama pertanaman kacang tanah, tingginya curah hujan selama fase vegetatif kacang tanah dan lebarnya kanopi tanaman sengon menyebabkan rendahnya hasil kacang tanah yang diperoleh. Kondisi iklim selama MT 2002/2003 tersebut, akan mengeliminir pengaruh perbaikan kualitas tanah yang terjadi terhadap hasil tanaman. Mengingat kualitas tanah pada tanah yang telah kehilangan lapisan tanah setebal 11,86 cm kurang baik, maka sebaiknya tanpa olah tanah tidak diterapkan pada kondisi tanah tersebut. Tanpa olah tanah tidak menghasilkan berat kering jagung (pipilan) yang tertinggi, tetapi berat kering kacang tanah (polong) yang dihasilkan relatif tinggi. Selain itu, hasil analisis anggaran parsial membuktikan bahwa perlakuan tersebut lebih layak untuk direkomendasikan karena memberikan nilai kembali

120

marjinal paling tinggi. Biaya tenaga kerja untuk pengolahan tanah cukup besar, sehingga tanpa pengolahan tanah dapat menghemat biaya yang cukup besar, meskipun hasil tanaman yang diperoleh bukan yang tertinggi. Jumlah bahan organik segar yang dihasilkan di lapangan sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah yang diberikan di rumah kaca. Pada penelitian di rumah kaca, pengaruh kualitas bahan organik terhadap kualitas tanah dapat dilihat dalam jangka waktu 4,5 bulan setelah aplikasi karena jumlah bahan organik kering yang diberikan mencapai 83,19-97,90 t ha-1 atau setara 40 t C ha-1. Sementara jumlah bahan organik kering yang diberikan di lapang selama satu tahun hanya sekitar 5,59-6,96 t ha-1 atau setara 2,64-3,28 t C ha-1. Upaya mendatangkan bahan organik dari tempat lain menjadikan biaya perbaikan kualitas tanah sangat tinggi dan sering kali tidak layak untuk dilakukan. Dengan demikian, pilihan terbaik agar kualitas tanah yang telah terdegradasi dapat ditingkatkan atau dipertahankan, maka pemberian bahan organik harus diberikan secara terus menerus dan bertahap walaupun dengan jumlah yang terbatas. Selain itu, perlu meminimalisasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan bahan organik seperti pengolahan tanah yang intensif atau perlu diterapkan pengolahan tanah konservasi secara meluas pada Ultisol yang telah terdegradasi.

121

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Nisbah C/N bahan organik pada Ultisol Jasinga terdegradasi, merupakan parameter kualitas bahan organik yang dominan mempengaruhi kualitas Corganik, POMp, Cmic, BI, RPT dan N-total, sedangkan kadar lignin bahan organik hanya berpengaruh terhadap C-organik, C mic dan nisbah C mic/Corg. Pengaruh nisbah C/N dan kadar lignin bahan organik ditentukan oleh cara pemberian bahan organik. 2. Kadar selulosa dan kadar K bahan organik mempengaruhi kadar K-tersedia dalam tanah, sedangkan P-tersedia hanya dipengaruhi oleh kadar P bahan organik, dan pengaruhnya tidak ditentukan oleh cara pemberian bahan organik. 3. Perubahan pada fraksi labil bahan organik (nisbah POMt/Corg dan C mic) akan diikuti oleh perubahan beberapa sifat kimia dan fisik tanah, namun pengaruhnya tergantung pada cara pemberian bahan organik: - pada pemberian bahan organik dengan cara dicampur, semakin tinggi nisbah POMt/Corg , semakin rendah ruang pori total, pori drainase cepat, K-tersedia dan N-total, namun berat isi semakin tinggi, dan semakin tinggi Cmic maka kadar N-total dalam tanah akan semakin tinggi. - pada pemberian bahan organik dengan cara disebar, semakin tinggi Cmic maka berat isi tanah dan P-tersedia semakin tinggi, tetapi ruang pori total semakin rendah.

4. Pemberian bahan organik secara periodik selama musim tanam 2002/2003 sebesar 21,32 t ha-1 mampu memperbaiki kualitas Ultisol Jasinga yang telah kehilangan lapisan atas tanah setebal 6,28 cm, tetapi pemberian bahan organik sebesar 19,51 t ha-1 belum mampu memperbaiki kualitas tanah yang telah kehilangan lapisan atas tanah setebal 11,86 cm. 5. Tanpa olah tanah pada Ultisol Jasinga terdegradasi selama dua musim tanam yang disertai dengan pemberian bahan organik secara periodik sepanjang tahun sebesar 21,13 t ha-1 dan di musim kemarau direhabilitasi dengan mukuna, menghasilkan kualitas tanah yang lebih baik, hasil jagung dan kacang tanah relatif lebih tinggi serta secara ekonomi lebih menguntungkan. Saran 1. Agar perbaikan kualitas Ultisol Jasinga terdegradasi dapat dicapai dengan cepat dan tepat, maka pemilihan bahan organik yang diberikan harus dilakukan secara selektif sesuai dengan sifat-sifat tanah yang telah terdegradasi. 2. Untuk meningkatkan kualitas Ultisol Jasinga terdegradasi, pengusahaan tanaman pangan pada tanah yang telah kehilangan lapisan atas setebal < 6,28 cm tidak perlu dilakukan pengolahan tanah, namun cukup dengan pemberian bahan organik sebesar > 21 t ha-1 th-1 yang diberikan secara periodik dengan cara disebar (dimulsakan) serta pada musim kemarau direhabilitasi dengan mukuna. 3. Mengingat kualitas tanah bersifat dinamis, maka perlu melihat pengaruh kualitas bahan organik terhadap kualitas tanah dalam jangka panjang karena dalam jangka pendek (4,5 bulan dari aplikasi) bahan organik belum berfungsi dengan sempurna.

123

DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A. 1989. Rainfall erosivity and soil erodibility in Indonesia: Estimation and variation with time. Thesis Doctor. Faculty of Agricultural Sciences. Ghent. Belgium. Anas, I., D. A. Santosa dan R Widyastuti. 1997. Penggunaan ciri mikrobiologi dalam mengevaluasi degradasi tanah. Dalam Subagyo, H., S. Sabiham, R Shofiyati, A. B. Siswanto, F. Agus, A. Rachman dan S. Ropiq (Eds.). Buku I. Prosiding Kongres Nasional VI HITI. Bogor. Hal. 607-615. Anderson, J.M., and J.S. I. Ingram. 1993. Tropical soil biology and fertility. A Handbook of Methods. 2 nd. CAB Int. Willingford. p 41 – 68. Anderson, T. H. and K. H. Domsch. 1998. Ratio of microbial biomass carbon to total organic carbon in arable soils. Soil Biol. Biochem. 21(4): 471-479. Angers, D. A., A. Pesant, and J. Vigneux. 1992. Early cropping induced changes in soil aggregation, organic mattter, and microbial biomass. Soil. Sci. Soc. Am. J. 56: 115-119. , R. P. Voroney, and D. Cote. 1995. Dynamics of soil organic matter and corn residue affected by tillage practices. Soil. Sci. Soc. Am. J. 59: 13111315. Arshad, A.R. 1992. Usaha perbaikan sifat fisik tanah Ultisols dengan kapur dan bahan organik dalam hubungannya dengan pengikisan tanah dan produksi kacang tanah. Pendidikan Pascasarjana KPK IPB-UNAND. Universitas Andalas Padang. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Penerbit IPB. 290 hal. Balesdent, J., C. Chenu and M. Balabane. 2000. Relationship of soil organic matter dynamics to physical protection and tillage. Soil Till. Res. 53: 215-230. Barrow, C. J. 1991. Land Degradation: Development and Breakdown of Terrestrial Environments. Cambridge Univ. Press. Cambridge, New York. 295pp. Beare, M. H., M. L. Cabrera, P. F. Hendrix and D. C. Coleman. 1994a. Aggregateprotected and unprotected organic matter pools in conventional and no tillage soils. Soil. Sci. Soc. Am. J. 58: 786-795.

Beare, M. H., P. F. Hendrix and D. C. Coleman. 1994b. Water-stable aggregates and organic matter fraction in conventional and no-tillage soils. Soil. Sci. Soc. Am. J. 58: 777-786. Bergstrom, D. W., C. M. Monreal and D. J. King. 1998. Sensitive of soil enzyme activities to conservation practices. Soil. Sci. Soc. Am. J. 62: 1286-1295. Blanco-Canqui, H. and R. Lal. 2004. Mechanisms of carbon sequestration in soil agre-gates. Cri. Rev. in Plant Sci. 23(6):481-504. Cambardella, C. A. and E. T. Elliott. 1992. Particulate soil organic matter change across a grassland cultivation sequence. Soil. Sci. Soc. Am. J. 56: 777-783. Chantigny, M. H., D.A. Angers, D. Prevost, L.P. Vezina, and F. P. Chalifur. 1997. Soil aggregation and fungal and bacterial biomass under annual and perennial cropping systems. Soil. Sci. Soc. Am. J. 61: 262-267. , D. Prevost, D. A. Angers, L. P. Vezina, and F. P. Chalifur. 1996. Microbial biomass and nitrogen transformation in two soils cropped with annual and perennial species. Biol. Fertil. Soils 21: 239-244. Chan, K. Y. 1997. Consequences of changes in particulate organic carbon in Vertisols under pasture and cropping. Soil. Sci. Soc. Am. J. 61:1376-1382. Collin, H. P., P. E. Rasmussen, and C. L. Douglas Jr. 1992. Crop rotation and residue management effect on soil carbon and microbial dynamics. Soil. Sci. Soc. Am. J. 56: 783-788. Dalal, R. C. 1998. Soil microbial biomass - what do the number really mean?. Aus. J. Exp. Agric. 38: 649 – 665. , and R. J. Mayer. 1986. Long-term trends in fertility of soils under continous cultivation and cereal cropping in southern Queensland. III. Distribution and kinetics of soil organic carbon in particle-size fraction. Aust. J. Soil Res. 24:293-300. Daly, B.K., J.L. Wainiqolo, K. Chaud, and P.B.S. Hart. 1993. The use of microbial biomass carbon for monitoring organic matter dynamics under cropping and agroforestry in two Fiji Soils. In. Report of the Experts Consultation of the Asian Network on Problem Soils. Bangkok, 25 – 29 Oct 1993. p 24-37. Dao, T.H.. 1998. Tillage and crop residue effects on carbon dioxide evolution and carbon storage in Paleustoll. Soil. Sci. Soc. Am. J. 62: 250-256.

125

Dent, F. J. 1993. Towards a standart methodology for the collection and analysis of land degradation data. Proposal for discussion. In. Report of the Experts Consultation of the Asian Network on Problem Soils. Bangkok, 25–29 Oct 1993. p 1-10. Ding, D., J. M. Novak, D. Amarasiriwardena, P. G. Hunt, and B. Xing. 2002. Soil organic matter characteristics as affected by tillage management. Soil Sci. Soc. Am. J. 66:421–429 (2002). Doran, J. W., and T. B. Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality. In. J. W. Doran, D. C. Coleman, D. F. Bezdicek and B. A. Stewart (Eds.). Defining Soil Quality for Sustainable Environment. SSSA Spec. Publ. Number 35. Madison. WI, USA. p 3-21. , M. Sarrantino, and M. A. Liebig. 1996. Soil health and sustainability. Adv. Agron. 56:1-54. Emmerson W.W. and D.J. Greenland. 1990. Soil aggregates formation and stability. In De Boodt M. F., Hayes M.H.D., Herbillon A. (Eds.). Soil Colloids and Their Assosiation in Aggregates. New York: Plenum Press. p 485-512. FAO-UN. 1985. Erosion-Induced Loss in Soil Productivity: A Research Design. Soil Conservation Programme, Land and Water Development Division. Working Paper No. 2. AGLS, FAO Rome. Fragoso C., G.G. Brown, J.C. Patron, E. Blanchart, P. Lavelle, B. Pashanasi, B. Senapati, and T. Kumar. 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in tropics; the role of earthworms. Appl. Soil Ecol. 6:17-35. Franzluebbers, A. J. and M. A. Arshad. 1997. Soil microbial biomass and mineralizable carbon of water stable aggregates. Soil. Sci. Soc. Am. J. 61: 10901097. , D. A. Zuberer, and F.M. Hons. 1995. Comparation of microbiological methods for evaluating quality and fertility of soil. Biol. Fertil. Soils. 19:135-140. Gijsman, A. J. 1996. Soil aggregate stability and soil organic matter fraction under agropastoral systems establised in native savanna. Aus. J. Soil Res. 34: 891907. Golchin, A., J. M. Oades, J. O. Skjemstad, and P. Clarke. 1994. Study of free and occluded particulate organic matter in soils by solid state CP/MAS NMR spectroscopy and scanning electron microscopy. Aust. J. Soil Res. 32: 285-309

126

Gowin, V. L., A. C. Kennedy, R. Veseth, and B. C. Miller. 1999. Soil quality changes in eastern Washington with Conservation Reserve Program (CRP) take out. J. Soil and Water Cons. 64: 432-438. Hafif, B., D. Santoso, S. Adiningsih, dan H. Suwardjo. 1993. Evaluasi penggunaan beberapa pengelolaan tanah untuk reklamasi dan konservasi lahan terdegradasi. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk 11: 7-12. Handayanto, E., K. E. Giller, and G. Cadisch. 1997. Regulating N release from legume tree prunings by mixing residue of different quality. Soil Biol. Biochem 29(9). 1417-1426. Haridjaja, O. 1996. Pemanfaatan bahan organik dalam menunjang pembangunan pertanian lahan kering yang berwawasan lingkungan. Makalah disajikan pada Konferensi Nasional XIII Pusat Studi Lingkungan. Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan Indonesia (BKPSL). Denpasar, 22-24 Oktober 1996. . 2005. Pentingnya konservasi sumberdaya lahan. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Save Our Land for the Better Environment. HMIT-IPB. Bogor, 10 Desember 2005. Hassink, J. 1995. Density fraction of soil macroorganic mattter and microbial biomass as predictors of C and N mineralization. Soil Biol. Biochem. 27(8): 1099-1108. Havlin, J. L., D. E. Kissel, L. D. Maddux, M. M. Claasen, and J. H. Long. 1990. Crop rotation and tillage effect on soil organic carbon and nitrogen. Soil. Sci. Soc. Am. J. 54:448-452. Irianto, G., A. Abdurachman, dan I. Juarsah. 1993. Rehabilitasi tanah Tropudults tererosi dengan sistem pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia congesta L. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk 11: 13-18. Islam, K. R., and R. R. Weil. 2000. Soil quality indicator properties in mid-Atlantic soils as influenced by conservation management. J. Soil and Water Cons. 55:6978. Janzen, H. H., C. A. Campbell, S. A. Brandt, G. P. Lafond and L. Townley-Smith. 1992. Light-fraction organic mattter in soils from long-term crop rotations. Soil. Sci. Soc. Am. J. 56: 1799-1806. Jastrow, J. D., T. W. Boutton and R. M. Miller. 1996. Carbon dynamics of aggregate-associated organic matter estimated by carbon-13 natural abundance. Soil. Sci. Soc. Am. J. 60:801-807.

127

Joergensen R.G. 1996. The Fumigation-extraction method to estimate soil microbial biomass calibration of the kEC value. Soil Biol. Biochem. 28(1): 25-31. Karlen, D. L., M. J. Mausbach, J. W. Doran, R. G. Cline, R. F. Harris, and G. E. Schuman. 1997. Soil Quality: a concept, definition, and framework for evaluation (A guest editorial). Soil. Sci. Soc. Am. J. 61: 4-10. , J. C. Gardner, and M. J. Rosek. 1998. A soil quality framework for evaluating the impact of CRP. J. Prod. Agric. 11(1):56-60. , M. J. Rosek, J. C. Gardner, D. L. Allan, M. J. Alms, D. F. Bezdicek, M. Flock, D. R. Huggins, B. S. Miller, and M. L. Stabel. 1999. Conservation reserve program effects on soil quality indicators. J. Soil and Water Cons. 54:439-444. Killham, K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press. Kurnia, U dan Suwardjo. 1984. Kepekaan erosi pada beberapa jenis tanah di Jawa menurut metoda USLE. Pembrt. Penel. Tanah dan Pupuk 3:17-20. , A. Abdurrachman, dan S. Sukmana. 1986. Comparison of two methods in assessing the soil erodibility factor of selected soils in Indonesia. Pembrt. Penel. Tanah dan Pupuk 5:33-37. . 1996. Kajian metode rehabilitasi lahan untuk meningkatkan dan melestarikan produktivitas tanah. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Lal, R. 1994. Method and Guidelines for Assessing Sustainable Use for Soil and Water Resources in the Tropics. SMSS Tech. Monograph no. 21. USDA. 78 p. Larson, W. E., and F. J. Pierce., 1994. The dynamics of soil quality as a measure of sustainable management. In. J. W. Doran, D. C. Coleman, D. F. Bezdicek and B. A. Stewart (Eds.). Defining Soil Quality for Sustainable Environment. SSSA Spec. Publ. Number 35. Madison. WI, USA. p 53-71. Lembaga Penelitian Tanah. 1966. Peta tanah tinjau Kebupaten Bogor. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor. . 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor.

No. 2.

Lu, G., K. Sakagami, H. Tanaka, and R. Hamada. 1998. Role of organic mattter in stabilization of water stable aggregates in soils under different types of land use. Soil Sci. Plant Nutr., 44 (2): 147-155.

128

Meijboom, F., J. Hassink, and M.van Noordwijk. 1995. Density fractionation of soil organic matter using silica suspensions. Soil Biol. Biochem. 27(8):1109-1111. Novotny, E.H., W.E.H. Blum, M. H. Gerzabek, and A.S. Mangrich. 1999. Soil management systems effect on size fractionated humic substances. Geoderma 92: 87 – 109. Nugrahaeni, N. 1993. Pemuliaan kacang tanah untuk ketahanan terhadap penyakit dan cekaman lingkungan fisik. Monograf Balittan Malang No.12.: Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Nursyamsi, D., M. Osaki, and T. Tadano. 2002. Mechanism of aluminium toxicity avoidance in tropical rice (Oryza sativa), maize (Zea mays) and soybean (Glycine max). Indon. J. Agric. Sci. 5(1):12-24. Oades, J.M. 1990. Association of colloids in soil aggregates. In De Boodt M. F., Hayes M.H.D., Herbillon A. (Eds.). Soil Colloids and Their Assosiation in Aggregates. New York: Plenum Press. p 463-483. Obi, M. E. 1999. The physical and chemical responses of a degraded sandy clay loam soil to cover crop in Southern Nigeria. Plant Soil. 211: 165 – 172. Okalebo, J. R., K W. Gathua and P L. Woomer. 1993. Laboratory methods of soil and plant analysis. A working manual. UNESCO Oldeman L. R. 1993. An international methodology for an assesment of soil degradation land georeferenced soil and terrain database. In. Report of the Experts Consultation of the Asian Network on Problem Soils. Bangkok, 25 – 29 Oct 1993. p 35-60. Oyedele, D. J., P. Schjonning, E. Sibbesen and K. Debosz. 1999. Aggregation and organic matter fraction of three Nigerian soils as affected by soil disturbance and incorporation of plant material. Soil Till. Res. 50: 105-114. Parr, J. F., R. I. Papendick, S. B. Homick, and R. E. Meyer. 1992. Soil quality: attributes and relationship to alternative and sustainable agriculture. Am. J. Alter. Agric. 7 (1,2): 5-11. Parton, W. J., D. S. Schimel, C.V. Cole, and D. S. Ojima. 1987. Analysis of factors controlling soil organic matter levels in Great Plains Grasslands. Soil. Sci. Soc. Am. J. 51:1173-1179.

129

Purnomo, J., M. Mulyadi, I. Amien, dan H. Suwardjo. 1992. Pengaruh bahan hijauan tanaman kacang-kacangan terhadap produktivitas tanah rusak. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk 10: 61-65. Rapa-FAO. 1993. Summary of recommendation and conclutions. In Report of the Expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils, 25-29 Oct., 1993. Bangkok. Thailand. p 16-21. Rasiah, V., and B.D. Kay. 1999. Temporal dynamics of microbial biomass and mineral N in legume amended soils from spatially variable landscape. Geoderma. 92: 239-256. Sainju, U. M., T. H. Terrill, S. Gelaye, and B. P. Singh. 2003. Soil aggregation and nitrogen pools under rhizoma peanut and perennial weeds. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:146-155. Scholes, M. C., D. Powlson, and G Tian. 1997. Input control of organic matter dynamics. Geoderma. 79:25-47. Seybold, C.A., J.E. Hemick, and J.J. Brejda. 1999. Soil resilience: a fundamental com-ponent of soil quality. Soil Sci. 164 (4):224-233. Sherrod, L. A., G. A. Peterson, D. G. Westfall, and L. R. Ahuja. 2003. Cropping intensity enhances soil organic carbon and nitrogen in a no-till agroecosystem. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1633-1543. Sinukaban, N. 1999. Prinsip penetapan kriteria penilaian lahan kritis. Makalah pada Lokakarya Nasional Kebijaksanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor, 18 Pebruari 1999. Situmorang, R. 1999. Pemanfaatan bahan organik setempat, Mucuna sp. dan fosfat alam untuk memperbaiki sifat-sifat tanah Palehumults di Miramontanan, Sukabumi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Six J., E T. Elliot, and K. Paustian. 1999. Aggregate and soil organic matter dynamics under conventional and no tillage systems. Soil. Sci. Soc. Am. J. 63: 1350-1358. Sombroek, W.G. and F. O. Nacktergaele. 1993. Identification and Management of Problem Soils in Tropics and Subtropics (with emphasis on the Asia Pasific Region). In Report of the Expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils, 25-29 Oct., 1993. Bangkok. Thailand. p 61-68.

130

Staben, M. L., D. F. Bezdicek, J. L. Smith, and M. F. Fauci. 1997. Assessment of soil quality in conservation reserve program and wheat-fallow soils. Soil. Sci. Soc. Am. J. 61: 124-130. Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry, Genenis, Composition, Reaction. 2 New York. John Wiley and Sons.

nd

ed.

Sudarsono. 1991. Pengaruh tiga cara pengembalian jerami ke dalam tanah Renzina terhadap: (1) komposisi bahan organik tanah. J Il. Pert. Indon. 1: 79-84. Sukristyonubowo, Mulyadi, P. Wigena, dan A. Kasno. 1993. Pengaruh penambahan bahan organik, kapur dan pupuk NPK terhadap sifat kimia tanah dan hasil kacang tanah. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk. 11: 1-6. Sumarno dan P. Slamet. 1993. Fisiologi dan pertumbuhan kacang tanah. Monograf Balittan Malang No.12. Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. dan N. Sinukaban. 1986. Masalah erosi dan kesuburan tanah di lahan kering Podsolik Merah Kuning di Indonesia. Makalah Lokakarya Usahatani Konservasi di Lahan Alang-Alang Podsolik Merah Kuning di Palembang. 1113 Pebruari 1986. , A. Abdurachman, and S. Abunyamin. 1989. The use of crop residue mulch to minimize tillage frequency. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk 8:31-37. , and N. L. Nurida. 1993 Land degradation in Indonesia: Data Collec-tion and Analysis. In. Report of the Experts Consultation of the Asian Network on Problem Soils. Bangkok, 25 – 29 Oct 1993. p 121-135. Tisdale, S.L., and W.L. Nelson. 1975. Macmillan New York. 754pp.

Soil Fertility and fertilizers.

3rd ed.

USDA. 1996. Soil quality information sheet. Natural Resources Conservation Services. April 1996. Utomo, W. H., S. M. Sitompul, and M. van Nordwijk. 1992. Effect of leguminous cover crops on subsequent maize and soyben crops on an Ultisol in Lampung. Agrivita. 15:44-53. Verstraete, W. 1989. Soil Microbial Ecology. State Univ. Ghent.

131

Wander, M. M., S. J. Traina, B. R. Stinner and S. E. Peters. 1994. Organic and conventional management effects on biologically active soil organic matter pools. Soil. Sci. Soc. Am. J. 58: 1130-1139. Winarso, S. 1996. Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pengkhelatan aluminium oleh senyawa-senyawa humik Typic Haplohumult. Tesis Program Pascasarjana,IPB. Bogor Yakovchenko, V., L.J. Sikora, and D.D. Kaufman. 1996. A biologically based indicator of soil quality. Biol. Fertil. Soils. 21 : 245-251. Zhang H., K.H. Hartge, and H. Ringe. 1997. Effectiveness of organic matter incorporation in reducing soil compactibibility. Soil. Sci. Soc. Am. J. 61: 239-245. Zhu, Y. G. and Lou Jian-Xian. 1993. Release of non-exchangeable soil K by organic acids. Pedosphere 3:269-276.

132

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Tanah yang Digunakan untuk Penelitian Rumah Kaca No. 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1

Parameter

Nilai

Sifat Kimia Tanah C-organik (%) N-total (%) C/N pH H 20 P-tersedia (ppm) K-tersedia (ppm) Sifat Fisik Tanah Kadar air (%) Berat isi (gr cm-3) Ruang pori total (% vol.) Pori drainase cepat (% vol.) Pori air tersedia (% vol.) Permeabilitas (cm jam-1) Sifat Biologi Tanah C mic (µg gr-1 tanah)

2,97 0,23 13 4,36 9,1 71,1 32,3 0,80 69,8 27,3 11,1 8,65 495,0

Lampiran 2. Jumlah Bahan Organik Segar yang Diberikan pada Penelitian Rumah Kaca (Setara 2% C-organik Tanah) Perlakuan Mukuna

Mukuna

Flemingia

Jagung

--------- kg 10kg-1 tanah ---------1,1 0,0 0,0

Mukuna

Flemingia

Jagung

---------- t ha-1 ---------295,6 0,0 0,0

Flemingia

0,0

1,2

0,0

0,0

244,0

0,0

Jagung

0,0

0,0

1,6

0,0

0,0

390,8

Mu+Fle

0,5

0,6

0,0

147,8

122,0

0,0

Fle+Jg

0,0

0,6

0,8

0,0

122,0

195,4

Mu+Jg

0,5

0,0

0,8

147,8

0,0

195,4

Mu+Fle+Jg

0,0

0,4

0,5

98,5

81,3

130,3

Mu : mukuna ; Fle : flemingia ; Jg : jagung

134

Lampiran 3. Jenis dan Dosis Pupuk yang Digunakan pada Penelitian Rumah Kaca Pupuk

Kandungan

Dosis (ppm)

g 10kg-1 tanah

Urea

45 % N

240

5,3

SP 36

36 % P2O5

180

5,0

KCl

52% K2O

180

3,5

Dolomit

11,8

Lampiran 4. Jarak Tanam, Jenis dan Dosis Pupuk yang Diberikan pada Penelitian Lapangan Jenis Tanaman

Dosis Pupuk1 (kg ha-1)

Jarak tanam (cm)

N

P2O5

K2O

Kaptan

Mukuna

20 x 20

45

36

0

0

Jagung

85 x 30

90

90

50

0

Kacang tanah

30 x 20

45

90

25

1000

1

Sumber pupuk : N = Urea; P 2O5 = SP 36; dan K2O = KCl; N diberikan dua kali yaitu pada saat tanam dan 30 hari setelah tanam, sedangkan P 2O5 dan K2O diberikan sekaligus pada saat tanam. Kaptan diberikan saat tanam di larikan sekitar lubang tanam.

135

Lampiran 5. Berat Kering, Kandungan Hara dan Komponen Organik Utama dari Bahan Organik yang Diberikan pada Penelitian Lapangan Perlakuan

Berat kering bahan organik (t/ha)

C

N

C/N

P

-1

K ----------

Lignin -1

kg ha

Selulosa

----------

Lignin/

Mu

Fle

Jg

Total

---- t ha ----

selulosa

Tanah dikupas 0 cm Tanah dikupas 5 cm Tanah dikupas 10 cm

0,51 0,55 0,64

2,93 3,38 3,19

0 0 0

3,45 3,93 3,84

1,65 1,89 1,84

0,07 0,08 0,08

24 24 24

5,86 6,69 6,52

30,62 35,03 33,87

638,39 730,92 705,05

1167,98 1334,01 1297,68

0,55 0,55 0,54

Diolah+mukuna Tidak diolah-mukuna Diolah-mukuna Tidak diolah+mukuna

1,03 0 0 1,25

2,04 4,00 3,47 3,17

0 0 0 0

3,07 4,00 3,47 4,42

1,46 1,92 1,67 1,93

0,07 0,08 0,07 0,08

22 26 26 23

5,22 6,80 5,89 7,51

25,66 37,19 32,23 37,61

525,10 785,80 680,89 719,31

1021,84 1374,46 1190,96 1355,80

0,51 0,57 0,57 0,53

Tanah dikupas 0 cm Tanah dikupas 5 cm Tanah dikupas 10 cm

0 0 0

1,91 2,30 1,72

0,62 0,69 0,70

2,52 2,99 2,44

1,17 1,39 1,12

0,05 0,06 0,05

24 24 24

4,94 5,83 4,92

27,27 32,18 27,21

401,06 480,70 370,81

929,53 1100,04 914,17

0,44 0,44 0,42

Diolah+mukuna Tidak diolah-mukuna Diolah-mukuna Tidak diolah+mukuna

0 0 0 0

2,05 1,95 2,10 1,84

0,47 1,01 0,64 0,53

2,52 2,96 2,74 2,37

1,18 1,35 1,27 1,10

0,05 0,06 0,05 0,05

24 23 24 24

4,80 6,15 5,37 4,61

26,43 34,04 29,63 25,44

422,80 425,23 438,92 383,15

916,18 1126,41 1011,33 871,06

0,47 0,38 0,44 0,45

Selama pertanaman jagung

Selama pertanaman kacang tanah

Keterangan : Perhitungan berdasarkan hasil analisis daun yang tertera pada Lampiran 2. Mu: mukuna; Fle: flemingia; Jg: jagung

136

5 cm

10 cm

Diolah+mukuna Tidak diolah-mukuna Diolah-mukuna Tidak diolah+mukuna Diolah+mukuna Tidak diolah-mukuna Diolah-mukuna Tidak diolah+mukuna Diolah+mukuna Tidak diolah-mukuna Diolah-mukuna Tidak diolah+mukuna

Keterangan:

1 2

: Diberikan empat bulan sebelum tanam jagung : Diberikan saat pengolahan tanah

3

4

Selama tanam kacang tanah

Total

Jagung 4

2,37 5,20 4,44 4,39 3,79 6,01 5,40 3,89 2,02 6,41 5,35 4,04

-------------------- t ha-1 -------------------3,05 3,01 8,42 1,29 5,71 6,99 0,00 5,13 10,33 3,85 4,99 8,84 0,00 5,72 10,16 2,68 6,12 8,80 4,08 4,14 12,62 1,82 5,63 7,45 4,15 4,94 12,87 1,82 6,95 8,77 0,00 6,01 12,02 4,55 7,23 11,77 0,00 4,97 10,37 2,57 6,82 9,39 3,56 4,62 12,07 2,02 6,00 8,02 7,89 3,57 1,80 7,38 2,49 5,40 0,00 6,41 12,83 3,73 4,94 8,67 0,00 4,60 9,95 2,47 5,52 7,99 5,38 6,81 16,23 2,53 4,54 7,07

Selama tanam jagung

Flemingia 4

Flemingia 3

Mukuna,2

0 cm

Pengolahan tanah dan pemberian bahan organik

Flemingia 1

Pengupasa n tuna

Lampiran 6. Jumlah Bahan Organik Segar yang Diberikan pada Masing-Masing Kombinasi Perlakuan pada MT 2002/2003

15,42 19,18 18,96 20,07 21,65 23,79 19,76 20,09 15,28 21,50 17,94 23,29

: Diberikan saat jagung berumur dua minggu : Diberikan saat kacang tanah berumur dua minggu

Lampiran 7. Parameter dan Metode Analisis yang Digunakan No. 1.

Kelompok analisis Sifat fisik tanah

2.

Sifat kimia tanah

3.

Fraksionasi bahan organik: Analisis tanaman

4.

Parameter

Metode Analisis

Berat Isi (BI) Porositas pF Stabilitas Agregat Agregat stabil tahan air Permeabilitas pH H2O C-organik N total P tersedia K tersedia Fraksi ringan (POM) Cmic C N P

Gravimetri Gravimetri Pressure plate Pengayakan basah dan kering Pengayakan basah Klute Elektroda gelas CHNS-autoanalyzer, Walkley dan Black CHNS-autoanalyzer, Kjeldahl Bray-2 Bray-2 Okalebo et al. (1993) Fumigasi ekstraksi Walkley dan Black Kjeldahl Pengabuan basah dengan HNO3 dan HClO 4 Pengabuan basah dengan HNO3 dan HClO 4 Van Soest Van Soest

K Lignin Selulosa

137

Lampiran 8. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Lokasi Penelitian di Kampung Kebon Panas, Desa Jasinga, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Klasifikasi tanah Bahan Induk Fisiografi Bentuk wilayah Vegetasi

: Typic Haplohumult : Tufa masam : Perbukitan : Berombak sampai bergelombang (5-15%) : Alang-alang, rumput-rumputan dan puspa

Horison

Uraian

Ap

0 – 11 cm. Coklat gelap (10YR 4/3); liat; gumpal membulat lemah sampai sedang, halus; lekat; pori mikro sedikit; makro sedang; beralih nyata dan rata

AB

11 – 40 cm. Coklat gelap kekuningan (10YR 4/4); liat; gumpal membulat sedang sampai kuat, halus sampai sedang; sedang lekat; pori mikro sedikit, makro sedang; beralih nyata dan rata.

B2.1

40-77 cm. Coklat kuat (7.5 YR 4/6) dan 10 % coklat kekuningan (10YR 5/4); liat; gumpal membulat, sedang, halus sampai sedang; sangat lekat; pori mikro sedikit, makro sedang; beralih nyata dan rata.

B2.2

77 – 110 cm. Coklat kuat (7.5YR 4/6) dan coklat kekuningan (105YR 5/4)dan merah (2.5YR 4/6); liat; gumpal membulat sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat; pori mikro sedikit, makro sedang; beralih nyata dan rata.

BC

>110 cm . Coklat kuat (7.5YR 4/6) dan 25 % merah (2.5YR 4/6); lempung liat berpasir; gumpal membulat, sedang sampai kuat, sedang sampai kasar; pori mikro sedikit, makro sedikit.

Catatan : Perakaran halus sedang sampai kedalaman 40 cm dan kasar sedikit sampai kedalaman 25 cm. Sumber : Kurnia (1996)

138

Lampiran 9. Korelasi Kualitas Bahan Organik dengan Sifat Tanah pada Penelitian Rumah Kaca Sifat tanah

N

C/N

BI

-0,053

-0,056

RPT

0,057

0,054

Sifat fisik

Kandungan unsur bahan organik Lignin Selulosa L/Se Pemberian bahan organik disebar -0,167 0,271 -0,206 0,149

-0,248

P

K

0,183

Pemberian bahan organik dicampur BI RPT

0,428

++

-0,437*

++

-0,123

-0,178

-0,023

++

0,120

0,189

0,017

-0,386 0,395

Pemberian bahan organik disebar dan dicampur KA

0,090

-0,118

-0,012

-0,054

-0,033

PDC

-0,163

0,156

0,034

0,085

-0,007

PAT

0,207

+

-0,050

-0,097

-0,035

Permeabilitas

0,001

0,060

0,053

-0,074

0,074

-0,260

-0,295+

0,182

-0,260

ISA

0,273

+

-0,202

+

Sifat kimia

Pemberian bahan organik disebar

P-tersedia

0,103

-0,152

-0,317 +

0,347 +

-0,281

0,410 ++

0,339 +

C-organik

0,212

-0,253

-0,276

0,208

-0,265

0,148

0,186

0,399 ++

-0,385 ++

-0,273

0,049

-0,182

0,239

0,006

N-total

Pemberian bahan organik dicampur P-tersedia

-0,158

0,151

-0,211

0,416 ++

-0,291 +

0,351 +

0,437 +

C-organik

-0,641**

0,647**

0,471*

-0,127

0,388 ++

-0,113

-0,059

N-total

-0,617**

0,596**

0,269

0,130

0,164

0,097

0,198

Pemberian bahan organik disebar dan dicampur pH

-0,172

0,168

0,090

0,016

0,077

-0,014

0,034

K-tersedia

-0,135

0,120

POMt POMp POMt/Corg

0,248

+

0,283

++

0,299

++

-0,344*

0,578**

-0,417*

0,477**

0,598**

-0,274

++

-0,131

-0,019

-0,104

-0,036

-0,046

-0,287

++

-0,127

-0,055

-0,084

-0,043

-0,085

-0,127

-0,066

-0,094

-0,085

-0,098

-0,314*

Sifat biologi

Pemberian bahan organik disebar ++

-0,421 ++

0,375 ++

-0,390 ++

0,475*

0,351 +

-0,415 ++

0,365 ++

-0,385 ++

0,469*

0,342+

Cmic

0,248

-0,388

Cmic/Corg

0,229

-0,388 ++

Pemberian bahan organik dicampur Cmic

-0,718**

0,618**

0,400 ++

0,031

0,308 ++

0,046

0,108

Cmic/Corg

-0,634**

0,524*

0,326 +

0,065

0,248

0,095

0,133

Keterangan : ** = P < 0,01 ; * = P < 0,05; ++= P < 0,1; + = P < 0,2

139

Lampiran 10. Korelasi Kualitas Tanah dengan Berat Kering Jagung (Pipilan) dan Berat Kering Kacang Tanah (Polong) Berat kering jagung (pipilan)

Berat kering kacang tanah (polong)

BI

-0,474**

0,129

RPT

0,475**

0,403*

PDC

0,413*

-0,148

PAT

-0,044

0,206

Permeabilitas

0,093

-0,219+

ISA

0,188

-0,161

WSA

-0,103

0,260+

MWD

-0,110

0,048

pH H 2O

0,108

0,045

P-tersedia

-0,017

-0,154

K-tersedia

-0,024

-0,130

C-organik

-0,018

0,024

N-total

0,052

0,034

C/N

-0,238+

0,159

POMt

-0,173

-0,143

POMt/Corg

-0,083

-0,209

-0,308++

-0,075

+

-0,044

Peubah

C mic C mic/Corg

-0,241

Keterangan : ** = P < 0,01 ; * = P < 0,05; ++= P < 0,1; + = P < 0,2

140

Lampiran 11. Analisis Ragam Sifat Tanah dan Tanaman pada Penelitian Rumah Kaca Sumber keragaman Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%)

Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%) Sumber keragaman Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%)

Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%)

Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%)

Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%) Sumber keragaman Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%)

Cara pemberian (A) Sumber BO (B) A*B KK (%)

KA F-hitung Pr > F 12,98 0,0012 1,51 0,2104 0,87 0,5307 20,98 PDC F-hitung Pr > F 36,04 0,0001 1,60 0,1847 1,42 0,2433 12,87 ISA F-hitung Pr > F 19,99 0,0001 2,01 0,0971 0,22 0,9668 16,20 P-tersedia F-hitung Pr > F 20,87 0,0001 1,27 0,3043 1,89 0,0477 21,29 POMt F-hitung Pr > F 17,95 0,0002 1,64 0,1745 1,33 0,2777 3,82 Cmic F-hitung Pr > F 3,09 0,0898 22,93 0,0001 15,68 0,0001 4,75 Tinggi tanaman 4 mg F-hitung Pr > F 16,19 0,0004 0,84 0,5467 0,20 0,9743 11,91 Berat tongkol kering F-hitung Pr > F 4,05 0,0593 1,50 0,2145 0,55 0,7638 16,97

BI F-hitung 88,91 1,10 3,10

Pr > F 0,0001 0,3887 0,0185 5,99 PAT

F-hitung Pr > F 10,39 0,0032 0,93 0,4906 0,81 0,5686 10,32 pH F-hitung Pr > F 6,30 0,0182 0,78 0,5913 0,96 0,4709 4,23 C-organik F-hitung Pr > F 10,64 0,0029 1,10 0,3877 2,50 0,0461 7,69 POMp F-hitung Pr > F 20,22 0,0001 2,15 0,0484 1,41 0,2462 5,18 Cmic/Corg F-hitung Pr > F 0,38 0,5434 19,78 0,0001 9,14 0,0001 17,79 Tinggi tanaman 6 mg F-hitung Pr > F 8,38 0,0073 0,74 0,6224 0,55 0,6780 8,48 Berat pipilan kering F-hitung Pr > F 2,94 0,0973 1,84 0,1268 0,59 0,7354 21,66

RPT F-hitung Pr > F 90,76 0,0001 1,13 0,3697 3,18 0,0166 2,21 Permeabilitas F-hitung Pr > F 22,39 0,0001 0,42 0,8596 0,46 0,8306 22,45 K-tersedia F-hitung Pr > F 25,70 0,0001 5,95 0,0004 0,42 0,8574 24,03 N-total F-hitung Pr > F 10,05 0,0037 0,91 0,5054 2,56 0,0419 8,23 POMt/Corg F-hitung Pr > F 10,04 0,0037 2,54 0,0435 0,84 0,5472 9,92 Tinggi tanaman 2 mg F-hitung Pr > F 17,58 0,0003 1,60 0,1829 1,69 0,1593 9,54 Tinggi tanaman 8 mg F-hitung Pr > F 0,03 0,8551 2,92 0,0244 2,41 0,0572 9,18 Berat bahan organik F-hitung Pr > F 6,62 0,0157 1,21 0,3293 0,30 0,9338 6,98

141

Lampiran 12. Analisis Peragam/Ragam Sifat Tanah Awal pada Penelitian Lapangan Sumber keragaman

BI F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

1,52 1,29 2,24

0,2425 0,3007 0,0866 5,09 PAT

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

0,2860 6,944*) 0,1692 3,48 MWD

0,6465 0,5049 0,4228 31,78 P-tersedia

0,20 2,78 0,78

F-hitung

Pr > F

0,39 1,10 1,12

0,7607 0,3546 0,3893

2,11 0,34 0,69

0,1346 0,7133 0,6638

2,23 Permeabilitas F-hitung

0,53 2,409 0,59

Pr > F

0,6691 6,944*) 0,7316 43,62 pH

19,21 ISA F-hitung

Pr > F

5,54 0,235 1,45

0,0077 6,944*) 0,2549 14,43 K-tersedia

F-hitung

Pr > F

F-hitung

Pr > F

2,52 1,244 0,27

0,0928 6,944*) 0,9418

9,18 1,72 1,53

0,0007 0,2070 0,2240

2,39 C-organik

16,75 N-total

F-hitung

Pr > F

F-hitung

Pr > F

3,68 14,441 0,17

0,0329 6,944*) 0,9814

2,24 10,262 0,32

0,1204 6,944*) 0,9172

Pr > F

1,29 0,36 1,68

0,3067 0,7057 0,1822 28,63 Cmic/Corg

0,25 0,48 0,41

Pr > F

Pr > F

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

PDC

F-hitung

0,8936 0,0885 0,5981 32,86 POMt

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

0,56 0,71 1,06

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

1,37 1,580 1,75

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

RPT Pr > F

9,83 POMt/Corg

8,35 Cmic

F-hitung

Pr > F

F-hitung

0,96 0,60 2,21

0,4337 0,5616 0,0896

0,50 0,20 0,46

26,78

Pr > F

0,6902 0,0218 0,8283 17,64

Pr > F

0,8610 0,6261 0,8615 23,25

Keterangan : * ) F-tabel pada db (2,4)

142

Lampiran 13.

Analisis Peragam/Ragam Sifat Tanah Setelah Panen Jagung pada Penelitian Lapangan

Sumber keragaman

BI F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

1,28 7,95 0,38

0,3128 0,0034 0,8804 3,98 PAT

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

4,54 1,227 1,54

0,0103 0,3747 0,1404 2,87 K-tersedia 0,0949 6,944*) 0,9319 26,45 N-total

0,70 0,493 2,02

0,95 5,78 1,04

Pr > F

0,5653 6,944*) 0,1188 5,59 Cmic

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

2,49 1,518 0,29

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

5,05 1,04 1,88

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

0,0164 6,944*) 0,2243 4,97 ASA

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

RPT Pr > F

Pr > F

0,4376 0,0115 0,4347 8,48

Keterangan : *) F-tabel pada db (2,4)

PDC

F-hitung

Pr > F

F-hitung

1,37 3,662 0,36

0,2845 6,944*) 0,8917

1,21 2,21 0,50

2,05 Permeabilitas F-hitung

2,26 1,16 0,58

Pr > F

0,1163 0,3366 0,7414 26,36 MWD

F-hitung

0,50 1,08 0,80

Pr > F

0,6861 0,3606 0,5841 26,40 P-tersedia

F-hitung

2,12 1,865 2,00

Pr > F

0,1359 6,944*) 0,1223 39,80 POMt

F-hitung

3,06 15,58 1,03

Pr > F

0,0545 0,0001 0,4374 18,41 Cmic/Corg

F-hitung

Pr > F

1,12 9,19 1,28

0,3685 0,1800 0,3170

0,3336 0,1387 0,8036 5,32 ISA

F-hitung

1,89 0,12 0,91

Pr > F

Pr > F

0,1673 0,8839 0,5099 5,50 pH

F-hitung

Pr > F

1,16 1,230 0,55

0,3526 6,944*) 0,7670 4,44 C-organik

F-hitung

Pr > F

0,36 0,380 0,70

0,7835 6,944*) 0,6514 7,09 POMt/Corg

F-hitung

Pr > F

1,53 0,2408 11,84 0,0005 0,81 0,5762 26,81

9,69

143

Lampiran 14. Analisis Paragam/Ragam Sifat Tanah Setelah Panen Kacang Tanah pada Penelitian Lapangan Sumber keragaman

BI F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

0,36 1,134 2,19

0,7858 6,944*) 0,0956 2,93 PAT

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

5,00 1,187 1,73

0,6332 6,944*) 0,4766 3,65 K-tersedia

0,93 0,87 0,97

1,65 0,02 1,25

2,51 20,28 3,93

Pr > F

0,2137 0,9786 0,3296 21,62 Cmic

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

0,4452 0,4374 0,4722 36,47 N-total

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

0,58 0,679 0,97

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

0,0115 6,944*) 0,1754 7,41 ASA

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

RPT Pr > F

Pr > F

0,0910 0,0001 0,1110 7,74

Keterangan : *) F-tabel pada db (2,4)

PDC

F-hitung

Pr > F

F-hitung

2,11 0,83 0,61

0,1340 0,4520 0,7197

3,35 0,316 2,37

3,00 Permeabilitas F-hitung

2,60 0,515 2,99

F-hitung

3,45 1,33 0,60

Pr > F

0,0858 6,944*) 0,0352 26,75 MWD Pr > F

0,0385 0,2903 0,7266 18,68 P-tersedia

F-hitung

0,61 8,80 2,57

Pr > F

0,6159 0,0022 0,0559 31,32 POMt

0,0439 6,944*) 0,0755 7,93 ISA

F-hitung

2,87 0,13 0,98

F-hitung

0,8291 6,944*) 0,8096 2,85 C-organik

F-hitung

Pr > F

1,48 0,06 0,86

0,2535 0,9421 0,5447 22,74 POMt/Corg

F-hitung

0,57 0,73 0,63

0,6398 0,4970 0,7074

0,39 0,18 0,78

1,98 15,44 3,23

Pr > F

0,29 1,049 0,49

Pr > F

F-hitung

Pr > F

0,0652 0,8818 0,4668 3,85 pH

F-hitung

4,78 Cmic/Corg

Pr > F

Pr > F

0,7595 0,8344 0,5939 31,21

Pr > F

0,1538 0,0001 0,0248 10,77

144

Lampiran 15. Analisis Ragam Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Penelitian Lapangan Sumber keragaman Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Umur jagung 2 mg F-hitung

0,35 4,85 0,53

0,7895 0,2160 0,7791 11,60 Umur jagung 8 mg F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

0,2868 0,0076 0,4761 10,08 Umur kc. tanah 4 mg Pr > F

4,63 9,49 2,32

0,0144 0,0015 0,0782 4,88 Berat polong kering F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

1,36 6,47 0,96

F-hitung

Olah tanah+BO (R) Pengupasan tanah (A) A*R KK (%)

Pr > F

2,52 0,69 2,26

Umur jagung 4 mg F-hitung

Pr > F

1,03 3,60 0,89

0,4039 0,0483 0,5236 10,80 Berat pipilan kering F-hitung

Pr > F

1,19 5,19 1,02

0,3399 0,0166 0,4449 49,86 Umur kc. tanah 6 mg

Umur jagung 6 mg F-hitung

0,2253 0,0039 0,4549 9,46 Umur kc. tanah 2 mg F-hitung

Pr > F

3,22 2,28 1,24

0,0474 0,1309 0,3306 5,36 Umur kc tanah 8 mg

F-hitung

Pr > F

F-hitung

2,24 1,06 0,65

0,1184 0,3680 0,6908

3,92 0,99 1,54

7,05

Pr > F

1,60 7,67 1,00

Pr > F

0,0258 0,3911 0,2208 6,42

Pr > F

0,0903 0,5135 0,0845 16,18

145

More Documents from "dewanda"

Tanah.pdf
June 2020 0
Cover-ringkasan.docx
June 2020 1
Dapus.docx
June 2020 1